Anda di halaman 1dari 19

AL-QARDH

MAKALAH
Dosen pengampu: Dr. H. Mahfud, M.M.
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih muamalat kontemporer

Oleh:

Annisa Aprilia 191130227


Fanny Munsyiatul Ilmiah 191130232

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SAYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “AL-QARDH”.
Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pengajar mata
kuliah Fiqih muamalat kontemporer atas bimbingan dan arahan dalam penulisan
makalah ini. Dan juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan
masukan dan pandangan, sehingga dapat terselesaikannya makalah ini.

Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan mengenai


materi al-qardh. Sehingga kita saat berkomunikasi, kita dapat meminimalisir
kesalahpahaman yang akan terjadi yang dikarenakan bahasa yang kita gunakan.
Dan penulis berharap bagi pembaca untuk dapat memberikan pandangan dan
wawasan agar makalah ini menjadi lebih baik.

Serang, 18 April 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i

DAFTAR ISI......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................................ 4

C. Tujuan Masalah.................................................................................... 4

BAB II PEBAHASAN...................................................................................... 5

A. Pengertian dan Konsep Al-Qardh....................................................... 5

B. Dasar Hukum Al-Qardh....................................................................... 8

C. Syarat dan Rukun Al-Qardh................................................................ 9

D. Al-Qardh dan Aplikasinya.................................................................. 11

E. Jenis-jenis Al-Qardh........................................................................... 12

BAB III PENUTUP........................................................................................ 14

A. Kesimpulan......................................................................................... 14

B. Saran.................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mengakui adanya perbedaan pendapatan dan kekayaan pada
setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena
setiap orang mempunyai perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha dan
resiko. Namun perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang
terlalu jauh antara yang kaya dengan yang miskin karena kesenjangan
yang terlalu dalam tidak sesuai dengan syariah Islam yang menekankan
bahwa sumber-sumber daya bukan saja karunia dari Allah bagi semua
manusia, melainkan juga merupakan suatu amanah.1

Didalam Islam mengakui bahwa setiap orang memiliki sudut


pandang yang beragam, asalkan perbedaan ini disebabkan oleh
keterampilan inisiatif, kemampuan fisikli, usaha dan resiko. Namun,
perbedaan ini tidak dapat digunakan untuk menutup kesenjangan yang
berlebihan antara si kaya dan si miskin. Distribusi sumber daya yang adil
tidak hanya akan menjadi hadiah dari Tuhan untuk seluruh umat manusia,
tetapi juga sebuah kebutuhan. Akibatnya, manusia berkewajiban untuk
mengelolanya secara adil, dan tidak ada alasan untuk mengalokasikan
sumber daya kepada segelintir individu dan golongan saja. Kurangnya
program-program efektif yang dapat meminimalisir kesenjangan ekonomi
yang terjadi selama ini dapat berimplikasi pada kehancuran atau chaos
yang sangat bertolak belakang dengan syari’at Islam.2 Syari’at Islam
sangat menekankan adanya distribusi pendapatan yang merata dengan
tetap melihat kemungkinan potensi yang dimiliki sebagaimana yang
tercantum dalam surah Al-Hasyr ayat 7, yaitu:

1
Ismail Hannanong, “Al-Qardh Al-Hasan: Soft and Benevolent Loan Pada Bank Islam”
DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 16, No. 2 (Desember 2018) Sekolah Tinggi Agama
Islam Al-Gazali Barru, h. 171.
2
Nur Afni Hairudin, dkk, “Penerapan Aplikasi Qawaidul Fiqhiyyah Pada Al-Qardh Di
Lembaga Keuangan Syari’ah Kontemporer” QISTHOSIA: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 3, No.
1 (Juni 2022) UIN, UNISA Palu, h. 63-64.

1
2

...ۚ‫َك ْي اَل يَ ُكو َن ُدولَةًۢ َبنْي َ َأْل ْغنِيَ ِاء ِمْن ُك ْم‬

““…kekayaan itu tidak beredar di kalangan orang-orang kaya di


antara kamu saja.”

Harta adalah komponen pokok dalam kehidupan manusia, dimana


harta merupakan unsur ad-dharuri yang memang tidak dapat ditinggalkan
begitu saja. Dengan harta manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya,
baik kebutuhan primer maupun sekunder dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam matarantai interaksi sosial dan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, maka terjadilah hubungan horizontal antar manusia, yaitu yang
berkaitan dengan Muamalah Maliyah, karena pada dasarnya manusia tidak
ada yang sempurna, dan saling membutuhkan, karena menusia juga
memiliki hasrat untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, yang tidak ada
habisnya, kecuali dengan rasa syukur dan ikhlas kepada Allah SWT.,
secara kontekstual hal ini pula perlu mengenalkan adanya Allah swt. yang
memberi nikmat dan rezeki kepada manusia sehingga dapat merasakan
kebahagiaan dalam dirinya.3

Sebagai mahluk sosial, manusia tidak pernah terlepas dari orang


lain, oleh karena itu manusia harus saling tolong-menolong dan
bekerjasama antar sesama di lingkungan tempat mereka berada, karena
pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah menjadi dua bentuk, yaitu
sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Manusia pada dasarnya harus
memenuhi kebutuhannya sehingga harus berhubungan dengan orang lain.4

Di dalam kerja sama baik dalam perdagangan usaha dan lain-lain,


Islam memberikan dorongan dan pengarahan agar kerjasama itu berjalan
pada jalan yang lurus menurut agama Islam dan diridhoi oleh Allah SWT,

3
Julfan Saputra, dkk, “Konsep Al-Ariyah, Al-Qardh, dan Al-Hibah” AL-SHARF: Jurnal
Ekonomi Islam, Vol. 2, No. 1 (2021) UIN Sumatera Utara, h. 20.
4
Rukyal Aini, “Penerapan Konsep Al-Qardh Pada Kelompok Banjar Daging Di
Kabupaten Lombok Tengah” MU’AMALAT: Jurnal Ekonomi Syariah, Vol. 9, No. 2 (Desember
2017) h. 103.
3

Maka dilarang antara pihak yang bekerjasama untuk saling menghianati,


karena banyak orang-orang yang melakukan kerjasama menghianati
rekannya. Aturan tentang dibolehkannya kerjasama sangat jelas, Maka
tidak mengherankan bila di masyarakat banyak ditemukan berbagai
macam bentuk kerjasama seperti memberikan pinjaman, utang piutang dan
sistim pengumpulan uang atau barang oleh kelompok tertentu yang tidak
jauh beda dengan sistem arisan.

Namun dalam pelaksanaannya baik dalam hal pinjam meminjam


atau utang piutang (al-qardh) masih banyak orang-orang yang melakukan
kegiatan tersebut tidak dilandaskan pada konsep syariat Islam, dimana
para pemberi pinjaman atau utang menyulitkan pihak yang meminjam atau
yang menghutang dengan memberikan syarat yang dikembalikan harus
lebih dari yang dipinjam atau dihutang bahkan ada juga yang
mensyaratkan harus dikembalikan dua kali lipat dari yang diutang.5

Dalam kehidupan sehari-hari, al-qardh sering kali diterapkan


sebagai sarana untuk membantu sesama yang membutuhkan. Namun,
masih banyak masyarakat yang kurang memahami mengenai pengertian,
hukum, jenis-jenis, syarat-syarat, serta manfaat dan kekurangan dari al-
qardh dalam perspektif hukum Islam. Sehingga, terkadang masyarakat
melakukan transaksi al-qardh tanpa memahami secara benar syarat-syarat
dan hukum yang berlaku, sehingga berdampak pada terjadinya masalah
dan konflik di kemudian hari yang terkadang menyebabkan mereka
enggan memberikan pinjaman uang atau barang kepada orang lain, atau
mengalami kesulitan dalam mengembalikan pinjaman yang telah
diberikan. Oleh karena itu, penting untuk memahami secara mendalam
mengenai al-qardh, baik dari segi hukum maupun manfaat dan
kekurangannya, sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat
dalam bertransaksi dan berhubungan sosial dengan sesama muslim.

5
Rukyal Aini, “Penerapan Konsep Al-Qardh… h. 104.
4

Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai al-qardh secara


komprehensif, sehingga diharapkan dapat memberikan pemahaman yang
lebih baik mengenai transaksi ini, dan membantu masyarakat dalam
bertransaksi dan berhubungan sosial dengan sesama muslim secara lebih
bijak dan bertanggung jawab.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan konsep al-qardh?
2. Apa dasar hukum al-qardh?
3. Apa saja syarat dan rukun al-qardh?
4. Bagaimana aplikasi al-qardh?
5. Apa saja jenis-jenis al-qardh?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian dan konsep al-qardh.
2. Untuk mengetahui dasar hukum al-qardh.
3. Untuk mengetahui syarat dan rukun al-qardh.
4. Untuk mengetahui aplikasi al-qardh.
5. Untuk mengetahui jenis-jenis al-qardh?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Konsep al-Qardh

Qardh berasal dari kata qaradha yang artinya memotong. diartikan


memotong karena orang yang memberikan utang memotong sebagian dari
hartanya untuk di berikan kepada orang yang menerima utang
(Muqtaridh).6

Adapun qardh secara terminologi adalah memberikan pinjaman


harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan
gantinya di kemudian hari.7

Definisi Qardh memiliki sinonim makna dengan perjanjian pinjam


meminjam yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1754
yang berbunyi:8

“Pinjam-meminjam ialah suatu perjanjian yang mana pihak yang


satu memberikan kepada pihak lain suatu jumlah barang atau uang yang
habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang lain ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari barang atau uang yang
dipinjamnya”.

Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat


ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa
mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan
dalam akad tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi
komersial. Secara syar’i para ahli fiqh mendefinisikan Qardh:9

1. Menurut madzhab Hanafi, Ibn Abidin mengatakan bahwa suatu


pinjaman adalah apa yang dimiliki satu orang lalu diberikan
6
Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat (Jakarta: Amzah, 2015), h. 275.
7
Ismail Nawawi, Fikih muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), h. 177.
8
Chairuman pasaribun dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam
(Jakarta: Sinar Grafika 2004), h. 136.
9
Ismail Hannanong, “Al-Qardh Al-Hasan: Soft and Benevolent Loan… h. 174.

5
6

kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam kepunyaannya


dalam baik hati.
2. Menurut Madzhab Maliki mengatakan Qardh adalah
Pembayaran dari sesuatu yang berharga untuk pembayaran
kembali tidak berbeda atau setimpal.
3. Menurut Madzhab Hanbali Qardh adalah pembayaran uang ke
seseorang siapa yang akan memperoleh manfaat dengan itu dan
kembalian sesuai dengan padanannya.
4. Menurut Madzhab Syafi’i Qardh adalah Memindahkan
kepemilikan sesuatu kepada seseorang, disajikan ia perlu
membayar kembali kepadanya.

Sedangkan dalam literatur fiqh terdapat banyak pendapat terkait


dengan Qardh, ialah: diantaranya:10

1. Pendapat Syafi’iyah yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muchlis


“Syafi’iyah berpendapat bahwa qardh (utang-piutang)
dalam istilah syara’ dimaknakan dengan sesuatu yang
diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus
dikembalikan)”.

2. Pendapat Hanafiyah yang dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili

“Al-Qardh (utang-piutang) ialah harta yang memiliki


kesepadanan yang diberikan untuk ditagih kembali. Atau
dengan kata lain, suatu transaksi yang dimaksudkan untuk
memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang
lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu”.

3. Pendapat Yazid Afandi

10
Akhmad Farroh Hasan, Fiqih Muamalah dari Klasik Hingga Kontemporer (teori dan
praktiknya) (Malang: UIN-Maliki Press, 2018), h. 60.
7

“Al-qardh (utang-piutang) ialah memberikan harta


kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan, untuk
dikembalikan dengan pengganti yang sama dan dapat ditagih
kembali kapan saja sesuai kehendak yang menghutangi. Akad
qardh ialah akad tolong menolong bertujuan untuk
meringankan beban orang lain”.

4. Pendapat Gufron A. Mas’adi

“Al-qardh (utang-piutang) ialah memberikan sesuatu


kepada seseorang dengan pengembalian yang sama.
Sedangkan utang ialah kebalikan definisi piutang, yakni
menerima sesuatu (uang/ barang) dari seseorang dengan
perjanjian ia akan membayar atau mengembalikan utang
tersebut dalam jumlah yang sama pula”.

Jadi dapat dipahami bahwa: qardh (utang-piutang) ialah akad yang


dilaksanakan oleh dua orang bilamana diantara dari dua orang tersebut
mengambil kepemilikan harta dari lainnya dan ia menghabiskan harta
tersebut untuk kepentingannya, kemudian ia harus mengembalikan harta
tersebut senilai dengan apa yang diambilnya dahulu, atau suatu akad antara
dua pihak bilamana pihak pertama menyerahkan uang atau barang kepada
pihak kedua, guna dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau
barang tersebut harus dikembalikan persis seperti apa yang ia terima dari
pihak pertama.

qardh (utang-piutang) pada dasarnya merupakan format akad yang


bercorak ta’awun (pertolongan) dan kasih sayang kepada pihak lain yang
membutuhkan. Sebab memberi pinjaman ialah perbuatan ma’ruf yang
dapat menanggulangi kesulitan sesama manusia. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa pinjaman lebih baik daripada sedekah, karena sesorang
tidak bakal meminjam kecuali bila sangat membutuhkan.11

11
Akhmad Farroh Hasan, Fiqih Muamalah… h. 61.
8

Dari berbagai pengertian akad dan al-Qardh diatas dapat


disimpulkan bahwa akad Al-Qardh adalah perikatan atau perjanjian antara
kedua belah pihak, dimana pihak pertama menyediakan harta atau
memberikan harta dalam arti meminjamkan kepada pihak kedua sebagai
peminjam uang atau orang yang menerima harta yang dapat ditagih atau
diminta kembali harta tersebut, dengan kata lain meminjamkan harta
kepada orang lain yang mebutuhkan dana cepat tanpa mengharapkan
imbalan. Dalam akad al-Qardh ini, untuk menghindarkan diri dari riba,
biaya administrasi pada pinjaman al-Qardh harus dinyatakan dalam
nominal bukan presentase; Sifatnya harus nyata, jelas dan pasti serta
terbatas pada hal-hal yang mutlak diperlukan untuk tejadinya kontrak;
uang yang dijadikan sebagai biaya administrasi harus habis dalam waktu
perikatan tersebut.12

B. Dasar Hukum al-Qardh


1. Al-Qur’an

Akad Al-qardh diperbolehkan dalam Islam dengan tujuan


meringankan (menolong) orang lain. Hal ini didasarkan firman Allah
SWT dalam QS Al-Hadiid ayat 11, yang berbunyi:

‫ضا َح َسنًا َفيُضعِ ُفه هَل َا ْج ٌر َك ِر ٌمي‬ ِ


ُ ‫َم ْن َذا الَّذ ْي يُ ْق ِر‬
ً ‫ض اللّهَ َق ْر‬

“barang siapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman


yang baik, maka Allah mengembalikannya berlipat-ganda untuknya,
dan baginya pahala yang mulia”

2. Hadits

Rasulullah SAW bersabda yang berbunyi:

12
Ismail Hannanong, “Al-Qardh Al-Hasan: Soft and Benevolent Loan… h. 175.
9

ِ ِ
ُ ‫ َما م ْن ُم ْسل ٍم يُ ْق ِر‬:‫عن ابن مسعود أ ّن النيب صلى اللّه عليه و سلّم قال‬
‫ض‬

)‫ص َدقٍَة َمَّرًة (رواه ابن ماجه و ابن حبان‬ ِ


َ ‫ضا َمَّرَتنْي ِ ِإاَّل َكا َن َك‬
ً ‫ُم ْسل ًما َقْر‬

“Dari ibnu mas’ud bahwa Rosululloh SAW bersabda, tidak ada


seorang muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qorodh dua
kali, maka seperti sedekah sekali”. (HR. Ibnu Majjah dan Ibnu
Hibban)

3. Ijma’

Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan.


Al-qardh bersifat mandub (dianjurkan) bagi muqridh (orang yang
mengutangi) dan mubah bagi muqtaridh (orang yang berutang)
kesepakatan ulama ini didasari sifat dasar manusia yang tidak bisa
hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada
seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkaan. Oleh
karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari
kehidupan du dunia ini. Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.13

C. Syarat dan Rukun al-Qardh

Berikut ini merupakan syara-syarat dan rukun al-qardh, di antaranya


adalah:14

a. Aqid (orang yang berutang dan berpiutang)

Aqid merupakan orang yang mengerjakan akad,


keberadaannya sangat penting sebab tidak dapat disebutkan sebagai
akad andai tidak ada aqid. Begitu pula tidak bakal terjadi ijab dan
qabul tanpa adanya aqid.

13
Nur Afni Hairudin, dkk, “Penerapan Aplikasi Qawaidul Fiqhiyyah… h. 68.
14
Akhmad Farroh Hasan, Fiqih Muamalah… h. 63.
10

b. Ma’qud Alaihi (objek yang diutang-piutangkan)

Ma’qud ‘alaih adalah benda-benda yang diakadkan, seperti


harta benda. Dalam arti setiap perikatan dalam akad al-qardh harus
ada barang sebagai perikatan atau transaksi (objek akad). Syarat
objek akad adalah dapat menerima hukumnya. Obyek utang-
piutang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Benda bernilai
b. Dapat dimiliki.
c. Dapat diberikan kepada pihak yang berutang.
d. Telah ada pada masa perjanjian dilakukan.
c. Maudhu’ al- ‘aqd (tujuan akad)

Maudhu’ al ‘aqd adalah tujuan atau maksud pokok


mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbeda tujuan pokok
akad, dalam akad jual beli tujuan pokoknya ialah memindahkan
barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti, dan dalam
akad jual beli ini akan mendapatkan keuntungan, berbeda dengan
perikatan atau akad al-qardh, dalam akad al-qardh tujuan pokok
perikatannya adalah tolong menolong dalam arti meminjamkan
harta tanpa mengharapkan imbalan, uang yang di pinjamkan di
kembalikan sesuai dengan uang yang dipinjamkan, tidak ada
tambahan dalam pengembalian uangnya.

d. Shigat (ijab dan qabul)

Akad berdasarkan pendapat etimologi mempunyai makna:


menyimpulkan, mengikat (tali). Dari keterangan tersebut dapat
dipahami, akad ialah perikatan antara ijab dan qabul yang
mengindikasikan adanya kerelaan dari kedua belah pihak. ijab
11

ialah “pengakuan dari pihak yang memberi utang dan qabul ialah
penerimaan dari pihak yang berutang. Ijab qabul harus dengan
lisan, seperti yang telah dijelaskan di atas, tetapi dapat pula dengan
isyarat bagi orang bisu”.

Perjanjian utang-piutang baru terlaksana sesudah pihak


pertama memberikan uang yang diutangkan kepada pihak kedua
dan pihak kedua sudah menerimanya, dampaknya bila harta yang
diutangkan tersebut rusak atau hilang sesudah perjanjian terjadi
namun sebelum diterima oleh pihak kedua, maka resikonya
ditanggung oleh pihak pertama.

D. Al-Qardh dan Aplikasinya


1. Pelaksanaan dan shighat

Qardh dianggap sah bilamana dilakukan terhadap barang


dagangan yang dibolehkan syara’. Selain itu, qardh pun dianggap sah
sesudah adanya ijab dan qabul, seperti pada jual-beli dan hibah. Shigat
ijab bisa dengan menggunakan lafal qardh dan salaf (utang), atau
dengan lafal yang mengandung makna kepemilikan. Misalnya: “Saya
memberikan barangku kepadamu, dengan ketentuan kamu harus
mengembalikan kepada saya penggantinya”. Penggunaan kata
memberikan disini bukan bermakna diberikan cuma – cuma,
melainkan pemberian hutang yang harus dibayar.

2. Waktu dan tempat pengendalian qardh

Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian


barang pinjaman hendaknya di tempat bilamana akad qardh itu
dilaksanakan. Dan boleh juga di tempat mana saja, bilamana tidak
membutuhkan biaya kendaraan, bekal dan terdapat jaminan keamanan.
Bilamana semua itu diperlukan, maka bukan sebuah keharusan bagi
pemberi pinjaman untuk menerimanya.
12

Adapun waktu pengembalian berdasarkan pendapat ulama


selain malikiyyah ialah, waktu pengembalian harta pengganti ialah
kapan saja terserah kehendak si pemberi pinjaman, sesudah peminjam
menerima pinjamannya. Karena qardh merupakan akad yang tidak
mengenal batas waktu. Sedangkan berdasarkan pendapat Malikiyah,
waktu pengembalian itu ialah ketika sampai pada batas waktu
pembayaran yang sudah ditentukan diawal. Karena mereka
berpendapat bahwa qardh bisa dibatasi dengan waktu.

3. Harta yang harus dikembalikan

Konsensus para ulama’ bahwa wajib hukumnya untuk


peminjam untuk mengembalikan harta semisal bilamana ia meminjam
harta mitsli (harta yang memiliki persamaan), dan mengembalikan
harta semisal dengan bentuknya (konsensus Ulama’ selain Hanafiyah)
bila pinjamannya ialah harta qimiy (harta yang tidak memiliki
persamaan), seperti mengembalikan sapi yang ciri-cirinya mirip
dengan sapi yang dipinjam. Atas dasar itu, ulama hanafiyah tetap
mewajibkan mengembalikan harta qimiy sesuai dengan apa yang
sebelumnya dipinjam.15

E. Jenis-jenis Al-Qardh

Al-qardh atau pemberian pinjaman dalam Islam merupakan salah


satu jenis transaksi keuangan yang diperbolehkan. Berikut adalah beberapa
jenis al-qardh:

1. Al-Qardhul Hasan

Pinjaman yang diberikan tanpa adanya bunga atau


imbalan apapun dari peminjam kepada pemberi pinjaman.
Pinjaman ini diberikan semata-mata untuk membantu
peminjam dalam kebutuhan finansialnya. Setelah jangka waktu

15
Akhmad Farroh Hasan, Fiqih Muamalah… h. 69-71.
13

yang disepakati berakhir, peminjam hanya perlu


mengembalikan jumlah pinjaman yang diberikan.

2. Al-Qardhul muntahiyah bi tamlik

Pinjaman yang diberikan dengan syarat peminjam harus


memberikan jaminan atas pinjaman yang diberikan. Jaminan
yang diberikan dapat berupa harta benda seperti rumah,
kendaraan, atau barang berharga lainnya. Jika peminjam tidak
dapat mengembalikan pinjaman, maka jaminan tersebut dapat
diambil oleh pemberi pinjaman sebagai ganti rugi.

3. Al-Qardhul muntahiyah bi al-ajal

Pinjaman yang diberikan dengan jangka waktu


pengembalian yang ditentukan di awal. Jangka waktu
pengembalian pinjaman dapat bervariasi, tergantung
kesepakatan antara pemberi pinjaman dan peminjam.
Peminjam harus mengembalikan jumlah pinjaman yang
diberikan beserta bunga yang telah disepakati jika terdapat
perjanjian bunga dalam perjanjian pinjaman.

4. Al-Qardhul muntahiyah bi al-wakalah

Pinjaman yang diberikan melalui pihak ketiga sebagai


perantara. Dalam hal ini, pemberi pinjaman memberikan
mandat kepada pihak ketiga untuk memberikan pinjaman
kepada peminjam. Pihak ketiga akan memproses pinjaman dan
menjamin pengembalian pinjaman oleh peminjam.

Semua jenis al-qardh di atas harus dilakukan dengan itikad baik


dan kejujuran, serta harus memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan
ketentuan syariat Islam.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam kesimpulannya, al-qardh merupakan suatu jenis transaksi


dalam hukum Islam yang melibatkan pemberian pinjaman uang atau
barang dengan syarat harus dikembalikan dalam waktu yang telah
disepakati, tanpa adanya tambahan atau imbalan apapun. Al-qardh
dianggap sebagai suatu amalan yang dianjurkan dalam Islam dan terdapat
beberapa jenis al-qardh, di antaranya yaitu:

1. Al-Qardhul Hasan
2. Al-Qardhul muntahiyah bi tamlik
3. Al-Qardhul muntahiyah bi al-ajal
4. Al-Qardhul muntahiyah bi al-wakalah

Syarat-syarat dalam al-qardh meliputi objek yang dipinjam harus


halal, tidak ada unsur riba atau bunga, jumlah pinjaman harus jelas dan
pasti, waktu pengembalian harus jelas dan pasti, serta penerima pinjaman
harus memiliki kemampuan untuk mengembalikan pinjaman. Al-qardh
memiliki manfaat dan kekurangan tertentu, namun dengan memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan, al-qardh dapat dilakukan dengan baik
dalam perspektif hukum Islam.

Dalam aplikasinya, al-qardh digunakan sebagai salah satu bentuk


transaksi keuangan yang diatur dalam hukum Islam. Al-qardh dapat
dilakukan antara individu dengan individu, atau antara individu dengan
lembaga keuangan. Dalam praktiknya, al-qardh dapat diterapkan untuk
membantu orang yang membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
finansialnya, seperti membayar hutang, biaya pendidikan, atau kebutuhan
medis. Al-qardh juga dapat digunakan untuk tujuan investasi dengan
memanfaatkan prinsip al-qardh al-mudharrabah. Dalam setiap aplikasi al-
qardh, syarat-syarat yang telah ditetapkan harus dipatuhi dan dipenuhi

14
15

oleh kedua belah pihak agar transaksi berjalan dengan baik dan sesuai
dengan hukum Islam.

B. Saran
Sebagai penutup, disarankan bagi kita semua untuk memahami
dengan baik konsep dan aplikasi al-qardh dalam kehidupan sehari-hari,
serta memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjaga
keabsahan dan keberkahan dalam melaksanakan al-qardh. Selain itu,
diharapkan pula agar kita senantiasa menghindari praktek riba dalam
bentuk apapun, karena hal tersebut dilarang oleh hukum Islam. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca untuk meningkatkan pemahaman
tentang al-qardh dalam perspektif hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Farroh, Akhmad, Hasan, Fiqih Muamalah dari Klasik Hingga


Kontemporer (teori dan praktiknya) Malang: UIN-Maliki Press,
2018
Nawawi, Ismail, Fikih muamalah Klasik dan Kontemporer Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012
Pasaribun, Chairuman, dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian
Dalam Islam Jakarta: Sinar Grafika 2004.
Wardi, Ahmad, Muslich, Fikih Muamalat Jakarta: Amzah, 2015
JURNAL
Afni, Nur, Hairudin, dkk, “Penerapan Aplikasi Qawaidul Fiqhiyyah Pada
Al-Qardh Di Lembaga Keuangan Syari’ah Kontemporer”
QISTHOSIA: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 3, No. 1 (Juni
2022) UIN, UNISA Palu.
Aini, Rukyal, “Penerapan Konsep Al-Qardh Pada Kelompok Banjar
Daging Di Kabupaten Lombok Tengah” MU’AMALAT: Jurnal
Ekonomi Syariah, Vol. 9, No. 2 (Desember 2017).
Hannanong, Ismail, “Al-Qardh Al-Hasan: Soft and Benevolent Loan Pada
Bank Islam” DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 16, No.
2 (Desember 2018) Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Gazali Barru.
Saputra, Julfan, dkk, “Konsep Al-Ariyah, Al-Qardh, dan Al-Hibah” AL-
SHARF: Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 2, No. 1 (2021) UIN
Sumatera Utara.

16

Anda mungkin juga menyukai