Anda di halaman 1dari 12

Kerajaan Pagaruyung : Sejarah, Peninggalan dan Masa Kejayaan

21/12/2022

Kerajaan Pagaruyung

Arca Adityawarman
@https://id.wikipedia.org/
Kerajaan Pagaruyung merupakan kerajaan di Indonesia yang mengalami dua masa sekaligus,
yakni masa Hindu-Budha dan masa Islam.
Nama kerajaan ini dirujuk dari nama pohon Nibung atau Ruyung
Ketika awal didirikan pada 1347 M, Kerajaan Pagaruyung bercorak Hindu-Buddha. Kemudian
pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung berubah menjadi bercorak Islam.
Kerajaan Pagaruyung terletak di Provinsi Sumatera Barat dan sebagian Provinsi Riau.
Pagaruyung berkuasa selama 5 abad, dan akhirnya runtuh dalam peristiwa Perang Padri.

Wilayah Kekuasaan Kerajaan Pagaruyung


Wilayah kekuasaan Pagaruyung meliputi dataran tinggi pedalaman Sumatera, wilayah pantai
timur Arcat ke Jambi, dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan
Pariaman.
Dinyatakan pula bahwa tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan bagian dari tanah
Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau.
Di dalam Tambo yang merupakan legenda adat minangkabau bahwa wilayah Pagaruyung
meliputi, Pasaman Barat, Sumatera Barat, Bengkulu, Kabupaten Bungo, dan Kabupaten
Kampar Riau.

Sistem Pemerintahan Kerajaan Pagaruyung


Sistem pemerintahan Pagaruyung hampir sama dengan pemerintahan di Majapahit, dan juga
menyesuaikan dengan kerajaan yang ada sebelumnya, yakni Dharmasraya dan Sriwijaya.
Pagaruyung menganut sistem raja triumvirat atau tiga orang raja yang bersila, yang meliputi:
1. Raja Alam yang berkedudukan di Pagaruyung;
2. Raja Adat yang berkedudukan di Buo;
3. Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus.
Selain raja, Pagaruyung juga memiliki 4 orang pembesar utama yang disebut dengan Basa
Ampek Balai. Keempat pembesar utama di antaranya adalah:
1. Bandaro yang berkedudukan di Sungai Tarab;
2. Makhudum yang berkedudukan di Sumanik;
3. Indomo yang berkedudukan di Suruaso;
4. Tuan Gadang yang berkedudukan di Batipuh.
Selain raja dan para menteri, ada juga aparat pemerintahan yang bertugas menjalankan
kebijakan dari kerajaan, aparat itu disebut dengan Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:
1. Pamuncak Koto Piliang
2. Perdamaian Koto Piliang
3. Pasak Kungkuang Koto Piliang
4. Harimau Campo Koto Piliang
5. Camin Taruih Koto Piliang
6. Cumati Koto Piliang
7. Gajah Tongga Koto Piliang

Raja-raja Kerajaan Pagaruyung


Raja-raja Pagaruyung dibedakan menjadi dua, yakni pada masa Hindu-buddha dan Pagaruyung
pada masa Islam. Berikut adalah nama-nama raja Pagaruyung dari masa ke masa:
Maharajadiraja & Yuwaraja
1. Maharajadiraja Akarendrawarman di Parahyangan (k. 1316);
2. Maharajadiraja Adityawarman di Malayapura dan Surawasa (1347-1375);
3. Yuwaraja Ananggawarman (kemudian Maharajadiraja?) di Malayapura (1375-1417);
4. Yuwaraja Bijayendrawarman di Parwatapuri (~abad ke-14);
5. Maharajadiraja Wijaya Warman di Malayapura (1417-1440).
Yang Dipertuan Sultan (Raja Alam) & Regent Tanah Datar
1. Yang Dipertuan Sultan Ahmadsyah di Pagaruyung (1668-1674);
2. Yang Dipertuan Sultan Indermasyah di Suruaso dan Pagaruyung (1674-1730);
3. Yang Dipertuan Sultan Arifin Muningsyah di Pagaruyung (1780-1821);
4. Yang Dipertuan Sultan Tunggal Alam Bagagarsyah (kemudian Regent Tanah Datar)
di Pagaruyung (1821-1833).

Sejarah Kerajaan Pagaruyung


Pembahasan di bawah ini memuat sejarah Kerajaan Pagaruyung, yang dimulai dari asal-muasal
berdirinya, masa Hindu-Buddha, dan berganti masa Islam, hingga tercetusnya perang Padri
yang menyebabkan keruntuhan. Selengkapnya dapat diamati pada uraian di bawah ini:
Berdirinya Kerajaan Pagaruyung
Pada Arca Amoghapasa diceritakan bahwa Adityawarman menyatakan dirinya sebagai raja di
Malayapura pada 1347 M. Dari sumber tersebut, Adityawarman diduga kuat sebagai pendiri
Kerajaan Pagaruyung.
Adityawarman adalah seorang keturunan Minangkabau-Jawa dari pasangan Adityawarman
dan Dara Jingga.
Namun, pendapat lainnya menyatakan bahwa Adityawarman adalah putra Raden Wijaya
(pendiri Kerajaan Majapahit dengan Dara Jingga.
Di sisi lain, Adityawarman dinyatakan sebagai sepupu dari garis keluarga ibunya, yaitu raja
Jayanegara (raja kedua Majapahit).
Sebelum mendirikan Kerajaan Pagaruyung, Adityawarman diketahui menaklukkan Bali dan
Palembang bersama Mahapatih Gajah Mada.
Adityawarman juga merupakan raja bawahan (uparaja) dari Majapahit yang dikirim untuk
menaklukkan beberapa daerah penting di Pulau Sumatera.
Bersamaan dengan itu, ia berupaya untuk melepaskan diri dari Majapahit. Dan mengetahui hal
tersebut, membuat Majapahit mengirim pasukan dari Jawa Timur untuk mengejar
Adityawarman. Hingga tercetuslah pertempuran dahsyat di daerah Pada Sibusuk,
Adityawarman mencapai kemenangan.
Puncak Kejayaan Kerajaan Pagaruyung
Masa kejayaan Pagaruyung dicapai pada saat masa pemerintahan Adityawarman dan putranya
yang bernama Ananggawarman.
Pada saat itu, Kerajaan Pagaruyung berubah menjadi sangat kuat dan berhasil memperluas
wilayah kekuasaannya sampai ke Sumatera bagian tengah.
Diketahui pula bahwa pada tahun 1371 sampai 1377, Adityawarman mengirimkan utusan ke
Dinasti Ming sebanyak enam kali.
Pengaruh Hindu-Buddha
Hindu-Buddha sebenarnya telah muncul di Sumatera bagian tengah sejak abad ke-13,
yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanegara, dan kemudian
dilanjutkan masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman.
Masa Pemerintahan Adityawarman telah mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan
sekitarnya. Hal ini dapat dibuktikannya keberadaan Arca Amoghapasa dan prasasti
Batusangkar telah ada sejak pemerintahan Adityawarman.
Berubah Bercorak Islam
Pada abad ke-16, agama Islam mulai dibawa masuk oleh para musafir yang singgah dari Aceh
dan Malaka, dan kemudian berkembang di Pagaruyung.
Syaikh Burhanuddin Ulaka merupakan salah satu ulama yang pertama kali menyebarkan Islam
di Pagaruyung dan merupakan murid ulama terkenal di Aceh.
Masuk ke abad 17, Kerajaan Pagaruyung berubah menjadi sebuah kesultanan dan raja
pertamanya yang masuk Islam adalah Sultan Alif.
Dengan menganut ajaran Islam, beberapa aturan Minangkabau di Pagaruyung mulai
dihilangkan. Hal ini dilakukan karena aturan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang
mereka anut.

Hubungan dengan Belanda dan Inggris


Pada 1667 M, VOC berhasil menaklukkan Kesultanan Aceh, sehingga kekuasaan Pagaruyung
kembali.
Menjelang akhir abad ke-17, perekonomian Kerajaan Pagaruyung mulai menarik perhatian
Belanda dan Inggris. Karena pada saat itu ekonomi Pagaruyung sedang mengandalkan
produksi emas.
Pada 1684, Gubernur Jendral Belanda mengutus Thomas Dias untuk datang ke Pagaruyung.
Mereka membina komunikasi dan perdagangan dengan Pagaruyung.
Pada tahun 1795 sampai 1819 M, Pagaruyung sempat berada di bawah kekuasaan Inggris. Tapi
setelah disepakati Traktat London pada 1824, Belanda menguasai kembali Pagaruyung.
Perang Padri dan Cikal Bakal Kemunduran

Perang Padri
@https://id.wikipedia.org/
Kemunduran Kerajaan Pagaruyung disebabkan karena adanya Perang Padri antara 1803
sampai 1838 M.
Salah satu pemimpin Perang Padri kala itu adalah Tuanku Imam Bonjol. Beliau menjadi
pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Hingga memasuki awal abad ke-19, kekuasaan Pagaruyung semakin melemah. Permusuhan
antara keluarga kerajaan dengan kaum Padri tidak dapat dihindari, hingga menimbulkan korban
jiwa akibat permusuhan mereka.
Untuk melawan kaum Padri, keluarga Kerajaan Pagaruyung dengan terpaksa meminta bantuan
Belanda.
Pada 10 Februari 1821, ditandatanganilah perjanjian antara Kerajaan Pagaruyung dengan
Belanda. Dari pihak Pagaruyung, ada Sultan Alam Bagagarsyah yang merupakan raja terakhir
Pagaruyung.
Kesepakatan ini diambil sebagai bentuk penyerahan Pagaruyung kepada Belanda. Selain itu,
Belanda berjanji membantu sultan dalam perang melawan kaum Padri dan Sultan akan menjadi
bawahan pemerintahan pusat.
Dalam usahanya menaklukkan kaum Padri, Belanda mendatangkan pasukan dari Jawa dan
Maluku. Pasukan itu dipimpin oleh Sentot Prawirodirjo, yang merupakan panglima pasukan
Pangeran Diponegoro yang berkhianat dan membelok pada pemerintahan Hindia Belanda.
Karena ambisi Belanda, malah membuat keluarga kerajaan bersatu dengan kaum Padri demi
mempertahankan wilayahnya. Karena kejadian itu Sultan Alam Bagagarsyah dinilai berkhianat
dan ditangkap oleh Belanda pada 2 Mei 1833. Kemudian, Sultan Pagaruyung diasingkan ke
Betawi.
Pada 11 Januari 1833 beberapa pertahanan dari Belanda diserang secara mendadak, disebutkan
sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-
besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya.
Tidak kalah akal, Belanda membuat perjanjian baru dengan kaum Padri yang menyatakan
bahwa kawasan Kerajaan Pagaruyung resmi di bawah kekuasaan Belanda. Dan sejak itu
Pagaruyung runtuh.

Peninggalan Kerajaan Pagaruyung


Istana Pagaruyung

Makam raja Pagaruyung


Prasasti Batusangkar
Prasasti Suruaso

Prasasti Bandar Bapahat


Kesultanan Lingga

Kesultanan Lingga atau Kesultanan Riau-Lingga adalah salah satu kerajaan


Melayu Islam yang didirikan di Pulau Lingga. Kesultanan ini dibentuk pada tahun 1824 dari
pecahan wilayah Kesultanan Johor Riau atas perjanjian yang disetujui oleh Britania
Raya dan Hindia Belanda. Pendirinya adalah Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah. Wilayah
Kesultanan Lingga mencakup provinsi Kepulauan Riau. Pusat pemerintahan Kesultanan
Lingga awalnya berada di Tanjung Pinang, tetapi kemudian dipindahkan ke Pulau Lingga.
Kesultanan Lingga berakhir pada tanggal 3 Februari 1911 dan dikuasai Hindia Belanda.
Kesultanan ini berperan dalam pengembangan Bahasa Melayu Riau sebagai bahasa standar
yang kemudian ditetapkan sebagai Bahasa Indonesia.[1]

Pendirian
Pada awalnya, Kesultanan Lingga adalah bagian dari Kesultanan Melaka yang kemudian
diteruskan oleh Kesultanan Johor Riau. Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Syah III yang
berkuasa di Kesultanan Johor Riau wafat sehingga terjadi perselisihan dalam penentuan
pewaris. Akhirnya pihak Britania Raya dan Hindia Belanda turut campur dalam menentukan
pewaris Kesultanan Johor Riau. Pihak Britania Raya mendukung putra tertua dari Sultan
Mahmud Syah III yaitu Tengku Hussain. Sebaliknya, Hindia Belanda mendukung adik tiri dari
Tengku Hussain, yaitu Abdul Rahman. Penyelesaian pewaris Kesultanan ditentukan
dalam Traktat London yang diadakan pada tahun 1824. Keputusannya adalah membagi
Kesultanan Johor Riau menjadi dua Kesultanan, yaitu Kesultanan Johor dan Kesultanan
Lingga. Kesultanan Johor berada dalam pengaruh Britania Raya, sedangkan Kesultanan Lingga
berada dalam pengaruh Hindia Belanda. Abdul Rahman kemudian ditetapkan sebagai sultan
pertama dari Kesultanan Lingga dengan gelar Muazzam Syah.[2]

Pemerintahan
Pemerintahan di Kesultanan Lingga dibagi antara sultan, yang dipertuan muda, dan ulama.
Sultan memerintah dalam bidang militer, politik, ekonomi, dan perdagangan. Pusat
pemerintahannya berada di Pulau Lingga. Sultan yang dipilih berasal dari para
bangsawan Melayu. Yang dipertuan muda bertugas sebagai penasehat sultan. Pusat
pemerintahannya berada di Pulau Penyengat. Jabatan yang dipertuan muda diberikan kepada
bangsawan Bugis. Peran ulama di Kesultanan Lingga adalah sebagai penasehat Yang
Dipertuan Muda dalam bidang rihlah ilmiah.[3]
Pemilihan Pulau Lingga sebagai pusat pemerintahan karena lokasinya yang strategis dalam
bidang pertahanan. Pulau ini memiliki dataran yang luas di sekeliling Sungai Daik. Selain itu,
sungainya dapat dilayari hingga ke bagian hulu, sehingga pasukan Hindia Belanda sulit
menjangkaunya. Perairan sungai ini juga berubah-ubah sesuai dengan pasang surut air,
sehingga sangat sulit dijangkau oleh kapal pada waktu tertentu.[4]
Politik
Politik dalam negeri Kesultanan Lingga cukup stabil. Pembagian kekuasaan antara Suku
Bugis dan Suku Melayu dapat terkendali.[5] Sebaliknya, Kesultanan Lingga berada di wilayah
dengan perpolitikan luar negeri yang rumit dan tidak stabil. Kerajaan-kerajaan yang ada di
sekitarnya sering melakukan persaingan antarkekuasaan. Selain itu, pejabat pemerintahan dari
Kesultanan Lingga juga sering berselisih. Kondisi politik semakin rumit setelah
kedatangan Portugal, Hindia Belanda, Britania Raya dan Jepang. Wilayah-wilayah di
Kepulauan Riau, Semenanjung Melayu, dan pesisir timur Pulau Sumatra tidak dapat
sepenuhnya dikendalikan.[6]

Keagamaan
Kesultanan Lingga menjadi salah satu pusat kegiatan pembelajaran Islam di kawasan Melayu.
Para ulama berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengajarkan ilmu keislaman. Bersamaan
dengan ini, di Kesultanan Lingga juga mulai banyak penganut paham tasawuf.[7] Tarekat yang
berkembang pesat adalah tarekat Naqsyabandiyah.[8] Pada masa Kesultanan Lingga, paham
fikih dan tasawuf yang paling berpengaruh adalah pemikiran Abu Hamid Al-Ghazali.
Pemikirannya diajarkan oleh Raja Ali Haji yang telah berguru kepada para ulama
di Madinah dan Mekkah.[9]

Kebudayaan
Kesultanan Lingga telah mengembangkan tradisi tulis menulis untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dalam bidang sastra dan keagamaan. Naskah-naskah ditulis menggunakan Abjad
Jawi / huruf pégon.[10] Kesultanan Riau Lingga membuat kamus Bahasa Melayu dan
menjadikannya sebagai sebuah bahasa standar.[11]
Pada tahun 1850, Kesultanan Lingga membangun sebuah percetakan surat kabar dengan tulisan
dalam Abjad Jawi dan Abjad Latin. Jenis cetakannya adalah cetakan litograf. Selain itu, di
Kesultanan Lingga juga dibentuk perkumpulan para cendekiawan yang menulis karya-karya
ilmiah dan menerjemahkan buku-buku berbahasa asing, terutama buku keagamaan yang
menggunakan bahasa Arab.[12]
Kesultanan Lingga juga mengembangkan Bahasa Melayu, terutama bahasa lisan di kalangan
istana. Bahasa Melayu ini kemudian disebarkan untuk digunakan oleh masyarakat
umum.[13] Bahasa Melayu kemudian disempurnakan menjadi bahasa baku di Pulau
Penyengat.[14] Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muzafar Syah, Kerajaan Lingga
menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi. Bahasa ini kemudian ditetapkan
sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda Indonesia yang diadakan pada tahun 1928
dengan sebutan baru yaitu Bahasa Indonesia.[15]

Sultan-Sultan
Sultan Abdurrahman (1819-1832)
Sultan Abdurrahaman adalah sultan pertama dari Kesultanan Lingga. Ia adalah putra dari
Sultan Mahmud Syah III yang berkuasa di Kesultanan Johor Riau. Setelah ayahnya wafat,
kesultanannya dibagi menjadi dua, yaitu Kesultanan Johor Singapura dan Kesultanan Lingga.
Pembagian wilayahnya ditentukan oleh Britania Raya dan Hindia Belanda dalam Traktat
London yang ditetapkan pada tahun 1824. Wilayah Kesultanan Johor Singapura
mencakup Johor, Singapura, Pahang, dan Terengganu. Sedangkan wilayah Kesultanan Lingga
mencakup Pulau Lingga, Pulau Singkep dan Riau.[16]

Sultan Muhammad Syah (1832-1841)


Sultan Muhammad Syah menggantikan ayahnya yaitu Sultan Abdurrahman yang wafat pada
12 Rabiul Awal 1284 H (1832 M). Ayahnya dimakamkan di Bukit Cengkil Daik. Nama asli
dari Sultan Muhammad Syah adalah Tengku Besar. Sultan Muhammad Syah wafat pada tahun
1841 dan dimakamkan di Bukit Cengkeh. Sebelum wafat, ia telah menunjuk putranya yang
bernama Tengku Mahmud sebagai pewaris.[17]

Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857)


Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muzafar Syah, Kesultanan Lingga menjadi salah satu
kerajaan yang memiliki pengaruh besar bagi Suku Melayu Riau. Kekuasaannya diberhentikan
oleh Gubernur Jenderal Belanda pada tanggal 23 September 1857.[18]

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883)


Pengganti Sultan Mahmud Muzafar Syah adalah pamannya yang bernama Tengku Sulaiman.
Gelarnya adalah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Pelantikannya sebagai sultan diadakan
pada tanggal 10 Oktober 1857. Ia memerintah hingga wafat pada tanggal 17 September 1883.
Pemakamannya berada di Bukit Cengkeh.[18]

Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1883-1913)


Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah tidak mempunyai keturunan, sehingga penggantinya
adalah putri Sultan Mahmud Muzafar Syah yang bernama Fatimah. Suami dari Fatimah
adalah Yang Dipertuan Muda ke-10 bernama Raja Muhammad Yusuf, sehingga kekuasaannya
diberikan kepada anaknya yang bernama Raja Abdurrahman. Setelah dilantik pada tahun 1883,
Raja Abdurrahman diberi gelar Sultan Abdurrahman Muazam Syah. Pada 1903, ia
memindahkan pusat pemerintahan ke Pulau Penyengat. Kesultanan Lingga mengalami
perkembangan pesat selama masa pemerintahannya. Sultan Abdurrahman Muazam Syah
mendirikan perkumpulan Rusydiah di Pulau Penyengat yang kemudian menjadi pusat
perkembangan politik, budaya, dan kemasyarakatan. Ia menjadi sultan terakhir dari
Kesultanan Lingga setelah Hindia Belanda memutuskan untuk membubarkan kerajaan ini pada
tanggal 10 Februari 1911. Keputusan ini ditetapkan karena Sultan Abdurrahman Muazam Syah
tidak patuh terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Setelah diberhentikan sebagai sultan, ia
bersama para bangsawan akhirnya pindah ke Singapura.[19]

Peninggalan
Masjid Raya Pulau Penyengat
Masjid Raya Pulau Penyengat didirikan di Pulau Penyengat. Pada masa Kesultanan Lingga,
masjid ini digunakan sebagai pusat administrasi kesultanan. Di dalam masjid terdapat banyak
naskah kuno berupa Al-Qur'an hasil tulisan tangan.[20]
Mushaf Al-Qur'an
Mushaf Al-Qur'an Kesultanan Lingga ditemukan di Masjid Raya Pulau Penyengat dan
di Museum Linggam Cahaya. Sebagian besar mushaf telah lapuk, tidak utuh dan
penulisnya anonim. Mushaf-mushaf yang utuh dan tidak anonim yaitu mushaf Ali bin
Abdullah al-Bugisi al-Syafi’i (1752 M) dan mushaf Abdul Rahman Stanbul (1867 M).[21]

Naskah keagamaan
Naskah-naskah keagamaan dari Kesultanan Lingga ditemukan di Pulau Lingga. Bentuknya
terbagi menjadi dua jenis, yaitu cetakan dan tulis tangan. Pembahasan dari naskah-naskah
tersebut adalah tentang ilmu fikih, tauhid, hadis, dan tasawuf. Sebagian besar naskah tidak
mencatumkan nama penulis dan tahun penulisannya. Naskah-nasah ini disimpan di Museum
Daik Lingga dan di kediaman Tengku Husin yang merupakan salah satu keturunan dari
penguasa Kesultanan Lingga.[22]

Naskah pengobatan
Naskah-naskah pengobatan yang ditemukan menggunakan Abjad Jawi. Pemilik naskah
bernama Raja Malik. Salah satu naskah berjudul Kitab Obat Sopak. Isinya membahas tentang
penggunaan metode zikir asmaul husna dalam mengobati belang-belang berwarna putih yang
muncul di tangan atau kaki. Selain itu, ditemukan sebuah naskah yang membahas tentang
pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas hubungan suami-istri dalam berumah tangga.
Naskah ini ditulis dalam Bahasa Melayu.[23]

Naskah administrasi kesultanan


Isi dari naskah-naskah administrasi yang ditemukan adalah mengenai keadaan pemerintahan
pada masa keemasan dari Kesultanan Lingga. Naskah ditulis dengan Abjad Jawi dan disimpan
di Museum Lingga Cahaya. Naskah penting yang penting di antaranya yaitu tentang
pembukaan lahan perkebunan di Pulau Selayar (1327 H), keterangan kelahiran dan kematian
penduduk (1307 H), keterangan penunjukan dan hasil kerja kapten kapal (1311 H), dan
pengangkatan raja Riau yang bernama Raja Muhammad (1855 M).[24

Anda mungkin juga menyukai