Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FARMAKOGNOSI II
PENENTUAN KADAR AIR, MINYAK ATSIRI, TANIN,
ALFATOKSIN

KELOMPOK V:

Natasya Virginia (D1B121187)


Rini Angraini (D1B121190)
Putri Ayu Lestari (D1B121193)
Sukaslim Amin (D1B121192)
Mustika (D1B121191)
Grasela (D1B121186)
Alifa Sulayika (D1B121188)

DOSEN PENGAMPU: apt. Rugayyah Alyidrus, S.Farm., M.Si.

UNIVERSITAS MEGAREZKY
FAKULTAS FARMASI
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-

Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah “Penentuan Kadar Air, Minyak

Atsiri, Tanin, Alfatoksin” dengan tepat waktu. Makalah disusun untuk memenuhi

tugas Farmakognosi II. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan

tentang penentuan kadar pada sediaan dalam bidang farmasi bagi para pembaca

dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu apt. : apt. Rugayyah

Alyidrus, S.Farm., M.Si. selaku dosen teori Farmakognosi II kelas D/S1 Farmasi

Angkatan 2021.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,

saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

JUDUL......................................................................................................................
.
KATA
PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR
ISI..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang.............................................................................................
1.2 Identifikasi
Masalah.....................................................................................
1.3
Tujuan..........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Penentuan Kadar
Air....................................................................................
2.2 Penentuan Kadar Minyak
Atsiri...................................................................
2.3 Penentuan Kadar
Tanin................................................................................
2.4 Penentuan Kadar
Alfatoksin.........................................................................
BAB III PENUTUP
1.1
Kesimpulan..................................................................................................
1.2
Saran............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan tumbuhan obat sebagai obat di Indonesia telah meningkat,

akan tetapi dalam penggunaannya masih banyak hanya sebatas pengalaman

yang diturunkan dari nenek moyang bangsa Indonesia. Disini peran ilmu

farmakognosi yang memilah tanaman yang berkhasiat obat atau tidaknya

dengan berbagai tes yang dilakukan terhadap tumbuhan tersebut seperti

kromatografi, spektrofotometrik dan lain-lain. Alam memberikan kepada kita

bahan alam darat dan laut berupa tumbuhan, hewan dan mineral yang jika

diadakan identifikasi dan menentukan sistematikanya maka diperoleh bahan

alam berkhasiat obat.

Kadar air merupakan parameter yang sangat penting pada saat proses

pengeringan berlangsung. Tujuan pengeringan yaitu untuk mengurangi atau

menghilangkan kandungan air pada suatu bahan hingga mencapai kadar air

yang dinginkan. Semakin besar penurunan kadar air pada suatu bahan maka

akan semakin cepat proses pengeringan berlangsung.

Minyak atsiri merupakan komoditas ekspor non migas yang dibutuhkan

di berbagai indsutri seperti dalam industri farmasi/obat-obatan, kosmetika,

industri makanan dan minuman. Minyak atsiri adalah zat berbau yang

terkandung dalam tanaman. Minyak ini disebut juga minyak menguap, minyak

eteris, minyak esensial karena pada suhu kamar mudah menguap. Istilah

esensial dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya.
Tanin Senyawa tanin merupakan kelompok senyawa yang bersumber

dari tanaman yang digunakan untuk membuat kulit binatang menjadi awet dan

kedap air.

Aflatoksin adalah racun yang secara alamiah dihasilkan dari produk

metabolisme jamur Aspergillus flavus, dan Aspergillus parasiticus. Kedua

jamur ini pada kondisi yang sesuai, tumbuh pada banyak tanaman pangan.

Penetapan kadar ini merupakan salah satu kontrol kualitas dalam

menjamin keamanan suatu sediaan.

1.2 Identifikasi Masalah

1) Bagaimana langkah-langkah penentuan kadar air?

2) Bagaimana langkah-langkah penentuan kadar minyak atsiri?

3) Bagaimana langkah-langkah penentuan kadar tanin?

4) Bagaimana langkah-langkah penentuan kadar alfatoksin?

1.3 Tujuan

1) Untuk mengetahui langkah-langkah penentuan kadar air

2) Untuk mengetahui langkah-langkah penentuan kadar minyak atsiri

3) Untuk mengetahui langkah-langkah penentuan kadar tanin

4) Untuk mengetahui langkah-langkah penentuan kadar alfatoksin


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penentuan Kadar Air

Kadar air merupakan parameter yang sangat penting pada saat proses

pengeringan berlangsung. Tujuan pengeringan yaitu untuk mengurangi atau

menghilangkan kandungan air pada suatu bahan hingga mencapai kadar air

yang dinginkan. Semakin besar penurunan kadar air pada suatu bahan maka

akan semakin cepat proses pengeringan berlangsung (Maulana, dkk, 2023)

Banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam

persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan

pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa

pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan

kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Kadar air yang tinggi

mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang

biak, sehingga akan teriadi perubahan pada bahan pangan (Persagi, 2009)

Pengukuran kadar air pada suatu bahan dapat diukur atas 2 cara, yaitu

menggunakan metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung

ialah dengan cara penentuan kadar air langsung terhadap bahan. Metode

penentuan kadar air tidak langsung menentukan atau mengukur kandungan air

yang ada pada bahan dengan cara mengukur tahanan tau tegangan listrik yang

ditimbulkan oleh air bahan, atau dengan mengukur penyerapan gelombang

mikro, sonik atau ultrasonik oleh air bahan, atau dengan mengukur sifat

spektroskopi air bahan (Maulana, dkk, 2023).


Penentuan kadar air dapat dilakukan dengan sejumlah metode di

antaranya secara thermogravimetri, thermovolumetri, kimiawi, dan fisis.

Metode yang paling sering digunakan karena kemudahan dan harga analisis

yang terjangkau adalah metode thermogravimetri. Prinsip kerja dari

thermogravimetri adalah penguapan kadar air yang terkandung di dalam

bahan dengan memanaskan diatas titik penguapan air, kurang lebih suhu

1050C, kemudian dilakukan penimbangan berulang sampai berat sampel

konstan yang menunjukkan semua kadar air telah diuapkan Jika telah

didapatkan berat konstan, maka dapat diperkirakan persentase kadar air

dengan menggunakan rumus (Purba, dkk, 2022).

Cara thermogravimetri adalah cara paling murah dan mudah untuk

analisis kandungan air. Namun cara ini memiliki sejumlah kelemahan di

antaranya bahan selain air juga dapat ikut menguap dan hilang bersama

dengan menguapnya uap air seperti kandungan zat aktif seperti polifenol,

turnan alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lainnya (Purba, dkk, 2022).

Selain menggunakan metode thermogravimetri, sejumlah metode lain

juga dapat digunakan untuk mengetahui kadar air di antaranya metode

destilasi (thermovolumetri), metode kimiawi dengan cara titrasi Karl Fischer,

cara kalsium karbit dan cara asetil klorida, serta cara fisika dengan tetapan

dielektrikum, berdasarkan daya konduksi listrik atau daya resistensi yang

dihasilkan berdasarkan resonansi nuklir magnetik alat. Metode ini jarang

digunakan karena menggunakan reagen yang banyak dan berbahaya, serta

biaya operasional yang cukup mahal (Purba, dkk, 2022).


2.2 Penentuan Kadar Minyak Atsiri

Minyak atsiri merupakan metabolit tanaman, berupa cairan mudah

menguap dan mempunyai bau aromatik yang khas untuk tap tanaman.

Minyak atsiri bersifat mudah menguap pada suhu kamar, berbentuk cair

seperti minyak sehingga tidak dapat bercampur dengan air. Minyak atsiri

merupakan campuran dari berbagai macam komponen penyusun yang

biasanya adalah senyawa golongan monoterpen, seskuiterpen, dan turnan

oksidanya. Minyak atsiri mempunyai banyak aktivitas farmakologi yang

sudah banyak diteliti, sehingga banyaknya minyak atsiri dalam bahan bat

herbal sangat menentukan kualitasnya. Oleh karena itu, dalam rangka untuk

menjaga kualitas bahan obat herbal, perlu dilakukan penepatan kadar minyak

atsiri dalam bahan tersebut (Sudarsono & Indah, 2022).

Pengenalan tumbuh-tumbuhan yang mengandung minyak atsiri akan

mempermudah mengidentifikasi penggunaan minyak tersebut, karena minyak

yang dihasilkan dari tumbuhan yang berbeda akan menghasilkan kualitas dan

jenis yang berbeda pula. Dengan kata lain, setiap jenis tumbuhan

menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang spesifik (Novari, dkk, 2007).

Penetapan kadar minyak atsiri dilakukan dengan cara destilasi. Metode

yang digunakan hampir sama dengan metode penetapan kadar air, tetapi pada

metode ini pelarut yang digunakan adalah air, sehingga air dan minyak atsiri

akan menguap secara bersama-sama. Setelah terjadi kondensasi, minyak akan

ditampung dan terpisah dari air. Minyak dapat berada di atas air atau di
bawah air tergantung bobot jenis minyak yang terdestilasi. Volume minyak

diukur dan dihitung kadarnya per gram sampel (Sudarsono & Indah, 2022).

Distilasi atau penyulingan adalah metode pemisahan kimia-fisika yang

digunakan untuk mengambil minyak astiri. Prinsip kerjanya dengan cara

memisahkan komponen suatu campuran yang terdiri atas dua cairan atau

lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap atau perbedaan titik didih

komponen-komponen senyawa. (Putri, dkk, 2021).

Hidrodestilasi adalah proses penyulingan suatu bahan yang berwujud

cairan yang tidak saling bercampur dengan tujuan memisahkan kandungan

pada suatu bahan tersebut sehingga membentuk dua fasa atau dua lapisan.

Biasanya pada proses ini menggunakan bantuan air maupun uap air. Cara

penanganan bahan yang diproses, hidrodistilasi memiliki 3 jenis metode

sebagai berikut (Putri, dkk, 2021):

a. Penyulingan/Destilasi Air (Perebusan);

Bahan yang akan disuling berhubungan langsung dengan air mendidih.

Bahan yang direbus kemungkinan mengapung diatas air ataupun terendam

seluruhnya, tergantung pada berat jenis dan kuantitas bahan yang akan

diproses. Air didihkan dengan api secara langsung. Sehingga disebut juga

metode perebusan. Selama proses perebusan inilah minyak astiri bakal

menguap bersama uap air. Untuk mengumpulkannya dibutuhkan alat

berupa kondensor untuk dikondensasi.

b. Penyulingan / Destilasi Uap dan Air (Pengukusan)


Bahan ditempatkan dalam wadah yang hampir sama dengan dandang

pengukus, sehingga metode ini disebut pengukusan. Proses dilakukan

dengan cara air dipanaskan sampai mendidih yang sebelumnya dikasih

pembatas antara air dan bahan baku sehingga minyak atsiri akan terikut

bersama aliran uap kemudian dialirkan ke kondensor. Minyak astiri yang

dihasilkan dengan metode ini memiliki mutu yang tinggi, namun dalam

prosesnya temperatur steam harus dikontrol agar bahan yang digunakan

mengeluarkan minyak astiri bukan membakar bahan. Tekanan uap yang

digunakan yaitu > 1 atm dan suhu > 100o C.

c. Penyulingan / Destilasi Uap Langsung (Steam Distillation)

Bahan dialiri dengan uap yang berasal dari suatu pembangkit uap. Uap

yang dihasilkan lazimnnya memiliki tekanan yang lebih besar dari pada

tekanan atmosfer. Uap yang dihasilkan dialirkan kedalam alat penyulingan

sehingga minyak atsiri akan menguap terbawa oleh aliran uap air yang

dialirkan ke kondensor untuk dikondensasi. Alat yang digunakan dalam

metode ini disebut alat suling uap langsung.

2.3 Penetapan Kadar Tanin

Tanin merupakan senyawa alami dengan berat molekul 500-3000,

dengan beberapa gugus hidroksi fenol bebas, terbentuk ikatan stabil dengan

protein dan biopolimer (Ryanata, 2014).

Untuk menentukan tanin secara kualitatif dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi adanya tanin dan jenis tanin. Untuk identifikasi adanya tanin

menggunakan larutan uji FeCl3, gelatin test, uji penambahan kalium


ferisianida dan ammonia, dan uji untuk asam klorogenik. Sedangkan untuk

menentukan jenis tanin terkondensasi, terhidrolisis dan kompleks

menggunakan larutan uji FeCl3, uji katekin, uji HCI, uji asam asetat ditambah

Pb asetat, uji KBr. Jika hasil uji menunjukkan hasil positif pada pengujian

tanin terhidrolisis dan terkondensasi, kemungkinan tergolong tanin kompleks.

Untuk itu dilakukan uji tambahan dengan menggunakan pereaksi Stiasnya

(formaldehid 3%-asam korida 2:1) dan uji penambahan FeCI, pada filtrat

hasil refluks. Untuk uji kuantitatif tanin menggunakan metode

spektrofotometri dan permanganometri (Ryanata, 2014).

Keuntungan utama metode spektrofotometri adalah memberikan cara

yang sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang sangat kecil. Metode

penetapan kadar tanin secara permanganometri yang digunakan berdasarkan

Materia Medika Indonesia, karena lebih cepat dibandingkan dengan metode

permanganometri pada Official Methods Of Analvsis Of Association Of

Official Analytical Chemist, yang memerlukan waktu 20 jam untuk penyarian

dengan eter anhidris yang mudah menguap (Ryanata, 2014).

Metode kedua yang digunakan untuk penetapan kadar tanin adalah

Kolorimetri memakai instrument spektrofotometer. Teknik ini menggunakan

sumber radiasi sinar tampak dengan memakai instrument spektrofotometer.

Spektrofotometri merupakan pengukuran energi cahaya oleh suatu sistem

kimia pada panjang gelombang tertentu (Ryanata, 2014).

Penetapan kadar tanin total dilakukan dengan menggunakan reagen

Folin-Ciocalteau. Reagen Folin Ciocalteau digunakan karena senyawa fenolik


dapat bereaksi dengan Folin membentuk larutan berwarna yang dapat diukur

absorbansinya. Prinsip dari metode Folin Ciocalteau adalah terbentuknya

senyawa kompleks berwarna biru yang dapat diukur pada panjang gelombang

765 nm. Pereaksi ini mengoksidasi fenolat (garam alkali) atau gugus fenolik-

hidroksi mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) yang

terdapat dalam pereaksi Folin Ciocalteau menjadi suatu kompleks

molibdenum-tungsten. Senyawa fenolik bereaksi dengan reagen Folin

Ciocalteau hanya dalam susana basa agar terjadi disosiasi proton pada

senyawa fenolik menjadi ion fenolat. Untuk membuat kondisi basa digunakan

Na2CO3 15%. Gugus hidroksil pada senyawa fenolik bereaksi dengan reagen

Folin Ciocalteau membentuk kompleks molibdenumtungsten berwara biru

yang dapat dideteksi dengan spektrofotometer. Semakin besar konsentrasi

senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam

heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) menjadi kompleks molibdenum-

tungsten sehingga warna biru yang dihasilkan semakin pekat. Dan sebagai

standart pembanding adalah asam galat (Ryanata, 2014).

2.4 Penetapan Kadar Alfatoksin

Aflatoksin merupakan cemaran alami yang dihasilkan oleh beberapa

spesies dari fungi Aspergillus yang banyak ditemukan di daerah beriklim

panas dan lembap, terutama pada suhu 27-40°C (80-104° F) dan kelembapan

relatif 85%.' Sebagai mikotoksin, senyawa tersebut lebih stabil dan tahan

selama pengolahan makanan (Nurul, 2012)


Berdasarkan klasifikasi InternationalAgency for Research on Cancer

(ARC). aflatoksin termasuk dalam senyawa Kelompok 1, yakni senyawa yang

bersifat karsinogenik pada manusia, terutama Aflatoksin B, merupakan

aflatoksin yang paling toksik. Selain bersifat karsinogenik, aflatoksin juga

bersifat genotoksik, hepatoksik pada manusia, serta nefrotoksik dan

imunosupresif pada hewan. Batas cemaran aflatoksin dalam makanan adalah

sebesar 20 ppb dan dalam susu sebesar 0,5 ppb (Nurul, 2012).

Aflatoksin bersifat karsinogenik sehingga preparasi standar dan sampel

harus dilakukan secara hati-hati dan dengan menggunakan berbagai

perlengkapan perlindungan diri. Beberapa perlindungan yang dianjurkan

untuk digunakan antara lain, jas lab atau penutup tubuh sekali pakai yang

tahan terhadap bahan kimia, kacamata lab (googles), masker sekali pakai atau

respirator, dan sarung tangan sekali pakai yang dipakai secara rangkap atau

sarung tangan khusus yang tahan terhadap bahan kimia (Nurul, 2012).

Tiga metode yang umum digunakan untuk menganalisis aflatoksin,

yakni Kromatografi Lapis Tipis Densitometri (KLT Densitometri),

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), dan Enzyme-Linked

Immunosorbent Assay (ELISA). Preparasi sampel aflatoksin bervariasi

bergantung pada metode analisisnya. Secara umum, ekstraksi aflatoksin dari

sampel dilakukan menggunakan pelarut organik seperti kloroform, metanol,

aseton, asetonitril, dan benzen (Nurul, 2012).


KLT densitometri merupakan metode analisis yang mash dimanfaatkan

hingga saat ini. Analisis aflatoksin dilakukan menggunakan fase diam

lempeng KLT silica gel 60 F254 ukuran 20 × 10 cm dengan fase gerak

kloroform-etil asetat (7:3). Deteksi dan kuantitasi dilaksanakan menggunakan

alat pemindai KLT densitometri, detektor fluoresensi, pada panjang

gelombang eksitasi maksimum 354 nm dan emisi 400 nm. Metode ini

mempunyai batas deteksi (limit of detection, LOD) untuk aflatoksin B1

sebesar 9,62 pg dan untuk aflatoksin G1 sebesar 10,9 pg. Sementara itu, batas

kuantitasi (limit of quantitation, LOQ) untuk aflatoksin B1 dan G1 masing-

masing sebesar 32,08 pg dan 36,41 pg (Nurul, 2012).

Analisis aflatoksin dengan KCKT dilakukan dengan menggunakan

sistem KCKT fase terbalik dengan kondisi sebagai berikut: kolom silika yang

terikat dengan C-18 panjang 15 cm, fase gerak air-metanol-asetonitril

(50:40:10), kecepatan alir 0,8 ml/menit, suhu ruang. volume injeksi 10

mikroliter pada konsentrasi 0,044 mg/ml, dan detektor fluoresensi. Panjang

gelombang eksitasi maksimum dan panjang gelombang emisi untuk detektor

fluoresensi adalah 365 nm dan 455 nm (Nurul, 2012).

Prinsip dasar ELISA adalah analisis interaksi antara antigen dan

antibodi yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan padat dengan

menggunakan konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim. Hasil dari

ELISA adalah suatu warna sebagai hasil reaksi antara enzim dan substrat.

Warna yang dihasilkan dapat diidentifikasi secara kasat mata dan dibaca

secara kuantitatif menggunakan ELISA plate reader atau spektrofotometer


kanal ganda. Pembacaan in memungkinkan data diperoleh dengan cepat,

dapat disimpan dan dianalisis secara statistik. Reaksi spesifik antara antigen

dan antibodi, waktu analisis yang cepat, dan dapat digunakan untuk

mendeteksi sampel tunggal maupun banyak sekaligus merupakan keunggulan

penggunaan ELISA sebagai teknik analisis (Nurul, 2012).


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penetapan kadar merupakan salah satu kontrol kualitas dalam menjamin

keamanan suatu sediaan. Kadar air, salah satu karakteristik yang sangat penting

pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan

citarasa pada bahan pangan. Pengenalan tumbuh-tumbuhan yang mengandung

minyak atsiri akan mempermudah mengidentifikasi penggunaan minyak

tersebut, karena minyak yang dihasilkan dari tumbuhan yang berbeda akan

menghasilkan kualitas dan jenis yang berbeda pula sehingga pentingnya

melakukan penetapa kadar. Tanin adalah senyawa makanan yang termasuk

dalam kategori senyawa polifenol. Senyawa ini terdapat pada berbagai bagian

tumbuhan secara alami. Tanin memiliki banyak manfaat dalam bidang farmasi

sebagai pengobatan. Alfatoksin merupakan racun yang dihasilkan secara

alamiah dari metabolisme jamur, penetapan kadar dapat mencegah kadar

bahaya cemaran alfatoksin pada sediaan.

3.2 Saran

Demikian pula penyempurnaan dari segala aspek perlu dilakukan demi

kesempurnaan tulisan ini.


DAFTAR PUSTAKA

Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Kamus Gizi. Buku Kompas: Jakarta

Novari, Firna, dkk. 2007. Isolasi dan Penentuan Kadar Minyak Atsiri dari Daun
dan Kulit Kayu Manis (Cinamomum burmannii BL.,) dengan Metode
Kromatografi Gas. Jurnal Kehutanan UNMUL. Vol 3. No. 1.

Maulana, Vebi., dkk. 2023. Pengembangan Sistem Kontrol Suhu dan Berat
Berbasis Arduino Uno Untuk Pengeringan Ikan Teri. Uwais Inspirasi
Indonesia: Jawa Timur.

Purba, Deasy H., dkk. 2022. Ilmu Gizi. Yayasan Kita Menulis: Jakarta.

Putri, Imas Ayu, dkk. 2021. Pembuatan Minyak Atsiri Kemangi (Ocinum
Basilicum L.,) Dengan Menggunakan Metode Distalasi Uap Langsung.
Universitas PGRI Palembang. Vol. 6. No. 2.

Sudarsono & Indah Purwantini. 2022. Standarisasi Obat Herbal. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta.

Ryanata, Ebry. 2014. Penentuan Jenis Tanin dan Penetapan Kadar Tanin dari
Kulit Buah Pisang Masak (Musa paradisiaca L.) Secara
Spektrofotometri dan Permanganometri. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya Vol. 4 No. 1.

Nurul, Aini. 2012. Aflatoksin: Cemaran dan Metode Analisisnya dalam Makanan.
Jurnal Kefarmasian Indonesia Vol. 2 No. 2.

Anda mungkin juga menyukai