Anda di halaman 1dari 4

Nama: Miftachul Na’im

NIM: B0218042

Tanggapan dan Apresiasi Pementasan Monolog ‘Aeng’ oleh Teater G-Ther


Whas

Aeng adalah salah satu naskah monolog yang ditulis oleh Putu Wijaya, tokoh
utama berdirinya Teater Mandiri. Dalam Aeng, Putu wijaya bercerita tentang seorang
tahanan yang bernama Alimin. Pria yang telah mengalami pengalaman pahit di
kehidupan bermasyarakatnya dan mendekam di penjara dengan dendam yang
terpendam membara.

Pada sebuah penggarapan pementasan naskah drama / lakon, dapat dipastikan


akan ada penafsirkan kembali naskah yang ingin digarapnya. Masalah apa yang ingin
ditonjolkan, Wacana apa yang ingin dipertebal semua tergantung kepada penggarap.
Karena dalam proses penggarapan, penulis naskah telah mati. Tapi bukan berarti
penggarap tidak diperbolehkan menanyakan maksud dari naskah tersebut kepada
penulis, itu kasus lain.

Aeng garapan Teater G-Ther Whas ini memilih menafsirkan Alimin berakhir
dengan bunuh diri setelah bersaksi di pengadilan. Dan lebih menyoroti Aliin ketika
berdelusi di penjara, tentang kisahnya dengan seorang perempuan yang bernama
Nency. Dengan pembukaan oleh seorang narator yang menjelaskan latar belakang
dari seorang pria pemarah dan pendendam yang bernama Alimin.

Tata Panggung (setting)

Monolong memang identik dengan penggunaan properti yang minimalis.


Dimana properti tersebut dapat di eksplor oleh actor yang bermain dipangung. Pada
Aeng garapan Teater G-Ther Whas dari cilacap ini menggunakan satu property yang
mirip seperi level setinggi kurang lebih satu meter dengan modifikasi diberi roda dan
dibuat berjeruji.
Properti tersebut berhasil digunakan oleh aktor saat menggambarkan jeruji
penjara, tempat duduk romantic ketika Alimin sedang mengadu cinta dengan Nency,
dan menggambarkan mimbar pengadilan Alimin. Serta beberapa adengan yang
menggambarkan keadaan batin tokoh Alimin.

Tata Lampu

Tata lampu digunakan pada pemntasan selain dari hakikatnya menerangi aktor
ketika bermain juga bisa menggambarkan suasana, membagi ruang, ataupun
mempertegas sebuah adegan. Dalam pementasan Aeng Teater G-Ther Whas tata
lampu yang menonjol digunakan sangat sederhana hanya ada beberapa titik lampu
yang terang, top (tengah), depan samping kiri, depan samping kanan, belakang
tengah, dan semua lampu cenderung pada jenis lampu fokus yang mempunyau ruang
tembak kecil namun padat.

Sayangnya ada beberapa adengan dimana lampu sangat lemah dalam


menyoroti wajah pemaian. Ada yang memang pencahyaan yang kurang terang,
penerangan di titik yang kurang tepat, atau tertutupi bayangan yang dibuat ileh
properti dan jatuh ke wajah pemain. Walaupun ada beberapa adengan ketika wajah
pemain yang kurang pencahayaan terasa pas dan tepat, namun lebih banyak yang
kurang pas dan kurang tepat.

Tata Musik

Tak ada lagu penuh yang digunakan Teater G-Ther Whas, mereka hanya
menggunakan musik suasana untuk mendukung pemain dan pengadenganan.
Musiknya pun berasal dari luar panggung atau memang dikeluarkan oleh tim musik.
Sangat sedikt, bahkan mungkin tidak ada musik yang berasal dari panggung atau
yang dihasilkan pemain, kecuali suara gesekan roda properti dengan panggung serta
suara ketika pemain melompat jatu dari level.

Suara dentuman jinbe menjadi pembuka pementasan, yang memang sering


digunakan oleh mayoritas teater untuk menggambarkan keteganggan. Petikan gitar
digunakan untuk mengiring alimin yang sedang bercinta dengan Nency yang
memunculkan suasana romantis. Kemudian lonceng yang menjadi suara perubah
karakter dan ruang.

Ada beberpa kelemahan jika musik yang sebenarnya dapat diciptakan oleh
pemain diatas panggung diambil alih oleh tim musik. Seperti adegan ketika Alimin
sendang memukul-mukul jeruji besi tidak singkron dengan gerakanya, karena musik
dentingan besi tersebut dibuat di luar panggung atau diciptakan oleh tim musik. Hal
tersebut mungkin tidak terlalu menggangu ketika musik dan gerakan pemain bisa pas,
tepat dan seirama. Namun pada pementasan ini terjadi ketidak singkronan antara
dentingkan besi dan gerakan, yang membuat sedikit rishi.

Tata Busana / Rupa

Tata busana dan tata rupa sangat berperan untuk membatu aktor agar terlihat
masuk kedalam peran. Dimana harus ada kelogisan dengan latar belakang kehidupan
tokoh. Busana lusuh, tata rupa yang pucat, sedikit codet diwajah menjadikan tokoh
Alimin yang telah lama mendekam dipenjara dan tersiksa serasa hidup dan
tergambarkan jelas. Serta permainan jaket yang digunakan untuk membendakan
tokoh narator dengan tokoh Alimin.

Keaktoran

Keaktoran merupakan sebuah unsur utama dalam pementasan, mau


bagaimanapun setting panggung, tatalampu, busana dan make up yang megah pun
jika lemah dalam keaktoran semua unur lain tersebut tidak ada gunanya, mungkin
begitulah peryataan dasarnya. Walaupaun unsur inilah yang sangat kental dengan
faktor subjektifitas tergantung siapa penilai dan penontonnya.

Dalam kasus ini aktor bisa membuat perbedaan yang sangat signifikan antara
ketika bermain sebagai narator dengan bermain sebagai Alimin. Dari mulai gesture
tubuh, kecenderungan gerak kecil pada tokoh narator dan gerak besar pada tokoh
Alimin, serta unsur suara yang dibuat. Dimana pemain menggunakan suara kecil
sedikit cempreng pada tokoh narator, sedangakan suara berat dan besar pada tokoh
Alimin.

Perihal blocking, ada beberapa yang serasa kurang pas dengan lampu. Karena
pada nyatanya persoalan lampu ketika sudah dipanggung hanya bisa diatasi oleh aktor
/ pemain, dimana dia harus menempatkan diri menyesuaikan lampu. Kemudian ada
beberapa adengan ketika menghadap kebelakang suara menjadi kecil dan cenderung
tidak jelas. Walaupun ada beberpa adegan yang tepat ketika berdansa dengan Nancy
atau pengambaran pengambilan pisau hanya dengan gerakan tanpa kata-kata serasa
pas dan jelas.

Sebuah seni memang pada hakikatnya sangat sulit untuk diukur dengan angka,
kalupun bisa diukur dapat dipastikan terdapat parameter kesubjektifitasan dari
penonton ataupun penilai. Terlebih seni pertunjukan (performent) teater, yang
memiliki banyak unsur kesenian, sastra, musik, tari, vokal, dan seni terapan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai