Anda di halaman 1dari 17

Slide 3

Perusahaan secara sukarela mengungkapkan aktivitas sosial dan lingkungannya dengan berbagai
logika dan teori yang berbeda. Beberapa teori yang relevan dalam konteks ini adalah teori
legitimasi, teori stakeholder, Model Gray, Owen, dan Adams, serta teori akuntansi positif. Mari
kita bahas masing-masing teori tersebut:

1. Teori Legitimasi:
Teori legitimasi menyatakan bahwa perusahaan berusaha untuk mempertahankan dan
meningkatkan legitimasi mereka di mata masyarakat. Dengan mengungkapkan aktivitas sosial
dan lingkungan, perusahaan dapat menunjukkan kepada pemangku kepentingan bahwa mereka
bertanggung jawab dan berkontribusi secara positif terhadap masyarakat dan lingkungan. Dalam
hal ini, pengungkapan aktivitas sosial dan lingkungan dapat digunakan sebagai alat untuk
mempertahankan dan memperoleh legitimasi sosial.

2. Teori Stakeholder:
Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan harus memperhatikan kepentingan berbagai
pihak yang terlibat atau memiliki kepentingan dalam operasi perusahaan. Dengan
mengungkapkan aktivitas sosial dan lingkungan, perusahaan dapat memenuhi harapan dan
kepentingan pemangku kepentingan mereka, seperti konsumen, karyawan, pemerintah, dan
masyarakat secara umum. Hal ini dapat membantu perusahaan menjaga hubungan yang baik
dengan pemangku kepentingan dan mencegah konflik potensial.

3. Model Gray, Owen, dan Adams:


Model Gray, Owen, dan Adams adalah model akuntansi sosial yang menekankan pentingnya
pengungkapan informasi sosial dan lingkungan dalam laporan keuangan perusahaan. Model ini
menganggap bahwa perusahaan harus mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan sebagai
bagian dari kinerja mereka, dan laporan keuangan harus mencerminkan hal ini. Dengan
mengungkapkan aktivitas sosial dan lingkungan, perusahaan dapat memberikan informasi yang
lebih lengkap dan transparan kepada pemangku kepentingan, sehingga mereka dapat membuat
keputusan yang lebih baik.

4. Teori Akuntansi Positif:


Teori akuntansi positif mengemukakan bahwa praktek akuntansi dipengaruhi oleh berbagai
faktor sosial, ekonomi, dan politik. Dalam konteks pengungkapan aktivitas sosial dan
lingkungan, teori ini berpendapat bahwa perusahaan secara sukarela mengungkapkan informasi
tersebut karena adanya tekanan atau kepentingan dari luar, seperti tekanan dari masyarakat, pers,
organisasi non-pemerintah, atau peraturan pemerintah. Dalam hal ini, pengungkapan tersebut
dapat dianggap sebagai respons perusahaan terhadap permintaan dan harapan eksternal.

Dengan menggabungkan berbagai logika dan teori ini, perusahaan dapat memiliki motivasi yang
beragam untuk mengungkapkan aktivitas sosial dan lingkungan mereka secara sukarela. Hal ini
dapat membantu mereka membangun legitimasi sosial, menjaga hubungan dengan pemangku
kepentingan, mencerminkan kinerja yang lebih komprehensif dalam laporan keuangan, dan
merespons tekanan atau permintaan eksternal.

Slide 4:
Akuntansi keuangan tradisional memiliki beberapa keterbatasan yang perlu dipahami. Di antara
keterbatasan tersebut adalah fokus pada pemegang saham (shareholder), konsep materialitas, dan
diskontokan kewajiban jangka panjang. Berikut penjelasan lebih rinci tentang masing-masing
keterbatasan tersebut:

1. Fokus pada Pemegang Saham (Shareholder):


Akuntansi keuangan tradisional cenderung berfokus pada kepentingan pemegang saham
perusahaan. Tujuan utama akuntansi keuangan tradisional adalah untuk memberikan informasi
yang relevan bagi pemegang saham dalam pengambilan keputusan investasi. Akibatnya, aspek-
aspek yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan pemegang saham, seperti
dampak sosial dan lingkungan, seringkali tidak diperhitungkan atau diungkapkan secara
memadai dalam laporan keuangan. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakseimbangan dalam
penilaian kinerja perusahaan dan tidak memperhitungkan dampak yang lebih luas dari operasi
perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan.

2. Konsep Materialitas:
Konsep materialitas dalam akuntansi keuangan tradisional menyatakan bahwa informasi harus
diungkapkan jika informasi tersebut memiliki dampak materiil pada keputusan pengguna laporan
keuangan. Dalam prakteknya, ini berarti hanya informasi yang dianggap signifikan secara
materiil yang diungkapkan, sedangkan informasi yang dianggap tidak signifikan secara materiil
diabaikan. Dampaknya, beberapa aspek yang dianggap tidak signifikan secara materiil, seperti
aspek sosial dan lingkungan, seringkali diabaikan dalam laporan keuangan, meskipun sebenarnya
dapat memiliki dampak yang signifikan dalam jangka panjang.
3. Diskontokan Kewajiban Jangka Panjang:
Dalam akuntansi keuangan tradisional, kewajiban jangka panjang, seperti hutang, seringkali
didiskontokan untuk memperhitungkan nilai waktu uang. Diskontokan ini mengasumsikan
bahwa nilai uang sekarang lebih berharga daripada nilai uang di masa depan. Namun,
diskontokan ini tidak mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari kewajiban jangka
panjang. Misalnya, jika perusahaan memiliki kewajiban lingkungan jangka panjang, diskontokan
tersebut mungkin mengurangi nilai present value dari kewajiban tersebut, sehingga mengurangi
tanggung jawab yang sebenarnya harus ditanggung oleh perusahaan.

4. Transaksi yang tidak berpengaruh langsung ke entitas tidak bisa dicatat:


Akuntansi keuangan tradisional cenderung fokus pada transaksi yang langsung terkait dengan
entitas atau perusahaan. Transaksi yang tidak memiliki dampak langsung pada aset, kewajiban,
atau ekuitas perusahaan biasanya tidak dicatat dalam laporan keuangan. Ini berarti bahwa
aktivitas sosial dan lingkungan yang tidak memiliki dampak finansial langsung atau yang terkait
dengan pemangku kepentingan eksternal, seperti masyarakat atau lingkungan, mungkin tidak
tercermin dalam laporan keuangan tradisional.

5.Definisi beban:
Akuntansi keuangan tradisional cenderung memandang beban atau biaya sebagai pengorbanan
aset yang terukur secara objektif. Namun, pengukuran biaya aktivitas sosial dan lingkungan
sering kali rumit dan subjektif. Misalnya, penilaian biaya terkait dampak lingkungan atau
pengeluaran untuk inisiatif sosial sering kali melibatkan estimasi dan penilaian yang sulit.
Definisi beban dalam akuntansi keuangan tradisional mungkin tidak dapat mencakup sepenuhnya
pengorbanan aset yang terkait dengan aktivitas sosial dan lingkungan.
6.Masalah pengukuran:
Akuntansi keuangan tradisional menggunakan prinsip pengukuran yang relatif konservatif,
seperti biaya historis atau nilai pasar saat ini. Namun, pengukuran ini mungkin tidak sepenuhnya
mencerminkan nilai atau dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas perusahaan. Misalnya,
aktivitas lingkungan yang berdampak jangka panjang atau dampak sosial yang sulit diukur dalam
hal finansial mungkin tidak tercermin dengan baik dalam laporan keuangan tradisional.
Pengukuran yang kurang memadai ini dapat menyebabkan informasi yang tidak lengkap atau
tidak akurat tentang dampak sosial dan lingkungan perusahaan.

Penting untuk diingat bahwa akuntansi keuangan tradisional memiliki tujuan dan kerangka kerja
tertentu yang terutama berkaitan dengan kepentingan pemegang saham. Namun, keterbatasan-
keterbatasan ini telah mendorong perkembangan akuntansi non-keuangan, seperti akuntansi
sosial dan lingkungan. Dalam upaya untuk mengatasi keterbatasan ini, ada perkembangan dalam
bidang akuntansi sosial dan lingkungan, seperti akuntansi berkelanjutan atau akuntansi non-
keuangan. Pendekatan ini mencoba untuk mengukur dan mengungkapkan dampak sosial,
lingkungan, dan ekonomi dari aktivitas perusahaan dengan cara yang lebih komprehensif.
Dengan demikian, mereka dapat memberikan informasi yang lebih luas dan mendalam tentang
kinerja perusahaan dalam konteks yang lebih holistik.

Slide 5:
Perusahaan membuat laporan berkelanjutan untuk mencerminkan komitmen mereka terhadap
tanggung jawab sosial, lingkungan, dan ekonomi mereka. Laporan berkelanjutan atau laporan
keberlanjutan (sustainability reporting) adalah sebuah alat untuk mengkomunikasikan dampak
perusahaan dalam aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi kepada pemangku kepentingan.
Laporan ini menggabungkan informasi keuangan dan non-keuangan untuk memberikan
gambaran yang lebih holistik tentang kinerja perusahaan.

Ada dua aspek utama dalam laporan berkelanjutan, yaitu social reporting (pelaporan sosial) dan
environmental reporting (pelaporan lingkungan):

1. Social Reporting:
Social reporting atau pelaporan sosial adalah komponen dari laporan berkelanjutan yang
menyoroti aktivitas dan dampak sosial perusahaan. Ini mencakup informasi tentang interaksi
perusahaan dengan pemangku kepentingan internal dan eksternal, seperti karyawan, masyarakat,
pemasok, dan pelanggan. Pelaporan sosial dapat mencakup berbagai topik, seperti kegiatan
filantropi, kebijakan karyawan, program kesetaraan gender, perlindungan hak asasi manusia, dan
upaya untuk menciptakan manfaat sosial bagi masyarakat. Tujuannya adalah untuk memberikan
transparansi tentang bagaimana perusahaan berinteraksi dengan masyarakat dan mendorong
pertanggungjawaban sosial.

2. Environmental Reporting:
Environmental reporting atau pelaporan lingkungan adalah komponen dari laporan berkelanjutan
yang menyoroti aktivitas dan dampak lingkungan perusahaan. Ini mencakup informasi tentang
praktik perlindungan lingkungan, manajemen sumber daya alam, upaya pengurangan emisi,
pengelolaan limbah, konservasi energi, dan inisiatif keberlanjutan lainnya. Pelaporan lingkungan
membantu perusahaan mengidentifikasi dampak lingkungan yang dihasilkan oleh operasi mereka
dan memberikan gambaran tentang upaya perusahaan dalam mengurangi dampak tersebut. Hal
ini juga dapat mencakup informasi tentang kepatuhan terhadap peraturan lingkungan, investasi
dalam teknologi hijau, dan tujuan keberlanjutan yang ditetapkan oleh perusahaan.

Melalui social reporting dan environmental reporting, perusahaan berusaha untuk memberikan
gambaran yang komprehensif tentang kinerja mereka dalam aspek sosial dan lingkungan kepada
pemangku kepentingan. Laporan berkelanjutan dapat membantu perusahaan membangun dan
mempertahankan kepercayaan dengan pemangku kepentingan, mendorong inovasi berkelanjutan,
dan mengukur dampak positif yang dicapai dalam masyarakat dan lingkungan.

Dalam laporan berkelanjutan, terdapat tiga komponen utama yang dilaporkan untuk memberikan
gambaran yang komprehensif tentang kinerja perusahaan dalam aspek sosial, lingkungan, dan
ekonomi. Ketiga komponen tersebut adalah:

1. Ekonomi:
Komponen ekonomi dalam laporan berkelanjutan mencakup informasi tentang kinerja keuangan
dan ekonomi perusahaan. Hal ini meliputi data keuangan tradisional seperti laba bersih,
pendapatan, aset, dan liabilitas perusahaan. Laporan ini juga dapat mencakup informasi tentang
pertumbuhan bisnis, inovasi, investasi, keberlanjutan keuangan, manajemen risiko, dan
kontribusi ekonomi perusahaan terhadap masyarakat setempat atau negara secara luas.
Komponen ekonomi membantu pemangku kepentingan dalam memahami kinerja finansial
perusahaan dan dampak ekonomi yang dihasilkan.

2. Sosial:
Komponen sosial dalam laporan berkelanjutan mencakup informasi tentang dampak dan
interaksi perusahaan dengan pemangku kepentingan sosial, baik internal maupun eksternal. Ini
meliputi informasi tentang kebijakan dan praktik karyawan, kesejahteraan karyawan,
keberagaman dan inklusi, hak asasi manusia, pelibatan komunitas, kegiatan filantropi, serta
hubungan dengan pelanggan dan pemasok. Laporan ini dapat mencakup metrik dan indikator
kinerja sosial yang membantu dalam mengevaluasi dampak sosial perusahaan dan kemajuan
terhadap tujuan sosial yang ditetapkan.

3. Lingkungan:
Komponen lingkungan dalam laporan berkelanjutan mencakup informasi tentang dampak
lingkungan perusahaan dan praktik keberlanjutan. Ini meliputi informasi tentang pengelolaan
energi, emisi gas rumah kaca, penggunaan air, pengelolaan limbah, keanekaragaman hayati,
pengelolaan sumber daya alam, dan kebijakan lingkungan perusahaan. Laporan ini dapat
mencakup juga tujuan dan komitmen lingkungan, pencapaian dalam pengurangan dampak
lingkungan, investasi dalam teknologi ramah lingkungan, serta kepatuhan terhadap peraturan dan
standar lingkungan yang berlaku.

Dengan melaporkan ketiga komponen ini, perusahaan memberikan gambaran yang komprehensif
tentang kinerja mereka dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Laporan berkelanjutan
membantu perusahaan memenuhi harapan dan tuntutan pemangku kepentingan, memperkuat
transparansi dan akuntabilitas, serta mendorong perbaikan berkelanjutan dalam operasi
perusahaan.

Berikut adalah tiga contoh perusahaan yang membuat laporan berkelanjutan dan penjelasan
singkat tentang susunan laporannya:

1. Unilever:
Unilever merupakan perusahaan multinasional yang menghasilkan berbagai produk konsumen
seperti makanan, minuman, perawatan pribadi, dan perawatan rumah tangga. Laporan
Berkelanjutan Unilever terdiri dari beberapa bagian utama, termasuk ikhtisar eksekutif, profil
perusahaan, strategi berkelanjutan, dampak sosial dan lingkungan, kinerja keuangan dan
ekonomi, serta tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan berkelanjutan. Laporan ini
mencakup informasi tentang upaya Unilever dalam hal keberagaman dan inklusi, rantai pasok
yang berkelanjutan, pengurangan limbah, keanekaragaman hayati, inovasi produk, dan berbagai
indikator kinerja berkelanjutan.

2. Coca-Cola:
Coca-Cola adalah perusahaan minuman terkenal yang beroperasi secara global. Laporan
Berkelanjutan Coca-Cola terdiri dari bagian-bagian seperti ikhtisar perusahaan, visi dan nilai-
nilai, fokus berkelanjutan, dampak sosial, keberagaman dan inklusi, pengelolaan air,
pengurangan jejak karbon, dan kinerja keuangan. Laporan ini juga mencakup informasi tentang
kegiatan filantropi, tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan, dan
komitmen jangka panjang perusahaan terhadap keberlanjutan. Coca-Cola juga mengintegrasikan
beberapa tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (SDGs) dalam
laporan mereka.

3. Patagonia:
Patagonia adalah perusahaan pakaian dan perlengkapan luar ruangan yang dikenal karena
komitmennya terhadap keberlanjutan dan perlindungan lingkungan. Laporan Berkelanjutan
Patagonia terdiri dari bagian-bagian seperti perjalanan berkelanjutan, visi dan misi perusahaan,
peta jalan berkelanjutan, dampak sosial dan lingkungan, upaya dalam hal inovasi dan desain
berkelanjutan, dan upaya dalam mendorong tanggung jawab sosial di seluruh industri pakaian.
Laporan ini juga menyoroti kolaborasi dengan mitra dan pemangku kepentingan, program
filantropi, serta dukungan terhadap gerakan perlindungan lingkungan.

Meskipun susunan laporan berkelanjutan dapat bervariasi antara perusahaan, umumnya ada
beberapa kesamaan dalam struktur dan kontennya. Biasanya, laporan berkelanjutan mencakup
ikhtisar eksekutif, profil perusahaan, strategi dan tujuan berkelanjutan, pencapaian dan indikator
kinerja, serta fokus dalam aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi. Namun, perusahaan mungkin
menekankan topik atau inisiatif berkelanjutan tertentu yang lebih relevan dengan industri atau
pemangku kepentingan mereka.

Slide 6:
1. Social Accounting:
Social accounting atau akuntansi sosial adalah pendekatan akuntansi yang melibatkan
pengukuran dan pelaporan dampak sosial dari kegiatan perusahaan. Tujuan utama dari social
accounting adalah untuk mengidentifikasi, mengukur, dan melaporkan kontribusi perusahaan
terhadap masyarakat, baik dalam hal positif maupun negatif. Pendekatan ini melibatkan
penggunaan indikator kinerja sosial yang relevan untuk mengukur dan memantau dampak sosial,
seperti pengaruh terhadap masyarakat, pelibatan komunitas, praktik ketenagakerjaan yang adil,
dan upaya dalam menciptakan manfaat sosial. Social accounting dapat membantu perusahaan
dalam pertanggungjawaban sosial dan mempromosikan transparansi dan tanggung jawab dalam
operasi mereka.

2. Social Auditing:
Social auditing atau audit sosial adalah proses evaluasi independen terhadap kinerja sosial dan
etika perusahaan. Audit sosial melibatkan pemeriksaan menyeluruh terhadap praktik dan
kebijakan perusahaan dalam hal tanggung jawab sosial, hak asasi manusia, perlindungan
lingkungan, dan dampak sosial lainnya. Tujuan dari social auditing adalah untuk menilai
kepatuhan perusahaan terhadap standar dan prinsip sosial tertentu, serta untuk mengidentifikasi
area perbaikan dan peluang dalam praktik sosial perusahaan. Hasil dari audit sosial biasanya
digunakan untuk membuat rekomendasi dan perbaikan dalam kegiatan perusahaan untuk
meningkatkan kinerja sosial mereka.
3. Triple Bottom Line Reporting:
Triple Bottom Line (TBL) reporting atau pelaporan tiga pilar adalah pendekatan pelaporan yang
mempertimbangkan tiga dimensi keberlanjutan secara holistik: sosial, lingkungan, dan ekonomi.
TBL mengakui bahwa perusahaan harus memperhitungkan dampaknya dalam ketiga area ini
untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang. Dalam TBL reporting, perusahaan melaporkan
kinerja mereka dalam tiga pilar tersebut, tidak hanya fokus pada aspek keuangan. Laporan TBL
mencakup indikator kinerja sosial, lingkungan, dan ekonomi yang relevan untuk mencerminkan
dampak perusahaan secara menyeluruh. Pendekatan TBL reporting mendorong perusahaan untuk
memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungan mereka, selain keuntungan finansial, dan
memberikan gambaran yang lebih holistik tentang kinerja berkelanjutan mereka.

Secara keseluruhan, social accounting, social auditing, dan triple bottom line reporting adalah
alat dan pendekatan yang digunakan oleh perusahaan untuk mengukur, melaporkan, dan
memantau dampak sosial, etika, dan lingkungan mereka. Ketiganya membantu perusahaan dalam
mengintegrasikan pertimbangan keberlanjutan ke dalam praktik bisnis mereka, meningkatkan
transparansi, dan mempromosikan pertanggungjawaban sosial.

Akuntansi internasional
Slide 9:
1. Universal or World Accounting:
Universal accounting atau akuntansi universal merujuk pada upaya untuk mengembangkan
kerangka akuntansi yang dapat diterapkan secara universal di seluruh dunia. Tujuan dari
universal accounting adalah menciptakan keseragaman dan harmonisasi dalam praktik akuntansi
di berbagai negara. Pendekatan ini berusaha untuk mengatasi perbedaan dalam peraturan
akuntansi, standar, dan praktek yang ada di berbagai negara. Dengan adanya universal
accounting, diharapkan informasi keuangan dapat dibandingkan dan dipahami dengan lebih
mudah oleh pemangku kepentingan di tingkat global. Namun, pencapaian universal accounting
masih merupakan tantangan karena perbedaan dalam budaya, hukum, dan praktik bisnis di
seluruh dunia.

2. Comparative or International Accounting:


Comparative accounting atau akuntansi internasional adalah bidang studi yang membandingkan
dan menganalisis perbedaan antara praktik akuntansi di berbagai negara. Tujuan utama dari
comparative accounting adalah memahami keragaman dalam aspek keuangan, peraturan, dan
praktek akuntansi di berbagai sistem akuntansi nasional. Studi ini melibatkan analisis perbedaan
dalam pengukuran dan pengakuan pendapatan, aset, liabilitas, dan elemen lain dalam laporan
keuangan. Dengan memahami perbedaan ini, comparative accounting membantu dalam
mengidentifikasi tantangan yang dihadapi oleh perusahaan multinasional dalam
mengharmonisasikan laporan keuangan mereka di berbagai yurisdiksi.

3. Parent-Foreign Subsidiary Accounting:


Parent-foreign subsidiary accounting atau akuntansi induk-anak perusahaan asing melibatkan
pengukuran dan pelaporan informasi keuangan dari perusahaan induk (parent company) dan
anak perusahaan yang beroperasi di luar negeri (foreign subsidiary). Dalam hubungan ini,
perusahaan induk berada di negara asalnya sementara anak perusahaan berada di negara lain.
Akuntansi parent-foreign subsidiary mencakup konsolidasi laporan keuangan untuk
mencerminkan hasil operasional dan posisi keuangan secara keseluruhan dari perusahaan secara
konsolidasi. Ini melibatkan penggabungan laporan keuangan dari perusahaan induk dan anak
perusahaan yang diatur sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Praktek akuntansi ini
memungkinkan pemegang saham dan pemangku kepentingan untuk memahami kinerja dan
posisi keuangan perusahaan secara keseluruhan.

Dalam kesimpulannya, universal accounting bertujuan untuk menciptakan kerangka akuntansi


yang dapat diterapkan secara universal, sementara comparative accounting membandingkan dan
menganalisis perbedaan praktik akuntansi di berbagai negara. Sementara itu, parent-foreign
subsidiary accounting melibatkan pengukuran dan pelaporan informasi keuangan dari
perusahaan induk dan anak perusahaan yang beroperasi di luar negeri.

Slide 10:
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi praktik akuntansi keuangan di suatu negara.
Beberapa faktor yang umumnya mempengaruhi praktik akuntansi keuangan adalah:

1. Faktor Hukum dan Regulasi: Peraturan dan hukum yang ada di suatu negara memiliki
pengaruh besar terhadap praktik akuntansi keuangan. Regulasi dapat mencakup standar
akuntansi, persyaratan pelaporan, dan prosedur audit yang harus diikuti oleh perusahaan.
Kebijakan pemerintah dan badan regulasi dapat mempengaruhi pengakuan, pengukuran, dan
pengungkapan informasi keuangan.

2. Faktor Budaya: Budaya suatu negara juga dapat mempengaruhi praktik akuntansi keuangan.
Nilai-nilai budaya seperti individualisme, kepatuhan, dan kepercayaan terhadap otoritas dapat
memengaruhi tingkat transparansi, kejujuran, dan pertanggungjawaban dalam pelaporan
keuangan.
3. Faktor Ekonomi: Kondisi ekonomi suatu negara juga berperan dalam membentuk praktik
akuntansi keuangan. Faktor-faktor seperti tingkat inflasi, stabilitas mata uang, kebijakan fiskal,
dan kebijakan moneter dapat mempengaruhi pengukuran, pengungkapan, dan pelaporan
keuangan perusahaan.

4. Faktor Pendidikan dan Profesionalisme: Tingkat pendidikan dan profesionalisme dalam


bidang akuntansi di suatu negara dapat mempengaruhi praktik akuntansi keuangan. Standar
pendidikan akuntansi, sertifikasi profesional, dan kode etik dapat berdampak pada kualitas dan
integritas laporan keuangan.

Harmonisasi dan standardisasi adalah dua konsep yang berkaitan dengan upaya untuk mencapai
keseragaman dalam praktik akuntansi di berbagai negara. Berikut adalah penjelasan singkat
tentang kedua konsep tersebut:

1. Harmonisasi: Harmonisasi dalam konteks akuntansi mengacu pada usaha untuk menyatukan
perbedaan dalam peraturan dan standar akuntansi antara negara-negara yang berbeda. Tujuannya
adalah menciptakan kerangka kerja yang seragam untuk pelaporan keuangan di berbagai negara.
Harmonisasi berupaya untuk menemukan titik tengah di antara peraturan yang berbeda dengan
mengadopsi atau menyatukan prinsip-prinsip akuntansi yang diakui secara internasional.

2. Standardisasi: Standardisasi mengacu pada penggunaan standar akuntansi yang sama di


seluruh dunia. Hal ini melibatkan penerapan standar akuntansi yang seragam dan diterima secara
internasional, seperti International Financial Reporting Standards (IFRS), yang telah diterima di
banyak negara. Standardisasi bertujuan untuk menciptakan keseragaman dalam pengukuran,
pengakuan, dan pengungkapan informasi keuangan, sehingga memudahkan perbandingan dan
pemahaman laporan keuangan antar negara.

Ada beberapa faktor yang mungkin menjelaskan mengapa negara yang berbeda menggunakan
sistem akuntansi yang berbeda. Beberapa faktor tersebut meliputi:

1. Faktor Sejarah dan Budaya: Perbedaan sejarah dan budaya antara negara-negara dapat
mempengaruhi pengembangan sistem akuntansi mereka. Praktik akuntansi sering kali
dipengaruhi oleh tradisi lokal, struktur hukum, dan kepercayaan budaya yang berbeda.
2. Faktor Hukum dan Regulasi: Perbedaan dalam hukum dan regulasi antara negara-negara dapat
mengarah pada perbedaan dalam praktik akuntansi. Setiap negara memiliki peraturan dan standar
akuntansi yang berbeda yang ditetapkan oleh badan regulasi atau pemerintah.

3. Faktor Ekonomi: Kondisi ekonomi suatu negara, termasuk ukuran ekonomi, struktur industri,
dan tingkat pembangunan, dapat mempengaruhi praktik akuntansi. Keperluan informasi yang
berbeda dalam konteks ekonomi yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan dalam
pengukuran, pengakuan, dan pengungkapan.

4. Faktor Politik: Kebijakan politik dan stabilitas politik suatu negara dapat memengaruhi sistem
akuntansi. Perubahan pemerintahan atau perubahan kebijakan politik dapat mempengaruhi
pengaturan dan praktik akuntansi.

Adopsi IFRS oleh negara yang berbeda tidak berarti bahwa prosedur dan praktik akuntansi yang
mereka adopsi akan konsisten dan dapat diperbandingkan secara internasional secara langsung.
Meskipun negara-negara yang mengadopsi IFRS berkomitmen untuk menggunakan kerangka
kerja yang sama, implementasinya masih dapat bervariasi. Negara-negara dapat memilih untuk
menerapkan IFRS dengan beberapa modifikasi atau interpretasi yang menghasilkan perbedaan
dalam pengukuran dan pengungkapan informasi keuangan. Selain itu, interpretasi dan penerapan
IFRS oleh perusahaan juga dapat berbeda, tergantung pada faktor-faktor seperti hukum, regulasi,
dan budaya setempat. Oleh karena itu, meskipun adopsi IFRS adalah langkah menuju
keseragaman, perbandingan internasional tetap memerlukan pemahaman konteks dan perbedaan
yang ada antara negara-negara.

Slide 11:
Dua badan standar akuntansi keuangan yang standarnya banyak digunakan di berbagai negara
adalah:

1. International Financial Reporting Standards (IFRS): IFRS diterbitkan oleh International


Accounting Standards Board (IASB), badan independen yang berbasis di London, Inggris. IFRS
adalah standar akuntansi keuangan yang dirancang untuk digunakan secara global. IFRS
memiliki basis konsep yang luas, mempromosikan prinsip-prinsip pengakuan, pengukuran, dan
pengungkapan yang transparan dan komprehensif. Beberapa standar yang dihasilkan oleh IASB
termasuk IFRS 9 (Instrumen Keuangan), IFRS 15 (Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan),
dan IFRS 16 (Sewa).
2. Financial Accounting Standards Board (FASB): FASB adalah badan standar akuntansi
keuangan yang berbasis di Amerika Serikat. FASB mengembangkan dan menerbitkan Standar
Akuntansi Keuangan (SFAS) yang digunakan di AS. Namun, standar yang diterbitkan oleh
FASB juga memiliki pengaruh yang signifikan di banyak negara lain. Beberapa standar yang
dihasilkan oleh FASB termasuk SFAS 116 (Pemberian Amal) dan SFAS 157 (Penilaian Wajar).

Perbedaan utama antara IFRS dan SFAS adalah sebagai berikut:

1. Basis Konsep: IFRS didasarkan pada pendekatan prinsip-prinsip, dengan penekanan pada
tujuan dan karakteristik informasi keuangan. IFRS memberikan kerangka kerja yang lebih luas
untuk interpretasi dan kebijakan akuntansi. Di sisi lain, SFAS didasarkan pada pendekatan aturan
yang lebih terperinci, dengan lebih banyak panduan tentang pengakuan dan pengukuran dalam
situasi tertentu.

2. Penerapan Global: IFRS dirancang untuk digunakan secara global dan banyak negara
mengadopsi IFRS atau menerapkan standar serupa yang berdasarkan IFRS. SFAS, di sisi lain,
secara khusus diterbitkan oleh FASB untuk digunakan di Amerika Serikat, meskipun beberapa
negara menggunakan standar yang mirip dengan SFAS.

3. Prinsip vs. Aturan: IFRS mengedepankan prinsip-prinsip dasar akuntansi yang lebih umum,
memberikan kebebasan interpretasi dan kebijakan. SFAS, di sisi lain, memberikan aturan yang
lebih terperinci dan lebih spesifik dalam banyak kasus.

4. Terkait dengan Hukum dan Regulasi: Penerapan IFRS dapat memerlukan perubahan dalam
peraturan dan praktik akuntansi di berbagai negara, sedangkan SFAS sudah sejalan dengan
peraturan dan praktik akuntansi yang ada di Amerika Serikat.

Meskipun ada perbedaan antara IFRS dan SFAS, ada upaya harmonisasi antara IASB dan FASB
untuk mengurangi perbedaan antara standar akuntansi keuangan global dan AS.

Standar akuntansi keuangan yang disusun dengan pendekatan rule-based (berbasis aturan) dan
principles-based (berbasis prinsip) memiliki kelemahan dan kebaikan yang berbeda. Berikut
adalah penjelasan mengenai kelemahan dan kebaikan dari kedua pendekatan tersebut:
1. Rule-based (Berbasis Aturan):
- Kelemahan:
- Terlalu kaku: Pendekatan rule-based memiliki aturan-aturan yang sangat terperinci dan
kaku, yang dapat menghambat fleksibilitas dalam menerapkan standar akuntansi. Hal ini dapat
menyulitkan dalam menghadapi situasi kompleks atau transaksi yang tidak sesuai dengan aturan
yang ada.
- Kemungkinan celah: Aturan yang terperinci sering kali dapat menghasilkan celah yang
dapat dimanfaatkan untuk menghindari pengungkapan atau manipulasi informasi keuangan.
- Ketidakmampuan mengikuti perubahan: Karena aturan yang terperinci, pendekatan rule-
based mungkin tidak dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan bisnis
atau perkembangan baru dalam praktik akuntansi.

- Kebaikan:
- Jaminan kepatuhan: Pendekatan rule-based dapat memberikan kejelasan dan pedoman yang
jelas bagi praktisi akuntansi, sehingga memastikan kepatuhan terhadap standar akuntansi.
- Kemudahan perbandingan: Aturan yang kaku memudahkan perbandingan antara perusahaan
dan industri yang sama, karena pengukuran dan pengungkapan dilakukan secara seragam.

2. Principles-based (Berbasis Prinsip):


- Kelemahan:
- Subjektivitas: Pendekatan principles-based dapat mengandalkan interpretasi dan penilaian
subjektif dalam menerapkan prinsip-prinsip akuntansi, yang dapat menyebabkan perbedaan
pendapat dan interpretasi yang bervariasi.
- Kurangnya kejelasan: Prinsip-prinsip yang lebih umum dapat menghasilkan ketidakjelasan
dalam pengukuran dan pengungkapan informasi keuangan. Hal ini dapat meningkatkan tingkat
ketidakpastian dan ambiguitas.

- Kebaikan:
- Fleksibilitas: Pendekatan principles-based memberikan fleksibilitas dalam menerapkan
prinsip-prinsip akuntansi sesuai dengan kebutuhan situasi yang spesifik. Hal ini memungkinkan
adaptasi yang lebih baik terhadap situasi yang kompleks atau transaksi yang tidak lazim.
- Relevansi: Prinsip-prinsip akuntansi yang umum dapat memberikan kerangka kerja yang
lebih relevan dalam menggambarkan kondisi keuangan dan kinerja perusahaan secara
menyeluruh.
Ciri-ciri IFRS (International Financial Reporting Standards) adalah sebagai berikut:

1. Global: IFRS adalah standar akuntansi keuangan yang dirancang untuk digunakan secara
global. Banyak negara di seluruh dunia telah mengadopsi atau mengharmonisasikan standar
IFRS, sehingga menciptakan konsistensi dalam pelaporan keuangan lintas negara.

2. Prinsip-Prinsip: IFRS menggunakan pendekatan principles-based, di mana prinsip-prinsip


akuntansi yang umum digunakan sebagai panduan dalam pengakuan, pengukuran, dan
pengungkapan informasi keuangan. Pendekatan ini memberikan fleksibilitas dalam menerapkan
standar akuntansi sesuai dengan keadaan dan transaksi yang spesifik.

3. Fleksibilitas dalam Interpretasi: IFRS memberikan fleksibilitas dalam interpretasi dan


penerapan standar akuntansi. Praktisi akuntansi dapat menggunakan penilaian profesional
mereka dalam menerapkan prinsip-prinsip IFRS, yang memungkinkan adaptasi terhadap situasi
yang kompleks atau transaksi yang tidak lazim.

4. Fokus pada Substansi Ekonomi: IFRS menekankan pada substansi ekonomi suatu transaksi
daripada bentuk hukumnya. Prinsip-prinsip IFRS didasarkan pada prinsip ekonomi yang
menggambarkan realitas bisnis yang sebenarnya, bukan hanya aspek legal atau formal.

5. Transparansi dan Komparabilitas: IFRS memiliki persyaratan pengungkapan yang luas, yang
dirancang untuk memberikan informasi yang relevan, andal, dan komprehensif kepada para
pemangku kepentingan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan transparansi dan memungkinkan
perbandingan antara perusahaan-perusahaan yang beroperasi di berbagai negara.

6. Penekanan pada Nilai Wajar (Fair Value): IFRS sering kali menggunakan nilai wajar (fair
value) sebagai pengukuran untuk beberapa jenis aset dan kewajiban. Nilai wajar mencerminkan
harga pasar saat ini dan mempertimbangkan faktor-faktor risiko dan keuntungan yang relevan.

7. Revisi dan Pengembangan Terus-Menerus: IASB, badan yang mengeluarkan IFRS, terus
melakukan revisi dan pengembangan standar akuntansi untuk menjawab perubahan dalam
lingkungan bisnis dan kebutuhan pengguna informasi keuangan.
Dengan ciri-ciri ini, IFRS bertujuan untuk menciptakan kerangka kerja yang konsisten, relevan,
dan transparan dalam pelaporan keuangan di tingkat global, memfasilitasi pembandingan dan
pemahaman yang lebih baik terhadap informasi keuangan perusahaan-perusahaan di berbagai
negara.

Slide 12:
Pertimbangan terhadap budaya dan agama dapat menjadi relevan ketika badan penyusun standar
akuntansi sedang menyusun standar. Meskipun tujuan utama standar akuntansi adalah
menghasilkan pelaporan keuangan yang obyektif dan tidak bias, faktor-faktor budaya dan agama
dapat mempengaruhi interpretasi dan penerapan standar tersebut di berbagai negara. Oleh karena
itu, dalam upaya mencapai konvergensi atau harmonisasi standar akuntansi global, badan
penyusun standar perlu mempertimbangkan keragaman budaya dan nilai-nilai yang ada di
berbagai negara.

Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam rangka mencapai konsistensi dan pembandingan
yang lebih baik dalam pelaporan keuangan internasional, ada upaya untuk meminimalkan
perbedaan praktik akuntansi yang signifikan antara negara-negara. Standardisasi standar
akuntansi secara global tidak selalu harus identik dengan standardisasi praktik akuntansi.
Meskipun ada upaya untuk mengadopsi dan mengharmonisasikan standar IFRS di banyak
negara, penerapan dan interpretasi standar masih dapat berbeda dalam beberapa aspek di tingkat
nasional. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebutuhan untuk mempertimbangkan peraturan
lokal, kondisi bisnis, dan preferensi keuangan setiap negara.

Adopsi IFRS oleh suatu negara dapat memberikan beberapa keuntungan, antara lain:

1. Peningkatan Transparansi: IFRS mendorong pengungkapan yang lebih luas dan lebih
transparan dalam pelaporan keuangan. Dengan mengadopsi IFRS, negara tersebut dapat
meningkatkan transparansi informasi keuangan yang disajikan oleh perusahaan-perusahaan di
dalamnya.

2. Pembandingan Internasional yang Lebih Mudah: Dengan mengadopsi IFRS, negara tersebut
dapat mempermudah pembandingan antara perusahaan-perusahaan dalam negeri dengan
perusahaan-perusahaan di negara lain yang juga menggunakan IFRS. Hal ini membantu investasi
asing dan pembandingan kinerja perusahaan secara global.
3. Akses ke Pasar Modal Global: Mengadopsi IFRS dapat meningkatkan akses perusahaan dalam
negeri ke pasar modal global. Standar akuntansi yang seragam dengan praktik internasional
dapat memberikan kepercayaan dan keandalan dalam pelaporan keuangan perusahaan, sehingga
menarik minat investor asing.

4. Mengikuti Trend Global: Adopsi IFRS oleh negara dapat mencerminkan komitmen untuk
mengikuti tren dan standar akuntansi internasional yang berkembang. Hal ini dapat memberikan
reputasi yang baik dan memperkuat posisi negara dalam komunitas ekonomi global.

Namun, perlu diingat bahwa adopsi IFRS juga dapat menimbulkan tantangan dan biaya
implementasi. Setiap negara perlu mempertimbangkan keadaan lokal, kapasitas peraturan, dan
kemampuan perusahaan dalam mengimplementasikan IFRS secara efektif dan konsisten.

Slide 13:
DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) merupakan badan yang bertanggung jawab atas
penyusunan standar akuntansi keuangan di Indonesia. Ketika ada perbedaan antara IFRS atau
IAS (International Accounting Standards) dengan kondisi di Indonesia, DSAK memiliki
beberapa tindakan yang dapat dilakukan:

1. Adaptasi dan Interpretasi: DSAK dapat melakukan adaptasi terhadap standar IFRS atau IAS
untuk mengakomodasi kebutuhan dan karakteristik unik dari lingkungan bisnis di Indonesia.
Mereka dapat memberikan interpretasi atau panduan tambahan mengenai penerapan standar agar
sesuai dengan kondisi lokal. Misalnya, DSAK dapat memberikan penjelasan atau panduan
mengenai pengakuan atau pengukuran aset tertentu yang memiliki karakteristik unik di
Indonesia.

2. Pengembangan Standar Tambahan: Jika ada kebutuhan khusus yang tidak tercakup dalam
standar IFRS atau IAS, DSAK dapat mengembangkan standar tambahan yang spesifik untuk
Indonesia. Standar tambahan ini akan memberikan panduan yang lebih rinci dan relevan untuk
entitas di Indonesia. Contohnya, DSAK dapat mengembangkan standar akuntansi keuangan
untuk sektor pertanian yang mempertimbangkan karakteristik pertanian yang khas di Indonesia.

3. Mencabut PSak yang Tidak Sesuai: Jika ada perbedaan yang signifikan antara standar IFRS
atau IAS dengan standar akuntansi Indonesia yang ada sebelumnya (PSak), DSAK dapat
mencabut PSak yang tidak sesuai dengan IFRS atau IAS tersebut. Dengan mencabut PSak
tersebut, DSAK memastikan bahwa praktik akuntansi di Indonesia konsisten dengan standar
internasional yang diadopsi.

Contoh konkret dari tindakan DSAK ketika IFRS atau IAS tidak sesuai dengan kondisi di
Indonesia adalah adopsi standar PSAK 71 mengenai Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (ETAP).
Standar IFRS tidak mempertimbangkan kriteria khusus yang diperlukan untuk entitas kecil yang
tidak memiliki akuntabilitas publik. Oleh karena itu, DSAK mengembangkan standar PSAK 71
yang memberikan pedoman akuntansi khusus untuk ETAP di Indonesia. Hal ini memungkinkan
entitas kecil yang tidak memiliki akuntabilitas publik untuk menerapkan standar akuntansi yang
lebih sederhana dan relevan dengan kondisi mereka.

Anda mungkin juga menyukai