Anda di halaman 1dari 13

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pakan alami merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan usaha budidaya ikan. Menurut Djarijah (2003), sebagian besar pakan alami ikan adalah plankton yaitu fitoplankton maupun zooplankton. Pakan alami untuk larva atau benih ikan mempunyai beberapa kelebihan yaitu ukurannya relatif kecil serta sesuai dengan bukaan mulut larva atau benih ikan, nilai nutrisinya tinggi, mudah dibudidayakan, gerakannya dapat merangsang ikan untuk memangsanya, dapat berkembangbiak dengan cepat sehingga ketersediaanya dapat terjamin serta biaya pembudidayaannya relatif murah (Priyambodo dan Triwahyuningsih, 2003). Menurut Khairuman dan Khairul Amri (2002), pakan merupakan unsur terpenting dalam menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Ikan yang dipelihara secara tradisional atau yang dipelihara bebas di alam, hanya memanfaatkan pakan yang tersedia secara alami dan dapat menyababkan laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ikan yang dipelihara jauh lebih tinggi daripada ikan yang dipelihara secara tradisional atau yang hidup di alam bebas. Salah satu pakan alami yang penting dan cocok untuk kebutuhan larva ikan maupun ikan hias adalah cacing sutera atau Tubifex sp. Tubifex sp atau yang biasa disebut cacing sutra. Tubifex sp biasanya hidup di tempat dengan aliran air yang lancar. Tubifex sp memiliki manfaat yang besar bagi organisme lain. Sebagai contoh, cacing ini dijadikan pakan untuk ikan. Protein dan lemak yang cukup akan membuat ikan peliharaan menjadi sehat dan bernilai jual tinggi (Pennak, 1978). Keberadaan Tubifex sp di alam tidaklah menentu dan menyebabkan hewan ini berpengaruh pada keberadaannya di pasaran. Pemasaran Tubifex sp sangat terkait dengan kegiatan pembenihan ikan konsumsi dan pembudidayaan ikan hias (Kosiorek, 1974). Menurut Yurisman dan Sukendi (2004), Tubifex sp digunakan sebagai pakan alami untuk benih yang agak besar. Pengkulturan tubifex dilakukan dengan

teknik kloning , yaitu pertumbuhan cacing dalam klon (bedengan tanah). Siklus hidup yang cepat dan bentuknya yang kecil, tidak memerlukan banyak tempat untuk pemeliharaan, reproduksi berlangsung cepat, sehingga keuntungan yang akan diperoleh dari pemeliharaan dan usaha cacing sutera cukup besar (Kosiorek, 1974).

B. Tujuan Tujuan praktikum ini adalah agar setiap mahasiswa dapat mengetahui tentang teknik kultur masal Tubifex sp dalam skala laboratorium, sehingga nantinya setiap mahasiswa lebih mengerti tentang bagaimaana cara mengkultur Tubifex sp dengan baik.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistematika dan Morfologi Tubifex sp Menurut Pennak (1978) sistematika Tubifex sp adalah sebagai berikut. filum : Annelida kelas : Oligochaeta ordo : Haplotaxida

famili : Tubificdae genus : Tubifex spesies : Tubifex sp Cacing ini termasuk kelompok Nematoda. Tubuhnya beruas-ruas, cacing ini memiliki saluran pencernaan. Mulutnya berupa celah kecil, terletak di daerah terminal. Saluran pencernaannya berujung pada anus yang terletak di bagian sub terminal (Pennak, 1978). Di dalam budidaya perairan secara umum Tubifex sp sering kali disebut cacing rambut atau cacing sutra karena bentuk dan ukurannya seperti rambut. Panjang tubuh dari dari tubifex ini antara 1030 mm berwarna merah coklat kekuningan terdiri dari 3060 segmen. Dinding tebal yang terdiri dari dua lapis otot yang membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya. Dari setiap segmen bagian punggung dan perut keluar seta dan ujung seta bercabang dua tanpa rambut.

B. Habitat Perairan yang banyak dihuni Tubifex sp sepintas tampak seperti koloni lumut merah yang melambai-lambai dalam air kemudian bergerak dan berputarputar. Dasar perairan yang disukai adalah berlumpur dan mengandung bahan organik, cacing ini membenamkan diri kepalanya dalam lumpur untuk mencari makan. Sementara ekornya akan disembulkan di atas permukaan dasar untuk bernafas. Cacing tubifex banyak hidup di perairan tawar yang airnya jernih dan

mengalir. Media tumbuh yang baik bagi cacing rambut ini adalah perairan yang banyak menandung bahan organik, memiliki debit air (air mengalir) (Yurisman dan Sukendi, 2004).

C. Kebiasaan Makan Sebagian besar Tubifex sp memperoleh makanan dengan menyaring substrat seperti kebiasaan cacing yang lain. Komponen organik pada substrat ditelan melalui saluran pencernaan (Yurisman dan Sukendi, 2004). Menurut Pennak (1978), makanan oligochaeta akuatik sebagian besar terdiri dari ganggang berfilament, diatom dan detritus berbagai tanaman dan hewan.. Cacing ini memperoleh makanan pada kedalaman 2-3 cm dari permukaan substrat. Tubifex sp mencari makan dengan cara masuk ke dalam sedimen, beberapa sentimeter di bawah permukaan sedimen dan memilih bahan makanan yang kecil serta lembek (Morgan, 1980 dalam Isyaturradhiyah, 1992). Menurut Monakov (1972) cacing tersebut hanya makan pada lapisan tipis di bawah permukaan pada kedalaman 25 cm dan pada lapisan tersebut banyak zat-zat makanan yang tertimbun akibat dekomposisi anaerbik.

D. Reproduksi Tubifex sp adalah organisme hermaprodit. Pada satu individu organisme ini terdapat 2 alat kelamin dan berkembangbiak dengan cara bertelur dari betina yang telah matang telur. Hasil perkembangbiakannya berupa telur yang dihasilkan oleh cacing yang telah mengalami kematangan sek kelamin betinanya. Telur ini selanjutnya dibuahi oleh kelamin jantan telah matang (Yurisman dan Sukendi, 2004). Reproduksi Tubifex sp terjadi secara seksual antara dua individu seperti halnya pada cacing tanah (Pennak, 1978). Telur dibuahi dalam suatu kantong yang disebut kokon dan tiap kokon terdapat 4,15 telur. Kokon berbentuk oval dengan panjang 1,0 mm dan diameter 0,7 mm (Kosiorek, 1974). Menurut Kosiorek (1974), perkembangan embrio mulai dari telur hingga menjadi cacing muda

membutuhkan sekitar 10-12 hari pada suhu 24 0C. Siklus hidup mulai dari penetasan hingga dewasa dan meletakkan kokonnya yang pertama membutuhkan waktu 40-45 hari, sehingga siklus hidup dari telur menetas hingga menjadi dewasa dan bertelur lagi membutuhkan waktu 50-57 hari.

E. Kultur Tubifex sp Tubifex sp yang hidup di perairan alam dapat ditangkar ditempat-tempat terkontrol, misalnya kubangan tanah. Di alam kubangan ini kondisi (habitat) dibuat mirip dengan habitat alam berlumpur. Kubangan diisi campuran pupuk kandang (kotoran ayam) dan dedak halus setebal 1 cm. Pupuk dicampurkan dengan dedak halus. Untuk membudidayakannya bahan organik yang biasa dipakai adalah kotoran ternak seperti kotoran ayam, kambing, sapi, kuda, kerbau, babi dan lain sebagainya. Selanjutnya diratakan dan diisi air. Biarkan rendaman ini sampai mengendap. Kemudian dimasukan klon cacaing tubifex. Aliran air dibesarkan sedikitt setelah bibit ditanam. Aliran ini dibutuhkan untuk mengganti air yang ada secara kontinyu (Yurisman dan Sukendi, 2004). Untuk kultur Tubifex sp skala laboratorium dapat dikultur pada media akuarium atau wadah lain yang diisi dengan lumpur dan pupuk kandang sehingga menyerupai habitat aslinya. Sedangkan untuk alirannya dapat menggunakan sistem sirkulasi, namun debit air untuk pemeliharaan jangan terlau besar karena dapat menghilangkan bahan-bahan organik sehingga terjadi pencucian nutrisi yang berakibat kurangnya nutrisi pada media (Kordi, 2009).

III. METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat Praktikum Budidaya Pakan Alami Kultur Tubifex sp dilaksanakan pada hari Rabu, 16 November 2011 sampai 7 Desember 2011 pukul 14.30 WIB dan bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Indralaya.

B. Alat dan Bahan 1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Alat yang digunakan dalam praktikum kultur Tubifex sp No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Alat Toples Lampu Aerator Selang aerasi Tali rafia Pipet tetes Terminal listrik Timbangan analitik Thermometer Kertas pH Spesifikasi 6 Liter 5 watt 1 Diameter 0,5 cm Secukupnya Volume 1 ml 4 lubang Ketelitian 0,0001 g Ketelitian 0,1oC Jumlah 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Fungsi Wadah kultur Sumber cahaya Penyuplasi oksigen Penyaluran udara Mengikat wadah pupuk Menghitung kepadatan Menimbang pupuk Mengukur suhu Mengukur pH

2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam tabel praktikum kultur Tubifex sp. No. 1. 2. 3. 4. Nama Bahan Tubifex sp Air Pupuk Kandang Lumpur Jumlah 25 ekor 3L Secukupnya Secukupnya Fungsi Hewan uji Media hidup Pakan untuk Tubifex sp Pakan untuk Tubifex sp

C. Cara Kerja Cara kerja yang dilakukan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut : a. pupuk kandang dihaluskan dan dikeringkan lalu dicampur dengan lumpur dengan perbandingan 1:1 ketinggian lumpur dengan pupuk kandang 2,5 cm dari dasar wadah. b. alirkan air terus menerus kedalam wadah setelah 7 hari Tubifex sp dimasukkan kedalam wadah aliran air dihentikan. Setelah itu dihidupkan kembali. Padat penebaran awal 1ekor/10 cm2. c. d. e. penambahan pupuk selanjutnya setiap 4 hari sekali setengah dosis awal. pengambilan sampel setiap minggu sekali. ukur pH, suhu dan oksigen terlarut pada awal penebaran dan setiap pengambilan sampel.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Adapun hasil praktikum yang didapat selama pemeliharaan, yaitu sebagai berikut: Tabel 1. Kualitas Air Kelompok II Awal 27 oC Parameter Kualitas Air Suhu Akhir 24 oC Awal 7 pH Akhir 7

Tabel 2. Jumlah kepadatan sel Tubifex sp Jumlah kepadatan Tubifex sp Kelompok Awal Akhir II 25 ekor 83 ekor

B. Pembahasan Pada praktikum kultur budidaya tubifex ini tidak terlepas dari faktor eksternal (lingkungan seperti suhu, serta pakan). Penebaran awal Tubifex sp saat praktikum kultur Tubifex sp adalah 25 ekor. Pemeliharaan dilakukan selama 21 hari. Dengan suhu awal 27oC dan pH 7. Hasil yang didapat pada saat pemeliharaan hanya 83 ekor. Hasil tersebut menurut saya kurang optimal. Ada beberapa faktor yang memicu hal tersebut yakni suhu kurang optimal untuk pertumbuhan tubifex dan waktu pemeliharaan yang relatif singkat, karena menurut Marian dan Pandian (1984) waktu pemeliharaan yang baik untuk kultur Tubifex sp 42 hari sedangkan yang kami lakukan hanya 21 hari. Faktor lain yang menyebabkan gagalnya kultur Tubifex sp adalah pemupukan. Pemupukan dalam kultur Tubifex sp bertujuan untuk menambah sumber makanan baru pada media pemeliharaan Tubifex sp. Pemberian pupuk tambahan yang berbeda baik frekuensi maupun jumlah setiap pemberian pupuk secara langsung akan mempengaruhi bahan organik dalam media. Tingginya

bahan organik dalam media akan meningkatkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makanan pada media yang dapat mempengaruhi populasi dan biomassa cacing (Syarip, 1988). Selain itu, frekuensi pemupukan dapat mempengaruhi kandungan ammonia karena pemupukan dapat meningkatkan bahan organik pada media. Dan aliran air yang dibuat terlalu besar juga dapat meningkatkan ammonia akibat dekomposisi serta hilangnya bahan organik penting pada media pemeliharaan. Nilai ammonia 3,6 ppm dosis lethal bagi cacing tubificidae dan akan terganggu bila lebih besar dari 2,7 ppm. Faktor terakhir adalah aliran air. Hal ini perlu diperhatikan dalam kultur Tubifex sp karena aliran air dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakkan Tubifex sp. . Untuk menjaga kualitas air agar tetap baik maka dilakukan pergantian air karena dengan adanya aliran air ini, kebutuhan akan oksigen terpenuhi dan kandungan ammonia yang bersifat racun dapat terbuang.

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Adapun kesimpulan dalam praktikum ini adalah 1. Hasil yang didapat pada saat kultur Tubifex sp adalah 3 ekor. 2. Faktor penyebab kurang optimalnya proses kultur Tubifex sp adalah aliran air, pemupukan dan lingkungan. 3. Aliran air sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakkan saat kultur Tubifex sp. 4. Pemupukan bertujuan untuk menambah sumber makanan baru pada media pemeliharaan Tubifex sp. 5. Waktu yang baik untuk mengkultur Tubifex sp adalah 42 hari dengan pemberian pupuk yang seimbang dan teratur.

B. Saran Pada praktikum kultur Tubifex sp sebaiknya wadah pemeliharaan memenuhi standar yang baik untuk melakukan kultur tubifex.

DAFTAR PUSTAKA

Djarijah, Abbas Siregar. 2003. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Isyaturradiyah. 1992. Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Tubiex sp pada Wadah Yang Dialiri Air Limbah dari Budidaya Tubiex sp dengan panjang 3, 6 dan 9 meter. Skripsi Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Khairuman dan Khairul Amri. 2008. Membuat Pakan Buatan. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta. Kosiorek, D. 1974. Development Cycle of Tubifex tubifex Muller in Experimental Culture. Pol. Arch. Hidrobiol. 21 (3/4) : 411-422 Marian, M. P. Dan T. J. Pandian. 1984. Culture and Harvesting Tehnique for Tubifex tubifex. Aquaculture. 42 : 303 315 Pennak, R. W. 1978. Freswhere Invertebrates Of The United States. A Wilwy Intescience Publication. John Willey and Sons, New York. Priyambodo dan Wahyuningsih, Tri. 2003. Budidaya Pakan Alami Untuk Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya Rostini, Iis. 2007. Kultur Fitoplankton (Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii) Pada Skala Laboratorium. Universitas Padjadjaran Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Jatinangor. Rejeki,D. U.S. 1988. Pengaruh Debit Air Dengan Sistem Pembilasan Terhadap Populasi Tubifisid. Skripsi Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Syarip, M. 1988. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pupuk Tambahan Terhadap Pertumbahan Tubifex sp. Skripsi Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Wilber, C. G. 1971. The Biologycal Aspects of Water Pollution. Charles C Thomas Publisher. USA. Yurisman dan Sukendi. 2004. Biologi dan Kulltur Pakan Alami. UNRI Press : Pekanbaru.

LAPORAN TETAP PRAKTIKUM BUDIDAYA PAKAN ALAMI Kultur Tubifex sp

Oleh: Kelompok III Winda Wulandari 05091005016

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA INDRALAYA 2011

Anda mungkin juga menyukai