Anda di halaman 1dari 1

MERENUNGI HAKEKAT UMUR

Waktu adalah sebuah anugerah. Manusia menerima kesempatan di dunia untuk mencapai tujuan-tujuan akhirat. Sebagaimana
Islam ajarkan bahwa kehidupan dunia adalah ladang yang mesti digarap serius untuk masa panen di akhirat kelak. Karena itu sifat waktu
dunia adalah sementara, sedangkan sifat waktu di akhirat adalah kekal abadi. Islam mengutamakan kehidupan akhirat di atas kehidupan
dunia.

Dua kehidupan tersebut dikontraskan sebagai dua jenis waktu yang sejati dan tidak sejati. Al-Qur’an melukiskan kehidupan dunia dengan
istilah “tempat permainan” belaka.

Artinya: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya
kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS al-Ankabut: 64)

Kalimat “kehidupan dunia ini merupakan senda gurau dan main-main” bukan berarti kita dianjurkan untuk berbuat seenaknya di dunia ini
layaknya sebuah permainan. Redaksi tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa kehidupan dunia ini tidak sejati, tidak kekal,
dan penuh dengan tipuan. Karena itu, maknanya justru seseorang harus lebih banyak mencurahkan perhatian kepada kehidupan akhirat.
Lantas apa yang harus dilakukan agar kesempatan hidup di dunia berkualitas?

Al-Qur’an telah memberikan garis bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi secara total kepada Allah.

Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)

Allah tidak menciptakan jin dan manusia untuk suatu manfaat yang kembali kepada Allah. Mereka diciptakan untuk beribadah kepada-Nya.
Dan ibadah itu sangat bermanfaat untuk diri mereka sendiri. Pengertian ibadah itu pun sangat luas, tak sekadar ritual kepada Allah (seperti
shalat, puasa, haji, atau sejenisnya) melainkan meliputi pula kebaikan-kebaikan yang membawa kemaslahatan bagi orang lain.

Memanfaatkan umur di dunia ini menjadi sangat penting karena waktu terus berjalan, dan tak akan bisa terulang kembali. Manusia dituntut
untuk memaksimalkan waktu atau kesempatan yang diberikan untuk perbuatan-perbuatan bermutu, sehingga tak menyesal di kehidupan
kelak. Orang-orang yang menyesal di akhirat digambarkan oleh Al-Qur’an merengek-rengek minta kembali agar bisa memperbaiki
perilakunya.

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,

Imam Al-Ghazali mengatakan, ketika seseorang disibukkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dalam kehidupannya di dunia, maka
sesungguhnya ia sedang menghampiri suatu kerugian yang besar. Sebagaimana yang ia nyatakan—dengan mengutip hadits—dalam
kitab Ayyuhal Walad:

Artinya: “Pertanda bahwa Allah ta’ala sedang berpaling dari hamba adalah disibukkannya hamba tersebut dengan hal-hal yang tak
berfaedah. Dan satu saat saja yang seseorang menghabiskannya tanpa ibadah, maka sudah pantas ia menerima kerugian
berkepanjangan.” Dari penjelasan ini, kita patut memikirkan ulang tentang hakikat perayaan tahun baru. Momen tahunan ini seyogianya
disikapi secara wajar dan tepat.

Kebahagiaan terhadap tahun baru semestinya diarahkan kepada rasa syukur terhadap masih tersisanya usia, bukan uforia kebanggaan
atas tahun baru itu sendiri. Sisa usia itu merupakan kesempatan untuk menambal kekurangan, memperbaiki yang belum sempurna, dari
perilaku hidup kita di dunia. Tahun baru lebih tepat menjadi momen muhasabah (introspeksi) dan ishlah (perbaikan).

Sebuah kata-kata Syekh Ahmad ibn Atha’illah as-Sakandari dalam al-Hikam ini patut menjadi renungan:

“Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Kadang pula umur berlangsung pendek namun manfaat melimpah.”

Semoga kita menjadi pribadi yang orang-orang yang mampu menunaikan sisa usia kita dengan sebijak-bijaknya, dan terhindar dari
perbuatan dan perkataan yang sia-sia. Amiin. Wallahu a’lam bisshawâb.

Anda mungkin juga menyukai