Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI i
BAB I 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB II 3
LANDASAN TEORI 3
2.1 ABORTUS PROVOCATUS 3
2.1.1 Pengertian Abortus Provocatus 3
2.1.2 Jenis Abortus Provocatus 4
2.1.3 Dampak Abortus Abortus Provocatus 5
2.1.4 Landasan Hukum Abortus Provocatus 7
2.2 EUTHANASIA 10
2.2.1 Pengertian Euthanasia 10
2.2.2 Macam-macam Euthanasia 12
2.2.3 Pengaturan Euthanasia Menurut Hukum Di Indonesia 12
2.3 TINDAK PIDANA CULPA 13
2.3.1 Pengertian Culpa 13
2.3.2 Jenis Culpa 14
2.3.3 Unsur Culpa 14
2.3.4 Kasus Culpa 15
2.4. PELANGGARAN HUKUM DALAM PELAYANAN KESEHATAN 15
2.4.1 Pengertian Pelanggaran Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan 15
2.4.2 Pelanggaran Dalam Pelayanan Kesehatan 15
2.4.3 Undang-Undang Pelanggaran Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan 15
BAB III 19
3.1 Kesimpulan 19
3.2 Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 21

i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tindak pidana di bidang kesehatan adalah segala tindakan yang dilakukan oleh
seseorang yang merugikan kesehatan orang lain, baik dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri maupun orang lain. Beberapa contoh tindak pidana di bidang kesehatan
antara lain abortus provocatus atau aborsi yang dilakukan secara ilegal, euthanasia
atau pembunuhan dengan cara mengakhiri hidup seseorang yang menderita sakit
kronis, serta tindak pidana culpa atau kelalaian dalam memberikan pelayanan
kesehatan yang dapat merugikan pasien. Sedangkan pelanggaran hukum dalam
pelayanan kesehatan dapat terjadi ketika seseorang melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan etika dan standar profesi dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Pelanggaran ini bisa meliputi pengabaian kewajiban profesional, penipuan, atau
kecurangan dalam praktik medis.
Abortus provocatus atau aborsi adalah tindakan medis yang dilakukan untuk
mengakhiri kehamilan sebelum janin bisa hidup di luar kandungan. Di beberapa
negara, aborsi hanya diizinkan dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti untuk
menyelamatkan nyawa ibu atau jika kehamilan dihasilkan dari pemerkosaan atau
persetubuhan di bawah umur. Namun, di negara-negara lain, aborsi dapat dianggap
sebagai tindak pidana dan ilegal. Tindakan aborsi yang dilakukan secara ilegal dapat
berbahaya bagi kesehatan ibu dan janin, dan bisa menyebabkan komplikasi yang
serius.
Euthanasia atau "kematian yang layak" adalah tindakan untuk mengakhiri
hidup seseorang yang menderita sakit kronis atau kondisi medis yang tidak dapat
disembuhkan. Tindakan ini bisa dilakukan atas permintaan pasien atau keluarga, atau
dalam beberapa kasus, tanpa persetujuan pasien. Euthanasia dianggap sebagai
tindakan ilegal di banyak negara dan diperdebatkan secara etis dan moral. Namun,
beberapa negara telah melegalkan tindakan euthanasia dalam kondisi-kondisi tertentu.
Tindak pidana culpa terjadi ketika seseorang melakukan kesalahan dalam
memberikan pelayanan kesehatan yang dapat merugikan pasien. Kesalahan ini bisa
disebabkan oleh kelalaian, ketidaktahuan, atau kekurangan dalam pengetahuan dan
keterampilan. Contoh tindak pidana culpa di bidang kesehatan antara lain kesalahan
dalam memberikan obat atau dosis yang salah, kelalaian dalam menangani infeksi,
atau kegagalan dalam memantau kondisi pasien.
Pelanggaran hukum dalam pelayanan kesehatan terjadi ketika seseorang
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan etika dan standar profesi dalam
memberikan pelayanan kesehatan. pelanggaran hukum dalam pelayanan kesehatan
juga dapat terjadi. Misalnya, jika seorang tenaga medis melakukan malpraktik atau
melakukan tindakan yang bertentangan dengan standar pelayanan medis yang berlaku,
maka hal tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pelanggaran ini dapat
dijerat dengan sanksi administratif atau sanksi pidana tergantung pada tingkat
kesalahan yang dilakukan.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari tindak pidana dan pelanggaran hukum di
bidang kesehatan adalah:
1. Menganalisis tentang abortus provocatus.
2. Menguraikan tentang euthanasia.
3. Menganalisis tentang tindak pidana culpa.
4. Menguraikan tentang pelanggaran hukum dalam pelayanan kesehatan.

1.3 Tujuan
Di tinjau dari permasalahan di atas maka tujuan dari tindak pidana dan
pelanggaran hukum di bidang kesehatan adalah:
1. Untuk mengetahui apa itu abortus provocatus.
2. Untuk mengetahui apa itu euthanasia.
3. Untuk mengetahui tindak pidana culapa.
4. Untuk mengetahui pelanggaran hukum dalam pelayanan kesehatan.
5. Untuk mengetahui peraturan yang berlaku.
6. Dan menyimpulkan dan menafsirkan pembahasan permasalahan tersebut.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 ABORTUS PROVOCATUS


2.1.1 Pengertian Abortus Provocatus
Abortus provocatus yang dikenal dengan aborsi yang berasal dari bahasa latin
yang memiliki arti pengguguran kandungan karena kesengajaan.
Abortus Provocatus Dalam kamus Latin - Indonesia sendiri, abortus diartikan
sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran. Pengertian aborsi atau Abortus
Provocatus adalah penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum
waktunya. Dengan kata lain “pengeluaran” itu dimaksudkan bahwa keluarnya janin
disengaja dengan campur tangan manusia, baik melalui cara mekanik, obat atau cara
lainnya.
Abortus provokatus, adalah aborsi yang disengaja baik dengan memakai obat-
obatan maupun alat-alat. Yaitu suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum
diberi kesempatan untuk bertumbuh.
Menurut Fact Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute For Social,
Studies anda Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan” aborsi didefenisikan
sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi
rahim (uterus), sebelum janin (fetus) mencapai 20 minggu.” Di Indonesia belum ada
batasan resmi mengenai pengguguran kandungan (aborsi). ”aborsi didefenisikan
sebagai terjadinya keguguran janin; melakukan aborsi sebagai melakukan
pengguguran (dengan sengaja karena tidak mengiginkan bakal bayi yang dikandung
itu)” Ada beberapa istilah untuk menyebut keluarnya konsepsi atau pembuahan
sebelum usia kehamilan 20 minggu yang biasa disebut aborsi (abortion), di antaranya:
1. Abortion criminalis, yaitu pengguguran kandungan secara bertentangan dengan
hukum;
2. Abortion Eugenic, yaitu pengguguran kandungan untuk mendapat keturunan yang
baik;
3. Abortion induced/ provoked/ provocatus, yaitu pengguguran kandungan karena
disengaja; Abortion Natural, yaitu pengguguran kandungan secara alamiah;

3
4. Abortion Spontaneous, yaitu pengguguran kandungan secara tidak disengaja; dan
Abortion Therapeutic, yaitu pengguguran kandungan dengan tujuan untuk
menjaga kesehatan sang ibu.

2.1.2 Jenis Abortus Provocatus


Aborsi yang dilakukan secara sengaja (abortus provocatus) ini terbagi menjadi
dua:
1. Abortus provocatus medicinalis, adalah aborsi yang dilakukan oleh dokter atas
dasar indikasi medis, yaitu apabila tindakan aborsi tidak diambil akan
membahayakan jiwa ibu. Abortus provokatus medisinalis/artificialis/therapeuticus
adalah aborsi yang dilakukan dengan disertai indikasi medis. Di Indonesia yang
dimaksud dengan indikasi medis adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Adapun
syarat-syarat yang ditentukan sebagai indikasi medis adalah:
a. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan
untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit
kandungan) sesuai dengan tanggung jawab profesi.
b. Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum,
psikologi).
c. Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga
terdekat
d. Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai,
yang ditunjuk oleh pemerintah.
e. Prosedur tidak dirahasiakan.
f. Dokumen medik harus lengkap.
Dalam praktek di dunia kedokteran, abortus provocatus medicinalis juga dapat
dilakukan jika anak yang akan lahir diperkirakan mengalami cacat berat dan
harapan hidupnya tipis, misalnya janin menderita kelainan ectopia kordis (janin
akan dilahirkan tanpa dinding dada, sehingga terlihat jantungnya), rakiskisis (janin
akan dilahirkan dengan tulang punggung terbuka tanpa ditutupi kulit kulit maupun
anensefalus (janin akan dilahirkan tanpa otak besar.
2. Abortus provocatus criminalis, adalah aborsi yang terjadi oleh karena tindakan-
tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis, sebagai contoh
aborsi yang dilakukan dalam rangka melenyapkan janin sebagai akibat hubungan
seksual di luar perkawinan. Secara umum pengertian abortus provokatus

4
kriminalis adalah suatu kelahiran dini sebelum bayi itu pada waktunya dapat
hidup sendiri di luar kandungan. Pada umumnya janin yang keluar itu sudah tidak
bernyawa lagi. Sedangkan secara yuridis abortus provokatus kriminalis adalah
setiap penghentian kehamilan sebelum hasil konsepsi dilahirkan, tanpa
memperhitungkan umur bayi dalam kandungan dan janin dilahirkan dalam
keadaan mati atau hidup.

Bertolak pada pengertian di atas, dapatlah diketahui bahwa pada abortus


provocatus ini ada unsur kesengajaan. Artinya, suatu perbuatan atau tindakan yang
dilakukan agar kandungan lahir sebelum tiba waktunya. Menurut kebiasaan maka
bayi dalam kandungan seorang wanita akan lahir setelah jangka waktu 9 bulan 10
hari. Hanya dalam hal tertentu saja seorang bayi dalam kandungan dapat lahir pada
saat usia kandungan baru mencapai 7 bulan atupun 8 bulan. Dalam hal ini perbuatan
aborsi ini biasanya dilakukan sebelum kandungan berusia 7 bulan.

2.1.3 Dampak Abortus


Abortus Provokatus Kriminalis seringkali dilakukan terhadap kehamilan yang
tidak diinginkan atau dikehendaki. Ada beberapa penyebab atau alasan yang
mendasari seorang wanita tidak menginginkan kehamilan, antara lain sebagai berikut
ini:-
 Alasan kesehatan di mana wanita bersangkutan tidak cukup sehat untuk
mempertahankan kehamilannya
 Alasan psikososial seperti sudah tidak mau memiliki anak lagi.
 Adanya masalah ekonomi.
 Adanya masalah sosial.
 Kehamilan di luar nikah.
 Kehamilan akibat incest (hubungan sedarah) atau perkosaan.
 Kegagalan kontrasepsi.

Dampak Abortus Provokatus Kriminalis


Beberapa efek jangka pendek dan jangka panjang yang terjadi pada pelaku abortus
provokatus kriminalis yaitu:
1. Perforasi
Perforasi dinding uterus selalu mungkin terjadi dalam proses dilatasi dan kerokan.
5
Perforasi ni dapat menjurus ke rongga peritoneum, kandung kencing, atau ligamen
tum letum. Oleh karena itu, letak uterus perlu ditetapkan dengan saksama di awal
tindakan. Sementara pada saat dilatasi serviks, tekanan yang digunakan tidak
boleh terlalu berlebihan.
Perforasi ini dapat menyebabkan terjadinya peritonitis dan perdarahan. Jika
terjadi perforasi, pasien harus mendapatkan pengawasan secara saksama untuk
mengamati kondisi nadi, keadaan umum, kenaikan suhu tubuh, tekanan darah,
keadaan perut bawah, dan turunnya hemoglobin. Saat ada tanda bahaya,
laparatomi percobaan harus dilakukan dengan segera.

2. Pelekatan pada kavum uteri Salah satu alasan aborsi harus dilakukan oleh tenaga
medis terampil dan berpengalaman adalah supaya kerokan jaringan kehamilan
dapat dilakukan secara sempurna. Pasalnya, dalam proses ini dokter spesialis yang
menangani aborsi harus mengeluarkan sisa-sisa hasil konsepsi, namun jaringan
meiometrium tidak boleh sampai terkerok. Apabila jaringan tersebut terkerok akan
menyebabkan terjadinya perlekatan dinding kavum uteri di sejumlah tempat.

3. Serviks uteri terluka Saat dilatasi dipaksakan pada jaringan serviks yang keras
dapat menimbulkan sobekan di bagian serviks uteri yang harus segera dijahit.
Apabila ostium uteri internum terluka dapat menyebabkan terjadinya perdarahan.
Jika perdarahan sudah terjadi, tampon harus segera dipasang pada vagina dan
serviks.
Kondisi ini dapat menyebabkan dampak jangka panjang seperti salah satunya
adalah kemungkinan timbulnya incompetent serviks.

4. Infeksi
Apabila prosedur aborsi mengabaikan syarat antisepsis dan asepsis, maka
berpotensi menimbulkan bahaya infeksi yang fatal. Infeksi yang terjadi pada
kandungan dapat menyebar ke seluruh organ melalui peredaran darah, hingga
berujung pada kematian. 
Dampak negatif lainnya dari abortus provokatus kriminalis yakni bahaya
terjadinya infeksi saluran telur yang mengakibatkan pasien bersangkutan tidak
bisa hamil lagi.

6
5 Perdarahan
Memang hampir semua dampak dari abortus kriminalis dapat menyebabkan
perdarahan. Namun, sebenarnya perdarahan itu sendiri juga dapat terjadi saat
aborsi dilakukan pada kehamilan yang usianya sudah agak tua. Selain itu,
perdarahan juga mungkin terjadi akibat kerokan pada mola hidatidosa yang
berpotensi perdarahan.

Dampak lain yang juga dapat terjadi akibat abortus provokatus kriminalis
adalah komplikasi segera setelah pasien mendapatkan NaCl hipertonik. Hal ini
dapat terjadi jika larutan garam memasuki rongga peritoneum atau pembuluh
darah hingga menghentikan kinerja jantung, menimbulkan gejala konvulsi,
hipofibrinogenemia, atau terjadi penghentian pernapasan.
Selain itu, komplikasi juga dapat terjadi setelah pemberian prostaglandin yang
menimbulkan rasa mual, muntah, diare, dan demam.

2.1.4 Landasan Hukum Abortus Provocatus


Kegiatan aborsi dengan alasan apapun dilarang dalam KUHP yang tercantum
pada pasal 299, 346 sampai 349 dan mereka yang terlibat dalam prosesnya juga akan
dikenai hukuman yang berlaku. Hal tersebut mengindikasikan kegiatan aborsi ilegal
secara hukum tanpa terkecuali baik aborsi yang disengaja akibat kelahiran tidak
diinginkan, kehamilan di luar pernikahan, alasan sosioekonomi yang belum mumpuni,
korban pemerkosaan hingga aborsi yang disengaja akibat alasan medis (medisinalis).
Padahal aturan tersebut tentu akan memberatkan jika perawat terpaksa membantu
proses aborsi demi menyelamatkan nyawa sang ibu.
Namun di sisi lain, abortus provocatus medicinalis ataupun kehamilan akibat
pemerkosaan diizinkan oleh hukum yang tercantum pada UU No 36 tahun 2009 pasal 75,
76, dan 77. Artinya, terdapat tumpang-tindih aturan terkait pelaksanaan aborsi provocatus
baik karena korban pemerkosaan ataupun indikasi medis (abortus provokatus medicinalis)
antara KHUP dengan UU No 36 tahun 2009.
Tumpang-tindih dari sudut pandang hukum ini tentunya akan menimbulkan
permasalahan pada perawat yang membantu proses aborsi dengan alasan medis karena
ketidak jelasan peraturan yang berlaku pada perawat tersebut. Berdasarkan Dewi &
Suhandi (2011), dijelaskan bahwa pada kasus tersebut terdapat asas yang dapat
digunakan,  yakni lex posteriori derogat legi priori. Di mana ketika terjadi tumpang tindih

7
antara peraturan lama dan peraturan baru yang mengatur hal yang sama tetapi peraturan
lama masih berlaku, maka peraturan baru lah yang berlaku. Artinya pada kasus tersebut,
UU No 36 tahun 2009 lah yang berlaku.  
Pada praktik keperawatannya, jika perawat dihadapkan pada keinginan klien untuk
abortus provocatus atas dasar alasan yang ilegal secara hukum, maka perawat berhak
menolaknya. Hal tersebut didasari pada pasal 34 ayat 4 UU RI No 38 tahun 2014 tentang
keperawatan di mana perawat memiliki hak untuk menolak menjalankan praktik yang
tidak sesuai dengan SPO, kode etik, ataupun hukum yang berlaku.
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa abortus provocatus
medisinalis dapat menimbulkan dilema jika dilihat dari perpektif etika
keperawatan. Kalau dilakukan, berarti perawat telah mengingkari kode etik di mana
perawat harus menghargai harkat dan martabat klien sebagai mahluk ciptaan Tuhan
YME. Di sisi lain perawat harus menyelamatkan nyawa ibu yang terancam. Ditinjau dari
prinsip moral dalam praktik keperawatan, abortus provocatus medisinalis juga akan
menimbulkan dilema antara prinsip nonmaleficence dan avoiding killing. Sedangkan pada
abortus provocatus criminalis prinsip moral yang harus ditegakan adalah avoiding
killing. Sedangkan jika berorientasi dari sudut pandang hukum, berlandaskan asas lex
posteriori derogat legi priori, abortus provocatus medisinalis dan abortus provocatus
criminalis yang diakibatkan pemerkosaan dapat dilegalkan sesuai UU No 36 tahun 2009..
Selain itu maka abortus provocatus diilegalkan dan terdapat sanksi yang berlaku sesuai
KUHP.
Adapun landasan hukum tentang abortus propocatus ada;ah sebagai berikut:
1. UU No. 36 tahun 2009
Lihat lampiran 1
2. KUHP pasal 299
(1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau
mengerjakan sesuatu perbuatan terhadap seorang perempuan dengan
memberitahukan atau menimbulkan pengharapan, bahwa oleh karena
itu dapat gugur kandungannya, dihukum penjara selama-lamanya
empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 45.000,–.
(2) Kalau sitersalah mengerjakan itu karena mengharapkan keuntungan,
dari pekerjaannya atau kebiasaannya dalam melakukan kejahatan itu,
atau kalau ada seorang tabib, dukun beranak (bidan) atau tukang
membuat obat, hukuman itu, dapat ditambah dengan sepertinya.

8
(3) Kalau sitersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dapat ia
dipercat dari pekerjaannya itu. (K.U.H.P. 10, 35, 37, 283, 346 s, 544 s

3. KUHP pasal 346


Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya empat
tahun.

4. KUHP pasal 347


(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungannya seorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu,
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika karena perbuatan itu perempuan itu jadi mati, dia dihukum
penjara, selama-lamanya lima belas tahun.

5. KUHP pasal 348


(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya
seorang perempuan dengan izin perempuan dengan izin perempuan dengan
izin perempuan itu dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam
bulan.
(2) Jika karena perbuatan itu perempuan jadi mati, dia di di hukum penjara
selama-lamanya tujuh tahun (K.U.H.P. 35, 37, 299, 349 s, 359 s, 487, 534 s)

6. KUHP pasal 349


Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu dalam
kejahatan yang tersebut dalam pasal 346, atau bersalah atau membantu dalam
salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka hukuman
yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiganya dan dapat ia
dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan itu

9
2.2 EUTHANASIA
2.2.1 Pengertian Euthanasia
Istilah Euthanasia secara etimologis, berasal dari kata Yunani yaitu eu dan
thanatos yang berarti “mati yang baik” atau “mati dalam keadaan tenang atau
senang”.
Dalam bahasa inggris sering disebut Marc Killing, sedangkan menurut
“Encyclopedia American mencantumkan Euthanasia ISSN the practice of ending life
in other to give release from incurable sufferering”.
Di Belanda disebutkan bahwa Euthanasia adalah dengan sengaja tidak
melakukan suatu usaha (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau
sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup
seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian
yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh
penderitaan dan tak tersembuhkan”.
Kemudian menurut kamus Kedokteran Dorland Euthanasia mengandung dua
pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua,
pembunuhan dengan kemurahan hati,pengakhiran kehidupan seseorang yang
menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara
hati-hati dan disengaja.
Arti harfiahnya sama dengan good death atau easy death. Sering pula disebut
mercy killing karena pada hakekatnya Euthanasia merupakan tindakan pembunuhan
atas dasar kasihan. Tindakan ini dilakukan sematamata agar seseorang meninggal
lebih cepat, dengan esensi :
1. Tindakan menyebabkan kematian;
2. Dilakukan pada saat seseorang itu masih hidup;
3. Penyakitnya tidak ada harapan untuk sembuh atau dalam fase terminal;
4. Motifnya belas kasihan karena penderitaan berkepanjangan;
5. Tujuannya mengakhiri penderitaan.

Euthanasia dapat juga didefinisikan sebagai tindakan mengakhiri hidup seorang


individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai
bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri
hidupnya, Euthanasia menunjukan tenaga medis untuk membantu para pasien supaya
10
dapat meninggal dengan baik, tanpa penderitaan yang besar. Menurut istilah
kedokteran, Euthanasia berarti tindakan untuk meringankan kesakitan atau
penderitaan yang dialami oleh seseorang yang akan meninggal, juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang berada dalam kesakitan dan penderitaan yang
hebat menjelang kematiannya. Kode etik kedokteran Indonesia menggunakan
Euthanasia dalam tiga arti, yaitu :
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan;
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi
obat penenang;
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri atau pihak keluarga.

Berdasarkan penjelasan medis, Euthanasia menurut Dr. Kartono Muhammad adalah


membantu mempercepat kematian seseorang agar terbebas dari penderitaan. Menurut Dr.
Med Ahmad Ramli dan K.St. Pamuncak Euthanasia adalah usaha dokter untuk
meringankan penderitaan sakaratul maut. Menurut Anton M. Moeliono dan kawan-
kawan, pengertian Euthanasia adalah suatu tindakan mengakhiri dengan sengaja
kehidupan mahluk (orang ataupun hewan) yang sakit berat atau luka parah dengan
kematian yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusaiaan.38 Beberapa rumusan lain
tentang Euthanasia antara lain sebagai berikut:

Euthanasia juga tidak hanya suatu tindakan mengakhiri hidup seorang pasien yang
sangat menderita saja, melainkan juga sikap diam, tidak melakukan upaya untuk
memperpanjang hidupnya dan membiarkannya mati tanpa adanya upaya pengobatan.
Definisi euthanasia sedikitnya mencakup tiga kemungkinan, yaitu :
a. Memperbolehkan (membiarkan) seseorang mati;
b. Kematian karena belas kasihan;
c. Mencabut nyawa seseorang karena belas kasihan.

Memperbolehkan seseorang mati mengandung pengertian tentang adanya suatu


kenyataan, bahwa segala macam usaha penyembuhan terhadap penyakit seseorang, sudah
tidak ada manfaatnya lagi. Secara medis usaha penyembuhan tersebut tidak ada hasilnya
yang positif, bahkan dalam keadaan tertentu ada kemungkinan pengobatan tersebut justru
mengakibatkan bertambahnya penderitaan. Dalam keadaan demikian, seorang penderita

11
lebih baik dibiarkan meninggal dalam keadaan tenang tanpa campur tangan manusia.
Kematian karena belas kasihan merupakan suatu tindakan langsung dan disengaja untuk
mengakhiri kehidupan seseorang yang didasarkan atas izin atau permintaannya. Hal ini
disebabkan oleh kondisi penderita yang sudah tidak tahan lagi menanggung rasa sakit
yang demikian berat. Peristiwa pencabutan nyawa seseorang karena belas kasihan
memberikan pengertian terhadap suatu tindakan yang langsung untuk menghentikan
kehidupan penderita tanpa izinnya. Tindakan ini didasarkan atas asumsi bahwa kehidupan
si penderita selanjutnya tidak ada artinya lagi. Tentu saja ada perbedaan antara peristiwa
ini dengan kematian karena belas kasihan, yaitu bahwa dalam peristiwa yang terakhir ini
tindakan dilakukan tanpa izin dan persetujuan si penderita.

2.2.2 Macam-macam Euthanasia


Berdasarkan pengertian Euthanasia, dapat diketahui bahwa Euthanasia dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Euthanasia atas permintaan;
2. Euthanasia tidak atas permintaan.
Kedua macam Euthanasia tersebut dapat pula dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
a. Euthanasia aktif;
b. Euthanasia pasif.
Euthanasia aktif, baik atas permintaan maupun tanpa permintaan,
dapadibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu :
a) Euthanasia secara langsung;
b) Euthanasia secara tidak langsung

2.2.3 Pengaturan Euthanasia Menurut Hukum Di Indonesia


Pengaturan Euthanasia menurut hukum di Indonesia berdasarkan kode etik
kedokteran Indonesia, seorang dokter berkewajiban mempertahankan dan memelihara
kehidupan manusia. Bagaimanapun gawatnya kondisi seorang pasien, setiap dokter
harus melindungi dan mempertahankan hidup pasien tersebut, ini berarti betapapun
gawatnya dan menderitanya seorang pasien, seorang dokter tetap tidak diperbolehkan
melakukan tindakan yang akan berakibat mengakhiri hidup atau mempercepat
kematian pasien tersebut. Pemahaman ini dapat diambil dari kode etik kedokteran

12
Indonesia Pasal 7d tentang kewajiban umum yang berbunyi : “Setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani.”
Dari pemahaman atas Pasal 7d kode etik kedokteran Indonesia tersebut dapat
dikemukakan bahwa berdasarkan etik dan moral, tindakan Euthanasia itu tidak
diperbolehkan. Dalam hubungan ini Oemar Senoadji mengemukakan: “Menurut kode
etik itu sendiri, maka di Indonesia sebagai suatu negara yang beragama dan
berpancasila kepada kekuasaan mutlak dari pada Tuhan yang Maha Esa, sedangkan
dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk
meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tidak untuk mengakhirinya.
Karenanya tidak menginginkan Euthanasia dilakukan oleh seorang dokter karena
antara lain dipandang bertentangan dengan etik kedokteran itu sendiri dan merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang.”
Berdasarkan keterangan tersebut diatas jelaslah bahwa Euthanasia itu adalah suatu
perbuatan yang melanggar hukum atau merupakan suatu tindak pidana, karena
perbuatannya itu mengakibatkan matinya orang lain, maka Euthanasia itu termasuk
tindak pidana pembunuhan. Dasar hukum untuk larangan Euthanasia tercantum dalam
Pasal 344 KUHP tentang membunuh seseorang atas permintaan orang tersebut.

2.3 TINDAK PIDANA CULPA


2.3.1 Pengertian Culpa
Kealpaan, kelalaian, atau culpa adalah macam kesalahan dalam hukum pidana
sebagai akibat dari kurang berhati-hati, sehingga secara tidak sengaja sesuatu itu
terjadi. Undang-undang sendiri tidak mendefinisikan pengertian dari culpa, namun
terkait dengan culpa, di Indonesia terdapat pasal kelalaian yang mengakibatkan
kematian orang lain diatur dalam Pasal 359 KUHP: “Barang siapa karena
kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Berdasarkan bunyi pasal kelalaian tersebut, R. Soesilo berpendapat bahwa
kematian dalam konteks Pasal 359 KUHP tidak dimaksudkan sama sekali oleh
pelaku. Sebab, kematian tersebut hanya merupakan akibat kurang hati-hati atau
lalainya pelaku. Sementara itu, jika kematian ternyata dikehendaki pelaku, maka pasal
yang dapat diberlakukan adalah Pasal 338 atau 340 KUHP. Kelalaian adalah salah
satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelaku tidak memenuhi standar perilaku
yang telah ditentukan oleh undang-undang, serta kelalaian tersebut terjadi

13
dikarenakan perilaku orang itu sendiri. Contoh kelalaian dapat terjadi pada kasus
pelayanan kesehatan, misalnya karena kurangnya pengetahuan, kurangnya
pengalaman dan atau kurangnya kehati-hatian yang dilakukan dokter.

2.3.2 Jenis Culpa


Tak hanya mengakibatkan kematian orang lain, culpa menurut hukum pidana
dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu:
1. Kealpaan Perbuatan, jika hanya dengan melakukan perbuatannya sudah
merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul
dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP.
2. Kealpaan akibat, merupakan suatu peristiwa pidana jika akibat dari kealpaan itu
sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya kematian
orang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359 KUHP. Selain itu, pasal
kelalaian merugikan orang lain juga diatur dalam Pasal 360 dan 361 KUHP,
yakni culpa yang menyebabkan luka-luka berat hingga timbul penyakit atau
halangan tertentu.

2.3.3 Unsur-Unsur Culpa
Kealpaan atau culpa memiliki 3 (tiga) unsur, sebagai berikut:
1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum
tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu
perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum;
2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh dan kurang berpikir panjang;
serta
3. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung
jawab atas akibat dari perbuatannya tersebut.

Kemudian, berdasarkan doktrin D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH.


Sutorius terdapat skema dari culpa, yaitu:

a. Culpa lata yang disadari (alpa) atau conscious


Artinya, kelalaian yang disadari, yakni seseorang sadar akan risiko,
tetapi berharap akibat buruk tidak akan terjadi. Contoh:
a) sembrono (roekeloos);

14
b) lalai (onachttzaam);
c) tidak acuh.

b. Culpa lata yang tidak disadari (lalai) unconscious


Artinya, kelalaian yang tidak disadari, yakni seseorang seyogianya
harus sadar dengan risiko, tetapi tidak demikian. Contoh:
a) kurang berpikir (onnadentkend);
b) lengah (onoplettend).

2.3.4 Kasus Culpa


(Kasus Operasi Cito Seccio Sesaria (2010)). Ketiga terdakwa yang bekerja
sebagai dokter telah melakukan kelalaian pada saat melakukan operasi Cito Seccio
Sesaria yang berakibat pada terjadinya penyumbatan pembuluh darah pada bilik
kanan jantung korban, dan berujung pada gagalnya fungsi paru dan jantung sehingga
korban meninggal dunia. Ketiga terdakwa didakwa telah melakukan praktik
kedokteran tanpa surat izin praktik dan didakwa memalsukan surat, yaitu persetujuan
tindakan medis milik korban. Tindak pidana tersebut dilihat sebagai bagian dari
pelaksanaan tindak pidana utama, yaitu kelalaian yang mengakibatkan matinya
seseorang.

2.4 . PELANGGARAN HUKUM DALAM PELAYANAN KESEHATAN


2.4.1 Pengertian Pelanggaran Hukum dalam Pelayanan Kesehatan
Pelanggaran pelayanan kesehatan adalah tindakan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan atau lembaga kesehatan yang tidak sesuai dengan standar etika dan
profesionalisme dalam memberikan pelayanan kesehatan. Pelanggaran pelayanan
kesehatan dapat merugikan pasien dan keluarganya, serta dapat mempengaruhi
kualitas pelayanan kesehatan secara keseluruhan.

2.4.2 Pelanggaran dalam Pelayanan Kesehatan


Beberapa pelanggaran dalam pelayanan kesehatan antara lain:
1. Malpraktik: tindakan medis yang tidak profesional yang dapat menyebabkan
kerusakan atau bahkan kematian pada pasien.

15
2. Diskriminasi: memberikan pelayanan yang berbeda atau lebih buruk kepada
pasien karena faktor seperti agama, ras, jenis kelamin, orientasi seksual, atau
kondisi ekonomi.
3. Pelayanan tidak memadai: memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar yang ditetapkan, seperti kurangnya perawatan dan pengobatan yang
tepat dan tidak ada informasi yang cukup diberikan kepada pasien.
4. Pelanggaran privasi: tidak menjaga kerahasiaan informasi pribadi pasien,
seperti riwayat medis atau hasil tes, yang dapat menyebabkan pasien merasa
tidak nyaman atau merugikan mereka.
5. Kurangnya keterlibatan pasien: memberikan pelayanan tanpa
mempertimbangkan keinginan, kebutuhan, atau preferensi pasien, atau tidak
memberikan informasi yang cukup kepada pasien untuk membuat keputusan
yang tepat tentang perawatan dan pengobatan.
6. Ketidakadilan biaya: memberikan perawatan dan pengobatan yang tidak
terjangkau bagi pasien karena faktor ekonomi atau kurangnya akses ke
program pengganti biaya kesehatan.
7. Pelayanan yang tidak sesuai dengan kode etik profesi: melakukan tindakan
yang tidak sesuai dengan kode etik profesi medis, seperti mengabaikan
prinsip-prinsip etika dalam pelayanan kesehatan atau melakukan praktik-
praktik yang merugikan pasien.

2.4.3 Undang Undang Pelanggaran Pelayanan Kesehatan


Sanksi pidana bagi pelanggar hukum pelayanan kesehatan dapat dikenakan
sesuai dengan ketentuan Pasal 359 KUHP dan Pasal 359 bis KUHP, yaitu:
1. Pasal 359 KUHP mengatur tentang tindakan medis yang merugikan atau
membahayakan pasien. Jika tindakan medis tersebut dilakukan dengan sengaja,
maka pelaku bisa dikenai hukuman penjara paling lama 9 tahun. Sedangkan jika
dilakukan karena kelalaian, maka pelaku bisa dikenai hukuman penjara paling
lama 4,5 tahun.
2. Pasal 359 bis KUHP mengatur tentang kelalaian dalam pemberian pertolongan.
Jika pelaku memberikan pertolongan yang tidak sesuai dengan standar yang

16
berlaku dan mengakibatkan kematian pasien, maka pelaku bisa dikenai hukuman
penjara paling lama 5 tahun.

Selain itu, terdapat beberapa undang-undang yang mengatur tentang pelayanan


kesehatan dan sanksi pidana yang bisa dikenakan bagi pelanggar hukum, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang
sanksi pidana bagi tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik atau
pelanggaran etika profesi. Jika terbukti melakukan malpraktik, pelaku bisa
dikenai sanksi pidana berupa kurungan penjara paling lama 10 tahun dan denda
paling banyak Rp. 1 miliar.
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengatur tentang
sanksi pidana bagi rumah sakit atau pengelola yang melanggar ketentuan
undang-undang tersebut. Jika terbukti melanggar, maka bisa dikenai sanksi
pidana berupa kurungan penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak
Rp. 500 juta.
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur
tentang sanksi pidana bagi dokter yang melakukan pelanggaran etik atau
melanggar ketentuan undang-undang tersebut. Jika terbukti melakukan
pelanggaran, pelaku bisa dikenai sanksi pidana berupa kurungan penjara paling
lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 500 juta.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan mengatur tentang
sanksi pidana bagi tenaga kesehatan yang melakukan pelanggaran dalam
praktik kesehatan. Jika terbukti melakukan pelanggaran, pelaku bisa dikenai
sanksi pidana berupa kurungan penjara paling lama 3 tahun dan denda paling
banyak Rp. 30 juta.

Di Indonesia, undang-undang tentang pelanggaran pelayanan kesehatan diatur


dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa pasal
dalam undang-undang tersebut yang berkaitan dengan pelanggaran pelayanan
kesehatan antara lain:

1. Pasal 49: Menjelaskan tentang sanksi administratif bagi tenaga kesehatan atau
lembaga kesehatan yang melakukan pelanggaran dalam pelayanan kesehatan.

17
2. Pasal 50: Menjelaskan tentang sanksi pidana bagi tenaga kesehatan atau
lembaga kesehatan yang melakukan tindakan medis yang merugikan pasien.
3. Pasal 51: Menjelaskan tentang sanksi pidana bagi tenaga kesehatan atau
lembaga kesehatan yang tidak menjaga kerahasiaan informasi pribadi pasien.
4. Pasal 52: Menjelaskan tentang sanksi pidana bagi tenaga kesehatan atau
lembaga kesehatan yang melakukan tindakan aborsi atau sterilisasi tanpa
indikasi medis yang jelas.
5. Pasal 53: Menjelaskan tentang sanksi administratif atau pidana bagi tenaga
kesehatan atau lembaga kesehatan yang melakukan tindakan medis atau
memberikan obat-obatan yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.
6. Pasal 54: Menjelaskan tentang sanksi administratif atau pidana bagi tenaga
kesehatan atau lembaga kesehatan yang melakukan tindakan medis atau
memberikan obat-obatan tanpa persetujuan pasien atau keluarga pasien.
7. Pasal 55: Menjelaskan tentang sanksi pidana bagi tenaga kesehatan atau
lembaga kesehatan yang melakukan diskriminasi terhadap pasien.
8. Pasal 56: Menjelaskan tentang sanksi administratif atau pidana bagi tenaga
kesehatan atau lembaga kesehatan yang melakukan tindakan medis atau
memberikan obat-obatan dengan tujuan untuk meraih keuntungan pribadi atau
kelompok.

18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
 Abortus provokatus, adalah aborsi yang disengaja baik dengan memakai obat-
obatan maupun alat-alat. Yaitu suatu proses pengakhiran hidup dari janin
sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.
Jenis abortus ada dua yaitu: abortus Provocatus criminalis dan Abortus
provocatus medicinalis.
1. Undang undang yang mengatur tentang abortus antara lain: UU No. 36
tahun 2009
2. KUHP pasal 299
3. KUHP pasal 346,347,348 dan 349.
 Istilah Euthanasia secara etimologis, berasal dari kata Yunani yaitu eu dan
thanatos yang berarti “mati yang baik” atau “mati dalam keadaan tenang atau
senang”. Jenis Euthanasiaada dua: Euthanasia atas permintaan; Euthanasia tidak
atas permintaan. jelaslah bahwa Euthanasia itu adalah suatu perbuatan yang
melanggar hukum atau merupakan suatu tindak pidana, karena perbuatannya itu
mengakibatkan matinya orang lain, maka Euthanasia itu termasuk tindak pidana
pembunuhan. Dasar hukum untuk larangan Euthanasia tercantum dalam Pasal
344 KUHP tentang membunuh seseorang atas permintaan orang tersebut.
 kealpaan, kelalaian, atau culpa adalah bentuk kesalahan dalam hukum pidana
sebagai akibat dari tindakan seseorang yang kurang berhati-hati. Dari tindakan
tersebut dapat berakibat berupa kematian atau menimbulkan luka-luka berat
orang lain. Sehingga, dapat dikatakan salah satu pasal kelalaian merugikan orang
lain diatur dalam Pasal 359 KUHP.
 Pelanggaran pelayanan kesehatan adalah tindakan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan atau lembaga kesehatan yang tidak sesuai dengan standar etika dan
profesionalisme dalam memberikan pelayanan kesehatan. Beberapa pelanggaran
dalam pelayanan kesehatan antara lain:
a. Malpraktik
b. Diskriminasi
c. Pelayanan tidak memadai
d. Pelanggaran privasi

19
e. Kurangnya keterlibatan pasien
f. Ketidakadilan biaya
g. Pelayanan yang tidak sesuai dengan kode etik profesi

3.2 Saran
Berikut adalah beberapa saran untuk tindakan dan pencegahan pelanggaran
hukum dalam bidang kesehatan:
1. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran tenaga kesehatan tentang kode etik dan
peraturan dalam bidang kesehatan. Dalam hal ini, perlu ditingkatkan pelatihan dan
pembinaan yang terus-menerus untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran
para tenaga kesehatan tentang tindakan yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan dalam praktik medis.
2. Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam
bidang kesehatan. Dalam hal ini, perlu ditingkatkan kerjasama antara lembaga
pemerintah dan masyarakat untuk memperkuat pengawasan dan penegakan
hukum dalam bidang kesehatan.
3. Meningkatkan keterbukaan dan transparansi dalam penyediaan layanan kesehatan.
Hal ini meliputi penyediaan informasi yang jelas dan transparan mengenai biaya,
prosedur, dan risiko dalam layanan kesehatan. Dengan adanya keterbukaan dan
transparansi, diharapkan dapat mengurangi risiko terjadinya tindakan yang
merugikan pasien.
4. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian mutu
layanan kesehatan. Dalam hal ini, masyarakat perlu didorong untuk aktif dalam
memberikan masukan dan saran kepada penyedia layanan kesehatan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan.
5. Meningkatkan perlindungan hukum bagi pasien yang menjadi korban tindakan
pelanggaran dalam bidang kesehatan. Dalam hal ini, perlu ditingkatkan
perlindungan hukum bagi pasien yang menjadi korban tindakan pelanggaran,
sehingga mereka dapat mendapatkan keadilan dan ganti rugi yang layak.

20
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.


Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan
Kode Etik Kedokteran Indonesia, 2012.
Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 45 Tahun 2015 tentang Izin Praktik Tenaga
Kesehatan.
Pedoman Pelaksanaan Pengawasan dan Penegakan Hukum Pelanggaran Kode Etik
Kedokteran oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
https://www.kompasiana.com/sofyandfr18/61a7dfc562a704101312eb82/abortus-
provocatus-dalam-perspektif-etika-moral-dan-hukum-profesi-
keperawatan?page=all
https://yuridis.id/pasal-349-kuhp-kitab-undang-undang-hukum-pidana/

https://www.erisamdyprayatna.com/2020/09/pengertian-dan-jenis-jenis-kealpaan.html

http://digilib.unila.ac.id/522/7/BAB%20II.pdf

http://repository.unpas.ac.id/28620/4/F.BAB%20II%20TINJAUAN
%20EUTHANASIA.pdf

https://www.kompasiana.com/sofyandfr18/61a7dfc562a704101312eb82/abortus-
provocatus-dalam-perspektif-etika-moral-dan-hukum-profesi-
keperawatan?page=all

https://yuridis.id/pasal-229-kuhp-kitab-undang-undang-hukum-pidana/

https://www.kompasiana.com/sofyandfr18/61a7dfc562a704101312eb82/abortus-
provocatus-dalam-perspektif-etika-moral-dan-hukum-profesi-
keperawatan?page=all

https://aborsikan.weebly.com/blog/penyebab-dan-dampak-abortus-provokatus-
kriminalis

21
LAMPIRAN

(https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/UU_36_2009_Kesehatan.pdf)

22

Anda mungkin juga menyukai