Ditulis Oleh:
PROGRAM DIPLOMA
TEKNOLOGI PRODUKSI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
I. PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui prosedur penanganan
cacing yang tepat serta mengetahui SR (survival rate) cacing yang paling optimal
sebagai kegiatan budidaya cacing sutra.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.3. Habitat
Cacing Tubifex banyak hidup di perairan tawar yang airnya jernih dan
sedikit mengalir. Dasar perairan yang disukai adalah berlumpur dan mengandung
bahan organik. Makanan utamanya adalah bahan-bahan organik yang telah terurai
dan mengendap di dasar perairan Cacing ini merupakan salah satu jenis benthos
yang hidup di dasar perairan tawar daerah tropis dan subtropis, Cacing sutera
hidup diperairan tawar yang jernih dan sedikit mengalir. Dasar perairan yang
disukai adalah berlumpur dan mengandung bahan organik. Makanan utamanya
adalah bahan-bahan organik yang telah terurai dan mengendap di dasar perairan
tersebut (Djarijah. 1996). Cacing sutra (Tubifex sp.) umumnya ditemukan pada
daerah air perbatasan seperti daerah yang terjadi polusi zat organik secara berat,
daerah endapan sedimen dan perairan oligotropis. Spesies cacing Tubifex sp. ini
bisa mentolerir perairan dengan salinitas 10 ppt. Dua faktor yang mendukung
habitat hidup cacing sutra (Tubifex sp.) ialah endapan lumpur dan tumpukan
bahan organik yang banyak (Khairuman dan Amri, 2002).
Menurut Marian dan Pandian (1984), sekitar 90% Tubifex menempati
daerah permukaan hingga kedalaman 4 cm, dengan perincian sebagai berikut :
juvenile (dengan bobot kurang dari 0,1 mg) pada kedalaman 0-2 cm,immature
(0,1-5,0 mg) pada kedalaman 0-4 cm,mature (lebih dari 5 mg) pada kedalaman 2-
4 cm. Perairan yang banyak dihuni cacing ini sepintas tampak seperti koloni
rumput merah yang melambai-lambai. (Djarijah, 1995). Tubifex sp. dapat hidup di
berbagai habitat. Mereka biasanya menguburkan diri dalam lumpur atau membuat
liang di dalam lumpur. Mereka membuat tabung yang menetap atau dapat di
bawa-bawa. Tabung tersebut dibuat dari lumpur, butir-butir mineral atau sampah
yang dilekatkan satu sama lain dengan lendir. Namun kehadirannya di perairan
sering dikatakan merupakan indikator pencemaran air. Tubifex berkembang baik
pada media yang mempunyai kandungan Oksigen terlarut berkisar antara 2,75-5,
kandungan amonia <1 ppm, suhu air berkisar antara 28- 30°C dan pH air antara
6- 8 (Suwigyo dkk, 1981).
III. METODOLOGI
IV.1. Hasil
Tabel 1. Data hasil perhitungan biomasa akhir Tubifex sp.
perlakuan
kelompok
1 2 3 4 5 6
1 0 20 1 20 0 0
2 1 13 9 20 3 0
3 1 15 8 20 5 0
4 2 17 7 19 4 0
5 1 16 2 19 3 0
rata-rata 1 16.2 5.4 19.6 3 0
Keterangan :-
1500
kelompok 3
1000 kelompok 4
500 kelompok 5
0
1 2 3 4 5 6
PERLAKUAN
Keteranagan:-
Berdasarkan grafik 1. Hasil pengamatan SR (Survival Rate) penanganan
Tubifex sp. dapat diketahui bahwa SR akhir tertinggi yaitu rata-rata pada
perlakuan 4 dengan SR rata-rata yang dihasilkan sebesar 80% sedangkan SR akhir
terendah yaitu rata-rata pada perlakuan 6 dengan SR rata-rata yang dihasilakan
sebesar 0 % .
IV.2. Pembahasan
Penanganan – penanganan yang dilakukan berpengaruh pada ketahanan
cacing sutera. Perubahan lingkungan menjadi aktor utama yang menentukan
ketahanan cacing selama perlakuan dibandingkan dengan faktor lain seperti
patogen. Sehingga penanganan yang dilakukan harus memberikan lingkungan
yang baik bagi cacing.
Berdasarkan pengamatan selama 6 jam diketahui pada tabel 1. Data hasil
perhitungan biomasa akhir Tubifex sp. bahwa rata-rata biomasa pada perlakuan
1,2,3,4,5, dan 6 berturut-turut adalah 1 gram, 16.2 gram, 5.4 gram,19.6 gram, 3
gram, dan 0 gram ( mati semua) dari biomasa awal tebar sebanyak 2 gram.
Berdasarkan data tersebut dengan demikian dikatakan bahwa perlakuan yang
paling baik rata-rata adalah perlakuan ke-4. Sedangkan pada grafik 1. Hasil
pengamatan SR (Survival Rate) penanganan Tubifex sp. dapat diketahui bahwa
SR akhir tertinggi yaitu rata-rata pada perlakuan 4 dengan SR rata-rata yang
dihasilkan sebesar 80% sedangkan SR akhir terendah yaitu rata-rata pada
perlakuan 6 dengan SR rata-rata yang dihasilakan sebesar 0%.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat dikatakan cacing membutukan
suplai air dan suplai oksigen , sehingga perlakuan emberian air dan oksigen
mampu menjaga kelangsungan hidup cacing sutera. Sebaliknya penanganan yang
tidak diberi perlakuan air dan oksigen mengakibatkan cacing tersebut mati secara
keseluruhan seperti perlakuan ke-6 yang hanya diberikan air secukupnya lalu
diberikan es disekitar wadah kemudian menghasilkan mortalitas cacing sbesar
100%. Dengan demikian dikatakan bahwa faktor lingkungan yang dibutuhkan
tidak terpenuhi.cacing sutera membutuhkan aliran air agar dapat bertahan hidup
dan berkembangbiak.
V.1. Simpulan
Faktor penentu keberhasilan penanganan cacing sutera adalah perlakuan
yang diberikan. Perlakuan paling baik yang dapat menjaga tingkat kelangsungan
hidup paling tinggi dari cacing sutera tersebut adalah media, aliran air dan aerasi
atau pada perlakuan 4 dengan SR yang dihasilkan sebesar 80% .
V.2. Saran
Praktikum ini dapat dikembangkan dengan menambah parameter
pegamatan yakni kualitas air karena perlakuan aliran air dan aerasi juga
berpangaruh terhadap kualitas air selama penanganan cacing sutera.
DAFTAR PUSTAKA
Efiyanti, W. 2003. Pemanfaatan Ulang Limbah Organik Usaha Cacing Sutera. Skripsi
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Goodnight, C.J. 1959. Oligochaeta. In W.T. Edmonson. Freshwater Biology. John Wiley
and Sons, Inc. Hal : 522-537
Isyaturradhiyah. 1992. Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Tubifex sp. Pada Wadah
Yang Dialiri Ir Limbah dan Budidaya Tubifex sp. dengan Panjang 3, 6 dan 9
meter. Skripsi Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Kosiorek, D. 1974. Development Cycle of Tubifex Tubifex Muller in Experimental
Culture. Pol. Arch. Hidrobiol. 21 (3/4) : 411 – 422.
Marian, M. P. Dan T. J. Pandian. 1984. Culture and Harvesting Tehnique for Tubifex
Tubifex. Aquaculture. 42 : 303 – 315
Pennak, R. W. 1978. Freshwater Invertebrates of The United States. A Wiley Intescience
Publication. Jhon Willey and Sons, New York.
Priyambodo, K dan Wahyuningsih, T. 2001. Budidaya Pakan Alami Untuk Ikan. PT
Penebar Swadaya, Jakarta.
Rogaar, H. 1980. The Morphology of Burrow Strukturres Made by Tubificids .
Hydrobiologia 71 : 107 – 124
Syarip, M. 1988. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pupuk Terhadap Pertumbuhan Tubifex
sp. Skripsi Fakultas Perikana Institut Pertanian Bogor.
Wilmoth, J.H. 1967. Biological of Invertebrate. PrenticeHall, Inc. Englewaood Cliffs.
Neww Yersey. 465 hal.
Yuherman, 1987. Pengaruh Dosis Penambahan Pupuk Pada Hari Kesepuluh Setelah
Inokulasi Terhadap Pertumbuhan Populasi Tubifex sp. Skripsi Fakultas
Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
Gambar 1. Penimba
bobot
Gambar cacing
4. Perlakuan
Gam
Gambar