Anda di halaman 1dari 50

EVIDENCE BASED PRACTICE

EFEKTIVITAS GUIDE IMAGERY RELAXATION


TERHADAP NYERI KEPALA PADA PASIEN CEDERA
KEPALA.

Disusun untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal
Bedah
Dosen pembimbing : Nur Intan Hayati H.K., S.Kep., Ners., M.Kep

KELOMPOK 2
4A
Puspa Sri Agustri AK118135 Senny Apriliani AK118165
Putu Jaya Arta AK118139 Sheila Syaadatul I AK118169
Rezty Zalza Putry AK118143 Sumirat Fitriandini AK118182
Rika Purnama Putri AK118147 Tia Sri Nurwahyuni AK118186
Ririn Noviyani AK118151 Tita AK118190
Rosliana AK118157 Wulan Yuanita AK118201
Salma Safrina A.R AK118161 Yeyet Sugiarti AK118205
Yulianti Nurmalasari AK118209

PROGAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
BANDUNG
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, pencipta


alam semesta beserta isinya yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulisan makalah dengan judul “Evidence Based
Practiceefektivitas : Guide Imagery Relaxation Terhadap Nyeri Kepala Pada
Pasien Cedera Kepala Ringan. ” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah di kampus Bhakti Kencana University. Selain
itu penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca makalah ini.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak/Ibu selaku
dosen karena tugas yang telah di berikan ini dapat menambah pengetahuan
dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan
terimakasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.

Bandung, 15 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 4
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penulisan................................................................................ 4
1.5 Batasan Masalah................................................................................... 4
BAB II KONSEP TEORI..................................................................................
2.1 Konsep Nyeri..................................................................... 5
2.2 CederaKepala.........................................................................................
19
2.3 Konsep Guided Imagery.........................................................................
25
BAB III EVIDENCE BASED PRACTICE....................................................
3.1 Step 0...................................................................................................31
3.2 Step 1...................................................................................................31
3.3 Step 2...................................................................................................31
3.4 Step 3...................................................................................................33
3.5 Step 4...................................................................................................45
3.6 Step 5...................................................................................................47
3.7 Step 6...................................................................................................47
BAB IV SIMPULAN........................................................................................
4.1 Simpulan...........................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................49

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak. Penyebab terjadinya cedera kepala salah satunya karena adanya benturan
atau kecelakaan. Cedera kepala mengakibatkan pasien dan keluarga mengalami perubahan
fisik maupun psikologis dan akibat paling fatal adalah kematian. Asuhan keperawatan pada
penderita cedera kepala memegang peranan penting terutama dalam pencegehan komplikasi
(Muttaqin, 2008)
Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi dan perdarahan. Hampir separuh dari
seluruh kematian akibat trauma disebabkan oleh cedera kepala.Cedera kepala merupakan
keaadan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat
dapat menekan morbiditas dan mortalitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya
rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya
pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna
kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran untuk
menjaga keselamatan di jalan raya (Baheram, 2007). Lebih dari 50% kematian disebabkan
oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang
mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang
yang selamat akan mengalami disabilitas permanen (Widiyanto, 2007).
Ada 1,25 juta kematian lalu lintas diseluruh dunia setiap tahunnya, dengan jutaan
lainnya menderita luka serius dan hidup dengan konsekuensi kesehatan jangka panjang yang
merugikan secara global, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama kematian di
kalangan anak muda, dan penyebab utama kematian diantara mereka yang berusia 15-29
tahun. Hampir setengah dari setengah kematian di jalan-jalan dunia termasuk di antara
mereka yang paling tidak memiliki pengaman pada pengendara sepeda motor, pengendara
sepeda dan pejalan kaki. Presentase jenis kelamin laki-laki lebih tinggi mengalami cedera
kepala disbanding dengan perempuan (WHO, 2015).

3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas kami merumuskan masalah yaitu
“Bagaimana Evidence Based Practice Guide Imagery Relaxation Terhadap Nyeri Kepala
Pada Pasien Cedera Kepala Ringan ?”

1.3 Tujuan Penulisan


Memenuhi tugas pada stase keperawatan medical bedah mengenai evidance based
practice Guide Imagery Relaxation Terhadap Nyeri Kepala Pada Pasien Cedera Kepala
Ringan.

1.4 Manfaat Penulisan


Makalah ini sekiranya dapat menambah wawasan mengenai Guide Imagery
Relaxation yang bisa di gunakan untuk mengatasi nyeri pada pasien cedera kepala ringan.

1.5 Batasan Masalah


Batasan masalah dalam makalah ini yaitu :
1. Memberikan pemahaman konsep teori dari cedera kepala, nyeri, dan guide imagery
relaxation.
2. Menampilkan tujuh tahapan dalam evidence based practice.
3. Memberikan beberapa referensi jurnal guide imagery relaxation terhadap nyeri
cedera kepala.
4. Memberikan pemahaman mengenai pengaruh guide imagery relaxation terhadap
nyeri cedera kepala.

4
BAB II
KONSEP TEORI

2.1 Nyeri
2.1.1 Definisi Nyeri
Nyeri merupaakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan, bersifat
sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda dalam hal skala
ataupun tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau
mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Tetty, 2015). Menurut Smeltzer &
Bare (2002), definisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang
menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada
kapanpun individu mengatakkannya. Nyeri sering sekali dijelaskan dan istilah
destruktif jaringan seperti ditusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi,
pada perasaan takut, mual dan mabuk. Terlebih, setiap perasaan nyeri dengan
intensitas sedang sampai kuat disertai oleh rasa cemas dan keinginan kuat untuk
melepaskan diri dari atau meniadakan perasaan itu. Rasa nyeri merupakan
mekanisme pertahanan tubuh, timbul bila ada jaringan rusak dan hal ini akan
menyebabkan individu bereaksi dengan memindahkan stimulus nyeri (Guyton &
Hall, 1997).
2.1.2 Teori Nyeri
1. Teori Intensitas (The Intensity Theory) Nyeri adalah hasil rangsangan yang
berlebihan pada receptor. Setiap rangsangan sensori punya potensi untuk
menimbulkan nyeri jika intensitasnya cukup kuat (Saifullah, 2015).
2. Teori Kontrol Pintu (The Gate Control Theory) Teori gate control dari
Melzack dan Wall (1965) menyatakan bahwa impuls nyeri dapat diatur dan
dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang system saraf pusat, dimana
impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat
saat sebuah pertahanan ditutup (Andarmoyo, 2013)
3. Teori Pola (Pattern theory) Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider
(1989), teori ini menjelaskan bahwa nyeri di sebabkan oleh berbagai reseptor
sensori yang di rangsang oleh pola tertentu, dimana nyeri ini merupakan akibat
dari stimulasi reseptor yang menghasilkan pola dari impuls saraf (Saifullah,
2015). Teori pola adalah rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal
medulla spinalis dan rangsangan aktifitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu

5
respon yang merangsang bagian yang lebih tinggi yaitu korteks serebri dan
menimbulkan persepsi, lalu otot berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri.
Persepsi dipengaruhi oleh modalitas respon dari reaksi sel T (Margono, 2014).
4. Endogenous Opiat Theory Teori ini dikembangkan oleh Avron Goldstein, ia
mengemukakan bahwa terdapat subtansi seperti opiet yang terjadi selama alami
didalam tubuh, subtansi ini disebut endorphine yang mempengaruhi transmisi
impuls yang diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine mempengaruhi
transmisi impuls yang diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine kemungkinan
bertindak sebagai neurotransmitter maupun neuromodulator yang menghambat
transmisi dari pesan nyeri (Hidayat, 2014).
2.1.3 Fisiologi Nyeri
Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya
rangsangan. Reseptor nyeri tersebar pada kulit dan mukosa dimana reseptor nyeri
memberikan respon jika adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut
dapat berupa zat kimia seperti histamine, bradikinin, prostaglandin dan macam-
macam asam yang terlepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat
kekurangan oksigen. Stimulasi yang lain dapat berupa termal, listrik, atau
mekanis (Smeltzer & Bare, 2002).
Nyeri dapat dirasakan jika reseptor nyeri tersebut menginduksi serabut
saraf perifer aferen yaitu serabut A-delta dan serabut C. Serabut Adelta memiliki
myelin, mengimpulskan nyeri dengan cepat, sensasi yang tajam, jelas
melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C tidak
memiliki myelin, berukuran sangat kecil, menyampaikan impuls yang
terlokalisasi buruk, visceral dan terus-menerus (Potter & Perry, 2005).
Ketika serabut C dan A-delta menyampaikan rangsang dari serabut
saraf perifer maka akan melepaskan mediator biokimia yang aktif terhadap
respon nyeri, seperti : kalium dan prostaglandin yang keluar jika ada jaringan
yang rusak. Transmisi stimulus nyeri berlanjut di sepanjang serabut saraf aferen
sampai berakhir di bagian kornu dorsalis medulla spinalis. Didalam kornu
dorsalis, neurotransmitter seperti subtansi P dilepaskan sehingga menyebabkan
suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer ke saraf traktus spinolatamus.
Selanjutnya informasi di sampaikan dengan cepat ke pusat thalamus (Potter &
Perry, 2005).

6
2.1.4 Jenis – Jenis Nyeri
Secara umum nyeri dibagi menjadi dua yaitu,
1. Nyeri Akut Nyeri Akut merupakan nyeri yang berlangsung dari beberapa
detik hingga kurang dari 6 bulan biasanya dengan awitan tiba-tiba dan umumnya
berkaitan dengan cidera fisik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau
cidera telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit
sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan.
Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu
bulan. Salah satu nyeri akut yang terjadi adalah nyeri pasca pembedahan
(Meliala & Suryamiharja, 2007).
2. Nyeri Kronik Nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermitern yang
menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu

7
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitakan dengan
penyebab atau cidera fisik. Nyeri kronis dapat tidak memiliki awitan yang
ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini
sering tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya (Strong, Unruh, Wright & Baxter, 2002). Nyeri kronik ini juga
sering di definisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau
lebih, meskipun enam bulan merupakan suatu periode yang dapat berubah untuk
membedakan nyeri akut dan nyeri kronis (Potter & Perry, 2005).
Berdasarkan lokasinya Sulistyo (2013) dibedakan nyeri menjadi,
1. Nyeri Ferifer
Nyeri ini ada tiga macam, yaitu :
a. Nyeri superfisial, yaitu nyeri yang muncul akibat rangsangan pada
kulit dan mukosa
b. Nyeri viseral, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat stimulasi dari
reseptor nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks.
c. Nyeri alih, yaitu nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh
dari penyebab nyeri.
2. Nyeri Sentral Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis,
batang otak dan talamus.
3. Nyeri Psikogenik Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan
kata lain nyeri ini timbul akibat pikiran si penderita itu sendiri.
2.1.5 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
1. Usia
Usia mempengaruhi seseorang bereaksi terhadap nyeri. Sebagai contoh anak-
anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata mengalami kesulitan
dalam mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan rasa nyarinya,
sementara lansia mungkin tidak akan melaporkan nyerinya dengan alasan nyeri
merupakan sesuatu yang harus mereka terima (Potter & Perry, 2006).
2. Jenis kelamin
Secara umum jenis kelamin pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna
dalam merespon nyeri. Beberapa kebudayaan mempengaruhi jenis kelamin
misalnya ada yang menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus 22 berani
dan tidak boleh menangis sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis
dalam situasi yang sama (Rahadhanie dalam Andari, 2015)

8
3. Kebudayaan Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengruhi individu
mengatasi nyeri.
Individu mempelajari apa yang ajarkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaan mereka (Rahadhanie dalam Andari, 2015).
4. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan
nyeri yang meningkat. Sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan
dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep
yang perawat terapkan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti
relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imaginary) dan mesase, dengan
memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain,
misalnya pengalihan pada distraksi (Fatmawati, 2011).
5. Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri. Namun nyeri juga
dapat menimbulkan ansietas. Stimulus nyeri mengaktifkan bagian system
limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang khususnya ansietas
(Wijarnoko, 2012). 23
6. Kelemahan
Kelemahan atau keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa
kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping (Fatmawati, 2011).
7. Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Apabila individu sejak
lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh maka
ansietas atau rasa takut dapat muncul. Sebaliknya jika individu mengalami
jenis nyeri yang sama berulang-ulang tetapi nyeri tersebut dengan berhasil
dihilangkan akan lebih mudah individu tersebut menginterpretasikan sensasi
nyeri (Rahadhanie dalam Andari, 2015).
8. Gaya koping
Gaya koping mempengaruhi individu dalam mengatasi nyeri. Sumber
koping individu diantaranya komunikasi dengan keluarga, atau melakukan
latihan atau menyanyi (Ekowati, 2012).
9. Dukungan keluarga dan social

9
Kehadiran dan sikap orang-orang terdekat sangat berpengaruh untuk
dapat memberikan dukungan, bantuan, perlindungan, dan meminimalkan
ketakutan akibat nyeri yang dirasakan, contohnya dukungan keluarga (suami)
dapat menurunkan nyeri kala I, hal ini dikarenakan ibu merasa tidak sendiri,
diperhatikan dan mempunyai semangat yang tinggi (Widjanarko, 2012).
10. Makna nyeri
Individu akan berbeda-beda dalam mempersepsikan nyeri apabila nyeri
tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan hukuman dan tantangan.
Misalnya seorang wanita yang bersalin akan mempersepsikan nyeri yang
berbeda dengan wanita yang mengalami nyeri cidera kepala akibat dipukul
pasangannya. Derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien
berhubungan dengan makna nyeri (Potter & Perry, 2006).
2.1.6 Manajemen Nyeri
1. Pendekatan farmakologi
Teknik farmakologi adalah cara yang paling efektif untuk menghilangkan
nyeri dengan pemberian obat-obatan pereda nyeri terutama untuk nyeri yang
sangat hebat yang berlangsung selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari.
Metode yang paling umum digunakan untuk mengatasi nyeri adalah analgesic
(Strong, Unruh, Wright & Baxter, 2002).
Menurut Smeltzer & Bare (2002), ada tiga jenis analgesik yakni:
a) Non-narkotik dan anti inflamasi nonsteroid (NSAID):
menghilangkan nyeri ringan dan sedang. NSAID dapat sangat berguna bagi
pasien yang rentan terhadap efek pendepresi pernafasan.
b) Analgesik narkotik atau opiad: analgesik ini umumnya diresepkan untuk
nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri pasca operasi. Efek samping
dari opiad ini dapat menyebabkan depresi pernafasan, sedasi, konstipasi,
mual muntah.
c) Obat tambahan atau ajuvant (koanalgesik): ajuvant seperti sedative, anti
cemas, dan relaksan otot meningkatkan control nyeri atau menghilangkan
gejala lain terkait dengan nyeri seperti depresi dan mual (Potter & Perry,
2006).
2. Intervensi Keperawatan Mandiri (Non farmakologi)
Intervensi keperawatan mandiri menurut Bangun & Nur’aeni (2013),
merupakan Tindakan pereda nyeri yang dapat dilakukan perawat secara mandiri

10
tanpa tergantung pada petugas medis lain dimana dalam pelaksanaanya perawat
dengan pertimbangan dan keputusannya sendiri. Banyak pasien dan anggota tim
kesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk
menghilangkan nyeri. Namun banyak aktifitas keperawatan nonfarmakologi yang
dapat membantu menghilangkan nyeri, metode pereda nyeri nonfarmakologi
memiliki resiko yang sangat rendah. Meskipun tidakan tersebut bukan merupakan
pengganti obat-obatan (Smeltzer & Bare, 2002).
a) Masase dan Stimulasi Kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum. Sering dipusatkan
pada punggung dan bahu. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman
(Smeltzer & Bare, 2002). Sedangkan stimulasi kutaneus adalah stimulasi
kulit yang dilakukan selama 3-10 menit untuk menghilangkan nyeri, bekerja
dengan cara melepaskan endofrin, sehingga memblok transmisi stimulus
nyeri (Potter & Perry, 2006). Salah satu teknik memberikan masase adalah
tindakan masase punggung dengan usapan yang perlahan (Slow stroke back
massage). Stimulasi kulit menyebabkan pelepasan endorphin, sehingga
memblok transmisi stimulus nyeri. Teori gate control mengatakan bahwa
stimulasi kulit mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A Beta yang
lebih besar dan lebih cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui
serabut C dan delta-A yang berdiameter kecil sehingga gerbang sinaps
menutup transmisi implus nyeri (Potter & Perry, 2006). Penelitian yang
dilakukan oleh lestari (2015), tentang tentang pemanfaatan stimulasi
kutaneus (Slow Stroke Back Massage) menunjukan ada pengaruh stimulasi
kutaneus (slow stroke back massage) terhadap intensitas nyeri haid pada
siswi kelas XI SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta.
b) Efflurage Massage Effleurage adalah bentuk masase dengan menggunakan
telapak tangan yang memberi tekanan lembut ke atas permukaan tubuh
dengan arah sirkular secara berulang (Reeder dalam Parulian, 2014).
Langkah-langkah melakukan teknik ini adalah kedua telapak tangan
melakukan usapan ringan, tegas dan konstan dengan pola gerakan
melingkari abdomen, dimulai dari abdomen bagian bawah di atas simphisis
pubis, arahkan ke samping perut, terus ke fundus uteri kemudian turun ke
umbilicus dan kembali ke perut bagian bawah diatas simphisis pubis, bentuk
pola gerakannya seperti “kupu-kupu”. Masase ini dilakukan selama 3–5 27

11
menit dan berikan lotion atau minyak/baby oil tambahan jika dibutuhkan
(Berman, Snyder, Kozier, dan Erb, 2009). Effleurage merupakan teknik
masase yang aman, mudah untuk dilakukan, tidak memerlukan banyak alat,
tidak memerlukan biaya, tidak memiliki efek samping dan dapat dilakukan
sendiri atau dengan bantuan orang lain (Ekowati, 2011).
c) Distraksi Distraksi yang memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain
pada nyeri dapat menjadi strategi yang sangat berhasil dan mungkin
merupakan mekanisme terhadap teknik kognitif efektif lainnya. Distraksi
diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem
kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang
ditransmisikan ke otak (Smeltzer and Bare, 2002). Beberapa sumber-sumber
penelitian terkait tentang teknik distraksi yang ditemukan peneliti sejauh ini
efektif diterapkan pada pasien anak-anak terutama usia prasekolah
sebagaimana dalam penelitian Pangabean pada tahun (2014), menurut
Pangabean salah satu teknik distraksi adalah dengan bercerita dimana teknik
distraksi bercerita merupakan salah satu strategi non farmakologi yang dapat
menurunkan nyeri. Hal ini terbukti pada penelitiannya dimana teknik
distraksi dengan bercerita efektif dalam menurunkan nyeri anak usia
prasekolah pada pemasangan infus yakni dari nyeri skala 3 ke nyeri 28 skala
2. Sartika, Yanti, Winda (2015), menambahkan salah satu teknik distraksi
yang dapat dilakukan dalam penatalaksanaan nyeri lainnya adalah dengan
menonton film cartun animasi, dimana ini terbukti dalam penelitiannya
bahwa dengan diberikan distraksi berupa menonton film cartun animasi
efektif dalam menurunkan nyeri anak usia prasekolah saat pemasangan
infus.
d) Terapi Musik Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan
mental dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni,
bentuk dan gaya yang diorganisir sedemikian rupa hingga tercipta musik
yang bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental (Eka, 2011). Perawat
dapat menggunakan musik dengan kreatif di berbagai situasi klinik, pasien
umumnya lebih menyukai melakukan suatu kegiatan memainkan alat musik,
menyanyikan lagu atau mendengarkan musik. Musik yang sejak awal sesuai
dengan suasana hati individu, merupakan pilihan yang paling baik (Elsevier
dalam Karendehi, 2015). Musik menghasilkan perubahan status kesadaran

12
melalui bunyi, kesunyian, ruang dan waktu. Musik harus didengarkan
minimal 15 menit supaya dapat memberikan efek terapiutik. Dalam keadaan
perawatan akut, mendengarkan musik dapat memberikan hasil yang sangat
efektif dalam upaya mengurangi nyeri (Potter & Perry, 2005). 29
e) GIM (Guided Imagery Music) GIM (Guided Imagery Music) merupakan
intervensi yang digunakan untuk mengurangi nyeri. GIM mengombinasikan
intervensi bimbingan imajinasi dan terapi musik. GIM dilakukan dengan
memfokuskan imajinasi pasien. Musik digunakan untuk memperkuat
relaksasi. Keadaan relaksasi membuat tubuh lebih berespons terhadap
bayangan dan sugesti yang diberikan sehingga pasien tidak berfokus pada
nyeri (Suarilah, 2014). Hasil Penelitian dari Suarilah, Wahyuni & Fahlufi
(2014) tentang “Guided Imagery dan Music (GIM) Menurunkan Intensitas
Nyeri Pasien Post Sectio Caesaria” pada 30 responden didapatkan hasil
bahwa GIM terbukti dapat menurunkan intensitas nyeri pasien post SC di
RSUP NTB. GIM direkomendasikan sebagai intervensi mandiri
keperawatan untuk mengurangi nyeri post SC.
f) Terapi Musik Klasik (Mozart) Pada dewasa ini banyak jenis musik yang
dapat diperdengarkan namun musik yang menempatkan kelasnya sebagai
musik bermakna medis adalah musik klasik karena musik ini maknitude
yang luar biasa pada perkembangan ilmu kesehatan, diantaranya memiki
nada yang lembut, nadanya memberikan stimulasi gelombang alfa,
ketenangan dan membuat pendengarnya lebih rileks (Dofi dalam Liandari,
2015). 30 Penelitian yang dilakukan oleh Liandari, Hendra dan Parjo tentang
pemberian terapi musik mozart terhadap intensitas nyeri haid pada remaja
putri di SMA Negeri 1 Pontianak pada tahun 2015 skala nyeri yang dialami
remaja putri sebelum pemberian terapi musik klasik (mozart) yaitu skala
nyeri sedang (68,4%). Sedangkan skala nyeri yang dialami remaja putri
setelah pemberian terapi musik klasik (mozart) terbanyak pada nyeri ringan
(47,4%). Maka terdapat pengaruh terapi musik klasik (mozart) terhadap
penurunan intensitas nyeri haid (dismenore) pada remaja putri di SMA
Negeri 1 Pontianak tahun 2015.
g) Hidroterapi Rendam Kaki Air Hangat Salah satu terapi nonfarmakologi
adalah hidroterapi rendam kaki air hangat. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Widiastuti pada tahun 2015 tentang pengaruh hidroterapi

13
rendam kaki air hangat terhadap 17 pasien post operasi di RS Islam Sultan
Agung Semarang terdapat penurunan intensitas nyeri dari sebelum diberikan
4,06 dan setelah diberikan intensitas nyeri menjadi 2,71 dan terdapat
pengaruh hodroterapi rendam kaki air hangat terhadap penurunan nyeri
pasien post operasi dengan nilai p value 0,003 (p value
h) h) Teknik Relaksasi Nafas Dalam Teknik relaksasi nafas dalam merupakan
suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan
kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat
(menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas
secara perlahan, selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi
bernafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan
oksigenasi darah. Teknik relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri
dengan meminimalkan aktivitas simpatik dalam system saraf otonom
(Fitriani, 2013). Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan
perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan
menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (hirup) dan
ekhalasi (hembus) (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Huges dkk dalam
Fatmawati (2011), teknik relaksasi melalui olah nafas merupakan salah satu
keadaan yang mampu merangsang tubuh untuk membentuk sistem penekan
nyeri yang akhirnya menyebabkan penurunan nyeri, disamping itu juga
bermanfaat untuk pengobatan penyakit dari dalam tubuh meningkatkan
kemampuan fisik dan keseimbangan tubuh dan pikiran, karena olah nafas
dianggap membuat tubuh menjadi rileks sehingga berdampak pada
keseimbangan tubuh dan pengontrolan tekanan darah.
i) Imajinasi Terbimbing (Guided Imagery) Imajinasi terbimbing adalah
menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara
khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Sebagai contoh, imajinasi
terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas
penggabungan 32 nafas berirama lambat dengan suatu bayangan mental
relaksasi dan kenyamanan (Smeltzer & Bare, 2002). Prosedurnya yaitu
ciptakan lingkungan yang tenang, jaga privasi pasien, usahakan tangan dan
kaki pasien dalam keadaan rileks, minta pasien untuk memejamkan mata
dan usahakan agar pasien berkonsentrasi, minta pasien menarik nafas
melalui hidung secara perlahan-lahan sambil menghitung dalam hati “hirup,

14
dua, tiga”, selama pasien memejamkan mata kemudian minta pasien untuk
membayangkan hal-hal yang menyenangkan atau keindahan, minta pasien
untuk menghembuskan udara melalui mulut dan membuka mata secara
perlahan-lahan sambil menghitung dalam hati “hembuskan, dua, tiga”, minta
pasien untuk mengulangi lagi sama seperti prosedur sebelumnya sebanyak
tiga kali selama lima menit (Patasik, Tangka & Rottie, 2013).
j) Aromaterapi Aromaterapi merupakan penggunaan ekstrak minyak esensial
tumbuhan yang digunakan untuk memperbaiki mood dan kesehatan
(Primadiati, 2002). Mekanisme kerja perawatan aromaterapi dalam tubuh
manusia berlangsung melalui dua sistem fisiologis, yaitu sirkulasi tubuh dan
sistem penciuman. Wewangian dapat mempengaruhi kondisi psikis, daya
ingat, dan emosi seseorang. Beberapa jenis aromaterapi yang digunakan
dalam menurunkan intensitas nyeri adalah aromaterapi lemon dan
aromaterpi lavender. Aromaterapi lemon merupakan jenis aroma terapi yang
dapat digunakan untuk mengatasi nyeri dan cemas. Zat yang terkandung
dalam lemon salah satunya adalah linalool yang berguna untuk menstabilkan
sistem saraf sehingga dapat menimbulkan efek tenang bagi siapapun yang
menghirupnya (Wong dalam Purwandari, 2014). Aromaterapi selain lemon
untuk pereda nyeri lainnya adalah aromaterapi lavender. Aromaterapi
lavender bermanfaat untuk relaksasi, kecemasan, mood, dan pada pasca
pembedahan menunjukkan terjadinya penurunan kecemasan, perbaikan
mood, dan terjadi peningkatan kekuatan gelombang alpha dan beta yang
menunjukkan peningkatan relaksasi. Gelombang alpha sangat bermanfaat
dalam kondisi relaks mendorong aliran energi kreativitas dan perasaan segar
dan sehat (Bangun, 2013). Kondisi gelombang alpha ideal untuk
perenungan, memecahkan masalah, dan visualisasi, bertindak sebagai
gerbang kreativitas seseorang. Minyak lavender adalah salah satu
aromaterapi yang terkenal memiliki efek menenangkan. Menurut penelitian
yang dilakukan terhadap tikus, minyak lavender memiliki efek sedasi yang
cukup baik dan dapat menurunkan aktivitas motorik mencapai 78%,
sehingga sering digunakan untuk manajemen stres. Beberapa tetes minyak
lavender dapat membantu menanggulangi insomnia, memperbaiki mood
seseorang, dan memberikan efek relaksasi (Bangun, 2013).

15
k) Kompres Dingin Metode sederhana yang dapat di gunakan untuk
mengurangi nyeri yang secara alamiah yaitu dengan memberikan kompres
dingin pada area nyeri, ini merupakan alternatif pilihan yang alamiah dan
sederhana yang dengan cepat mengurangi rasa nyeri selain dengan memakai
obat-obatan. Terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan
memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang
mencapai otak lebih sedikit (Price, Sylvia & Anderson dalam Rahmawati,
2014). Kompres dingin merupakan suatu prosedur menempatkan suatu
benda dingin pada tubuh bagian luar. Dampak fisiologisnya adalah
vasokontriksi pada pembuluh darah, mengurangi rasa nyeri, dan
menurunkan aktivitas ujung saraf pada otot (Tamsuri, 2007). Sensasi dingin
diberikan pada sekitar area yang terasa nyeri, pada sisi tubuh yang
berlawanan yang berhubungan dengan lokasi nyeri. Setiap klien akan
memiliki respons yang berbeda-beda terhadap area yang diberikan terapi.
Terapi yang diberikan dekat dengan area yang terasa nyeri cenderung
bekerja lebih baik (Potter & Perry, 2005). Menurut pendapat Novita dalam
Supriadi (2014), pada umumnya dingin lebih mudah menembus jaringan
dibandingkan dengan panas. Ketika otot sudah mengalami penurunan suhu
akibat aplikasi dingin, efek dingin dapat bertahan lebih lama dibanding
dengan panas karena adanya lemak subkutan yang bertindak sebagai
insulator, di sisi lain lemak subkutan merupakan barrier utama energi dingin
untuk menembus otot. Dalam bidang keperawatan kompres dingin banyak
digunakan untuk mengurangi rasa nyeri. Dingin memberikan efek fisiologis
yakni menurunkan respon inflamasi, menurunkan aliran darah dan
mengurangi edema, mengurangi rasa nyeri lokal (Tamsuri, 2007).
l) Kompres Hangat Kompres hangat adalah suatu metode dalam penggunaan
suhu hangat yang dapat menimbulkan efek fisiologis (Anugraheni, 2013).
Kompres hangat dapat digunakan pada pengobatan nyeri dan
merelaksasikan otot-otot yang tegang (Price, Sylvia & Wilson, 2005).
Kompres hangat dilakukan dengan mempergunakan buli-buli panas atau
kantong air panas secara konduksi dimana terjadi pemindahan panas dari
buli-buli ke dalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh
darah dan akan terjadi penurunan ketegangan otot sehingga nyeri yang
dirasakan akan berkurang atau hilang (Smalzer & Bare, 2002). Kompres

16
hangat memiliki beberapa pengaruh meliputi melebarkan pembuluh darah
dan memperbaiki peredaran daerah di dalam jaringan tersebut, pada otot
panas memiliki efek menurunkan ketegangan, meningkatkan sel darah putih
secara total dan fenomena reaksi peradangan serta adanya dilatasi pembuluh
darah yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah serta peningkatan
tekanan kapiler. Tekanan oksigen dan karbondioksida didalam darah akan
meningkat sedangkan derajat keasaman darah akan mengalami penurunan
(Anugraheni,2013). Penggunaan kompres air hangat dapat membuat
sirkulasi darah lancar, vaskularisasi lancar dan terjadi vasodilatasi yang
membuat relaksasi pada otot karena otot mendapat nutrisi berlebih yang
dibawa oleh darah sehingga kontraksi otot menurun. Kompres hangat
dengan suhu 50 C – 0 C mengakibatkan terjadinya vasodilatasi yang bisa
membuka aliran darah membuat sirkulasi darah lancar kembali sehingga
terjadi relaksasi pada otot mengakibatkan kontraksi otot menurun
(Anugraheni, 2013).
m) Tehnik Akuplesur Akhir-akhir ini terapi non farmakologi banyak menjadi
pilihan masyarakat terutama ibu bersalin untuk mengatasi nyeri persalinan.
Terapi non farmakologi yang juga sering disebut sebagai terapi
komplementer, salah satunya adalah teknik akupresur titik pada tangan,
memiliki banyak kelebihan antara lain mudah diterapkan dan cukup aman
(tidak menimbulkan resiko) dibanding terapi farmakologi. Akupresur
disebut juga akupunktur tanpa jarum, atau pijat akupunktur. Teknik ini
menggunakan tenik penekanan, pemijatan, dan pengurutan sepanjang
meridian tubuh atau garis aliran energi. Teknik akupresur ini dapat
menurunkan nyeri. Sedangkan teknik akupresur titik pada tangan yaitu
dilakukan pada titik yang terletak sepanjang lipatan tangan ketika jari-jari
menyatu pada telapak 37 tangan. Titik ini membantu pelepasan endorphin
ke dalam tubuh sehingga sangat membantu untuk menurunkan nyeri saat
kontraksi (Suroso, 2013). Menurut Wang dkk dalam Triastuti (2013),
akuplesur telah terbukti sebanding ibuprofen (NSAID’s) selain itu,
akuplesur dapat memberikan manfaat preventif dan kuratif, mudah, murah,
efektif, dapat dilakukan siapa saja bahkan oleh diri sendiri dan kapan saja.
Ada beberapa cara pemijatan akupresur yang dapat dilakukan (Depkes
dalam Triastuti, 2013):

17
1. Menggunakan alat pijat berupa jari tangan (jempol, telunjuk, atau
jari lainnya).
2. Pijatan dapat dilakukan dengan ditekan-tekan dan di putar-putar atau
diurut sepanjang meridian. Untuk bayi di bawah umur 1 tahun,
sebaiknya dilakukan pengobatan dengan mengeulus elus (meraba)
perjalanan meridian saja dan jangan dipijat seperti orang dewasa.
3. Pijatan bisa dimulai setelah menemukan titik pijatan yang tepat,
yaitu timbulnya reaksi pada titik pijat yang berupa rasa nyeri atau
pegal.
4. Reaksi pijatan, setiap pemberian rangsangan terhadap titik pijat akan
memberikan reaksi, oleh karena itu untuk perangsangan atau pemijatan
yang akan dilakukan harus diperhitungkan secara cermat, reaksi apa
yang ditimbulkan, reaksi penguatan (yang) atau 38 reaksi (yin). Bila
pijatan yang bereaksi yang maka dapat dilakukan selama 30 kali
tekanan atau putaran, sedangkan reaksi yin dilakukan pemijatan lebih
dari 40 kali. Menurut Hartono dalam Triastuti (2013), dalam pemijatan
sebaiknya jangan terlalu keras dan pemijatan yang benar harus dapat
menciptakan sensasi rasa (nyaman, pegal, panas, gatal, perih,
kesemutan dan sebagainya) sehingga dapat merangsang keluarnya
hormone endorphrin (hormone sejenis morfin yang dihasilkan tubuh
untuk memberikan rasa tenang).
5. Arah pijatan mengikuti arah putaran jarum jam atau searah dengan
jalannya meridian dan arah pemijatan dapat juga disesuaikan dengan
sifat penyakit yang di derita.
n) Dzikir Khafi Secara etimologi dzikir berasal dari bahasa arab “zakara” yang
berarti menyebut atau mengingat-ingat. Secara istilah dzikir berarti
membasahi lidah dengan ucapan-ucapann pujian kepada Allah SWT
(Khoirul & Reza dalam Jauhari, 2014). Dzikir khafi merupakan dzikir
didalam qalbu yang merupakan penggerak emosi perasaan, dzikir ini muncul
melalui rasa, yaitu rasa tentang penzahiran keaguangan dan keindahan Allah
SWT (Jailani dalam Hidayat, 2014). Menurut Hidayat 2014, seseorang yang
melakukan dzikir dapat menghasilkan beberapa efek medis dan psikologis
yaitu akan menyeimbangkan keseimbangan kadar serotonin atau
neropineprine di dalam tubuh, dimana fenomena ini merupakan morfin

18
alami yang bekerja di dalam otak serta akan menyebabkan hati dan pikiran
menjadi tenang dibandingkan sebelum dzikir. Otot-otot tubuh mengendur
terutama otot bahu yang sering menyebabkan ketegangan psikis. Hal
tersebut merupakan salah satu bentuk karunia Allah yang sangat berharga
yang berfungsi sebagai zat pengurang nyeri di dalam otak manusia. Bentuk-
bentuk dzikir yang bersumber dari Al-Qur’an:
1. Asma Allah (Allahu)
2. Tasbih (Sbhanallah)
3. Takbir (Allahu akbar)
4. Tahlil (La ilaha illa Allah)
5. Basmalah ( Bismillahirohmannirrohim)
6. Istiqhfar (Astaghfirullah)
7. Hawqalah (La hawla wala quwwata illa billah) 8. Tahmid (Al-
hamdulillah)
o) Terapi Al-Qur’an Al-Quran berfungsi sebagai sistem perbaikan (service
system) baik yang bersifat fisik maupun psikis, yang dikenal sebagai syifa’
yang berarti obat, penyembuh, dan penawar (Mirza, 2014). Salah satu terapi
spiritual yang biasa dilakukan adalah dengan mendengarkan lantunan ayat-
ayat suci Al Quran atau disebut dengan istilah murrotal. Lantunan ayat suci
Al Quran mampu memberikan efek relaksasi karena dapat mengaktifkan
hormone endorfin, meningkatkan perasaan rileks, mengalihkan perhatian
dari rasa takut, cemas, dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh
sehingga menurunkan tekanan darah, dan memperlambat pernapasan
(Sumaryani & Sari, 2015). Pemberian terapi Al-Qur’an memberikan efek
non farmakologi adjuvan dalam mengatasi nyeri. Terapi bacaan Al-Qur’an
sejalan dengan teori nyeri: a balance between analgesia and side effect yang
menyatakan bahwa pemberian analgetik akan memberikan efek samping
sehingga dibutuhkan terapi komplementer. Terapi bacaan AlQur’an yang
diperdengarkan melalui tape recorder akan memberikan efek gelombang
suara dan selanjutnya getaran suara ini akan mampu memberikan perubahan
sel-sel tubuh, sel kulit dan jantung. Getaran ini akan masuk ke dalam tubuh
dan mengubah perubahan resonan baik partikel, cairan tubuh. Getaran
resonan akan menstimulasi gelombang otak dan mengaktifkan jalur pressure
nyeri. Jalur ini akan memberikan blokade neurotransmitter nyeri akan

19
memberikan efek ketenangan dan mengurangi nyeri akut dan relaksasi
(Hidayah, Maliya, dan Nugroho, 2013). Berdasarkan penelitian bahwa
AlQur’an yang diperdengarkan akan memberikan efek relaksasi sebesar
65% (Alkahel, 2011).
2.2 Cedera Kepala
2.2.1 Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala atau traumatic brain injury didefinisikan sebagai cedera kepala
yang melibatkan scalp atau kulit kepala, tulang tengkorak, dan tulang-tulang
yang membentuk wajah atau otak (Asrid C. Awaloei., dkk, 2016). Cedera kepala
merupakan adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran (Wijaya dan Putri, 2013). Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik.
2.2.2 Klasifikasi Cedera Kepala
Glasglow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera kepala. Penilaian GCS terdiri atas 3 komponen diantaranya respon
membuka mata, respon motorik dan respon verbal. Berikut merupakan tabel dari
penilaian GCS :

20
Menurut Tarwoto (2012), berdasarkan skor GCS diatas cedera kepala
berdasarkan berat ringannya dikelompokkan menjadi :
a) Cedera kepala ringan Kriteria cedera kepala ini adalah nilai GCS antara 14-15,
dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur
tengkorak, kontusio atau hematom dan amnesia post trauma kurang dari 1 jam.
b) Cedera kepala sedang Pada cedera kepala ini nilai GCS antara 9-13, atau GCS
lebih dari 12 ada lesi operatif intrakranial atau abnormal CT-Scan, hilang
kesadaran antara 30 menit s.d 24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak, dan
amnesia post trauma 1 sampai 24 jam.
c) Cedera kepala berat Kriteria cedera kepala ini adalah nilai GCS antara 3-8, hilang
kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya
hematom, edema serebral dan amnesia post trauma lebih dari 7 hari.

2.2.3 Etiologi
Penyebab trauma kepala menurut Wijaya dan Putri (2013), yaitu :
1) Trauma tajam Trauma oleh benda tajam menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contosio serebral, hematom
serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.

21
2) Trauma tumpul Trauma oleh benda tumpul menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi) kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk cedera
akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar hemoragic kecil
multiple pada otak terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang
otak atau kedua-duanya.
2.2.4 Patofisiologi
Cedera kepala ringan terjadi karena adanya benturan atau daya yang mengenai
kepala secara tiba tiba. Cedera kepala ringan dapat terjadi melalui 2 mekanisme,
yaitu ketika kepala secara langsung kontak dengan benda atau obyek dan
mekanisme akselerasi-deselerasi. Pada patofisiologi cedera kepala ringan, dibagi
menjadi kerusakan primer dan kerusakan sekunder, yaitu :
1. Kerusakan primer, yaitu kerusakan otak yang timbul pada saat cedera,
sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan.
Kerusakan dapat berupa fokal atau difusi.
2. Kerusakan sekunder, yaitu kerusakan otak yang timbul akibat komplikasi
dari kerusakan primer termasuk kerusakan oleh karena hipoksia, iskemia,
pembengkakan otak, peninggian TIK, hidrosefalus dan infeksi. Berdasarkan
mekanismenya kerusakan ini dapat dikelompokkan atas dua, yaitu kerusakan
hipoksi-iskemi menyeluruh dan pembengkakan otak menyeluruh.

22
2.2.5 Manifestasi Klinis
Berdasarkan anatomis
1. Gegar otak (comutio selebri)
 Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesa
daran
 Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa detik/menit
 Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
 Kadang amnesia retrogard
2. Edema serebri
 Pingsan lebih dari 10 menit
 Tidak ada kerusakan jaringan otak
 Nyeri kepala, vertigo, muntah
3. Memar otak (kontusio selebri)

23
 Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi tergantung l
okasi dan derajad
 Pecah dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
 Peningkatan tekanan intracranial (PTIK)
 Penekanan batang otak
 Penurunan kesadaran
 Edema jaringan otak
 Defisit neurologis
 Herniasi
4. Laserasi
a) Hematoma Epidural
“talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan, merupa
kan periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa jam, menyebab
kan penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda hernia):
 kacau mental → koma
 gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
 pupil isokhor → anisokhor
b) Hematoma subdural
 Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid, biasanya ka
rena aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.
 Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan epidura
 Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan berbula
n-bulan
 Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
 perluasan massa lesi
 peningkatan TIK
 sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
 disfasia
c) Perdarahan sub arachnoid
 Nyeri kepala hebat
 Kaku kuduk
Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)

24
1. Cidera kepala Ringan (CKR)
 GCS 13-15
 Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
 Tidak ada fraktur tengkorak
 Tidak ada kontusio celebral, hematoma
2. Cidera Kepala Sedang (CKS)
 GCS 9-12
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari 2
4 jam
 Dapat mengalami fraktur tengkorak
3. Cidera Kepala Berat (CKB)
 GCS 3-8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
 Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang


Beberapa pemeriksaan penunjang menurut (Workman, 2010) pada pasien dengan
cedera kepala meliputi :
1. CT–Scan
Indikasi CT Scan adalah :
a) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat-obatan analgesia atau antimuntah.
b) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
c) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena syok,
febris, dll).
d) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
e) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
f) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
2. MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang memiliki
abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI telah terbukti lebih

25
sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragik
cedera aksonal.
3. EEG
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk membantu dalam
diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat perkembangan gelombang
yang patologis. Dalam sebuah studi landmark pemantauan EEG terus menerus pada
pasien rawat inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif
tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa
perlambatan yang parah pada pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan
gelombang delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk
pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.
4. X–Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan
atau edema), fragmen tulang.
5. CSF, Lumbal Punksi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
6. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
7. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrakranial (Musliha, 2010).
8. Screen toxilogy
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
9. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural
10. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan status repirasi.
Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status
oksigenasi dan status asam basa

2.2.7 Komplikasi
1) Epilepsi Pasca Trauma

26
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu
setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa saja baru
terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar
10% penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di
kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala. Obat-
obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat
mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada seseorang
yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang.
Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang
tak terhingga.
2) Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya
cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau
mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah
lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan
pada bagian manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau
infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
3) Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan a
tau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh ker
usakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyak
it yang mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4) Agnosis
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan se
buah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal d
ari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalny
a dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mere
ka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah kela
inan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda pe
nting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera setelah terjadinya ced
era kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami p
erbaikan secara spontan.
5) Amnesia

27
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristi
wa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih
belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya i
ngatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retro
grad) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca t
rauma). Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (ter
gantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada ceder
a otak yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap. Mekanisme otak untuk menerima inf
ormasi dan mengingatnya kembali dari memori terutama terletak di dalam lobus oksip
italis, lobus parietalis dan lobus temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap merupakan
serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang terjadi secara mendadak dan berat. 
Serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Alkoholi
k dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut sindro
ma Wernicke-Korsakoff. Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalo
pati) dan amnesia yang berlangsung lama. Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan deng
an ensefalopati Wernicke. Amnesia Korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala
yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis akut. 
6) Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul segera
atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi diagn
osis dan terapi dengan oklusi balon endovaskuler untuk mencegah hilangnya pengliha
tan yang permanent.
7) Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentia
n sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin e
ncer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum. 
8) Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setel
ah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kej
ang dini menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus
dipertahankan dengan antikonvulsan.
9) Kebocoran cairan serebrospinal 
Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan
cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah

28
beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Wala
upun pasien ini memiliki risiko meningitis yang meningkat, pemberian antibiotic profi
laksis masih controversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap ata
u meningitis berulang merupakan indikasi untuk reparative.
10) Edema serebral dan herniasi 
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK,  Puncak edema terjadi 72 Jam setelah c
edera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan gejala klini
s adanya peningkatan TIK. Penekanan dikranium dikompensasi oleh tertekannya veno
sus & cairan otak bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran d
arah otak menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak. La
ma-lama terjadi pergeseran supratentorial dan menimbulkan herniasi. Herniasi akan m
endorong hemusfer otak kebawah / lateral dan menekan di enchephalon dan batang ot
ak, menekan pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor, jalur saraf corti
cospinal, serabut RES. Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan g
agal.
11) Defisit Neurologis dan Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TIK kesadaran, Nyeri kepala heb
at, Mual / muntah  proyektil (tanda dari peningkatan TIK).
2.3 Konsep Guided Imagery
2.3.1 Definisi Guided Imagery
Guided imagery atau imajinasi terbimbing adalah upaya untuk
menciptakan kesan dalam pikiran pasien kemudian berkonsentrasi dalam kesan
tersebut sehingga secara bertahap dapat menurunkan persepsi pasien terhadap
nyeri (Prasetyo, 2010). Guided imagery adalah proses yang menggunakan
kekuatan pikiran dengan menggerakkan tubuh untuk menyembuhkan diri dan
memelihara kesehatan atau rileks melalui komunikasi dalam tubuh melibatkan
semua indera meliputi sentuhan, penciuman, penglihatan, dan pendengaran
(Potter & Perry, 2005).
Guided imagery adalah metode relaksasi untuk
mengkhayalkan atau mengimajinasikan tempat dan kejadian berhubungan
dengan rasa relaksasi yang menyenangkan (Kaplan & Sadock, 2010). Waktu
yang digunakan untuk pelaksanaan guided imagery 10-15 menit (Snyder,
2008). Teknik guided imagery digunakan untuk mengelola koping dengan
cara berkhayal atau membayangkan sesuatu yang dimulai dengan proses

29
relaksasi pada umumnya yaitu meminta kepada pasien untuk perlahan-lahan
menutup matanya dan fokus pada nafas mereka, pasien didorong untuk
relaksasi mengosongkan pikiran dan memenuhi pikiran dengan bayangan
untuk membuat damai dan tenang (Smeltzer & Bare, 2008).
2.3.2 Mekanisme fisiologi Guided imagery
Guided imagery memberikan efek rileks dengan menurunkan ketegangan otot
sehingga nyeri akan berkurang. Dalam keadaan rileks tersebut secara alamiah
akan memicu pengeluaran hormon endorfin. Hormon ini merupakan analgesik
alami dari tubuh yang terdapat pada otak, spinal, dan traktus gastrointestinal
(Tamsuri A, 2006). Relaksasi (guided imagery) ini dengan imajinasi positif
melemahkan psikoneuroimmunologi yang mempengaruhi respon nyeri. Respon
nyeri dipicu ketika situasi atau peristiwa (nyata atau tidak) mengancam fisik
atau kesejahteraan emosional atau tuntunan dari sebuah situasi melebihi
kemampuan seseorang, sehingga dengan imajinasi diharapkan dapat merubah
situasi dari respon negatif yaitu ketakutan dan kecemasan menjadi gambaran
positif yaitu penyembuhan dan kesejahteraan (Snyder, 2006). Respon
emosional terhadap situasi, memicu sistem limbik dan perubahan sinyal
fisiologis pada sistem saraf perifer dan otonom yang mengakibatkan nyeri
(Snyder, 2006). Mekanisme imajinasi positif dapat melemahkan
psikoneuroimmunologi yang mempengaruhi respon nyeri (Hart, 2008).
2.3.3 Tata cara pemberian Guided imagery – Hipnoterapi
1) Pra-induksi (Pre-induction) (Interview) Pada tahap ini merupakan
pertama kali terapis bertemu dengan klien. Disini terapis akan mulai
membangun hubungan baik (raport) dengan klien, sehingga klien
mempercayakan masalahnya pada terapis. Terapis berusaha untuk
menghilangkan rasa takut kien pada hipnoterapi, menjelaskan hipnoterapi
serta menjawab semua pertanyaan klien. Sebelumnya, terapis harus dapat
menggali aspek-aspek psikologis dari klien, antara lain hal yang diminati
dan tidak diminati, apa yang diketahui klien tentang hipnoterapi dan
sebagainya. Pra induksi dapat berupa percakapan ringan, saling
berkenalan, serta hal-hal lain yang bersifat mendekatkan terapis secara
mental kepada klien. Terapis juga akan membangun pengharapan mental
klien terhadap masalah yang dihadapinya. Prainduksi merupakan tahapan

30
yang sangat penting karena seringkali kegagalan proses hipnoterapi
disebabkan oleh proses pra-induksi yang tidak tepat.
2) Tes Sugestibilitas (suggestibility test) Maksud dari tes sugestibilitas
adalah untuk menentukan apakah klien masuk ke dalam orang yang
mudah menerima sugesti atau tidak. Selain itu, tes sugestibilitas juga
berfungsi untuk pemanasan dan menghilangkan rasa takut terhadap
proses hipnoterapi. Tes sugestibilitas juga membantu terapis dalam
menentukan teknik induksi paling baik bagi klien.
3) Induksi (induction) Induksi adalah cara yang digunakan oleh terapis
untuk membawa pikiran klien berpindah dari pikiran sadar ke pikiran
bawah sadar, dengan menembus apa yang dikatakan dengan critical area.
Saat tubuh rileks, pikiran juga menjadi rileks, maka frekuensi gelombang
otak klien akan turun dari beta, alfa, kemudian theta. Semakin turun
gelombang otak, klien akan semakin rileks hingga berada dalam kondisi
trans. Inilah yang dinamakan dengan kondisi terhipnotis. Terapis akan
mengetahui kedalaman trans melakukan deepthlevel test.
4) Pendalaman trans (Deepening) Jika dianggap perlu, terapis akan
membawa klien ke trans yang lebih dalam. Proses ini dinamakan
deepening.
5) Sugesti (Suggestion) Terapis disini akan memberikan sugesti-sugesti
positif yang bersifat mengobati pada klien. Sugesti-sugesti ini yang
diharapkan akan tertanam dalam pikiran bawah sadar klien dan
menghasilkan peerubahan positif terhadap masalah klien. Pada saat klien
masih berada dalam kondisi trans, terapis akan memberikan post hypnotic
suggestion. Sugesti ini diberikan kepada klien pada saat proses hipnotis
masih berlangsung dan diharapkan terekam terus oleh pikiran bawah
sadar klien meskipun telah keluar dari proses hipnotis. Post hypnotic
suggestion adalah salah satu unsur terpenting dalam proses hipnoterapi.
6) Terminasi (Termination) Akhirnya dengan teknik yang tepat, terapis
secara perlahanlahan akan membangunkan klien dari “tidur” hipnotisnya
dan membawanya ke keadaan sepenuhnya sadar.

31
BAB III

EVIDANCE BASED PRACTICE

3.1 Step 0: Menumbuhkan Semangat Penyelidikan / Cultive a Spirit of Inquiry


1. Bagaimana efektivitas guide imagery terhadap nyeri akibat cedera kepala?

3.2 Step 1: Mengajarkan Pertanyaan PICO(T)/ Ask Clinical Questions in PICOT


format
P (Problem/ population): Cedera Kepala
I (Intervention) : Guide Imagery
C (Comparison) :-
O (Outcome) : Nyeri CederaKepala
T (Time) :-

3.3 Step 2: Mencari Bukti – buktiTerbaik/ Search for The Best Evidence
Dari PICOT tersebut kami melakukan pencarian literature untuk mengumpulkan
bukti melalui situs google scholar, dengan menggunakan kata kunci “Guide Imagery”,
“Nyeri Cedera Kepala”. Kami hanya memilih 5 jurnal yang sesuai dengan criteria
inkulusi yang kami tentukan. Adapun kriteria inklusi dan ekslusi:
1. Kriteria Inklusi
1) Jurnal yang dipublikasikan dalam renang waktu 2017 – 2018
2) Jurnal internasional dan nasional
3) Jurnal berbahasa Inggris dan bahasa Indonesia
4) Jurnal yang membahas mengenai guide imagery
2. Kriteria Ekslusi
1) Jurnal yang membahas pengaruh guide imagery terhadap pasien cedera
kepala
Terdapat 5 jurnal yang dipilih sesuai dengan criteria inklusi dan ekslusi
diantaranya:

1. Marbun, A. S., Simatupang, L. L., & Simanjuntak, S. (2021). EFEKTIVITAS


GUIDE IMAGERY RELAXATION TERHADAP NYERI KEPALA PADA
PASIEN CEDERA KEPALA RINGAN. Jurkessutra: Jurnal Kesehatan Surya
Nusantara, 9(2).

32
2. Pusparini, Y. (2017). Pengaruh Guide Imagery Terhadap Nyeri Kepala Pasien
CKR (Cedera Kepala Ringan). Jurnal Sehat Masada, 11(1), 23-30.
3. Innez Karunia, M., Wulandari, Y., Setyowati, Z. D., & Rakhmawati, N. (2017).
Kombinasi Guided Imagery and Music (Gim) dan Relaksasi Autogenik Terhadap
Nyeri pada Cedera Kepala. Adi Husada Nursing Journal, 3(2), 45-49.
4. Mariza Elsi, Dyah Y, Muhsinin. (2018). Study Comparasi Terapi Slow Deep
Breathing dan Guided Imagery Relaksasi Dalam Menurunkan Skala Nyeri Pasien
Cedera Kepala Ringan Pasca Pemberian Analgetik Di IGD. Jurnal Iptek Terapan,
Research of Applied Science and Education V13.i1 (93-102)
5. Endah Setianingsih, Putra Agina WS, Reza Nuurdoni. (2019). Penerapan Slow
Deep Breathing Terhadap Nyeri CKR Di IGD Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Gombong.

33
3. Step 3: Melakukan Penilaian(appraisal) terhadap Bukti – bukti yang Ditemukan/ Critically Appraise the Evidence

Judul, Penulis (Tahun),


NO Desain Penelitian Responden Metode Penelitian Hasil
Sumber
1 Judul: Desain 10 orang Desain experimental Berdasarkan hasil uji
Efektivitas Guide experimental responden (preexperiment design) statistik Paired Sampel t-
Imagery Relaxation (preexperiment dengan rancangan “one test diperoleh bahwa pada
terhadap Nyeri Kepala design) group pre-posttest only uji rata-rata untuk dua
pada Pasien Cedera design” sampel yang berpasangan
Kepala Ringan sebelum dilakukan terapi
guide imagery relaxation
Penulis: adalah sebesar 7,8 % dan
Agnes Silvina Marbun, sesudah dilakukan terapi
Leni Simatupang, Siska guide imagery relaxation
Evi Martina Simanjuntak adalah sebesar 2,2 %. Data
tersebut menunjukkan
Tahun: bahwa terjadi penurunan
2021 rata-rata respon nyeri
setelah dilakukan guide
Sumber: imagery relaxation.
2 Judul: Experimen dengan 15 orang Penelitian eksperimen Hasil uji statistic
Pengaruh Guide Imagery pre test dan post responden ini menggunakan desain menunjukan pengaruh

34
Terhadap Nyeri test tanpa pre eksperimen One secara signifikan (p
KepalaPasien CKR Group Pre test-Post test sig=0,000) guide imagery
(CederaKepalaRingan) without control dengan terhadap penutunan tingkat
menggunakan waktu nyeri pada pasien dengan
Penulis: longitudital prospektif cedera kepala ringan, tetapi
YesiPusparini yaitu menggunkan pasien belum terbebas dari
hubungan sebab – akibat rangsangan nyeri.
Tahun: dengan cara melibatkan Kesimpulan pasien cedera
2017 satu kelompok subjek. kepala ringan yang
mengalami cedera kepala
Sumber: dapat dikurangi dengan
guide imagery.
3 Judul: Quasi eksperiment 30 orang Jenis penelitian ini Hasil analisis uji wilxocon
Kombinasi Guided dengan pre-post responden adalah penelitian menunjukan nilai p value =
Imagery and Music without control kuantitatif, dengan 0,000 sehingga p value <
(Gim) dan Relaksasi design. pendekatan quasi 0,05 maka H0 di tolak dan
Autogenik Terhadap experiment. Ha di terima bahwa ter
Nyeri pada Cedera dapat pengaruh kombinasi
Kepala Guided Imagery and Music
(GIM) dan relaksasi
Penulis: autogenic terhadap nyeri
Innez Karunia pada cedera kepala di

35
Mustikarani, Yunita RSUD Karang anyar.
Wulandari,
Zeni Dwi Setyowati, Nur
Rakhmawati

Tahun:
2017

Sumber:
4 Judul: Quasi- 17 Penelitian ini Hasil Terapi slow deep
Study Comparasi Terapi Experimental responden menggunakan Quasi- breathing lebih efektif
Slow Deep Breathing menggunakan pasien. Experimental Design menurunkan skala nyeri
dan Guided Imagery Pretest-Posttest dengan pendekatan pada pasien cedera kepala
Relaksasi Dalam PretestPosttest Group ringan di IGD RSUD Ulin
Menurunkan Skala Nyeri Design. Pada desain Banjarmasin dengan nilai
Pasien Cedera Kepala penelitian ini peneliti p=0,001, dibandingkna
Ringan Pasca Pemberian melakukan penilaian terapy guided imagery
Analgetik Di IGD intensitas nyeri cedera relaxation dengan nilai
kepala ringan pada p=0,264
Penulis: kelompok intervensi
Mariza Elsi, Dyah Y, sebelum latihan slow
Muhsinin deep breathing dan

36
guided Imagery
Tahun: Relaxation.
2018

Sumber:
5 Judul: Eksperimen semu 40 orang Penelitian ini merupakan Berdasarkan data yang
dengan desain penelitian eksperimen disajikan bahwa kelompok
Penerapan Slow Deep responden
Pretest–posttest semu dengan desain usia dewasa kelompok
Breathing Terhadap design Pretest–posttest design intervensi
dengan pendekatan adalah 60%, sedangkan
Nyeri CKR Di IGD
kelompok kontrol. pada kelompok kontrol
Rumah Sakit PKU Sekelompok 40 adalah 55%. Sebagian
responden direkrut besar kategori jenis
Muhammadiyah
melamar kelamin adalah laki-laki,
Gombong dengan teknik 70% dari intervensi dan
consecutive sampling. 75% dari kelompok kontrol
masing-masing. Hasil
Penulis: berpasangan
sampel uji t-test 1
Endah Setianingsih,
mendapat nilai sig.(2-
Putra Agina WS, Reza tailed) = 0,000, artinya ada
perbedaan rata-rata pre-test
Nuurdoni
post-test kelompok.
Sementara itu, sampel
berpasangan
Tahun:
uji t-test 2 menghasilkan
2019 nilai sig.(2-tailed) = 0,021
(sig>0,05), artinya ada
berbeda dari rata-rata pre-
test post-test kelompok.

37
Sumber: Kesimpulan: Ada pengaruh
nafas dalam lambat
terhadap penurunan nyeri
pasien cedera kepala
ringan.

38
PEMBAHASAN
1. Jurnal 1
Efektivitas Guide Imagery Relaxation terhadap Nyeri Kepala pada Pasien
Cedera Kepala Ringan
Berdasarkan hasil pengukuran, respon nyeri sebelum dilakukan intervensi
ternyata diketahui bahwa sebagian besar responden masih mengalami nyeri pada
skala 7-9 dengan intensitas nyeri berat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Andarmoyo (2013) yang menyatakan nyeri sebagai apapun yang
menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada
kapanpun individu mengatakannya. Jumlah pasien yang mengalami nyeri
sebelum diberikan intervensi sebanyak 100% dan ini masih mengalami nyeri
berat, setelah diberikan intervensi terdapat 60% yang mengalami nyeri sedang,
dalam hal ini terjadi penurunan nyeri setelah diberikan intervensi, sesuai yang
dikemukakan oleh Prabu (2015) bahwa guide imagery relaxation dapat
menurunkan tegangan dan mengurangi nyeri area trauma.
Berdasarkan uji normalitas yaitu menggunakan uji shapiro-wilk yang telah
dilakukan menghasilkan data yang signifikan dimana p=0,245 yang berarti data
berdistribusi normal karena nilai p>0,05. Setelah kedua data diketahui
berdistribusi normal maka dilanjutkan uji t-test. Berdasarkan hasil penelitian
terhadap 10 responden sebelum dan sesudah dilakukan terapi guide imagery
relaxation didapatkan nilai t hitung> t table dimana t hitung 34,293 dan nilai t
tabel = 0,45 hasil uji t-test menghasilkan nilai p=0,000 berarti p<0,05. Hal ini
berarti ada beda rerata responnyeri sebelum dan sesudah pemberian terapi guide
imagery relaxation.Hasil uji statistik juga menunjukkan p=0,000 (p<0,05)
makadapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti ada
perbedaan bermakna rerata rasa nyeri sebelum dan sesudah pemberian terapi
guide imagery relaxation terhadap intensitas nyeri kepala pasien cedera kepala
ringan.
2. Jurnal 2
Pengaruh Guide Imagery Terhadap Nyeri Kepala Pasien CKR (Cedera
Kepala Ringan)

39
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki
intensitas nyeri sebelum dilakukan Guide Imagery adalah skala 3, yaitu sebesar
66,7% dari total responden berjumlah 15 orang pasien.
Patogenesis nyeri kepala pada cedera kepala khususnya pada cedera ringan
terjadi perubahan neurokimia meliputi depolarisasi syaraf, pengeluaran asam
amino pada neuro transmitter yang berlebihan, disfungsi serotonegik, gangguan
pada opiate endogen, kehilangan keseimbangan kalsium dan perubahan kadar
magnesium. Pada penelitian terbaru pada kerusakan sel saraf akan memicu
pelepasan hormon thyrotropin yang mana dapat menjadi antagonis dari efek
opoid peptide endogen tanpa gangguan analgesic. 13 Nyeri merupakan
pengalaman yang subjektif yang sering sulit dijelaskan oleh klien kepada
perawat. Nyeri juga dipengaruhi oleh umur, pengalaman nyeri sebelumnya dan
norma budaya.20 Selainitu, nyeri pada cedera kepala ringan sering disertai
dengan trauma yang lain terutama fraktur pada ekstrimitas bawah sering dijumpai
nyeri yang disebabkan trauma berat pada ekstrimitas tersebut mendominasi nyeri
kepala.
Beberapa penelitian ditemukan bahwa 38% pasien dengan cedera kepala
akan mengalami acute post traumatic headache (APTH), dengan gejala sering
pada daerah frontal dan tidak ada hubungannya dengan beratnya cedera kepala.
Juga dikatakan oleh Theeler dan Ericson bahwa pasien trauma kepala ringan akan
mengalami nyeri kepala minggu pertama setelah trauma 12 dari 33(36%). Hasil
penelitian sebelumnya juga menunjukan dari 297 pasien cedera kepala
mengalami nyeri kepala tiga hari atau sampai satu minggu (33%) dan nyeri
kepala kronik (23%).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya responden
memiliki intensitas nyeri setelah dilakukan Guide Imagery adalah nyeri skala 1,
yaitu sebesar 93,3 % dari total responden berjumlah 15 orang pasien. Jumlah ini
mengalami peningkatan dari jumlah sebelum dilakukan intervensi berupa guide
imagery, yaitu dari tidak ada responden yang memiliki intensitas nyeri seperti
gatal atau nyut-nyutan meningkat menjadi 93,3%.
Guide imagery adalah proses menggunakan kekuatan pikiran dengan
mengarahkan tubuh untuk menyembuhkan diri memelihara kesehatan/relaksasi
melalui komunikasi dalam tubuh yang melibatkan semua indra (visual, sentuhan,
pedoman, penglihatan, dan pendengaran). Dengan begitu terbentuklah

40
keseimbangan antara pikiran, tubuh dan jiwa. Relaksasi dengan teknik guide
imagery akan membuat tubuh lebih rileks dan nyaman dalam tidurnya. Dengan
melakukan nafas dalam secara perlahan tubuh akan menjadi rileks.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara teknik guide imagery terhadap perubahan intensitas nyeri
sebelum dan sesudahnya. dimana seluruh reponden dari penelitian ini mengalami
penurunan intensitas nyeri setelah dilakukan teknik guide imagery. Hal ini
menunjukkann bahwa guide imagery memiliki pengaruh yang positif terhadap
penurunan intensitas nyeri kepala pada pasien dengan cedera kepala ringan di
Rumah Sakit Dustira Kota Cimahi. Walaupun guide imagery menunjukan
hubungn yang signifikan tetapi bila dilihat dari prosentase tingkat nyeri setelah
dilakukan guide imagery pasien masih mengalami nyeri, hal ini mengindikasikan
pasien belum terbebas dari nyeri tetapi tujuan dari teknik guide imagery sendiri
bukan untuk menghilangkan nyeri sekaligus tetapi bagaiman pasien dapat
mengontrol nyerinya karena nyeri sendiri timbul sebagai akibat kerusakan
jaringan maka sebelum jaringan itu sembuh maka nyeri itu akan masih tetap ada.
Secara almiah nyeri sebenarnya sebagai mekanisme pelindung untuk mencegah
terjadinya cedera yang lebih lanjut.
Pengaruh guide injury pada nyeri akibat cedera kepala ini didukung oleh
penelitian?
3. Jurnal 3
Kombinasi Guided Imagery and Music (Gim) dan Relaksasi Autogenik
Terhadap Nyeri pada Cedera Kepala
Hasil penelitian ini analisa uji Wilcoxon menunjukan nilai P value =
0,000 sehingga P value < 0,05 maka H0 di tolak dan Ha diterima bahwa terdapat
pengaruh kombinasi Guided Imagery and Music (GIM) dan relaksasi autogenik
terhadap nyeri pada cedera kepala di RSUD Karanganyar. GIM dilakukan di
ruangan yang tenang dan kondusif di rumah sakit, akan tetapi ada beberapa
keadaan yang dapat mengganggu dalam proses pelaksanaan GIM, seperti
interupsi dari orang maupun staf dan suaram – suara mengganggu lainnya.
Responden akan mudah berkonsenterasi terhadap apa yang disampaikan terapis
jika suasana nyaman.
GIM dapat mengurangi nyeri, kesemasan, kesedihan, dan kehilangan,
stres dan burnout situasi, trauma, pemikiran negatif, kenangan lama dan

41
membebani yang perlu diselesaikan. GIM merangsang sistem kontrol desendens
dan mempengaruhi produksi endorfin. Seperti diketahui bahwa endorfin memiliki
efek relaksasi pada tubuh. Endorfin juga sebagai ejektor dari rasa rileks dan
ketenangan yang timbul. Zat tersebut dapat menimbulkan efek analgesia yang
akhirnya mengeliminasi neurotransmiter rasa nyeri pada pusat persepsi sehingga
efek yang bisa muncul adalah nyeri berkurang. Penelitian dengan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) menunjukkan bahwa ketika seseorang
memvisualisasikan sesuatu, mereka mengaktifkan lobus oksipital dengan cara
yang sama ketika mereka melihat hal atau peristiwa yang benar-benar terjadi.
Demikian pula, lobus temporal yang aktif ketika musik atau imajinasi
dibayangkan, dan area motorik atau korteks promotor diaktifkan ketika
membayangkan gerakan. Dalam aktivasi ini kortikal mengirim pesan saraf dan
neurokimia ke sistem kontrol desendens mengaktifkan atau menonaktifkan
respons stress.
Ada pengaruh GIM terhadap intensitas nyeri pada pasien post SC
berbasis adaptasi Roy di RSUP NTB. GIM direkomendasikan sebagai intervensi
mandiri keperawatan untuk mengurangi nyeri post SC. Didukung olehhasil
penelitian lain menunjukkan terdapat penurunan skala nyeri yang cukup
signifikan pada kelompok terapi imajinasi terbimbing dengan kelompok terapi
musik pada pasien post operasi apendiktomi akut di ruang rawat bedah RSUD Dr.
Achmad Darwis Suliki.
Pemberian Guided Imagery and Music (GIM) dan relaksasi autogenik
dapat menurunkan skala nyeri pada cedera kepala. Hal ini dapat diterapkan
perawat karena tidak menimbulkan efek samping. Akan tetapi Guided Imagery
and Music (GIM) dan relaksasi autogenik diberikan sebagai pendamping obat
analgesik, tidak bisa diberikan pada nyeri berat sampai dengan sedang tanpa
pemberian obat analgesik.
4. Jurnal 4
Study Comparasi Terapi Slow Deep Breathing dan Guided Imagery
Relaksasi Dalam Menurunkan Skala Nyeri Pasien Cedera Kepala Ringan
Pasca Pemberian Analgetik Di IGD
Penurunan intensitas nyeri kepala pada kedua kelompok intervensi tersebut
tidak terlepas dari pengaruh pemberian awal obat analgetik dan perbaikan
jaringan serebral seperti adanya pemulihan edema serebri. Namun demikian jika

42
dilihat dari perbedaan selisih mean kelompok intervensi 1 dengan kelompok
intervensi 2 menunjukkan nilai yang yang berbeda. Hal ini berarti terapi analgetik
yang digabungkan dengan teknik latihan Slow deep breathing lebih efektif
menurunkan nyeri kepala akut pada pasien cedera kepala ringan dibandingkan
dengan latihan guided imagery.
Mekanisme slow deep breathing dalam menurunkan intensitas nyeri pada
pasien cedera kepla ringan dengan nyeri akut sangat terkait dengan pemenuhan
kebutuhan oksigen pada otak melalui peningkatan suplai dan dengan mengurangi
kebutuhan oksigen ke otak.
Intervensi kedua dari penelitian ini berdasarkan analisis statistic kurang
bermakna dibandingkan intervensi 1, dalam prakteknya guided imagery relaksasi
menurut Prasetyo (2010) adalah upaya untuk menciptakan kesan dalam pikiran
klien kemudian berkonsentrasi pada kesan tersebut sehingga secara bertahap
dapat menurunkan presepsi klien terhadap nyeri, tindakan ini membutuhkan
konsentrasi yang cukup dan mengupayakan kondisi lingkungan klien mendukung
untuk tindakan ini, kegaduhan, kebisingan bau menyengat atau cahaya yang
sangat terang perlu dipertimbangkan agar tidak mengganggu klien untuk
berkonsentrasi, beberapa klien akan lebih relaks apabila dengan menutup mata.
Situasi seperti ini di ruang IGD masih belum bisa di minimalisir sepenuhnya
seperti kondisi kegaduhan dan suara-suara yang berasal dari luar sampiran pasien,
dalam teorinya guided imagery relaxtion dapat mengaktivasi sistem saraf
parasimpatis Tujuan dari guided imagery relaxtion adalah mengalihkan perhatian
dari stimulus nyeri atau kecemasan kepada hal – hal yang menyenangkan dan
relaksasi. (Ackerman and Turkoski, 2000). Selama latihan relaksasi seseorangn
dipandu untuk rileks dengan situasi yang tenang dan sunyi (Tusek and Cwynar,
2000 dalam Peneliti muda 2010). Hal ini lah yang menjadi factor bahwa untuk
metode guided imageri kurang efektif dilakukan di IGD karena metode ini
memerlukan situasi yang tenang dan sunyi.
Pasien adalah individu-individu yang berbeda yang berespon secara berbeda
pula terhadap nyeri sehingga penanganannya antara individu satu dengan individu
lainnya dapat berbeda pula, hal ini mungkin juga berpengaruh terhadap berbedaan
dan perubahan intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan intervensi.
Manajmen nyeri harus menggunakan pendekatan yang holistic atau menyeluruh,
hal ini karena nyeri mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia, oleh karena

43
itu tidak hanya terpaku pada satu pendekatan saja tetapi juga menggunakan
pendekatan-pendekatan lain yang mengacu kepada aspek kehidupan manusia
yaitu biopsiko social cultural dan spritual, pendekatan farmakologi dan non
farmakologi tidak akan berjalan efektif bila digunakan sendiri-sendiri, keduanya
harus dipadukan dan saling mengisi dalam rangka mengatasi atau menangani
nyeri yang dirasakan pasien.
5. Jurnal 5
Penerapan Slow Deep Breathing Terhadap Nyeri CKR Di IGD Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Gombong
Berdasarkan tabel 5 menunjukan hasil uji paired sample t-testpada pair 1
diperoleh nilai sig.(2-tailed) = 0,000, karena nilai sig < 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan dari hasil pre-test intervensi dengan post-test
intervensi, sedangkan pada pair 2 diperoleh nilai sig.(2-tailed) = 0,021, karena
nilai sig < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan dari hasil pre-test
kontrol dengan post-test kontrol. Untuk hasil uji independen sampel test
didapatkan nilai sig.(2tailed)= 0,021, karena nilai sig < 0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan rata-rata yang signifikan dari hasil post-test
intervensi dengan post-test kontrol.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini terlihat bahwa
kelompok yang diberi perlakuan slow deeb breathing mempunyai pengaruh yang
signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kelompok kontrol juga
ada penurunan skala nyeri karenan beberapa faktor yaitu responden mungkin
sudah pernah mengalami nyeri hebat sebelumnya sehingga responden ada yang
dapat mengontrol nyerinya, sehingga dapat menurunkan nyerinya walaupun tanpa
diberikan terapi slow deeb breathing.
Pada penelitian ini bahwa latian slow deeb breating efektif dalam menurunkan
intensitas nyeri pada pasien cidera kepala ringan dengan ditunjukan hasil dari uji
paired t-tes bahwa kelompok yang diberikan terapi slow deep breathing adanya
pengaruh dari pre-test dan post-test.Setelah responden diberikan terapi slow deeb
breatingterlihat lebih tenang tidak gelisah dan juga terlihat lebih rileks.Slow deeb
breating dapat menurunkan nyeri dengan cara mengurangi stress, kecemasan
pasien, penurunan tekanan darah, meningkatkan fungsi paru dan saturnasi
oksigen yang menyebabkan terjadinya relaksasi sehingga mengurangi rasa nyeri.

44
Latihan slow deep breathing merupakan tindakan yang secara tidak
langsung dapat menurunkan asam laktat dengan cara meningkatkan suplai
oksigen dan menurunkan kebutuhan oksigen otak, sehingga diharapkan terjadi
keseimbangan oksigen otak. Slowdeep breathing merupakan tindakan yang
disadari untuk mengaturpernapasan secara dalam dan lambat. Napas dalam
lambat dapat menstimulasi respons saraf otonom melalui pengeluaran
neurotransmitter endorphin yang berefek pada penurunan respons saraf simpatis
dan peningkatkan respons parasimpatis. Stimulasi saraf simpatis meningkatkan
aktivitas tubuh, sedangkan respons parasimpatis lebih banyak menurunkan
ativitas tubuh atau relaksasi sehingga dapat menurukan aktivitas metabolik
(Velkumary & Madanmohan, 2004).
Penelitian Kristmas (2015) menunjukkan hasil pengukuran secara manual
adanya penurunan skala nyerikepala yang lebih maksimal pada kelompok yang
dilakukan slow deepbreathing dibandingkan dengan kelompok Non-slow deep
breathing,sehingga slow deep breathing tetap dapat digunakan sebagai
intervensikeperawatan mandiri dalam menurunkan nyeri kepala.
4. Step 4: Mengintegrasikan Bukti dengan Keahlian Klinis dan Pilihan Pasien untuk
Membuat Keputusan Klinis Terbaik/ Integrate the Evidence with Clinical Expertise
and Patient Preferences and Values
Dari 5 jurnal tersebut didapatkan bahwa Pengaruh terapi pemberian guide imagery
diatas menunjukkan efektivitasnya dalam menurunkan tingkat nyeri akibat cedera
kepala.
Tehnik relaksasi merupakan bagian dari rencana terapi untuk mengobati, mencegah
ataupun mengurangi berbagai macam gejala termasuk stress, peningkatan tekanan
darah, nyeri kronik, insomnia, depresi, nyeri melahirkan, sakit kepala, penyakit yang
berhubungan dengan jantung, kecemasan, efek samping kemoterapi dan yang lainnya.
Manajemen nyeri dengan tindakan relaksasi mencakup latihan pernafasan diafragma,
teknik relaksasi progresif, guide imagery dan meditasi. Pelatihan relaksasi dapat
dilakukan untuk jangka waktu yang terbatas dan biasanya tidak memiliki efek samping.
Dari 5 jurnal tersebut didapatkan bahwa latihan slow deep breathing dan guide
imagery efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pada pasien cidera kepala ringan.
Slow deep breathing dapat menurunkan nyeri dengan cara mengurangi stress,
kecemasan pasien, penurunan tekanan darah, meningkatkan fungsi paru dan saturasi
oksigen yang menyebabkan terjadinya relaksasi sehingga mengurangi rasa nyeri. Slow

45
deep breathing merupakan salah satu terapi komplementer yang telah dibuktikan
manfaatnya melalui penelitian-penelitian terutama dalam upaya menurunkan atau
mengurangi stress, kecemasan pasien, penurunan tekanan darah, meningkatkan fungsi
paru dan saturasi oksigen.
Mekanisme latihan slow deep breathing dapat meningkatkan suplai oksigen ke otak
dan dapat menurunkan metabolisme kerja otak sehingga kebutuhan oksigen keotak
terpenuhi, hal tersebut membuat respon nyeri dapat berkurang, karena dipengaruhi
latihan slow deep breathing ini membuat pasien cidera kepala ringan merasakan rileks
dan nyaman karena suplai oksigen keotak tercukupi. Intervensi yang dilakukan efektif
dalam menurunkan intetitas nyeri yang terjadi pada pasien, baik nyeri ringan maupun
nyeri sedang. Latihan slow deep breathing merupakan tindakan yang secara tidak
langsung dapat menurunkan asam laktat dengan cara meningkatkan suplai oksigen dan
menurunkan kebutuhan oksigen otak, sehingga diharapkan terjadi keseimbangan
oksigen otak.
Tindakan keperawatan yang lain untuk meningkatkan rasa nyaman dan menurunkan
nyeri adalah guided imagery.
Relaksasi dengan teknik guide imagery akan membuat tubuh lebih rileks dan nyaman
dalam tidurnya. Dengan melakukan nafas dalam secara perlahan tubuh akan menjadi
rileks. Perasaan rileks akan diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan
corticotropin Releasing Factor (CRF). Selanjutnya CRF merangsang kelenjar pituitary
untuk meningkatkan produksi Proopioidmelanocortin (POMC) sehingga produksi
enkhepalin oleh medulla adrenal meningkat. Kelenjar pituitary juga menghasilkan
endorphin sebagai neurotransmitter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks.
Sehingga dapat disimpulkan bahwasannya teknik guide imagery relaxation dapat
mengurangi intensitas nyeri karena relaksasi dapat mengeluarkan neurohormone
endorphine yang berhubungan dengan sensasi menyenangkan.
Sebelum diberikan intervensi intensitas nyeri diukur untuk menentukan data dasar
yang akan digunakan untuk mengetahui efek dari intervensi yang akan diberikan.
Pengkajian dilakukan 6 jam setelah pasien mendapatkan terapi farmakologi. Setelah
pasien ditangani dan diberikan terapi farmakologi dan dalam kondisi sadar penuh.
Pasien kemudian diberikan penjelasan tentang penelitian, tujuan, kegunaan dan untung
ruginya mengikuti penelitian. Setelah pasien mengerti dan setuju maka pasien
menandatangani lembar persetujuan dan peneliti dapat melakukan pengambilan data.

46
Setelah pasien diberikan terapi slow deep breathing terlihat lebih tenang tidak gelisah
dan juga terlihat lebih rileks dan mengalami penurunan intensitas nyeri setelah
dilakukan teknik guide imagery. Hal ini menunjukkann bahwa slow deep breathing dan
guide imagery memiliki pengaruh yang positif terhadap penurunan intensitas nyeri
kepala pada pasien dengan cedera kepala ringan.

5. Step 5: Evaluasi Hasil dari Perubahan Praktek Setelah Penerapan EBP/ Evaluate
the Outcomes of The Practice Decisions or Changes Based on Evidence
Pengaruh terapi pemberian guide imagery dari beberapa jurnal diatas
menunjukkan efektivitasnya dalam menurunkan tingkat nyeri akibat cedera kepala.
Hasil dari jurnal – jurnal diatas menunjukkan perbedaan nilai rata – rata skala nyeri
sebelum dan setelah dilakukan tindakan guide imagery.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
guide imagery relaxation sangat efektif terhadap nyeri kepala pasien dengan cedera
kepala ringan. dalam hal ini ada perbedaan nilai rata – rata skala nyeri sebelum dan
setelah dilakukan tindakan. Terdapat pengaruh kombinasi Guided Imagery and Music
(GIM) dan relaksasi autogenik terhadap nyeri pada cedera kepala.
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen Innez
Karunia, M., (2017). Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital atau degeneratif tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
Guide imagery adalah proses menggunakan kekuatan pikiran dengan
mengarahkan tubuh untuk menyembuhkan diri memelihara kesehatan/ relaksasi melalui
komunikasi dalam tubuh yang melibatkan semua indra (visual, sentuhan, pedoman,
penglihatan, dan pendengaran). Relaksasi dengan teknik guide imagery akan membuat
tubuh lebih rileks dan nyaman dalam tidurnya (Marbun, A. S., et al., (2021).
6. Step 6:Menyebarluaskan Hasil/Disseminate EBP Result
Oral Presentasi: Small Group Presentation

47
BAB IV
PENUTUP
4.1Simpulan
Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah cedera atau trauma pada kepala dan
otak yang dapat memberikan dampak pada fungsi otak. Dampak kondisi ini biasanya hanya
sementara dan disertai dengan sakit kepala serta gangguan pada memori, keseimbangan,
koordinasi, serta konsentrasi seseorang. Penatalaksanaan medis berupa pemberian analgetic,
sedangkan terapi non farmakologi diantaranya dengan melakukan manajemen nyeri yang
terdiri dari teknik relaksasi. Relaksasi merupakan tindakan eksternal yang mempengaruhi
respon internal individu terhadap nyeri. Manajemen nyeri dengan tindakan relaksasi
mencakup latihan pernafasan diafragma, teknik relaksasi progresif, guide imagery dan
meditasi. Berdasarlakan hasil dari beberapa jurnal diatas yang telah ditelaah dapat
disimpulkan bahwa guide imagery sangat efektif terhadap nyeri kepala pasien dengan cedera
kepala ringan

48
DAFTAR PUSTAKA
Memon, G. and Critchley, A. 2018. Head Injury A Multidisciplinary Approach. New York:
Cambridge University.
Muttaqin,Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Imunologi. Jakarta: Salemba Medika
Nugraha, Gilang (2015) Panduan Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Dasar. Jakarta: CV
Trans Info Medika.
Tarwoto, 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta : CV.
Sagung Seto.

49

Anda mungkin juga menyukai