21/12/2022
Kerajaan Pagaruyung
Arca Adityawarman
@https://id.wikipedia.org/
Kerajaan Pagaruyung merupakan kerajaan di Indonesia yang mengalami dua masa sekaligus,
yakni masa Hindu-Budha dan masa Islam.
Nama kerajaan ini dirujuk dari nama pohon Nibung atau Ruyung
Ketika awal didirikan pada 1347 M, Kerajaan Pagaruyung bercorak Hindu-Buddha. Kemudian
pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung berubah menjadi bercorak Islam.
Kerajaan Pagaruyung terletak di Provinsi Sumatera Barat dan sebagian Provinsi Riau.
Pagaruyung berkuasa selama 5 abad, dan akhirnya runtuh dalam peristiwa Perang Padri.
Perang Padri
@https://id.wikipedia.org/
Kemunduran Kerajaan Pagaruyung disebabkan karena adanya Perang Padri antara 1803
sampai 1838 M.
Salah satu pemimpin Perang Padri kala itu adalah Tuanku Imam Bonjol. Beliau menjadi
pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Hingga memasuki awal abad ke-19, kekuasaan Pagaruyung semakin melemah. Permusuhan
antara keluarga kerajaan dengan kaum Padri tidak dapat dihindari, hingga menimbulkan korban
jiwa akibat permusuhan mereka.
Untuk melawan kaum Padri, keluarga Kerajaan Pagaruyung dengan terpaksa meminta bantuan
Belanda.
Pada 10 Februari 1821, ditandatanganilah perjanjian antara Kerajaan Pagaruyung dengan
Belanda. Dari pihak Pagaruyung, ada Sultan Alam Bagagarsyah yang merupakan raja terakhir
Pagaruyung.
Kesepakatan ini diambil sebagai bentuk penyerahan Pagaruyung kepada Belanda. Selain itu,
Belanda berjanji membantu sultan dalam perang melawan kaum Padri dan Sultan akan menjadi
bawahan pemerintahan pusat.
Dalam usahanya menaklukkan kaum Padri, Belanda mendatangkan pasukan dari Jawa dan
Maluku. Pasukan itu dipimpin oleh Sentot Prawirodirjo, yang merupakan panglima pasukan
Pangeran Diponegoro yang berkhianat dan membelok pada pemerintahan Hindia Belanda.
Karena ambisi Belanda, malah membuat keluarga kerajaan bersatu dengan kaum Padri demi
mempertahankan wilayahnya. Karena kejadian itu Sultan Alam Bagagarsyah dinilai berkhianat
dan ditangkap oleh Belanda pada 2 Mei 1833. Kemudian, Sultan Pagaruyung diasingkan ke
Betawi.
Pada 11 Januari 1833 beberapa pertahanan dari Belanda diserang secara mendadak, disebutkan
sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-
besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya.
Tidak kalah akal, Belanda membuat perjanjian baru dengan kaum Padri yang menyatakan
bahwa kawasan Kerajaan Pagaruyung resmi di bawah kekuasaan Belanda. Dan sejak itu
Pagaruyung runtuh.
Pendirian
Pada awalnya, Kesultanan Lingga adalah bagian dari Kesultanan Melaka yang kemudian
diteruskan oleh Kesultanan Johor Riau. Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Syah III yang
berkuasa di Kesultanan Johor Riau wafat sehingga terjadi perselisihan dalam penentuan
pewaris. Akhirnya pihak Britania Raya dan Hindia Belanda turut campur dalam menentukan
pewaris Kesultanan Johor Riau. Pihak Britania Raya mendukung putra tertua dari Sultan
Mahmud Syah III yaitu Tengku Hussain. Sebaliknya, Hindia Belanda mendukung adik tiri dari
Tengku Hussain, yaitu Abdul Rahman. Penyelesaian pewaris Kesultanan ditentukan
dalam Traktat London yang diadakan pada tahun 1824. Keputusannya adalah membagi
Kesultanan Johor Riau menjadi dua Kesultanan, yaitu Kesultanan Johor dan Kesultanan
Lingga. Kesultanan Johor berada dalam pengaruh Britania Raya, sedangkan Kesultanan Lingga
berada dalam pengaruh Hindia Belanda. Abdul Rahman kemudian ditetapkan sebagai sultan
pertama dari Kesultanan Lingga dengan gelar Muazzam Syah.[2]
Pemerintahan
Pemerintahan di Kesultanan Lingga dibagi antara sultan, yang dipertuan muda, dan ulama.
Sultan memerintah dalam bidang militer, politik, ekonomi, dan perdagangan. Pusat
pemerintahannya berada di Pulau Lingga. Sultan yang dipilih berasal dari para
bangsawan Melayu. Yang dipertuan muda bertugas sebagai penasehat sultan. Pusat
pemerintahannya berada di Pulau Penyengat. Jabatan yang dipertuan muda diberikan kepada
bangsawan Bugis. Peran ulama di Kesultanan Lingga adalah sebagai penasehat Yang
Dipertuan Muda dalam bidang rihlah ilmiah.[3]
Pemilihan Pulau Lingga sebagai pusat pemerintahan karena lokasinya yang strategis dalam
bidang pertahanan. Pulau ini memiliki dataran yang luas di sekeliling Sungai Daik. Selain itu,
sungainya dapat dilayari hingga ke bagian hulu, sehingga pasukan Hindia Belanda sulit
menjangkaunya. Perairan sungai ini juga berubah-ubah sesuai dengan pasang surut air,
sehingga sangat sulit dijangkau oleh kapal pada waktu tertentu.[4]
Politik
Politik dalam negeri Kesultanan Lingga cukup stabil. Pembagian kekuasaan antara Suku
Bugis dan Suku Melayu dapat terkendali.[5] Sebaliknya, Kesultanan Lingga berada di wilayah
dengan perpolitikan luar negeri yang rumit dan tidak stabil. Kerajaan-kerajaan yang ada di
sekitarnya sering melakukan persaingan antarkekuasaan. Selain itu, pejabat pemerintahan dari
Kesultanan Lingga juga sering berselisih. Kondisi politik semakin rumit setelah
kedatangan Portugal, Hindia Belanda, Britania Raya dan Jepang. Wilayah-wilayah di
Kepulauan Riau, Semenanjung Melayu, dan pesisir timur Pulau Sumatra tidak dapat
sepenuhnya dikendalikan.[6]
Keagamaan
Kesultanan Lingga menjadi salah satu pusat kegiatan pembelajaran Islam di kawasan Melayu.
Para ulama berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengajarkan ilmu keislaman. Bersamaan
dengan ini, di Kesultanan Lingga juga mulai banyak penganut paham tasawuf.[7] Tarekat yang
berkembang pesat adalah tarekat Naqsyabandiyah.[8] Pada masa Kesultanan Lingga, paham
fikih dan tasawuf yang paling berpengaruh adalah pemikiran Abu Hamid Al-Ghazali.
Pemikirannya diajarkan oleh Raja Ali Haji yang telah berguru kepada para ulama
di Madinah dan Mekkah.[9]
Kebudayaan
Kesultanan Lingga telah mengembangkan tradisi tulis menulis untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dalam bidang sastra dan keagamaan. Naskah-naskah ditulis menggunakan Abjad
Jawi / huruf pégon.[10] Kesultanan Riau Lingga membuat kamus Bahasa Melayu dan
menjadikannya sebagai sebuah bahasa standar.[11]
Pada tahun 1850, Kesultanan Lingga membangun sebuah percetakan surat kabar dengan tulisan
dalam Abjad Jawi dan Abjad Latin. Jenis cetakannya adalah cetakan litograf. Selain itu, di
Kesultanan Lingga juga dibentuk perkumpulan para cendekiawan yang menulis karya-karya
ilmiah dan menerjemahkan buku-buku berbahasa asing, terutama buku keagamaan yang
menggunakan bahasa Arab.[12]
Kesultanan Lingga juga mengembangkan Bahasa Melayu, terutama bahasa lisan di kalangan
istana. Bahasa Melayu ini kemudian disebarkan untuk digunakan oleh masyarakat
umum.[13] Bahasa Melayu kemudian disempurnakan menjadi bahasa baku di Pulau
Penyengat.[14] Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muzafar Syah, Kerajaan Lingga
menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi. Bahasa ini kemudian ditetapkan
sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda Indonesia yang diadakan pada tahun 1928
dengan sebutan baru yaitu Bahasa Indonesia.[15]
Sultan-Sultan
Sultan Abdurrahman (1819-1832)
Sultan Abdurrahaman adalah sultan pertama dari Kesultanan Lingga. Ia adalah putra dari
Sultan Mahmud Syah III yang berkuasa di Kesultanan Johor Riau. Setelah ayahnya wafat,
kesultanannya dibagi menjadi dua, yaitu Kesultanan Johor Singapura dan Kesultanan Lingga.
Pembagian wilayahnya ditentukan oleh Britania Raya dan Hindia Belanda dalam Traktat
London yang ditetapkan pada tahun 1824. Wilayah Kesultanan Johor Singapura
mencakup Johor, Singapura, Pahang, dan Terengganu. Sedangkan wilayah Kesultanan Lingga
mencakup Pulau Lingga, Pulau Singkep dan Riau.[16]
Peninggalan
Masjid Raya Pulau Penyengat
Masjid Raya Pulau Penyengat didirikan di Pulau Penyengat. Pada masa Kesultanan Lingga,
masjid ini digunakan sebagai pusat administrasi kesultanan. Di dalam masjid terdapat banyak
naskah kuno berupa Al-Qur'an hasil tulisan tangan.[20]
Mushaf Al-Qur'an
Mushaf Al-Qur'an Kesultanan Lingga ditemukan di Masjid Raya Pulau Penyengat dan
di Museum Linggam Cahaya. Sebagian besar mushaf telah lapuk, tidak utuh dan
penulisnya anonim. Mushaf-mushaf yang utuh dan tidak anonim yaitu mushaf Ali bin
Abdullah al-Bugisi al-Syafi’i (1752 M) dan mushaf Abdul Rahman Stanbul (1867 M).[21]
Naskah keagamaan
Naskah-naskah keagamaan dari Kesultanan Lingga ditemukan di Pulau Lingga. Bentuknya
terbagi menjadi dua jenis, yaitu cetakan dan tulis tangan. Pembahasan dari naskah-naskah
tersebut adalah tentang ilmu fikih, tauhid, hadis, dan tasawuf. Sebagian besar naskah tidak
mencatumkan nama penulis dan tahun penulisannya. Naskah-nasah ini disimpan di Museum
Daik Lingga dan di kediaman Tengku Husin yang merupakan salah satu keturunan dari
penguasa Kesultanan Lingga.[22]
Naskah pengobatan
Naskah-naskah pengobatan yang ditemukan menggunakan Abjad Jawi. Pemilik naskah
bernama Raja Malik. Salah satu naskah berjudul Kitab Obat Sopak. Isinya membahas tentang
penggunaan metode zikir asmaul husna dalam mengobati belang-belang berwarna putih yang
muncul di tangan atau kaki. Selain itu, ditemukan sebuah naskah yang membahas tentang
pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas hubungan suami-istri dalam berumah tangga.
Naskah ini ditulis dalam Bahasa Melayu.[23]