Anda di halaman 1dari 15

Orang Bati

By: Tika Widya

Malika keluar dari rumah kepala desa. Ia


membanting pintu tepat di muka Ahver sembari
berteriak marah, “Kamorang1 panggil lagi saya setelah
lulus sakola2!” Tak lagi didengarnya jawaban Ahver.
Malika mengeraskan genggaman tangannya, menahan
marah. Ia menarik napas panjang sekali dua sebelum
akhirnya membalikkan badan dan berjalan ke tempat
anaknya menunggu.

Ketika Malika menghampirinya, Kinara sedang


memandangi kerikil di kakinya. Malika bisa merasakan
kerisauan di hati anaknya. Kinara seperti air. Air yang
arusnya deras di dalam tapi tenang di luaran.
Membesarkan Kinara selama tiga belas tahun, membuat
Malika mencintai derasnya. Mereka berdua berjalan
perlahan pulang ke sebuah pondok mungil di atas bukit.

1
Kalian
2
Sekolah
Malika membuka pintu rumahnya. Pondok itu
seperti oasis di padang pasir bagi mereka berdua. “Ose
taru akang di situ dolo3,” Malika meminta anaknya
meletakkan amanisal4 di meja dapur. Malika menyiapkan
air di kamar mandi. “Ose mandi dulu sini,” Kinara
menghampiri Malika lalu melepaskan bajunya satu per
satu. “Airnya dingin tidak?” Malika menggeleng. Air
daerah pesisir tidak pernah dingin.

Tak lama kemudian, Kinara sudah berendam di


dalam ember kayu yang tampak terlalu kecil untuk
badannya yang semakin tinggi. Malika membasuh wajah
putrinya yang penuh lumpur, ketika kemudian Kinara
bertanya, “Mama, apa beta merepotkan?” Malika
menelisik wajah putrinya yang tetap saja seperti air
tenang. “Tidak,” sejauh Malika bisa mengingat Kinara
adalah satu-satunya hal yang membuat hidupnya
bahagia.

“Mama tidak takut sama beta?” Kinara bertanya


lagi sembari berusaha menjangkau punggungnya. Malika

3
Kamu taruh itu di situ dulu
4
Keranjang ikan
bergerak ke punggung Kinara dan membantu anaknya itu
menggosok punggung. Kinara terlahir dengan benjolan
besar di punggungnya yang membuat dia tidak tampak
seperti anak berusia tiga belas tahun biasanya. Ia harus
berjalan bungkuk membawa benjolan yang semakin
tahun tumbuh semakin besar. Dukun desa berkata ini
kutukan. Kutukan karena Malika hamil tanpa nikah.
Kinara lahir tanpa bapak.

“Kenapa saya harus takut sama Ose?” Malika


membalas dengan pertanyaan. Kinara menunduk diam.
Malika menduga bahwa Kinara sedang berusaha mencari
penjelasan yang tepat. Kinara memulai jawabannya
dengan menghela napas panjang. “Dorang5 bilang beta
itu Orang Bati6 yang makan semua ternak dorang.
Makanya dorang lemparkan lumpur kepada beta.”
Malika menghetikan segala kegiatan menggosok luka
dan lebam. Ia memastikan putrinya mendongak melihat

5
Mereka
6
Orang Bati adalah makhluk mistis memiliki sayap kelelawar dan
dipercaya suka makan bayi manusia. Orang Bati tidak sama dengan
Orang Suku Bati.
wajahnya dengan jelas ketika berkata, “Mama tak lihat
ose punya sayap seperti Orang Bati.”

“Apalagi suka makan bayi”, sambut Kinara.


Mereka berdua pun tertawa. Ini bukan pertama kalinya
meski ini mungkin yang terparah. Sudah bertahun-tahun,
Malika dan Kinara diperlakukan seperti penduduk desa
kelas dua. Mereka sering kali dipersalahkan untuk
sesuatu yang tak pernah mereka lakukan. Malika
dikucilkan karena dulu mereka percaya bahwa Bapak
Malika adalah seorang dukun ilmu hitam. Sedangkan,
Kinara dikucilkan karena mereka tidak suka anak cacat.
Mungkin, nasib ini sudah turunan. Mungkin, sebuah
pulau terpencil dengan penduduk tak lebih dari seratus
jiwa memang selalu curiga terhadap perbedaan.

“Kinara, nelayan yang handal tidak pernah lahir


dari laut yang tenang. Laut katong7 ini bergelombang,
tapi Mama tetap mencintai Ose. Ose anak mama
satu-satunya,” Malika mengusap rambut basah Kinara
dan beranjak untuk mengambil selembar handuk.
“Mama juga satu-satunya untuk beta, apalagi beta tak

7
Kita
punya papa.” Langkah Malika terhenti. Kinara berdiri
keluar dari ember dan akhirnya mengambil handuknya
sendiri. Malika keluar dari kamar mandi dan menyiapkan
makanan. Mereka berdua makan sup ikan sambil banyak
bercanda hari itu.

Malam tiba dengan langit keunguan


menggantung di atas pulau kecil mereka. Terdengar
ketukan di pintu pondok mungil itu. “Malika, betong8
perlu bicara,” Malika mendengar suara Ahver sang
kepala desa dari luar rumahnya. Wajah Malika mengeras.
Ia membuka pintu rumahnya dan mendapati puluhan
warga desa membawa obor menunggunya. Seketika
Malika mengepalkan tangannya, “apalagi yang
kamorang mau?” Ahver mengusap keringat dari
keningnya, “Beta sudah tidak bisa menghentikan
dorang.” Malika mengernyit dan terlihat seperti hendak
menerkam Ahver.

“Tak perlu banyak bicara, seret dorang badua9


sekarang!” sebuah suara yang berasal dari kerumunan

8
Kami
9
Mereka berdua
massa memberikan komando. Malika mengenali suara
itu dan dengan cepat menemukan wajah si lelaki yang
menyeruak di antara kerumunan. “Apalagi yang mau ose
ambil dariku, Bora?” Malika menjerit marah. Sayangnya
sebelum Malika sempat menyerang lelaki bernama Bora
itu, beberapa lelaki lainnya dengan sigap menyergap dan
membungkam Malika. Tak hanya itu, mereka menyeret
Kinara ke luar dari rumah. Malika berontak. Tapi
umumnya, seorang wanita tidak bisa mengalahkan empat
orang laki-laki sekaligus dalam hal adu fisik, tak
terkecuali Malika.

Warga menggelandang Malika dan Kinara ke


Tebing Tinggi. Dinamai begitu karena memang tempat
tersebut adalah tebing tertinggi di pulau kecil mereka
yang langsung menghadap ke laut lepas. Deburan ombak
memecah karang terdengar seperti gemuruh. Langit tak
lagi ungu. Malika serta merta menyadari apa yang
mereka inginkan. Ketakutan bergelayut menghampirinya
bersamaan dengan datangnya awan mendung. Ia
memberontak lebih keras, ketika akhirnya mereka
melepaskannya.
“Lepaskan ana parampuang10 beta!” Malika
melepaskan genderang kemarahannya sekaligus. Sebuah
parang kemudian ditempatkan di leher Kinara bersamaan
dengan jawaban Bora, “Katong tak mau serepot ini juga
kalo bukan karena kepentingan desa.” Ahver si kepala
desa tiba berlarian di belakang Bora. “Bayi Ua Maria
meninggal, Malika!” Ahver menjelaskan. Malika
menggeleng, “Itu tak ada hubungannya dengan beta dan
Kinara!” Bora berjalan ke tengah-tengah Malika dan
Ahver. Bora meletakkan ujung parangnya tepat di bawah
dagu Malika. “Mulut ose masih juga lantang!” Malika
serta merta meludahi wajah Bora. Bora mengangkat
parangnya ketika Ahver berteriak, “Cukup!”.

Semakin banyak warga berdatangan ke Tebing


Tinggi. Kasak-kusuk meninggi. Malika dapat mendengar
banyak dari mereka menuntut suatu penghakiman atas
anak perempuannya. Mereka semua menuduh Kinara
sebagai penyebab satu-satunya kematian bayi Ua Maria.
Orang Bati, begitulah mereka menamai anak perempuan

10
Anak perempuan
Malika. Orang Bati ini adalah makhluk mistis bersayap
yang dipercaya suka memakan bayi.

Ketika tak ada lagi yang datang, Ahver


menghentikan dengungan khalayak dengan mengajak
mereka berdoa, sesuai keyakinan masing-masing
tentunya. “Lucu!” bentak Malika, “Kamorang menyeret
ana beta ke tebing untuk berdoa! Lalu apa? Berharap
setan keluar dari tubuh batong begitu?” Bora menyergap
Malika dari belakang dan membungkam mulut Malika
dengan tangan lebarnya, “Ose yang meminta ini,
Malika” Bora berbisik dengan napas memburu di telinga
Malika. Malika mengernyit jijik ketika merasakan
sesuatu mengeras di belakangnya.

“Seperti yang kamorang dengar, benar, bayi Ua


Maria yang lahir hari ini meninggal sesaat setelah
menyentuh tanah pulau,” Ahver memulai. Beberapa
warga nampak terkejut. Beberapa mulai bergumam satu
sama lain sambil menunjuk ke arah Kinara. Malika
melirik Kinara dengan kekhawatiran yang terus
memuncak. Ketakutan hinggap dan menjalar ke seluruh
tubuh Malika secepat kilat. “Tidak pernah sekalipun hal
ini terjadi sebelumnya. Beta bisa memahami
kekhawatiran kamorang. Ketika ada kejanggalan, maka
katong sebagai penerus roda kehidupan pulau harus
segera mengatasinya bagaimanapun caranya!” Pidato
Ahver disambut meriah oleh warga. Malika berusaha
memberontak tetapi Bora terlalu kuat.

Ahver menghampiri Kinara. Sebelum Ahver


membuka mulutnya, Kinara terlebih dahulu bertanya.
“Jika beta menurut, apa ose akan lepaskan Mama?”
Malika berusaha memberontak sekali lagi ketika
mendengar kata-kata ini, masih percuma. Ahver
mengangguk pelan. Malika bisa melihat anaknya itu
melemparkan tatapan tajam kepada Ahver. Gadis itu
tampak sedang menimbang-nimbang sejenak apakah
lawan bicaranya bisa dipercaya.

Tak berapa lama, Malika bisa melihat Kinara


menganggukan kepala tanda persetujuan. Ahver
menengok Malika yang sedang mengawasi dari jarak
beberapa depa. Tatapannya melembut sepersekian detik.
Kemudian ia membalikkan badan dan membisikkan
sesuatu di telinga Kinara. Susah payah Malika berusaha
untuk mendengar, tapi setiap kata terlumat oleh derasnya
ombak dan kasak-kusuk warga. Ahver akhirnya meminta
para warga melepas Kinara dari sergapan mereka.

Melihat Kinara dilepaskan membuat Malika


seketika bernapas lega. Ketakutan menjelma menjadi
sesuatu yang hangat di dada. Mungkin akhirnya mereka
semua tersadar dari kegilaan ini, lalu memutuskan untuk
membebaskan putrinya. Syukur, ia pun menghela napas
panjang sekali lagi. Badai mungkin sudahlah selesai.

Tetapi, kenyataan berkata sebaliknya. Apa yang


terjadi berikutnya sama sekali tidak bisa diduga oleh
Malika. Kinara melemparkan senyum tipis kepada
Malika lalu berlari dan meloncat dari tebing. Mulanya
Malika tidak paham apa yang terjadi. Tapi, sedetik
kemudian perih menghujam bagai belati. Bora
melepaskan Malika yang lalu berlari ke pinggir tebing
dan meraung-raung menangisi anak semata wayangnya.
Ombak terus berdebur dan langit mulai bergemuruh
hujan. Pekikan Malika bersatu dengan alam yang
bergolak.
Ahver menghampiri Malika dalam diam. Malika
bisa merasakan sentuhan tangan Ahver di pundaknya.
Kesedihan itu tiba-tiba saja berubah menjadi sebentuk
amarah dan dendam. Malika berlari mendadak ke arah
Bora yang terkejut kemudian berhasil merampas parang
Bora dari sarungnya. Diayunkan parang itu sambil
menangis dan tertawa. Bora mundur teratur. Malika
benar-benar sudah gila sekarang. “Malika…” Ahver
berusaha menenangkannya. Malika mengacungkan
parang itu ke leher Ahver yang kemudian mengangkat
tangannya.

“Diam!”, jerit Malika. “Tutup saja mata ose


seperti empat belas tahun lalu,” pandangan mata Malika
seperti pisau menembus kepala Ahver. Dalam keadaan
ini, warga tidak berani mendekat. Leher kepala desa
mereka dipertaruhkan. “Katakan pada dorang, apa yang
sudah orang-orang itu lakukan pada beta!” Malika terus
mengacungkan parang ke leher Ahver. “Malika, dulu
beta bukan siapa-siapa. Sekarang keadaannya sudah
berbeda,” jawab Ahver. “Jika benar keadaan berubah,
kenapa bukan kelima laki-laki itu yang ose seret ke
Tebing Tinggi?” tuntut Malika. Sebelum Ahver sempat
menjawab, Malika tertawa janggal. “Tentu saja,
parampuang seperti Malika dan Kinara tidak cukup
berharga untuk ose bela. Ose melihat bora dan
kawan-kawannya memperkosa beta, tapi ose diam saja.
Kenapa bukan kepala dorang yang menggelinding di
sini? Kenapa harus ana parampuang beta?!” pekik
Malika.

“Tahukah ose neraka apa yang beta alami sejak


saat itu?” air mata Malika yang menggenang bercampur
menjadi satu dengan hujan. Malika mengenang
bagaimana terkejut dan takutnya ia ketika mengetahui
bahwa ia hamil sebagai hasil dari perkosaan para lelaki
bajingan itu. Malika mengenang betapa usahanya
membenci luluh lantak saat pertama kali menggenggam
Kinara yang lahir berbeda dan sungguh
membutuhkannya sebagai ibu. Malika tertawa.
Bahagianya bersumber dari suatu kemalangan. Mungkin
sudah nasibnya hidup terkucil. Ialah yang membawa sial
bagi Kinara. Kinara adalah korban dari ketidakadilan
yang tak pernah terselesaikan. Malika menoleh ke
kumpulan warga yang sebagian sedang terkejut. Bora
dan kawan-kawannya sudah pergi, tak nampak.
Kalaupun mereka tetap di sini, Malika juga tidak yakin
bisa melawan mereka sekaligus. Dendam ini ternyata
memang harus usai oleh ketidakmampuannya.

Ahver jatuh bersujud. “Maafkan beta, Malika!”


Ahver menangis tersedu. Pria ini cuma bisa menangis.
Bagaimana mungkin dia akan menghukum kelima pria
bajingan yang sedang kabur entah ke mana itu. Yang bisa
pria itu lakukan hanyalah memaksa putri tunggal Malika
terjun dari Tebing Tinggi. Amarah kembali memuncak,
Malika menebas ke arah Ahver. Tapi ia ternyata hanya
mampu membuat goresan di pipi Ahver. Malika tertawa
lagi menyadari ketidakbecusannya. Dia tidak berdaya
dan tidak punya siapa-siapa lagi. “Ahver…” bisik
Malika, “Pengecut seperti ose ternyata memang hidup
lebih lama” Malika berlari kencang kemudian meloncat
mengikuti jejak putrinya.

Malika menyerahkan tubuhnya pada ketiadaan.


Dia tidak berteriak. Dia hanya diam menikmati
detik-detik terakhir sisa hidupnya. Malika melemparkan
senyum selamat tinggal ketika sesuatu mencengkram
pundaknya dan menghentikan jatuhnya. Ia menoleh ke
atas dilihatnya sepasang sayap seperti kelelawar
mengepak pelan. Malika terkesiap. Ia mengenali wajah
itu. Putrinya masih hidup. Kinara terbang dengan gagah
dan menyelamatkannya dari kematian. Benjolan di
punggung Kinara telah berganti menjadi sepasang sayap.
Putrinya ternyata memang benar-benar Orang Bati yang
mereka gunjingkan.

Kinara membawa Malika kembali ke puncak


Tebing Tinggi. Dalam hati, Malika berani bertaruh
bahwa beberapa orang dari kerumunan penduduk desa
pasti sudah pingsan melihat ini semua. Ahver lari
terbirit-birit seakan tahu apa yang akan menimpanya.
Desa ini memang aneh. Mereka menghabiskan belasan
tahun menuding anaknya Orang Bati tapi lari ketakutan
ketika rumor yang mereka mulai itu memang benar
adanya. Kinara mendaratkan Malika perlahan. “Mama,
nelayan yang kuat tidak pernah lahir dari laut yang
tenang,” Malika berkaca-kaca mengangguk. Putus asa
berlalu seketika mengetahui anaknya tetap hidup.
Semistis apapun ia dan semistis apapun caranya, Malika
tidak peduli.

Kinara lalu meminta mamanya itu memejamkan


mata. Malika menurut saja. Sesekali Malika mendengar
jeritan suara manusia. Sesekali ia mencium bau anyir
dari cairan kental yang terlempar ke arahnya. Malika
tertawa dalam diam. Rasakan. Pembalasan dendam
memang benar manis adanya.

Anda mungkin juga menyukai