KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI i
BAB I 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB II 3
LANDASAN TEORI 3
2.1 ABORTUS PROVOCATUS 3
2.1.1 Pengertian Abortus Provocatus 3
2.1.2 Jenis Abortus Provocatus 4
2.1.3 Dampak Abortus Abortus Provocatus 5
2.1.4 Landasan Hukum Abortus Provocatus 7
2.2 EUTHANASIA 10
2.2.1 Pengertian Euthanasia 10
2.2.2 Macam-macam Euthanasia 12
2.2.3 Pengaturan Euthanasia Menurut Hukum Di Indonesia 12
2.3 TINDAK PIDANA CULPA 13
2.3.1 Pengertian Culpa 13
2.3.2 Jenis Culpa 14
2.3.3 Unsur Culpa 14
2.3.4 Kasus Culpa 15
2.4. PELANGGARAN HUKUM DALAM PELAYANAN KESEHATAN 15
2.4.1 Pengertian Pelanggaran Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan 15
2.4.2 Pelanggaran Dalam Pelayanan Kesehatan 15
2.4.3 Undang-Undang Pelanggaran Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan 15
BAB III 19
3.1 Kesimpulan 19
3.2 Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 21
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tindak pidana di bidang kesehatan adalah segala tindakan yang dilakukan oleh
seseorang yang merugikan kesehatan orang lain, baik dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri maupun orang lain. Beberapa contoh tindak pidana di bidang kesehatan
antara lain abortus provocatus atau aborsi yang dilakukan secara ilegal, euthanasia
atau pembunuhan dengan cara mengakhiri hidup seseorang yang menderita sakit
kronis, serta tindak pidana culpa atau kelalaian dalam memberikan pelayanan
kesehatan yang dapat merugikan pasien. Sedangkan pelanggaran hukum dalam
pelayanan kesehatan dapat terjadi ketika seseorang melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan etika dan standar profesi dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Pelanggaran ini bisa meliputi pengabaian kewajiban profesional, penipuan, atau
kecurangan dalam praktik medis.
Abortus provocatus atau aborsi adalah tindakan medis yang dilakukan untuk
mengakhiri kehamilan sebelum janin bisa hidup di luar kandungan. Di beberapa
negara, aborsi hanya diizinkan dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti untuk
menyelamatkan nyawa ibu atau jika kehamilan dihasilkan dari pemerkosaan atau
persetubuhan di bawah umur. Namun, di negara-negara lain, aborsi dapat dianggap
sebagai tindak pidana dan ilegal. Tindakan aborsi yang dilakukan secara ilegal dapat
berbahaya bagi kesehatan ibu dan janin, dan bisa menyebabkan komplikasi yang
serius.
Euthanasia atau "kematian yang layak" adalah tindakan untuk mengakhiri
hidup seseorang yang menderita sakit kronis atau kondisi medis yang tidak dapat
disembuhkan. Tindakan ini bisa dilakukan atas permintaan pasien atau keluarga, atau
dalam beberapa kasus, tanpa persetujuan pasien. Euthanasia dianggap sebagai
tindakan ilegal di banyak negara dan diperdebatkan secara etis dan moral. Namun,
beberapa negara telah melegalkan tindakan euthanasia dalam kondisi-kondisi tertentu.
Tindak pidana culpa terjadi ketika seseorang melakukan kesalahan dalam
memberikan pelayanan kesehatan yang dapat merugikan pasien. Kesalahan ini bisa
disebabkan oleh kelalaian, ketidaktahuan, atau kekurangan dalam pengetahuan dan
keterampilan. Contoh tindak pidana culpa di bidang kesehatan antara lain kesalahan
dalam memberikan obat atau dosis yang salah, kelalaian dalam menangani infeksi,
atau kegagalan dalam memantau kondisi pasien.
Pelanggaran hukum dalam pelayanan kesehatan terjadi ketika seseorang
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan etika dan standar profesi dalam
memberikan pelayanan kesehatan. pelanggaran hukum dalam pelayanan kesehatan
juga dapat terjadi. Misalnya, jika seorang tenaga medis melakukan malpraktik atau
melakukan tindakan yang bertentangan dengan standar pelayanan medis yang berlaku,
maka hal tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pelanggaran ini dapat
dijerat dengan sanksi administratif atau sanksi pidana tergantung pada tingkat
kesalahan yang dilakukan.
1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari tindak pidana dan pelanggaran hukum di
bidang kesehatan adalah:
1. Menganalisis tentang abortus provocatus.
2. Menguraikan tentang euthanasia.
3. Menganalisis tentang tindak pidana culpa.
4. Menguraikan tentang pelanggaran hukum dalam pelayanan kesehatan.
1.3 Tujuan
Di tinjau dari permasalahan di atas maka tujuan dari tindak pidana dan
pelanggaran hukum di bidang kesehatan adalah:
1. Untuk mengetahui apa itu abortus provocatus.
2. Untuk mengetahui apa itu euthanasia.
3. Untuk mengetahui tindak pidana culapa.
4. Untuk mengetahui pelanggaran hukum dalam pelayanan kesehatan.
5. Untuk mengetahui peraturan yang berlaku.
6. Dan menyimpulkan dan menafsirkan pembahasan permasalahan tersebut.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
3
4. Abortion Spontaneous, yaitu pengguguran kandungan secara tidak disengaja; dan
Abortion Therapeutic, yaitu pengguguran kandungan dengan tujuan untuk
menjaga kesehatan sang ibu.
4
kriminalis adalah suatu kelahiran dini sebelum bayi itu pada waktunya dapat
hidup sendiri di luar kandungan. Pada umumnya janin yang keluar itu sudah tidak
bernyawa lagi. Sedangkan secara yuridis abortus provokatus kriminalis adalah
setiap penghentian kehamilan sebelum hasil konsepsi dilahirkan, tanpa
memperhitungkan umur bayi dalam kandungan dan janin dilahirkan dalam
keadaan mati atau hidup.
2. Pelekatan pada kavum uteri Salah satu alasan aborsi harus dilakukan oleh tenaga
medis terampil dan berpengalaman adalah supaya kerokan jaringan kehamilan
dapat dilakukan secara sempurna. Pasalnya, dalam proses ini dokter spesialis yang
menangani aborsi harus mengeluarkan sisa-sisa hasil konsepsi, namun jaringan
meiometrium tidak boleh sampai terkerok. Apabila jaringan tersebut terkerok akan
menyebabkan terjadinya perlekatan dinding kavum uteri di sejumlah tempat.
3. Serviks uteri terluka Saat dilatasi dipaksakan pada jaringan serviks yang keras
dapat menimbulkan sobekan di bagian serviks uteri yang harus segera dijahit.
Apabila ostium uteri internum terluka dapat menyebabkan terjadinya perdarahan.
Jika perdarahan sudah terjadi, tampon harus segera dipasang pada vagina dan
serviks.
Kondisi ini dapat menyebabkan dampak jangka panjang seperti salah satunya
adalah kemungkinan timbulnya incompetent serviks.
4. Infeksi
Apabila prosedur aborsi mengabaikan syarat antisepsis dan asepsis, maka
berpotensi menimbulkan bahaya infeksi yang fatal. Infeksi yang terjadi pada
kandungan dapat menyebar ke seluruh organ melalui peredaran darah, hingga
berujung pada kematian.
Dampak negatif lainnya dari abortus provokatus kriminalis yakni bahaya
terjadinya infeksi saluran telur yang mengakibatkan pasien bersangkutan tidak
bisa hamil lagi.
6
5 Perdarahan
Memang hampir semua dampak dari abortus kriminalis dapat menyebabkan
perdarahan. Namun, sebenarnya perdarahan itu sendiri juga dapat terjadi saat
aborsi dilakukan pada kehamilan yang usianya sudah agak tua. Selain itu,
perdarahan juga mungkin terjadi akibat kerokan pada mola hidatidosa yang
berpotensi perdarahan.
Dampak lain yang juga dapat terjadi akibat abortus provokatus kriminalis
adalah komplikasi segera setelah pasien mendapatkan NaCl hipertonik. Hal ini
dapat terjadi jika larutan garam memasuki rongga peritoneum atau pembuluh
darah hingga menghentikan kinerja jantung, menimbulkan gejala konvulsi,
hipofibrinogenemia, atau terjadi penghentian pernapasan.
Selain itu, komplikasi juga dapat terjadi setelah pemberian prostaglandin yang
menimbulkan rasa mual, muntah, diare, dan demam.
7
antara peraturan lama dan peraturan baru yang mengatur hal yang sama tetapi peraturan
lama masih berlaku, maka peraturan baru lah yang berlaku. Artinya pada kasus tersebut,
UU No 36 tahun 2009 lah yang berlaku.
Pada praktik keperawatannya, jika perawat dihadapkan pada keinginan klien untuk
abortus provocatus atas dasar alasan yang ilegal secara hukum, maka perawat berhak
menolaknya. Hal tersebut didasari pada pasal 34 ayat 4 UU RI No 38 tahun 2014 tentang
keperawatan di mana perawat memiliki hak untuk menolak menjalankan praktik yang
tidak sesuai dengan SPO, kode etik, ataupun hukum yang berlaku.
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa abortus provocatus
medisinalis dapat menimbulkan dilema jika dilihat dari perpektif etika
keperawatan. Kalau dilakukan, berarti perawat telah mengingkari kode etik di mana
perawat harus menghargai harkat dan martabat klien sebagai mahluk ciptaan Tuhan
YME. Di sisi lain perawat harus menyelamatkan nyawa ibu yang terancam. Ditinjau dari
prinsip moral dalam praktik keperawatan, abortus provocatus medisinalis juga akan
menimbulkan dilema antara prinsip nonmaleficence dan avoiding killing. Sedangkan pada
abortus provocatus criminalis prinsip moral yang harus ditegakan adalah avoiding
killing. Sedangkan jika berorientasi dari sudut pandang hukum, berlandaskan asas lex
posteriori derogat legi priori, abortus provocatus medisinalis dan abortus provocatus
criminalis yang diakibatkan pemerkosaan dapat dilegalkan sesuai UU No 36 tahun 2009..
Selain itu maka abortus provocatus diilegalkan dan terdapat sanksi yang berlaku sesuai
KUHP.
Adapun landasan hukum tentang abortus propocatus ada;ah sebagai berikut:
1. UU No. 36 tahun 2009
Lihat lampiran 1
2. KUHP pasal 299
(1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau
mengerjakan sesuatu perbuatan terhadap seorang perempuan dengan
memberitahukan atau menimbulkan pengharapan, bahwa oleh karena
itu dapat gugur kandungannya, dihukum penjara selama-lamanya
empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 45.000,–.
(2) Kalau sitersalah mengerjakan itu karena mengharapkan keuntungan,
dari pekerjaannya atau kebiasaannya dalam melakukan kejahatan itu,
atau kalau ada seorang tabib, dukun beranak (bidan) atau tukang
membuat obat, hukuman itu, dapat ditambah dengan sepertinya.
8
(3) Kalau sitersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dapat ia
dipercat dari pekerjaannya itu. (K.U.H.P. 10, 35, 37, 283, 346 s, 544 s
9
2.2 EUTHANASIA
2.2.1 Pengertian Euthanasia
Istilah Euthanasia secara etimologis, berasal dari kata Yunani yaitu eu dan
thanatos yang berarti “mati yang baik” atau “mati dalam keadaan tenang atau
senang”.
Dalam bahasa inggris sering disebut Marc Killing, sedangkan menurut
“Encyclopedia American mencantumkan Euthanasia ISSN the practice of ending life
in other to give release from incurable sufferering”.
Di Belanda disebutkan bahwa Euthanasia adalah dengan sengaja tidak
melakukan suatu usaha (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau
sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup
seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian
yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh
penderitaan dan tak tersembuhkan”.
Kemudian menurut kamus Kedokteran Dorland Euthanasia mengandung dua
pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua,
pembunuhan dengan kemurahan hati,pengakhiran kehidupan seseorang yang
menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara
hati-hati dan disengaja.
Arti harfiahnya sama dengan good death atau easy death. Sering pula disebut
mercy killing karena pada hakekatnya Euthanasia merupakan tindakan pembunuhan
atas dasar kasihan. Tindakan ini dilakukan sematamata agar seseorang meninggal
lebih cepat, dengan esensi :
1. Tindakan menyebabkan kematian;
2. Dilakukan pada saat seseorang itu masih hidup;
3. Penyakitnya tidak ada harapan untuk sembuh atau dalam fase terminal;
4. Motifnya belas kasihan karena penderitaan berkepanjangan;
5. Tujuannya mengakhiri penderitaan.
Euthanasia juga tidak hanya suatu tindakan mengakhiri hidup seorang pasien yang
sangat menderita saja, melainkan juga sikap diam, tidak melakukan upaya untuk
memperpanjang hidupnya dan membiarkannya mati tanpa adanya upaya pengobatan.
Definisi euthanasia sedikitnya mencakup tiga kemungkinan, yaitu :
a. Memperbolehkan (membiarkan) seseorang mati;
b. Kematian karena belas kasihan;
c. Mencabut nyawa seseorang karena belas kasihan.
11
lebih baik dibiarkan meninggal dalam keadaan tenang tanpa campur tangan manusia.
Kematian karena belas kasihan merupakan suatu tindakan langsung dan disengaja untuk
mengakhiri kehidupan seseorang yang didasarkan atas izin atau permintaannya. Hal ini
disebabkan oleh kondisi penderita yang sudah tidak tahan lagi menanggung rasa sakit
yang demikian berat. Peristiwa pencabutan nyawa seseorang karena belas kasihan
memberikan pengertian terhadap suatu tindakan yang langsung untuk menghentikan
kehidupan penderita tanpa izinnya. Tindakan ini didasarkan atas asumsi bahwa kehidupan
si penderita selanjutnya tidak ada artinya lagi. Tentu saja ada perbedaan antara peristiwa
ini dengan kematian karena belas kasihan, yaitu bahwa dalam peristiwa yang terakhir ini
tindakan dilakukan tanpa izin dan persetujuan si penderita.
12
Indonesia Pasal 7d tentang kewajiban umum yang berbunyi : “Setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani.”
Dari pemahaman atas Pasal 7d kode etik kedokteran Indonesia tersebut dapat
dikemukakan bahwa berdasarkan etik dan moral, tindakan Euthanasia itu tidak
diperbolehkan. Dalam hubungan ini Oemar Senoadji mengemukakan: “Menurut kode
etik itu sendiri, maka di Indonesia sebagai suatu negara yang beragama dan
berpancasila kepada kekuasaan mutlak dari pada Tuhan yang Maha Esa, sedangkan
dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk
meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tidak untuk mengakhirinya.
Karenanya tidak menginginkan Euthanasia dilakukan oleh seorang dokter karena
antara lain dipandang bertentangan dengan etik kedokteran itu sendiri dan merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang.”
Berdasarkan keterangan tersebut diatas jelaslah bahwa Euthanasia itu adalah suatu
perbuatan yang melanggar hukum atau merupakan suatu tindak pidana, karena
perbuatannya itu mengakibatkan matinya orang lain, maka Euthanasia itu termasuk
tindak pidana pembunuhan. Dasar hukum untuk larangan Euthanasia tercantum dalam
Pasal 344 KUHP tentang membunuh seseorang atas permintaan orang tersebut.
13
dikarenakan perilaku orang itu sendiri. Contoh kelalaian dapat terjadi pada kasus
pelayanan kesehatan, misalnya karena kurangnya pengetahuan, kurangnya
pengalaman dan atau kurangnya kehati-hatian yang dilakukan dokter.
2.3.3 Unsur-Unsur Culpa
Kealpaan atau culpa memiliki 3 (tiga) unsur, sebagai berikut:
1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum
tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu
perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum;
2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh dan kurang berpikir panjang;
serta
3. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung
jawab atas akibat dari perbuatannya tersebut.
14
b) lalai (onachttzaam);
c) tidak acuh.
15
2. Diskriminasi: memberikan pelayanan yang berbeda atau lebih buruk kepada
pasien karena faktor seperti agama, ras, jenis kelamin, orientasi seksual, atau
kondisi ekonomi.
3. Pelayanan tidak memadai: memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar yang ditetapkan, seperti kurangnya perawatan dan pengobatan yang
tepat dan tidak ada informasi yang cukup diberikan kepada pasien.
4. Pelanggaran privasi: tidak menjaga kerahasiaan informasi pribadi pasien,
seperti riwayat medis atau hasil tes, yang dapat menyebabkan pasien merasa
tidak nyaman atau merugikan mereka.
5. Kurangnya keterlibatan pasien: memberikan pelayanan tanpa
mempertimbangkan keinginan, kebutuhan, atau preferensi pasien, atau tidak
memberikan informasi yang cukup kepada pasien untuk membuat keputusan
yang tepat tentang perawatan dan pengobatan.
6. Ketidakadilan biaya: memberikan perawatan dan pengobatan yang tidak
terjangkau bagi pasien karena faktor ekonomi atau kurangnya akses ke
program pengganti biaya kesehatan.
7. Pelayanan yang tidak sesuai dengan kode etik profesi: melakukan tindakan
yang tidak sesuai dengan kode etik profesi medis, seperti mengabaikan
prinsip-prinsip etika dalam pelayanan kesehatan atau melakukan praktik-
praktik yang merugikan pasien.
16
berlaku dan mengakibatkan kematian pasien, maka pelaku bisa dikenai hukuman
penjara paling lama 5 tahun.
1. Pasal 49: Menjelaskan tentang sanksi administratif bagi tenaga kesehatan atau
lembaga kesehatan yang melakukan pelanggaran dalam pelayanan kesehatan.
17
2. Pasal 50: Menjelaskan tentang sanksi pidana bagi tenaga kesehatan atau
lembaga kesehatan yang melakukan tindakan medis yang merugikan pasien.
3. Pasal 51: Menjelaskan tentang sanksi pidana bagi tenaga kesehatan atau
lembaga kesehatan yang tidak menjaga kerahasiaan informasi pribadi pasien.
4. Pasal 52: Menjelaskan tentang sanksi pidana bagi tenaga kesehatan atau
lembaga kesehatan yang melakukan tindakan aborsi atau sterilisasi tanpa
indikasi medis yang jelas.
5. Pasal 53: Menjelaskan tentang sanksi administratif atau pidana bagi tenaga
kesehatan atau lembaga kesehatan yang melakukan tindakan medis atau
memberikan obat-obatan yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.
6. Pasal 54: Menjelaskan tentang sanksi administratif atau pidana bagi tenaga
kesehatan atau lembaga kesehatan yang melakukan tindakan medis atau
memberikan obat-obatan tanpa persetujuan pasien atau keluarga pasien.
7. Pasal 55: Menjelaskan tentang sanksi pidana bagi tenaga kesehatan atau
lembaga kesehatan yang melakukan diskriminasi terhadap pasien.
8. Pasal 56: Menjelaskan tentang sanksi administratif atau pidana bagi tenaga
kesehatan atau lembaga kesehatan yang melakukan tindakan medis atau
memberikan obat-obatan dengan tujuan untuk meraih keuntungan pribadi atau
kelompok.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Abortus provokatus, adalah aborsi yang disengaja baik dengan memakai obat-
obatan maupun alat-alat. Yaitu suatu proses pengakhiran hidup dari janin
sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.
Jenis abortus ada dua yaitu: abortus Provocatus criminalis dan Abortus
provocatus medicinalis.
1. Undang undang yang mengatur tentang abortus antara lain: UU No. 36
tahun 2009
2. KUHP pasal 299
3. KUHP pasal 346,347,348 dan 349.
Istilah Euthanasia secara etimologis, berasal dari kata Yunani yaitu eu dan
thanatos yang berarti “mati yang baik” atau “mati dalam keadaan tenang atau
senang”. Jenis Euthanasiaada dua: Euthanasia atas permintaan; Euthanasia tidak
atas permintaan. jelaslah bahwa Euthanasia itu adalah suatu perbuatan yang
melanggar hukum atau merupakan suatu tindak pidana, karena perbuatannya itu
mengakibatkan matinya orang lain, maka Euthanasia itu termasuk tindak pidana
pembunuhan. Dasar hukum untuk larangan Euthanasia tercantum dalam Pasal
344 KUHP tentang membunuh seseorang atas permintaan orang tersebut.
kealpaan, kelalaian, atau culpa adalah bentuk kesalahan dalam hukum pidana
sebagai akibat dari tindakan seseorang yang kurang berhati-hati. Dari tindakan
tersebut dapat berakibat berupa kematian atau menimbulkan luka-luka berat
orang lain. Sehingga, dapat dikatakan salah satu pasal kelalaian merugikan orang
lain diatur dalam Pasal 359 KUHP.
Pelanggaran pelayanan kesehatan adalah tindakan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan atau lembaga kesehatan yang tidak sesuai dengan standar etika dan
profesionalisme dalam memberikan pelayanan kesehatan. Beberapa pelanggaran
dalam pelayanan kesehatan antara lain:
a. Malpraktik
b. Diskriminasi
c. Pelayanan tidak memadai
d. Pelanggaran privasi
19
e. Kurangnya keterlibatan pasien
f. Ketidakadilan biaya
g. Pelayanan yang tidak sesuai dengan kode etik profesi
3.2 Saran
Berikut adalah beberapa saran untuk tindakan dan pencegahan pelanggaran
hukum dalam bidang kesehatan:
1. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran tenaga kesehatan tentang kode etik dan
peraturan dalam bidang kesehatan. Dalam hal ini, perlu ditingkatkan pelatihan dan
pembinaan yang terus-menerus untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran
para tenaga kesehatan tentang tindakan yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan dalam praktik medis.
2. Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam
bidang kesehatan. Dalam hal ini, perlu ditingkatkan kerjasama antara lembaga
pemerintah dan masyarakat untuk memperkuat pengawasan dan penegakan
hukum dalam bidang kesehatan.
3. Meningkatkan keterbukaan dan transparansi dalam penyediaan layanan kesehatan.
Hal ini meliputi penyediaan informasi yang jelas dan transparan mengenai biaya,
prosedur, dan risiko dalam layanan kesehatan. Dengan adanya keterbukaan dan
transparansi, diharapkan dapat mengurangi risiko terjadinya tindakan yang
merugikan pasien.
4. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian mutu
layanan kesehatan. Dalam hal ini, masyarakat perlu didorong untuk aktif dalam
memberikan masukan dan saran kepada penyedia layanan kesehatan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan.
5. Meningkatkan perlindungan hukum bagi pasien yang menjadi korban tindakan
pelanggaran dalam bidang kesehatan. Dalam hal ini, perlu ditingkatkan
perlindungan hukum bagi pasien yang menjadi korban tindakan pelanggaran,
sehingga mereka dapat mendapatkan keadilan dan ganti rugi yang layak.
20
DAFTAR PUSTAKA
https://www.erisamdyprayatna.com/2020/09/pengertian-dan-jenis-jenis-kealpaan.html
http://digilib.unila.ac.id/522/7/BAB%20II.pdf
http://repository.unpas.ac.id/28620/4/F.BAB%20II%20TINJAUAN
%20EUTHANASIA.pdf
https://www.kompasiana.com/sofyandfr18/61a7dfc562a704101312eb82/abortus-
provocatus-dalam-perspektif-etika-moral-dan-hukum-profesi-
keperawatan?page=all
https://yuridis.id/pasal-229-kuhp-kitab-undang-undang-hukum-pidana/
https://www.kompasiana.com/sofyandfr18/61a7dfc562a704101312eb82/abortus-
provocatus-dalam-perspektif-etika-moral-dan-hukum-profesi-
keperawatan?page=all
https://aborsikan.weebly.com/blog/penyebab-dan-dampak-abortus-provokatus-
kriminalis
21
LAMPIRAN
(https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/UU_36_2009_Kesehatan.pdf)
22