Anda di halaman 1dari 45

MINI PROJECT

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN PERILAKU MASYARAKAT


TENTANG DIET RENDAH PURIN TERHADAP PENINGKATAN INSIDENSI
PENYAKIT ARTHRITIS GOUT DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PANGKALAN BALAI

Disusun oleh :

dr. Anisia Ayunda Putri


dr. Elsa Agustin
dr. Fawaz Prawiro

Pendamping : dr. Nilawati

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS PANGKALAN BALAI
PERIODE MEI – NOVEMBER
2022
BERITA ACARA PRESENTASI MINI PROJECT

Pada hari, 8 November 2022 telah dipresentasikan mini project :


Judul/topik : Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Perilaku Mayarakat
Tentang Diet Rendah Purin Terhadap Peningkatan Insidensi
Penyakit Arthritis Gout Di Wilayah Kerja Puskesmas Pangkalan
Balai.
Nama Pendamping : dr. Nilawati
Nama wahana : UPTD Puskesmas Pangkalan Balai

Daftar peserta yang hadir :


No. Nama peserta presentasi Keterangan Tanda tangan

1. dr. Anisia Ayunda Putri Presentan

2. dr. Elsa Agustin Presentan

3. dr. Fawaz Prawiro Presentan

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan sesungguhnya.

Mengetahui,
Kepala Puskesmas Pangkalan Balai

dr. Nilawati

2
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL : GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN PERILAKU


MASYARAKAT TENTANG DIET RENDAH PURIN TERHADAP
PENINGKATAN INSIDENSI PENYAKIT ARTHRITIS GOUT DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANGKALAN BALAI.

PENYUSUN :

1. dr. Anisia Ayunda Putri


2. dr. Elsa Agustin
3. dr. Fawaz Prawiro

Banyuasin, 8 November 2022


Mengetahui,
Dokter Pendamping

dr. Nilawati

3
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan
Rahmat dan KaruniaNya. Rasa syukur kami panjatkan bersamaan dengan selesainya hasil
laporan analisis kami dengan judul “GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN
PERILAKU MASYARAKAT TENTANG DIET RENDAH PURIN TERHADAP
PENINGKATAN INSIDENSI PENYAKIT ARTHRITIS GOUT DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PANGKALAN BALAI”. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat dalam
kegiatan kami selama Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) di UPTD Puskesmas
Pangkalan Balai.
Dalam penulisan laporan ini kami banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu, dalam kesempatan ini kami ucapkan terimakasih kepada :
1. Nilawati, dr. selaku kepala Puskesmas Pangkalan Balai dan dokter pendamping
internship,
2. Staf dan karyawan Puskesmas Pangkalan Balai,
3. Rekan-rekan profesi dokter dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian
laporan ini.

Dengan segala kerendahan hati kami memohon maaf apabila masih banyak kesalahan
dan kekurangan dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca, instansi dan khususnya bagi kepentingan pelayanan kesehatan untuk
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan Balai.

Banyuasin, 8 November 2015

Hormat Kami,

Penyusun

4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………..... 4
DAFTAR ISI……………………………………………………………....... 5
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..... 7
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. 8
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………… 9

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… 10
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………. 11
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………… 11
1.3 Tujuan………………………………………………………………….. 12
1.4 Manfaat………………………………………………………………… 12
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti………………………………………… 12
1.4.2 Manfaat Bagi Wahana………………………………………… 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………. 13
2.1. Definisi………………………………………………………………... 13
2.2. Epidemiologi…………………………………………………………. 13
2.3. Etiologi………………………………………………………………... 14
2.4. Klasifikasi Hiperusemia Dan Artritis Gout………………………….. 14
2.5. Pathogenesis………………………………………………………….. 14
2.6. Faktor resiko………………………………………………………….. 15
2.7 Manifestasi Klinis……………………………………………………… 16
2.8. Diagnosis……………………………………………………………… 17
2.9. Diagnosis Banding……………………………………………………. 18
2.10 Penatalaksanaan Artritis Gout……………………………………….. 24
2.11. Komplikasi……………………………………………………………. 26
2.12 Makanan yang Mengandung Purin…………………………………... 26
KERANGKA TEORI………………………………………………………. 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………………… 28
3.1 Kerangka Konsep……………………………………………............... 28
3.2 Tempat dan Waktu…………………………………………………….. 28
3.3 Jenis dan Sumber Data………………………………………………… 28
3.3.1 Jenis Data……………………………………………………... 28
3.3.2 Sumber Data………………………………………………….. 28
3.3.3 Populasi dan sampel Penelitian……………………………… 28
3.4 Pengolahan dan Analisis Data………………………………………… 29
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………... 30
4. 1 Hasil………………………………………………………................... 30
4. 2 Pembahasan……………………………………................................... 32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………... 34
6. 1 Kesimpulan………………………………………………………….. 34
6. 2 Saran…………………………………………………………………. 34

5
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 35
LAMPIRAN………………………………………………………………... 37

6
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Bone Scanning Pada Artritis Gout 18


Gambar 2 Foto Polos Pada Arthritis Rheumatoid 20
Gambar 3 Foto Kegiaan 40

7
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tabel Revisi Kriteria Untuk Klasifikasi Dari Artritis Rheumatoid 19


Menurut American Rheumatism Association
Tabel 2 Kriteria Diagnosis OA Lutut Berdasarkan American College Of 23
Rheumatology
Tabel 4 Kerangka Teori 28
Tabel 5 Jenis Kelamin Responden 30
Tabel 6 Usia Responden 30
Tabel 7 Pendidikan Terakhir Responden 30
Tabel 8 Tingkat Pengetahuan Responden 31
Tabel 9 Faktor Resiko Responden Terhadap Arthritis Gout 31

8
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penyuluhan “Waspadai Asam Urat” 36


Lampiran 2 Kuesioner Perilaku makan dan minum yang berhubungan 38
dengan arthritis gout
Lampiran 3 Foto Kegiatan 40

9
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit arthritis gout adalah salah satu penyakit inflamasi sendi yang paling
sering ditemukan, ditandai dengan penumpukan kristal monosodium urat di dalam
ataupun di sekitar persendian (Zahara, 2013). Angka kejadian penyakit arthritis gout
cenderung memasuki usia semakin muda yaitu usia produktif dimana diketahui prevalensi
asam urat di Indonesia yang terjadi pada usia di bawah 34 tahun yaitu sebesar 32%
dengan kejadian tertinggi pada penduduk Minahasa sebesar 29,2 %. Hal ini merupakan
pengaruh dari pola hidup yang buruk, yang nantinya berdampak pada penurunan
produktifitas kerja. Kondisi ini dapat menurunkan kualitas hidup dari masing-masing
penderita (Pratiwi VF, 2013).
Artritis gout terjadi sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan
atau supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraseluler (Anastesya W, 2009). Terdapat
dua faktor resiko seseorang menderita arthritis gout, yaitu faktor yang tidak dapat di
modifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
adalah usia dan jenis kelamin. Di lain pihak, faktor resiko yang dapat dimodifikasi adalah
terkait dengan pengetahuan, sikap dan perilaku penderita mengenai arthritis gout, kadar
asam urat, dan penyakit – penyakit lain seperti diabetes mellitus (DM), hipertensi dan
dislipideima yang membuat individu tersebut memiliki risiko lebih besar untuk terserang
penyakit arthritis gout (Festy P, 2009). Pengelolaan gout sering sulit dilakukan karena
berhubungan dengan kepatuhan perubahan gaya hidup (Azari RA, 2014).
Prevalensi arthritis gout di dunia berkisar 1-2 % dan mengalami peningkatan dua
kali lipat diandingkan dua decade sebelumnya. Berdasarkan data World Health
Organization (WHO, 2017), prevalensi gout arthritis di dunia sebanyak 34,2%. Gout
arthritis sering terjadi di negara maju seperti Amerika. Prevalensi gout arthritis di Negara
Amerika sebesar 26,3% dari total penduduk. Peningkatan kejadian gout arthritis tidak
hanya terjadi di negara maju saja. Namun, peningkatan juga terjadi di negara berkembang,
salah satunya di Negara Indonesia. Di Indonesia prevalensi arthritis gout belum diketahui
secara pasti dan cukup bervariasi antara satu daerah dengan daerah yang lain. Sebuah
penelitian di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi arthritis gout sebesar 1,7% sementara
di Bali (8,5%). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2018

10
jumlah kasus arthritis di Kota Palembang sebanyak 24.760 pasien (Dinkes Kota
Palembang, 2018).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui faktor resiko terjadinya
artitris gout, terdapat interaksi antara faktor yang dapat diubah dan yang tidak dapat
diubah. Faktor resiko yang tak dapat diubah seperti ; riwayat penyakit keluarga, genetik,
usia dan jenis kelamin. Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah yang berpengaruh
diantaranya obesitas, asupan makanan dan alkohol, konsumsi obat, gangguan ginjal dan
hipertensi. Penyakit gout sendiri lebih sering menyerang penderita yang mengalami
kelebihan badan 30% dari berat badan ideal.
Asupan yang masuk ke tubuh juga mempengatuhi kadar asam urat dalam darah.
Makanan yang mengandung zat purin tinggi akan diubah menjadi asam urat. Asam urat
yang dikeluarkan lewat urin sebesar 2/3 sedangkan sisanya diekskresi melalui usus, tetapi
pada orang dgn diet tinggi purin, terjadi gangguan pada metabolisme purin sehingga
terjadi hiperekskresi asam urat yang ditunjukkan dengan kadar asam urat urin yang tinggi
pada urin. Selain peningkatan kadar asam urat urin, terjadi peningkayan asam urat dalam
darah pula. Sebagian besar kasus gout arthritis mempunyai latar belakang penyebab
primer, sehingga memerlukan pengendalian kadar asam urat jangka panjang. Perlu
komunikasi yang baik dengan penderita untuk mencapai tujuan terapi. Hal itu dapat
diperoleh dengan edukasi dan diet rendah purin yang baik (Hidayat R, 2009).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang ini maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagiamana gambaran tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang diet purin
terhadap peningkatan insidensi arthritis gout di Puskesmas Pangkalan Balai?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang diet
rendah purin dalam peningkatan insidensi penyakit Artritis Gout di Wilayah kerja
Puskesmas Pangkalan Balai.

11
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti
i. Sebagai pengalaman dan penambahan wawasan tentang insidensi penyakit
arthritis gout yang terjadi di Puskesmas Pangkalan Balai.
ii. Mengaplikasikan ilmu kedokteran yang telah dipelajari ke dalam sebuah
penelitian yang berguna bagi masyarakat.

1.4.2 Manfaat Bagi Wahana


i. Sebagai bahan acuan dalam peningkatan penanganan penyakit arthritis
gout di Pukesmas Pangkalan Balai.
ii. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan berupa pemberian informasi dan
motivasi kepada penderita penyakit arthritis gout di Puskesmas Pangkalan
Balai.
iii. Sebagai bahan masukan dan evaluasi terhadap pelaksanaan upaya
kesehatan Puskesmas Pangkalan Balai sesuai hasil penelitian.

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Artritis gout adalah suatu sindroma klinis yang ditandai oleh episode artritis akut dan
berulang yang sering menyerang sendi kecil akibat adanya endapan kristal monosodium
urat dalam jaringan. Penimbunan kristal monosodium urat monohidrat terjadi di jaringan
akibat adanya supersaturasi asam urat.1
Pada artritis gout stadium kronis, dapat ditemukan topus, yaitu nodul padat yang
terdiri dari deposit kristal asam urat yang keras dan tidak nyeri yang dapat ditemukan pada
sendi atau jaringan.1

2.2 Epidemiologi
Arthritis gout lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan, puncaknya
pada dekade ke-V. Di Indonesia, arthritis gout terjadi pada usia yang lebih muda, sekitar
32% pada pria berusia kurang dari 44 tahun. Pada wanita, kadar asam urat umumnya
rendah dan meningkat setelah usia menopause. Prevalensi arthritis gout di Bandungan,
Jawa Tengah, prevalensi pada kelompok usia 15-45 tahun sebesar 0,8%; meliputi pria
1,7% dan wanita 0,05%. Di Minahasa (2003), proporsi kejadian arthritis gout sebesar
29,2% dan pada etnik tertentu di Ujung Pandang sekitar 50% penderita rata-rata telah
menderita gout 6,5 tahun atau lebih setelah keadaan menjadi lebih parah. Berdasarkan
data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2018 jumlah kasus arthritis di Kota
Palembang sebanyak 24.760 pasien.3

2.3 Etiologi
Gejala arthritis gout akut disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan terhadap
pembentukan kristal monosodium urat monohidrat. Karena itu, dilihat dari penyebabnya,
penyakit ini termasuk dalam golongan kelainan metabolik. Asam urat merupakan zat sisa
yang dibentuk oleh tubuh pada saat regenerasi sel. Beberapa orang dengan gout
membentuk lebih banyak asam urat dalam tubuhnya (10%). Sisanya (90%), tubuh anda
tidak efektif membuang asam urat melalui air seni. Faktor lain yaitu genetik, jenis kelamin
dan nutrisi (peminum alkohol, obesitas).1,4

2.4 Klasifikasi Hiperusemia dan Artritis Gout

13
Klasifikasi hiperurisemia dan gout sebagai berikut:5

1. Primer
a. Metabolik (Kelebihan Produksi)
 Idiopatik (10% dari gout primer)
 Berhubungan dengan gangguan enzim (<1%)
 Kelebihan produksi fosforibisil pirofosfat (PRPP) sintetase
 Defisiensi hiposantin guanin fosforobosil transfase (HGPRT)
parsial
 Defisiensi HGPRT komplit
b. Renal (undereskresi idiopatik 90% gout primer)
2. Sekunder
a. Metabolik
 Peningkatan turnover asam nukleat contohnya hemolisis kronik,
gangguan limfoproliferatif atau mieloproliferatif.
 Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidroginase (G6PD) contohnya
glycogen storage disease.
b. Renal
 Gagal ginjal akut atau kronik
 Deplesi volume
 Gangguan pada tubulus oleh karena obat-obatan atau produksi
metabolik.

2.5 Patogenesis
Kadar asam urat dalam serum merupakan hasil keseimbangan antara produksi dan
sekresi. Ketika terjadi ketidakseimbangan dua proses tersebut maka terjadi keadaan
hiperurisemia yang menimbulkan hipersaturasi asam urat yaitu kelarutan asam urat di
serum yang telah melewati ambang batasnya, sehingga merangsang timbunan asam urat
dalam bentuk garam yaitu monosodium urat (MSU) di berbagai jaringan.6,7
Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur yang lebih rendah seperti pada
sendi perifer tangan dan kaki dapat menjelaskan kenapa kristal MSU mudah diendapkan
di kedua tempat tersebut. Predileksi pengendapan kristal MSU pada metatarsofalangeal-1
(MTP-1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada daerah
tersebut. Perubahan matrik ekstraseluler seperti proteoglikan, kondroitin sulfat, serat

14
kolagen dan sebagainya atau debris dalam cairan sinovial dapat menjadi nidus (inti atau
nucleating agent) pembentukan kristal. Kristal MSU yang terbentuk bisa mengalami
disolusi spontan atau mengalami akumulasi kronik di jaringan membentuk topus terutama
di sinovium dan permukaan kartilago. Tofus di jaringan sinovial tetap stabil karena
biasanya diselimuti albumin dan imunoglobulin.8,9
Awal artritis gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum karena
kadar asam urat yang stabil jarang menimbulkan serangan. Pengobatan dengan
allopurinol, trauma, pembedahan dan asupan alkohol yang berlebihan dapat menjadi
faktor pencetus artritis gout akut. Keadaan ini menyebabkan terlepasnya kristal
monosodium urat dari depositnya di sinovium atau tophi (crystals shedding).7,9
Kristal MSU ditangkap oleh reseptor TLR2 dan TLR4, suatu reseptor transmembran
yang terdapat pada permukaan sel imun inate seperti monosit atau makrofag. Proses
fagositosis ini dibantu oleh protein adaptor Myd88 dan CD14. CD14 terdapat pada
permukaan sel fagosit yang dapat melipatgandakan respon seluler yang dirangsang oleh
ligand TLR2 dan TLR4. Sedangkan protein adaptor Myd88 bersama phosphatidylinositol
3 kinase, Rac1 dan Akt meneruskan sinyal untuk aktivasi faktor traskripsi nuclear factor
kappa B (NFκβ) di inti sel untuk membentuk berbagai molekul proinflamasi seperti tumor
necrosis factor α (TNF- α), interleukin-1β (IL-1β), IL-6, CXCL8 (IL-8), dan CXCL1
(growth-related oncogene α).10

2.6 Faktor Resiko


a. Pola makan yang tidak terkontrol
Asupan makan yang masuk ke dalam tubuh dapat mempengaruhi kadar asam
urat dalam darah. Makanan yang mengandung zat purin yang tinggi akan
diubah menjadi asam urat
b. Obesitas
c. Jenis kelamin dan usia
Hiperurisemia biasanya dimulai pada masa pubertas pada pria tetapi pada
wanita fase ini biasanya mulai setelah menopause Usia
d. Genetic
e. Kurang konsumsi air putih
f. Gangguan ginjal dan hipertensi
2.7 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis artritis gout bergantung pada stadium yang sedang terjadi:

15
1. Hiperurisemia asimptomatik
Stadium ini ditandai dengan adanya peningkatan kadar asam urat dalam darah
tanpa disertai manifestasi klinis, hiperurisemia biasanya dimulai pada masa
pubertas pada pria tetapi pada wanita fase ini biasanya mulai setelah menopause.
2. Serangan artritis gout akut
Fase ini merupakan manifestasi klinis yang paling sering dijumpai. Gambaran
klinis sangat khas sehingga diagnosis dapat ditegakkan dengan mudah. Biasanya
menyerang sendi metatarsofalangeal I (MTP I), selain itu pada pergelangan kaki,
lutut, pergelangan tangan, jari tangan dan siku.
Serangan artritis gout ditandai adanya nyeri yang cepat yang mempengaruhi
persendian dan diikuti panas, bengkak, kemerahan dan sangat nyeri. Nyeri
biasanya menyerang satu persendian tetapi pada wanita dapat poliartikuler. Nyeri
pada artritis gout disebabkan deposit kristal asam urat di dalam jaringan sendi.
Bila tidak diobati akan sembuh sendiri dalam 7 sampai 10 hari.
Serangan artritis gout dapat dicetuskan oleh stres, trauma, infeksi, dehidrasi,
operasi, starvasi, alkohol, obat-obatan, penurunan berat badan, dan makan
makanan tertentu yang berlebihan, adanya perubahan profil lipid pada saat
serangan artritis gout. Pencegahan dapat dilakukan bila level asam urat serum <
6,0 mg/dl yaitu dengan cara mempertahankan intake cairan yang adekuat,
penurunan berat badan, perubahan diet, mengurangi konsumsi alkohol dan obat-
obatan yang menurunkan hiperurisemia.
3. Interkritikal gout
Merupakan fase antara satu serangan akut gout dengan serangan berikutnya
pada stadium awal periode ini biasanya tanpa gejala dan tanpa kelainan
pemeriksaan meskipun pada periode ini bersifat asimtomatik, tetapi kristal MSU
dapat ditemukan pada cairan sendi yang terlibat.
4. Stadium kronis tofeseus gout
Stadium ini dimulai dengan ditemukan adanya topus di sendi atau sekitar
sendi. Timbulnya topus bervariasi antara 3 sampai 42 tahun, kebanyakan setelah
10 tahun dan terjadinya topus berkorelasi dengan derajat dan lamanya
hiperurisemia, terutama pada kadar asam urat > 11mg/dl.
Topus juga dihubungkan dengan makin muda umur dan makin lama menderita
artritis gout. Topus dapat ditemukan di daerah kartilago, membran sinovial tendon,
jaringan lunak, dan berbagai tempat seperti telinga, jari-hari tangan, tangan, siku,

16
lutut. Topus dapat single dan multiple, berukuran kecil sampai besar sangat
menganggu pergerakan sendi, sering disertai dengan adanya luka yang
mengeluarkan cairan berwarna keputih-putihan berisi kristal berbentuk jarum.
Pada topus kecil yang sukar dibedakan dengan nodul rematik yang lain. Maka
aspirasi sendi atau biopsi topus dapat digunakan untuk memastikan diagnosis.
Apabila tidak ditatalaksana dengan baik serangan artritis gout akan
berlangsung lebih sering, mengenai banyak sendi (poliartikuler), semakin berat
dan semakin lama serta gejala sistemik yang lebih berat pula.1

2.8 Diagnosis
Menurut kriteria ACR (American Collage of Rheumatology), diagnosis dapat
ditegakkan jika:
1. Didapatkan kristal monosodium urat dalam cairan sendi atau
2. Didapatkan tofus yang mengandung kristal MSU atau
3. Ditemukan 6 dari beberapa kriteria dibawah ini:
a. Lebih dari 1 kali serangan artritis akut
b. Inflamasi maksimal berkembang dalam 1 hari
c. Arthritis monoartikuler
d. Kemerahan pada sendi
e. Bengkak + nyeri pada MTP-1
f. Serangan unilateral pada MTP-1
g. Serangan unilateral pada sendi-sendi tarsal
h. Dicurigai tofus
i. Hiperurisemia
j. Pembengkakan sebuah sendi asimetrik (pada foto rontgen)
k. Kista subkortikal tanpa erosi (pada foto rontgen)
l. Kultur mikroorganisme cairan sendi negatif.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah foto polos untuk mengevaluasi
gout kronis tidak terkontrol minimal 1 tahun diderita. Pada Bone scanning tampak
konsentrasi radionuklida meningkat di lokasi yang terkena dampak.
Pada fase awal, tampak pembengkakan asimetris dan edema jaringan lunak sekitar
sendi. Pada pasien dengan beberapa episode arthritis gout pada sendi yang sama,
ditemukan daerah berawan dengan opasitas meningkat dan perubahan tulang mulai yaitu
lesi punch-out, yang dapat berkembang menjadi sklerotik karena peningkatan ukuran.

17
2.9 Diagnosis Banding
Rheumatoid arthritis1,13,14
Rheumatoid arthritis adalah inflamasi sistemik kronik yang menyerang beberapa sendi
dan termasuk gangguan auto-imun (hipersensitivitas tipe III). Rheumatoid arthritis dapat
menyebabkan sinovitis, serositis (inflamasi pada permukaan lapisan sendi, perikardium,
dan pleura), nodul rheumatoid, dan vaskulitis bila proses ini terus-menerus dapat
menyebabkan penghancuran tulang rawan artikular dan ankylosis. Sel-sel radang
rheumatoid arthritis dapat juga menyebar ke paru-paru, perikardium, pleura, sklera, lesi
nodular, jaringan subkutan di bawah kulit.
Artritis reumatoid merupakan penyakit yang menyerang laki-laki pada umur 60-70
tahun. Pada wanita, prevalensi penyakit ini meningkat dari pertengahan abad ke-20 dan
konstan pada level umur 45-65 tahun dengan masa puncak 65-75 tahun.
Bila ditinjau dari stadium, maka pada RA terdapat tiga stadium yaitu:

a. Stadium sinovitis : adanya hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat istirahat
maupun saat bergerak, bengkak, dan kekakuan.

b. Stadium destruksi : terjadi kerusakan pada jaringan synovial dan sekitarnya yang
ditandai adanya kontraksi tendon atau perubahan bentuk tangan (jari swan-neck).

c. Stadium deformitas : terjadi perubahan secara progresif dan berulang, deformitas dan
ganggguan fungsi secara menetap. Perubahan pada sendi diawali adanya sinovitis,
berlanjut pada pembentukan pannus, ankilosis fibrosa, dan terakhir ankilosis tulang.

Kerusakan fungsi pada sendi yang mengalami rheumatoid arthritis diklasifikasikan


berdasarkan tingkat kerusakan pada sendi berdasarkan klasifikasi Steinbroker yaitu;

 St. I : tidak adanya kerusakan pada sendi.

18
 St. II : terjadi osteoporosis dengan atau tanpa kerusakan tulang yang ringan
disertai penyempitan pada ruang sendi.
 St. III : terjadi kerusakan pada kartilago dan tulang tertentu dengan penyempitan
ruang sendi; sehingga terjadi perubahan bentuk sendi.
 St. IV : imobilisasi semua sendi karena menyatunya tulang-tulang dengan sendi.
Pada rheumatoid arthritis juga terdapat gejala konstitusional, misalnya lelah hebat,
anoreksia, berat badan turun dan demam. Serta adanya manifestasi ekstra-artikular seperti
jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.

Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis reumatoid
menurut American Rheumatism Association:

Kriteria Definisi

1. Kekakuan pagi Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi,

hari lamanya setidaknya 1 jam

Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan


peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14
2. Artritis pada tiga kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri
atau lebih area proksimal interfalangs (PIP), metacarpofalangs (MCP),
sendi pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan
sendi metatarsofalangs (MTP)

3. Artritis pada sendi Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,
tangan sendi MCP atau sendi PIP

Secara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama


4. Artritis simetris pada kedua bagian tubuh

5. Nodul-nodul Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau

reumatoid permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular

Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor


6. Serum faktor reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya
reumatoid positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal

7. Perubahan Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada

19
radiografik tangan dan pergelangan tangan

radiografik posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi


terlokalisasi yang tegas pada tulang.

Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien


memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah
berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis,
tidak dikeluarkan pada kriteria ini.

Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan periartikular
jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi
hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya
tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada
olekranon, namun adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan.

A : Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B : Erosi komplit pergelangan tangan

Tujuan terapi rheumatoid arthritis yaitu : Menghilangkan gejala peradangan/inflamasi


lokal maupun sistemik. Mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan. Mencegah
terjadinya deformitas dan menjaga fungsi persendian tetap baik. Mengembalikan kelainan
fungsi organ dan persendian yang mengalami AR agar menjadi normal kembali.

Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID). NSAID antara lain, aspirin, ibuprofen,


ketoprofen, diklofenac dan meloxicam untuk mengurangi peradangan dengan
menghalangi proses produksi mediator peradangan.

20
Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD). Kelompok obat-obatan ini
termasuk metotrexat, senyawa emas, D-penicilamine, antimalaria, dan sulfasalazine.

Terapi glukokortikoid. Prednison dosis rendah (7,5 mg/hari) menjadi terapi suportif
yang berguna untuk mengontrol gejala dan memperlambat progresifitas erosi tulang.

Operasi. Tindakan operasi bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan bentuk sendi yang
cacat dan untuk menghilangkan sinovium yang rusak sehingga sinovium baru dapat
terbentuk, transfer tendon bisa memperbaiki fungsi bila telah putus.

Osteoartritis

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan


kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan kaki paling sering
terkena OA.15
Prevalensi OA radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15,5% pada pria
dan 12,7% pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan
aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Diperkirakan 1 sampai 2 juta
orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena OA.

Etiologi osteoarthritis tidak diketahui. Namun beberapa faktor yang mempunyai


peranan atas timbulnya Osteoarthritis antara lain :15

1. Umur
Faktor ketuaan adalah yang terbanyak. OA hampir tidak pernah pada anak-anak,
jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun. Hal ini
disebabkan adanya hubungan antara umur dengan penurunan kekuatan kolagen dan
proteoglikan pada kartilago sendi.

2. Jenis kelamin
Pada umur lebih dari 55 tahun, prevalensi wanita lebih tinggi dari pria. Usia
kurang dari 45 tahun Osteoarthritis lebih sering terjadi pada pria dari wanita.

3. Suku bangsa

21
Osteoartritis primer dapat menyerang semua ras meskipun terdapat perbedaan
prevalensi pola terkenanya sendi pada osteoartritis. Hal ini berkaitan dengan
perbedaan cara hidup dan pertumbuhan dan perkembangan individu.

4. Genetik
Adanya mutasi dalam gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsur-
unsur tulang rawan sendi seperti kolagen, proteoglikan berperan dalam timbulnya
kecenderungan familial pada osteoartritis.

5. Kegemukan dan penyakit metabolik


Berat badan berlebih dapat meningkatkan tekanan mekanik pada sendi penahan
beban tubuh, sehingga menyebabkan osteoartritis lutut. Faktor metabolik juga ikut
berperan antara lain penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi.

6. Cedera sendi (trauma), pekerjaan dan olah raga


Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian suatu sendi yang terus-menerus,
cedera sendi dan oleh raga yang sering menimbulkan cedera sendi meningkatkan
resiko osteoartritis.

Gambaran klinis berupa nyeri sendi terutama saat bergerak atau menanggung beban.
Dapat pula terjadi kekauan sendi di pagi hari yang berlangsung beberapa menit jika sendi
tidak bergerak lama, tetapi akan hilang setelah sendi digerakkan. Pada sebagian pasien
OA lanjut, nyeri sendi mungkin disebabkan oleh sinovisitis atau spasme otot akibat
instabilitas sendi. Sinovisitis OA mungkin terjadi karena fagositosis shard tulang rawan
dan tulang permukaan sendi yang mengalami abrasi, jarang terjadi efusi sinovium, pada
palpasi sendi mungkin terasa hangat. Pembengkakan pada sendi bersifat asimetris.16,17,18

Gambaran lain adalah keterbatasan dalam gerak, nyeri tekan lokal, pembesaran tulang
disekitar sendi, dan krepitasi sebagai akibat pergesekan permukaaan yang terpajan.
Perubahan yang khas adalah nodus Heberden pada sendi interfalang distal dan nodus
Bouchard pada interfalang proksimal.15

Kriteria diagnosis OA lutut berdasarkan American College of Rheumatology yaitu : 19

22
Klinik dan Laboratorik Klinik dan Klinik
Radiografik
Nyeri lutut + minimal 5 Nyeri lutut + minimal 1 Nyeri lutut + minimal 3
dari 9 kriteria berikut : dari 3 kriteria berikut : dari 6 kriteria berikut :
- Umur > 50 tahun - Umur > 50 tahun - Umur > 50 tahun
- Kaku pagi < 30 menit - Kaku pagi < 30 menit - Kaku pagi < 30 menit
- Krepitus - Krepitus - Krepitus
- Nyeri tekan + - Nyeri tekan
- Pembesaran tulang OSTEOFIT - Pembesaran tulang
- Tidak panas pada perabaan - Tidak panas pada
- LED < 40 mm / jam Perabaan
- RF < 1 : 40
- Analisis cairan sendi
Normal

1. Terapi non farmakologis:15


a. Edukasi: menjelaskan kepada penderita tentang seluk beluk penyakitnya, bagaimana
menjaganya agar tidak bertambah parah
b. Terapi fisik dan rehabilitasi: melatih pasien agar persendiannya agar tetap dapat
dipakai, evaluasi pola kerja dan aktivitas sehari- hari
c. Penurunan berat badan
2. Terapi farmakologis:15
a. Analgetik oral non opiad : asetaminofen, aspirin dan ibuprofen untuk
menghilangkan nyeri.
b. Analgetik topical : krim kapsaisin mengurangi nyeri pada ujung saraf local.
c. Obat Anti Inflamasi non Steroid (OAINS) : analgetik- antiinflamasi. Namun,
penggunaaannya harus dikontrol sebab banyak menyebabkan efek samping berupa
gastritis hingga ulkus peptikum.
d. Chondroprotective agent : obat- obat yang dapat menjaga atau merangsang
perbaikan tulang rawan sendi. Sebagian peneliti menggolongkannya dalam Slow
Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti
Osteoarthritis Drugs (DMOADs):
1) Tetrasiklin: menghambat kerja enzim MMP

23
2) Asam hialuronat (viscosupplement): memperbaiki viskositas cairan synovial,
diberikan intraarthrikuler.
3) Glikosaminoglikan: menghambat sejumlah enzim degradasi tuang rawan,
seperti hialuronidase, protease, elastase, dan katepsin.
4) Kondroitin sulfat: Kondroitin sulfat memiliki efek: antiinflamasi, efek
metabolic terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan, dan anti degradatif
melalui hambatan enzim proteolitik
5) Vitamin C: menghambat enzim lisozim.
6) Superoxide Dismutase: menghilangkan superoxide dan hydroxyl radikal yang
merusak asam hialuronat, kolagen, dan proteoglikan.
7) Steroid Intra-artrikuler: kejadian inflamasi kadang terjadi pada OA sehingga
mampu mengurangi rasa sakit, tetapi penggunaannya masih kontroversial.
3. Terapi bedah : jika terapi farmakologis tidak berhasil.

2.10. Penatalaksanaan Artritis Gout

Secara umum penanganan artritis gout dilakukan dalam 3 langkah yaitu: (1)
mengobati serangan akut, (2) melakukan profilaksis untuk mencegah peradangan akut
berulang dan, (3) menurunkan kadar asam urat yang berlebihan untuk mencegah
peradangan dan penimbunan kristal asam urat di jaringan. Langkah-langkah tersebut
dapat berupa pemberian edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan.
Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi atau komplikasi
lain, seperti pada ginjal. Pengobatan artritis gout akut bertujuan untuk menghilangkan
keluhan nyeri dan peradangan dengan kolkisin, OAINS, kortikosteroid, atau hormon
ACTH. Obat penurun asam urat seperti allopurinol atau obat urikosurik tidak boleh
diberikan pada stadium akut, namun pada pasien yang telah rutin mendapat obat
penurun asam urat sebaiknya tetap diberikan.10,11
Sebagai aturan umum, penderita hiperurisemia yang asimptomatis tidak perlu
diterapi, meskipun pada pemeriksaan USG menunjukkan adanya timbunan kristal
asam urat dalam jaringan lunak pada sebagian kecil pasien. 12,13 Namun pasien dengan
kadar asam urat lebih dari 11mg/dl yang mengeskresikan asam urat berlebihan lewat
urin beresiko tinggi terkena batu ginjal dan gangguan fungsi ginjal, sehingga perlu
dilakukan pemantauan fungsi ginjal.10

24
Tofus sebaiknya tidak dilakukan pembedahan kecuali jika berada di lokasi yang
kritis. Pembedahan baru diindikasikan bila terdapat komplikasi dari topus meliputi
infeksi, deformitas sendi, penekanan (seperti penekanan pada spinal cord ataupu cauda
ekuina oleh topus) dan nyeri yang tidak teratasi sebagai akibat erosi topus. Pada 50%
pasien yang menjalani pembedahan mengalami penyembuhan yang lambat.
Terapi pada serangan akut lebih diarahkan pada menghilangkan rasa nyeri dan
peradangan. Pilihan terapi untuk serangan akut yaitu NSAID, kortikosteroid, kolkisin
dan ACTH.13 NSAID diberikan full dose selama 2-5 hari, bila perbaikan, dosis
dikurangi hingga kira-kira setengah hingga seperempatnya. Pada dasarnya, NSAID
yang digunakan sebaiknya merupakan inhibitor yang selektif terhadap COX-2.13
Akan tetapi, di Indonesia sering digunakan indometasin dengan dosis150-200 mg/hari
selama 2-3 hari dan 75-100 mg/hari untuk minggu berikutnya atau sampai nyeri dan
peradangan berkurang. Dapat juga diberikan Naproxen 3x750 mg selama 2-3 hari
kemudian dilanjutkan 3x250 mg atau sodium diklofenak 3x50 mg. Adapun dosis
kolkisin adalah 1,2 mg inisial diikuti oleh 0,6 mg per jam hingga dosis total 4,8 mg
dalam waktu 6 jam. Di amerika, kolkisin sudah jarang digunakan.Kortikosteroid dan
ACTH diberikan apabila pemberian kolkisin dan NSAID tidak efektif atau
dikontraindikasikan.
Jika pasien tidak menunjukkan respon yang adekuat terhadap terapi inisial dengan
obat tunggal, ACR menyarankan untuk menambahkan obat kedua sebagai terapi
kombinasi.Selain itu, penggunaan terapi kombinasi dari awal juga sangat tepat untuk
serangan akut gout yang berat, khususnya bila menyerang banyak sendi besar
(poliartikular). Regimen kombinasi yang diterima yaitu:
 Kolkisin + NSAIDS
 Kortikosteroid oral + kolkisin
 Steroid intraartikular + kolkisin/NSAIDS

Pada stadium interkritik dan menahun tujuan pengobatan adalah untuk


menurunkan kadar asam urat hingga normal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan
kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan pemakaian obat
allopurinol bersama obat urikosurik lain.

25
2.11. Komplikasi

Deposit asam urat dapat menjadi batu dan menyebabkan nefrolitiasis urat. Insiden
meningkat dengan peningkatan eksresi asam urat. PH urine menurun, riwayat keluarga
atau diri sendiri pernah memiliki batu asam urat.

Dapat pula terjadi gagal ginjal akut setelah terjadinya pelepasan massif asam urat
yang berlangsung pada pasien yang telah mengalami pengobatan karena kelainan
mielo- atau limfoproliferatif.

2.11. Makanan yang Mengandung Purin

Dalam makanan sehari-hari, jumlah purin yang dikonsumsi sekitar 600-1000


mg/hari. Diet rendah purin hanya memperbolehkan seseorang mengkonsumsi bahan
makanan yang mengandung sekitar 100-150 mg purin/hari.

Berikut 6 Pedoman Diet Rendah Purin Bagi Penderita Asam Urat tersebut:

1. Hindari mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung tinggi purin


(sekitar 100-1000 mg purin/100 g bahan makanan) seperti : daging merah,
jerohan, roti manis, unggas, daging rusa, seafood seperti remis, kepah,
kepiting, udang, lobster, scallop, ikan-ikan kecil termasuk ikan teri, hering,
makarel, sarden, caviar.
2. Batasi konsumsi (masih boleh dikonsumsi, namun dalam jumlah terbatas (1 ½
ptg/hari) bahan makanan yang mengandung purin dalam jumlah sedang
(sekitar 9-100 mg purin/100 g bahan makanan), seperti: Daging sapi dan ikan
(kecuali yang terdapat dalam kelompok 1), ayam, udang, jamur, asparagus,
kembang kol, lentils, kacang kedelai, pisang, nangka, bayam, jagung manis,
tauge, buah yang dikeringkan, kacang kering dan hasil olah, seperti tahu dan
tempe, daun singkong, kangkung, daun dan biji melinjo.
3. Bahan makanan yang mengandung rendah purin, diperbolehkan untuk
dikonsumsi antara lain: Nasi, ubi, singkong, jagung, roti, mi, bihun, tepung
beras, cake, keju kering, puding, susu, keju, telur; minyak; gula; sayuran dan
buah-buahan (kecuali sayuran dalam kelompok 2).

26
4. Kurangi konsumsi lemak jenuh karena lemak jenuh akan menurunkan
kemampuan tubuh mengeluarkan asam urat.
5. Batasi alkohol, bir, ragi.
6. Minum air putih dalam jumlah cukup karena akan membantu mengeluarkan
asam urat dari tubuh

KERANGKA TEORI

Peradangan sendi ( nyeri,


merah, kaku)
Tampak tofus atau kelainan
pada MTP-1

Faktor resiko :
Pengetahuan
GOUT Usia
diet rendah
(AU > 6mg/dL) Jenis kelamin
purin
Pola makan
Pola Makan

Kuesioner

Pengetahuan :
Kurang Perilaku konsumsi diet purin:
Sedang Rendah
Baik Sedang
tinggi

27
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

3.2 Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Pangkalan Balai, Banyuasin,
Sumatera Selatan.

3.3 Jenis dan Sumber Data serta Populasi Penelitian


3.3.1 Jenis Data
Jenis penelitian ini adalah penelitian berbasis survei. Dalam penelitian survei,
penelitian tidak dilakukan pada seluruh obyek yang diteliti atau populasi, tetapi
hanya mengambil sebagian dari populasi yang mewakili populasi di tempat
tersebut.

3.3.2 Sumber Data


Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli
(tanpa melalui perantara) dengan melakukan metode survei. Data primer yang ada
dalam penelitian ini merupakan data hasil wawancara atau anamnesa kepada
masyarakat yang berkunjung ke Puskesmas Puskesmas Pangkalan Balai.

3.3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi adalah keseluruhan subyek yang mempunyai karakteristik tertentu
yang sesuai dengan penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang
berkunjung ke poliklinik umum dan lansia di Puskesmas Pangkalan Balai.

28
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti
dan dianggap mewakili seluruh populasi. Teknik pengambilan sampel secara
Consecutive sampling, karena semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria
pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan
terpenuhi .
Kriteria inklusi adalah karateristik umum subyek penelitian dalam penelitian ini
yaitu:
(1) Pasien yang berkunjung untuk berobat di Puskesmas Pangkalan Balai
(2) Pasien yang berusia 40 tahun - >= 60 tahun
(3) Pasien yang dapat membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan baik dan
bersedia untuk menjadi responden
Kriteria eksklusi adalah sebagian subyek yang tidak memenuhi kriteria inklusi
harus dikeluarkan dari studi. Kriteria eksklusi sampel dalam penelitian yaitu
sampel yang memenuhi syarat inklusi tetapi tidak bersedia menjadi sampel.

3.4 Pengolahan dan Analisis Data


Data yang diperoleh baik itu berupa hasil wawancara terhadap penderita dianalisa
berdasar tinjauan pustaka dan dideskripsikan secara naratif.

29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Hasil

Berdasarkan hasil terhadap 30 sampel, didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.1 Jenis Kelamin Responden


Jenis Kelamin Jumlah
Laki-Laki 18
Perempuan 12

Dari penelitian di dapatkan responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 18


orang, dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 12 orang.

Tabel 4.1 Usia Responden


Jenis Kelamin Jumlah
40-59 tahun 19
≥ 60 tahun 11

Dari penelitian di dapatkan responden yang berumur 40 – 59 tahun sebanyak 19 orang,


dan yang berumur ≥ 60 tahun sebanyak 11 orang.

Tabel 4.2 Pendidikan Terakhir Responden


Pendidikan Terakhir Jumlah
SD 6
SMP 11
SMA/Sederajat 8
Perguruan Tinggi 5

Pendidikan terakhir responden bervariasi, 6 orang memiliki pendidikan terakhir SD,


11 orang tamat SMP, 8 orang tamat SMA, dan 5 orang yang tamat Perguruan Tinggi.

30
Tabel 4.3 Tingkat Pengetahuan Responden
Pendidikan Terakhir Jumlah
Kurang 19
Sedang 8
Baik 3

Pada penelitian ini didapatkan hasil 19 responden memiliki pengetahuan kurang, 8


responden memilki pengetahuan sedang, dan 3 orang memilki pengetahuan yang baik akan
penyakit artritis gout.

Tabel 4.4 Faktor Resiko Responden Terhadap Arthritis Gout


Pendidikan Terakhir Jumlah
Tinggi 8
Sedang 17
Rendah 5

Pada penelitian ini didapatkan responden yang memiliki resiko tinggi 8 orang, resiko
sedang 17 orang, dan 5 orang memiliki resiko rendah untuk terjadinya insidensi terjadinya
penyakit artritis gout karena makanan yang responden konsumsi

Penilaian pengetahuan responden tentang asam urat dilakukan dengan memberikan 10


pertanyaan beserta 4 pilihan untuk tiap pertanyaan. Seluruh skor pertanyaan dijumlahkan
sehingga didapatkan skor total yang kemudian diklasifikasikan menjadi pengetahuan baik,
sedang dan kurang.

Pada penelitian ini didapatkan hasil 19 responden memiliki pengetahuan kurang, 8


responden memilki pengetahuan sedang, dan 3 orang memilki pengetahuan yang baik akan
penyakit artritis gout.

Penilaian perilaku makan secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan tabel


kuesioner frekuensi konsumsi bahan makanan dan minuman yang beresiko terhadap asam
urat dalam seminggu. Setiap bahan makanan diberi skor sesuai dengan frekuensi konsumsi
perminggu (daging, seafood, sayuran, buah, kopi, teh dan alkohol) dan diklasifikasikan
menjadi resiko rendah, sedang, dan tinggi. Batasan frekuensi yang kami gunakan untuk
penilaian terhadap perilaku makan dan minum adalah tidak pernah, jarang (mengkonsumsi

31
makanan/minuman kurang dari 1 kali perminggu), sering (mengkonsumsi makana/minuman
lebih dari 1 kali perminggu), dan setiap hari.

Setelah melakukan wawancara untuk mengisi kuesioner, didapatkan responden yang


memiliki resiko tinggi 8 orang, resiko sedang 17 orang, dan 5 orang memiliki resiko rendah
untuk terjadinya insidensi terjadinya penyakit artritis gout karena makanan yang responden
konsumsi.

Hampir separuh responden juga mengetahui bahwa terlalu banyak konsumsi makanan
mengandung protein dapat menyebabkan arthritis gout. Separuh responden tidak pernah
makan jerohan, tetapi separuh responden sering makan kangkung dan kacang-kacangan. Hal
tersebut menunjukkan belum diketahuinya makanan tersebut dapat menyebabkan arthritis
gout.

Secara umum hampir seluruh responden memiliki tingkat pengetahuan kurang dan
perilaku yang berisiko sedang sampai tinggi terkena arthritis gout. Selain itu, tampak bahwa
responden yang berpengetahuan rendah memiliki perilaku yang berisiko sedang sampai
tinggi.

4. 2 Pembahasan

Artritis gout adalah suatu sindroma klinis yang ditandai oleh episode artritis
akut dan berulang yang sering menyerang sendi kecil akibat adanya endapan kristal
monosodium urat dalam jaringan. Penimbunan kristal monosodium urat monohidrat
terjadi di jaringan akibat adanya supersaturasi asam urat. Faktor yang behubungan
dengan timbulnya arthritis gout antara lain, pola makan yang tidak terkontrol, obesitas,
jenis kelamin dan usia, genetic, kurang konsumsi air putih, gangguan ginjal dan
hipertensi. Asupan makan yang masuk ke dalam tubuh dapat mempengaruhi kadar
asam urat dalam darah. Makanan yang mengandung zat purin yang tinggi akan diubah
menjadi asam urat.

Berdasarkan data diatas, didapatkan adanya hubungan pengetahuan diet purin


terhadap insidensi penyakit arthritis gout. Makanan merupakan salah satu faktor resiko
meningkatnya kadar purin dalam darah. Kenyataan yang kami temukan masih banyak
masayarakat yang mengkonsumsi makanan tinggi purin, hal ini disebabkan
pengetahuan yang kurang tentang jenis makanan tinggi purin. Adanya fakta tersebut

32
merupakan masalah dikarenakan akan menyebabkan tingginya insidensi penyakit
arthritis gout.
Dari faktor pelayanan kesehatan kami menemukan bahwa masih kurangnya
penyuluhan terhadap penyakit arthritis gout dimana pengetahuan masyarakat tentang
arthritis gout sangat penting dalam menurunkan faktor resiko terjadinya arthritis gout.
Oleh karena itu kami memberikan pengetahuan sedikit mengenai arthritis gout dan
makanan yang mengandung purin pada saat wawancara responden.

33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan


penderita Gout Arthtritis di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan Balai masih kurang.

5.2 Saran
Perlu ditingkatkan sosialisas dan penyuluhan mengenai tentang asam urat normal
dan tindakan serta jenis-jenis makanan apa saja yang harus dibatasi dalam mencapai
kadar asam urat normal, serta menjelaskan pentingnya memeriksakan kadar asam urat
secara teatur ke pelayanan kesehatan terdekat.
Ditingkatkan jenis kegiatan seperti posyandu, posbindu atau pos lansia untuk
menjaring penderita hiperurisemia dan memberikan penyuluhan atau motivasi untuk
kontrol rutin kadar asam urat ke puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi IV. Pusat penerbitan departemen ilmu
penyakit dalam fakultas kedookteran indonesia, jakarta. Hal : 1208-1210.
2. Terkeltaub, Gout : Epidemiology, Pathology and Pathogenesis in Klippel (ed.), Primer on
the Rheumatic Diseases, Edisi 12, Athritis Foundation, Atlanta, 2010.
3. Andreoli TE. Bennett JC, carpenter CCJ. Plum F. Hyperuricemia anda Gout. In Cecil
Essentials of Medicine. 4th Ef. W.B Saunders Company, Philadelphia, London, Toronto,
2008
4. Nuki, Gout in Rheumatology, Medicine Int., 2009, 42(12): 54-59
5. Hidayat R. Hiperurisemia dan gout. Medicinus 2009; 22:47-50.
6. Dalbeth N, Haskard DO. Mechanisms of inflammation in gout.Rheumatology
2010;44:1090–6.
7. Choi HK, Mount DB, Reginato AM. Pathogenesis of gout.Annals of Internal Medicine
2011;143: 499-515.
8. Pope RM, Tschopp J. The Role of Interleukin-1 and the inflammasome in gout:
implications for therapy. Arthritis and Rheumatism 2007;56:3183–8.
9. So A. Developments in the scientific and clinical understanding of gout. Arthritis
Research & Therapy 2008;10:221- 6.
10. Sumariyono. Diagnosis dan tatalaksana artritis gout akut. In : Gustaviani R, Mansjoer A,
Rinaldi I eds. Naskah Lengkap Penyakit Dalam PIT 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI;2007.172-8.
11. Putra TR. Diagnosis dan penatalaksanaan artritis pirai. In: Setyohadi B, Kasjmir YI eds.
Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi 2008. Jakarta: 2008; 113-8.
12. Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, et al. 2008. Estimates of the prevalence of
arthritis and other rheumatic conditions in the United States. PartII. Arthritis Rheum.
58(1):26–35.
13. Rothschild BM. Gout and Pseudogout Treatment & Management. Emedicine online.
2015. Accessed from: http://emedicine.medscape.com/article/329958-
treatment#aw2aab6b6b2
14. De Miguel E, Puig JG, Castillo C, Peiteado D, Torres RJ, Martín-Mola E. Diagnosis of
gout in patients with asymptomatic hyperuricaemia : a pilot ultrasound study. Ann Rheum
Dis. Jan 2012;71(1):157-8.

35
15. Soeroso, Joewono. Isbagio, Harry. dkk. Osteoartritis. Dalam: Sudoyo, Aru W. dkk. Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta. Penerbit Interna Publishing. 2009.
Hal: 2538-2548.
16. Burns, Dennis K. Penyakit Sendi. Dalam: Hartanto, Huriawati. Robbins: Buku Ajar
Patologi Volume 2. Edisi 7. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.2007. Hal: 862-864.
17. Carter, Michael A. Osteoartritis. Dalam : Hartanto, Huriawati. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses- proses Penyakit Volume 2. Edisi 6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2006. Hal:1380-1383.
18. Michael, S. Osteoarthritis. http://www.seniorjournal.com. Diakses 14 juni 2015.
19. Roland, D. Osteoarthritis Investigation. http://www.orthoanswer.org. Diakses 14 juni
2015.
20. Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis : Degenerative Joint
Disease and Variation. Radiology. 248(3):737–747.
21. Kasmir, Yoga. 2009. Penatalaksanaan Osteoartritis. Sub-bagian Reumatologi, Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

36
LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner penyuluhan “Waspadai Asam Urat”

Identitas Responden
Nama :
Usia :
Pekerjaan :
Pendidikan :

I. Lingkari/silang/tandailah jawaban yang dirasa paling tepat


1. Bagian tubuh mana yang sering mengalami penyakit asam urat.
a. Ginjal
b. Sendi
c. Jaringan lemak
d. Tidak tahu
2. Apa saja gejala penyakit asam urat itu?
a. Tidak bisa menggerakan kaki dan tangan (lumpuh)
b. Nyeri seluruh tubuh
c. Nyeri sendi, merah, terasa panas
d. Tidak tahu
3. Apa penyebab penyakit asam urat itu?
a. Terlalu banyak konsumsi makanan mengandung protein purin
b. Terlalu banyak aktivitas fisik
c. Kurang makanan yang begizi
d. Tidak tahu
4. Siapa yang paling banyak menderita penyakit asam urat?
a. Wanita muda
b. Laki - laki dewasa
c. Anak - anak
d. Tidak tahu
5. Makanan apa yang berhubungan dengan penyakit asam urat?
a. Jerohan
b. Tempe
c. Nasi
d. Tidak tahu
6. Minuman apa yang berhubungan menimbulkan penyakit asam urat?
a. Madu
b. Susu
c. Alkohol
d. Tidak tahu
7. Apa yang dilakukan untuk mencegah penyakit asam urat?
a. Menghindari makan jerohan
b. Banyak mengkonsumsi kacang-kacangan
c. Makan ikan laut
d. Tidak tahu

37
8. Apa yang dapat dilakukan jika terkena penyakit asam urat?
a.Dikompres air hangat
b. Istirahat dan minum obat penghilang nyeri
c. Menghindari alkohol
d. Tidak tahu
9. Apakah komplikasi tersering dari penyakit asam urat?
a. Hepatitis
b. Kerusakan ginjal
c. Kanker
d. Tidak tahu
10. Umur berapa yang sering terkena asam urat?
a. Lebih dari 40 tahun
b. 20 sampai 40 tahun
c. Di bawah 20 tahun
d. Tidak tahu

Keterangan :

Hasil Penilaian :
1. Benar 7-10 : pengetahuan baik
2. Benar 4-6 : pengetahuan sedang
3. Benar ≤ 3 : pengetahuan kurang

38
Lampiran 2 Kuesioner perilaku makan dan minum yang berhubungan dengan arthritis
gout

Petunjuk pengisian :
a. Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda centang (√) diantara
pilihan kolom Melakukan / Tidak Melakukan
b. Jawablah pertanyaan di bawah ini sesuai dengan yang Anda ketahui.

No. Pernyataan Melakukan Tidak


Melakukan
1. Saya selalu mengontrol kadar asam urat setiap 1 – 2 bulan
sekali
2. Saya membatasi mengkonsumsi makanan yang
mengandung purin tinggi seperti jeroan, ikan, udang,
kepiting, melinjo/ganemo, singkong/kasbi, daun papaya,
& kangkong
3. Saya mengkonsumsi buah dan sayuran segar setiap hari.
4. Saya selalu minum obat untuk mengontrol kadar asam
urat secara teratur.
5. Saya membatasi makanan yang telah dijelaskan dokter/
petugas kesehatan untuk menurunkan kadar asam urat
6. Saya bertanya kepada petugas kesehatan tentang
penyebab, faktor resiko dan cara pencegahan serta
pengobatan kadar asam urat yang tinggi pada saat
memeriksakan diri ke petugas kesehatan.

7. Jika merasa nyeri pada sendi, pergelangan tangan - kaki


serta jari-jari tangan – kaki, saya akan langsung
mengkonsultasikannya ke petugas kesehatan.

No Jenis makanan dan Tidak jarang Sering Setiap hari

39
. minuman pernah
1. Daging sapi
2. Daging kambing
3. Jeroan
4. Emping
5. Udang
6. Toge
7. Buncis
8. Kangkung
9. Kol
10. Jengkol
11. Kacang-kacangan
12. Pete
13. Durian
14. Kopi
15. Teh
16. Alkohol
Keterangan :
 Hasil Penilaian :
o tidak pernah :0
o jarang ( bila konsumsi kurang dari 1 kali perminggu ) :1
o sering ( bila konsumsi lebih dari 1 kali perminggu ) :2
o setiap hari :3
 Kriteria
Resiko rendah bila nilai 0-16
Resiko Sedang bila nilai 17-31
Resiko tinggi bila nilai 32-48

40
41
Lampiran 3. Foto Kegiatan

42
43
44
45

Anda mungkin juga menyukai