Kajian hadist
DI SUSUN OLEH:
HOLIPATUNNISA (0151)
Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala Puji bagi Allah yang
telah memberikan taufik dan hidayahnya.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada suri teladan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga
dan para sahabatnya yang membawa kebenaran bagi kita semua.
” dan juga terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu
kami sehingga terselesaikan makalah ini.
Ucapan terima kasih tak lupa kami ucapkan, sebagai wujud rasa syukur dengan tersusunnya makalah ini
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi selama penyusunan makalah ini, yang telah dengan tulus
ikhlas membantu baik secara moril maupun materiil, terutama kepada Dosen Pembina dan teman-teman
sekalian.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................................
BAB 1.......................................,....................................................................................
PENDAHULUAN..............................................................................................................
BAB II...............................................................................................................................
PEMBAHASAN..................................................................................................................
2.1.Pengertian Hadist.........................................................................................................
2.2Pengertian Sunnah.........................................................................................................
2.4 Athar..........................................................................................................................
BAB III.............................................................................................................................
PENUTUP..........................................................................................................................
1. KESIMPULAN................................................................................................................
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Urgensi hadis nabi baik dalam studi Islam maupun implementasi ajarannya—bukanlahhal yang asing
bagi kaum muslimin umumny a, apalagi bagi kalangan ulama. Hal ini mengingat hadis menempati
posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri>’ al-Islami>) setelah al-
Qur’an.
Sebagai referensi tertinggi kedua setelah al-Qur’an, Hadis membentuk hubungan simbiosis mutualism
dengan al-Qur’an sebagai teks sentral dalam peradaban Islam bukan hanya dalam tataran normatif-
teoritis namun juga terimplementasikan dalam konsensus, dialektika keilmuan dan praktek
keberagaman umat Islam seluruh dunia sepanjang sejarahnya. Bersama al-Qur’an, hadis merupakan
“sumber mata air” yang menghidupkan peradaban Islam, menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum
muslimin dalam kehidupannya.
Mengingat strategisnya posisi hadis dan urgensi mempelajarinya, maka ulama hadis memberikan
perhatian serius dalam bentuk menghafal hadis, mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan
mempublikasikannya, menjabarkan cabang-cabang keilmuannya, meletakkan kaidah-kaidah dan
metodologi khusus untuk menjaga hadis dari kekeliruan dan kesalahan dalam periwayatan serta
melakukan riset-riset untuk meneliti validitas hadis dan melakukan dokumentasi dan kodifikasi
dengan berbagai macam metode untuk memudahkan akses terhadap hadis. Demikian pula, mereka
menjelaskan posisi dan urgensi hadis kepada umat dan memotivasi umat untuk mempelajarinya dan
berpegang teguh kepada sunah dalam semua aspek kehidupannya.
Dalam konteks konsep keilmuan dewasa ini, ilmu hadis perlu diuraikan secara sistematis dari aspek
ontologi, epistemologi dan aksiologinya. Demikian pula, verifikasi berbagai istilah (term) dan
definisinyamasing-masing serta yang tidak kalah pentingnya adalah argumentasi-argumentasi
tentang otoritas hadis serta eksistensinya sebagai landasan agama. Hal ini mengingat, tema-tema
tersebut tidak jarang menjadi kontroversi dalam wacana studi Islam.
Dalam makalah sederhana ini dibahas tentang konsep hadis, terminologi, eksistensi serta otoritas
(hujjiyah)-nya dalam syari’at Islam sebagai pengantar mengkaji berbagai aspek dan cabang ilmu
hadis yang cukup luas.
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan
logos berarti ilmu. Dengan demikian, secara sederhana ontologi dapat dirumuskan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada). Setiap disiplin ilmu mempunyai objek
penelaahan yang jelas dan landasan ontologis yang berbeda-beda.
Adapun epistemologi merupakan gabungan dari dua kata yaitu episteme dan logos yang keduanya
berarti teori ilmu pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi dapat didefiniskan sebagai ilmu yang
membahas pengetahuan dan cara atau teknik dan prosedur untuk memperolehnya. Landasan
epistemologi ilmu adalah metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan
pengetahuan secara ilmiah yang disebut ilmu atau pengetahuan ilmiah.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A.Pengertian Hadits
Arti kata hadis secara bahasa (etimologis), setidaknya memiliki tiga macam arti, yaitu:
Hadis berarti khabar dan berita (al-Khabar wa al-naba’), seperti tersebut dalam QS. An-Nazi’at: 15 dan al-
Ghasyiyah: 52.
Hadis bersinonim dengan al-kalam, hal ini dapat dirujuk dari firman Allah SWT (QS. Az-Zumar: 23) ah
alsanal–hadis dalam ayat ini artinya ahsan al-kalam (sebaik-baik perkataan). Lihat pula QS. Al-Mursalat: 50
Hadis bermakna al-jadid(baru) sebagai lawan dari al-qadim (lama). Makna ini merupakan arti dasar dari kata
al-hadis, yang kemudian digunakan untuk al-khabar (berita). Hal ini karena munculnya berita bersifat up to
date dan berlangsung secara kontinu sebagian demi sebagian sehingga terasa sebagai sesuatu yang baru.
Konteks penggunaan kata hadis dalam ilmu hadis, tidak terpaut jauh dari makna etimologis di atas. Hadis
merupakan sesuatu yang berisi informasi (al-khabar wa al-naba’) dari kalam Nabi SAW yang bersifat jadi>d
bila dibandingkan dengan kalam Allah SWT.
Adapun secara terminologis, di kalangan ahli hadis, setidaknya ada tiga versi pendapat tentang pengertian
hadis secara istilah, yaitu:
1. Perkataan Nabi SAW selain Al-Quran dan perbuatan, taqrir, dan sifat-sifat khususnya, termasuk gerak
dan diamnya, bangun dan tidurnya. Dengan demikian hadis hanya terbatas pada hadis marfu’ saja. Hadis
sinonim dengan sunah Nabi.
2. Khusus untuk perkataan Nabi SAW. Dalam hal ini hadis adalah antonim dari sunah dimana sunah adalah
amalan dan perbuatan Nabi SAW yang diteladani tariqah ‘amaliyah) dan merupakan penjelasan praktis Nabi
SAW tentang ajaran Al-Quran dan bersifat mutawatir. Definisi ini merujuk kepada pengertian bahasa
(etimologis) hadis yang berarti al-kalam (perkataan). Dalam athar salaf di kalangan ulama hadis terdapat
indikasi pembedaan ini. Abdurrahman bin Mahdi ketika ditanya tentang Malik bin Anas, al-Auza’y dan Sufyan
bin ‘Uyainah menjawab:
ﺟِﻤﻴﻌًﺎ
َ ﺲ ِإَﻣﺎٌم ِﻓﻴِﻬَﻤﺎ
ٍ ﻦ َأَﻧ
ُ ﻚ ْﺑ
ُ َوَﻣاِﻟ،ﺚ
ِ ﺤِﺪﻳ
َ ﺲ ﺑِﺈَﻣﺎٍم ِﻓﻲ اﻟ
َ ﺴَّﻨِﺔ َوَﻟْﻴ
ُ ﻲ ِإَﻣﺎٌم ِﻓﻲ اﻟ
َّ ﻋ
ِ َواﻷ َْوَزا،ﺚ
ِ ﺤِﺪﻳ
َ ي ِإَﻣﺎٌم ِﻓﻲ اﻟ
َّ ن اﻟَّﺜْﻮِر
َ ﺳْﻔَﻴﺎ
ُ
Auza’y adalah imam dalam masalah sunah tapi bukan imam dalam masalah hadis. Sufyan adalah Imam -“Al
dalam masalah hadis dan bukan imam dalam masalah sunah. Adapun Malik adalah imam dalam kedua hal
tersebut”.
3. Perkataan Nabi SAW—selain Al-Quran—, perbuatan, persetujuan Nabi atas sesuatu hal (taqrir), sifat fisik
(khalqiyah) dan akhlak (khuluqiyah) serta seluruh informasi yang terkait dengan Nabi SAW baik sebelum
diutus sebagai Nabi (qabla al-bi’tsah) atau sesudahnya (ba’da al-bi’tsah), termasuk pula biografi (sirah) dan
peperangan (ghazawat) yang terkait kehidupan dan dakwahnya. Demikian pula, hadis mencakup perkataan
dan perbuatan sahabat Nabi SAW dan tabi’in. Dengan demikian hadis meliputi riwayat yang marfu', mawquf
dan maqtu'.
Menurut Nur al-din Iterdefinisi yang ketiga adalah definisi yang paling tepat. Hal ini dapat dibuktikan dengan
realita dalam kitab-kitab hadis yang ada yang bukan hanya mencantumkan hadis-hadis yang marfu’ kepada
Nabi, namun juga hadis yang mawquf (perkataan shahabat) dan maqtu’ (perkataan tabi’in). Bahkan dapat
dikatakan bahwa hampir seluruh ragam jenis kitab-kitab hadis seperti al-muwatha’, al-jami’ al-sahih, al-sunan,
terkandung di dalamnya hadis nabawi, perkataan (aqwal) shahabat dan tabi’in.
B.Pengertian Sunnah
Secara etimologis, Sunnah berarti al-tariqah dan al-sirah. yang berarti jalan, cara atau metode. Makna asal
dari kata al-sunnah bermakna jalan yang dirintis dan ditempuh oleh orang terdahulu sehingga menjadi jalan
yang selalu diikuti dan dilalui oleh orang-orang yang datang kemudian. Sunnah mencakup juga jalan yang
dilalui hal itu baik ataupun buruk, atau jalan yang ditempuh kemudian diikuti orang lain, ataupun cara, arah,
mode, peraturan, dan gaya hidup, kebiasaan (tradition) dalam hal yang positif ataupun negatif. Rasulullah
SAW bersabda:
ًﺳَّﻨﺔ
ُ ﺳَﻠﺎِم
ْ ﻦ ِﻓﻲ اْﻟِﺈ َّ ﺳَ ﻦ
ْ ﻲٌء َوَﻣ ْ ﺷَ ﻢْ ﻫِ ﺟﻮِرُ ﻦ ُأْ ﺺ ِﻣَ ن َﻳْﻨُﻘ ْ ﻏْﻴِﺮ َأ
َ ﻦْ ﻞ ِﺑَﻬﺎ َﺑْﻌَﺪُه ِﻣ
َ ﻋِﻤ
َ ﻦْ ﺟُﺮ َﻣ ْ ﻫﺎ َوَأ
َ ﺟُﺮ
ْ ﺴَﻨًﺔ َﻓَﻠُﻪ َأ
َ ﺣ
َ ﺳَّﻨًﺔ
ُ ﺳَﻠﺎِم
ْ ﻦ ِﻓﻲ اْﻟِﺈ
َّ ﺳ
َ ﻦ
ْ َﻣ
ٌﻲءْ ﺷ َ ﻢ
ْ ﻫ
ِ ﻦ َأْوَزاِر
ْ ﺺ ِﻣ َ ن َﻳْﻨُﻘ
ْ ﻏْﻴِﺮ َأ
َ ﻦْ ﻦ َﺑْﻌِﺪِه ِﻣْ ﻞ ِﺑَﻬﺎ ِﻣ
َ ﻋِﻤ
َ ﻦ ْ ﻫﺎ َوِوْزُر َﻣ
َ ﻋَﻠْﻴِﻪ ِوْزُر
َ نَ ﺳِّﻴَﺌًﺔ َﻛﺎَ
“Barangsiapa yang mencontohkan suatu sunnah yang baik dalam Islam maka baginya pahala dari
orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. -perbuatannya dan dari orang
Barangsiapa yang mencontohkan suatu sunnah yang jelek dalam Islam maka baginya dosa dari perbuatannya
orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”-dan dari orang
Dalam istilah sebagian ahli hadis, sunnah adalah apa saya yang dikaitkan dengan Nabi SAW saja, namun
mayoritas mereka menetapkan bahwa sunnah mencakup pula apa yang disandarkan kepada para sahabat dan
tabi’in.
Sementara dalam tataran praktis-aplikatif—sebagaimana pendapat‘Itr—term sunnah lebih banyak dipakai oleh
para ulama ushul fiqh, sementara term hadis, lebih banyak dipakai oleh ulama hadis. Menurut ulama ushul
fiqh, sunnah lebih banyak disebut dalam konteksnya sebagai sumber penetapan syari’at (masdar tashri’).
Sementara ulama hadis menggunakan secara luas sebagai “kata ganti” yang sinomin dengan hadis. Dalam
hal ini ahli hadis mengkategorikan “sifat” sebagai bentuk sunnah.
Seubhi Sealeh yang menolak adanya klaim sinonim antara sunnah dan hadis, menurut tinjauan etimologis
maupun terminologis. Sunnah lebih berkaitan dengan perbuatan (af’a>l) Nabi SAW dan lebih berorientasi
aplikatif-fiqhy (living tradition) dari cara hidup (tariqah) Nabi SAW yang menjadi kebiasaannya (al-‘adah). Hal
ini didukung keumuman konteks penggunaan term ini dalam hadis-hadis Nabi SAW.
C.Pengertian Khabar
Khabar adalah suatu informasi yang berimplikasi pembenaran atau pendustaan. Menurut Subhi Salih,
khabar lebih dekat untuk dianggap sinonim dengan hadis karena tahdid adalah bentuk ikhbar dan hadis
Rasulullah SAW adalah jenis khabar yang marfu’ kepada Rasulullah SAW. Sejalan dengan pendapat
tersebut, menilai bahwa hadis, khabar dan athar, ketiganya memiliki arti yang sama yaitu segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW baik perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat jasmani (fisik),
maupun sifat kepribadian (akhlak), termasuk pula apa yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.
Jika dilacak lebih jauh, terdapat sisi perbedaan ruang lingkup dari ketiga term tersebut bila disebutkan
secara mutlak.
Khabar adalah yang paling luas ruang lingkupnya. Hal ini merujuk kepada makna bahasa, domain content
khabar mencakup informasi apa saja, bukan hanya terkait Nabi SAW sampai generasi tabi’in, namun juga
khabar tentang peristiwa, tokoh, dan tempat tertentu selain Nabi, Sahabat dan tabi’in. Dalam praktek para
perawi pun, mereka tidak membatasi periwayatan hanya informasi Nabi SAW tetapi juga selain Nabi SAW
dan dua generasi pertama Islam.
D.Athar
Dalam Nukhbat al-Fikar, Ibnu Hajar mensinyalir adanya pendapat sebagian muhadithin yang
mengkhususkan istilah athar untuk khabar yang mawquf dan maqthu’. Menurut An-Nawawi,
khabar yang marfu’ ataupun mawquf semuanya disebut athar. Beliau menolak bahwa pendapat
para ulama fiqh negeri Khurasan yang membedakan bahwa athar untuk khabar yang mawquf.
‘sepakat pendapat al-Nawawi dengan alasan bahwa istilah athar sinonim dengan hadis yang
bukan hanya marfu’, tapi juga mawquf dan maqthu’.
Walaupun dalam pemakaianya istilah athar bersifat global yang mencakup hadis Nabi. Namun,
jika pemakaiannya bersamaan dengan penyebutan istilah hadis, maka athar lebih menunjukkan
makna perkataan sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in (al-qurun al-thalathah al-mufad}alah).
Sebagai kesimpulan dari sub bahasan ini, berikut urutan ruang lingkup dari yang paling luas
cakupan maknanya ke paling sempit dari keempat istilah tersebut;
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Ilmu hadis adalah ilmu yang memenuhi konsep filsafat ilmu, baik dari aspek ontologi,
epistomologi dan aksiologi.
Istilah hadis, sunnah, athar dan khabar adalah istilah yang sering dianggap sinonim. Pada aspek
tertentu bermakna berbeda, terutama jika disebutkan bersamaan dalam satu kalimat (idha
ijtama’a iftaraqa). Perbedaan definisi juga bergantung perspektif dan tinjuan keilmuan masing-
masing bidang.
Kategorisasi hadis cukup beragam, bergantung aspek tinjauannya. Ada tinjauan dari aspek
kuantitas periwayatan, kualitas validitas, narasumber yang menjadi sandaran informasi, dll.
Kedudukan hadis sebagai sumber tashri’ sangat kuat secara normatif, konsensus maupun secara
rasional.
Dalam wacana hadis sebagai landasan agama, hadis memiliki otoritas hukum yang independen,
selain sebagai penegas, penjelas, pengikat dan pembatas cakupan hukum al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Hasan al-Hadisi. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha>. (Beirut :
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2005)
Abu Zakariya, Yahya bin Syarf an-Nawawi. Muqaddimah Syarh alNawawi ‘ala> Shahi>h Muslim,
Juz 1 (Kairo: Al-Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M)
Al-Amidy, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Abdul Razzaq al-‘Afify (Riya>d} : Dar Al-S{ami’y, cet. 1,
1424 H/2003 M) Juz 1
Al-Jurjany. Mu’jam Al-Ta’rifa>t, ed. Muhammad S{iddiq al-Minshawy (Kairo: Dar al-Fad{ilah, ttp)
Al-Sakhawy, Tawd}ih al-Abhar li Tadhkirah Ibn al-Mulqin Fi ‘Ilm alAthar, ed. Abdullah bin
Muhammad Abdurrahim al-Bukhary(Saudi: Maktabah Us}ul al-Salaf, cet. 1, 1418 H) Juz 1
Al-Sakhawy. Fath al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadis, ed. ‘Abdul Karim al-Khudhair dan Muhammad
bin Abdullah Alu Fuhaid (Saudi: Maktabah Ushul as-Salafh, Cet.1, 1418 H) Juz 1
Syaikh Manna ‘ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta :Pustaka Al-
Kautsar;2011,cet ke-6, h.16
Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta : Faza Media, 2006, cet .ke-2, h.44