Anda di halaman 1dari 10

Laporan Praktikum Hari/Tanggal : Kamis/08/03/2018

m.k Kultur Pakan Alami Kelompok :2


Dosen : Andri Hendriana, S.Pi,M.Si
Ir. Cecillia Eny I, Msi
Asisten dosen : Benedictus Viktor, SE
Dian Surya Pratiwi, Amd

BUDIDAYA PAKAN ALAMI


PENANGANAN CACING SUTRA Tubifex sp,

Ditulis Oleh:

Mariah Belina J3H216117

PROGRAM DIPLOMA
TEKNOLOGI PRODUKSI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu jenis pakan alami yang sangat yang dibutuhkan oleh para
pembudidaya ikan hias maupun ikan konsumsi adalah cacing sutra Tubifex sp.
Kebutuhan cacing sutra sangat meningkat khususnya pada tahap pembenihan.
Selama ini produksi cacing sutra yang dilakukan oleh para pencari cacing sutra
hanya mengandalkan tangkapan dari alam. Kendala utama dalam mencari cacing
sutra adalah faktor musim. Produksi cacing sutra menurun pada saat musim hujan,
karena arus kuat yang dapat menghanyutkan cacing sutra yang berada di
selokan/got. Musim kemarau juga dapat membuat produksi cacing sutra menurun
dikarenakan air kering dan cacing sutra mati.
Sebagian besar suplai cacing sutera berasal dari tangkapan alam. Cacing hasil
tangkapan ini memerlukan penanganan khusus agar dapat bertahan. Cacing hasil
tangkapan tersebut dikumpulkan, cacing dicuci terlebih dahulu sebelum
dimasukan ke tempat pengumpulan. Kemudian dilakukan pencucian untuk
menghilangkan lumpur, lalu diendapakan dan dicuci kembali. Setelah bersih,
cacing ditempatkan dalam tempat penanpung dan diberi air mengalir selama
kurang lebih 20 menit lalu air dimatikan dan cacing dibiarkan untuk bergerak
kepermukaan untuk mengambil oksigen. Air dialirkan setiap 2 jam sekali untuk
menjaga suplai air dan aerasi diberikan untuk menjaga suplai oksigen agar cacing
tetap hidup hingga dapat didistribusikan kepada pembeli. Penaganan tersebut bisa
disebut sebagai masa penangkaran. Masa penangkaran ini dilakukan untuk
menjaga stok produksi cacing agar tetap memenuhi kebutuhan. Biasanya cacing
ini akan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru selama beberapa hari. Cacing
ini mulai berkembang biak setelah 7-11 hari sejak penangkaran. Penting untuk
menjaga suplai air selama masa penangkaran, sebab cacing tidak dapat tumbuh
dan berkembangbiak dalam kondisi yang kekurangan air atau kering. Hasil
penangkaran ini lah yang selajutnya digunakan sebagai bibit pada produksi massal
di tempat pemeliharaan yang ukurannya lebih luas. Tujuan penangkaran ini adalah
untuk mendapatkan bibit yang telah terbiasa hidup di habitat buatan.
Seiring berkembangnya usaha pembenihan ikan, permintaan cacing sutra
semakin meningkat, namun terbatasi oleh ketersediaan cacing sutra yang pasang
surut dengan sangat fluktuatif. Produksi yang fluktuatif dapat berimbas pada
harga cacing sutra yang sangat tinggi dan akhirnya berimbas pada harga benih
ikan.
Solusi dari ketergantungan cacing sutra dari alam adalah dengan membuat
usaha budidaya cacing sutra. Selain itu usaha budidaya ini dapat menyediakan
cacing sutra secara berkelanjutan tanpa tergantung pada musim yang berlalu.
Bahan organik dengan komposisi kotoran ayam dan lumpur halus dapat
dimanfaatkan sebagai media tumbuh untuk cacing sutra serta dilakukan teknik
penyimpanan yang baik sehingga budidaya berlangsung secara kontinuitas.

1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui prosedur penanganan
cacing yang tepat serta mengetahui SR (survival rate) cacing yang paling optimal
sebagai kegiatan budidaya cacing sutra.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan morfologi

Gambar 1. Tubifex sp.


Cacing sutra atau tubifex sp. sering disebut dengan cacing sutera, klasifikasi
cacing sutra menurut Gusrina (2008) adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Anellida
Kelas : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Famili : Tubifisidae
Genus :Tubifex
Kelas : Tubifex sp.
Cacing sutra atau cacing rambut termasuk kedalam kelompok cacing-
cacingan (Tubifex sp). Dalam ilmu taksonomi hewan, cacing sutra digolongkan
kedalam kelompok Nematoda. Disebut cacing sutra karena cacing ini memiliki
tubuh yang lunak dan sangat lembut seperti halnya sutra/rambut. (Khairuman et
al, 2008). Tubifex sp. memiliki ukuran panjang 1-2 cm dengan warna kemerah-
merahan. Tubuh cacing Tubifex terdiri dari 2 lapis otot yang membujur dan
melingkar sepanjang tubuhnya. Cacing ini mempunyai saluran pencernaan berupa
celah kecil dari mulut sampai anus (Priyambodo dan wahyuningsih, 2001).
Tubifex mudah untuk dikenali dari bentuk tubuhnya yang seperti benang sutra dan
berwarna merah kecoklatan karena banyak mengandung haemoglobin. Tubuhnya
sepanjang 1-2 cm, terdiri dari 30-60 segmen atau ruas. Sepintastubifextampak
seperti koloni merah yang melambai-lambai karena warnatubuhnya kemerah-
merahan, sehingga sering juga disebut dengan cacing rambut. tubuhnya beruas-
ruas dan mempunyai saluran pencernaan, termasuk kelompok  Nematoda.
Secara umum cacing sutra atau cacing rambut terdiri atas dua lapisan otot
yang membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya. Panjangnya 10-30 mm
dengan warna tubuh kemerahan, saluran pencernaannya berupa celah kecil mulai
dari mulut sampai anus. Spesies ini mempunyai saluran pencernaan berupa celah
kecil mulai dari mulut sampai anus. Cacing sutra (Tubifex sp ) ini hidup berkoloni
Kebanyakan Tubifex membuat tabung pada lumpur di dasar perairan, di mana
bagian akhir posterior tubuhnya menonjol keluar dari tabung bergerak bolak-
balik sambil melambai-lambai secara aktif di dalam air, sehingga terjadi sirkulasi
air dan cacing akan memperoleh oksigen melalui permukaan tubuhnya. Getaran
pada bagian posterior tubuh dari Tubifexdapat membantu fungsi pernafasan.
(Wahyuningsih. 2001).
Hal yang sama juga disampaikan oleh Wahyuningsih (2001), menyatakan
Spesies ini mempunyai saluran pencernaan berupa celah kecil mulai dari mulut
sampai anus. Cacing sutra (Tubifex sp) ini hidup berkoloni bagian ekornya berada
dipermukaan dan berfungsi sebagai alat bernafas dengan cara difusi langsung dari
udara. Menurut Pennak (1978), Cacing sutra (Tubifex sp) tidak mempunyai insang
dan bentuk tubuh yang kecil dan tipis. Karena bentuk tubuhnya kecil dan tipis,
pertukaran oksigen dan karbondioksida sering terjadi pada permukaan tubuhnya
yang banyak mengandung pembuluh darah. Kebanyakan Tubifex membuat
tabung pada lumpur di dasar perairan, di mana bagian akhir posterior tubuhnya
menonjol keluar dari tabung bergerak bolak-balik sambil melambai-lambai secara
aktif di dalam air, sehingga terjadi sirkulasi air dan cacing akan memperoleh
oksigen melalui permukaan tubuhnya. Getaran pada bagian posterior tubuh dari
Tubifex dapat membantu fungsi pernafasan (Wilmoth, 1967).
Hal yang sama  juga disampaikan oleh (Sugiarti et al., 2005) bahwa hampir
semua oligochaeta  bernafas dengan cara difusi melalui seluruh permukaan tubuh.
Hanya beberapa yang bernafas dengan insang. Cacing sutra ini bisa hidup
diperairan yang berkadar oksigen rendah, bahkan beberapa jenis dapat bertahan
dalam kondisi yang tanpa oksigen untuk jangka waktu yang pendek. Cacing sutra
dapat mengeluarkan  bagian posteriornya dari tabung, guna mendapatkan oksigen
lebih banyak, apabila kandungan oksigen dalam air sangat sedikit. Menurut
Marian dan Pandian (1984), sekitar 90% Tubifex menempati daerah permukaan
hingga kedalaman 4 cm, dengan perincian sebagai berikut :  juvenile (dengan
bobot kurang dari 0,1 mg)  pada kedalaman 0-2 cm, immature (0,1-5,0 mg) pada
kedalaman 0-4 cm, mature (lebih dari 5 mg) pada kedalaman 2-4 cm.

2.2. Siklus hidup


Khairuman dan Amri (2002), menyatakan cacing sutra (Tubifex sp.) adalah
termasuk organisme hermaprodit. Pada satu individu organisme ini terdapat 2
(dua) alat kelamin dan berkembangbiak dengan cara bertelur dari betina yang
telah matang telur. Sedangkan menurut Chumaidi dan Suprapto (1986), telur
cacing sutra (Tubifex sp.) terjadi didalam kokon yaitu suatu bangunan berbentuk
bangunan bulat telur, panjang 1 mm dan diameter 0,7 mm yang dihasilkan oleh
kelenjar epidermis dari salah satu segmen tubuh yang disebut kitelum. Tubuhnya
sepanjang 1-2 cm, terdiri dari 30-60 segmen atau ruas. Telur yang ada didalam
tubuh mengalami pembelahan, selanjutnya berkembang membentuk segmen-
segmen. Setelah beberapa hari embrio cacing sutra (Tubifex sp.) akan keluar dari
kokon.
Induk yang dapat menghasilkan kokon dan mengeluarkan telur yang menetas
menjadi tubifex mempunyai usia sekitar 40-45 hari. Jumlah telur dalam setiap
kokon berkisar antara 4-5 butir. Waktu yang dibutuhkan untuk proses
perkembangbiakan telur di dalam kokon sampai menetas menjadi embrio tubifex
membutuhkan waktu sekitar 10-12 hari. Daur hidup cacing sutra dari telur,
menetas hingga menjadi dewasa serta mengeluarkan kokon dibutuhkan waktu
sekitar 50-57 hari (Gusrina, 2008).
Gambar 2. Siklus hidup Tubifex sp.

2.3. Habitat
Cacing Tubifex banyak hidup di perairan tawar yang airnya jernih dan
sedikit mengalir. Dasar perairan yang disukai adalah berlumpur dan mengandung
bahan organik. Makanan utamanya adalah bahan-bahan organik yang telah terurai
dan mengendap di dasar perairan Cacing ini merupakan salah satu jenis benthos
yang hidup di dasar perairan tawar daerah tropis dan subtropis, Cacing sutera
hidup diperairan tawar yang jernih dan sedikit mengalir. Dasar perairan yang
disukai adalah berlumpur dan mengandung bahan organik. Makanan utamanya
adalah bahan-bahan organik yang telah terurai dan mengendap di dasar perairan
tersebut (Djarijah. 1996). Cacing sutra (Tubifex sp.) umumnya ditemukan pada
daerah air perbatasan seperti daerah yang terjadi polusi zat organik secara berat,
daerah endapan sedimen dan perairan oligotropis. Spesies cacing Tubifex sp. ini
bisa mentolerir  perairan dengan salinitas 10 ppt. Dua faktor yang mendukung
habitat hidup cacing sutra (Tubifex sp.) ialah endapan lumpur dan tumpukan
bahan organik yang banyak (Khairuman dan Amri, 2002).
Menurut Marian dan Pandian (1984), sekitar 90% Tubifex menempati
daerah permukaan hingga kedalaman 4 cm, dengan perincian sebagai berikut :
juvenile (dengan bobot kurang dari 0,1 mg) pada kedalaman 0-2 cm,immature
(0,1-5,0 mg) pada kedalaman 0-4 cm,mature (lebih dari 5 mg) pada kedalaman 2-
4 cm. Perairan yang banyak dihuni cacing ini sepintas tampak seperti koloni
rumput merah yang melambai-lambai. (Djarijah, 1995). Tubifex sp. dapat hidup di
berbagai habitat. Mereka biasanya menguburkan diri dalam lumpur atau membuat
liang di dalam lumpur. Mereka membuat tabung yang menetap atau dapat di
bawa-bawa. Tabung tersebut dibuat dari lumpur, butir-butir mineral atau sampah
yang dilekatkan satu sama lain dengan lendir. Namun kehadirannya di perairan
sering dikatakan merupakan indikator pencemaran air. Tubifex berkembang baik
pada media yang mempunyai kandungan Oksigen terlarut berkisar antara 2,75-5,
kandungan amonia <1 ppm, suhu air berkisar antara 28- 30°C dan pH air antara
6- 8 (Suwigyo dkk, 1981).

2.4. Kandungan giziTubifex sp


Sebagai pakan ikan hias air tawar, cacing ini mempunyai peranan yang
cukup penting. Pakan dari cacing mampu memacu pertumbuhan ikan jauh lebih
cepat dibanding pakan alami jenis lainnya. Hal ini disebabkan kandungan lemak
dan protein cacing ini cukup tinggi. Cacing ini mempunyai kandungan protein 51,9 %,
karbobidrat 20,3 %, lemak 22,3 %, dan bahan abu 5,3 %. Sedangkan asam amino
penyusun proteinnya juga lengkap. Berikut kandungan asam aminoTubifex sp.
Tabel 1. Kandungan asam amino Tubifex sp.
ASAM AMINO KANDUNGAN (%)
Glisin (Gly) 4.5
Alanin (Ala) 5.4
Valin (Val) 6.4
Leusin (Len) 11.5
lsoleusin (Ile) 5.1
Prolin (Pro) 5.6
Phenilalanin (Phe) 4.6
Tyrosin (Tyr 3.9
Triptofan (Trp) 1.4
Serin (Ser) 4.2
Threonin (Thr) 5.3
Metionin (Met) 2.5
Arginin (Arg) 8.9
Histidin (His) 2.8
Lysin (Lys) 8.1
Aspartat (Asp) 12.8
Glutamin (Glu) 11.5

2.5. Kandungan media budidaya Tubifex sp.


2.5.1. Lumpur sawah
Media lumpur dalam substrat diperlukan sebagai tempat Tubifex sp.
melekatkan ataupun membenamkan kepalanya untuk mencari makan. Lumpur
sawah yang belum di olah umumunya mengandung 74-85% bahan organik yang
mengandung logam serta beberapa senyawa organik beracun. Kandungan air
dalam lumpur sawah umumnya berbanding keterbalik dengan kandungan
padatan, kandungan lumpur sawah semakin rendah. Lumpur sawah dengan pH
rendah mempengaruhi logam patogen dan pengkaratan dari lumpur sedangkan
dengan pH tinggi lebih dari 9 dapat menurunkan jumlah bakteri. Nilai pH tanah
yang optimun antara 5,0-7.5 untuk dijadikan lumpur sawah. Penggunaan lumpur
sawah sebagai media karena lumpur sawah mengandung C-Organik 15.2560%
dan pH 5.27 yang digunakan sebagai media hidup cacing sutra (Hermawan,
2001).

III. METODOLOGI

III.1. Waktu dan Tempat


Praktikum penanganan cacing ini dilakukan di kampus IPB PSDKU
Sukabumi pada hari kamis, 15 februari 2018.

III.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum penanganan cacing ini adalah
timbangan, plastic, tabungoksigen,karet, wadah kecil, penggaris,dan mikroskop.
Sedangkan bahan yang digunakan adalah cacing sutra sebanyak 20 gram / plastic.

III.3. Prosedur Percobaan


Pertama-tama disiapkan alat dan bahan. Kemudian ambil sampel cacing
sebanyak 1 gram untuk diamati dibawah mikroskop dihitung jumlah awalnya.
Lalu timbang cacing sebanyak 20 gram / plastik packing untuk digunakan sebagai
perlakuan. setiap kelompok terdiri dari 6 perlakuan. Kemudian disiapkan
perlakuan yang terdiri dari :
III.3.1.Perlakuan 1
Pertama-tama cacing dimasukan ke dalam plastik packing. Lalu
ditambahkan air secukupnya hanya untuk menjaga kelembaban. Kemudian plastik
diikat dengan karet. Cacing diamati setelah 6 jam kemudian dihitung SR nya.
III.3.2.Perlakukan 2
Pertama-tama cacing dimasukan kedalam plastik packing. Lalu
ditambahkan air secukupnya hanya untuk menjaga kelembaban. Kemudian plastik
ditambahkan oksigen dengan perbandingan volume cacing:oksigen = 1:2. Lalu
plastik diikat dengan karet. Cacing diamati setelah 6 jam kemudian dihitung
SRnya.
III.3.3.Perlakukan 3
Pertama-tama cacing dimasukan kedalam plastik packing. Lalu
ditambahkan air dengan ketinggian 2 cm diatas permukaan cacing. Kemudian
plastik diikat dengan karet. Cacing diamati setelah 6 jam kemudian dihitung SR
nya.
III.3.4.Perlakuan 4
Pertama-tama cacing dimasukan kedalam plastik packing. Lalu
ditambahkan air dengan ketinggian 2 cm diatas permukaan cacing.
Kemudianditambahkan oksigen dengan perbandingan volume cacing:oksigen =
1:2. Lalu plastik diikat dengan karet. Cacing diamati setelah 6 jam kemudian
dihitung SRnya.
III.3.5.Perlakuan 5
Pertama-tama cacing dimasukan ke dalam plastik packing. Lalu
ditambahkan air secukupnya hanya untuk menjaga kelembaban. Kemudian
ditambahkan es secukupnya. . Lalu plastik diikat dengan karet. Cacing diamati
setelah 6 jam kemudian dihitung SRnya.
III.3.6.Perlakuan 6
Pertama-tama cacing dimasukan ke dalam plastik packing. Lalu
ditambahkan air secukupnya hanya untuk menjaga kelembaban.
KemudianKemudian plastik diikat dengan karet.dan diberikan es disekitarnya.
Cacing diamati setelah 6 jam kemudian dihitung SRnya.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil
Tabel 1. Data hasil perhitungan biomasa akhir Tubifex sp.
perlakuan
kelompok
1 2 3 4 5 6
1 0 20 1 20 0 0
2 1 13 9 20 3 0
3 1 15 8 20 5 0
4 2 17 7 19 4 0
5 1 16 2 19 3 0
rata-rata 1 16.2 5.4 19.6 3 0
Keterangan :-

Berdasarkan tabel 1. Data hasil perhitungan biomasa akhir Tubifex sp.


diketahui bahwa rata-rata biomasa pada perlakuan 1,2,3,4,5, dan 6 berturut-turut
adalah 1 gram, 16.2 gram, 5.4 gram,19.6 gram, 3 gram, dan 0 gram ( mati semua)
dari biomasa awal tebar sebanyak 2 gram.

Grafik 1. Hasil pengamatan SR (Survival Rate) penanganan Tubifex sp.

Grafik 1. Survival Rate pada penanganan


Tubifex sp
2500
2000 Kelompok 1
kalompok 2
nilai SR (%)

1500
kelompok 3
1000 kelompok 4
500 kelompok 5

0
1 2 3 4 5 6
PERLAKUAN

Keteranagan:-
Berdasarkan grafik 1. Hasil pengamatan SR (Survival Rate) penanganan
Tubifex sp. dapat diketahui bahwa SR akhir tertinggi yaitu rata-rata pada
perlakuan 4 dengan SR rata-rata yang dihasilkan sebesar 80% sedangkan SR akhir
terendah yaitu rata-rata pada perlakuan 6 dengan SR rata-rata yang dihasilakan
sebesar 0 % .

IV.2. Pembahasan
Penanganan – penanganan yang dilakukan berpengaruh pada ketahanan
cacing sutera. Perubahan lingkungan menjadi aktor utama yang menentukan
ketahanan cacing selama perlakuan dibandingkan dengan faktor lain seperti
patogen. Sehingga penanganan yang dilakukan harus memberikan lingkungan
yang baik bagi cacing.
Berdasarkan pengamatan selama 6 jam diketahui pada tabel 1. Data hasil
perhitungan biomasa akhir Tubifex sp. bahwa rata-rata biomasa pada perlakuan
1,2,3,4,5, dan 6 berturut-turut adalah 1 gram, 16.2 gram, 5.4 gram,19.6 gram, 3
gram, dan 0 gram ( mati semua) dari biomasa awal tebar sebanyak 2 gram.
Berdasarkan data tersebut dengan demikian dikatakan bahwa perlakuan yang
paling baik rata-rata adalah perlakuan ke-4. Sedangkan pada grafik 1. Hasil
pengamatan SR (Survival Rate) penanganan Tubifex sp. dapat diketahui bahwa
SR akhir tertinggi yaitu rata-rata pada perlakuan 4 dengan SR rata-rata yang
dihasilkan sebesar 80% sedangkan SR akhir terendah yaitu rata-rata pada
perlakuan 6 dengan SR rata-rata yang dihasilakan sebesar 0%.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat dikatakan cacing membutukan
suplai air dan suplai oksigen , sehingga perlakuan emberian air dan oksigen
mampu menjaga kelangsungan hidup cacing sutera. Sebaliknya penanganan yang
tidak diberi perlakuan air dan oksigen mengakibatkan cacing tersebut mati secara
keseluruhan seperti perlakuan ke-6 yang hanya diberikan air secukupnya lalu
diberikan es disekitar wadah kemudian menghasilkan mortalitas cacing sbesar
100%. Dengan demikian dikatakan bahwa faktor lingkungan yang dibutuhkan
tidak terpenuhi.cacing sutera membutuhkan aliran air agar dapat bertahan hidup
dan berkembangbiak.

V. SIMPULAN DAN SARAN

V.1. Simpulan
Faktor penentu keberhasilan penanganan cacing sutera adalah perlakuan
yang diberikan. Perlakuan paling baik yang dapat menjaga tingkat kelangsungan
hidup paling tinggi dari cacing sutera tersebut adalah media, aliran air dan aerasi
atau pada perlakuan 4 dengan SR yang dihasilkan sebesar 80% .

V.2. Saran
Praktikum ini dapat dikembangkan dengan menambah parameter
pegamatan yakni kualitas air karena perlakuan aliran air dan aerasi juga
berpangaruh terhadap kualitas air selama penanganan cacing sutera.

DAFTAR PUSTAKA

Efiyanti, W. 2003. Pemanfaatan Ulang Limbah Organik Usaha Cacing Sutera. Skripsi
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Goodnight, C.J. 1959. Oligochaeta. In W.T. Edmonson. Freshwater Biology. John Wiley
and Sons, Inc. Hal : 522-537
Isyaturradhiyah. 1992. Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Tubifex sp. Pada Wadah
Yang Dialiri Ir Limbah dan Budidaya Tubifex sp. dengan Panjang 3, 6 dan 9
meter. Skripsi Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Kosiorek, D. 1974. Development Cycle of  Tubifex Tubifex Muller in Experimental
Culture. Pol. Arch. Hidrobiol. 21 (3/4) : 411 – 422.
Marian, M. P. Dan T. J. Pandian. 1984. Culture and Harvesting Tehnique for Tubifex
Tubifex. Aquaculture. 42 : 303 – 315
Pennak, R. W. 1978. Freshwater Invertebrates of The United States. A Wiley Intescience
Publication. Jhon Willey and Sons, New York.
Priyambodo, K dan Wahyuningsih, T. 2001. Budidaya Pakan Alami Untuk Ikan. PT
Penebar Swadaya, Jakarta.
Rogaar, H. 1980. The Morphology of Burrow Strukturres Made by Tubificids .
Hydrobiologia 71 : 107 – 124
Syarip, M. 1988. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pupuk  Terhadap Pertumbuhan Tubifex
sp. Skripsi Fakultas Perikana Institut Pertanian Bogor.
Wilmoth, J.H. 1967. Biological of Invertebrate. PrenticeHall, Inc. Englewaood Cliffs.
Neww Yersey. 465 hal.
Yuherman, 1987. Pengaruh Dosis Penambahan Pupuk Pada Hari Kesepuluh Setelah
Inokulasi Terhadap Pertumbuhan Populasi Tubifex sp. Skripsi Fakultas
Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN

Gambar 1. Penimba
bobot
Gambar cacing
4. Perlakuan

Gam

Gambar

Anda mungkin juga menyukai