Oleh
AHMAD SUFILLAH ZAENI
NIM.2203018004
PROGRAM STUDI
MAGISTER PERTANIAN TROPIKA BASAH
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Alloh SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul “Produksi Metabolit Sekunder Pada Kultur In Vitro”.
Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini selesai. Penulis menyadari bahwa banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu diperlukan kritik dan
saran membangun dari semua pihak demi memperbaiki makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
ii
DAFTAR ISI
iii
1
I. PENDAHULUAN
1.3 Manfaat
II. PEMBAHASAN
1. Kultur Tunas
Kultur tunas merupakan salah satu teknik mikropropagasi dengan inokulasi
jaringan tanaman dalam media kultur diikuti dengan menginduksi proliferasi tunas,
biasanya dengan menambahkan sitokinin sebagai fitoregulator utama pada media
kultur (Cardoso et al., 2019). Setelah beberapa siklus proliferasi tunas dan
akumulasi massa in vitro, elicitor diterapkan untuk meningkatkan konsentrasi
metabolit sekunder dalam jaringan. Plantlet kemudian digunakan untuk
mengekstrak, mengkarakterisasi, dan mengkuantifikasi metabolit sekunder
(Cardoso et al., 2019).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Haider et al (Haider Abbasi et al.,
2020) beberapa kultur tunas Ajuga integrifolia Buch. Ham. ex D.Don dipaparkan
pada berbagai konsentrasi asam salisilat dan asam giberelat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa asam salisilat meningkatkan produksi fitokimia dalam kultur
tunas sedangkan asam giberelat menurunkan biosintesisnya. Asam salisilat terbukti
berpengaruh terhadap kandungan fenolik dan flavonoid total.
2. Kultur kalus
Kultur kalus merupakan salah satu tekhnik yang banyak digunakan dalam
produksi metabolit sekunder secara in vitro (Cardoso et al., 2019). Kultur kalus
adalah pendekatan paling efisien untuk memproduksi metabolit sekunder dalam
skala besar bila dibandinkan dengan teknik lainnya, terutama karena kultur kalus in
vitro adalah sistem perbanyakan sel yang mudah dan cepat (Kapoor et al., 2018).
Untuk menginduksi kalus umumnya digukanan ZPT auksin, terutama 2,4-Asam
Diklorofenolik, dan/atau fitoregulator sitokinin dalam media kultur (Ahmad et al.,
2016). Dalam prakteknya, kultur kalus melibatkan pertumbuhan kalus (terdiri dari
sel-sel yang terdiferensiasi dan tidak terdiferensiasi), yang diikuti dengan prosedur
yang menginduksi diferensiasi organ. Berdasarkan struktur fisiknya, kalus dibagi
5
menjadi tiga kategori yaitu kalus kompak, nodular dan friable. Kalus friable lebih
menonjol dan dapat diperoleh pada subkultur berturut-turut. Kalus jenis ini cocok
untuk perbanyakan, pembentukan kultur suspensi sel dan produksi metabolit
sekunder (Abdulhafiz et al., 2022).
Sebagian besar sel kalus terus terbentuk jika kondisi media kultur tetap
menguntungkan. Oleh karena itu, sel mempertahankan siklus pembelahan konstan,
memperpanjang secara signifikan periode yang dikenal sebagai fase eksponensial
pertumbuhan, yang diikuti oleh fase stasioner dengan pertumbuhan yang berkurang
(Cardoso et al., 2019). Kemampuan untuk mempertahankan sel-sel ini dalam
kondisi yang tidak berdiferensiasi membuat prosesnya lebih mudah dikelola dan
menghasilkan produksi massal yang lebih tinggi per unit waktu dan area jika
dibandingkan dengan proses regenerasi jaringan, organ, atau individu lainnya yang
umumnya lebih kompleks dan lebih mahal (Cardoso et al., 2019).
3. Kultur suspensi
Teknologi kultur jaringan memanfaatkan sel tunggal dari tanaman yang
dapat dikultur ke dalam medium cair (suspensi sel) untuk mengoptimalkan produksi
produk alami yang diinginkan (Motolinía-Alcántara et al., 2021). Pembentukan
kultur suspensi dimulai dengan menginokulasi kalus friable (yaitu kalus yang dapat
dipecah menjadi potongan-potongan kecil dengan sangat mudah) ke dalam media
cair dan ditempatkan pada rotary shaker. Saat sel-sel baru terbentuk, sel-sel
menyebar ke seluruh media cair untuk membentuk kultur suspensi sel. Setelah dua-
tiga minggu, sel-sel yang tersuspensi dipindahkan ke media segar sementara
potongan yang lebih besar dibuang. Sel dalam suspensi dapat menunjukkan tingkat
pembelahan sel yang jauh lebih tinggi daripada sel dalam kultur kalus. Oleh karena
itu, suspensi sel adalah teknik yang paling cocok bila diperlukan regenerasi sel
secara cepat dan banyak (Yue et al., 2016).
dikultur (Wahyuni et al., 2015). Keunggulan dari kultur akar rambut antara lain
karena stabilitas genetiknya, kemampuannya untuk tumbuh cepat tanpa
memerlukan aplikasi auksin eksogen dan terbukti lebih efektif untuk meningkatkan
hasil metabolit sekunder (Zahra et al., 2012). Kultur akar rambut dapat meniru
tanaman utuh dalam produksi metabolit sekunder dan juga dapat ditingkatkan
dalam bioreactor (Singh et al., 2018).
2.4 Elisitor
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Jesionek, A., Kokotkiewicz, A., Wlodarska, P., Zabiegala, B., Bucinski, A., &
Luczkiewicz, M. (2017). Bioreactor shoot cultures of Rhododendron
tomentosum (Ledum palustre) for a large-scale production of bioactive volatile
compounds. Plant Cell, Tissue and Organ Culture (PCTOC), 131(1), 51–64.
Junairiah, J., Nimatuzahroh, N., & Suwito, H. (2014). Produksi Elisitor untuk
Menstimulasi Metabolit Sekunder pada Kultur Jaringan Tumbuhan.
Proceeding Biology Education Conference: Biology, Science, Enviromental,
and Learning, 11(1), 178–181.
Kapoor, S., Raghuvanshi, R., Bhardwaj, P., Sood, H., Saxena, S., & Chaurasia, O.
P. (2018). Influence of light quality on growth, secondary metabolites
production and antioxidant activity in callus culture of Rhodiola imbricata
Edgew. Journal of Photochemistry and Photobiology B: Biology, 183, 258–
265.
Kawka, B., Kwiecień, I., & Ekiert, H. (2017). Influence of culture medium
composition and light conditions on the accumulation of bioactive compounds
in shoot cultures of Scutellaria lateriflora L.(American Skullcap) grown in
vitro. Applied Biochemistry and Biotechnology, 183(4), 1414–1425.
Krasteva, G., Georgiev, V., & Pavlov, A. (2021). Recent applications of plant cell
culture technology in cosmetics and foods. Engineering in Life Sciences, 21(3–
4), 68–76.
Li, B., Wang, B., Li, H., Peng, L., Ru, M., Liang, Z., Yan, X., & Zhu, Y. (2016).
Establishment of Salvia castanea Diels f. tomentosa Stib. hairy root cultures
and the promotion of tanshinone accumulation and gene expression with Ag+,
methyl jasmonate, and yeast extract elicitation. Protoplasma, 253(1), 87–100.
Manalu, M. M., Wirasutisna, K. R., & Elfahmi, E. (2012). Produksi Senyawa
Metabolit Sekunder Melalui Kultur Jaringan dan Transformasi Genetik
Artemisia Annua L. Acta Pharmaceutica Indonesia, 37(1).
Ming, Q., Su, C., Zheng, C., Jia, M., Zhang, Q., Zhang, H., Rahman, K., Han, T.,
& Qin, L. (2013). Elicitors from the endophytic fungus Trichoderma atroviride
promote Salvia miltiorrhiza hairy root growth and tanshinone biosynthesis.
Journal of Experimental Botany, 64(18), 5687–5694.
Motolinía-Alcántara, E. A., Castillo-Araiza, C. O., Rodríguez-Monroy, M.,
Román-Guerrero, A., & Cruz-Sosa, F. (2021). Engineering considerations to
produce bioactive compounds from plant cell suspension culture in
bioreactors. Plants, 10(12), 2762.
Ningsih, I. Y. (2014). Pengaruh elisitor biotik dan abiotik pada produksi flavonoid
melalui kultur jaringan tanaman. PHARMACY: Jurnal Farmasi Indonesia
(Pharmaceutical Journal of Indonesia), 11(2), 117–132.
Ochoa-Villarreal, M., Howat, S., Hong, S., Jang, M. O., Jin, Y.-W., Lee, E.-K., &
Loake, G. J. (2016). Plant cell culture strategies for the production of natural
13