(KEPERAWATAN ANAK)
OLEH :
UNIVERSITAS BATAM
2023
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Defenisi
Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling sering dijumpai pada
massa kanak-kanak (American Academy of Pediatrics,2008;Johnston, 2007).
Kejang demam biasanya menyerang anak dibawah umur 5 tahun, dengan insiden
puncak yang terjadi pada anak usia antara 14 dan 18 bulan. Kejang demam
jarang terjadi pada anak dibawah 6 bulan dan di atas 5 tahun. Kejang demam
lebih sering terjadi pada anak laki-laki dan terjadi peningkatan risiko pada anak
yanga memiliki riwayat kejang demam pada keluarga. Kejang demam berkaitan
dengan demam, biasanya terkait penyakit virus. Kejang tersebut biasanya jinak,
tetapi dapat sangat menakutkan baik bagi anak maupun keluarga. Pada sebagian
besar kasus, prognosis sangat baik. Kejang demam ini terjadi tanpa adanya
infeksi intracranial, gangguan metabolik, (Reese C, et al, 2012).
B. Epidemiologi
Angka kejadian kejang demam pada 2-4% anak berumur 6 bulan- 5 tahun.
Anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dengan perbandingan sekitar 1,4 :
1. Kejang demam pertama paling sering terjadi pada usia 1 hingga 2 tahun
(Pusponegoro dkk,2006, Lumbantobing,2007).
C. Etiologi
Faktor penting dalam kejang demam adalah demam, umur, genetik, riwayat
prenatal dan perinatal. Infeksi saluran napas atas merupakan penyakit yang
paling sering berhubungan dengan kejang demam. Gastroenteritis terutama yang
disebabkan oleh Shigella atau Campylobacter, dan infeksi saluran kemih
merupakan penyebab lain yang lebih jarang (Moe, et al, 2007).
D. Patofisiologi
Patofisiologi kejang demam sampai saat ini belum jelas. Diduga penyebab
kejang demam adalah respon otak imatur terhadap peningkatan suhu yang cepat.
Penyebab kejang diduga berhubungan dengan puncak suhu. Hipertermia
mengurangi mekanisme yang menghambat aksi potensial dan meningkatkan
transmisi sinaps eksitatorik. pada penelitian hewan didapatkan peningkatan
ekstabilitas neuron otak selama proses maturasinya. Suhu yang sering
menimbulkan kejang demam adalah 38,5%0C (Basuki, 2009).
Penelitian pada kejang demam berhasil mengidentifikasi febrile seizures
susceptibility genes pada 2 lokus, yaitu FEB1 (kromosom 8q13-q21) dan FEB2
(kromosom 19p13.3), bersifat autosomal dominan dengan penetrasi tidak
lengkap. Hal ini menjelaskan mengapa kejang demam lebih sering terjadi dalam
satu keluarga. Mutasi genetik dari kanal ion natrium atau Na’channelopathy dan
gaminobutiric acid A receptor merupakan gangguan genetik yang mendasari
terjadinya kejang demam.
Penelitian pada hewan coba menunjukan kemungkinan peran pirogen
endogen seperti interleukin 1β yang dengan meningkatkan eksitabilitas neuron,
mungkin menghubungkan demam dengan bangkitan kejang. Penelitian
pendahuluan pada anak mendukung hipotesis bahwa cytokine network
teraktivasi dan diduga berperan dalam pathogenesis kejang demam. Namun,
segnifikansi klinis dan patologis pengamatan ini masih belum jelas (Gatti, 2002).
Beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam
antara lain:
1. Demam itu sendiri
2. Efek produk toksik dari mikroorganisme terhadap otak
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral
Dari beberapa faktor diatas yang menyebabkan kejang demam maka masalah
yang bisa muncul diantaranya ialah:
Perfusi jaringan serebral yang tidak efektif disebabkan karena rangsang mekanik
dan biokimia yang menyebabkan perubahan konsentrasi ion di ruang
ekstraseluler difusi Na dan K yang akhirnya terjadi kejang kurang dari 15 menit
atau lebih dari 15 menit yang menimbulkan resiko kerusakan sel neuron, selain
itu resiko cedera juga terjadi dikarenakan adannya inkordinasi kontraksi otot
mulut dan lidah saat anak mengalami kejang, hipertermi pada anak terjadi setelah
kejang saat aktivitas otot meningkat, metabolisme dan suhu juga mengalami
peningkatan dan kurangnya pengetahuan orang tua dalam menangani dan
mencegah kejang demam pada anak.
E. Pathway
Resiko Infeksi
Proses demam
ATP ASE
Pengobatan perawatan
Dan diit
15 menit
perubahan suplay
gejala sisa
Neuron otak
I. Pemeriksaan Fisik
Batas suhu yang bisa mencetuskan kejang demam 38OC atau lebih, tetapi suhu
sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui. Pemeriksaan fisik lainnya
bertujuan untuk mencari sumber infeksi dan kemungkinan adanya infeksi
intrakranial meningitis atau ensefalitis (Basuki, 2009)
J. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium darah
Untuk mencari etiologic kejang demam. Darah lengkap, kultur darah,
glukosa darah, elektrolit, magnesium, kalsium, fosfar, urinalisa, kultur urin
(The Barbara, 2011).
2. Urinalisis
Urinalisis direkomendasikan untuk pasien-pasien yang tidak ditemukan focus
infeksinya (Guidelines, 2010).
3. Fungsi Lumbal
Untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
4. Radiologi
Neuroimaging tidak diindikasikan setelah kejang demam sederhana.
Dipertimbangkan jika terdapat gejala klinis gangguan neurologis.
5. Elekroensefalografi (EEG)
Untuk menyingkirkan kemungkinan epilepsi.
K. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Kriteria Livingstone untuk kejang demam:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 4 tahun
2. Kejang berlangsung sebentar, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal
tidak menunjukan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang dalam 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
L. Penatalaksanaan
Pada tata laksana kejang demam, ada 3 hal yang perlu di kerjakan:
1. Pengobatan fase akut
Penanganan pada fase akut kejang demam antara lain:
a. Pertahankan jalan napas
b. Lindungi anak dari trauma/cidera
c. Posisikan anak tidur setengah duduk
d. Longgarkan pakaian atau lepas pakaian yang tidak perlu.
2. Mencari dan mengobati penyebab demam
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas
indikasi untuk mencari penyebab.
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
Pencegahan berulang kejang demam perlu dilakukan karena bila sering
berulang dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Ada dua cara
pengobatan profilaksi :
1) Profilaksi intermitten pada waktu demam
2) Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari
Diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5mg untuk pasien dengna berat
badan ≤ 10 kg dan 10mg untuk pasien dengan berat badan ≥ 10 kg, setiap
pasien menunjukan suhu 38,5OC atau lebih. Diazepam dapat pula
diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3
dosis pada waktu pasien demam.
Untuk profilaksis terus menerus/jangka panjang dapat dengan pemberian
obat rumat. Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam
menunjukan ciri sebagai berikut:
a) Kejang lama > 15 menit.
b) Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cereberal palsy, retardasi
mental, Hidrosefalus.
c) Kejang fokal.
d) Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
Kejang demam terjadi pada baiyi kurang dari 12 bulan
Kejang demam ≥ 4 kali per tahun.
M. Prognosis
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien
yang sebelumnya normal.
Kemungkinan berulang kejang demam.
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah: riwayat kejang demam dalam keluarga.
Usia kurang lebih 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang, cepatnya
kejang setelah demam
Kemungkinan terjadinya epilepsi.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan
sirkulasi otak
2. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme
3. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensasi
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
C. Rencana Keperawatan
sumber pengetahuan, 1. Faktor resiko dari 1 (tidak ada penyakit dan bagaimana kebenaran informasi
Andretty Rezy P. 2015. Hubungan Riwatar Kejang Demam Dengan Angka Kejadian
eplilepsi di Dr.Moewardi. Universitas Muhammadiah Surakarta
Fida & Maya. 2012. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Yogyakarta: D-Medika .
Jones, T., & Jacobsen, S. T. 2007. Childhood Febrile Seizures: Overview and
Implication. Int J Med Sci.
Munir Badrul. 2015, Neurologi Dasar. Cetakan pertama, Universitas Brawijaya Malang,
Sagung Seto. Jakarta
Riandita, A. 2012. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Deman Dengan
Pengelolaan Demam Pada Anak. Jurnal Media Medika Muda
Suriadi, Rita. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak.Edisi 2. Sagung Seto. Jakarta
BAB II
LAPORAN KASUS
FORMAT PENGKAJIAN PADA ANAK
I. Identitas Klien
Nama Anak : An. S
BB/TB : 8 Kg / 80 cm
Usia : 1 Tahun 2 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan anak :-
Anak ke :2
Nama ayah/ibu : Tn. D / Ny. A
Pekerjaan ibu : Mengurus Rumah Tangga Pekerjaan Ayah :Wiraswasta
Pendidikan ibu : SMA Pendidikan Ayah : SMA
Alamat :Kampung Baru Tebing
Dx medis : Kejang Demam
1. Prenatal
Ibu klien mengatakan rutin melakukan pemeriksaan kandungannya sesuai dengan
jadwal yang sudah ditentukan, ibu klien mengatakan mengalami kenaikan berat
badan 2 kg selama kehamilan, ibu klien mengatakan telah melakukan imunisasi
TT saat kehamilan.
2. Natal
Ibu klien mengatakan melahirkan di Puskesmas, persalinan spontan dan penolong
persalinan Bidan, ibu klien mengatakan tidak mengalami komplikasi saat
persalinan.
3. Post Natal
Kondisi bayi dengan keadaan normal BB 3000 gram PB 50 cm, warna badan klien
pada saat lahir yaitu merah dan spontan menangis, tidak mengalami penyakit
kuning, ibu klien mengatakan tidak pernah memberikan obat bebas untuk
dikonsumsi klien, tidak ada masalah dalam menysusui.
7. Riwayat imunisasi :
Jenis Imunisasi Waktu Pemberian Reaksi Setelah Pemberian
BCG 3 hari Demam
DPT (I, II, III) 2, 3, 4 bulan Tidak demam
Polio (I, II, III, & IV) 1, 2, 3, 4 bulan Tidak demam
Hepatitis 6 dan 12 bulan Tidak demam
Campak 9 bulan Demam
Keterangan:
: perempuan : tinggal
Keterangan:
Generasi 1 : Orang tua dari ayah dan ibu klien sudah meninggal
Generasi 2 : Ibu klien anak ke 3 dari 5 bersaudara sedangkan ayah klien anak ke
2 dari 3 bersaudara
Generasi 3 : Klien anak ke 2 dari 2 bersaudara
Ibu klien mengatakan anak tinggal bersama ibu dan ayahnya, tinggal dirumah orang
tua, lingkungan rumah di daerah perkotaan, hubungan keluarga harmonis, pengasuh
anak yaitu keluarga.
1) Keadaan umum
Klien terlihat lemah dengan kesadaran composmentis
TTV: Suhu 38,5°c, pernafasan 26 kali/menit, nadi 80 kali/menit.
2) Antropometri
Tinggi badan 80 cm, berat badan 80 kg, lingkar lengan atas 12 cm, lingkar kepala
45 cm, lingkar dada 50 cm, lingkar perut 45 cm.
3) Sistem pernapasan
Hidung sismetris kiri dan kanan, tidak terdapat seket, tidak ada
suara nafas tambahan, tidak ada pernafasan cuping hidung dan tidak ada polip.
Leher tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada luka dan tidak ada tumor.
Dada, bentuk dada normo chest, gerakan dada simetris, tidak terdapat retraksi
dinding dada, tidak ada nyeri tekan, suara nafas vesikuler.
4) Sistem cardiovaskuler kongjutiva anemis, tidak ada pembesaran jantung, bibir
pucat dan pecah-pecah, ukuran jantung normal, suara jantung s1 s2 lup dup,
capillary refilling time 2 detik.
5) Sistem pencernaan sklera tidak ikterik, bibir pucat dan pecah-pecah, tidak terdapat
stomatitis dimulut, tidak ada kesulitan pada saat menelan, tidak terdapat nyeri
tekan diperut, tidak ada lukan dan benjolan pada perut, terdengar suara timpani
pada saat di perkusi.
6) Sistem indra mata, terlihat simetris antara kiri dan kanan, bulu mata tebal dan alis
tebal, ukuran pupil isokor, tidak dapat dilakukan lapang pandang karena anak
menangis. Hidung, tidak ditemukan kelainan pada hidung, tidak terdapat polip,
tidak ada secret, tidak ada mimisan. Telinga, terlihat simetris antara telinga kiri
dan kanan, tidak ada benjolan , terdapat serumen sedikit, tidak ada kesulitan saat
mendengar.
7) Sistem saraf tidak dilakukan pengkajian dikarenakan klien selalu rewel dan
menangis.
8) Sistem muskuloskletal bentuk kepala lonjong, tidak ada kesulitan bergerak, lutut
tidak bengkak dan kaku, kaki tidak bengkak dan kaku, tangan tidak bengkak dan
kaku, tidak menggunakan alat bantu untuk bergerak.
9) Sistem integumen rambut berwarna hitam lurus pendek, tidak terdapat ketombe,
kulit berwarna putih, tidak terdapat luka, suhu 38,5°c, kuku berwarna merah
pucat dan kotor.
10) Sistem endokrin tidak ada ekresi urin berlebih, suhu tubuh naik turun terakhir 38,
5°c, tidak ada riwayat air seni dikeliling oleh semut.
11) Sistem reproduksi tidak dapat dilakukan pengkajian dikarenakan klien rewel dan
menangis.
12) Sistem imun tidak ada alergi cuaca maupun alergi bulu binatang, tidak alergi
minuman seperti susu maupun coklat.
26
1) Motorik kasar: klien dapat berdiri tampa pegangan, pada saat disuruh
berjalan klien dapat berjalan dengan baik, pada saat diberikan bola dan
pulpen klien dapat melempar bola dan pulpen.
2) Motorik halus: pada saat diberikan pulpen dan kertas klien dapat mencoret-
coret.
3) Bahasa: klien bereaksi dan tertawa pada saat diajak berbicara, pada saat
saat disuruh untuk memanggil mama dan bapak klien dapat memanggil
“ma” dan “pa”.
4) Personal sosial: ibu klien mengatakan klien selalu bermain dengan temam
sebayanya dan sepupunya.
XI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi Lengkap Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 11,5 g/dL 10,7-17.3
Leukosit 7.55 10^3/µL 5,00-19,00
Eritrosit 4.15 10^/µL 4.00-550
Hematokrit 32.8 % 37,0-43,0
Trombosit 157 103/µL 150-450
Indeks eritrosit
MCV 85,9 fl 82,0-96.0
MCH 28,3 pg 27.0-96.0
MCHC 33,0 g/L 32,0-37,0
Hitung jenis
Neutrofil 47 % 30-40
Limfosit 31,9 % 2,0-40,0
MXD 4.1% 2,0-8.0
Kimia darah
GDS 46 mg/Dl 60-100
27
XII. TERAPY
1) Paracetamol drop 3x0,8 cc
2) Obat oral sanbeflex drop 0,12 cc
3) Zins syn1x1 cth.
4) DN ½ 16 tpm
Data obyektif