Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH AYAT-AYAT TENTANG

KEUTAMAAN DAN TUJUAN DAKWAH

Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur Mata Kuliah Tafsir Dakwah

Dosen Pengampu : Zaenal Mutaqin, M.I.lkom

Disusun Oleh :

Arunika Pinandhita 2284110106


Fatimah Syabani Nur 2284110111
Mohamad Fajarudin 2284110114

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ayat-Ayat Tentang Keutamaan Dan
Tujuan Dakwah” ini dengan baik dan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah kepada Rosulalloh SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Tafsir Dakwah.

Oleh karena itu, kami menyampaikan terima kasih kepada semua yang telah
berkontribusi dalam penyusunan makalah ini. Dengan terselesaikannya penyusunan makalah
ini semoga dapat memberi manfaat bagi kami selaku penulis dan semua pembaca pada
umumnya.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan.
Maka, untuk kesempurnaan makalah selanjutnya kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca, baik segi isi makalah maupun penggunaan bahasa (kosa kata, EYD dan fungtuasi).

Cirebon, 14 Maret 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

2. Rumusan Masalah

3. Tujuan
BAB II

PEMBAHASAN

A. STRATEGI
Strategi adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain untuk
mencapai tujuan dakwah tertentu. Strategi pada hakekatnya adalah perencanaan
(planning) dan manajemen (management) untuk mencapai suatu tujuan. Di samping
itu dapat pula berarti kemampuan yang terampil dalam menangani dan merencanakan
sesuatu. Sedangkan tujuan suatu strategi ialah untuk merebut kemenangan atau
meraih suatu hasil yang diinginkan. Strategi dakwah sebagai metode, siasat, taktik
atau manuver yang di pergunakan dalam aktivitas (kegiatan dakwah).33
(33 Murniaty Sirajuddin, “Pengembangan Strategi Dakwah Melalui Media Internet
(Peluang Dan Tantangan),” Al-Irsyad Al-Nafs: Jurnal Bimbingan Penyuluhan Islam
1, no. 1 (2014): 13.)

Strategi dakwah adalah merupakan suatu metode, siasat, taktik yang dipergunakan
dalam aktifitas atau kegiatan dakwah, yang peranannya sangat menentukan dalam
proses pencapaian tujuan dakwah. Seiring dengan berkembangnya zaman, globalisasi
sebagai fenomena terbuka luasnya ruang dan waktu bukan hanya sebuah keniscayaan
yang tidak dapat ditampik, melainkan juga menguntungkan bagi interaksi peradaban
seluruh umat manusia. Kemunculannya menjadikan globalisasi sebagai sebuah
ideology bagi masyarakat masa kini yang juga disebut sebagai masyarakat informasi,
sehingga memilih dan menggunakan media dakwah yang tepat sudah merupakan
keharusan dan tuntutan zaman.34
(Murniaty Sirajuddin, “Pengembangan Strategi Dakwah Melalui Media Internet
(Peluang Dan Tantangan),” Al-Irsyad Al-Nafs: Jurnal Bimbingan Penyuluhan Islam
1, no. 1 (2014): 13-14.)

B.

Al-Bayanuni membagai strategi dakwah dalam tiga bentuk: 35


(Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2004), 136)

 StrategiSentimental(al-manhajal-‘athifi)
Strategi Sentimental adalah dakwah yang memfokuskan aspek hati dan
menggerakkan prasaan dan bathin mitra dakwah. Memberi mitra dakwah
nasihat yang mengesankan, memanggil dengan kelembutan, atau memberikan
pelayanan yang memuaskan merupakan metode yang dikembangkan dalam
strategi ini. 36
(Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas,
1983), 32)
Strategi ini sesuai untuk mitra dakwah yang terpinggirkan (marginal) dan
dianggap lemah, seperti kaum perempuan, anak-anak, orang yang masih
awam, para muallaf (imannya lemah), orang-orang miskin, anak- anak yatim
dan lain sebagainya.37
( Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2004), 136)
Strategi sentimentil ini diterapkan oleh Nabi SAW saat menghadapi kaum
musyrik Mekah. Tidak sedikit ayat-ayat Makkiyah (ayat yang diturunkan
ketika Nabi di Mekah atau sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah) yang
menekankan aspek kemanusiaan (humanisme), semacam kebersamaan,
perhatian kepada fakir miskin, kasih sayang kepada anak yatim, dan
sebagainya. Ternyata, para pengikut Nabi SAW pada masa awal umumnya
berasal dari golongan kaum lemah. Dengan strategi ini, kaum lemah merasa
dihargai dan kaum mulia merasa dihormati.38
(Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas,
1983), 32)

 Strategi Rasional (al-manhaj al-‘aqlī)


Strategi Rasional adalah dakwah dengan beberapa metode yang memfokuskan
pada aspek akal pikiran. Strategi ini mendorong mitra dakwah untuk berpikir,
merenungkan, dan mengambil pelajaran. Penggunaan hukum logika, diskusi,
atau penampilan contoh dan bukti sejarah merupakan beberapa metode dari
strategi rasional.39
(Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2004), 136)
Al-Qur’an mendorong penggunaan strategi rasional dengan beberapa
terminologi antara lain: tafakkur, tadzakkur, nazhar, ta‟ammul, i‟tibar,
tadabbur, dan istibshar. Tafakkur adalah menggunakan pemikiran untuk
mencapainya dan memikirkannya; tadzakkur merupakan menghadirkan ilmu
yang harus dipelihara setelah dilupakan; nazhar ialah mengarahkan hati untuk
berkonsentrasi pada obyek yang sedang diperhatikan; taammul berarti
mengulang-ulang pemikiran hingga menemukan kebenaran dalam hatinya;
i‟tibar bermakna perpindahan dari pengetahuan yang sedang dipikirkan
menuju pengetahuan yang lain; tadabbur adalah suatu usaha memikirkan
akibat-akibat setiap masalah; istibshar ialah mengungkap sesuatu atau
menyingkapnya, serta memperlihatkannya kepada pandangan hati. 40
(Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas,
1983), 32)

 Strategi Indrawi (al-manhaj al-hissy)


Strategi ini juga dapat dinamakan dengan strategi eksperimen atau strategi
ilmiah. Ia didefinisikan sebagai sistem dakwah atau kumpulan metode dakwah
yang berorientasi pada pancaindra dan berpegang teguh pada hasil penelitian
dan percobaan. Di antara metode yang di himpun oleh strategi ini adalah
praktik keagamaan, keteladanan, dan pentas drama.41
(Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2004), 136)
Dahulu, Nabi SAW mempraktekkan Islam sebagai perwujudan strategi
inderawi yang disaksikan oleh para sahabat. Para sahabat dapat menyaksikan
mukjizat Nabi SAW secara langsung, seperti terbelahnya rembulan, bahkan
menyaksikan Malaikat Jibril dalam bentuk manusia. Sekarang, kita
menggunakan al-Qur’an untuk memperkuat atau menolak hasil penelitian
ilmiah. Pakar tafsir menyebutnya dengan Tafsir „Ilmi. Adnan Oktar, penulis
produktif dari Turki yang memakai nama pena Harun Yahya, menggunakan
strategi ini dalam menyampaikan dakwahnya. M. Quraish Shihab, pakar tafsir
kenamaan dari Indonesia, juga sering menguraikan hasil penemuan ilmiah saat
menjelaskan ayat-ayat al- Qur’an. 42
(Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-
Ikhlas, 1983), 32)
C. AYAT AYAT
SURAT AL-FATH AYAT 28
ASBABUN NUZUL
Asbabun nuzul surat Al-Fath adalah terkait dengan peristiwa Hudaibiyyah yaitu
perjanjian yang dilakukan oleh pihak kaum Musyrikin Mekah dengan Rasulullah
sekitar tahun keenam Hijriayah pada tahun 628 M. Perjanjian ini berlangsung di
lembah Hudaibiyyah, yaitu tepatnya di pinggiran kota Mekah.
Awal mula perjanjian ini karena pada waktu itu rombongan kaum Muslimin yang
dipimpin oleh Nabi Muhammad saw. dari Madinah, akan beribadah umrah. Namun
kaum musyrikin menghalangi rombongan kaum muslimin yang hendak ke Mekah.
Sehingga Rasulullah saw. pun mengajak untuk bernegosiasi hingga mengadakan
perjanjian damai. (Perjanjian Hudaibiyyah).

Sumber : Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur'an.


Cetakan XX. KH.Qamaruddin Shaleh. HAA. Dahlan. Prof. Dr. M.D. Dahlan.
Penerbit cv Diponegoro Bandung.

TAFSIR
Tafsir kemenag surat al fath ayat 28
Dalam ayat ini ditegaskan kebenaran Muhammad ‫ ﷺ‬sebagai rasul yang diutus Allah
kepada manusia dengan menyatakan bahwa dia adalah rasul Allah yang diutus untuk
membawa petunjuk dan agama Islam sebagai penyempurna terhadap agama-agama
dan syariat yang telah dibawa oleh para rasul sebelumnya, menyatakan kesalahan dan
kekeliruan akidah-akidah agama dan kepercayaan yang dianut manusia yang tidak
berdasarkan agama, dan untuk menetapkan hukum-hukum yang berlaku bagi manusia
sesuai dengan perkembangan zaman, perbedaan keadaan dan tempat. Hal ini juga
berarti dengan datangnya agama Islam yang dibawa Muhammad saw, maka agama-
agama yang lain tidak diakui lagi sebagai agama yang sah di sisi Allah. Pada akhir
ayat ini, dinyatakan bahwa semua yang dijanjikan Allah kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬dan
kaum Muslimin itu pasti terjadi dan tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi
terjadinya.
sumber: https://tafsir.learn-quran.co/id/surat-48-al-fath/ayat-28
Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14
H
28. Mengingat peristiwa ini memperkeruh hati sebagian orang Mukmin di mana
mereka tidak dapat mengetahui hikmahnya, Allah pun menjelaskan hikmah dan
manfaatnya dan seperti itulah halnya seluruh hukum-hukum syariat, semua hukum
adalah petunjuk dan rahmat yang diberitahukan secara umum. Allah berfirman,
“Dialah yang mengutus RasulNya dengan membawa petunjuk,” yaitu dengan ilmu
yang bermanfaat yang bisa menyelamatkan manusia dari kesesatan serta menjelaskan
berbagai jalan yang baik dan buruk, “ dan agama yang haq,” yaitu agama yang disifati
dengan kebenaran yang berupa keadilan, kebaikan dan rahmat, semuanya adalah amal
shalih yang bisa membersihkan hati , menyucikan jiwa, menumbuhkan akhlak baik
dan meninggikan derajat diri, “agar dimenangkanNya,” dengan membawa agama
yang diembankan oleh Allah “terhadap semua agama,” dengan hujjah dan bukti nyata
yang menjadi penyebab untuk menundukkan mereka, baik dengan pedang, dan lisan.
“ Dan cukuplah Allah sebagai saksi.”
Referensi : https://tafsirweb.com/9740-surat-al-fath-ayat-28.html

SURAT FUSHILAT AYAT 33


TAFSIR
Tafsir Kemenag
Ayat ini mencela orang-orang yang mengatakan yang bukan-bukan tentang Al-
Qur'an. Al-Qur'an mempertanyakan: perkataan manakah yang lebih baik daripada Al-
Qur'an, siapakah yang lebih baik perkataannya dari orang yang menyeru manusia agar
taat kepada Allah.

Ibnu Sirin, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan al-hasan berpendapat bahwa orang yang paling
baik perkataannya itu ialah Rasulullah saw. Apabila membaca ayat ini, al-hasan
berkata bahwa yang dimaksud adalah Rasulullah, ia adalah kecintaan dan wali Allah.
Ia adalah yang disucikan Allah dan merupakan pilihan-Nya. Ia adalah penduduk bumi
yang paling cinta kepada Allah. Allah memperkenankan seruannya dan ia menyeru
manusia agar mengikuti seruan itu. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ayat ini
maksudnya umum, yaitu semua orang yang menyeru orang lain untuk menaati Allah.
Rasulullah termasuk orang yang paling baik perkataannya, karena beliau menyeru
manusia kepada agama Allah.

Ayat ini menerangkan bahwa seseorang dikatakan paling baik apabila perkataannya
mengandung tiga perkara, yaitu:
1. Seruan pada orang lain untuk mengikuti agama tauhid, mengesakan Allah dan taat
kepada-Nya.
2. Ajakan untuk beramal saleh, taat melaksanakan perintah-perintah Allah dan
menghentikan larangan-Nya.
3. Menjadikan Islam sebagai agama dan memurnikan ketaatan hanya kepada Allah
saja.
Dengan menerangkan perkataan yang paling baik itu, seakan-akan Allah menegaskan
kepada Rasulullah bahwa tugas yang diberikan kepada beliau itu adalah tugas yang
palingmulia. Oleh karena itu, beliau diminta untuk tetap melaksanakan dakwah, dan
sabar dalam menghadapi kesukaran-kesukaran dan rintangan-rintangan yang
dilakukan orang-orang kafir. Dari ayat ini dipahami bahwa sesuatu yang paling utama
dikerjakan oleh seorang muslim ialah memperbaiki diri lebih dahulu, dengan
memperkuat iman di dada, menaati segala perintah Allah, dan menghentikan segala
larangan-Nya. Setelah diri diperbaiki, serulah orang lain mengikuti agama Allah.
Orang yang bersih jiwanya, kuat imannya, dan selalu mengerjakan amal yang saleh,
ajakannya lebih diperhatikan orang, karena ia menyeru orang lain dengan keyakinan
yang kuat dan dengan suara yang mantap, tidak ragu-ragu.
Sumber: Aplikasi Quran Kementrian Agama Republik Indonesia

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: ِ ‫ٓا ِإلَى ٱهَّلل‬Vَ‫واًل ِّم َّمن َدع‬Vۡ َ‫“( َو َم ۡن َأ ۡح َسنُ ق‬Siapakah yang lebih
baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah.”) yakni menyeru para
hamba Allah kepada-Nya. َ‫صلِحًا َوقَا َل ِإنَّنِى ِمنَ ۡٱل ُم ۡسلِ ِمين‬
َ ٰ ‫“( َو َع ِم َل‬Dan mengerjakan amal yang
shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’”)
artinya dia sendiri menjalankan apa yang dikatakannya, maka manfaaatnya untuk
dirinya sendiri dan orang lain.
Dia bukan termasuk orang-orang yang memerintahkan kepada yang ma’ruf akan
tetapi dia sendiri mengerjakannya. Serta melarang dari kemungkaran akan tetapi dia
sendiri mengerjakannyha. Akan tetapi ia adalah orang yang melaksanakan kebaikan,
meninggalkan keburukan dan menyeru manusia kepada kebaikan yang menyeru
manusia kepada kebaikan dan dia sendiri melaksanakannya.
Rasulullah saw. adalah manusia yang lebih utama dalam masalah ini, sebagaimana
yang dikatakan oleh Muhammad bin Sirin, as-Suddi dan Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam.
Satu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud adalah para muadzin yang baik,
sebagaimana tercantum dalam shahih Bukhari: “Para muadzin adalah manusia yang
terpanjang lehernya pada hari kiamat.”
Dan di dalam kitab sunan secara marfu’: “Imam adalah penanggungjawab dan
muadzin adalah pemegang amanah. Semoga Allah memberikan hidayah kepada para
imam dan mengampuni para muadzin.”
Ibnu Mas’ud berkata: “Seandainya dulu aku seorang muadzin, niscaya aku tidak
berhaji, tidak berumrah, ataupun berjihad.” Umar bin al-Khaththab berkata:
“Seandainya dulu aku seorang muadzin, niscaya sempurnalah urusanku. Dan aku
tidak peduli apakah aku tidak mendirikan qiyamul lail ataupun shiyam sepanjang
hari.” Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Ya Allah ampunilah para
muadzin.” (3x)
Al-Baghawi menyebutkan dari Abu Umamah al-Bahili, bahwa dia berkata tentang
firman Allah: wa ‘amila shaalihan (“Mengerjakan amal yang shalih.”) yaitu shalat dua
rakaat antara adzan dan iqamat. Kemudian al-Baghawi membawakan hadits Abdullah
al-Mughaffal, ia berkata: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Di antara setiap dua adzan
terdapat shalat –kemudian beliau bersabda pada [ucapan] yang ketiga- bagi orang
yang menghendakinya.’”)
Dan diriwayatkan oleh beberapa ahli hadits dalam kitab-kitab mereka, dari Abdullah
bin Buraidah dan ats-Tsauri dari Zaid al-‘Ama, dari Abu Iyasy Mu’awiyah bin
Qurrah, dari Anas bin Malik, dimana ats-Tsauri berkata: “Aku tidak melihatnya
kecuali hal itu dinyatakannya sebagai hadits marfu’, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Doa tidak ditolak antara adzan dan iqamat.” (Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud,
at-Tirmidzi dan an-Nasa’i di dalam al-Yaum wal lailah, dari hadits ats-Tsauri, at-
Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan.” Dan diriwayatkan pula oleh an-Nasa’i dari
hadits Salman at-Taimi dari Qatadah, dari Anas.)

Pendapat yang shahih bahwa ayat ini bersifat umum, mencakup para muadzin dan
selain mereka.
Sumber: https://pecihitam.org/surah-fussilat-ayat-33-36-terjemahan-dan-tafsir-al-
quran/

SURAT AL-IMRAN AYAT 138-139


ASBABUN NUZUL
Surat Ali Imran ayat 138, ayat ini berkenaan dengan ayat 139 yang dalam asbabun
nuzulnya, dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a. bahwa pada perang Uhud, para sahabat
mengalami kekalahan, lalu ketika itu tiba-tiba Khalid bin Walid beserta pasukan
berkuda kaum musyrik ingin naik ke atas bukit untuk menyerang pasukan Islam.
Melihat hal itu, lalu rasulullah SAW, berkata: “Ya Allah, jangan sampai mereka
mengalahkan kami, Ya Allah, tiada kekuatan bagi kami kecuali atas izin dan
kehendak-Mu, Ya Allah, di tanah ini tidak ada orang-orang yang menyembah-Mu
kecuali orang-orang ini”. Lalu Allah SWT. menurunkan ayat-ayat ini. Lalu ada
sekelompok dari kaum Muslimin yang langsung meloncat berlarian ke atas bukit, lalu
mereka menyerang pasukan berkuda kaum musyrik dengan senjata panah sehingga
akhirnya mereka kalah dan mundur. (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir , Op.Cit.,
Jilid 2, 2013, hlm. 432.)
Sesungguhnya apa yang terjadi di perang Badar dan Uhud merupakan balasan bagi
orang-orang yang beriman dan balasan bagi orang-orang kafir. Hal ini disertai
penjelasan tentang hikmah yang terkandung di dalam kemenangan dan kekalahan.
Kebenaran suatu saat meskipun lama pasti akan menang dan kebatilan pasti akan
kalah. Semua ini juga telah berlaku bagi para pengikut nabi-nabi terdahulu. Hal ini
seperti yang telah dijanjikan Allah SWT kepada para rasul-Nya.(Wahbah Az-Zuhaili,
Tafsir Al-Munir , Op.Cit., Jilid 2, 2013, hlm. 433.)

TAFSIR
Tafsir Ibnu Katsir
Di dalam Al-qur`an terdapat penjelasan mengenai berbagai hal, serta bagaimana
keadaan umat-umat terdahulu dan juga musuh-musuh mereka. Di dalam Al-Qur`an itu
terdapat berita tentang orang-orang sebelum kalian dan petunjuk bagi hati kalian
sekaligus pelajaran, yaitu pencegahan terhadap hal-hal yang diharamkan dan
perbuatan dosa. Kemudian Allah menghibur kaum Muslim, dengan Firman Allah
artinya janganlah kamu lemah dengan kejadian itu, padahal kamu adalah orang yang
paling tinggi derajatnya dan bahwa pertolongan hanya bagi kalian.
Sumber: Abdullah. 2004. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi`i.

Tafsir Al-Maragi
Petunjuk yang bersifat umum bagi umat manusia dan merupakan hujjah atau bukti
bagi orang mukmin atau kafir, orang bertaqwa atau fasik, dalam hal ini juga
merupakan bantahan kepada Nabi SAW meraka mengatakan jika Muhammad
memang benar-benar seorang utusan, maka pasti mereka akan bisa dikalahkan dalam
perang uhud.Sedangkan penjelasan ini petunjuk dan petuah yang khusus bagi orang-
orang yang bertakwa, karena mereka adalah orang yang mau mengambil petunjuk
dengan kenyataan-kenyataan seperti ini, mereka juga mau mengambil sebagai
pelajaran dan dalam menghadapi kenyataan-kenyataan yang sedang mereka alami.
Dan janganlah kalian merasa lemah dalam menghadapi pertempuran dan hal-hal yang
diakibatkan olehnya, seperti membuat persiapan dan mengatur siasat perang lantaran
luka dan kegagalan dalam perang uhud. Janganlah kalian bersedih atas orang-orang
yang mati selama perang tersebut.
Cita-cita orang kafir hanya sesuai dengan tujuan rendah yang dikejarnya. Tidak
demikian halnya dengan tujuan orang-oran mukmin, yaitu ingin menegakkan
mencusuar keahlian diduia, dan mengejar kebahagiaan yang abadi di akhirat kelak.
Kesimpulannya, bahwa perintah untuk persiapan, menyediakan segala peralatan
termasuk dengan tekad dan semangat yang benar, disamping keteguhan hati dan
bertawakal kepada Allah supaya bisa meraih kemenangan dan mendapatkan apa yang
diinginkannya, serta dapat mengembalikan kerugian atau kekalahan yang telah
mereka derita.
Sumber: Al-Maraghi, Ahmad. 1993. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Karya Toha Putra.

Anda mungkin juga menyukai