NIM: B0218042
Aeng adalah salah satu naskah monolog yang ditulis oleh Putu Wijaya, tokoh
utama berdirinya Teater Mandiri. Dalam Aeng, Putu wijaya bercerita tentang seorang
tahanan yang bernama Alimin. Pria yang telah mengalami pengalaman pahit di
kehidupan bermasyarakatnya dan mendekam di penjara dengan dendam yang
terpendam membara.
Aeng garapan Teater G-Ther Whas ini memilih menafsirkan Alimin berakhir
dengan bunuh diri setelah bersaksi di pengadilan. Dan lebih menyoroti Aliin ketika
berdelusi di penjara, tentang kisahnya dengan seorang perempuan yang bernama
Nency. Dengan pembukaan oleh seorang narator yang menjelaskan latar belakang
dari seorang pria pemarah dan pendendam yang bernama Alimin.
Tata Lampu
Tata lampu digunakan pada pemntasan selain dari hakikatnya menerangi aktor
ketika bermain juga bisa menggambarkan suasana, membagi ruang, ataupun
mempertegas sebuah adegan. Dalam pementasan Aeng Teater G-Ther Whas tata
lampu yang menonjol digunakan sangat sederhana hanya ada beberapa titik lampu
yang terang, top (tengah), depan samping kiri, depan samping kanan, belakang
tengah, dan semua lampu cenderung pada jenis lampu fokus yang mempunyau ruang
tembak kecil namun padat.
Tata Musik
Tak ada lagu penuh yang digunakan Teater G-Ther Whas, mereka hanya
menggunakan musik suasana untuk mendukung pemain dan pengadenganan.
Musiknya pun berasal dari luar panggung atau memang dikeluarkan oleh tim musik.
Sangat sedikt, bahkan mungkin tidak ada musik yang berasal dari panggung atau
yang dihasilkan pemain, kecuali suara gesekan roda properti dengan panggung serta
suara ketika pemain melompat jatu dari level.
Ada beberpa kelemahan jika musik yang sebenarnya dapat diciptakan oleh
pemain diatas panggung diambil alih oleh tim musik. Seperti adegan ketika Alimin
sendang memukul-mukul jeruji besi tidak singkron dengan gerakanya, karena musik
dentingan besi tersebut dibuat di luar panggung atau diciptakan oleh tim musik. Hal
tersebut mungkin tidak terlalu menggangu ketika musik dan gerakan pemain bisa pas,
tepat dan seirama. Namun pada pementasan ini terjadi ketidak singkronan antara
dentingkan besi dan gerakan, yang membuat sedikit rishi.
Tata busana dan tata rupa sangat berperan untuk membatu aktor agar terlihat
masuk kedalam peran. Dimana harus ada kelogisan dengan latar belakang kehidupan
tokoh. Busana lusuh, tata rupa yang pucat, sedikit codet diwajah menjadikan tokoh
Alimin yang telah lama mendekam dipenjara dan tersiksa serasa hidup dan
tergambarkan jelas. Serta permainan jaket yang digunakan untuk membendakan
tokoh narator dengan tokoh Alimin.
Keaktoran
Dalam kasus ini aktor bisa membuat perbedaan yang sangat signifikan antara
ketika bermain sebagai narator dengan bermain sebagai Alimin. Dari mulai gesture
tubuh, kecenderungan gerak kecil pada tokoh narator dan gerak besar pada tokoh
Alimin, serta unsur suara yang dibuat. Dimana pemain menggunakan suara kecil
sedikit cempreng pada tokoh narator, sedangakan suara berat dan besar pada tokoh
Alimin.
Perihal blocking, ada beberapa yang serasa kurang pas dengan lampu. Karena
pada nyatanya persoalan lampu ketika sudah dipanggung hanya bisa diatasi oleh aktor
/ pemain, dimana dia harus menempatkan diri menyesuaikan lampu. Kemudian ada
beberapa adengan ketika menghadap kebelakang suara menjadi kecil dan cenderung
tidak jelas. Walaupun ada beberpa adegan yang tepat ketika berdansa dengan Nancy
atau pengambaran pengambilan pisau hanya dengan gerakan tanpa kata-kata serasa
pas dan jelas.
Sebuah seni memang pada hakikatnya sangat sulit untuk diukur dengan angka,
kalupun bisa diukur dapat dipastikan terdapat parameter kesubjektifitasan dari
penonton ataupun penilai. Terlebih seni pertunjukan (performent) teater, yang
memiliki banyak unsur kesenian, sastra, musik, tari, vokal, dan seni terapan lainnya.