Anda di halaman 1dari 9

Soal

1. Apa saja peralatan dalam pemantauan kualitas udara?


2. Apa saja metode pengukuran kualitas udara sesuai dengan baku mutu lingkungan SO 2,
NO2, Pb, Cl di udara, amoniak, hidrokarbon, partikulat meter (debu jatuhan), reagen yang
dipakai, reaksi apa yang terjadi, dan cara menghitung konsentrasinya di udara?
Jawaban
1. Peralatan dalam pemantauan kualitas udara yaitu
1. Ambient Air Monitoring Atau Alat Pengukur Kualitas Udara
Alat ukur ini berfungsi untuk mengukur kualitas udara yang ada pada daerah
tertentu. Ada berbagai tempat yang dapat diukur dengan menggunakan alat ukur ini,
sebut saja di pusat kota. Kualitas udara yang dimaksudkan adalah kualitas udara
ambient lokal di mana udara yang ada di satu tempat dapat memiliki kualitas yang
menurun diakibatkan oleh sejumlah faktor, misalnya adalah adanya kendaraan diesel
atau pun karena udara bercampur dengan emisi pembangkit listrik.
Zat udara yang dapat dipantau melalui alat ukur ini adalah deposisi debu,
kandungan nitrogen, yaitu mono hidrogen yang menjadi salah satu zat buangan dari
adanya pembakaran pada suhu yang sangat tinggi. Selain dua zat ini, alat ukur ini
juga dapat memantau kadar sulfur oksida yang juga menjadi salah satu zat yang
menandakan adanya pencemaran udara. Alat ini berhubungan dengan usaha
pemantauan lingkungan, misalnya adalah pemantauan kadar debu di udara di daerah
pertambangan.
Pemantauan lingkungan yang dilakukan merupakan salah satu syarat untuk
mendapatkan lisensi dari IED, sebagai instituti pemeliharaan lingkungan, juga untuk
mendapatkan ijin kondisi perencanaan lingkungan. Di Indonesia pun, pemerintah
telah menunjukan konsen mereka terhadap upaya pemantauan lingkungan termasuk
salah satunya adalah pemantauan kualitas udara. Salah satunya adalah dengan
mengeluarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia nomer 41 tahun 1999
mengenai pengendalian pencemaran udara. Di dalam undang-undang ini, diatur
beberapa jenis debu dan gas dengan kadar mereka untuk mengontrol suatu daerah
dengan indikator kualitas udaranya.
2. Gas Detector atau Alat Pendeteksi Gas
Dalam beberapa industri tertentu, mendeteksikan kebocoran gas yang
mungkin saja terjadi menjadi satu hal yang sangat penting untuk dilakukan, bahkan
sampai dapat menyelamatkan banyak nyawa pekerja dan juga berlangsungnya dari
industri tersebut. Sebut saja dalam industri yang berkaitan dengan proses pengelasan.
Dalam proses ini, deteksi awal adanya kebocoran gas akan dapat menghindarkan
kemungkinan adanya kebakaran atau bahkan ledakan. Substansi pengelasan yang
merupakan acetylene dan oksigen menjadi jenis gas yang sangat mudah terbakar.
Kebocoran sekecil apapun akan menjadi sangat berbahaya selama berada di ruang
tertutup atau pun ruangan dengan ventilasi yang minim. Karena akumulasi gas akan
menjadi pemicu kebarakan terjadi. Pada saat inilah dibutuhkan satu alat yang dapat
mendeteksi adanya gas tertentu yang muncul, alat ukur ini dinamakan sebagai Gas
detector atau alat deteksi gas.
Alat ukur ini memiliki kepekaan terhadap hadirnya berbagai jenis gas tertentu
pada satu wilayah tertentu pula. Alat deteksi ini akan membunyikan alarm khusus
yang ada pada alat tersebut saat mendeteksi adanya gas tertentu. Selain alarm, lampu
khusus juga akan berkedap kedip sebagai tanda adanya satu hal yang dapat
menyebabkan pada bahaya. Sebagian besar gas yang mampu dideteksi oleh alat ini
merupakan jenis gas yang beracun dan dapat terbakar dengan mudah. Untuk
memudahkan dalam pengoperasiannya, alat ukur ini dibuat dengan desain yang
mudah dibawa ke mana-mana atau portable. Memang, pada awal produksinya, alat
deteksi gas ini dirancang untuk mendeteksi adanya kebocoran gas tunggal, namun
saat ini, alat ini sudah dirancang dengan sistem yang lebih modern lagi karena dapa
mendeteksi adanya keberadaan beberapa gas beracun yang mudah terbakar.
Keberadaan alat ini tentu sangat membantu kerja kita, terutama yang bergelut di dunia
industri karena akan menjadi alat pencegah kebakaran.
2. Metode pengukuran kualitas udara sesuai dengan baku mutu lingkungan yaitu
1. SO2 (Sulfur Dioksida)
a. Metode Pararosanilin
Sampel udara diserap dalam 50 mL larutan kalium tetrakloromerkurat
(TCM) lalu membentuk kompleks diklorosulfitomerkurat. Sebuah alikuot 5 mL
kompleks diencerkan dengan TCM sampai 10 mL dan dibiarkan selama 20 menit.
Nitrit dihilangkan melalui reaksi dengan 1 mL asam sulfamat 0,6% selama 10
menit. Campuran yang dihasilkan direaksikan dengan 5 mL. pararosanilin dan 2
mL formaldehida 0,2% untuk membentuk asam metil sulfonat pararosanilin yang
sangat berwarna. Intensitas warna yang dihasilkan diukur dengan menggunakan
spektrofotometer pada 548 nm.
b. Metode UV Fluorensense
Pengukuran gas SO2 dengan metode UV Fluoresense dapat menggunakan
instrumen TS43i. Instrumen mencatat konsentrasi gas SO2 dengan resolusi waktu
setiap beberapa puluh detik namun dicatat sebagai raw data dengan rata-rata 5
menit. Inlet udara menggunakan bahan dari polietilen dengan pertimbangan
bersifat inert atau tidak bereaksi dengan sampel yang dianalisa. Sumber cahaya
yang digunakan adalah sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 320-380 nm.
2. NO2 (Nitrogen Dioksida)
a. Metode Greiss-Saltzman
Gas diserap di udara ambien dengan menggunakan larutan penyerap yang
mengandung N-(1-Naphtyl)-Ethylene Diamin Dihidrochloride. Setelah itu
membentuk senyawa berwarna, kemudian diukur intesitas warnanya dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm.
b. Metode Chemiluminescence
Gas NO diudara direaksikan dengan gas ozon membentuk nitrogen
dioksida tereksitasi. NO2 yang tereksitasi akan kembali pada posisi ground state
dengan melepaskan energi berupa cahaya pada panjang gelombang 600 - 875 nm.
Intensitas cahaya yang diemisikan diukur dengan photomulltifier, Intensitas yang
dihasilkan sebanding dengan konsentrasi NO di udara. Sedangkan gas NO2
sebelum direaksikan dengan gas ozon terlebih dahulu direduksi dengan katalitik
konventor.
3. Pb (Timbal)
a. Metode Voltametri Stripping Anodik
Langkah awal yaitu filter fiber glass yang berisi sampel dikumpulkan lalu
dipindahkan ke beaker glass 250 mL dan ditutup dengan 15 mL asam nitrat
redistilasi pekat. Sampel dipanaskan di atas hot plate, lalu didinginkan kemudian
ditambahkan 3 mL asam nitrat redistilasi pekat lainnya. Pemanasan dilanjutkan
dan diselesaikan. Umumnya ditunjukkan oleh residu berwarna terang. Residu
dilarutkan dengan menambahkan 10 mL asam klorida dengan air suling 1:1. Kaca
arloji dan beaker glass dicuci dengan air suling deionisasi dan larutan yang
dihasilkan disaring ke dalam labu ukur dan diencerkan hingga 100 mL. Sebuah
alikuot 5 mL larutan sampel dipindahkan ke penganalisis voltametri (VA Model
Metrohm 693) pada bejana sampel dan dicampur dengan 10 mL air suling
deionisasi dan 1 mL KCl. Pembacaan potensial dicatat dan konsentrasi Pb
ditentukan dari kurva kalibrasi.
b. Menggunakan Instrumentasi (alat)
Sampel diambil dengan alat High Volume Air Sampler (HVAS) lalu
dipreparasi dengan metode destruksi basah kemudian diukur kadar Pb dengan
menggunakan Atomic Absorption Spectrometer (AAS). Pengujian ini dilakukan
dalam jangka waktu minimal 3 hari selama 24 jam pada lokasi pengambilan
sampel.
c. Metode Gravimetri
Langkah awal dari perlakuan prosedur ini yaitu dengan pembuatan ekstrak
dari 0,5 gram hasil gilingan dalam labu Kjeldalh lalu dilakukan penambahan
larutan pengekstrak yang terdiri atas 5 mL HNO3 (70%) dan 5 mL HClO4 (70%).
Campuran tersebut didestruksi dengan pemanasan pada suhu 100oC hingga uap
coklat dari nitrat hilang lalu dipanaskan kembali pada suhu 200oC hingga larutan
menjadi jernih. Larutan jernih yang telah diperoleh ini ditambahkan aquadest
hingga 10 mL. Selanjutnya kandungan Pb diukur dengan Atomic Absorption
Spectrometer (AAS) pada panjang gelombang 283,3 nm.
4. Cl (Chlorine)
a. Metode Iodometri
Gas klor diserap dengan bahan kimia penyerap, NaOH, kemudian
konsentrasinya ditentukan dengan metoda Iodometri.
5. Amonia (NH3)
a. Pengukuran Konsentrasi NH3 menggunakan Air Sampling Impinger
Pengukuran kualitas udara ambien untuk gas amonia (NH3) dilakukan
menggunakan metode indofenol dengan spektrofotometer. Berdasarkan SNI 19-
7119.1-2005 prinsip pengukuran kualitas udara untuk parameter amonia (NH3)
diantaranya udara ambien yang mengandung amonia akan dijerap melalui larutan
asam sulfat sehingga membentuk ammonium sulfat. Selanjutnya larutan tersebut
akan direaksikan bersama larutan fenol serta natrium hipoklorit pada keadaan
basa sehingga nantinya terbentuk suatu senyawa indofenol yang kompleks dengan
ciri berwarna biru. Warna biru tersebut menjadi kadar intensitas amonia yang
terbentuk, kadarnya dapat diketahui dengan spektrofotometer dan mengatur
panjang gelombang sebesar 630 nm. Setelah diukur menggunakan
spektrofotometer akan keluar nilai absorbansi yang digunakan dalam perhitungan
konsentrasi. Volume sampel yang diambil, selanjutnya dikoreksi pada saat
kondisi normal yaitu 25°C dan 760 mmHg dengan mengacu pada persamaan
berikut
F 1+ F 2 Pa 298
V= ×t× × …………………………………..(1)
2 Ta 760
Dimana:
V = Volume udara dikoreksi pada kondisi normal (25°C, 760 mmHg)
F1 = Laju alir diawal pengambilan sampel (L/menit)
F2 = Laju alir diakhir akhir pengambilan sampel (L/menit)
t = Waktu pengambilan sampel (menit)
Pa = Tekanan selama pengambilan sampel (mmHg)
Ta = Suhu selama pengambilan sampel (°K)
298 = Suhu disaat kondisi normal 25°C (°K)
760 = Tekanan saat kondisi normal 1 atm (mmHg)

Konsentrasi senyawa NH3 yang berada di udara ambien akan di hitung


kadarnya menggunakan persamaan 2.
a
C= × 1000 …………………………………………(2)
V
Dimana:
C = Konsentrasi NH3 yang berada di udara (μg/Nm3)
a = Total NH3 dari sampel berdasarkan analisis kurva kalibrasi (μg)
V = Volume udara yang dihisap dikoreksi pada kondisi normal yaitu 25°C
dan 760 mmHg
1000 = Konversi dari Liter ke m3
6. Hidrokarbon
a. Metode Flame Ionization Detector
Salah satu instrumentasi yang memiliki Flame Ionization Detector adalah
gas kromatografi. Langkah awal yaitu sampel diinjeksikan. Untuk injeksi sampel,
gas kromatograf ini menggunakan injeksi yang akan mengalirkan sampel secara
terusmenerus yang kemudian akan dikontrol oleh GSV. Suhu oven yang
digunakan pada penelitian ini adalah 75 derajat Celsius dengan level penguatan
meidum. Hasil dari penelitian ini adalah grafik yang dihasilkan oleh kromatograf
sebelum sampel diinjeksikan adalah tidak beraturan dan dibawah garis yang
seharusnya.
b. Metode Adsorpsi dengan Adsorbent Karbon Aktif
Contoh gas dilewatkan ke dalam tube karbon aktif dengan laju alir gas
tertentu (± 0, 3 liter/menit). Waktu sampling tergantung kepada konsentrasi
hidrokarbon dan banyaknya adsorben karbon aktif yang digunakan. Untuk
melepaskan hidrokarbon, karbon aktif dilarutkan dalam pelarut tertentu (seperti
CS2), kemudian disuntikan ke dalam GC. Atau karbon aktif di “purging“ dengan
gas inert seperti N2, atau He, kemudian dialirkan /disuntikan ke dalam GC
7. Debu Jatuhan
a. Metode High Volume Sampling
Metode ini digunakan untuk pengukuran total suspended partikulat matter
(SPM), yaitu partikulat dengan diameter ≤ 100 μm. Prinsip dasar udara dihisap
dengan flowrate 40-60 cfm, maka suspended particulate matter (debu) dengan
ukuran < 100 μm akan terhisap dan tertahan pada permukaan filter microfiber
dengan porositas < 0,3 μm. Partikulat yang tertahan di permukaan filter ditimbang
secara gravimetrik, sedangkan volume udara dihitung berdasarkan waktu
sampling dan flowrate.
b. Pengukuran PM 10 dan PM 2.5
Pengertian PM 10 dan PM 2.5 adalah partikulat atau debu dengan
diameter ≤ 10 mikron dan ≤ 2.5 mikron. Untuk pengukuran partikulat dengan
diameter tersebut di atas diperlukan teknik pengumpulan impaksi, dengan metode
tersebut dimungkinkan untuk memisahkan debu berdasarkan diameternya.
Diameter yang lebih besar akan tertahan pada stage paling atas, semakin ke
bawah, maka semakin kecil diameter yang dapat terkumpulkan permukaan stage.
Setiap Cascade Impactor terdiri dari beberapa stage, ada yang 3, 5 sampai 9 stage
(plate) tergantung kepad keperluaannya. Salah jenis Cascade Impactor yang
terdiri dari 9 stage adalah Cascade Impactor buatan Graseby Andeson.
Prinsip pengukuran Kertas saring yang telah ditimbang, disimpan di
masing-masing stage (plate) yang terdapat pada alat Cascade Impactor.
Selanjutnya udara dilewatkan ke dalam Cascade Impactor flow rate tertentu dan
dibiarkan selama 24 jam atau lebih tergantung kepada konsentrasi debu di udara
ambient. Setelah sampling selesai, debu-debu yang terkumpul pada masing-
masing stage ditimbang, menggunakan neraca analitik.
Perlu diketahui bahwa gas merupakan zat yang volumenya berubah
dengan perubahan temperatur dan tekanan. Maka dalam menyatakan konsentrasi
zat pencemar dalam udara digunakan kondisi standar yaitu kondisi dimana
volume udara ditetapkan dan kondisi tertentu, yang dinyatakan dengan kondisi
standar. Hasil pengukuran zat pencemar dinyatakan dengan kondisi standar,
artinya banyaknya zat pencemar persatuan volume udara pada kondisi standar,
yaitu pada temperatur 25oC dan tekanan 1 atmosfer (760 mm Hg). Untuk
mengkonversi dari kondisi volume udara pada kondisi sampling ke volume udara
kondisi standar digunakan rumus di bawah ini:
V std + V sampel x (P smapel / P std)) x (T std / T sampel)
Dimana :
V std = Volume udara pada kondisi standar 25 C, 1 atm (m3)
V sample = Volume udara pada kondisi sampling (m3)
P sample = Tekanan udara pada kondisi sampling (mm Hg)
P std = Tekana udara pada kondisi standar (760 mm Hg)
T std = Temperatur pada kondisi standar (273 + 25 K)
T sample = Temperatur pada kondisi sampling (273 + C)
DAFTAR PUSTAKA

Colmenares, L. U. 1998. Assessment of the Ambient Air Quality in lligan City Using Standard
and Phytomonitoring Methods. KIMIKA. 14(2): 75-82.

Hasbiah, A. W., & Musaddad, F. 2016. Studi Identifikasi Pencemaran Udara oleh Timbal (Pb)
pada Area Parkir (Studi Kasus Kampus Universitas Pasundan Bandung). Jurnal
Infomatek. 18(1): 49-56.

Kurniawan, A. 2018. Pengukuran parameter kualitas udara (CO, NO2, SO2, O3 dan PM10) di
Bukit Kototabang berbasis ISPU. Jurnal Teknosains. 7(1): 1-13.

Munfarida, I. 2016. Evaluasi Kualitas Udara Studi Kasus 3 Lokasi Puskesmas di Kota Cimahi
Provinsi Jawa Barat. Al-Ard: Jurnal Teknik Lingkungan. 1(2): 67-73.

Prabowo K. dan Muslim B. 2018. Penyehatan Udara. Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia
Kesehatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Pujiastuti, D., & Ilahi, A. F. 2014. Analisis Pengaruh Intensitas Radiasi Matahari, Temperatur,
dan Kelembaban Udara, Terhadap Fluktuasi Konsentrasi Ozon Permukaan di Bukit
Kototabang Tahun 2005-2010. Jurnal Fisika Unand. 3(3): 177- 183.

Setiawan, Y., Purwati, S., Surachman, A., & Setiadji, S. 2009. Karakteristik Emisi Industri Pulp
dan Kertas dalam Konteks Pencemaran Udara. Jurnal Selulosa. 39(2): 54-63.

Zafany, Afifah Azzahra. 2021. Analisis Kualitas Udara untuk Parameter NH3 pada Jalan Tol di
Kota Makassar. Skripsi. Departemen Teknik Lingkungan Universitas Hasanuddin. Gowa.

Anda mungkin juga menyukai