Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistematika al-Qur`an merupakan salah satu sub bahasan dalan rana
Ulum al-Qur`an. Bila dilihat dari segi bahasa, kata sistematika berarti
urutan atau susunan, yang jika degabung dengan kata al-Qur`an, maka
sistematika al-Qur`an membahas tentang urutan atau susunan ayat-ayat
maupun surat-surat dalam al-Qur`an. Susunan surat-surat al-Qur`an yang
sampai kepada kita saat ini, meskipun mayoritas umat Islam meyakini bahwa
urutan atau susunan surat dalam mushaf utsmânî bersifat tauqîfî1, namun
masih terdapat pertanyaan apakah memang benar urutan dan susunan surat
dalam mushaf utsmânî benar-benar tauqîfî atau merupakan usaha para sahabat
pada masa kodifikasi al-Qur`an. Pertanyaan dan sanggahan-sanggahan
tersebut dilontarkan para pemerhati al-Qur`an dari golongan Islamolog Barat
dan sebagian kecil sarjana Muslim sendiri. Dan untuk menjawab pertanyaan,
sanggahan maupun tuduhan tersebut terhadap tata urutan atau susunan al-
Qur`an, para ulama dan ahli tafsir era modern kontemporer berusaha untuk
menjawab persoalan tersebut melalui ilmu munasabah al-Qur`an yang pada
perkembangannya menjadi sebuah teori dalam menafsirkan al-Qur`an yang
mengungkap sisi kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu
dalam al-Qur’an, baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan
uraian satu ayat ataupun surat dengan yang lainnya, dan rahasia urutan atau
susunan surat-surat al-Qur`an. Dalam mengungkap rahasia susunan surat
dalalm al-Qur`an yang sekilas terkesan kacau dan tidak sistematis,
terlebih dahulu perlu dibahas tentang pandangan-pandangan para
pemerhati dan pengkaji al-Qur`an baik dari kelompok sarjana Muslim
maupun sarjana orientalis, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan
bahwa ayat-ayat maupun surat-surat dalam al-Qur`an adalah merupakan
satu kesatuan yang padu, yaitu ilmu munasabah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistematika penulisan ayat al-quran menurut para ulama?
2. Hikmah apa saja yang bisa diambil dari sistematika penulisan ayat al-quran?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistematika Surah
1. Urutan Surah (Taufiqi dan Wadh’i)
Perdebatan tauqify atau ijtihadi dalam karakter pengurutan ayat dan surat
dalam al-Qurān sebagaimana yang sudah kami singgung pada pembahasan
lalu, memiliki akar yang sangat panjang. Tapi, di sini saya sedikit
mengulanginya, guna menyambung dari apa yang kami angkat dalam tema
ini.
Sebagian berasumsi bahwa Naskah al-Qurān yang sering kita lihat, kita baca
atau yang kita kenal dengan Mushaf Utsmani, tidak disusun berdasarkan
kronologi turunnya. Hal ini menimbulkan pembahasan tersendiri dalam
`ulum al-Qurān. Apakah susunan tersebut berdasarkan petunjuk Nabi
(tauqifi) atau hanya kreasi para penulis wahyu (ijtihadi)? Adapun tartib surat
dalam pandangan ulama terdapat ikhtilaf sehingga terbagi menjadi dua
sebagian mengatakan taufiqi dan sebagian yang lain ijtihadi.
Formasi dan tartib al-Qurān dalam pengakuan beberapa Ulama merupakan
keputusan Rasul berdasarkan petunjuk wahyu. Inilah yang diakui ‘ulama’
Salaf maupun Khalaf, bahwasanya la majala lirro’yi wal Ijtihadi fih.
Ketauqifayan tartib ayat ini terbukti kuat dengan adanya beberapa hadis
yang menunjukkan fadilah beberapa ayat dari surat tertentu, baik yang
diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, maupun Muslim. Di samping itu,
praktek Nabi dalam kesehariannya, membaca sejumlah surat secara tartibil
ayah dalam sholat, ditambah dengan pengulangan dan pemeriksaan Malaikat
Jibril sekali setiap tahun pada bulan Ramadhan, dan diakhir kehidupan
beliau sebanyak dua kali, serta sikap dan komentar para sahabat yang
menyikapi ayat Nasīkh Mansūkh, serta qiroaatnya Nabi di hadapan sahabat,
seperti yang dikatakn as-Suyuti “…menjadi bukti atas ketartiban ayat secara
taufiqi…”.
Perlu kita ketahui bahwa proses tartibul Quran merupakan as-Sam`iyyat
yang kita dapatkan dari pendahulu kita namun sifatnya, oleh para ulama
berbeda pendapat, seperti tauqify. Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan
oleh Imam Ahmad dan ketiga orang pemilik kitab as-Sunnah dari riwayat
Ibnu Abbas, dari Utsman bin Affan, dijelaskan bahwa apabila turun ayat

2
kepadanya, Nabi memanggil sebagian sekretarisnya dan bersabda;
“Letakkanlah ayat ini pada surat yang di dalamnya terdapat ini…” kelompok
lain mengatakan, itu adalah ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan
memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Sedangkan golongan
ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat al-Anfal
(8) dan Bara`ah (9) yang dipandang bersifat ijtihadi. Salah satu penyebab
perbedaan pendapat ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang
bervariasi dalam urutan suratnya. Ada yang menyusunnya berdasarkan
kronologis turunnya, seperti Mushaf Ali yang dimulai dengan ayat Iqra`.
Kemudian sisanya disusun berdasarkan tempat turunnya (Makki-Madani).
Adapun mushaf Ibnu Mas`ud dimulai dengan surat al-Baqarah(2), kemudian
al-Nisā`(4) lalu surat Ali `Imrān(3).
Bila Ulama Al-Qurān menyimpulkan bahwa, urutan ayat dalam sebuah surat
bersifat fauqifi(sudah ditentukan), maka mereka selanjutnya berselisih
pandangan mengenai urutan-urutan surat dalam mushaf - apakah ia bersifat
tauqifi juga atau ijtihadi. Sebagaimana diketahui bahwa susunannya dalam
mushaf Utsmani tidak mengikuti kronologi turunnya. Surat al-Alaq yang
pertama kali turun umpamanya, diletakkan pada urutan ke-96, sedangkan
urutan pertama ditempati oleh surat al-Fatihah. Dalam hal ini para ulama
terbagi lagi dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama, dimotori oleh Abu Ja`far bin an-Nuhas, al-Kirmani,
Ibnu al-Hashar dan Abu Bakar al-Anbari, mereka berpe-ndapat bahwa,
susunan surat al-Qurān ditetapkan atas perintah Nabi (tauqifi) - sebuah surat
tidak semata-mata diletakkan pada tempatnya, kecuali atas dasar perintah,
pengajaran dan isyarat Nabi. Alasan yang mereka ajukan adalah, 1), para
sahabat telah sepakat untuk menerima susunan mushaf al-Qurān yang ditulis
pada masa Utsman bin Affan_tidak ada seorang sahabatpun yang
menentangnya, bahkan para sahabat yang memiliki mushaf dengan susunan
yang berbeda pun menyepakatinya. Seandainya susunan surat tidak bersifat
tauqifi, masing-masing sahabat akan bersiteguh mempertahankan
mushafnya, menyesuaikan dengan susunan mushaf Utsmani yang dilakukan
oleh para sahabat yang memiliki mushaf, bahkan sejumlah mushaf dibakar.
Ini merupakan indikasi kuat bahwa susunan surat pada mushaf Utsmani
tidak masuk dalam lapangan ijtihad.

3
Ketauqifiannya tidak mesti diperlihatkan oleh nash sharih dari Nabi, tetapi
cukup pekerjaan dan isyarat. 2), surat-surat yang tergabung dalam kelompok
hawamim disusun secara berurut, sedangkan ayat-ayat yang masuk ke dalam
kelompok musabbihat tidak disusun secara berurut, tetapi terpisah. Letak
surat Tha-Sin-Mim as-Syu`ara, Tha-Sin-Mim al-Qashshash, Tha-Sin-Mim
An-Naml, terpisah, padahal surat Tha-Sin-Mim al-Qashshash lebih pendek
daripada surat Tha-Sin-Mim al-Naml. Seandainya susunan surat ditetapkan
berdasarkan ijtihad, surat-surat yang masuk ke dalam kelompok al-
Musabbihat diletakkan secara berurut dan surat Tha-Sin-Mim al-Naml
diletakkan lebih akhir daripada surat Tha-Sin-Mim al-Qashshash.
Kelompok kedua, bependapat bahwa susunan surat al-Qurān ditetapkan atas
dasar ijtihad para sahabat. Imam as-Suyuthi menyebutkan bahwa, pendapat
ini dianut oleh mayoritas ulama. Diantara ulama yang masuk dalam
kelompok ini adalah Imam Malik dan Abu Bakar Ath-Thayyib, mereka
berargumentasi dengan kenyataan berbeda-bedanya susunan mushaf para
sahabat pada masa Utsman bin Affan sebelum pengkodifikasian al-Qurān.
Seandainya susunan surat al-Qurān bersifat tauqifi - kata mereka, tentu para
sahabat tidak berbeda-beda dalam menyusun surat pada mushafnya, namun
ken-yataannya mereka berbeda. Sebagaian mereka ada yang menyusunnya
berdasarkan kronologi turun, seperti mushaf Ali r.a(Mushaf ini diawali
dengan surat iqra`, lalu al-Mudaṡṡir, Nūn, al-Muzzamil, al-Taubah, al-
Kauṡar, Sabbaḥa, begitu terus sampai akhir surat makkiyyah, lalu disusul
oleh surat-surat madaniyah). Adapun mushaf Ibnu Mas`ud diawali oleh surat
al-Baqarah, al-Nisā’, Ali Imrān, al-`Arāf, al-An`ām, al-Mā’idah, Yūnus dan
seterusnya, sementara mushaf Ubai bin Ka`ab diawali oleh surat al-Ḥamd,
al-Baqarah, Al-Nisā’, Ali Imrān, al-An`ām, al-A`rāf, al-Mā’idah dan
seterusnya.
Hemat penulis, pendapat diatas dapat dibantah sebagai berikut, perbedaan
yang terjadi di kalangan para sahabat dalam menyusun surat dalam
mushafnya tidak dapat dijadikan argumentasi bahwa sususnan surat tidak
bersifat tauqifi. Alasannya, mushaf mereka tidak dipersiapkan sebagai
pegangan umum, tetapi sebagai mushaf pribadi yang di dalamnya disertakan
pula problem-problem keimanan, ta’wil dan sebagian besar asar. Ia lebih
pantas dinamai kitab ilmu dan ta’wil daripada mushaf. Atas dasar kitab-kitab
itu tidak dijadikan standar rujukan ketika Utsman melakukan kodifikasi al-

4
Qurān. Atau, boleh jadi perbedaan itu terjadi sebelum mereka tahu bahwa
susunan surat bersifat tauqifi, setelah tahu, mereka mengubahnya sesuai
dengan susunan yang terdapat pada mushaf Ustmani.
Kelompok ketiga, berpendapat bahwa sebagian besar susunan surat al-Qurān
besifat tauqifi dan ijtihadi. Di antara ulama yang masuk ke dalam kelompok
ini adalah al-Qadhi Abu Muhammad bin Athiyyah, ia berkata, “Banyak atsar
menyebutkan bahwa as-sab`a ath-thiwal (tujuh surat yang panjang),
hawamim (surat-surat yang dimulai dengan Ha Mim), dan al-Mufashshal
(surat-surat yang pendek) sudah disusun sejak zaman Nabi, lalu susunannya
ditetapkan pada waktu al-Qurān dikodifikasikan.”
Demikian pula halnya ulama Kontemporer, cenderung menjadikan urutan
surat dalam mushhaf sebagai tauqifi karena pemahaman seperti itu sejalan
dengan konsep tentang eksistensi teks azali yang ada di “Lauḥ al-Maḥfūẓ”
Begitu juga dengan urutan ayat, sebagian besar menetapkan bahwa prosesi
pengurutan itu, berdasarkan tauqifiyah. Sedangkan mengenai penetapan
nama-nama surat, sebagian menetapkan sebagai proses tauqifiyah dan
sebagian yang lain ijtihadiyah, tapi pendapat pertama lebih banyak dianut
mayoritas ulama.
Mengenai penamaan nama surat, imam as-Suyuthi berkata begini, “Semua
nama surat ditetapkan atas dasar hadis dan atsar.” Sementara az-Zarkasyi
sedikit mendiskusikannya dengan mengatakan, “seyogyanya kita
memperbincangkan nama-nama surat dalam al-Qurān, apakah bersifat
tauqifi atau ditetapkan dengan melihat keserasian dengan isinya (yang
karena bersifat ijtihadiyah)? Kalau jawabannya ijtihadi, tentu setiap surat
akan memiliki banyak nama seiring dengan banyaknya kandungan makna
yang dimuatnya. Oleh karena itu, yang perlu kita kaji adalah alasan
pemberian nama surat dengan nama-nama tertentu. Tapi ini agaknya belum
memuaskan sebab, banyak kita dapati satu surat memiliki lebih dari satu
nama, semisal al-Fatihah - kadang disebut Umm al-Kitāb, al-Sab` al-Maṡāni,
al-Ḥamd, al-Wāqiyah, asy-Syāfi-yah, atapun surat Aṣ-Ṣāf disebut juga
dengan al-Ḥawariyyin dan surat-surat lainnya.
Sedikit menyinggung persoalan penamaan surat, umumnya suatu surat
didasari pada hal-hal tertentu semisal karakter, yang bersifat khusus, yang
aneh dinilai asing atau dengan sesuatu yang paling representatif dan banyak
disinggung di dalamnya, atau bahkan dengan sesuatu yang dapat cepat

5
diingat oleh orang yang melihat. Sebagai contoh, surat al-Baqarah yang
berarti sapi, ditetapkan sebagai sebuah nama dengan pertimbangan adanya
muatan kisah sapi dan hikmah yang mengagumkan di balik kisah itu. Begitu
pula surat al-Nisā’ yang berarti wanita, bahwa di dalamnya diulang-ulang
sesuatu yang berkaitan dengan wanita itu sendiri. Penamaan surat al-An`ām
yang berarti binatang ternak, bahwa di dalamnya banyak persinggungan
karakter binatang ternak. Penamaan surat al-Mā’idah yang berarti hidangan,
bahwa kata itu hanya terdapat pada surat ini.
Dari beberapa pendapat diatas, kita dapat memahami bahwa setiap kali ayat
turun, Nabi SAW selalu memerintahkan sahabat menulisnya sambil memberi
tahu penempatan dan peletakan antara ayat, surat satu dengan yang lainnya.
Lahirnya berbagai kritik serta pertanyaan tentang urutan ayat dan surah, kita
bisa mengambil hikmah bahwa, dengannya telah menggugah para ulama
untuk melahirkan karya-karya guna menjawab kritikan dan pertanyaan
tersebut. Seperti al-Khaththabi (319-388) misalnya dalam bukunya Bayān al-
I`jāz al-Qurān, bahwa tujuan digabungkannya berbagai persoalan dalam satu
surat, agar setiap pembaca dapat memperoleh sekian banyak petunjuk dalam
waktu yang sing-kat tanpa membaca seluruh ayat-ayat al-Qurān.
Sebagiannya lagi mengatakan bahwa, keanekaragaman persoalan yang
dibahas dalam satu surah, sesuai dengan fitrah manusia agar tidak timbul
kejenuhan dalam hatinya. Karya yang lain adalah Naẓm al-Durar fī Tanāsub
al-Āyah wa al-Suwar, ditulis oleh Ibrahim Ibn `Umar al-Biqa`i. Konon,
penyusunan kitab ini membutuhkan waktu selama 14 tahun penuh. Ada lagi
imam Jalaluddin as-Sayuthi dalam karyanya Asrar Tartīb al-Qurān dan al-
Itqān.
Kita bisa mengatakan bahwa, selama 14 abad ini, khazanah intelektual Islam
telah diperkaya dengan berbagai macam perspektif dan pendekatan dalam
menafsirkan al-Qurān, seperti kecenderungan parsialisme, filologis-
gramatikal, dll. Pendekatan semacam ini, tentu menghasilkan pemahaman
yang sepotong-sepotong, bahkan sering terjadi penafsiran yang semena-
mena, menanggalkan ayat dari konteks dan kesejarahan guna membela sudut
pandang tertentu.
Maka dengan adanya tartib al-Qurān, seseorang tidak lagi terjebak pada
parsialisme, melainkan akan melihat sebuah keterkaian yang menyatu,

6
harmonis dan terstruktur secara rapi, antara satu dengan yang lainnya.
Demikian pula saat menemukan kandungan-kandungan serta hukum-hukum.
2. Jumlah Surah
Secara Epistemologis Surat memiliki beberapa makna, antara tempat
pemberhentian, kemuliaan, bangunan yang tinggi, dan indah, tanda serta
tulang bangunan tembok. Secara Terminologi Surat adalah sekumpulan ayat-
ayat Al-Qur’an yang berdiri sendiri dan memiliki pembuka dan penutup.
Sedangkan menurut ulama lain, surat yang jama’nya suwar, maknanya
kedudukan, atau tempat yang tinggi, karena Al Qur-an diturunkan dari
tempat yang tinggi , dinamisilah surat-suratnya dengan surat. Dalam
pengertian lain, Surat merupakan bagian-bagian tubuh Al-Qur’an yang
sebenarnya. Kata Sura (jamak: suwar) juga muncul dalam teks Al-Qur’an
tetapi asal-usul kata ini sangat meragukan. Pandangan yang paling umum
diterima adalah bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Ibrani, shurah,
“suatu deretan” bekas-bekas batubara di dinding dan bekas pepohan anggur
Mengenai bilangan surat, jumhur ‘ulama terkecuali golongan Syi’ah –
menetapkan sebanyak seratus empat belas surat (144) dan jumlah ayat enam
ribu enam ratus enam puluh enam (6666) ayat. Sedangkan golongan Syi’ah
menetapkan seratus enam belas (116) dengan memasukan dua surat qunut
yang dinamai Al Khal dan Al Hafd. Kalimatnya menurut hitungan para ahli
74437 ( tujuh puluh empat ribu empat ratus tiga puluh tujuh), sedangkan
hurufnya 325345 ( tiga ratus dua puluh lima ribu tiga ratus empat puluh
lima). Menurut pentahkikan Abu Bakar Al Baqillany dalam kitab I’jabul
Qur’an, do’a qunut itu bukan lafadh yang diterima dari Allah, hanya lafadh
Nabi sendiri. Walaupun diakui Nabi mempunyai susunan bahasa yang indah,
menarik, fasih, dan baligh, namun tidak dapat menyamai uslub Al-Qur’an
ciptaan ‘alam ghaib, dari Allah yang Maha Kuasa.7
3. Hikmah Pembagian Surah
Menurut Abdurrahman Al-Rumi pembagian al-quran memiliki hikmah dan
faedah di antaranya:
a. Mempermudah dan membuat rindu untuk mempelajari al-quran serta
mengingatnya. Seandainya al-quran akan terasa berat dan sulit untuk
mempelajarinya.
b. Ada penunjukan terhadap tema pembahasan surat dan tujuan-tujuannya,
mengingat setiap surat terdapat judul yang khusus dan tujuan-tujuan

7
tertentu, karenanya surat Yusuf memuat biografi beliau. Demikian juga
surat Maryam dan surat at-Taubah, memperbincangkan orang munafik,
menguak rahasia-rahasia mereka dan seterusnya.
c. Sebagai perhatian bahwa surat yang panjang maupun yang pendek tatap
sebagai ,al-Kautsar terdiri dari tiga ayat dan ia adalah mukjizat sebagai
mana surat al-Baqarah.
d. Bertahap dalam mengajar anak-anak, dari surat-surat yang pendek
sampai surat yang panjang, sebagai kemudahan dari Allah.
e. Jika seorang pembaca mengkhatamkan satu surat atau satu juz, ia akan
merasa lebih senang dan lebih bersemangat untuk memperoleh hasil
lagi, dan akan memotivasinya untuk meneruskan membaca al-quran
Sedangkan menurut Al-Zarqani, pembagian surat dalam al-quran
mengandung beberapa hikmah di antaranya:
a. Memberikan kemudahan kepada manusia, serta dapat merangsang
mereka untuk mengkaji dan mempelajari al-quran. Jika al-quran
merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan, maka akan sulit
dalam menghafal dan memahaminya.
b. Mengisyaratkan tema pembicaraan secara jelas.
c. Mengisyaratkan bahwa kemukjizatan al-quran panjangnya suatu surat. d.
Memberikan semangat pembaca untuk melanjutkan pada pembahasan
selanjutnya dari satu surat ke surat yang lain
d. Supaya penghafal al-quran
e. Menguraikan secara rinci setiap permasalahan dengan keruntutannya.
f. Dengan mengutip al-Kasyaf (kemuliaan) ia mengatakan bahwa
kemuliaan dan kewibawaan terlihat ketika keseluruhan al-quran
golongan surat.
Menurut Nash Hamid Abu Zaid, pengkajian urutan surat yang terkait dengan
tema kesesuaian antara surat dan ayat adalah untuk pencarian hikmah dibalik
pembuatan ayat yang sesuai dengan ayat yang lain. Begitu pula pembuatan
surat 25 Nasaruddin Umar, Ulumul al-quran Makna Tersembunyi al-quran
bersamaan dengan surat lain dari sisi kandungan. Nasr Hamid mencontohkan
dengan surat al-Fatihah yang menduduki tempat khusus karena ia
merepresentasikan pengantar dasar teks sebagai pembuka atau Induk kitab.
Sebagai surat yang pertama gerakan awalnya adalah membuat simfoni
kesesuaian dalam membentuk fungsi surat al-Fatihah sebagai surat pembuka,

8
pengantar dan sebagai induk kitab yang mengandung bagian penting dari
pokok-pokok pembahasan al-quran peringatan, hukum-hukum.27
Kesinambungan antara ayat dalam suatu surat menurutnya adalah hubungan
stilistika kebahasaan yang secara khusus, sementara untuk hubungan umum
terkait dengan isi kandungannya. Lebih lanjut elaborasi Nasr Hamid dalam
melihat pembagian surat yang secara beruntun juga menjelaskan antara
kaitan surat sebelumnya dan surat selanjutnya, yang juga bisa disebut
sebagai hubungan antara dalil. Lebih dalam lagi keterhubungan antara
pembagian urutan surat dalam mushaf menurut Nasr Hamid adalah
hubungan surat yang mendahulukan penjelasan yang universal yang
dijelaskan kemudian dalam surat-surat berikutnya mengenai hukumhukum
secara khusus, seperti surat An-Nisa dan Al-Maidah yang menjelaskan
legislasi yang berkaitan dengan hubungan sosial dan ekonomi.
B. Sistematika Ayat
Sistematika Ayat-ayat al-Qur’an Pada masa Rasulullah saw, beliau mempunyai
beberapa orang pencatat wahyu. Di antaranya, empat orang sahabat yang
kemudian menjadi Khulafa’ al-Rasyidun yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan
‘Ali. Sahabat lainnya sebagai pencatat wahyu adalah Muawiyah, Zaid bin Tsabit,
Khalid bin al-Walid, Ubay bin Ka’ab dan Tsabit bin Qais (Shubhi al-Shalih,
1985: 13). Rasulullah saw. memerintahkan kepada mereka agar mencatat setiap
wahyu yang turun, sehingga dengan demikian ayat-ayat yang sudah mereka
hafalkan dapat tertulis pada tempat-tempat yang memungkinkan mereka tulis.
Al-Sayuthi dalam kitab al-Itqan mengemukakan bahwa terdapat banyak ijma’
dan nash yang menetapkan bahwa tertib ayat itu bersifat tauqifi (Al-Sayuthi,
1951: 61), yakni berdasarkan atas petunjuk Rasulullah saw. Demikian pula
Manna’ al-Qaththan dalam kitabnya Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an menegaskan
bahwa susunan ayat-ayat al-Qur’an merupakan tauqifi dari Rasulullah saw. Hal
ini menurutnya tidak ada lagi pertentangan di kalangan kaum muslimin (Manna’
al-Qaththan, t.th.: 89). Dapat dipahami bahwa siapapun tidak berhak mencampuri
urusan penyusunan ayat-ayat al-Qur’an yang telah ditetapkan Malaikat Jibril
kepada Rasulullah saw.
1. Jumlah Ayat
Jumlah keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an, para ulama sepakat pada angka
6200. Namun, masih banyak perbedaan dalam angka puluhan dan ratusan,
yaitu sebagai berikut:

9
a. Menurut hitungan ulama Madinah Yang pertama jumlahnya 6217 ayat.
b. Menurut hitungan ulama Madinah yang kedua jumlahnya 6214 ayat dan
ada juga yang menyatakan 6210 ayat
c. Menurut hitungan ulama Makkah jumlahnya 62199 ayat, ada pula yang
berpendapat jumlahnya 6220 ayat dan ada pula yang berpendapat 6205.
d. Menurut uama Syam jumlahnya 6226.10
Al-Qur’an dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Kementrian Agama,
dicetak di Madinah, pada bagian penjelasan tentang mushaf itu, disebutkan
bahwa jumlah ayat Mushaf ini mengikuti metode ulama Kufafh dari Abi
‘Abdirrahman ‘Abdillah ibn Habib as-Sulami dari ‘Ali ibn Thalib,
bahwasannya jumlah ayatnya 6236
Sebab adanya perbedaan jumlah ayat dalam al-Qur’an adalah bahwa Nabi
SAW membaca waqaf ujung-ujung ayat untuk memberikan pengertian
kepada para sahabat, bbahwa ini adalah ujung ayat, setelah mereka tahu
bahwa itu ujung ayat. Kemudian nabi menyambungnya kembali dengan ayat
sesudahnya untuk menyempurnakan maknanya, maka sebagian mengira
bahwa nabi berhenti tadi bukanlah ujung ayat, sehingga tidak dihitung
sebagai satu ayat sendiri. Sementara yang lain menghitungnya sebagai satu
ayat sehingga tidak menyambungnya lagi dengan ayat sesudahnya.
Namun, perbedaan menghitung jumlah ayat ini sama sekali tidak
berpengaruh sedikitpun terhadap eksistensi keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an
karena secara de facto tidak ada yang bertambah atau berkurang, jumlah
ayat-ayat al-Qur’an tetap sama. Yang berbeda hanyalah hitungannya saja,
bukan keberadaanya.
2. Urutan-urutan Ayat dalam Alquran
Ijma ulama menetapkan bahwa urutan ayat sebagaimana yang kita ketahui
sekarang di dalam mushaf-mushaf adalah berdasarkan “tauqif” nabi SAW
dari Allah SWT. Ra’yu dan ijtihadi tidak memiliki kesempatan di dalamnya.
Malaikat Jibril membawa ayat-ayat itu kepada Rasulullah dan memberikan
bimbingan letak ayat itu dalam suratnya. Kemudian nabi membacakannya
kepada para sahabatdan memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk
menuliskannya dengan menjelaskan surat yang menjadi induk ayat itu,
sekaligus tempatnya. Nabi membacakan membacakannya kepada mereka
berkali-kali, baik dalam sholat, pemberian nasihat, maupun sewaktu

10
memberikan keputusan. Semuanya menurut urutan sebagaimana yang kita
kenal sekarang. Demikian pula setiap orang yang hafal al-Qur’an atau hafal
sebagiannya mesti menggunakan urutan seperti yang kita kenal sekarang.
Urutan itu telah tersebar luas, dikaji diantara mereka, dibaca dalam shalat
mereka, sebagian dari sebagian yang lain, dan didengar oleh
sebagian dari sebagian yang lain dengan urutan seperti yang kita kenal
sekarang. Tak seorang sahabat, bahkan khalifah sekali pun memiliki andil
dalam pengurutan ayat-ayat alQur’an. Bahkan penghimpunan yang terjadi
pada masa Abu Bakar tidak lebih dari pemindahan alQur’an dari pelepah-
pelepahh kurma, lempengan-lempengan batu dan tulang –belulang ke dalam
shahifah-shahifah. Serta
penghimpunan al-Qur’an pada masa utsman juga tidak lebih dari sekedar
penyalinan al-Qur’an dari shahifah-shahifah ke dalam mushaf-mushaf.
3. Cara Mengetahui Awal dan Akhir Ayat
Cara mengetahui ayat hanyalah dengan “tauqif” dari Syar’I, karena qiyas
dan Ra’yu tidak memiliki ruang di dalamnya. Ia semata-mata merupakan
pengajaran dan bimbingan. Dalilnya adalah bahwa ulama menghitung “

‫ ”مصال‬sebagai satu ayat, dan tidak menghitung padanannya, yakni “‫”رمال‬


sebagai satu ayat. Mereka menghitung“‫ ”قسعمح‬sebagai dua ayat, dan
tidak menghitung padanannya, yakni “‫ ”صعهيك‬sebagai dua ayat, tetapi

dihitung satu ayat. Seandainya dasarnya adalah qiyas, tentu dua hal yang
sepadan akan dianggap sama, tidak dibedakan seperti itu.

Sebagian ulama berpendapat bahwa pengetahuan tentang ayat, ada yang


sama’I, tauqify, dan ada juga yang qiyasiy. Pangkalnya adalah pada fashilah,
yakni kata terakhir suatu ayat, yang padanannya adalah sajak dalam prosa
dan Qafiyan dalam syair. Apa yang menurut riwayat selalu dibaca waqaf
oleh nabi, maka kita nyatakan sebagai fashilah. Dan apa yang selalu nabi
washal-kan, kita nyatakan sebagai bukan fashilah. Serta apa yang kadang-
kadang nabi waqafkan dan kadang-kadang nabi washal-kan, maka ada dua
kemungkinan. Pertama, waqaf itu kemungkinan untuk menunjukkan
fashilah, waqaf Tamm atau istirahat.

11
Kedua, kemungkinan washal itu bukan fashilah, atau fashilah yang
diwashalkan karena sebelumnya telah diperkenalkan. Dalam hal inilah qiyas
memiliki peran, karena tidak mendatangkan penambahan ataupun
pengurangan dalam al-Qur’an. Puncaknya adalah fashl dan washl.
4. Ayat-ayat Pertama dan Terakhir Turun
Ijma ulama menetapkan bahwa urutan ayat sebagaimana yang kita ketahui
sekarang di dalam mushaf-mushaf adalah berdasarkan “tauqif” nabi SAW
dari Allah SWT. Ra’yu dan ijtihadi tidak memiliki kesempatan di dalamnya.
Malaikat Jibril membawa ayat-ayat itu kepada Rasulullah dan memberikan
bimbingan letak ayat itu dalam suratnya. Kemudian nabi membacakannya
kepada para sahabatdan memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk
menuliskannya dengan
menjelaskan surat yang menjadi induk ayat itu, sekaligus tempatnya. Nabi
membacakan membacakannya kepada mereka berkali-kali, baik dalam
sholat, pemberian nasihat, maupun sewaktu memberikan keputusan.
Semuanya menurut urutan sebagaimana yang kita kenal sekarang. Demikian
pula setiap orang yang hafal al-Qur’an atau hafal sebagiannya mesti
menggunakan urutan seperti yang kita kenal sekarang. Urutan itu telah
tersebar luas, dikaji diantara mereka, dibaca dalam shalat mereka, sebagian
dari sebagian yang lain, dan didengar oleh sebagian dari sebagian yang lain
dengan urutan seperti yang kita kenal sekarang. Tak seorang sahabat, bahkan
khalifah sekali pun memiliki andil dalam pengurutan ayat-ayat alQur’an.
Bahkan penghimpunan yang terjadi pada masa Abu Bakar tidak lebih dari
pemindahan alQur’an dari pelepah-pelepahh kurma, lempengan-lempengan
batu dan tulang –belulang ke dalam shahifah-shahifah. Serta penghimpunan
al-Qur’an pada masa utsman juga tidak lebih dari sekedar penyalinan al-
Qur’an dari shahifah-shahifah ke dalam mushaf-mushaf.

12
BAB III
PENUTUP
Ayat adalah suatu kelompok kata yang mempunyai awal dan akhir yang
masuk dalam suatu surat al-Qur’an. Jumlah keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an, adalah
6200. Namun, masih banyak perbedaan dalam angka puluhan dan ratusan. Ada yang
berpendapat 6217, ada yang 6214, 6210. Pengurutan ayat-ayat dalam al-Qur’an
adalah bersifat tauqifi.
Surat menurut terminologis adalah sekelompok ayat yang mandiri yang
memiliki awal dan akhir. jumlah surat-surat al-Qur’an keseluruhannya adalah 114
surat, dimulai dengan surat al-Fatihah diakhiri dengan surat an-Nash. Surat-surat
dalam al-Qur’an ada yang panjang, pendek dan ada pula yang sedang. Pengurutan
surat dalam al-Qur’an. Ada tiga qaul yaitu bersifat tauqifi, taufiqi atau ijtihadi, serta
tauqifi dan ijtihadi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Arabiyah-al, Mujamma’ al-Lughah, al-Mu’jam al-wasith (Istanbul:Maktabah


al-Islamiyah, 1392)

Dani-ad, ‘Utsman ibn Sa’id ibn Utsman ibn Umar Abu, al-Bayan fi ‘add yi al-
Qur’an, tahqiq Ghanim Qaruri al-Hamd (kuwaid: Markaz al-Mkhthuthat wa
at-Turats, t.t).

Ilyaz, Yunahar Ilyaz, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing,


2013).

Mishri-al, Muhammad Ibrahim, 1000 Tanya Jawab Tentang Islam (Depok:


Gema Insani, 1995).

Zarkasyi-az, Al-Imam Badr ad-Din Muhammad ibn Abdillah, al-Burhan fi


‘Ulum al-Qur’an (Riyadh: Dar ‘Alim al-Kutub, 2003)

Zarqani-az, Muhammad ‘abd al-Azhim, manabahil ‘irfan fi Ulum al-Qur’an,


(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010),

14

Anda mungkin juga menyukai