“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”. (Q.S. at Thogobun:
20).
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan
para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. Dan di Akhirat (nanti) ada ‘azab yang keras dan ampunan dari
Allah serta keridhoan- Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu”. (Q.S. al Hadid: 20).
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezeki
bagi siapa yang dikehendaki Nya dan Dia pula yang menyempitkan rezeki itu. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
beriman”. “Maka berikanlah kepada kerabat terdekat akan haknya, demikian pula kepada
orang fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi
orang-orang yang mencari keridhaan Allah dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung”. (Q.S. ar Rum: 37 dan 38).
Rasulullah saw bersabda: “Bukanlah dikatakan seorang mu’min yang dirinya merasa
kenyang sedangkan tetangga sebelahnya kelaparan”. ( H.R. Bukhari dan Muslim r.a ).
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan
sampai setinggi gunung”. (Q.S. al Isra’: 37).
Jelaslah dari dalil-dalil di atas menunjukkan kehidupan dunia adalah sebuah ketentuan
Allah (sunnatullah) yang tidak mungkin ada seorangpun yang mampu merubahnya. Seperti
halnya perputaran langit dan bumi, tanam-tanaman yang tumbuh subur, gunung-gunung yang
Allah tinggikan dan tangguhkan, lautan dan daratan yang terbentang luas.
Kemudian dalam kehidupan dunia dijadikan tempat untuk bercocok tanam, berternak
dan lainnya. Dunia merupakan tempat manusia berkembang biak dan meneruskan sejarah.
Semua penciptaan ini merupakan sunnatulah yang harus disyukuri oleh manusia sebagai
makhluk yang lemah di hadapan Allah swt. Inilah dari tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan
Allah swt Yang Maha Kuasa bagi orang-orang yang mau merenungi.
Manusia tidak melihat kekuasaan Allah Yang Maha Mampu dalam mengatur
peredaran benda-benda langit. Manusia ingkar dan meremehkan kekuasaan Allah. Padahal
manusia sangat lemah dihadapan Allah. Manusia lupa dan amat jarang merenungi beberapa
kekuasaan Allah. Padahal, kepada Allah dan Rasulullah sebaik-baik pengaduan dari segala
urusan. Dunia memang salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah swt yang nyata, agar
manusia benar-benar beriman dan tunduk kepada Nya.
“Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan
gunung-gunung (di permukaan ) bumi supaya bumi itu tidak menggoyahkan kamu; dan
memperkembang biakkan padanya segala jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari
langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik”. (Q.S.
Luqman:10).
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Nya ialan bahwa Dia mengirimkan angin
sebagai pembawa berita gembira dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmat
Nya dan supaya kapal dapat berlayar dengan perintah Nya dan supaya kamu dapat mencari
karunia Nya; mudah-mudahan kamu mensyukuri.” (Q.S. ar Rum: 46).
“Dan sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka benar-benar
telah berputus asa.” (Q.S. ar Rum: 48).
“Allah, Dia lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia
menjadikanmu sesudah lemah itu kuat, kemudian Dia menjadikanmu sesudah kuat itu
lemah kembali dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki Nya dan Dialah Yang
Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Q.S. ar Rum: 54).
“Dan Allah, Dialah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan,
maka Kami halau awan itu ke suatu negeri yang mati lalu Kami hidupkan bumi setelah
matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu.” (Q.S. Fathir: 9).
“Dan tiada sama antara dua laut yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang
lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu memakan daging yang segar dan
kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-
masingnya kamulihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari
karuniya Nyadan supaya kamu bersyukur”. (Q.S. Fathir: 12).
“Dia memasukkan (merubah) malam menjadi siang dan menjadikan siang menjadi
(berubah) malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut
waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan Nya
lahkerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-
apa walaupun setipis kulit ari”. (Q.S. Fathir: 13).
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Onta itu bagaimana diciptakan?”.
“Dan langit, bagaimana ditinggikan?”. “Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan?”.
“Dan bumi bagaimana dihamparkan?”. (Q.S. al Ghasyiyah: 17 – 20).
Bagi orang-orang yang beriman, Allah menjadikan kehidupan dunia sebagai jembatan
untuk kehidupan yang kekal (akhirat). Allah membimbing mereka meraih dua kebahagiaan
yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta mengajarkan mereka untuk mencari nafkah di
dunia tanpa melalaikan waktunya untuk mengingat Allah. Dan juga memberikan kabar
gembira sekaligus menuntun mereka dengan ajaran islam bahwa kehidupan dunia sebagai
kehidupan untuk bertaubat dan mencari bekal di akhirat. Karena itu Allah menganjurkan
manusia supaya teliliti dengan kehidupan dunia ini agar hidup tidak sia-sia. Membimbing
manusia sebagai makhluk yang pandai bersyukur. Semua ini tidak lain hanyalah ujian bagi
orang-orang yang beriman kepada Nya dan mengikuti ajaran islam.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagian dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S. al Qashash: 77).
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang
hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan”. (Q.S. ar Rum: 23)
“Sesungguhnya Allah lebih suka menerima taubat hamba Nya melebihi dari
kesenangan seseorang yang menemukan kembali ontanya yang hilang di tengah
hutan”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. at Thagobun: 11)
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan Nya dan diberikan Nya
kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. “Adapun bila Tuhannya
mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata “Tuhanku menghinakanku”. (Q.S. at
Thogobun: 15 dan 16).
Dennis Lardner (2006) bahkan menegaskan bahwa: ” spiritualitas terletak dalam inti
seseorang, pusat terdalam, di mana dia melakukan kontak dengan Tuhan, realitas tertinggi,
Yang Suci, yang memberikan kehidupan dan koherensi penciptaan, kecantikan dan
signifikansi. Selain itu spiritualitas adalah agama eksistensial; keyakinan, komitmen tertinggi,
sebagaimana mereka bergerak sepanjang urat syaraf, tindakan langsung di samping juga
pikiran, perasaan. Spiritualitas adalah hidup, filsafat yang dialami, teologi, kebijaksanaan
atau apapun yang diinginkan seseorang agar diperlihatkan orang lain.
Dalam hal ini spiritualitas bersifat komprehensif karena dalam spiritual menyentuh
semua aspek kehidupan seseorang termasuk kontribusinya bagia agama atau komunitas
karena spiritualitas mewarnai, jika bukannya menentukan inti seseorang. Cahaya spiritual
akan mengakibatkan munculnya perhatian yang luar biasa. Tidak sulit membuat argumen
bahwa di dalam semua spiritualitas yang tetap bertahan pada saat ini, cahaya akan
mengakibatkan munculnya perhatian yang sama.
b. Kebutuhan Manusia Pada Spiritualitas
Spiritual memiliki kekuatan untuk mentransformasi kehidupan kita dan bahkan
dapat mengubah realitas kehidupan fisik di sekitar kita. Ada sebuah kisah menarik tentang
hakikat kecerdasan spiritual sebagai berikut:
” Pada suatu sore menjelang malam, ada tiga orang tua yang sedang berdiri di depan pintu
sebuah rumah. Ketiganya kelihatan seperti sedang dalam perjalanan jauh. Namun meskipun
demikian tidak tampak tanda kelelahan atau kegetiran dari raut muka mereka. Beberapa
saat kemudian keluarlah seorang wanita dari dalam rumah tersebut. Melihat ketiga orang
tua tersebut, wanita ini menjadi iba dan mempersilahkan mereka untuk masuk ke rumah
dan makan malam bersama dengan keluarga di rumah tersebut.
Salah satu dari ketiga orang tua tersebut menjawab,”Perkenalkan nama saya
adalah wealth (yang berarti kekayaan), dia bernama success (yang berarti kesuksesan), dan
teman saya yang satu lagi bernama love (yang artinya kasih). Kami tidak dapat masuk
bersama-sama ke dalam rumah. Anda harus memilih siapa di antara kami yang Anda undang
untuk masuk ke dalam?” Kemudian si wanita masuk kembali ke dalam rumah dan
menceritakan kejadian tersebut kepada suaminya. ”Sudah jelas bagi kita untuk
mengundang wealth ke dalam rumah. Karena dengan kekayaan kita dapat memiliki
segalanya di dunia ini,” kata sang suami. Tetapi sang istri lebih memilih success untuk dapat
menikmati kehidupan di dunia ini.
Tiba-tiba anak mereka yang berumur sebelas tahun menimpali, ”Mengapa kita tidak
memilih love, sehingga kita bisa saling mengasihi dan menciptakan kedamaian dalam
kehidupan kita.” Akhirnya mereka sepakat untuk mengundang love. Ketika sang isteri
menyampaikan hal tersebut kepada ketiga orang tua tadi, maka masuklah love ke dalam
rumah. Tetapi kemudian kedua orang tua yang lain juga mengikutinya masuk ke dalam
rumah. Bertanyalah wanita itu,”Kami hanya mengundang love, mengapa kalian berdua juga
mau masuk ke dalam rumah kami? Bukankah kalian berkata bahwa kalian tidak dapat masuk
bersama-sama ke dalam rumah?” Salah satu dari orang tua itu menjawab,”Jika kalian
mengundang saya, wealth atau teman saya, success, dua orang dari kami akan tetap tinggal
di luar. Tetapi karena Anda mengundang love, maka kami berdua harus ikut ke
dalam. Kemana pun love pergi kami akan mengikutinya.
Whereever there is love, there is also wealth and success.” Kisah ini menunjukkan bahwa
seorang anak kecil dapat memperlihatkan kecerdasan spiritual yang tinggi. Jelas bagi kita
bahwa sang anak lebih cerdas secara spiritual, karena mengetahui manakah yang lebih
penting antara kekayaan, kesuksesan dengan cinta kasih. (Solikin: 2009)
Menurut Dr. Howard Clinebel yang dikutip Prof. Dr.dr. Dadang Hawari (2002) ada
sepuluh kebutuhan dasar spiritual manusia, yaitu kebutuhan akan;
1. Kepercayaan dasar yang secara terus menerus diulang guna membangkitkan kesadaran
spiritual.
2. Makna hidup, tujuan hidup yang selaras dan seimbang secara vertikal dan horizontal.
3. Komitmen peribadatan dan hubungannya dalam hidup keseharian
4. Pengisian spiritual secara teratur sebagai hubungan dengan Sumber Spiritual
5. Bebas rasa berdosa (vertikal) dan rasa bersalah (horizontal)
6. Penerimaan diri dan harga diri (self acceptance and self esteem)
7. Rasa aman, terjamin keselamatan terhadap harapan masa depan
8. Dicapainya derajat dan martabat yang makin tinggi dan hidup sebagai pribadi utuh
9. Terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama manusia
10. Kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan nilai-nilai religious
c. Dimensi Spiritualitas Sebagai Puncak Kecerdasan
Temuan riset tentang kecerdasan spiritual (SI/SQ) merupakan temuan yang
menggemparkan karena temuan ini disebut-sebut sebagai the ultimate intelligence, puncak
kecerdasan, setelah sebelumnya dunia psikologi dan pendidikan digemparkan oleh temuan
terbaru Daniel Goleman tentang Emotional Intelligence (kecerdasan emosional/EQ).
Menyahuti temuan tersebut maka di sana-sini senantiasa ramai diperbincangkan tentang
kecerdasan emosional. Kajian intensif, diskusi, seminar, bahkan pendidikan dan pelatihan
dalam skala besar diadakan hanya sekedar untuk menegaskan bahwa kecerdasan emosional
sama ampuhnya dan bahkan terkadang lebih ampuh dari IQ (kecerdasan intelektual).
Namun, seperti terasa belum tuntas betul kajian tentang EQ, perhatian kita tiba-tiba
dialihkan pada spiritual intelligence yang dalam buku ini disebut oleh Danah Zohar dan Ian
Marshall sebagai the ultimate intelligence. Ini sungguh mencengangkan karena SI dipandang
sebagai kecerdasan tertinggi manusia, yang dengan sendirinya melampaui segi-segi dua
kecerdasan sebelumnya yakni kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. SI menurut
Zohar dan Marshall mengintegrasikan semua kecerdasan manusia, baik IQ maupun EQ.
Dengan spiritual intelligence kita diharapkan menjadi prototipe manusia yang benar-benar
utuh dan holistik, baik secara intelektual, emosional, dan sekaligus secara spiritual. Apa yang
diungkapkan Zohar dan Marshall tentang SI ini memang sangat menarik apalagi dengan
membandingkannya dengan paradigma kecerdasan yang selama ini sudah jauh lebih
populer dan mapan, yakni IQ dan EQ. Sebelum ditemukan EQ masyarakat
mencitrakan bahwa IQ merupakan kunci kecerdasan untuk meraih masa depan, seseorang
yang ber-IQ tinggi mempunyai masa depan cemerlang dan menjanjikan. Sampai-sampai hal
itu merasuk kuat ke dalam ingatan kolektif masyarakat: ber-IQ tinggi menjamin kesuksesan
hidup; sebaliknya, ber-IQ sedang-sedang saja, apalagi rendah, begitu suram masa depan
hidupnya.
Namun benarkah IQ menjadi kunci kecerdasan untuk meraih masa depan, dan
sekaligus satu-satunya parameter kesuksesan hidup? Tidak! Inilah jawaban tegas Daniel
Goleman. Fakta bicara lain, bahkan berbalik total. Sejak dipublikasikannya emotional
intelligence (EI/EQ) tahun 1995, temuan riset terbaru Goleman tersebut lebih dari cukup
untuk berkesimpulan mengapa orang-orang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ
sedang-sedang justru menjadi sukses. Tentunya faktor lain untuk menjadi cerdas yang
dipopulerkan Goleman dengan kecerdasan emosional (EQ). Perhatiannya kemudian tertuju
pada “faktor-faktor lain”, yaitu emotional intelligence: kemampuan untuk memotivasi diri
sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati, dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.
Setelah muncul paradigm EQ yang menghebohkan tersebut, dunia diramaikan lagi
dengan temuan yang lebih komprehensif, yaitu kecerdasan spiritual. Keramaian ini meluas
tidak saja di lembaga-lembaga keagamaan, namun juga di perusahaan-perusahaan besar
yang berkeinginan menumbuhkan dan mengembangakan segi-segi kecerdasan spiritual
pada staf dan karyawannya dalam aktivitas menjalankan rada bisnis mereka. Walaupun
begitu untuk kasus Indonesia harus diakui walaupun penduduknya mayoritas muslim namun
segmen masyarakat yang mengenal SI belum sebanding dengan jumlah tersebut. Hal ini
dapat dimengerti karena SI wacana baru dalam masyarakat Indonesia. Hal ini sejalan dengan
apa yang disinyalir dalam website www.amazon.com berkaitan dengan sebuah buku yang
berjudul The Spiritual Intelligence Hanbook karya Paul Edwards (1999). Website ini
mengemukakan komentar unik dan sedikit memprihatinkan “mayoritas pembaca memang
belum pernah mendengar wacana SI, membacanya, apalagi berdiskusi dengan orang lain
tentang kecerdasan spiritual ini ”.
Selain itu belum begitu tersosialisasinya wacana SI ini, disebabkan oleh wacana ini
memang benar-benar sesuatu yang anyar dan terkesan istimewa (luxurious) ditataran
pemikiran intelektual, di dunia sekalipun. Padahal, “SQ is the necessary foundation for the
effective functioning of both IQ and EQ. It’s our ultimate intelligence” kata Zohar dan
Marshall. Ini benar-benar luar biasa. SI sebagai puncak kecerdasan merupakan wawasan
pemikiran yang sangat luar biasa mengagumkan, dan sekaligus argumen pemikiran tentang
betapa pentingnya hidup sebagai manusia yang cerdas secara spiritual.
Kemunculan istilah SQ/SI itu sendiri sampai saat ini memang masih menjadi
kontroversi. Sebagian masyarakat masih belum menerima penggunaan kata Quotient yang
dilekatkan dengan kata Spiritual (SQ). Mereka beralasan sebagai sesuatu yang
transcendental, SQ dikatakan berbeda dengan IQ. Spiritual tidak dapat diukur berdasarkan
perhitungan mental age dibagi cronological age dikalikan seratus. Di sini sangat beralasan
jika buku buah karya Danah Zohar dan Ian Marshall yang berjudul berjudul “SQ: Spiritual
Intelligence” bukan SQ: Spiritual Quotient yang dijadikan rujukan dalam disertasi ini sebagai
acuan teori dan kerangkan membangun kerangka pemikiran, disertai dengan pengakuan
bahwa membicarakan kecerdasan spiritual merupakan sesuatu yang masih dianggap janggal
oleh para akademisi, karena mereka menganggap ilmu pengetahuan belum memiliki
perangkat untuk mempelajari sesuatu yang tidak mampu diukur secara objektif. Zohar dan
Marshall mendapat dukungan Steven R. Covey (2004) yang menulis spiritual
intelegence dengan SQ bukan SI dalam bukunya yang berjudul “The Seven Habits From
Effectiveness to Greatness”. Hal ini tentu saja mengundang pertanyaan, mengapa penulisan
spiritual intelligence sering disingkat “SQ bukan SI”.
Terlepas dari adanya perbedaan penyebutan kecerdasan spiritual dengan SQ tidak SI
- (penulis lebih cenderung menyebutnya SI) – namun yang perlu digarisbawahi istilah yang
dimunculkan adalah untuk menunjukkan bahwa SI merupakan sebuah kapasitas (capacity)
dan abilitas (ability) – daya/kemampuan - yang memungkinkan manusia tumbuh dan
berkembang. Tentu saja yang tumbuh dan berkembang di sini bukanlah fisiknya namun
sistem nilai yang dianutnya. Karena pada hakikatnya kemampuan dan kecakapan
merupakan aspek yang selalu menyertai setiap perilaku cerdas manusia selama proses
perkembangannya hingga mencapai kesempurnaan (Daris Tamin, 2009). Dengan kata lain
kecerdasan spiritual melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam,
dan dari sudut pandang psikologi memberitahukan kepada kita bahwa ruang spiritual
(spiritual space) pun memiliki kecerdasan. Logika sederhananya ternyata di antara kita bisa
saja ada orang yang tidak cerdas secara spiritual, dengan ekspresi keberagamaannya yang
monolitik, ekslusif, dan intoleran yang seringkali berakibat pada kobaran konflik atas agama.
Begitu juga sebaliknya, di antara kita bisa juga ada orang yang cerdas secara spiritual sejauh
orang itu mengalir dengan penuh kesadaran, dengan sikap jujur dan terbuka, inklusif, dan
bahkan pluralis dalam beragama di tengah pluralitas agama.
Sejumlah argumentasi yang mengantarkan spiritualitas disebut sebagai kecerdasan
tentunya tidak terlepas dari hasil penelitian para ahli tentang akar kekuatan spiritualitas
dalam otak manusia. Kajian neurologi, psikologi bahkan antropologi yang telah dilakukan
menguatkan dugaan selama ini bahwa ada sebuah potensi dalam diri manusia yang terletak
di saraf otaknya. Kerja keras yang menghebohkan dunia ini di antaranya adalah karya besar
Michael Persinger (1990) dan V. Ramachandran (1997) yang menemukan bahwa dalam otak
manusia ada “Titik Tuhan” (God Spot). Gagasan tentang spiritualitas sebagai kecerdasan
berbasis otak merupakan hal yang sepenuhnya baru namun telah menjadi fenomena yang
melampaui paradigma sains kognitif abad ke duapuluh, yang melengkapi berbagai kajian,
hipotesis, konsep, pengetahuan, dan teori tentang manusia yang memang sudah tak
terhitung jumlahnya. Karena pada dasarnya manusia tak pernah berhenti mencari dan
menemukan hakikat eksistensinya yang memang masih menyimpan sejuta misteri.
Persoalan tentang kelahiran dan kematian merupakan salah satu misteri yang selalu
menarik untuk dikaji di samping realitas kebahagiaan dan kesedihan dan lain-lainnya yang
kadangkala sulit untuk mampu dilogikakan.
Mencari pengertian atau definisi tentang kecerdasan spiritual bukanlah hal yang
gampang. Karena istilah spiritual itu sendiri memang sulit didefinisikan, dan sangat
multidimensi dan multiinterpretasi, sebagaimana yang dikatakan oleh West (2000) dan
Cornet (1998) bahwa spiritualitas merupakan konsep yang sangat penting namun sulit untuk
didefinisikan, walaupun menurut Bastaman (2007) sebenarnya istilah spirit atau spirituality
bukanlah istilah baru, karena dalam setiap agama dan budaya kata itu selalu ada. Yang
menjadi pertanyaan apakah spiritualitas itu selalu berkaitan dengan agama atau sebaliknya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut bukanlah hal mudah. Dalam beberapa
literature spiritualitas dibedakan dengan agama (religion) bahkan dikatakan “spirituality is
not religion”. Spiritual adalah hidup dan sangat jauh dari tubuh (fisik) yang
mengimplikasikan eksistensi jiwa (spirit of soul), dan ini sangat berbeda dengan definisi
agama (oxford, 1980) yang mengimplikasikan keyakinan terhadap kekuatan kontrol
superhuman yang lumrahnya diekspresikan melalui ritual penyembahan (worship). Bagi
aliran yang memandang spiritualitas berbeda dengan religiusitas tentu akan memandang SI
juga tidak terkait dengan kualitas keagamaan seorang penganut agama formal.
Kecenderungan ini juga akan berimplikasi pada cara keyakinan dan keimanannya terhadap
aspek-aspek agama, terutama tentang eksistensi Tuhan, kekuasaan, dan kedaulatannya
terhadap manusia dan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Agama formal dianggap sebagai
perangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal, dan dipersepsi
bersifat top-down, diwarisi dari pendeta, nabi, dan kitab suci atau ditanamkan melalui
keluarga dan tradisi. Inilah juga yang diyakini oleh Zohar dan Marshall: SQ/SI tidak mesti
berhubungan dengan agama. Karena menurut mereka SI mungkin menemukan
pengungkapan melalui agama formal, tetapi agama tidak menjamin SI tinggi. Tak sedikit
orang humanis, ateis, bahkan agnostic memiliki SI tinggi, namun sebaliknya banyak orang
yang aktif dan fanatik beragama memiliki SI sangat rendah.
Adanya dikotomi antara spiritualitas dan religiusitas tentu sangat dipengaruhi cara
pandang para ilmuwan terhadap manusia dan dinamika perilaku manusia. Konsep dan
teorinya tentang manusia tentunya juga akan sangat dipengaruhi oleh falsafah tentang
manusia dan agama itu sendiri. Ketidaksamaan paradigma berpikir tersebut tentu akan
memberikan perbedaan pada wawasan, teori, konsep, metode, dan hasil-hasil penelitian
penting tentang manusia dan keberagamaannya. Di sini dapat diambil sebuah pemahaman
bahwa untuk memahami beragam jenis pengertian, konotasi, dan interpretasi SI perlu
diadakan penelusuran yang mendalam terhadap akar pemikiran para pakar yang berteori
tentang SI, yakni ada yang berorientasi Antroposentrisme dan sebagian
berorientasi Theosentrisme.
Antroposentrisme dianut oleh aliran Psikoanalisis, Behavioristik, Humanistik, dan
Transpersonal, yang menurut Bastaman (Daris Tamin, 2009) adalah aliran psikologi yang
menganggap dan menempatkan manusia sebagai pusat dari segala pengalaman dan relasi-
relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang menyangkut manusia dan
kemanusiaan. Pandangan ini mengangkat manusia ke tempat teramat tinggi: seolah olah ia
adalah prima –causa yang unik, pemilik akal budi yang sangat hebat, serta memiliki pula
kebebasan penuh untuk berkehendak dan berbuat apa saja yang dianggap baik dan sesuai
baginya. Sedangkan Theosentrisme merupakan konsep yang meyakini bahwa Tuhan (God)
adalah pencipta seluruh jagad raya dan seluruh organismenya, termasuk juga manusia.
Manusia ada dalam kesan Tuhan yang memberikan pelayanan bagi kehidupan manusia
untuk memelihara dan menjaga alam semesta. Tuhan adalah objek penyembahan yang
mengontrol segala sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Zohar dan Marshall sebagai ilmuwan yang berorientasi Antroposentrisme sangatlah
bisa dimengerti bila mengatakan bahwa SI tidak mesti berhubungan dengan agama, bahwa
seorang humanis, atheis, atau agnostic dapat memiliki kecerdasan spiritual sangat tinggi;
karena dalam konsepnya mereka menyandarkan semua teorinya pada teori Darwin tentang
evolusi, prinsip-prinsip Psikoanalisa tentang id, ego, dan superego, dan psikologi humanistik
tentang need actualization. Kecerdasan manusia menurut Zohar dan Marshall ada tiga
macam dan semuanya berasal dari kode genetik serta ada sepanjang sejarah planet ini.
Ketiga jenis kecerdasan tadi bekerja melalui dan dikendalikan oleh jaringan saraf dalam otak
manusia. Ketiga bentuk kecerdasan tersebut adalah (1) kecerdasan intelektual yaitu fungsi
berpikir rasional, logis, dan tata-aturan yang dikenal dengan IQ, (2) kecerdasan emosional
sebagai fungsi berpikir asosiatif, yang lumrahnya dibentuk oleh kebiasaan dan pengalaman
dan dikenal dengan EQ, dan (3) kecerdasan spiritual sebagai fungsi berpikir kreatif,
berwawasan, dan membuat atau mementahkan aturan, inilah yang dikenal dengan SQ/SI.
Selanjutnya mereka menyimpulkan bahwa terdapat tiga proses psikologis dalam diri
manusia yaitu (1) prapersonal yang bersifat instingtif dan asosiatif, yang disebut Freud “id”
dan ini merupakan proses primer, (2) personal yaitu fenomena ego yang bersifat logis,
rasional, dan linier yang kemudian disebut proses sekunder, dan (3) transpersonal yang
bersifat unitif (integratif) sehingga melampaui diri ego menuju inti wujud yang kemudian
disebut proses tersier (Daris Tamin, 2009: 37-38).
Dalam pandangan Zohar dan Marshall transendensi yang dianggap sebagai kualitas
tertinggi dari kehidupan spiritual bukanlah sebagai sesuatu yang berada di balik materi
sebagaimana anggapan para agamawan, tetapi merupakan sesuatu yang lebih sederhana
namun sekaligus fundamental. Transenden merupakan sesuatu yang “beyond” untuk
mengatasi masa kini, mengatasi rasa suka dan duka, bahkan untuk mengatasi diri pada saat
ini dan membawanya melampaui batas-batas pengetahuan dan pengalaman untuk
ditempatkan dalam konteks yang lebih luas; sesuatu yang memberi kesadaran tentang
sesuatu yang luar biasa dan tak terbatas, baik itu sesuatu di dalam diri maupun di dunia
sekitar. Transendensi boleh dikaitkan dengan Tuhan; boleh juga dikaitkan dengan
pengalaman mistik; boleh juga untuk merasakan keindahan bunga, menikmati alunan musik,
atau senyuman innocent dari seorang bayi.
Konsep Tuhan yang diwakili oleh pemahaman tentang “God Spot” dianggap sebagai
kondisi perlu (necessary condition), bukan kondisi cukup (sufficient condition) bagi SI.
Seseorang yang ber-SI tinggi mungkin tinggi pula beraktivitas yang berkaitan dengan God
Spot namun tidak serta merta ia memiliki SI tinggi; karena untuk mencapai predikat orang
yang ber-SI tinggi ia harus mampu mengintegrasikan seluruh bagian otaknya, seluruh aspek
dirinya, dan seluruh aspek kehidupannya. Wawasan dan abilitas tentang God Spot harus
dipadukan dengan emosi, motivasi, dan potensi kemudian membawanya dalam dialog
dengan pusat diri.
Sebenarnya bila ditilik lebih lanjut pengaruh agama tentang Tuhan sebenarnya juga
masuk dalam konsep SI Zohar dan Marshall, hanya saja konsep-konsep tersebut merujuk
pada mitos-mitos agama-agama kultur (culture/natural religion) – agama hasil budaya
manusia (agama ardhi/thabi’i) - seperti mitologi astrologi tentang asal usul manusia dalam
agama Romawi dan Yunani; mitologi cakra sebagai gambaran tahapan perkembangan jiwa
dalam “mengada” dan “menjadi” dalam agama Hindu; filosofi-filosofi dalam Tao Te Ching;
juga dari pemikiran-pemikiran ahli mistik agama Kristiani dan Yahudi yang menyatakan
bahwa pusat jiwa adalah Tuhan dan mengenal diri sendiri akan mengenal Tuhan.
Jadi menurut pandangan Zohar dan Marshall sumber segala inspirasi SI/SQ adalah
“tuhan” di mana dia adalah transenden dalam diri manusia itu sendiri yang kreatif, “tuhan”
dapat diciptakan dalam diri manusia dan menjadi pusat segalanya. Ini bermakna semua
kembali pada manusia itu sendiri sebagai sebuah anthropos (asal-usul) dan spiritus
kehidupan. Di sini definisi SI dalam perspektif antroposentrisme mendudukkan SI pada
tempat yang paling tinggi di atas kecerdasan-kecerdasan yang lain, bahkan menjadi pusat
dan puncak segala kecerdasan dengan menjadikan manusia dan kreativitasnya dalam
memecahkan masalah nilai sebagai sumber inspirasi dan inti transendensi. SI merupakan
kemampuan manusia untuk mencapai hidup bermakna, penuh ketenangan dan
kebijaksanaan dalam hubungannya dengan semesta alam melalui evolusi pengalaman mistik
dengan “tuhan” yang ada dalam diri pribadi yang paling dalam.
Paham antroposentrisme di atas tentu saja sangat bertentangan dengan paham
Theosentrisme dalam memandang SI. Menurut Theosentrisme Tuhan merupakan The
central aspect bagi kehidupan manusia. Konsep SI merupakan doktrin-doktrin Tuhan dalam
ajaran agama wahyu atau agama kenabian (Yahudi, Kristen, dan Islam). Dalam ajaran
Theosentrisme (Islam misalnya) manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki
keunikan dan keistimewaan tertentu. Sebagai salah satu makhluk-Nya karakteristik
eksistensi manusia harus dicari dalam relasi dengan Sang pencipta dan makhluk-makhluk
Tuhan lainnya. Sekalipun manusia seolah-olah merupakan pusat hubungan-hubungan
(center relatedness), namun dalam jaran Islam pusat segalanya bukanlah manusia,
melainkan Sang pencipta sendiri, Yaitu Allah Rabuul ‘alamin. Dengan demikian landasan
filsafat tentang manusia dan SI dalam ajaran Islam bukan Antroposentrisme melainkan
Theosentrisme atau lebih tepat Allahsentrisme (Bastaman, 1995) dalam Daris Tamin (2009).
Dalam Islam spiritualitas tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai agama yang terikat
dengan Ketuhanan. Spiritual keagamaan tidak menganggap manusia adalah pusat segala-
galanya, tidak dapat menuhankan segala sesuatu selain Tuhan Sang pencipta jagad raya
dengan segala isinya, apalagi menuhankan diri manusia itu sendiri. Secara naluriah manusia
mengakui keberadaan Tuhan Sang Pengatur kehidupan. Manusia dan makhluk lainnya
sangat tergantung secara transcendental kepada Tuhan. Inilah sifat dari kecerdasan
spiritual. Kecerdasan spiritual selalu berkaiatan dengan agama, dan ini juga telah diakui oleh
dunia internasional (WHO,1994).
WHO telah memasukkan agama (kerohanian/spiritual) sebagai salah
satu pilar kesehatan selain jasmani/fisik, kejiwaan/psikologik, dan social. Keempat
dimensi kesehatan ini pula telah diadopsi oleh The American Psychiatric
Association dengan paradigm pendekatan bio-psycho-social-spiritual, yang
dilandasi oleh pengakuan dan keyakinan bahwa agama/spiritual adalah fithrah
yang mengandung nilai-nilai moral, etika, dan hukum. Ini bermakna seseorang
yang taat hukum berarti bermoral dan beretika; seseorang yang bermoral dan
beretika berarti ia beragama (no religion without moral, no moral without law).