Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ABSES HEPAR

disusun guna memenuhi tugas praktik profesi keperawatan bedah

oleh :
Annisa Firdaus
NIM 162311101169

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
1. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi hepar
Hati merupakan organ kelenjar terbesar di dalam tubuh manusia dengan berat
sekitar 1,25 – 1,5kg atau lebih dari 2,5% berat badan orang dewasa normal.
Hati merupakan organ lunak yang lentur dan tercetak oleh struktur lainnya.
Bagian bawah hati (hepar) berbentuk cekung dan merupakan atap dari ginjal
kanan, lambung pankreas, dan usus (Christa, 2003).

Gambar 2.1. Anatomi Hati (Farida, 2010)


Hati dibagi lagi dalam empat belahan (kanan, kiri, kaudata dan kwadarta), dan
setiap belahan atau lobus, terdapat lobulus. Lobulus ini berbentuk polyhedral
(segi banyak) dan terdiri atas sel hati berbentuk kubus. Lobulus di dalam hati
terdapat sekitar 50.000 – 100.000 lobulus yang tersusun radial. Hati juga
mempunyai dua jenis persedian darah yang datang melalui arteri hepatica dan
vena porta (Pearce, 1979). Arteri hepatika yang keluar dari aorta dan
memberikan seperlima darahnya kepada hati sedangkan vena porta yang
terbentuk dari vena lienalis dan vena mesenterika superior, mengantarkan
empat perlimanya ke hati. Darah vena porta ini membwa kepada hati zat
makanan yang telah diabsorpsi oleh usus halus. Vena hepatika mengembalikan
darah dari hati ke vena kava inferior. Maka di dalam hati terdapat empat
pembuluh darah utama yang menjelajahi seluruh hati, dalam pengartian dua
yang masuk yaitu arteri hepatika dan vena porta sedangkan yang keluar yaitu
vena hepatika dan saluran empedu (Pearce, 1979).
Hati juga mempunyai fungsi yaitu menetralkan racun dan makanan. Sesuai
dengan fungsinya, hati melaksanakan fungsi pencernaan terhadap sebagian
besar bahan kimia melalui aktifitas enzim yang beraneka ragam. Hati juga
menduduki urutan pertama dalam hal jumlah, kerumitan dan ragam fungsi.
Hati sangat penting untuk mempertahankan fungsi hidup dan berperan dalam
hampir setiap metabolisme dan bertanggung jawab atas lebih dari 500 aktivitas
berbeda (Christa, 2003).
b. Fisiologi hepar
Metabolisme adalah istlah menunjukan perubahan – perubahan kimiawi yang
terjadi di dalam tubuh untuk pelaksanaan sebagai fungsi vitalnya. Setiap sel
terdiri atas protoplasma yang memiliki kemampuan yang mengangkut oksigen
(Pearce, 1979). Bersangkutan dengan metabolisme atau cara kerja hati pada
tubuh, khususnya dalam pengaruh makanan dan darah ada pun fungsi hati
dijalankan oleh sel yang disebut hepatosit, menurut Darmawan (1973) fungsi
hati adalah sebagai berikut : 1) Sebagai penampung darah, 2) Membersikan
darah untuk melawan infeksi, 3) Memproduksi dan mengsekresikan empedu,
4) Membantu menjaga keseimbangan glukosa darah, 5) Membantu
metabolisme lemak, 6) Membantu metabolisme protein, 7) Metabolisme
vitamin dan mineral, 8) Menetralisir zat –zat beracun dalam tubuh, 9)
Mempertahankan suhu tubuh.
Enzim adalah biomolekul yang berupa protein atau bisa disebut protein yang
hadir di seluruh tubuh, enzim bekerja dengan cara bereaksi dengan molekul
substrat untuk menghasilkan senyawa melalui suatu reaksi kimia organik yang
membutuhkan energi aktivitas yang lebih rendah (Chen, 1992). Hati
memproduksi beberapa protein sebagai enzim, gambaran enzim transaminase
ini yang digunakan untuk mengukur level beberapa jenis enzim hati, yang
merupakan protein spesifik yang membantu untuk memecahkan dan
menggunakan metabolisme substansi yang lain (Andrianto, 1994).
Salah satu langka awal dalam mendeteksi kerusakan hati adalah suatu tes
sederhana untuk menentukan adanya enzim hati tertentu (protein) di dalam
darah. Enzim ini berada di dalam hati dan ketika hati terluka karena alasan
apapun, enzim ini tumpah ke dalam aliran darah dan bereksi dengan infeksi
(Chen, 1992). Hati terdiri atas bermacam – macam sel. Hepatosit meliputi
kurang lebih 60% sel hati, dan sedangkan sisanya terdiri dari sel – sel
ephithelial (Wijayakusuma, 2008). Hepatosit merupakan sel tubuh yang
memproduksi protein dan enzim intraseluler termasuk transaminase. Enzim
yang dihasilkan oleh hepatosit yaitu Alanine Aminotransferase (ALT) atau
Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), dan Aspartate
Aminotransferase (AST) atau Serum Glutamic Oksaloasetat Transaminase
(SGOT). SGPT terdapat pada sel darah merah, otot jantung, otot skelet, ginjal
dan otak. Sedangkan SGOT ditemukan pada hati. Enzim tersebut akan
dikelurakan dari hepatosit jika terdapat peradangan atau kerusakan pada sel
tersebut. Kedua enzim ini dapat meningkat karena adanya gangguan fungsi
hati, dan penenda kerusakan sel lainnya, yang salah satu penyebabnya adalah
proses infeksi yang disebabkan oleh virus (Arivin, 2000).
Fungsi hati dilihat berdasarkan sel-selnya dibedakan menjadi fungsi sel epitel
hati dan fungsi sel kupffer. Fungsi dari sel epitel hati antara lain sebagai pusat
metabolisme meliputi, metabolisme empedu, metabolisme karbohidrat,
metabolisme lemak dan protein sebagai penyimpan vitamin dan bahan
makanan hasil metabolisme, hati menyimpan bahan makanan tersebut untuk
keperluan sendiri dan keperluan organ lain sebagai alat ekskresi untuk
keperluan tubuh diantaranya mengeluarkan glukosa, protein, faktor koagulasi,
enzim dan empeu. Fungsi sel Kupffer sebagai sel endotel memiliki fungsi
sebagai sistem repository.unimus.ac.id 9 retikuloendotelial yaitu menguraikan
hemoglobin menjadi bilirubin, membentuk Y globulin dan imun bodies,
sebagai alat fagositosis terhadap bakteri dan elemenmakromolekuler (Hadi,
2000).
Dalam garis besar fungsi dari hati dibagi menjadi 4 macam yaitu :
1) Menawar dan menetralkan racun (detoksifikasi). Hati dapat menghilangkan
racun di dalam darah dengan cara membersihkannya dari zat berbahaya
seperti alkohol dan obat-obatan.
2) Mengontrol sirkulasi tubuh.
3) Membuat protein plasma.
4) Menyempurnakan sel darah merah (eritrosit) dengan bantuan zat hermatin.
Hati berperan merombak sel darah merah yang telah rusak/tua. Hasil
perombakan tersebut berupa empedu yang harus dikeluarkan dari tubuh
5) Membantu membuang zat bilirubin. Bilirubin adalah zat yang tidak baik
untuk tubuh sehingga harus dibuang melalui sistem ekskresi.
6) Menyimpan mineral yang diperlukan sistem peredaran darah pada manusia
seperti zat besi.
7) Menyimpan glikogen (gula otot) yang merupakan hasil pengubahan dari
glukosa karena hormon insulin dan mengeluarkannya apabila dibutuhkan.
Sehingga hati berfungsi sebagai pengontrol kadar gula darah.
8) Mencegah terjadinya penggumpalan darah dengan cara mengeluarkan
protrombin dan fibrinogen.
9) Mengubah zat makanan yang diabsorbsi dari usus halus dan yang disimpan
di suatu tempat di dalam tubuh seperti protein, karbohidrat, dan lipid
(lemak). Hati mengubah zat – zatmakanan sebelum diedarkan ke seluruh
tubuh
10) Membuang zat berbahaya pada pembuluh darah seperti kolesterol.
11) Mengatur sirkulasi hormon.
12) Mengontrol kadar asam amino dalam tubuh. Jika kelebihan asam amino,
maka hati akan menyimpannya.
13) Mempertahankan suhu tubuh dengan menaikan suhu darah yang mengalir
melalui hati.
14) Memakan antigen dan mikroorganisme.
15) Memproduksi zat imun sehingga berperan penting dalam sistem imun pada
manusia.
16) Mengatur komposisi darah yang mengandung lemak, gula, protein, dan zat
lain.
17) Menyimpan hermatin yang diperlukan untuk penyempurnaan sel darah
merah yang baru.
18) Membantu empedu untuk menghasilkan cairan empedu yang berasal dari sel
darah merah yang telah dirombak di dalam hati. Cairan empedu berfungsi
untuk mengemulsikan lemak dalam makanan. Kantong empedu dapat
menghasilkan 1/2 liter empedu setiap harinya. Empedu berwarna kehijauan
dan terasa pahit.
19) Mengeluarkan glukosa jika diperlukan.
20) Membentuk sel darah merah saat masih di dalam janin.
21) Membentuk urea yang merupakan hasil dari perombakan asam amino. Urea
dikeluarkan melalui ginjal dalam bentuk urin.
22) Menyimpan vitamin larut lemak (A, D, E, K), vitamin B12, dan mineral.
23) Menghasilkan protrombin dan fibrinogen yang berfungsi untuk mencegah
penggumpalan darah.

2. Definisi
Abses hati merupakan masalah kesehatan dan sosial pada beberapa negara
yang berkembang seperti di Asia terutama Indonesia. Prevalensi yang tinggi
biasanya berhubungan dengan sanitasi yang jelek, status ekonomi yang
rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi menyebabkan
bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan dengan kasus abses hati
amebik lebih sering berbanding abses hati pyogenik dimana penyebab infeksi
dapat disebabkan oleh infeksi jamur, bakteri ataupun parasit.
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus di dalam parenkim hati.
Abses hati adalah kumpulan nanah di dalam kantung-kantung yang berada di
dalam parenkim (jaringan) hati. Penyakit ini paling sering disebabkan oleh
infeksi bakteri, tetapi dapat juga disebabkan oleh jamur atau parasit.
Abses (Latin:abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah
mati) yang terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses
infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing
(misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan
reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran:perluasan
infeksi ke bagian lain dari tubuh. Organisme atau benda asing membunuh sel-
sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin tersebut
memicu sebuah respon inflamasi (peradangan) yang menarik kedatangan
sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan
meningkatkan aliran darah setempat. Struktur akhir dari suatu abses adalah
dibentuknya dinding abses, atau kapsul, oleh sel-sel sehat di sekeliling abses
sebagai upaya untuk mencegah nanah menginfeksi struktur lain di sekitarnya.
Meskipun demikian, sering kali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung
menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen
infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam
nanah. Abses harus dibedakan dengan empyema. Empyema mengacu pada
akumulasi nanah didalam kavitas yang telah ada sebelumnya secara normal,
sedangkan abses mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang baru
terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut

3. Epidemiologi
Di negara-negara yang sedang berkembang abses hati amebik didapatkan
secara endemik dan jauh lebih sering dibandingkan dengan abses hati
piogenik. Abses hati piogenik ini tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di
daerah tropis dengan kondisi higrene/sanitasi yang kurang.
Secara epidemiologi didapatkan 8-15 per 100.000 kasus abese hati piogenik
yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit, dan dari beberapa kepustakaan
Barat, didapatkan prevalensi antopsi bervariasi antara 0,29-1,47%. Sedangkan
prevalensi di rumah sakit antara 0,008-0,16% abses hati sering terjadi pada
pria dibandingkan perempuan dengan rentang usia berkisar lebih dari 40
tahun, dengan insiden puncak pada dekade ke-6

4. Klasifikasi (Penyebab)
Abses hati dibagi atas dua secara umum, yaitu abses hati amoeba dan abses
hati pyogenik.
a. Abses Hepar Amebik (AHA)

Penularan abses hepar amebik terjadi secara fekal-oral, dengan masuknya


kista infektif bersama makanan atau minuman yang tercemar tinja penderita
atau tinja karier amebiasis.
Di dalam usus, oleh pengaruh enzim tripsin dinding kista pecah. Di dalam
sekum atau ileum bagian bawah terjadi proses eksitasi, eksitasi adalah
proses transformasi dari bentuk kista ke bentuk tropozoit. Dalam proses
eksitasi, satu kista infektif yang berinti empat tumbuh menjadi delapan
amubula, amubula menuju ke jaringan submukosa usus besar, lalu tumbuh
dan berkembang menjadi tropozoit. Bentuk tropozoit dapat menginvasi
jaringan, amoeba dapat menjadi pathogen dengan mensekresi enzim
cysteine protease, sehingga dapat melisiskan jaringan maupun eritrosit dan
menyebar ke seluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum.6
Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam
aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati Entamoeba Histolytica
mensekresi enzim proteolitik yang melisiskan jaringan hati dan membentuk
abses. Lokasi yang tersering adalah lobus kanan (70%-90%), kecenderungan
ini diperkirakan akibat penggabungan dari beberapa tempat infeksi
mikroskopik, serta disebabkan karena cabang vena porta kanan lebih lebar
dan lurus dari pada cabang vena porta kiri. Ukuran abses bervariasi, yaitu
dari diameter 1-25 cm, dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada
lamanya penyakit. Didaerah sentral dari abses terjadi pencairan yang
berwarna coklat kemerahan, yang disebut “anchovy sauce” yang terdiri dari
jaringan hati nekrotik dan berdegenerasi. Amoebanya dapat ditemukan pada
dinding abses dan sangat jarang ditemukan di dalam cairan di bagian sentral
abses. Kira-kira 25 % abses hati amoebik mengalami infeksi sekunder
sehingga cairan absesnya menjadi purulen dan berbau busuk.
Terdapat periode laten yaitu jarak waktu yang lamanya bervariasi kadang-
kadang sampai bertahun-tahun diantara kejadian infeksi pada usus dengan
timbulnya abses hati. Jarak waktu antara serangan di intestinal dengan
timbulnya kelainan di hati berbeda-beda. Bentuk yang akut dapat memakan
waktu kurang dari 3 minggu, tetapi bentuk yang kronis lebih dari 6 bulan,
bahkan mungkin sampai 57 tahun. Disamping itu hanya lebih kurang 10 %
penderita abses hati yang dapat ditemukan adanya kista E.histolytica dalam
tinjanya pada waktu yang bersamaan, bahkan dilaporkan 2-33 %. Faktor
yang berperan dalam keaktifan invasi amoeba ini belum diketahui dengan
pasti tetapi mungkin ada kaitannya dengan virulensi parasit, diit flora
bakteri usus dan daya tahan tubuh sesorang baik humoral maupun seluler.
b. Abses Hepar Piogenik (AHP)
Abses hepar piogenik paling sering disebabkan oleh penyakit saluran
empedu (35-45 % kasus). Perluasan infeksi di dalam perut (divertikulitis,
apendistis, penyakit crohn) melalui vena porta merupakan penyebab untuk
20 % lainnya. Sisa kasus disebabkan oleh perluasan infeksi lokal secara
langsung, penyebaran hematogen lewat arteri hepatika dari tempat yang
jauh, atau penyebab idiopatik (10-20 %).
Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal,
hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang
berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati
akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Adanya
penyakit pada sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan
menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi
kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena porta dan limfatik
sehingga akan terbentuk formasi abses filelebitis. Mikroabses yang
terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia
sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi
bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi abses hepar piogenik. Penetrasi
akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik,
dan terjadi kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari
kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati
dan terjadi pertumbuhan bakteri dengan proses supurasi dan pembentukan
pus.
Infeksi dari hati dapat juga berasal dari :
1) Sistem biliaris langsung dari kandung empedu atau melalui saluran-saluran
empedu. Infeksi pada saluran empedu yang mengalami obstruksi naik ke
cabang saluran empedu intrahepatik yang menyebabkan kolangitis yang
menimbulkan kolangitis dengan akibat abses multipel. Abses hati piogenik
multiple terdapat pada 50% kasus, hati dapat membengkak dan daerah
yang mengandung abses menjadi pucat kekuningan, berbeda dengan hati
sehat disekitarnya yang berwarna merah tua. Kebanyakan terdapat pada
lobus kanan dengan perbandingan lima kali lobus kiri.
2) Infeksi melalui sistem porta. Sepsis intra-abdomen, terutama apendisitis,
divertikulitits, disentri basiler, infeksi daerah pelvik, hemoroid yang
terinfeksi dan abses perirektal merupakan penyebab utama abses hepar
piogenik. Pada umumnya berawal sebagai pileflebitis perifer disertai
pernanahan dan thrombosis yang kemudian menyebar melalui vena porta
ke dalam hati.
3) Hematogen melalui arteri hepatika. Trauma tajam atau tumpul dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan, dan nekrosis jaringan hati serta
ekstravasasi cairan empedu yang mudah terinfeksi. Hematoma subkapsuler
dapat juga mengundang infeksi dan menimbulkan abses yang soliter dan
terlokalisasi.

5. Manifestasi klinis
a. Abses Hepar Amebik (AHA)
Gejala dapat timbul secara mendadak (bentuk akut), atau secara perlahan-
lahan (bentuk kronik). Dapat timbul bersamaan dengan stadium akut dari
amebiasis intestinal atau berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun
setelah keluhan intestinal sembuh. Pada bentuk akut, gejalanya lebih nyata
dan biasanya timbul dalam masa kurang dari 3 minggu. Keluhan yang
sering diajukan yaitu rasa nyeri di perut kanan atas. Rasa nyeri terasa
seperti tertusuk – tusuk dan panas, demikian nyerinya sampai ke perut
kanan. Dapat juga timbul rasa nyeri di dada kanan bawah, yang mungkin
disebabkan karena iritasi pada pleura diafragmatika. Pada akhirnya dapat
timbul tanda – tanda pleuritis. Rasa nyeri pleuropulmonal lebih sering
timbul pada abses hepatis jika dibandingkan dengan hepatitis. Rasa nyeri
tersebut dapat menjalar ke punggung atau skapula kanan. Pada saat timbul
rasa nyeri di dada dapat timbul batuk – batuk. Keadaan serupa ini timbul
pada waktu terjadinya perforasi abses hepatis ke paru – paru. Sebagian
penderita mengeluh diare. Hal seperti itu memperkuat diagnosis yang
dibuat.
Gejala demam merupakan tanda yang paling sering ditemukan pada abses
hepar. Gejala yang non spesifik seperti menggigil, anoreksia, mual dan
muntah, perasaan lemah badan dan penurunan berat badan merupakan
keluhan yang biasa didapatkan. Lebih dari 90 % didapatkan hepatomegali
yang teraba nyeri tekan. Hati akan membesar kearah kaudal atau kranial
dan mungkin mendesak kearah perut atau ruang interkostal. Pada perkusi
diatas daerah hepar akan terasa nyeri. Konsistensi biasanya kistik, tetapi
bisa pula agak keras seperti pada keganasan. Pada tempat abses teraba
lembek dan nyeri tekan. Dibagian yang ditekan dengan satu jari terasa
nyeri, berarti tempat tersebutlah tempatnya abses. Rasa nyeri tekan dengan
satu jari mudah diketahui terutama bila letaknya di interkostal bawah
lateral. Ini menunjukkan tanda Ludwig positif dan merupakan tanda khas
abses hepatis. Abses yang besar tampak sebagai massa yang membenjol
didaerah dada kanan bawah. Batas paru-paru hepar meninggi. Pada
kurang dari 10 % abses terletak di lobus kiri yang sering kali terlihat
seperti massa yang teraba nyeri di daerah epigastrium.
Ikterus jarang terjadi, kalau ada biasanya ringan. Bila ikterus hebat
biasanya disebabkan abses yang besar atau multipel, atau dekat porta
hepatik. Pada pemeriksaan toraks didaerah kanan bawah mungkin
didapatkan adanya efusi pleura atau “friction rub” dari pleura yang
disebabkan iritasi pleura.
Gambaran klinik abses hati amebik mempunyai spektrum yang luas dan
sangat bervariasi, hal ini disebabkan lokasi abses, perjalanan penyakit dan
penyulit yang terjadi. Pada satu penderita gambaran bisa berubah setiap
saat. Dikenal gambaran klinik klasik dan tidak klasik.
Gambaran klinik klasik didapatkan penderita mengeluh demam dan nyeri
perut kanan atas atau dada kanan bawah, dan didapatkan hepatomegali
yang nyeri. Gambaran klasik didapatkan pada 54-70 % kasus.1 Gambaran
klinik tidak klasik ditemukan benjolan di dalam perut (seperti bukan
kelainan hati misalnya diduga empiema kandung empedu atau tumor
pankreas), Gejala renal (keluhan nyeri pinggang kanan dan ditemukan
masa yang diduga ginjal kanan), ikterus obstruktif, kolitis akut, gejala
kardiak bila ruptur abses ke rongga perikardium, gejala pleuropulmonal,
abdomen akut.
b. Abses Hepar Piogenik (AHP)
Manifestasi klinis AHP biasanya lebih berat dari pada abses hati amebik.
Dicurigai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klasik berupa
nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk
ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Demam/panas tinggi
merupakan keluhan paling utama dengan tipe remiten, intermiten atau
febris kontinu, keluhan lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen
(68 %), mual dan muntah (39%), berat badan menurun (46%). Setelah
pemakain antibiotik yang adekuat, gejala dan manifestasi klinis AHP
adalah malaise, demam yang tidak terlalu tinggi dan nyeri tumpul pada
abdomen yang menghebat dengan adanya pergerakan. Apabila abses hati
piogenik letaknya dekat dengan diafragma, maka akan terjadi iritasi
diafragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun
terjadi atelektasis. Gejala lainnya adalah rasa mual dan muntah,
berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan, kelemahan
badan, ikterus, buang air besar berwarna seperti kapur dan buang air kecil
berwarna gelap.
Pemeriksaan fisis yang didapatkan febris biasa hingga demam/panas
tinggi, pada palpasi terdapat hepatomegali serta perkusi terdapat nyeri
tekan hepar, yang diperberat dengan adanya pergerakan
abdomen,splenomegali didapatkan apabila AHP telah menjadi kronik,
selain itu bisa didapatkan asites, ikterus serta tanda-tanda hipertensi portal.
Adanya ikterus pada 24-52 % kasus biasanya menunjukkan adanya
penyakit sistem bilier yang disertai kolangitis dengan prognosis yang
buruk.

6. Patofisiologi
1. Amoebiasis Hepar
Amebiasis Hati penyebab utamanya adalah entamoeba hystolitica.Hanya
sebagian kecil individu yang terinfeksi E.Hystolitica yang member gejala
amebiasis invasive, sehingga ada dugaan ada dua jenis E.hystolitica yaitu
strain pathogen dan non pathogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain
E.hystolitica ini berbeda berdasarkan kemampuan nya menimbulkan lesi
pada hati. Patogenesi amebiasis hati belum dapat diketahui secara pasti.
Ada beberapa mekanisme yang telah dikemukakan antara lain; faktor
virulensi yang menghasilakan toksin, ketidakseimbangan nutrisi, factor
resistensi parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen
permukaan dan penurunan imunitas cell- Mediated. (Arief mansjoer,2001)
Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme;(Arief Mansjoer, 2001).
1) Strain E.Hystolitica ada yang pathogen dan non pathogen
2) Secara genetic E.Hystolitica dapat menyebabkan invasi tetapi
tergantung pada interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan
saluran cerna terutama pada flora bakteri. Mekanisme terjadinya amebiasis
hati:
a) Penempelan E.Hystolitica pada mucus usus
b) Pengerusakan sawar intestinal.
c) Lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respon
imun cell-mediated yang disebab kanenzim atau toksin parasit, juga
dapat karena penyakit tuberculosis, malnutrisi, keganasan. Dll
Penyebaran ameba kehati.penyebaran ameba dari usus kehati sebagian
besar melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang
disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa .lesi membesar, bersatu
dengan granuloma diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekroti ini
dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa.
2. Abses Hati Piagenik
Abses Hati piagenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari:
a) Vena porta yaitu terifeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan
pielflebitis porta atau emboli septic
b) Saluran empedu merupakan sumber infeksi tersering. Kolangitis septic
dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga batu
empedu, kanker, striktura saluran empedu ataupun anomaly saluran
empedu kongenital.
c) Infeksi langsung seperti luka penetrasi. Focus septik berdekatan seperti
abses perinefrik, kecelakaan lalu lintas.
d) Septisemia atau bakterimia akibat infeksi ditempat lain.
e) Kriptogenik tanpa factor predisposisi yang jelas, terutama pada organ
lanjut usia. (Aru W Sudoyo, 2006)
7. Clinical Pathway
8. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah berupa rupture abses sebesar 5 –
15,6%, perforasi abses keberbagai organ tubuh seperti ke pleura, paru,
pericardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi
superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase.(Menurut Julius, Ilmu
penyakit dalam, jilid I, 1998).
Saat dignosis ditegakan, menggambarkan keadaan penyakit yang berat,
seperti septikaemia/bakteriemia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati
disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7% kelainan
plueropulmonal, gagal; hati, kelainan didalam rongga abses, henobilia,
empiema, fisistula hepatobronkial, ruptur kedalam perikard atau
retroperitoneum. Sistem plueropulmonum merupakan sistem tersering
terkena. Secara khusus, kasus tersebut berasal dari lesi yang terletak di lobus
kanan hepar. Abses menembus diagfragma dan akan timbul efusi pleura,
empyema abses pulmonum atau pneumonia. Fistula bronkopleura, biliopleura
dan biliobronkial juga dapat timbul dari reptur abses amuba. Pasien-pasien
dengan fistula ini akan menunjukan ludah yang berwarna kecoklatan yang
berisi amuba yang ada. (Adams, E. B., 2006).
Pembesaran limpa merupakan temuan patologi yang umum dan penting.
Pembesaran pada pulpa merah terjadi karena adanya peningkatan jumlah sel-
sel fagosit dan atau peningkatan jumlah sel darah. Pada infeksi yang bersifat
kronis, hiperplasia jaringan limfoid dapat ditemukan. splenomegali karena
abses hati bisa dimungkinkan oleh :
a. Infeksi
Pada kasus infeksi bakterial yang bersifat akut, ukuran limpa sedikit
membesar. Pembesaran terjadi akibat peradangan yang menyebabkan
peningkatan infiltrasi sel-sel fagosit dan sel-sel neutrofil. Jaringan atau sel-
sel yang mati akan dicerna oleh enzim, sehingga konsistensi menjadi
lembek, apabila disayat mengeluarkan cairan berwarna merah, bidang
sayatan menunjukkan warna merah merata. Permukaan limpa masih
lembut dan terlihat keriput. Peradangan dapat meluas sampai dengan
kapsula limpa yang disebut sebagai perisplenitis dengan atau tanpa disertai
abses.
Pada infeksi kronis non-pyogenik, pembesaran yang terjadi melebihi
ukuran limpa pada infeksi akut. Konsistensi mengeras, bidang sayatan
memperlihatkan adanya lymphoid aggregates, pulpa merah banyak
mengandung sel-sel fagosit yang didominasi oleh sel plasma.
b. Gangguan Sirkulasi
Gangguan sirkulasi dapat menyebabkan kongesti buluh darah pada limpa.
Keadaan kongesti limpa ini dapat disebabkan oleh 2 kondisi utama, yaitu
gagal jantung kongestif (CHF/Congestive Heart Failure) dan sirosis hati
(Hepatic Cirrhosis). Kondisi gagal jantung (dilatasi) menyebabkan
kongesti umum/sistemik buluh darah balik, terutama vena porta hepatika
dan vena splenik. Keadaan ini mengakibatkan tekanan hidrostatik vena
meningkat dan mengakibatkan terjadinya pembesaran limpa. Pada kondisi
sirosis hati, aliran darah pada vena porta mengalami obstruksi, karena
terjadi fibrosis hati. Keadaan seperti ini menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik vena porta dan vena splenik, sehingga menyebabkan
pembesaran limpa. Pembesaran limpa yang diakibatkan oleh sirosis hati ini
dapat disertai penebalan lokal pada kapsula. Adanya abses hati khussunya
yang terdapat pada vena porta juga memungkinkan obstruksi.

9. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Untuk mengetahui keadaan hemoglobin, leukosit dan faal hati.
b. Foto dad
Didapatkan peninggian kubah diafragma kanan, berkurangnya gerak
diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses paru.
c. Foto polos abdomen
Kelainan dapat berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara
bebas di atas hati.
d. Ultrasonografi
Mendeteksi kelainan traktus bilier dan diafragma.
e. Tomografi kompeter
Melihat kelainan di daerah posterior dan superior, tetapi tidak dapat melihat
integritas diafragma.
f. Pemeriksaan serologi
Menunjukan sensitifitas yang tinggi terhadap kuman

10. Penatalaksanaan Medis


a. Medikamentosa
Derivat nitromidazole dapat memberantas tropozoit
intestinal/ekstraintestinal atau kista, obat ini dapat diberikan secara oral atau
intravena. Secara singkat pengobatan amoebiasis hati sebagai berikut :
1) Metronidazole
2) Klorquin fospat
3) Dehydroemetine
b. Tindakan aspirasi terapeutik indikasi : Abses yang dikhawatirkan akan
pecah
1) Respon terhadap medikamentosa setelah 5 hari tidak ada
2) Abses dilobus kiri karena abses disini mudah pecah kerongga
pericardium atau peritoneum
3) Tindakan pembedahan
c. Pembedahan dilakukan bila :
1) Abses disertai komplikasi infeksi sekunder
2) Abses yang sudah jelas menonjol kedinding abdomen atau ruang
intercostal
3) Bila terjadi medikamentosa atau aspirasi tidak berhasil
4) Ruptur abses ke dalam rongga intra peritoneal/pleural/pericardial
Tindakan bias berupa drainase baik tertutup maupun terbuka, atau tindakan
reseksi misalnya lobektomi.

11. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat, menunjukkan adanya kelemahan, kelelahan, terlalu
lemah, latergi, penurunan massa otot/tonus.
b. Sirkulasi, menunjukkan adanya gagal jantung kronis, kanker, distritmia,
bunyi jantung ekstra, distensi vena abdomen.
c. Eliminasi, Diare, Keringat pada malam hari menunjukkan adanya flatus,
distensi abdomen, penurunan/tidak ada bising usus, feses warna tanah liat,
melena, urine gelap pekat.
d. Makanan/cairan, menunjukkan adanya anoreksia, tidak toleran terhadap
makanan/tidak dapat mencerna, mual/muntah, penurunan berat badan dan
peningkatan cairan, edema, kulit kering, turgor buruk, ikterik.
e. Neurosensori, menunjukkan adanya perubahan mental, halusinasi, koma,
bicara tidak jelas.
f. Nyeri/kenyamanan, menunjukkan adanya nyeri abdomen kuadran kanan
atas, pruritas, sepsi perilaku berhati-hati/distraksi, focus pada diri sendiri.
g. Pernapasan, menunjukkan adanya dispnea, takipnea, pernapasan dangkal,
bunyi napas tambahan, ekspansi paru terbatas, asites, hipoksia.
h. Keamanan, menunjukkan adanya pruritas, demam, ikterik, ekimosis,
patekis, angioma spider, eritema.
i. Seksualitas, menunjukkan adanya gangguan menstruasi, impotent, atrofi
testis.
j. Pengumpulan data :
1) Aktivitas
Gejala : Klien mengatakan mudah merasakan lelah,
Klien mengatakan kurang mampu melakukan aktivitas
seperti biasa
Tanda : Penurunan tonus otot
Malaise
2) Makanan dan Cairan
Gejala : Klien mengatakan tiada nafsu makan
Klien mengeluh merasa mual dan muntah
Tanda : Anoreksia
Berat badan menurun
Nampak mual dan muntah
3) Nyeri
Gejala : Klien mengatakan nyeri pada daerah perut kanan atas
Klien mengeluh nyeri pada bahu sebelah kanan
Tanda : Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas
Nyeri spontan perut kanan atas
Nampak membungkuk ke depan dan kedua tangan
Nampak memegang abdomen saat berjalan karena nyeri
Ekspresi wajah meringis
4) Keamanan
Gejala : Klien mengeluh merasakan deman
Tanda : Suhu tubuh meningkat
Leukosit meningkat

12. Diagnosa Keperawatan


a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan Neuromuskular,
ketidakseimbangan perceptual/kognitif.
b. Gangguan persepsi sensori: proses pikir berhubungan dengan perubahan
kimia: penggunaan obat-obat farmasi.
c. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, resiko tinggi terhadap
pembatasan pemasukan cairan secara oral (proses/prosedur medis/adanya
rasa mual).
d. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, dan
integritas otot.
e. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan interupsi mekanisme pada
kulit/jaringan.
f. Resiko infeksi berubungan dengan luka oprasi dan prosedur invasif.
g. Gangguan pola tidur berhubungan dengan proses penyakit, efek
hospitalisasi, perubahan lingkungan
h. Defisit pengetahuan tentang kondisi/situasi, prognosis, kebutuhan
pengobatan

13. Intervensi Keperawatan


a. Pola napas tidak efektif
Tujuan : pola pernapasan normal/ efektif dan bebas dari sianosis atau
tanda-tanda hipoksia.
Intervensi :
1) Pertahankan jalan udara pasien memiringkan kepala
2) Auskultasi suara napas.
3) Observasi frekuensi dan kedalaman pernapasan, pemakaian otot-otot
bantu pernapasan.
4) Pantau tanda-tanda vital secara terus-menerus.
5) Lakukan gerak sesegera mungkin
6) Observasi terjadinya yang berlebih
7) Lakukan penghisapan lendir bila perlu
8) Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan
9) Berikan terapi sesuai instruksi
b. Gangguan persepsi sensori:
Tujuan : meningkatnya tingkat kesadaran.
Intervensi :
1) Orientasikan kembali pasien secara terus-menerus setelah keluar dari
pengaruh anestasi
2) Bicara dengan pasien dengan suara yang jelas dan normal.
3) Minimalkan diskusi yang bersifat negatif.
4) Gunakan bantalan pada tepi lakukan pengikatan jika perlu.
5) Observasi akan adanya halusinasi, depresi dan lain-lain.
6) Pertahankan lingkungan tenang dan nyaman.
c. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,
Tujuan : terdapat keseimbangan cairan yang adekuat.
Intervensi :
1) Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran.
2) Kaji pengeluaran urinarius, terutama untuk tipe prosedur operasi yang
dilakukan.
3) Pantau tanda-tanda vital.
4) Catat munculnya mual/muntah, riwayat pasien mabuk perjalanan.
5) Periksa pembalut, alat drein pada interval regular, kaji luka untuk
terjadinya pembengkakan.
6) Berikan cairan parenteral, produksi darah dan/atau plasma ekspander
sesuai petunjuk. Tingkat kecepatan IV jika diperlukan
7) Berikan kembali pemasukan oral secara berangsur-angsur sesuai
petunjuk.
8) Berikan antiemetik sesuai kebutuhan
d. Nyeri akut
Tujuan : rasa nyeri/ sakit telah terkontrol/ dihilangkan,klian dapat
beristirahat dan beraktivitas sesuai kemampuan.
Intervensi :
1) Kaji skala nyeri, intensitas, dan frekuensinya.
2) Evaluasi rasa sakit secara regular.
3) Kaji tanda-tanda vital.
4) Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin sesuai prosedur operasi.
5) Letakkan reposisi sesuai petunjuk.
6) Dorong penggunaan teknik relaksasi.
7) Berikan obat sesuai petunjuk.
e. Gangguan integritas kulit
Tujuan : klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan metabolic.
Intervensi :
1) Kaji kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional
2) Letakkan klien pada posisi tertentu.
3) Pertahankan kesejahteraan tubuh secara fungsional.
4) Bantu atau tindakan untuk melakukan latihan rentang gerak.
5) Berikan perawatan kulit dengan cermat.
6) Pantau haluaran urine.
f. Resiko infeksi
Tujuan : tidak terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi.
Intervensi :
1) Berikan perawatan aseptik dan anti septik, pertahankan cuci tangan
yang baik.
2) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (luka jahitan) daerah
yang terpasan alat invasif.
3) Pantau seluruh tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil
dan diaphoresis
4) Awasi atau jumlah penggunjung
5) Observasi warna dan kejarnya uring
6) Berikan anti biotik sesuai indikasi.
g. Gangguan pola tidur
Tujuan : kebutuhan istirahat dapat terpenuhi.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan dan kebiasaan tidur klien
2) Berikan tempat tidur yang nyaman dengan beberapa barang milik
pribadinya contoh : Sarung, guling
3) Dorong aktifitas ringan
4) Intruksikan tindakan relaksasi
5) Dorong keluarga untuk selalu menemani.
6) Awasi dan batasi jumlah penggunjung
h. Defisit pengetahuan
Tujuan : menyatakan pemahaman proses penyakit/ prognosis.
Intervensi :
1) Tinjau ulang pembedahan/prosedur khusus yang dilakukan dan harapan
masa dating.
2) Diskusikan terapi obat-obatan, meliputi penggunaan resep.
3) Indentifkasi keterbatasan aktivitas khusus.
4) Jadwalkan priode istirahat adekuat.
5) Tekankan pentingnya kunjungan lanjut.
6) Libatkan orang terkenal dalam program pengajaran. Menyediakan
instruksi tertulis/materi pengajaran.
7) Ulangi pentingnya diita nutrisi dan pemasukan cairan adekuat.
Daftar Pustaka
Aru, W. Sudoyo, dkk. (2006). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1 Edisi
Empat. Jakarta : Balai Penerbitan FK-UI.
Bruner dan Suddarth. ( 2000 ). Buku Ajaran KMB. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Cameeron. (1995). Prinsip-prinsip Penyakit Dalam. Jakarta: Binarupa Aksara.
Doenges, E., Moorhouse, MF dan Geissler, A. (2000). Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta : EGC.
Harjono, dkk. (1996). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 26. Jakarta: Buku
kedokteran EGC.
Mansjoer, Arief. dkk. (2001). Kapita Selekta Kedokteran; Jilid 1, Edisi Ketiga.
Jakarta : Media Aesculapius. Halaman 512.
Microsoft Encantta Reference Library.( 2004 ). Liver, Amebiasis Abses and Calf
Diphteria/ Fusa bakteriun necrosphorum.
Sherwood. (2001). System Pencernaan, dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
sistem. Jakarta : EGC. Halaman 565.
Sylvia a. Price. (2006). Gangguan System Gastro Intestinal, dalam buku
Patofiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteranm EGC. Halaman 472-474.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI) Definisi Dan Indikator Diagnostik. Edisi 1 Persatua. Jakarta
Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI) Definisi Dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI) Definisi Dan Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP
PPNI.
Harrison ( 1995 ). Prinsip-prinsip Penyakit Dalam. Jakarta: Buku kedokteran
ECG.
J. c. e. Underwood ( 2000 ).Patologi Umum dan Sistematika. Edisi II. Jakarta:
Balai Penerbitan Buku Kedokteran ECG.
Noer Sjaifoellah ( 1996 ). Buku Ajaran Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Jakarta:
Balai Penerbitan FKUI.

Anda mungkin juga menyukai