Anda di halaman 1dari 3

Ma’asyiral hadirin, jamaah Jumat rahimakumullah,

Pada kesempatan yang mulia ini, di tempat yang mulia ini, saya berwasiat kepada
pribadi saya sendiri dan juga kepada para hadirin sekalian, marilah kita senantiasa
meningkatkan takwa kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan selalu berusaha
melaksanakan perintah-perintah-Nya serta menjauhkan diri dari larangan-larangan-
Nya. Semoga usaha takwa kita akan selalu terbawa sepanjang hayat sehingga kelak
usaha tersebut dapat menghantarkan kita saat dipanggil Allah subhanahu wa ta’ala
dalam keadaan mati husnul khatimah, aamiiin ya Rabbal ‘Alamiin.
Ada pemandangan yang hampir selalu kita temui tiap momen pergantian tahun,
yakni banyak orang-orang larut dalam suka cita hingga kadang merasa perlu untuk
merayakannya dengan kegiatan-kegiatan khusus. Tahun baru seolah menjadi saat-
saat yang paling dinanti. Di detik-detik pergantiannya pun nyaris tiap orang rela
berjaga, lalu meluapkan rasa bahagia dengan aneka petasan, kembang api, atau
sejenisnya, ketika saat-saat yang ditunggu itu tiba.
Bahagia terhadap momen-momen tertentu merupakan sesuatu yang sangat
manusiawi. Begitu pula dalam momen pergantian tahun ini. Yang menjadi
pertanyaan, sudah pada tempatnyakah kebahagiaan itu diekspresikan?
Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,
Waktu adalah sebuah anugerah. Manusia menerima kesempatan di dunia untuk
mencapai tujuan-tujuan akhirat. Sebagaimana Islam ajarkan bahwa kehidupan dunia
adalah ladang yang mesti digarap serius untuk masa panen di akhirat kelak. Karena
itu sifat waktu dunia adalah sementara, sedangkan sifat waktu di akhirat adalah
kekal abadi. Islam mengutamakan kehidupan akhirat di atas kehidupan dunia. Dua
kehidupan tersebut dikontraskan sebagai dua jenis waktu yang sejati dan tidak
sejati. Al-Qur’an melukiskan kehidupan dunia dengan istilah “tempat permainan”
belaka.
Artinya: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main.
Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui.” (QS al-Ankabut: 64)
Kalimat “kehidupan dunia ini merupakan senda gurau dan main-main” bukan berarti
kita dianjurkan untuk berbuat seenaknya di dunia ini layaknya sebuah permainan.
Redaksi tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa kehidupan dunia ini
tidak sejati, tidak kekal, dan penuh dengan tipuan. Karena itu, maknanya justru
seseorang harus lebih banyak mencurahkan perhatian kepada kehidupan akhirat.
Lantas apa yang harus dilakukan agar kesempatan hidup di dunia berkualitas? Al-
Qur’an telah memberikan garis bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk
mengabdi secara total kepada Allah.

Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)
Allah tidak menciptakan jin dan manusia untuk suatu manfaat yang kembali kepada
Allah. Mereka diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Dan ibadah itu sangat
bermanfaat untuk diri mereka sendiri. Pengertian ibadah itu pun sangat luas, tak
sekadar ritual kepada Allah (seperti shalat, puasa, haji, atau sejenisnya) melainkan
meliputi pula kebaikan-kebaikan yang membawa kemaslahatan bagi orang lain.
Memanfaatkan umur di dunia ini menjadi sangat penting karena waktu terus
berjalan, dan tak akan bisa terulang kembali. Manusia dituntut untuk
memaksimalkan waktu atau kesempatan yang diberikan untuk perbuatan-perbuatan
bermutu, sehingga tak menyesal di kehidupan kelak. Orang-orang yang menyesal di
akhirat digambarkan oleh Al-Qur’an merengek-rengek minta kembali agar bisa
memperbaiki perilakunya.

Artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang yang durhaka itu) hingga apabila


datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku
kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang
telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang
diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka
dibangkitkan.” (QS Al-Mu’minun: 99-100)
Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,
Imam Al-Ghazali mengatakan, ketika seseorang disibukkan dengan hal-hal yang
tidak bermanfaat dalam kehidupannya di dunia, maka sesungguhnya ia sedang
menghampiri suatu kerugian yang besar. Sebagaimana yang ia nyatakan—dengan
mengutip hadits—dalam kitab Ayyuhal Walad:
Artinya: "Pertanda bahwa Allah ta'ala sedang berpaling dari hamba adalah
disibukkannya hamba tersebut dengan hal-hal yang tak berfaedah. Dan satu saat
saja yang seseorang menghabiskannya tanpa ibadah, maka sudah pantas ia
menerima kerugian berkepanjangan.”
Dari penjelasan ini, kita patut memikirkan ulang tentang hakikat perayaan tahun
baru. Momen tahunan ini seyogianya disikapi secara wajar dan tepat. Kebahagiaan
terhadap tahun baru semestinya diarahkan kepada rasa syukur terhadap masih
tersisanya usia, bukan uforia kebanggaan atas tahun baru itu sendiri. Sisa usia itu
merupakan kesempatan untuk menambal kekurangan, memperbaiki yang belum
sempurna, dari perilaku hidup kita di dunia. Tahun baru lebih tepat menjadi momen
muhasabah (introspeksi) dan ishlah (perbaikan).
Sebuah kata-kata Syekh Ahmad ibn Atha'illah as-Sakandari dalam al-Hikam ini patut
menjadi renungan:

"Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Kadang pula umur
berlangsung pendek namun manfaat melimpah."
Semoga kita menjadi pribadi yang orang-orang yang mampu menunaikan sisa usia
kita dengan sebijak-bijaknya, dan terhindar dari perbuatan dan perkataan yang sia-
sia. Amiin. Wallahu a’lam bisshawâb.

Anda mungkin juga menyukai