Anda di halaman 1dari 10

Machine Translated by Google

Seri Konferensi IOP: Ilmu Bumi dan Lingkungan

KERTAS • AKSES TERBUKA Anda mungkin juga suka


- Hubungan Kualitas Lingkungan dengan
Kebijakan fiskal dan kualitas lingkungan di Sektor Perikanan di
Indonesia Shanty Oktavilia, Reikha
Indonesia Habibah Yusfi, Firmansyah dkk.
- Penilaian Kualitas Lingkungan Tanah di
Mengutip artikel ini: YL Purnamadewi et al 2019 Konferensi TIO Ser.: Lingkungan Bumi. Sains. 399 012051 Area Pemandangan Air Terjun
Huangguoshu Rongbin Luo, Kaiyu Feng, Bo Gu dkk.
- Kendala pada Pembangkitan Chondrule,
Dinamika Disk, dan Akresi Asteroid dari
Komposisi Meteorit Karbon James FJ
Lihat artikel online untuk pembaruan dan penyempurnaan.
Bryson
dan Gregory A.
Brenneka

Konten ini diunduh dari alamat IP 103.147.118.103 pada 05/09/2023 pukul 08:54
Machine Translated by Google

ISENREM 2019 Penerbitan IOP


Konferensi TIO Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan 399 (2019) 012051 doi:10.1088/1755-1315/399/1/012051

Kebijakan fiskal dan kualitas lingkungan di Indonesia

YL Purnamadewi1,3 , MD Orchidea2 dan S Mulatsih1


1
Universitas IPB
2
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

E-mail: yetilispurnama@yahoo.com

Abstrak. Kualitas lingkungan hidup di tingkat nasional yang diukur dengan Indeks Kualitas
Lingkungan Hidup (IKLH) dalam sepuluh tahun terakhir mengalami fluktuasi, padahal pemerintah
daerah dan pemerintah pusat menaruh perhatian yang besar terhadap penanganan masalah
lingkungan terkait pentingnya pencapaian pembangunan berkelanjutan, kependudukan tekanan
dan sumber daya alam yang terbatas. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah mengkaji
secara spasial kualitas lingkungan dan alokasi anggaran pemerintah dalam mengatasi
permasalahan tersebut serta menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap kualitas lingkungan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya sebagian provinsi yang memiliki kualitas lingkungan
yang baik karena sebagian besar kondisi tutupan air dan lahan (TL) provinsi tersebut masih relatif
rendah. Berdasarkan analisis Klassen Typology, provinsi yang paling berperan dalam masalah
kualitas lingkungan air dan TL adalah seluruh provinsi di Pulau Jawa kecuali DI Yogyakarta,
Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Bali dan Kalimantan Timur. Sedangkan hasil analisis model
ekonometrika data panel menunjukkan bahwa kebijakan fiskal berpengaruh signifikan terhadap
peningkatan kualitas lingkungan, hanya bersifat inelastis. Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan
fiskal dalam penanganan kualitas lingkungan, alokasi anggaran pemerintah harus lebih difokuskan
pada peningkatan kualitas lingkungan air dan TL di provinsi yang paling banyak menyumbang masalah.
Kata kunci: dana dekonsentrasi, data panel, indeks kualitas lingkungan, provinsi

1. Pendahuluan Isu
lingkungan mengubah paradigma pembangunan dari orientasi pertumbuhan ekonomi menjadi pembangunan yang lebih
berkelanjutan. Bappenas (2015) menyatakan bahwa pola pembangunan ke depan adalah pembangunan berkelanjutan yang
tidak hanya berorientasi pada aspek ekonomi, tetapi juga mencakup aspek kelembagaan sosial dan lingkungan. Tidak mudah
untuk memenuhi ketiga pilar pembangunan sekaligus karena seringkali peningkatan taraf hidup ekonomi dan sosial harus
dibayar cukup mahal dengan kerusakan lingkungan dengan banyaknya bencana alam yang ditimbulkan [1]. Tekanan penduduk
dan perkembangan industri menyebabkan degradasi lingkungan yang terus berlanjut, baik kerusakan lingkungan air, tanah
maupun udara [2], [3].

Oleh karena itu dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 isu lingkungan hidup menjadi
isu strategis sehingga salah satu urusan wajib baik pemerintah pusat maupun daerah untuk terus melakukan pengendalian
lingkungan hidup. Dalam kaitan ini, Pemerintah Indonesia berkomitmen kepada dunia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca
baik secara mandiri maupun dengan dukungan internasional yang diharapkan dapat tercapai pada tahun 2020.

3
Kepada siapa korespondensi harus ditujukan (yetilispurnama@yahoo.com)

Konten dari karya ini dapat digunakan di bawah ketentuan lisensi Creative Commons Attribution 3.0. Setiap distribusi lebih lanjut dari karya
ini harus mempertahankan atribusi kepada penulis dan judul karya, kutipan jurnal dan DOI.
Diterbitkan di bawah lisensi oleh IOP Publishing Ltd 1
Machine Translated by Google

ISENREM 2019 Penerbitan IOP


Konferensi TIO Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan 399 (2019) 012051 doi:10.1088/1755-1315/399/1/012051

Upaya nyata pemerintah dalam melestarikan fungsi lingkungan hidup adalah melalui kebijakan fiskal dimana
pemerintah pusat dan daerah wajib menerapkan instrumen ekonomi lingkungan, salah satunya adalah instrumen
ekonomi lingkungan sebagai pendanaan lingkungan, sebagaimana Pasal 45 UU No. 32 Tahun 2009. Namun,
secara rata-rata, anggaran fungsi lingkungan di daerah relatif kecil, kurang dari satu persen dari total APBD.
Rendahnya anggaran berbasis lingkungan di daerah karena keterbatasan kemampuan fiskal mendorong
pemerintah pusat mengalokasikan dana dekonsentrasi lingkungan hidup ke tingkat provinsi, dimana keterbatasan
alokasi APBD dikhawatirkan akan menghambat pencapaian target prioritas nasional dalam pengendalian
kerusakan lingkungan. .

Kondisi fiskal pemerintah pusat yang memungkinkan dan komitmen dalam mengarusutamakan kelestarian
lingkungan hidup dalam pembangunan ekonomi, menyebabkan alokasi dana dekonsentrasi bidang lingkungan
hidup terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan sejak tahun 2012 pengalokasian dana tersebut bervariasi
antar daerah tergantung pada kondisi sumber daya dan permasalahan lingkungan yang dihadapi dengan harapan
dapat memenuhi target indikator kinerja utama di bidang pengelolaan lingkungan hidup, seperti tercapainya upaya
pengurangan beban pencemaran, pengendalian pencemaran lingkungan. kerusakan lingkungan, dan meningkatkan
kapasitas. Terkait dengan masalah degradasi lingkungan, penciptaan kerangka kerja kebijakan lingkungan yang
konsisten, koheren dan efektif sangat penting untuk menjaga lingkungan alam yang mendukung kesejahteraan
dan memungkinkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi jangka panjang [4]. Hal senada juga dikemukakan
bahwa anggaran lingkungan (green budgeting) merupakan faktor penting bagi ekonomi berkelanjutan [5].

Namun kualitas lingkungan yang diukur dengan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) pada periode 2009
hingga 2017 relatif stagnan (gambar 1) sehingga pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana
pengaruh kebijakan fiskal khususnya alokasi dana dekonsentrasi terhadap kondisi kualitas lingkungan? Untuk
menjawab permasalahan tersebut, tujuan penelitian ini adalah (1) mengkaji kondisi kualitas lingkungan secara
spasial berdasarkan kondisi total dan menurut tiga aspek lingkungan yaitu Indeks Kualitas Air (IKA), Indeks
Kualitas Udara (IKU) dan Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL) dan (2) Menganalisis dampak kebijakan fiskal,
alokasi dana dekonsentrasi terhadap kualitas lingkungan.

2. Metode Penelitian Penelitian


ini menggunakan data panel sekunder yang meliputi data time series tahunan periode 2009-2017 dan data cross
section dari 34 provinsi di Indonesia. Data atau variabel utama yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari
Badan Pusat Statistik atau BPS Statistik Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dalam menjawab tujuan penelitian, metode analisis yang digunakan adalah Klassen Typology dan model
ekonometrika. Metode analisis Klassen's Typology digunakan untuk menilai kualitas lingkungan secara spasial
dan menurut aspeknya. Sedangkan model ekonometrika digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan fiskal
terhadap kualitas lingkungan.
Kualitas lingkungan dalam penelitian ini mengacu pada keputusan Kementerian Lingkungan Hidup yang
dikembangkan pada tahun 2009 dimana untuk mengukur kualitas lingkungan di suatu daerah menjadi lebih baik
atau sebaliknya adalah dengan menggunakan indeks kualitas lingkungan (IKLH). Konsep IKLH dibangun atas tiga
aspek kualitas, yaitu kualitas air, kualitas udara, dan kualitas tutupan lahan, dalam hal ini tutupan hutan.
Berdasarkan Kementerian Lingkungan Hidup (2013), kategori klasifikasi skor IKLH adalah (1) Unggul untuk nilai
IKLH ÿ 90; (2) Sangat baik, untuk nilai IKLH 82 < 90; (3) Baik, untuk nilai IKLH 74 <82; (4) Cukup, untuk IKLH 66
ÿ 74; (5) Buruk, untuk IKLH 58 ÿ 66; (6) Sangat Kurang, untuk IKLH 50 ÿ 58; (7) Waspada, untuk nilai IKLH ÿ 50.

Metode analisis Klassen Typology pada prinsipnya digunakan untuk mencari gambaran pola dan struktur
pertumbuhan ekonomi setiap daerah berdasarkan dua indikator utama yaitu pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan per kapita daerah sehingga diperoleh empat karakteristik daerah yaitu (1) cepat-cepat. forward and
fast-growth (pertumbuhan tinggi dan pendapatan tinggi); (2) daerah maju tapi tertekan (pendapatan tinggi tapi
pertumbuhan rendah), (3) daerah berkembang cepat (pertumbuhan tinggi tapi pendapatan rendah), dan daerah yang relatif tertingga

2
Machine Translated by Google

ISENREM 2019 Penerbitan IOP


Konferensi TIO Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan 399 (2019) 012051 doi:10.1088/1755-1315/399/1/012051

(pertumbuhan rendah dan pendapatan rendah) [6]. Pada penelitian ini, metode analisis ini dimodifikasi secara khusus
dalam hal indikator utama yang digunakan yaitu indikator nilai kualitas lingkungan dan indikator pertumbuhan nilai kualitas
lingkungan yang meliputi kualitas lingkungan total dan seluruh aspek (IKLH, IKA, IKU dan IKTL) sehingga empat tipologi
wilayah akan dihasilkan wilayah atau posisi relatif wilayah terhadap kualitas lingkungannya yang biasanya digambarkan
dalam empat kuadran dan kali ini untuk memudahkan membuat tabulasi berdasarkan kuadran seperti dapat dilihat pada
tabel 1.

Tabel 1. Posisi relatif Kualitas Lingkungan tiap provinsi berdasarkan Tipologi Klassen.

Posisi wilayah
Tipe atau posisi kualitas lingkungan wilayah
Kuadran 1 Nilai rata-rata dan pertumbuhan kualitas lingkungan yang
tinggi (high growth and high quality of environment)
Kuadran 2 Rata-rata nilai kualitas lingkungan rendah dan pertumbuhan tinggi
(high growth and low quality of environment)
Kuadran 3 Kuadran 3 : Rata-rata nilai kualitas lingkungan tinggi dan pertumbuhan rendah
(low growth and high quality of environment)
Kuadran 4 Kuadran 4: Rata-rata dan pertumbuhan nilai kualitas lingkungan rendah
(low growth and low quality of environment)

Untuk menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap kualitas lingkungan digunakan model ekonometrika data panel
dimana terdapat tiga model yang dianalisis. Berdasarkan hasil uji Chow, uji Hausman dan uji Breusch-Pagan Langrange
Multiplier, model terbaik untuk ini diestimasi dengan Fixed Effect Model (FEM). Model umum mengambil bentuk berikut:
Spesifikasi Model:

IKLH = + ÿ1FPit + ÿ2LnLPDit + ÿ3LnGDRPit + ÿ it (1)


Di mana :
IKLH itu = Indeks Kualitas Lingkungan provinsi i pada periode t
FP itu = Realisasi dana dekonsentrasi provinsi i pada periode t (proksi kebijakan fiskal)
LPD itu = Tingkat Kepadatan Penduduk provinsi i pada periode t
PDRB itu = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil provinsi i pada periode t,
Ln = Logaritma Alam
= Intersepsi
= Estimasi parameter
ÿn
= Istilah kesalahan
itu

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Kualitas Lingkungan Secara Spasial Berdasarkan Tipologi Klassen Bagian


ini akan mengkaji kualitas lingkungan yang diukur dengan IKLH secara spasial menurut jenis atau aspek lingkungan yaitu
Indeks Kualitas Air (IKA), Indeks Kualitas Udara (IKU) dan Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL). . Analisis spasial
didasarkan pada Tipologi Klassen sehingga dapat dianalisis posisi relatif kualitas lingkungan di setiap provinsi.

Degradasi lingkungan terjadi pada lingkungan perairan, darat dan udara sehingga pengukuran kualitas lingkungan
harus mencakup ketiga aspek tersebut dalam bentuk indeks kualitas lingkungan (IKLH) [7], [8]. Namun mengingat setiap
daerah memiliki dominasi sumber daya alam dan perkembangan industri yang berbeda sehingga kualitas lingkungan
menurut aspeknya akan berbeda antar daerah yang akan berimplikasi pada strategi pengendalian kualitas lingkungan.
Misalnya, penyebab utama pencemaran lingkungan di Sulawesi Selatan dan di Aceh Besar berbeda [9], [10]. Dengan
demikian, disagregasi lingkungan spasial perlu dikaji.

Sebelum kajian spasial akan dibahas IKLH secara umum yang memberikan gambaran kualitas lingkungan secara
keseluruhan atau IKLH dan menurut aspeknya, IKA, IKU dan IKTL periode 2009-

3
Machine Translated by Google

ISENREM 2019 Penerbitan IOP


Konferensi TIO Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan 399 (2019) 012051 doi:10.1088/1755-1315/399/1/012051

2017 (gambar 1). Mengacu pada standar nilai mutu lingkungan, IKLH rata-rata tergolong buruk dengan nilai 64,6
dan rentang nilai mutu 61,9-67,5, nilainya berada pada kategori kurang baik hingga cukup. Nilai IKLH cenderung
stagnan, hanya meningkat dari 64,5 pada tahun 2009 menjadi 67,5 pada tahun 2017. Nilai IKLH yang relatif
stagnan disebabkan selama ini kualitas lingkungan perairan atau nilai IKA cenderung meningkat atau membaik
begitu juga sebaliknya dengan IKU nilai dan nilai IKTL. Nilai IKLH relatif rendah karena nilai IKA dan IKTL relatif
rendah, lebih rendah dari IKLH; sedangkan nilai IKU relatif baik, jauh lebih baik dari nilai IKLH.

Gambar 1. Indeks Kualitas Lingkungan (IKLH), Indeks Kualitas Air (IKA),


Indeks Kualitas Udara (IKU) dan Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL) di
Indonesia, 2009-2017.

Nilai IKU rata-rata tergolong sangat baik dengan nilai 86,3 dan dengan rentang nilai antara 79,5 sampai dengan
96,4, kecenderungannya menurun dari 91,9 pada tahun 2009 menjadi 86,3 pada tahun 2017, nilai tersebut berada
pada kategori baik sampai unggul. Sedangkan kualitas lingkungan perairan (IKA) secara rata-rata tergolong sangat
buruk dengan nilai 52,3 dan dengan rentang nilai antara 43,2 hingga 61,8, namun memiliki kecenderungan naik
dari 44,2 pada tahun 2009 menjadi 52,3 pada tahun 2017, nilainya adalah dalam kategori waspada hingga sangat
buruk. Sedangkan untuk nilai IKTL rata-rata juga tergolong sangat buruk dengan nilai 57,9 dan dengan rentang
nilai antara 55,4 sampai dengan 61,7 dan trendnya menurun. Nilai ini termasuk dalam kategori sangat buruk hingga
buruk. Nilai IKTL cenderung relatif rendah dan cenderung menurun dimungkinkan karena beberapa faktor. Proses
degradasi lahan diawali dengan alih fungsi hutan dan usaha pertambangan yang tidak terkendali, kemudian diikuti
dengan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensi dan pengelolaan lahan yang tidak tepat. Lahan yang
terdegradasi baik pada tanah mineral maupun tanah gambut merupakan sumber emisi GRK karena rentan terhadap
kebakaran pada musim kemarau panjang [10]. Sedangkan kualitas air yang rendah khususnya air laut atau
peningkatan parameter kualitas air yang telah melebihi baku mutu maksimum berasal dari sumber alam dan limbah
domestik dari aktivitas masyarakat yang cukup tinggi.
Selanjutnya posisi relatif kualitas lingkungan setiap provinsi berdasarkan tipologi Klassen dapat dilihat pada
tabel 2 sampai dengan tabel 5. Hasil analisis dengan menggunakan metode ini akan memetakan nilai kualitas
lingkungan setiap provinsi secara keseluruhan dan setiap aspek menjadi empat kuadran berdasarkan nilai kualitas
lingkungan dan pertumbuhan kualitas lingkungan per tahun. Agar hasil analisis lebih jelas terlihat, maka ditampilkan
dalam bentuk tabel.
Posisi relatif kualitas lingkungan total atau IKLH per provinsi ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil analisis
menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi (21 provinsi) memiliki nilai IKLH di atas rata-rata provinsi yang
tergolong buruk, artinya cukup banyak. provinsi yang memiliki nilai IKLH relatif baik karena semua provinsi berada
pada kuadran I dan III. Beberapa provinsi lainnya (13 provinsi) memiliki IKLH yang relatif rendah, di bawah rata-
rata provinsi karena berada di kuadran II dan IV. Di antara provinsi dengan IKLH yang relatif rendah, masih cukup
banyak provinsi yang memiliki IKLH

4
Machine Translated by Google

ISENREM 2019 Penerbitan IOP


Konferensi TIO Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan 399 (2019) 012051 doi:10.1088/1755-1315/399/1/012051

pertumbuhan IKLH relatif rendah (kuadran IV), yaitu terdapat sembilan provinsi. Provinsi-provinsi tersebut adalah
seluruh provinsi di Pulau Jawa ditambah provinsi terdekat yaitu Lampung, Jambi, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hanya ada empat provinsi dengan IKLH rendah namun pertumbuhan IKLH relatif tinggi (kuadran II), yaitu
Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Riau, dan Kepulauan Bangka Belitung. Semua provinsi ini merupakan
wilayah pertambangan. Studi menunjukkan bahwa efek dari kegiatan penambangan sangat parah di Goa di mana
beberapa ladang pertanian dan sungai telah tercemar [12].

Tabel 2. Posisi relatif kualitas lingkungan total atau IKLH tiap provinsi berdasarkan Tipologi Klassen.

Posisi kualitas lingkungan Provinsi


Kuadran 1: Nilai rata-rata dan pertumbuhan Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua
IKLH tinggi Barat, Kep Riau, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Papua,
Sumatera Utara, Aceh
Kuadran 2: Rata-rata nilai IKLH rendah dan Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Riau, Kepulauan Bangka
pertumbuhan nilai IKLH tinggi Belitung
Kuadran 3 : Rata-rata nilai IKLH tinggi dan Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan
pertumbuhan nilai IKLH rendah Barat, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Maluku, Sulawesi Utara,
Bali, Bengkulu, Maluku Utara
Kuadran 4: Rata-rata dan pertumbuhan Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, DKI Jakarta, Nusa Tenggara
Nilai IKLH rendah Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jambi, Banten

Posisi relatif kualitas lingkungan ditinjau dari lingkungan perairan atau IKA per provinsi ditunjukkan pada tabel
3. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi (20 provinsi) memiliki IKA di bawah rata-rata provinsi
yang tergolong sangat rendah, artinya banyak provinsi yang IKA-nya sangat buruk karena semua provinsi
kesadaran I dan III. Beberapa provinsi lain (14 provinsi) memiliki tingkat IKA yang relatif tinggi, di atas rata-rata
provinsi karena berada di kuadran II dan IV.
Diantara provinsi yang memiliki tingkat IKA relatif rendah, masih banyak provinsi yang memiliki pertumbuhan IKA
relatif rendah (kuadran IV) yaitu 10 provinsi. Sebagian besar provinsi tersebut (60%) adalah seluruh provinsi di
Pulau Jawa; lainnya adalah Sumatera Barat, Jambi, NTT dan NTB. Provinsi yang memiliki nilai IKA rendah namun
pertumbuhan IKA tinggi (kuadran II) juga cukup banyak yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat. Sebagian besar
provinsi ini merupakan kawasan industri pertambangan. Kajian tersebut menunjukkan bahwa eksploitasi
pertambangan menyebabkan pencemaran air di sekitarnya oleh logam berat Pb yang melebihi ambang batas
yang ditentukan sehingga dapat membahayakan makhluk hidup, manusia atau hewan [13].

Tabel 3. Posisi relatif Indeks Kualitas Air (IKA) tiap provinsi berdasarkan Tipologi Klassen.

Posisi kualitas lingkungan Provinsi


Kuadran 1: Rata-rata nilai dan pertumbuhan Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau,
IKA tergolong tinggi Bali, Sulawesi Tengah, Papua Barat, Papua
Kuadran 2: Rata-rata nilai IKA rendah dan Aceh, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
pertumbuhan nilai IKA tinggi Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat
Kuadran 3 : Rata-rata nilai IKA tinggi dan Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan
pertumbuhan nilai IKA rendah Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara
Kuadran 4: Rata-rata dan pertumbuhan Sumatera Barat, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Nilai IKA rendah Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur

Posisi relatif kualitas lingkungan dari aspek lingkungan udara atau IKU per provinsi ditunjukkan pada tabel 4.
Hasil analisis menunjukkan sebagian besar provinsi (27 provinsi) memiliki IKU di atas rata-rata provinsi yang
tergolong sangat baik, artinya cukup banyak

5
Machine Translated by Google

ISENREM 2019 Penerbitan IOP


Konferensi TIO Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan 399 (2019) 012051 doi:10.1088/1755-1315/399/1/012051

provinsi memiliki IKU relatif tinggi dimana semua provinsi berada pada kesadaran I dan III. Hanya sebagian kecil
provinsi (7 provinsi) yang memiliki IKU relatif rendah, di bawah rata-rata provinsi karena berada di kuadran II dan
IV. Diantara provinsi dengan tingkat IKU relatif rendah, terdapat empat provinsi dengan pertumbuhan IKU relatif
rendah (kuadran IV). Seluruh provinsi tersebut berada di Pulau Jawa yaitu Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta,
Jawa Barat. Tiga provinsi lain yang tingkat IKU-nya relatif rendah, namun pertumbuhan IKU-nya relatif tinggi
adalah Riau, Lampung, dan Kalimantan Utara. Diantara provinsi yang memiliki IKU relatif rendah, terdapat empat
provinsi yang memiliki pertumbuhan IKU relatif rendah (kuadran IV).
Seluruh provinsi tersebut berada di Pulau Jawa yaitu Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat. Tiga provinsi
lain yang memiliki tingkat IKU relatif rendah, namun pertumbuhan IKU relatif tinggi adalah Riau, Lampung, dan
Kalimantan Utara.

Tabel 4. Posisi relatif Indeks Kualitas Udara (IKU) tiap provinsi berdasarkan Tipologi Klassen.

Posisi kualitas lingkungan Provinsi

Kuadran 1: Rata-rata nilai dan Kepulauan Riau, Maluku Utara, Gorontalo, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara
pertumbuhan IKU tinggi Timur, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Utara, Papua Barat,
Kalimantan Tengah, Kepulauan Bangka Belitung Riau , Lampung.
Kuadran 2: Rata-rata nilai IKU rendah Kalimantan Utara
dan pertumbuhan nilai IKU tinggi

Kuadran 3: Rata-rata nilai IKU tinggiAceh, Jambi, DI Yogyakarta, Maluku, Kalimantan Selatan, Sulawesi
dan pertumbuhan Selatan, Papua, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Nilai IKU rendah Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Bengkulu,
Jawa Tengah
Kuadran 4: Rata-rata dan pertumbuhan Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat
nilai IKU rendah

Posisi relatif kualitas lingkungan dari aspek lingkungan tutupan lahan atau IKTL per provinsi ditunjukkan pada
tabel 5. Hasil analisis menunjukkan terdapat 19 provinsi yang memiliki IKTL di atas rata-rata provinsi yang
tergolong sangat miskin, artinya beberapa provinsi memiliki IKTL relatif baik karena semua provinsi berada di
kuadran I dan III. Sebanyak 15 provinsi lainnya memiliki tingkat IKTL yang relatif rendah, di bawah rata-rata
provinsi karena berada di kuadran II dan IV.
Di antara provinsi dengan tingkat IKTL relatif rendah, hanya tiga provinsi yang memiliki pertumbuhan IKTL relatif
rendah (kuadran IV), yaitu Lampung, Jambi, dan Kepulauan Bangka Belitung. Provinsi-provinsi tersebut
semuanya berada di bagian selatan Pulau Sumatera. Masih ada 12 provinsi lain yang tingkat IKTL-nya relatif
rendah, namun pertumbuhan IKTL-nya relatif tinggi, yakni seluruh provinsi di Pulau Jawa, beberapa provinsi di
Pulau Sumatera ditambah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara. Tingkat kehilangan tutupan hutan bervariasi
di keempat provinsi tersebut, dengan laju kehilangan hutan di Provinsi Sumatera Selatan, Jawa Timur dan
Kalimantan Timur lebih tinggi dibandingkan Papua [14].

Tabel 5. Posisi relatif Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL) tiap provinsi berdasarkan Tipologi Klassen.

Posisi kualitas lingkungan Provinsi

Kuadran 1: Nilai rata-rata dan Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah (3)
pertumbuhan IKTL tergolong tinggi
Kuadran 2: Rata-rata nilai IKTL rendah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kepaulauan Riau, DKI Jakarta,
dan pertumbuhan nilai IKTL tinggi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara (12)
Kuadran 3: Rata-rata nilai IKTL tinggi Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan
dan pertumbuhan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Nilai IKTL tergolong rendah

6
Machine Translated by Google

ISENREM 2019 Penerbitan IOP


Konferensi TIO Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan 399 (2019) 012051 doi:10.1088/1755-1315/399/1/012051

Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua


Barat, Papua (16)
Kuadran 4: Rata-rata dan pertumbuhan Jambi, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung (3)
nilai IKTL tergolong rendah

3.2. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Kualitas Lingkungan


Bagian ini akan menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap kualitas lingkungan yang diukur dengan
Indeks Kualitas Lingkungan atau IKLH. Kebijakan fiskal dalam kajian ini adalah belanja pemerintah,
khususnya dana dekonsentrasi lingkungan hidup yang dialokasikan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah provinsi untuk pengelolaan lingkungan hidup. Analisis menggunakan model ekonometrika data
panel, khususnya model FEM. Berdasarkan nilai F-Statistik dan R2 menunjukkan bahwa model yang
digunakan baik dan layak digunakan untuk mengestimasi dampak kebijakan fiskal dan variabel lain
terhadap kualitas lingkungan (tabel 6).
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak hanya variabel kebijakan fiskal (FP), variabel lain yang diduga
berpengaruh terhadap kualitas lingkungan atau IKLH yaitu tingkat kepadatan penduduk (LPD) dan tingkat
output daerah atau PDRB riil juga memiliki pengaruh. pengaruh signifikan terhadap kualitas lingkungan
atau IKLH (Tabel 6). Kebijakan fiskal dan tingkat kepadatan penduduk berpengaruh positif terhadap nilai
IKLH, sedangkan PDRB riil berpengaruh negatif terhadap IKLH. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
peningkatan realisasi dana dekonsentrasi dan tingkat kepadatan penduduk dapat mendorong peningkatan
kualitas lingkungan dan sebaliknya dengan tingkat output daerah. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan
produksi barang dan jasa tidak mengindahkan prinsip pembangunan ekonomi berkelanjutan, kegiatan
produksi barang dan jasa diikuti dengan degradasi lingkungan. Temuan ini sejalan dengan pernyataan
bahwa di negara berkembang ditemukan hubungan terbalik antara GDP dan kualitas lingkungan tutupan
lahan [15]. Hal ini juga sejalan dengan menyatakan adanya hubungan negatif dan dua arah antara
degradasi lingkungan dengan GDP per kapita dan konsumsi energi [16]. Terbukti bahwa kualitas lingkungan
yang baik akan meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasar [17].
Kebijakan fiskal (FP) dalam hal ini realisasi dana dekonsentrasi berpengaruh signifikan terhadap IKLH
pada taraf nyata 1% dengan arah positif dan dengan nilai koefisien sebesar 0,097419. Artinya, peningkatan
realisasi dana dekonsentrasi sebesar satu persen dapat meningkatkan kualitas lingkungan atau IKLH
sebesar 0,097419 persen. Pengaruh tersebut bersifat inelastis yang menunjukkan bahwa pengaruh
kebijakan fiskal terhadap IKLH masih relatif kecil. Sedangkan pengaruh kepadatan penduduk terhadap
IKLH bersifat elastis dengan koefisien sebesar 17,85898. Artinya peningkatan kepadatan penduduk
sebesar satu persen dapat meningkatkan kualitas lingkungan atau IKLH sebesar 17,85898 persen. Fakta
ini menarik karena tidak sesuai dengan hipotesis. Oleh karena itu, terkait dengan masalah degradasi
lingkungan, penciptaan kerangka kebijakan lingkungan yang konsisten, koheren, dan efektif sangat penting
untuk menjaga lingkungan alam yang mendukung kesejahteraan dan memungkinkan pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi jangka panjang [4].

Tabel 6. Hasil estimasi dampak kebijakan fiskal terhadap kualitas lingkungan (IKLH).
Variabel Koefisien St. t-Statistik
C 315,1086 Kesalahan 2,519209 Masalah.
LnLPD 17,85898*** 125,0824 4,277462 0,0130
LnGDRP -10,96521** 4,175135 -2,580278 0,0000
FP 0,097419*** 4,249625 0,034276
2,842219 0,0110 0,0052

R2 0,8964
F-Statistik 31,8 0,0000

4. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan


Berdasarkan IKLH, secara umum kualitas lingkungan hidup di Indonesia tergolong buruk. Namun dengan
pemilahan berdasarkan aspek kualitas lingkungan (air, udara dan tutupan lahan), kualitas udara (IKU)

7
Machine Translated by Google

ISENREM 2019 Penerbitan IOP


Konferensi TIO Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan 399 (2019) 012051 doi:10.1088/1755-1315/399/1/012051

tergolong sangat baik, namun untuk tutupan lahan dan kualitas air (IKTL dan IKA) tergolong sangat buruk
(kualitas air paling buruk)
Hasil analisis spasial kualitas lingkungan untuk semua aspek kualitas lingkungan (IKU, IKA, IKTL)
menunjukkan adanya ketimpangan kualitas lingkungan sehingga ada provinsi yang memiliki kualitas
lingkungan baik dan sangat baik, serta ada provinsi yang masuk dalam status waspada kategori.
Hasil analisis ekonometrika menunjukkan bahwa kebijakan fiskal (dana dekonsentrasi) berpengaruh
signifikan dan positif terhadap kualitas lingkungan, namun bersifat inelastis; sedangkan PDRB berpengaruh
signifikan dan negatif terhadap kualitas lingkungan.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas lingkungan (1) dana dekonsentrasi difokuskan pada
peningkatan kualitas air dan tutupan lahan dan prioritas diberikan kepada provinsi dengan kualitas
lingkungan yang buruk dengan pertumbuhan rendah (dalam studi ini terdapat 12 provinsi yaitu seluruh
provinsi di Jawa, Sumatera Barat, Jambi, NTT, NTB dan Kepulauan Bangka Belitung) dan (2) Untuk
meningkatkan efektivitas dalam mengatasi masalah lingkungan, pemerintah daerah harus mampu
meningkatkan anggaran berbasis lingkungan dan pembangunan ekonomi harus lebih ramah lingkungan.

5. Daftar
Pustaka [1] Fauzi A dan Oxtavianus A 2014 Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia J.
Ekonomi Pembangunan 15(1) 68-83.
[2] Puspita I, Ibrahim L and Hartono D 2016 Pengaruh Peraturan Masyarakat yang Bermukim di Kawasan
Bantaran Sungai terhadap Penurunan Kualitas Air Sungai Karang Anyar Kota Tarakan J. Manusia
dan Lingkungan 23(2) 249-258
[3] Helmi, Hairul B and Sufardi 2017 Analisis Kualitas Air Sebagai Upaya Mitigasi Bencana Hidrologis di
Sub DAS Krueng Jreue Aceh Besar, Indonesia Proc Seminar Nasional Pascasarjana (SNP)
Unsyiah 13 April 2017 Banda Aceh.
[4] Everett, Ishwaran M, Ansaloni GP dan Rubin A 2010 Pertumbuhan Ekonomi dan Lingkungan
Makalah Seri Publikasi Bukti dan Analisis Defra 2 PB13390 Maret 2010
[5] Violeta MC 2012 Studi empiris tentang indikator utama kualitas lingkungan: Penganggaran hijau – Katalis
untuk ekonomi berkelanjutan dan faktor perubahan kelembagaan J.
Ekonomi Amfiteatru 14(32) 485-500.
[6] Kuncoro M dan Aswandi H 2002 Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan: Studi Empiris di
Kalimantan Selatan 1993 – 1999 J. Ekonomi dan Bisnis Indonesia 17(1) 27–45.
[7] Resosudarmo BP, Mahi BR, Kuncoro A dan Handayani SB 2000 Pencemaran Udara dan Air Sungai
dalam Struktur Sektor Industri Indonesia J. Ekonomi Lingkungan 11 47-73.
[8] Mardanugraha E, Resosudarmo BP, Pharmasetiawan B, Halimatussadiyah A and Nugraha A 2002
Analisis dan Penyusunan Indeks Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah J. Ekonumi dan
Keuangan Indonesia I(3)L 325-342
[9] Astuti T, Parenta T dan Paddu H 2014 Peran Kegiatan Industri Manufaktur Terhadap Pencemaran
Lingkungan Di Sulawesi Selatan J. Analisis 3(1) 49-56 ISSN: 2303-100X.
[10] Wahyunto dan Dariah A 2014 Degradasi Lahan di Indonesia: Kondisi Eksisting, Karakteristik, dan
Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju Satu Peta J. Sumberdaya Lahan 8(2)
81-93 ISSN: 1907-0799.
[11] Hamuna B, Tanjung RHR, Suwito, Maury HK and Alianto 2018 Kajian Kualitas Air Laut danIndeks
Pencemaran Berdasarkan Parameter Fisika-Kimia di Perairan Distrik Depapre, Jayapura J. Ilmu
Lingkungan . 16(1) 35-43 DOI:10.14710/jil.16.135-43 [12] Talule IDC dan
Naik GR 2014 Dampak Pertambangan Sembarangan terhadap Pertanian dan Keanekaragaman Hayati di
Negara Bagian Goa di India J. Agricultural Research 2(6) 211- 215 DOI: 10.13189/ujar.2014.020605.

[13] Gunawan, Priyanto R and Salundik 2015 Kajian Lingkungan Sekitar Pertambangan Nikel Terhadap
Mutu Sapi Potong di Kabupaten Halmahera Timur J. Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan
03(1) 59-64 ISSN: 2303-2227.

8
Machine Translated by Google

ISENREM 2019 Penerbitan IOP


Konferensi TIO Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan 399 (2019) 012051 doi:10.1088/1755-1315/399/1/012051

[14] Dwiprabowo H, Djaenudin D, Alviya I dan Wicaksono D 2014 Dinamika Tutupan Lahan: Pengaruh
Faktor Sosial Ekonomi Vol 3 ed Las I dan Rahayu Y (Yogyakarta: PT Kanisius).
[15] Alvarado R dan Toledo E 2016 Degradasi lingkungan dan pertumbuhan ekonomi: bukti untuk
negara berkembang J. Pengembangan dan Keberlanjutan Lingkungan. DOI: 10.1007/
s10668- 016-9790-y.
[16] Ilham MI 2018 Economic Development and Environmental Degradation in ASEAN J. Ilmu
Ekonomi 7(1) 103-112 P-ISSN: 2087-2046; E-ISSN: 2476-9223
[17] Suryani AS 2018 Pengaruh Kualitas Lingkungan terhadap Pemenuhan Kebutuhan Dasar di
Provinsi Banten J. Masalah-Masalah 9(1) 34-62 ISSN: 2086-6305 (cetak) ISSN: 2614- 5863
( elektronik) DOI: https://doi.org/10.22212/aspirasi.v7i1.1084.

Anda mungkin juga menyukai