Anda di halaman 1dari 30

BAB 2

LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Teori Sinyal
Teori sinyal (signalling theory) dalam Job Market Signalling oleh Spence
(1972). Teori yang melibatkan dua pihak, yaitu pihak internal perusahaan seperti
manajemen perusahaan yang mengirimkan sinyal berupa informasi mengenai suatu
kondisi perusahaan dengan relevan dan transparan, dan yang kedua pihak eksternal
perusahaan seperti investor dan kreditur yang akan menerima sinyal dari pihak
perusahaan. Informasi yang didapatkan pihak eksternal akan menghasilkan
pemahaman dan pengambilan keputusan pihak eksternal untuk melakukan investasi
pada suatu perusahaan. Teori sinyal merupakan sinyal atau informasi yang diberikan
pihak emiten yang bertujuan sebagai petunjuk bagi para penanam modal dalam
pengambilan keputusan dari pandangan manajemen terhadap prospek perusahaan
(Brigham, 2011).

Menurut (Syuhada et al., 2020) bahwa laporan keuangan perusahaan yang


diterbitkan oleh manajemen perusahaan dapat menjadi sinyal untuk para investor,
dapat berbentuk sinyal baik (good news) ataupun sinyal buruk (bad news). Pada
dasarnya prinsip teori sinyal mengandung asymmetric information karena setiap
tindakannya mengandung informasi. Informasi asimestri (asymmetric information)
merupakan kondisi dimana investor memiliki dua kondisi dalam mengetahui
informasi suatu perusahaan yaitu investor yang memiliki informasi lebih (more
informed) dan investor yang tidak memiliki banyak informasi (less informed).
Perusahaan akan menerbitkan laporan keuangan agar mengurangi adanya asymmetric
information pada pihak investor, dengan adanya laporan keuangan makan tingkat
kepercayaan pihak investor meningkat dan mengurangi informasi-informasi yang
tidak relevan, sehingga nilai perusahaan akan mengalami peningkatan dan
perusahaan mendapat kepercayaan dari para investor dan kreditur (Lumoly et al.,
2018).

Teori sinyal bertujuan untuk memberikan sinyal informasi dari pihak


manajemen kepada pihak investor tentang bagaimana kondisi perusahaan saat ini
11
12

menggunakan laporan keuangan yang di terbitkan oleh pihak perusahaan. Informasi


yang di publikasikan menjadi hal yang fundamental bagi investor dan kreditur. Pihak
manajemen perusahaan akan menyajikan laporan keuangan yang berkualitas, presisi,
detail, dan tepat waktu. Hal tersebut yang dibutuhkan oleh pihak investor dan
kreditur dalam mengambilan keputusan investasi dan mengurangi terjadinya
asymmetric information. Nilai perusahaan dapat terpengaruh melalui persepsi
investor pada sinyal yang diberikan oleh pihak manajemen baik sinyal positif
maupun sinyal negatif. Dengan begitu informasi yang diterbitkan diharapkan dapat
diterima dan memberi sinyal positif kepada para investor dan kreditur. Dengan
informasi yang positif maka pihak investor akan menafsirkan jika kondisi perusahaan
dalam keadaan lebih baik dari perusahaan lain.

Para investor dan kreditur dapat membedakan kondisi perusahaan yang


memiliki nilai tinggi dan perusahaan yang memiliki nilai rendah. Bagi pihak investor
kenaikan dividen dan mekanisme good corporate governance menjadi sinyal positif
mengenai prospek perusahaan di masa yang akan datang. Perusahaan yang memiliki
prospek di masa yang akan datang menandakan bahwa perusahaan tersebut memiliki
nilai yang baik sehingga dapat menghasilkan profit yang baik kepada investor dan
memberikan sinyal positif karena perusahaan dalam kondisi yang baik atau relatif
tidak mengalami financial distress.

2.1.2 Teori Keagenan


(Jensen & Meckling, 2012) dalam Yudadibrata (2016) Teori keagenan
(agency theory) yang dikemukakan oleh (Jensen & Meckling, 2012) menjelaskan
bahwa ketika satu orang atau lebih (principals) mempekerjakan orang lain (agent)
untuk bekerja dan kemudian mengalihkan wewenang pengambilan keputusan kepada
agen, hal ini yang menyebabkan konflik kepentingan atau teori agensi (Manurung &
Hutabarat, 2020). Teori perusahaan menguraikan bagaimana tugas kepemilikan
perusahaan dan wewenang manajemen dipisahkan dalam pengelolaan perusahaan.
Agen adalah manajemen yang menjalankan perusahaan, sedangkan prinsipal adalah
pemegang saham atau investor yang memiliki dana di perusahaan dan memberikan
wewenang administrasi perusahaan kepada agen. Pihak internal perusahaan yaitu
manajer perusahaan memiliki akses langsung terhadap informasi perusahaan,
sedangkan pihak eksternal tidak memiliki banyak informasi perusahaan (Putri, 2021).
13

Hubungan keagenan kadang-kadang menimbulkan masalah antara pemegang


saham (principal) dan manajer (agent). Seorang manajer sebagai manajer perusahaan
seharusnya meningkatkan kekayaan pemegang saham, tetapi pada kenyataannya
manajer tidak meningkatkan kekayaan pemegang saham, melainkan meningkatkan
kesejahteraan pemegang saham dan manajer itu sendiri. Hal ini menyebabkan
terjadinya asimetri informasi antara pemegang saham atau investor dan manajer.
Asimetri informasi Menurut Eisenhardt (1989) dalam Yudadibrata (2016), Asimetri
informasi terjadi ketika ada ketidakseimbangan dalam distribusi informasi antara
agen dan prinsipal. Asimetri informasi tak jarang dilakukan oleh pihak eksternal
perusahaan untuk menyembunyikan informasi perushaan untuk melaksanakan suatu
kepentingan, padahal informasi tersebut diperlukan oleh pihak pemegang saham
(Manurung & Hutabarat, 2020). Idenya adalah untuk mengumpulkan informasi yang
diperlukan untuk mengukur tingkat hasil yang dihasilkan dari upaya agen, tetapi
masih ada kemungkinan bahwa agen tidak akan mengungkapkan informasi yang
diterima dengan benar, meninggalkan informasi yang tidak lengkap dan tidak dapat
menggambarkan kinerja agen yang sebenarnya. Hal ini mengindikasikan perusahaan
dapat membayar dividen kepada investor, dan memberikan kepercayaan yang kuat
kepada investor. Sebaliknya, apabila laporan keuangan perusahaan mengalami
penurunan laba terus-menerus dapat dilihat bahwa perusahaan tersebut tidak dapat
menjalankan kegiatan operasinya dengan baik. Hal ini mengindikasikan perusahaan
tidak dapat membayar dividen kepada investor, akibatnya perusahaan akan
mengalami financial distress dan investor tidak dapat mempercayakan keuangannya
kepada manajemen.

2.1.3 Financial Distress


Financial Distress merupakan kondisi keuangan yang dapat dijelaskan secara
luas dan bervariasi. Berbagai penilaian yang telah dilakukan atas kondisi tersebut
memunculkan beragam pandangan mengenai pengertian kondisi Financial Distress.
Menurut (Indriaty et al., 2019) Financial Distress as a condition in which a company
has difficulty to pay financial obligations to creditors, is in trouble with operational
activities and decreases financial performance significantly and continuously so that
it can lead to bankruptcy and financial losses for investors and creditors. Dapat
diartikan Financial Distress merupakan kondisi perusahaan yang mengalami
14

kesulitan untuk membayar kewajiban keuangan kepada kreditur, kesulitan


membiayai kegiatan operasional dan penurunan kinerja keuangan secara signifikan
dan terus-menerus sehingga dapat mengakibatkan kebangkrutan dan kerugian
keuangan bagi investor dan kreditur. Menurut (Curry et al., 2018) Financial Distress
adalah kondisi keuangan perusahaan dalam keadaan tidak sehat atau krisis atau
mengalami penurunan sebelum terjadinya kebangkrutan atau likuidasi. Menurut
(Sutra & Mais, 2019) Financial Distress adalah sebagai suatu kondisi perusahaan
yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur pada saat
jatuh tempo. Menurut Wongsosudono, dkk (2013) dalam (Sutra & Mais, 2019)
Financial Distress adalah keadaan perusahaan gagal dalam memenuhi segala
kewajiban pemberi pinjaman (debitur) karena perusahaan kekurangan dana untuk
menjalankan dan melanjutkan usahanya sehingga pencapaian tujuan ekonomi tidak
terpenuhi.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, Financial Distress dapat
disimpulkan sebagai kondisi keuangan perusahaan yang kurang sehat ditandai
dengan ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban perusahaan pada
saat jatuh tempo. Kewajiban perusahaan yang tidak terpenuhi akan mengurangi
kepercayaan debitur karena perusahaan dinilai kekurangan dana dalam melanjutkan
usahanya dan tertuju pada kondisi Financial Distress.

2.1.3.1 Penyebab dan Dampak Financial Distress


Kondisi Financial Distress dapat dialami oleh semua perusahaan yang sedang
menjalankan bisnisnya. Perusahaan perlu memahami penyebab terjadinya Financial
Distress agar dapat melakukan pencegahan lebih awal. Menurut Sumani (Sumani,
2020) ada tiga penyebab perusahaan mengalami kondisi Financial Distress, sebagai
berikut:
1. Neoclassical model
Financial Distress dapat terjadi jika alokasi sumber daya dalam perusahaan
tidak tepat sasaran. Manajemen yang kurang mampu dalam mengalokasikan aset
perusahaan untuk kegiatan operasional perusahaan. Dapat ditarik kesimpulan
jika manajemen tidak mampu mengelola dan mengalokasikan operasional
perusahaan maka perusahaan akan mengalami Financial Distress
2. Financial model
15

Financial Distress dapat terjadi jika pencampuran aset berjalan baik sedangkan
struktur keuangan berjalan buruk dengan liquidity constraints. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa perusahaan dapat bertahan dalam jangka panjang tetapi
mungkin tidak dapat bertahan atau bangkrut dalam jangka pendek.
3. Corporate governance model
Financial Distress dapat terjadi jika kebangkrutan memiliki campuran aset dan
struktur keuangan yang baik namun dikelola dengan cara yang buruk. Hal ini
dapat mendorong perusahaan menjadi out of the market sebagai akibat dari
masalah dalam tata kelola perusahaan yang tidak terdapat jalan keluarnya. Dapat
ditarik kesimpulan bahwa Financial Distress dapat terjadi jika pengelolaan
perusahaan buruk walaupun aset perusahaan stabil.

Keadaan perusahaan yang mengalami kondisi Financial Distress akan


menimbulkan dampak negatif seperti penurunan usaha atau bahkan penutupan
perusahaan. Menurut (Sumani, 2020) ada dua golongan perusahaan berada dalam
kondisi Financial Distress, sebagai berikut:
1. Kegagalan ekonomis (economic failure)
Kondisi pendapatan yang diterima oleh perusahaan tidak memadai dalam
menutup biaya operasional perusahaan. Apabila hal ini terjadi secara terus-
menerus, maka dapat dipastikan perusahaan akan mengalami kerugian
operasional selama kurun waktu beberapa tahun.
2. Kegagalan usaha (business failure)
Kondisi disaat perusahaan mengalami kegagalan, maka dapat menimbulkan
kerugian bagi krediturnya, dikarenakan perusahaan tidak dapat membayarkan
hutangnya.

2.1.3.2 Mengukur Financial Distress


Pengukuran Financial Distress dapat dilakukan dengan beberapa model
sesuai dengan penyesuaian berbagai jenis industri perusahaan yang ada. Berdasarkan
perkembangannya, model yang terkenal saat ini yaitu altman modifikasi. Altman
memodifikasi model pengukuran tersebut agar dapat digunakan untuk semua jenis
industri perusahaan baik manufaktur, nonmanufaktur ataupun perusahaan penerbit
obligasi. Dalam perkembangan model ini, Altman (1995) mengeliminasi variabel
X5, yaitu rasio penjualan terhadap total aset (Sales to Total Asset) karena nilainya
16

sangat bervariasi di berbagai industri. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui rumus
Financial Distress dengan menggunakan model altman modifikasi, sebagai berikut:

Z = 6,56X1 + 3,26X2 + 6,72X3 + 1,05X4


Sumber: Altman (1995) dalam Adnyana & Firdaus (2020)

Dengan keterangan, sebagai berikut:


1. Working Capital to Total Asset/ WTCA (X1)
Rasio yang dihitung dengan membandingkan modal kerja bersih dengan total
keseluruhan aset perusahaan. Modal kerja bersih diperoleh dari aset lancar
dikurangi dengan kewajiban lancar. Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat
likuiditas aset perusahaan dan kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban dalam jangka pendek.
2. Retained Earning to Total Asset/RETA (X2)
Rasio yang dihitung dengan membandingkan antara laba ditahan (retained
earning) dengan total keseluruhan aset perusahaan. Laba ditahan adalah laba
yang tidak dibagikan kepada pemegang saham. Jika rasio ini semakin besar
artinya semakin besar juga peran laba ditahan dalam membentuk dana
perusahaan dan jika semakin kecil rasio ini menunjukkan kondisi keuangan
perusahaan tidak sehat yang dapat dilihat pada neraca perusahaan. Rasio ini
digunakan untuk melihat kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba
ditahan dari total keseluruhan aset yang ada.
3. Earning Berfore Interest and Tax to Total Asset/EBITTA (X3)
Rasio yang dihitung dengan membagi antara laba sebelum bunga dan pajak
dengan total keseluruhan aset perusahaan. Rasio ini digunakan untuk
mengetahui produktivitas aset perusahaan dalam menghasilkan laba sebelum
bunga dan pajak.
4. Book Value of Equity to Total Liabilities/BVETL (X4)
Rasio yang dihitung dengan membagi antara nilai buku ekuitas dengan total
kewajiban perusahaan. Nilai buku ekuitas dilihat dari total keseluruhan ekuitas
atau kewajiban perusahaan pada laporan keuangan. Rasio ini digunakan untuk
mengetahui seberapa besar modal perusahaan yang dapat digunakan untuk
memenuhi kewajiban dalam jangka Panjang.
Kriteria industri perusahaan yang diukur dengan model altman modifikasi, dapat
diketahui sebagai berikut (Adnyana & Firdaus, 2020):
17

1. Jika nilai Z < 1,10 menyatakan bahwa perusahaan terdeteksi kebangkrutan.


2. Jika nilai Z antara 1,11 dan 2,60 (1,11 < Z < 2,60) menyatakan bahwa
perusahaan berada dalam zona abu-abu (perusahaan terdeteksi akan bangkrut).
3. Jika nilai Z > 2,61 menyatakan bahwa perusahaan sehat.

Klasifikasi Bangkrut Abu-abu Sehat

Z < 1,10 1,11-2,60 >2,61

Penelitian menggunakan model altman modifikasi karena model ini


merupakan model terbaru yang bisa digunakan untuk semua jenis perusahaan serta
model ini diyakini lebih akurat karena telah mengeliminasi variabel X5 yang telah
disebutkan pada penjelasan diatas (Adnyana & Firdaus, 2020).

2.1.3.3 Manfaat Informasi Financial Distress


Kondisi Financial Distress penting diketahui lebih awal oleh manajemen
perusahaan untuk melakukan antisipasi pencegahan agar perusahaan terhindar dari
kerugian. Menurut (Makkulau, 2020) ada tiga manfaat informasi mengetahui lebih
awal terjadinya Financial Distress, yaitu:
1. Membantu mempercepat tindakan yang perlu dilakukan manajemen untuk
mencegah masalah sebelum terjadinya kondisi Financial Distress pada
perusahaan.
2. Pihak manajemen dapat bertindak untuk melakukan merger atau takeover agar
perusahaan dapat membayar hutang dan mengelola perusahaan dengan lebih
baik.
3. Melakukan perbaikan lebih awal dan mewaspadai tanda adanya kebangkrutan
pada masa yang akan datang.

2.1.4 Return on Asset


Menurut (Christine et al., 2019) rasio Profitabilitas dapat diartikan sebagai
rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
keuntungan. Menurut Kasmir (2012) dalam (Antoniawati & Purwohandoko, 2022)
rasio Profitabilitas diukur dengan melihat keuntungan perusahaan melalui efisiensi
manajemen. Penelitian kali ini menggunakan Return on Asset salah satu rasio
18

keuangan dalam rasio Profitabilitas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam


menghasilkan keuntungan dari keseluruhan aset yang dimiliki.
Rasio ini umumnya diambil dari laporan laba rugi yang terdiri dari penjualan
bersih, laba kotor, laba operasi, laba sebelum pajak, laba setelah pajak, dan laba yang
tersedia bagi pemegang saham biasa. Jika disederhanakan Return on Asset
merupakan hasil perbandingan antara laba bersih setelah pajak dengan total aset yang
dimiliki oleh perusahaan.
Menurut (Christine et al., 2019) apabila Profitabilitas suatu perusahaan terus
menurun dan bahkan berjumlah negatif maka kemungkinan perusahaan mengalami
kebangkrutan akan semakin besar. Jika perusahaan ingin terhindar dari kondisi
kebangkutan maka perusahaan harus memiliki nilai Return on Asset yang tinggi dari
tahun sebelumnya. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui rumus Return on Asset
sebagai berikut:

Earning After Taxes


Return on Asset ( ROA)=
Total Assets
Sumber: Christine, dkk (2019)

2.1.5 Debt to Asset Ratio


Menurut (Kurnia, 2021) Leverage merupakan rasio yang mengukur sejauh
mana kebutuhan perusahaan dibiayai dengan menggunakan hutang. Penelitian kali
ini menggunakan Debt to Asset Ratio salah satu rasio keuangan dalam rasio Leverage
atau sering disebut rasio Solvabilitas.
Debt to Asset Ratio digunakan untuk membandingkan antara total hutang
dengan total aset perusahaan. Jika Debt to Asset Ratio pada suatu perusahaan bernilai
tinggi maka dana yang dibiayai oleh hutang semakin besar, ini akan berakibat buruk
untuk perusahaan karena perusahaan dikhawatirkan tidak mampu menutupi hutang-
hutangnya dengan aset yang dimiliki perusahaan tersebut. Jika keadaan sebaliknya
risiko perusahaan dalam kondisi kebangkrutan semakin kecil, oleh karena itu
perusahaan perlu memperhatikan agar nilai Debt to Asset Ratio dapat menurun untuk
menghindari kebangkrutan. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui rumus Debt to
Asset Ratio sebagai berikut:
Total Hutang
Debt ¿ Asset Ratio( DAR)=
Total As et

Sumber: (Kurnia, 2021)


19

2.1.6 Struktur Aset


Menurut Sunyoto (2013) dalam (Christine et al., 2019) Struktur Aset dapat
didefinisikan sebagai sumber ekonomi yang dimiliki oleh perusahaan dalam satuan
uang. Menurut Harahap (2013) dalam (Christine et al., 2019) Struktur Aset
menjelaskan tentang aset yang dimiliki perusahaan yang kemudian dapat digunakan
untuk operasional perusahaan. Menurut Komarudin dan Tabroni (2019) struktur aset
menggambarkan komposisi total aset yang digunakan perusahaan.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Struktur Aset adalah
perbandingan antara aset tidak lancar atau aset tetap dengan total aset atau total aset
yang dapat berfungsi untuk menentukan jumlah seberapa besar alokasi dana untuk
masing-masing aset dan juga bentuk dari penanaman modal perusahaan. Bentuk
Struktur Aset dapat berupa harta kekayaan atau hak atas kekayaan atau jasa yang
dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan (Christine et al., 2019). Dari penjelasan
tersebut dapat diketahui rumus Struktur Aset sebagai berikut:

Aset Tetap
Struktur As et (SA)=
Total Aset
Sumber:(Christine et al., 2019)

2.1.7 Arus Kas Operasi


Menurut Hery (2017) dalam (Kurnia, 2021) arus kas adalah laporan keuangan
yang menggambarkan arus kas masuk (penerimaan) dan keluar (pengeluaran) yang
berasal dari aktivitas operasi, aktivitas investasi, dan aktivitas pendanaan. Penelitian
ini menggunakan arus kas operasi yang berasal dari aktivitas operasi. Menurut Kieso,
dkk (2011) dalam (Kurnia, 2021) Arus Kas Operasi adalah aktivitas transaksi-
transaksi yang berpengaruh terhadap kas dalam penentuan laba bersih. Menurut
Sudaryanti & Dinar (2019) dalam (Kurnia, 2021) rasio arus kas operasi yang diproksi
dari kegiatan pendanaan operasi dapat digunakan sebagai indikator penentu
perusahaan dalam kondisi Financial Distress. Jika perusahaan memiliki arus kas
operasi yang cukup besar, dapat diartikan bahwa sumber dana yang dimiliki
perusahaan juga besar sehingga dapat terhindar dari kebangkrutan karena perusahaan
dianggap mampu membiayai kegiatan operasional tanpa bantuan pihak luar.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa arus kas operasi
adalah laporan keuangan yang berisi informasi penerimaan dan pengeluaran dalam
20

periode tertentu. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui rumus arus kas operasi
sebagai berikut:

Arus KasOperasi
Arus KasOperasi ( AKO)=
Total Kewajiban
Sumber: (Theresa & Pradana, 2022)

2.2 Hasil Penelitian Terdahulu


Hasil penelitian sebelumnya diperlukan sebagai bahan acuan dalam
mengembangkan penelitian yang dilakukan dengan judul “PENGARUH RETURN
ON ASSET, DEBT TO ASSET RATIO, STRUKTUR ASET DAN ARUS KAS
OPERASI TERHADAP FINANCIAL DISTRESS (Studi Empiris pada Perusahaan
Sub Sektor Hotel, Restoran dan Pariwisata yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Periode 2016-2020)”.
Berikut adalah ringkasan dari penelitian sebelumnya yang telah dirangkum
dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelitian, yaitu:

1. Aurellie Zulfa Islamy (2021)


Aurellie Zulfa Islamy (2021) melakukan penelitian berjudul “Faktor-faktor yang
mempengaruhi financial distress perusahaan terdampak COVID-19 di ASEAN”.
Sampel dalam penelitian ini ditentukan menggunakan teknik purposive sampling
dan menghasilkan total sampel sebanyak 114 perusahaan selama periode tahun
2020. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan data sekunder
melalui metode dokumentasi. Populasi penelitian ini adalah seluruh perusahaan
yang bergerak pada sektor paling terdampak COVID-19, yaitu sektor travel and
tourism, yang meliputi beberapa sub-sektor yaitu penyediaan jasa terkait
akomodasi dan makan minum, pariwisata, hiburan, transportasi dan logistik,
serta beberapa sub-sektor yang terkait lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa profitabilitas berpengaruh negatif terhadap probabilitas financial distress,
Arus Kas Operasi aktivitas operasi berpengaruh positif terhadap probabilitas
financial distress, dan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap
probabilitas financial distress.
21

2. Rizka Vidya Dwi Giarto, and Fachrurrozie (2020)


Rizka Vidya Dwi Giarto, and Fachrurrozie (2020) melakukan penelitian berjudul
“The effect of leverage, sales growth, cash flow on financial distress with
corporate governance as a moderating variable”. Sampel dalam penelitian ini
menggunakan perusahaan dalam bidang dasar kimia yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia (2013-2017), dan ditemukan sebanyak 69 perusahaan sebagai
sampel. dengan menggunakan purposive sampling, tersaring lagi sehingga hanya
ada 31 perusahaan sebagai sample. Pada penelitian ini memakai variabel
independen leverage, sales growth, dan cash flow, sedangkan untuk variabel
dependen menggunakan financial distress. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa leverage dan Arus Kas Operasi berpengaruh signifikan terhadap financial
distress, serta corporate governance hanya mampu memoderasi pengaruh
leverage dan pertumbuhan penjualan terhadap financial distress.

3. Syamsul Bachri, Juhasdi Susono, Mayang Alethea, St Habibah, dan Ihsan


Darwis (2020)
Syamsul Bachri, Juhasdi Susono, Mayang Alethea, St Habibah, dan Ihsan
Darwis (2020) melakukan penelitian yang berjudul “The effecct of leverage,
profitability, agency cost, and inflation rate in predicting company factor” .
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan 50 perusahaan dalam
bidang property dan real estate yang ada di Indonesia dan Malaysia yang
terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2014-2018. Pada penelitian ini
menggunakan variabel independen ROA , D/E Ratio, Agency Fees, Inflation
rate, Interest rate votality, dan variabel dependen nya adalah Financial distress.
Hasil kesimpulan pada penelitian ini yaitu perusahaan dengan tingkat leverage
yang tinggi dapat menyebabkan financial distress. Leverage adalah hal yang
perlu di pertimbangkan ketika menganalisis kondisi perusahaan. serta ROA tidak
berpengaruh signifikan terhadap financial distress dan DER berpengaruh,
terhadap financial distress.

4. Angela Dirman (2020)


Angela Dirman (2020) melakukan penelitian yang berjudul “Financial Distress :
The impacts of Profitability, Liquidity, Leverage, Firm Size, and Free Cash
Flow”. Dalam penelitian ini menggunakan sampel perusahaan manufaktur sektor
22

industri dasar dan kimia yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama 3
tahun berturut yaitu 2016 - 2018. Sampel yang digunakan adalah purposive
sampling sehingga didapatkan sampel sebanyak 90 perusahaan. Hasil studi ini
menunjukkan bahwa variabel profitabilitas berpengaruh positif terhadap
financial distress; likuiditas variabel, leverage, dan Arus Kas Operasi bebas
tidak mempengaruhi kesulitan keuangan; dan variabel ukuran perusahaan
berpengaruh negatif terhadap financial distress.

5. Rudiyanto, Rizkya Nuranisa (2021)


Rudiyanto, Rizkya Nuranisa (2021) melakukan penelitian yang berjudul
“Profitabilitas dan Solvabilitas pada financial distress perusahaan tekstil dan
garmen”. Dalam penelitian ini menggunakan sampel perusahaan Tekstil dan
Garmen yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2013-2018 baik
secara parsial maupun simultan. Metode yang digunakan adalah penelitian
kuantitatif dan deskriptif dengan purposive sampling. Kami menggunakan 66
data dari 11 perusahaan, kemudian dianalisis menggunakan regresi logistik.
Hasil studi ini menunjukan bahwa Return on assets berpengaruh negatif dan
signifikan, Return on equity berpengaruh positif dan signifikan, debt ratio
berpengaruh positif dan signifikan, dan return on assets berpengaruh dan
signifikan terhadap financial distress.

6. Amrizah Kamaluddin, Norhafizah Ishak, Nor Farizal Mohammed (2019)


Amrizah Kamaluddin, Norhafizah Ishak, Nor Farizal Mohammed (2019)
melakukan penelitian yang berjudul “Financial Distress Prediction Through
Cash Flow Ratios Analysis”. Dalam penelitian ini menggunakan sampel
perusahaan 80 sampel dari bidang industri dan produk konsemen tahun 2014-
2015 dengan menggunakan random sampling. Altman Z-score digunakan untuk
mengukur tingkat kesulitan keuangan. Temuan menunjukkan campuran
hubungan antara rasio solvabilitas dan kesulitan keuangan dan hubungan
signifikan negatif antara rasio profitabilitas dan financial distress, sedangkan
rasio efisiensi tidak memiliki hubungan dengan financial distress. Hasil
menunjukkan bahwa rasio Arus Kas Operasi adalah alat yang dapat diandalkan
untuk memprediksi kesulitan keuangan untuk konteks Malaysia.
23

7. Arrum dan Wahyono (2021)

Arrum dan Wahyono (2021) melakukan penelitian berjudul “Pengaruh


Operating Capacity, Profitability, Mekanisme Corporate, dan Firm Size
terhadap Financial Distress. Sampel dalam penelitian ini ditentukan
menggunakan teknik purposive sampling jenuh dengan jumlah populasi
penelitian sebanyak 64 perusahaan. Penelitian dilakukan menggunakan sampel
yang diambil dari data perusahaan properti, real estate, dan konstruksi bangunan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dalam periode 2017-2020. Metode yang
digunakan yaitu regresi logistik ordinal dengan hasil Profitability, Ukuran
Komite Audit, dan Firm Size, berpengaruh terhadap kondisi Financial Distress,
sedangkan Operating Capacity, Kepemilikan Manajerial, dan Ukuran Dewan
Direksi tidak berpengaruh terhadap Financial Distress.

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian Arrum dan
Wahyono (2021). Persamaannya terdapat pada variabel dependen yaitu
Financial Distress dan variabel independen yaitu Profitabilitas yang diproksikan
oleh Return on Asset. Perbedaannya terdapat pada variabel independen yaitu
Ukuran Komite Audit, Firm Size, Operating Capacity, Kepemilikan Manajerial,
dan Ukuran Dewan Direksi. Perbedaan lainnya terletak pada metode penelitian,
perusahaan yang diteliti dan periode penelitian.

8. Antoniawati dan Purwohandoko (2022)


Antoniawati dan Purwohandoko (2022) melakukan penelitian berjudul “Analisis
Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas, dan Leverage terhadap Financial Distress
pada Perusahaan Transportasi yang terdaftar di BEI tahun 2018-2020”. Sampel
dalam penelitian ini ditentukan menggunakan teknik purposive sampling dengan
jumlah populasi penelitian sebanyak 13 perusahaan.
Penelitian dilakukan menggunakan sampel yang diambil dari data perusahaan
transportasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dalam periode 2018-2020.
Pengujian hipotesis yang dilakukan menggunakan program SPSS versi 26.
Metode yang digunakan yaitu uji regresi logistik dengan hasil Profitabilitas yang
diwakili oleh ROA tidak berpengaruh terhadap Financial Distress, Likuiditas
yang diwakili oleh Current Ratio tidak berpengaruh terhadap Financial Distress,
24

namun Leverage yang diwakili oleh DAR berpengaruh signifikan terhadap


Financial Distress.
Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian Antoniawati
dan Purwohandoko (2022). Persamaannya terdapat pada variabel dependen yaitu
Financial Distress dan variabel independen yaitu Profitabilitas dan Leverage.
Perbedaannya terdapat pada variabel independen yaitu Likuiditas. Perbedaan
lainnya terletak pada metode penelitian, perusahaan yang diteliti dan periode
penelitian.

9. Putri, Hakim, Abbas (2021)


Putri, Hakim, Abbas (2021) melakukan penelitian berjudul “Pengaruh Return on
Equity, Current Ratio, Debt to Asset Ratio terhadap Financial Distress (Pada
Perusahaan Sektor Agriculture yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun
2016-2019)”. Sampel dalam penelitian ini ditentukan menggunakan teknik
purposive sampling dengan jumlah populasi penelitian 8 perusahaan dalam
kurun waktu empat tahun sehingga diperoleh 32 sampel.
Penelitian dilakukan menggunakan sampel yang diambil dari data perusahaan
agrikultur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dalam periode 2016-2019.
Pengujian hipotesis yang dilakukan menggunakan program Eviews 9.0. Metode
yang digunakan yaitu uji regresi data panel dengan hasil Return on Equity dan
Current Ratio tidak berpengaruh terhadap Financial Distress, sedangkan Debt to
Asset Ratio berpengaruh signifikan terhadap Financial Distress.
Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian Putri,
Hakim, Abbas (2021). Persamaannya terdapat pada variabel dependen yaitu
Financial Distress dan variabel independen yaitu Debt to Asset Ratio.
Perbedaannya terdapat pada variabel independen yaitu Return on Equity dan
Current Ratio. Perbedaan lainnya terletak pada metode penelitian, perusahaan
yang diteliti dan periode penelitian.

10. Azky, Suryani, Tara (2021)


Azky, Suryani, Tara (2021) melakukan penelitian berjudul “Pengaruh Rasio
Keuangan terhadap Financial Distress Pada Perusahaan Jasa Sub Sektor
Restoran, Hotel & Pariwisata yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia”. Sampel
dalam penelitian ini ditentukan menggunakan teknik purposive sampling dengan
25

jumlah populasi penelitian 18 perusahaan dalam kurun waktu lima tahun


sehingga diperoleh 90 sampel.
Penelitian ini dilakukan menggunakan sampel yang diambil dari data perusahaan
jasa sub sektor hotel, restoran dan pariwisata yang terdaftar di BEI periode 2015-
2019. Metode yang digunakan yaitu uji regresi logistik dengan hasil
Profitabilitas yang diwakili oleh ROA berpengaruh terhadap Financial Distress,
sedangkan rasio Leverage yang diwakili oleh DAR, rasio Likuiditas yang
diwakili oleh CR, rasio Aktivitas yang diwakili oleh TATO tidak berpengaruh
terhadap Financial Distress.
Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian Azky,
Suryani, Tara (2021). Persamaannya terdapat pada variabel dependen yaitu
Financial Distress dan variabel independen yaitu ROA dan DAR. Perbedaannya
terdapat pada variabel independen yaitu CR dan TATO. Perbedaan lainnya
terletak pada metode penelitian, perusahaan yang diteliti dan periode penelitian.

11. Kanzha dan Muslih (2020)


Kanzha dan Muslih (2020) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Arus
Kas Operasi Operasi, Leverage, dan Firm Growth terhadap Financial Distress
(Studi Pada Perusahaan Pertanian yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada
Tahun 2015-2018)”. Sampel dalam penelitian ini ditentukan menggunakan
teknik purposive sampling dengan jumlah populasi penelitian sebanyak 18
perusahaan dalam kurun waktu empat tahun sehingga diperoleh 72 sampel.
Penelitian ini menggunakan perusahaan manufaktur sektor Pertanian yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama masa periode 2015-2018. Metode
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi data panel dengan
pengujian hipotesis yang dilakukan menggunakan program Eviews 10. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara simultan Arus Kas Operasi Operasi,
Leverage dan Firm Growth berpengaruh terhadap terjadinya Financial Distress.
Penelitian secara parsial menunjukkan bahwa Arus Kas Operasi Operasi,
Leverage berpengaruh terhadap Financial Distress, sedangkan Firm Growth
tidak berpengaruh signifikan terhadap Financial Distress.
Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian Kanzha dan
Muslih (2020). Persamaannya terdapat pada variabel dependen yaitu Financial
Distress dan variabel independen yaitu Arus Kas Operasi Operasi dan Leverage.
26

Perbedaannya terdapat pada variabel independen yaitu Firm Growth. Perbedaan


lainnya terletak pada metode penelitian, perusahaan yang diteliti dan periode
penelitian.

12. Akmalia (2020)


Akmalia (2020) melakukan penelitian berjudul “Pengaruh Struktur Modal,
Struktur Aset, dan Profitabilitas terhadap Potensi Terjadinya Financial Distress
Perusahaan (Studi pada Perusahaan Manufaktur Sektor Aneka Industri yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2014-2017)”. Sampel dalam penelitian
ini ditentukan menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah populasi
penelitian sebanyak 24 perusahaan dalam kurun waktu empat tahun sehingga
diperoleh 96 sampel.
Penelitian ini menggunakan perusahaan manufaktur sektor aneka industri yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama masa periode 2014-2017. Metode yang
digunakan yaitu uji regresi logistik dengan hasil Financial Leverage, Struktur
Aset dan Return on Asset berpengaruh terhadap Financial Distress. Struktur
Modal tidak berpengaruh terhadap Financial Distress.
Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian Akmalia
(2020). Persamaannya terdapat pada variabel dependen yaitu Financial Distress
dan variabel independen yaitu Profitabilitas dan Struktur Aset. Perbedaannya
terdapat pada variabel independen yaitu Struktur Modal dan Financial Leverage.
Perbedaan lainnya terletak pada metode penelitian, perusahaan yang diteliti dan
periode penelitian.
Berikut ringkasan tabel 2.1 dari hasil penelitian sebelumnya, sebagai berikut:
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu

Alat &
Nama
No Vaiabel Penelitian Sampel Hasil Penelitian
Peneliti
Penelitian
1. Aurellie
Hasil penelitian ini
Zulfa variabel independen :
menunjukkan bahwa
Islamy , Return on asset (ROA), Analisis
profitabilitas
Unggul Operating cash flow ratio regresi
berpengaruh negatif
Purwohedi , (OCFR), dan Kepemilikan logistic
terhadap Probabilitas
Rida Prihatni manajerial (MAN)
financial distress.
(2021)
Universitas
Negeri Arus Kas Operasi
Jakarta aktivitas operasi
berpengaruh terhadap
Variabel dependen : probabilitas financial
probabilitas financial distress, dan
distress kepemilikan manajerial
tidak berpengaruh
terhadap financial
distress.
2. Rizka Vidya
Analsis
Dwi Giarto,
purposive
and Hasil penelitian ini
variabel independen : sampling,
Fachrurrozie menunjukan bahwa
leverage, sales growth, statistik
dan cash flow deskripsi leverage dan Arus Kas
dan regresi Operasi berpengaruh
logistik signifikan terhadap
financial distress, serta
Universitas corporate governance
Negeri Bursa Efek hanya mampu
Semarang Indonesia memoderasi pengaruh
2013 - 2017 leverage dan
variabel dependen :
sektor dasar pertumbuhan penjualan
financial distress
dan Kimia , terhadap financial
69 sample distress.
perusahaan
28

Alat &
Nama
No Vaiabel Penelitian Sampel Hasil Penelitian
Peneliti
Penelitian
3. Syamsul Variabel Independen : ROA
Bachri, , D/E Ratio, Agency Fees, Uji Regresi
Juhasdi Inflation rate, Interest rate Logistik
Susono, votality.
Mayang
Alethea, St Perusahaan
properti Agency Fees, Inflation
Habibah, dan
dan real rate, Interest rate
Ihsan Darwis
estat yang votality berpengaruh
(2020)
terdaftar di terhadap Financial
Variabel Dependen : Distress
Bursa Efek
Financial distress.
Indonesia
dan
Malaysia
dari 2014-
2018
4 Angela Variabel Independen: RoA, Return on Asset
Dirman Uji Regresi
Current Ratio, D/E Ratio, berpengaruh pada
(2020) Berganda
Firm size, Free Cash Flow. Financial Distress

Perusahaan
manufaktur
sektor
industri
dasar dan
Variabel Dependen :
kimia yang
Financial distress.
terdaftar di
Bursa Efek
Indonesia
tahun 2016-
2018

5 Rudiyanto, Rudiyanto,
Rizkya Variabel Independen: Return on assets
Rizkya
Nuranisa ROA, ROE, dan Debt berpengaruh negatif
Nuranisa
(2021) Ratio. dan signifkan.
(2021)
Return on equity
berpengaruh positif.
29

Alat &
Nama
No Vaiabel Penelitian Sampel Hasil Penelitian
Peneliti
Penelitian
6 Amrizah hubungan antara rasio
Kamaluddin, solvabilitas dan
Norhafizah kesulitan keuangan dan
Ishak, Nor Variabel Independen: hubungan signifikan
Farizal Uji Regresi
Rasio Arus Kas Operasi negatif antara rasio
Mohammed Berganda ,
Solvabilitas dan profitabilitas dab
(2019) Altman Z
Profitabilitas, Likuiditas, financial distress,
score
dan Rasio Efisiensi. sedangkan rasio
efisiensi tidak memiliki
hubungan dengan
financial distress.
Perusahaan
pada
Industri
konsumen
dan produk
Variabel Dependen :
yang
Financial distress.
terdaftar di
Bursa
Malaysia
tahun 2014-
2015
7. Tama Annisa Operating Capacity,
Arrum dan Variabel independen: Kepemilikan
Uji Regresi
Wahyono Operating Capacity, Manajerial, Ukuran
Logistik
(2021) Profitability, Mekanisme Dewan Direksi tidak
Ordinal
Corporate, Firm Size berpengaruh pada
financial distress.
Perusahaan
Properti,
Real
Estate¸
Profitability, Ukuran
Konstruksi
Komite Audit, Firm
Variabel dependen: Bangunan
Size berpengaruh
Financial Distress yang
terhadap kondisi
terdaftar di
Financial Distress
Bursa Efek
Indonesia
periode
2017-2020
30

Alat &
No Nama Peneliti Vaiabel Penelitian Sampel Hasil Penelitian
Penelitian
8 Anita 1.Profitabilitas (ROA)
Variabel independen:
Antoniawati dan Likuiditas (CR)
Profitabilitas (ROA), Uji Regresi
dan tidak berpengaruh
Likuiditas (CR), Logistik
Purwohandok terhadap Financial
Leverage (DAR)
o Distress
Purwohandok Perusahaan
o (2022) Transportasi
yang
2. Leverage (DAR)
Variabel dependen: terdaftar di
berpengaruh terhadap
Financial Distress Bursa Efek
Financial Distress
Indonesia
periode
2018-2020
9 Miranda Putri, Variabel independen: 1. Return on Equity dan
Mohamad Uji Regresi
Return on Equity, Current Ratio tidak
Zulman Linier
Current Ratio dan Debt berpengaruh terhadap
Hakim, dan Berganda
to Asset Ratio Financial Distress
Dirvi Surya
Perusahaan
Abbas (2021)
Agriculture
yang
2. Debt to Asset Ratio
Variabel dependen: terdaftar di
berpengaruh terhadap
Financial Distress Bursa Efek
Financial Distress
Indonesia
periode
2016-2019
10 Salsabyla Variabel independen: 1. Leverage (DAR),
Azky, Embun Profitabilitas (ROA), Likuiditas (CR), dan
Suryani, Nur Uji Regresi
Leverage (DAR), Aktivitas (TATO) tidak
Aida Arifah Logistik
Likuiditas (CR), berpengaruh terhadap
Tara (2021) Aktivitas (TATO) Financial Distress
Perusahaan
Sub sektor
Hotel,
Restoran,
dan 2.+B10:F15Profitabilitas
Variabel dependen: Pariwisata (ROA) berpengaruh
Financial Distress yang terhadap Financial
terdaftar di Distress
Bursa Efek
Indonesia
periode
2015-2019
31

Alat &
Nama
No Vaiabel Penelitian Sampel Hasil Penelitian
Peneliti
Penelitian
11 Dita Desria Firm Growth secara
Kanzha, parsial tidak
Muhamad berpengaruh terhadap
Variabel independen:
Muslih Financial Distress. Arus
Arus Kas Operasi Operasi, Regresi
(2020) Kas Operasi Operasi
Leverage (DAR), Firm Data Panel
secara parsial
Growth
berpengaruh positif
signifikan terhadap
Financial Distress.
Leverage (DAR) secara
Perusahaan
partial berpengaruh
Sektor
negatif signifikan
Pertanian
terhadap Financial
yang
Variabel dependen: Distress. Arus Kas
terdaftar di
Financial Distress Operasi Operasi,
Bursa Efek
Leverage (DAR), Firm
Indonesia
Growth secara simultan
periode
berpengaruh terhadap
2015-2018
Financial Distres.
12 Alien
Akmalia 1.Struktur Modal tidak
(2020) berpengaruh terhadap
Variabel independen:
Financial Distress.
Leverage (DER), Struktur Uji Regresi
2.Leverage (DER)
Modal, Struktur Aset, Logistik
berpengaruh positif
Profitabilitas (ROA)
signifikan terhadap
Financial Distress.

Perusahaan
Manufaktur
Sektor
3.Struktur Aset dan
Industri
Profitabilitas (ROA)
Variabel dependen: yang
berpengaruh negatif
Financial Distress terdaftar di
signifikan terhadap
Bursa Efek
Financial Distress
Indonesia
periode
2014-2017

2.2 Kerangka Teoritis


Kerangka pemikiran disusun untuk memudahkan penelitian dalam
menghasilkan pemahaman tentang arah penelitian yang dilakukan. Kerangka
pemikiran yang disusun kali ini bertujuan untuk memudahkan dalam memperoleh
32

bukti pengaruh antara Return on Asset, Debt to Asset Ratio, Struktur Aset dan Arus
Kas Operasi terhadap Financial Distress.
Menurut (Oktariyani, 2019) teori sinyal didasarkan untuk memanfaatkan
laporan keuangan dalam memberikan sinyal positif maupun negatif kepada
pemakainya. Jika perusahaan memiliki kualitas yang baik akan memberikan sinyal
kepada pihak eksternal. Kualitas yang dimaksud memiliki beberapa arti seperti untuk
keperluan investasi atau pengembangan perusahaan dimasa yang akan datang.
Perusahaan yang mengalami Financial Distress maka perusahaan mempunyai
informasi yang tidak diharapkan oleh pihak luar, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut
cenderung membuat perusahaan yang mengalami Financial Distress tidak ingin
untuk memberikan informasi kepada pihak luar seperti investor dan kreditur.
Informasi tersebut padahal berguna bagi pihak luar seperti investor dan kreditur
sehingga mereka tidak mengambil keputusan yang merugikan. Laporan keuangan
yang memiliki nominal pada laba bersih positif berturut-turut dalam jangka pendek
maupun jangka panjang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut dalam keadaan
sehat. Manager harus bersikap transparan dalam menyajikan laporan keuangan
perusahaan agar tidak terjadi kecurangan dalam melaporkan laporan keuangan dan
memudahkan untuk mengetahui kondisi kesehatan perusahaan.
Pemilik perusahaan dan manajemen harus bekerjasama dalam menganalisis
laporan keuangan untuk mengetahui kondisi perusahaan tersebut dalam keadaan
sehat dan demi kelangsungan hidup perusahaan. Menurut Altman (1995) dalam
(Adnyana & Firdaus, 2020) ada tiga kriteria yang digunakan untuk mengukur
Financial Distress yaitu jika nilai Z lebih kecil dari 1,10 maka perusahaan
dinyatakan bangkrut, jika nilai Z diantara 1,11 sampai 2,60 maka perusahaan
dinyatakan pada zona abu-abu, dan jika nilai Z lebih besar dari 2,61 maka
perusahaan dinyatakan sehat. Nilai ini menjadi tolak ukur investor dalam
menyalurkan dananya. Jika perusahaan terdeteksi kondisi keuangan yang kurang
baik maka perusahaan harus melakukan perbaikan lebih awal agar tetap
mendapatkan kepercayaan investor dan terhindar dari Financial Distress. Menurut
(Curry et al., 2018) Financial Distress adalah kondisi keuangan perusahaan dalam
keadaan tidak sehat atau krisis atau krisis atau mengalami penurunan sebelum
terjadinya kebangkrutan atau likuidasi. Menurut (Sutra & Mais, 2019) Financial
Distress adalah keadaan perusahaan yang gagal atau tidak mampu lagi memenuhi
segala kewajiban pemberi pinjaman (debitur) karena perusahaan kekurangan dana
33

untuk menjalankan dan melanjutkan usahanya sehingga pencapaian tujuan ekonomi


tidak terpenuhi.
Perusahaan perlu melakukan peningkatan keuntungan yang tinggi jika ingin
mendapatkan pencapaian tujuan ekonomi yang terpenuhi. Menurut Murhadi (2015)
dalam (Christine et al., 2019) rasio Profitabilitas dapat diartikan sebagai rasio yang
menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan. Menurut
(Silanno & Loupatty, 2021) Return on Asset merupakan rasio Profitabilitas untuk
mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari penggunaan seluruh aset
yang dimiliki. Sebagai rasio Profitabilitas, ROA digunakan untuk menilai kualitas
dan kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba bersih dari pemanfaatan aset yang
dimilikinya. Menurut Yustika (2015) dalam (Christine et al., 2019) apabila
Profitabilitas suatu perusahaan terus menurun dan bahkan berjumlah negatif maka
kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan akan semakin besar. Jika
perusahaan ingin terhindar dari kondisi Financial Distress maka perusahaan harus
berupaya meningkatkan nilai Return on Asset.
Kewajiban perusahaan yang perlu dibayarkan sangat penting diorganisir
dengan baik demi kelancaran perusahaan. Menurut Yuli & Kurnia (2021) Debt to
Asset Ratio berfungsi untuk mengukur sejauh mana perusahaan dibiayai oleh hutang.
Jika Debt to Asset Ratio pada suatu perusahaan bernilai tinggi maka dana yang
dibiayai oleh hutang semakin besar, ini akan berakibat buruk untuk perusahaan
karena perusahaan dikhawatirkan tidak mampu menutupi hutang-hutangnya dengan
aset yang dimiliki perusahaan tersebut sehingga dapat terjadi kebangkrutan.
Pengendalian manajemen perlu diperhatikan untuk kelangsungan perusahaan
agar tetap berjalan panjang. Salah satu cara pengendalian manajemen yang bisa
dilakukan seperti pengendalian terhadap kebijakan Struktur Aset perusahaan.
Menurut Sunyoto (2013) dalam (Christine et al., 2019) Struktur Aset dapat
didefinisikan sebagai sumber ekonomi yang dimiliki oleh perusahaan dalam satuan
uang. Menurut Harahap (2013) dalam (Christine et al., 2019) Struktur Aset
menjelaskan tentang aset yang dimiliki perusahaan kemudian dapat digunakan untuk
operasional perusahaan. Pengendalian Struktur Aset memiliki peran penting dalam
kondisi suatu perusahaan yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Jika
perusahaan mampu mengelola pembiayaan dan kekayaan yang dimiliki secara benar
maka perusahaan dapat dikategorikan sehat dan terhindar dari kebangkrutan.
34

Ada tiga komponen Arus Kas yang terdapat pada laporan keuangan yaitu
Arus Kas Operasi, Arus Kas Investasi dan Arus Kas Pendanaan. Penelitian ini
menggunakan arus kas yang diproksikan dari arus kas operasi. Menurut Sudaryanti
& Dinar (2019) dalam (Kurnia, 2021) jika rasio Arus Kas Operasi yang diproksi dari
kegiatan pendanaan operasi dapat digunakan sebagai indikator penentu perusahaan
dalam kondisi Financial Distress. Menurut Kieso, dkk (2011) dalam (Kurnia, 2021)
Arus Kas Operasi adalah aktivitas transaksi-transaksi yang berpengaruh terhadap kas
dalam penentuan laba bersih. Pihak kreditor membutuhkan informasi arus kas
operasi untuk mengetahui bagaimana perusahaan tersebut dalam melakukan
pembayaran hutangnya. Apabila arus kas operasi suatu perusahaan jumlahnya besar,
maka pihak kreditor mendapatkan keyakinan pengembalian atas kredit yang
diberikan. Jika arus kas operasi suatu perusahaan bernilai kecil, maka kreditor tidak
mendapat keyakinan atas kemampuan perusahaan dalam membayar hutang.
Berdasarkan pemaparan singkat penjelasan diatas, maka untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada kerangka pemikiran gambar berikut:

Return on Asset
H 1 ( -)

Debt to Asset Ratio H 2 (+ )


Nilai Financial Distress

Struktur Aset H 3 ( -)

H4 (-)
Arus Kas Operasi

Gambar 2. 1
Kerangka Pemikiran
Sumber: Diolah Penulis, 2022

2.3 Pengembangan Hipotesis


Pada hipotesis penelitian ini menjelaskan hubungan antara beberapa variabel.
Penelitian yang dilakukan memiliki empat hipotesis yang akan diuji diantaranya
pengaruh Return on Asset terhadap Financial Distress, pengaruh Debt to Asset Ratio
35

terhadap Financial Distress, pengaruh Struktur Aset terhadap Financial Distress dan
pengaruh Arus Kas Operasi terhadap Financial Distress. Secara lebih rinci, hipotesis
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.3.1 Return on Asset terhadap Financial Distress


Return on Asset merupakan rasio Profitabilitas untuk mengukur kemampuan
perusahaan menghasilkan laba dari penggunaan seluruh sumber daya atau aset yang
dimiliki perusahaan. Return on Asset berfungsi untuk menilai kualitas dan kinerja
perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dari pemanfaatan aset yang dimiliki
perusahaan. Return on Asset dapat diartikan sebagai rasio yang digunakan untuk
mengukur efisiensi perusahaan dalam menghasilkan pendapatan dari aset yang
dimiliki dalam neraca keuangan.
Sesuai dengan teori sinyal, Return on Asset yang tinggi akan meningkatkan
laba bersih perusahaan. Apabila laba perusahaan tinggi maka pendapatan perusahaan
dan kemampuan perusahaan dalam membayar hutang akan meningkat, hal ini akan
mengurangi risiko perusahaan dalam kondisi Financial Distress. Menurut Altman
(1995) dalam (Adnyana & Firdaus, 2020) ada tiga kriteria yang digunakan untuk
mengukur Financial Distress yaitu jika nilai Z lebih kecil dari 1,10 maka perusahaan
dinyatakan bangkrut, jika nilai Z diantara 1,11 sampai 2,60 maka perusahaan
dinyatakan pada zona abu-abu, dan jika nilai Z lebih besar dari 2,61 maka
perusahaan dinyatakan sehat. Return on Asset dipilih karena setiap keuntungan yang
diperoleh perusahaan dari kegiatan produksinya akan mampu menambah aset
perusahaan yang dapat digunakan untuk membayar kewajiban perusahaan sehingga
perusahaan dapat terhindar dari kebangkrutan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Arrum & Wahyono, 2021)
menunjukkan bahwa Return on Asset berpengaruh terhadap Financial Distress.
Berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Syamsul Bachri, et al
(2020) yang menunjukkan bahwa Return on Asset tidak berpengaruh signifikan
terhadap Financial Distress. Jika Return on Asset semakin tinggi maka dapat
meningkatkan nilai Z-Score bahkan bila mencapai nilai di atas 2,61 maka perusahaan
dinyatakan sehat kondisi keuangannya sehingga dapat terhidar dari kebangkrutan.
Sebaliknya apabila laba perusahaan terus menurun dan bahkan berjumlah negatif
maka dapat menurunkan nilai Z-Score bahkan bila mencapai nilai di bawah 1,10
perusahaan dinyatakan tidak sehat kondisi keuangannya sehingga kemungkinan
36

perusahaan mengalami kebangkrutan akan semakin besar. Hal ini dapat diartikan jika
Return on Asset semakin tinggi maka menurunkan risiko terjadinya financial
distress. Sebaliknya, jika Return On Asset semakin rendah maka meningkatkan
terjadinya financial distress. Dari penjelasan ini dapat dihasilkan hipotesis sebagai
berikut :
H1: Return on Asset berpengaruh negatif terhadap Financial Distress

2.3.2 Debt to Asset Ratio terhadap Financial Distress


Debt to Asset Ratio merupakan rasio utang terhadap aset yang digunakan
untuk mengukur perbandingan antar total utang dengan total aset yang dimiliki oleh
suatu perusahaan dalam laporan keuangan yang dibuat dalam periode tertentu. Rasio
ini berfungsi untuk mengukur seberapa besar aset perusahaan menutupi kewajiban
yang perlu dibayarkan. Menurut Altman (1995) dalam (Adnyana & Firdaus, 2020)
ada tiga kriteria yang digunakan untuk mengukur Financial Distress yaitu jika nilai
Z lebih kecil dari 1,10 maka perusahaan dinyatakan bangkrut, jika nilai Z diantara
1,11 sampai 2,60 maka perusahaan dinyatakan pada zona abu-abu, dan jika nilai Z
lebih besar dari 2,61 maka perusahaan dinyatakan sehat. Semakin besar
perbandingan aset perusahaan dengan total kewajiban semakin tinggi kemampuan
perusahaan untuk menutupi kewajiban yang perlu dibayarkan, sehingga perusahaan
dapat terhindar dari Financial Distress.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Putri, 2021) menunjukkan bahwa Debt
to Asset Ratio memiliki pengaruh terhadap Financial Distress. Hal ini akan menjadi
sinyal yang baik bagi para pengguna laporan keuangan untuk mengetahui jika
perusahaan yang dapat melunasi suatu kewajibannya maka perusahaan tidak akan
mengalami Financial Distress, namun jika nilai Debt to Asset Ratio semakin tinggi
maka kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan akan semakin besar. Jika
Debt to Asset Ratio pada suatu perusahaan bernilai tinggi maka dana yang dibiayai
oleh hutang semakin besar, ini akan berakibat buruk untuk perusahaan karena
perusahaan dikhawatirkan tidak mampu menutupi hutang-hutangnya dengan aset
yang dimiliki perusahaan tersebut sehingga dapat terjadi kebangkrutan. Sebaliknya
bila hutang perusahaan dapat dikendalikan dengan baik sehingga perusahaan mampu
membayar dengan asetnya maka perusahaan dapat terhindar dari Financial Distress.
Dengan demikian Debt to Asset Ratio semakin tinggi maka dapat
meningkatkan risiko Financial Distress. Bila nilai Z-Score semakin rendah maka
37

perusahaan semakin tidak sehat kondisi keuangannya bahkan bila mencapai kurang
dari nilai 1,10 maka perusahaan terancam bangkrut. Sebaliknya jika nilai Debt to
Asset Ratio semakin rendah maka financial distress semakin rendah pula sehingga
perusahaan semakin sehat kondisi keuangannya. Dari penjelasan ini dapat dihasilkan
hipotesis sebagai berikut:

H2: Debt to Asset Ratio berpengaruh positif terhadap Financial Distress

2.3.3 Struktur Aset terhadap Financial Distress


Struktur Aset adalah perbandingan antara aset tidak lancar atau aset tetap
dengan total aset atau total aset yang dapat berfungsi untuk menentukan jumlah
seberapa besar alokasi dana untuk masing-masing aset dan juga bentuk dari
penanaman modal perusahaan. Bentuk Stuktur aset dapat berupa harta kekayaan atau
hak atas kekayaan atau jasa yang dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan
(Christine et al., 2019).
Menurut Altman (1995) dalam (Adnyana & Firdaus, 2020) ada tiga kriteria
yang digunakan untuk mengukur Financial Distress yaitu jika nilai Z lebih kecil dari
1,10 maka perusahaan dinyatakan bangkrut, jika nilai Z diantara 1,11 sampai
2,60maka perusahaan dinyatakan pada zona abu-abu, dan jika nilai Z lebih besar dari
2,61 maka perusahaan dinyatakan sehat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
(Akmalia, 2020) menjelaskan bahwa struktur aset memiliki pengaruh terhadap
terjadinya Financial Distress.
Perusahaan yang mempunyai proporsi aset tetap lebih banyak akan lebih
aman karena aset tetap yang dimiliki perusahaan tersebut dapat digunakan sebagai
jaminan dalam melakukan pembiayaan yang bersumber dari hutang dan dapat
mengurangi kebangkrutan perusahaan. Selain itu, perusahaan yang memiliki aset
tetap yang lebih besar mencerminkan bahwa perusahaan tersebut lebih mapan dalam
industri. Perusahaan yang dianggap mapan memiliki risiko lebih kecil terhadap
kebangkrutan karena memiliki cadangan kekayaan yang besar.

Jika struktur aset semakin tinggi maka semakin besar pula nilai Z-
Score sehingga perusahaan semakin sehat kondisi keuangannya. Sebaliknya
bila struktur aset semakin rendah maka semakin kecil pula nilai Z-Score
sehingga perusahaan semakin kurang sehat kondisi keuangannya bahkan bila
mencapai nilai lebih rendah dari 1,1 dapat mengalami kebangkrutan. Dengan
38

demikian semakin tinggi struktur aset semakin sehat perusahaan sehingga


perusahaan terhindar dari financial distress. Sebaliknya, semakin rendah
struktur aset maka semakin besar perusahaan dapat mengalami financial
distress. Dari penjelasan ini dapat dihasilkan hipotesis sebagai berikut:
H3: Struktur Aset berpengaruh negatif terhadap Financial Distress

2.3.4 Arus Kas Operasi terhadap Financial Distress


Menurut (Kanzha & Muslih, 2020) Arus Kas yang paling utama dari
perusahaan adalah terkait dengan aktivitas operasi. Arus kas merupakan laporan yang
memberikan informasi relevan mengenai penerimaan dan pengeluaran kas dalam
periode tertentu dengan mengklasifikasikan transaksi pada kegiatan operasi,
pembiayaan, dan investasi. Jumlah arus kas yang timbul dari aktivitas operasi dapat
menentukan apakah operasi entitas telah menghasilkan arus kas yang cukup dalam
melunasi pinjaman, memelihara kemampuan operasi entitas, membayar dividen, dan
melakukan investasi baru tanpa bantuan sumber pendanaan dari luar perusahaan.
Perusahaan yang memiliki arus kas operasi tinggi dapat diartikan jika
perusahaan tersebut memiliki sumber dana untuk memenuhi aktivitas operasinya
seperti melunasi pinjaman, memelihara kemampuan operasi perusahaan dan
pembayaran dividen. Menurut Altman (1995) dalam (Adnyana & Firdaus, 2020) ada
tiga kriteria yang digunakan untuk mengukur Financial Distress yaitu jika nilai Z
lebih kecil dari 1,10 maka perusahaan dinyatakan bangkrut, jika nilai Z diantara 1,11
sampai 2,60 maka perusahaan dinyatakan pada zona abu-abu, dan jika nilai Z lebih
besar dari 2,61 maka perusahaan dinyatakan sehat. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Kanzha dan Muslih (2020) menjelaskan bahwa arus kas operasi memiliki
pengaruh terhadap terjadinya Financial Distress.
Arus kas dapat dilihat dari arus kas masuk dan arus kas keluar, berasal dari
aktivitas operasi, aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan. Jika arus kas operasi
memiliki nilai yang besar maka perusahaan dapat dikatakan dalam kondisi baik,
karena perusahaan memiliki sumber dana yang memadai untuk biaya operasional
perusahaan, sehingga perusahaan akan terhindar dari Financial Distress. Perusahaan
yang memiliki arus kas operasi tinggi dapat diartikan jika perusahaan tersebut
memiliki sumber dana untuk memenuhi aktivitas operasinya seperti melunasi
pinjaman, memelihara kemampuan operasi perusahaan dan pembayaran dividen.
39

Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Angela Dirman, 2020) menjelaskan


bahwa Arus Kas Operasi tidak pengaruh terhadap terjadinya Financial Distress. Jika
arus kas operasi yang dihasilkan perusahaan mengalami kenaikan, maka dapat
menurunkan tingkat kebangkrutan karena perusahaan mampu menjalani kegiatan
operasionalnya yang didanai dari arus kas operasi tanpa bantuan pihak luar. Namun
sebaliknya, jika arus kas operasi perusahaan mengalami penurunan secara terus-
menerus, maka perusahaan bisa mengalami kebangkrutan yang harus segera
ditangani atau perusahaan bisa menutup usahanya karena tidak memiliki dana untuk
membiayai kegiatan operasional perusahaan.

Dengan demikian semakin tinggi arus kas operasi maka semakin kecil
Financial Distress sehingga perusahaan semakin sehat kondisi keuangannya.
Sebaliknya bila arus kas operasi semakin rendah maka semakin besar
perushaan mengalami Financial Distress sehingga perusahaan semakin
kurang sehat kondisi keuangannya bahkan bila Z-Score mencapai nilai lebih
rendah dari 1,1 dapat mengalami kebangkrutan. Dari penjelasan ini dapat
dihasilkan hipotesis sebagai berikut:

H4: Arus Kas Operasi berpengaruh negatif terhadap Financial Distress


40

Anda mungkin juga menyukai