Ahmad Mustaniruddin
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia
ahmad_mustanirruddin@uinjambi.ac.id
Abstrak:
Fokus penelitian ini adalah tentang teori kesejahteraan sosial dan bagaimana konsep
al-Qur’an dalam membentuk kesejahteraan sosial menuju masyarakat madani.
Tujuan dari penelitian untuk mengetahui; (1) Komponen kesejahteraan sosial yang
terdapat dalam al-Qur’an. (2) Cara-cara al-Qur’an dalam mewujudkan kesejahteraan
sosial (3) Implementasi Untuk Membentuk Kesejahteraan Sosial Menuju Masyarakat
Madani. Hasil penelitian menunjukkan (1) Menurut al-Qur’an terdapat lima
komponen yang harus terpenuhi dalam kehidupan agar tercipta kesejahteraan
sosial, yaitu kebutuhan fisik biologis, intelektual, emosi/psikis, spiritual dan sosial.
(2) Secara subtantif terdapat sejumlah ayat al-Qur’an yang menunjukkan cara-cara
untuk memenuhi lima komponen kesejahteraan sosial yang dikemukakan oleh al
Qur’an sehingga terciptalah sebuah masyarakat yang sejahtera dan menjadi salah
satu faktor pendukung perwujudan masyarakat madani. (3) Konsep kesejahteraan
sosial menurut al-Qur’an masih belum terimplementasikan dengan sempurna di
Indonesia. Masih banyak teori-teori lain seperti liberalis kapitalis, sosialis dan lain
sebagainya yang lebih didahulukan penggunaannya dalam membentuk
kesejahteraan sosial di Indonesia. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah konsep al
Qur’an dalam membentuk kesejahteraan sosial menuju masyarakat madani adalah
dengan mengedepankan nilai-nilai ketuhanan dalam segala aktivitas kemanusiaan
serta melapisi dimensi material dengan dimensi spiritual yang dibangun di atas pilar
agama.
Abstract:
The focus of this research is about a theory of social prosperity and how the concept
of the Quran in forming social wealth to achieve a prosperous society. The purposes
of this research are; (1) The components of social wealth in the Quran. (2) The steps
offered by the Quran in the effort to attain prosperity in society to gain wealth. (3)
Implementation to shape social welfare towards civil society. The research resulted
(1) The Quran suggests five components that should be fulfilled in life so that it
creates social prosperity, such as physically biological relationships, intellectual
relationships, emotional or psychological relationships, spiritual relationships, and
social relationships. (2) Substantially, several verses of the Quran show steps to gain
the five components of social prosperity so wealthy people appear and become one
of the supporting factors to attain a prosperous society. (3) The concept of social
welfare according to the Qur'an is still not implemented perfectly, there are many
other theories such as capitalist liberals, socialists, and others that take precedence
in the formation of social welfare in Indonesia. The conclusion in this research is
that the concept of the Qur'an in shaping social welfare towards civil society is to
promote the values of divinity in all humanitarian activities and coat the material
dimension with the spiritual dimension built on the pillars of religion.
PENDAHULUAN
Kesejahteraan merupakan bagian penting dari negara berkembang.
Bahkan, dibentuknya sebuah negara adalah upaya dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakatnya. Berbagai cara, metode, aturan, alat,
pendekatan, ataupun kebijakan telah dipilih dan dilakukan oleh sebuah
negara dalam rangka untuk mencapai tujuan tersebut. Berbagai nilai dan
institusi sosial tersebut dapat menjadi instrumen bagi terciptanya kehidupan
yang lebih teratur dan lebih baik, demikian juga dengan dorongan untuk
membentuk negara. Negara dibutuhkan dan dibentuk untuk mewujudkan
ketertiban dan kehidupan yang lebih baik yang juga biasa disebut
kesejahteraan. Dengan demikian, kesejahteraan menjadi idaman setiap
individu dan setiap masyarakat, bahkan setiap negara. Kondisi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang sejahtera menjadi sesuatu yang
diidealkan.(Soetomo, 2014, hlm. 1)
Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
(Undang-Undang Republik Indonesia, 2009, hlm. 2) Namun di Indonesia yang
juga termasuk dari salah satu negara berkembang, kesejahteraan belum
mampu diwujudkan sepenuhnya. Masih banyak permasalahan-permasalahan
sosial yang melanda Indonesia sehingga sangat sulit untuk membentuk
kesejahteraan warga negaranya. Salah satunya adalah kemiskinan.
Kemiskinan dapat dikategorikan sebagai salah satu masalah sosial yang
banyak menarik perhatian para ahli, khususnya para sosiolog, ekonom dan
budayawan. Sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa kemiskinan
lebih ditujukan kepada orang-orang yang taraf kehidupan ekonominya tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok dan ada pula yang melihat
kemiskinan kasih sayang dan sebagainya. Demikian pula dengan sebab-sebab
terjadinya kemiskinan ada yang mengatakan karena sikap mental yang
malas, tidak tersedianya kesempatan kerja, karena tertindas dan lain
sebagainya.(Azra, 2008, hlm. 153)
Pembangunan kesejahteraan sosial yang selama ini dilakukan oleh
Indonesia perlu dievaluasi secara kritis, baik yang berkiblat pada pandangan
kaum sosialis maupun yang berkiblat pada kaum liberalis-kapitalis, karena
PEMBAHASAN
Kesejahteraan Biologis
Dalam memenuhi kesejahteraan fisik biologis, tentunya manusia
memerlukan empat hal yang harus dipenuhi yaitu makanan, minuman,
pakaian dan tempat tinggal. Dalam kitab suci al-Qur’an banyak ayat yang
memuat tentang makanan dan minuman dalam berbagai konteks dan arti,
dalam hal ini kitab suci al-Qur’an selalu menekankan salah satu dua sifat
yakni halal (boleh) dan thayyib (baik). Bahkan ditemukan empat ayat yang
menggabungkan kedua sifat-sifat tersebut, yaitu QS. al-Baqarah ayat 168, QS.
al-Maidah ayat 88, QS al-Anfal ayat 69, QS al-Nahl ayat 114.(Shihab, 2013,
hlm. 287) Sama halnya dengan makan dan minum, dalam al-Qur’an juga
terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebutuhan manusia terhadap
pakaian dan tempat tinggal seperti yang tertera pada QS. al-Nahl: 80 dan 81.
(Departemen Agama RI, 2009, hlm. 276)
Adapun cara yang diberikan al-Quran untuk memenuhi kebutuhan
tersebut adalah bekerja mencari rezeki. Manusia merupakan makhluk
jasmaniah dan rohaniah yang memiliki sejumlah kebutuhan sandang, pangan,
papan, udara dan sebagainya. Guna memenuhi kebutuhan jasmaniah itu
manusia bekerja dan berusaha mencari rezeki walaupun tujuan itu tidak
semata-mata hanya untuk keperluan jasmaniah semata.(Rohim, 2011, hlm.
116)
Setiap manusia pada dasarnya wajib bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah. Sebagaimana firman
Allah dalam Q.S al-Tawbah: 105. Namun dalam bekerja, manusia diharuskan
untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Hal
ini dijelaskan dalam QS. al-Zumar: 39. Namun perlu diingat bahwa dalam
setiap kesibukan manusia mencari rezeki, manusia tidak boleh lupa
mengingat Allah dalam setiap pekerjaannya, karena segala keni’matan yang
ada didunia ini berasal dari Allah SWT dan manusia harus senantiasa
bersyukur kepada-Nya seperti yang tertulis dalam firman Allah QS. al
Jumu’ah: 10.
Adapun tujuan bekerja setiap orang tergantung pada niatnya.
Sebagian orang tidak menghadirkan rasa religius dalam niat bekerjanya dan
akan berakibat kepada tidak merasa bahagia dalam bekerja. Mereka hanya
mendapat tujuan dari bekerjanya atau cukup secara jasmani namun tidak
bahagia batinnya. Padahal setiap pekerjaan yang baik, yang dilakukan oleh
seorang muslim karena Allah SWT termasuk jihad fi sabilillah.(Luth, 2011,
hlm. 25) al-Qur’an telah menegaskan bahwasanya yang perlu dicari adalah
keutamaan dan keridhaan dalam Q.S al-Baqarah: 207.
Kesejahteraan Intelektual
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam,
hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur’an yang memandang orang
berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia disamping hadis-hadis nabi yang
banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu. Salah
satu ayat yang menyuruh kepada menuntut ilmu adalah pada QS. al-Tawbah:
122.(Departemen Agama RI, 2009, hlm. 206)
Selain mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu
dan kearifan, al-Qur’an juga menempatkan orang yang berpengetahuan pada
derajat Tinggi,(Ghulsaniy, 1991, hlm. 3) seperti dalam QS. al-Mujadilah ayat
11.(Departemen Agama RI, 2009, hlm. 543)
Oleh karenanya al-Qur’an memerintahkan manusia untuk belajar.
Belajar dalam Islam bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan
perkembangan rasional saja, tetapi harus meliputi seluruh kebutuhan
jasmani dan rohani secara seimbang, tidak melihat unsur-unsur psikologinya
secara dikotomis. Konsep inilah yang sebenarnya melahirkan fikir dan dzikir
menjadi satu arah, dan menempatkan manusia sesuai dengan harkat dan
martabat manusia, baik sebagai individu, sosial ataupun makhluk spiritual.
Sehingga tujuan belajar untuk menempatkan manusia pada posisinya yang
paling mulia dapat tercapai. Manusia sejak lahir memiliki fitrah yang harus
senantiasa dikembangkan. Belajar merupakan media utama untuk
mengembangkannya. Islam telah menjelaskan secara rinci dan operasional
mengenai proses belajar, (pemahaman dan pengetahuan) Proses kerja sistem
memori (akal) dan proses penguasaan pengetahuan dan keterampilan.(Syah,
2006, hlm. 76)
Al-Qur’an hanya memberikan indikasi-indikasi yang sekiranya bisa
menjelaskan tentang ketiga proses itu. Al-Qur’an memberikan penekanan
pada signifikansi fungsi kognitif (aspek akliah) dan sensori (panca indera)
sebagai alat penting untuk belajar dengan sangat jelas. Ada beberapa kata
kunci yang termaktub dalam al-Qur’an yaitu: ya’qilun, yatafakkarun, yubsirun,
dan yasma’un. Dalam beberapa ayat al-Qur’an yang secara eksplisit ataupun
implisit mewajibkan orang untuk belajar agar memperoleh ilmu pengetahuan
sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. al-Zumar: 9.
Agar manusia tidak kosong akalnya maupun jiwa raganya, maka perlu
adanya pengisian melalui belajar. Manusia lahir dalam keadaan kosong, maka
Allah Swt memberikan bekal potensi yang bersifat jasmaniah untuk belajar
dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
kemaslahatan manusia. Potensi-potensi tersebut dalam organ fisio-psikis
manusia berfungsi sebagai alat penting untuk melakukan kegiatan belajar
Kesejahteraan Psikis
Dalam memenuhi kesejahteraan emosi/psikis, tentunya manusia
memerlukan tiga hal yang harus dipenuhi yaitu rasa aman, cinta dan kasih
sayang dan saling menghormati dan menghargai.
Kedamaian dan rasa aman adalah syarat mutlak bagi tegak dan
sejahteranya suatu masyarakat. Keamanan dan kesejahteraan merupakan
dua hal yang saling terkait. Jika tak ada rasa aman, maka kesejahteraan tidak
dapat diraih dan dirasakan dan bila kesejahteraan tidak wujud, maka
keamanan tidak dapat terasa, bahkan kekacauan dan kegelisahan tumbuh
subur. Itu sebabnya ditemukan al-Qur’an menggarisbawahi keduanya bahkan
menyandingkannya antara lain dengan merekam permohonan Nabi Ibrahim
as. Pada QS. Al-Baqarah: 126.
Oleh karena rasa aman adalah sesuatu yang mutlak dibutuhkan. tidak
heran jika ditemukan sekian banyak firman Allah dalam al-Qur’an yang
mengindikasikan tentang keamanan bagi umat manusia, diantaranya adalah
pada QS. al-Nur: 55 dan QS. Quraisy: 4.
Untuk mencapai keamanan terdapat empat hal yang harus dilakukan
oleh manusia yaitu beriman dan bertaqwa, tidak berbuat syirik dan syukur
terhadap Nikmat yang telah Allah berikan.
Pada dasarnya orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang
kuat. Kuat batin dan kuat jiwanya, sehingga tidak akan takut menghadapi
hidup dengan segala tantangan dan masalahnya. Karena itu, banyak
penjelasan dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa beriman dan berbuat
baik tidak akan merasa takut dan tidak pula akan merasa khawatir. Hal ini
dijelaskan dalam firman Allah QS. al-An’am: 48, QS. Fusshilat: 30 dan QS. al
Nur: 55.
Begitu juga dengan taqwa. Hamka menjelaskan dalam tafsirnya Al
Azhar bahwa dalam kalimat taqwa terkandung makna yang lebih
komprehensif yaitu cinta, kasih, harapan, cemas, tawakal, ridha, sabar, berani
dan lain-lain. Intinya adalah memelihara hubungan baik dengan Allah.
Dengan memperbanyak amal saleh, hal tersebut dilakukan bukan karena
takut akan tetapi kesadaran diri sebagai hamba Allah.(Hamka, 1985, hlm.
123)
Pengertian yang diberikan oleh Hamka diatas telah memberi
penjelasan bahwa kata taqwa bukan hanya menghindari adzab Allah sebagai
antisipasi menolak kemudharatan, akan tetapi memiliki semangat
keberagamaan (religious spirit) yakni dengan memperbaiki hubungan
vertikal (dengan Allah) dan juga horizontal (dengan Manusia). Ketika
hubungan vertikal telah terjalin, maka rasa aman akan dengan sendirinya
terbangun, sebab orang yang bertakwa meyakini bahwa hidupnya akan
selalu dijaga oleh Allah SWt. Rasa aman yang didapat tidak hanya sebatas
kehidupan dunia, namun juga di akhirat kelak. Sebagaimana yang dijelaskan
pada QS. al-Dukhan: 51 dan QS. al-Hijr: 45-46.
Selain iman dan taqwa, manusia juga tidak boleh menyekutukan Allah
(syirik). Ibnu Katsir dalam menafsirkan QS. al-An’am: 82 memaknai kata
zhulmin dengan memurnikan ibadah kepada Allah dan tidak
menyekutukannya, sebab kata zhulmin pada ayat tersebut dimaknai dengan
syirik berdasarkan hadits Nabi riwayat al-Bukhori bahwa ketika ayat di atas
diturunkan, para sahabat Nabi berkata “siapakah diantara kita yang tidak
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri?” lalu turunlah firman Allah QS.
Luqman: 13. Keseluruhan ayat ini mengisyaratkan bahwa siapa saja yang
memurnikan ibadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, ia akan
mendapatkan keamanan pada hari kiamat dan mendapat hidayah dunia dan
akhirat.(Ismail bin Katsir al-Dimsyiqi, 2000, hlm. 101)
Terakhir adalah bersyukur terhadap nikmat Allah. Hakikat syukur
adalah menampakkan nikmat, sedangkan hakikat kufur adalah
menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti
menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh
pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah.
(Shihab, t.t., hlm. 216) Artinya hakikat syukur adalah mempergunakan nikmat
yang dikaruniakan Allah swt untuk berbuat ketaatan kepada Allah swt guna
mendekatkan diri kepada Allah swt.
Kesejahteraan Spiritual
Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan di luar
dirinya. Dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan hidup, musibah,
dan berbagai bencana. Manusia mengeluh dan meminta pertolongan kepada
sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari keadaan
tersebut. Naluriah membuktikan manusia perlu beragama dan membutuhkan
Sang Khaliknya.(Yatimin, 2006, hlm. 37) Sekurang-kurangnya ada tiga alasan
yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama,(Nata, 2011, hlm.
16) yaitu fitrah manusia pada QS. Al-Rum: 30, kelemahan dan kekurangan
manusia pada QS. al-Qamar: 49, serta tantangan manusia pada QS. al-Isra’: 53
dan QS. al-Anfal : 36.
Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, pasti mengimani dan
meyakini bahwa hanya Islam sajalah agama yang terbaik dan benar sebagai
pedoman beribadah dan pedoman hidup di dunia. Sebab ia meyakini bahwa
segala yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya pasti benar dan baik sebagaimana
firman Allah dalam QS. Ali Imran: 19.
Ayat tersebut merupakan berita dari Allah bahwa tidak ada agama
siapapun yang diterima di sisi-Nya, kecuali Islam. Sedangkan Islam ialah
ittiba' (mengikuti) ajaran Rasul-rasul Allah yang diutus untuk tiap-tiap masa,
sampai akhirnya. ditutup dengan Muhammad sebagai rasul terakhir.
Sehingga semua jalan menuju Allah tertutup kecuali melalui jalan
Muhammad. Karenanya, siapa yang menghadap Allah (setelah diutusnya
Nabi Muhammad) dengan menggunakan agama yang tidak berdasarkan
syari'at beliau, maka tidak akan diterima.(Ismail bin Katsir al-Dimsyiqi, 2000,
hlm. 36) Seperti halnya Firman Allah pada QS. Ali Imran: 85.
Dengan kata lain, bahwa selain Islam adalah agama yang batil. Tidak
akan membawa kebaikan dunia dan tidak pula akhirat. Sebab agama selain
Islam, tidak diakui dan tidak dibenarkan oleh Allah sebagai pedoman, baik
dalam hal ibadah maupun mu'amalah duniawi. Kesempurnaan Islam adalah
kesempurnaan yang meliputi segala aspek, untuk tujuan kebahagiaan masa
depan yang abadi dan tanpa batas. Yaitu kebahagiaan tidak saja di dunia,
tetapi bahkan di akhirat.
Selain beribadah, manusia juga harus bersabar atas ujian dan cobaan.
‘Abdurrahman al-Sa’di dalam menafsirkan QS. Ali Imran: 186 menjelaskan
bahwa Allah SWT mengabarkan dan mengatakan kepada kaum Mukminin
bahwa mereka akan diuji pada harta mereka melalui (perintah untuk)
mengeluarkan nafkah-nafkah wajib dan yang sunat serta terancam hilang
harta untuk (berjuang) di jalan Allâ h SWT . (Mereka juga akan diuji) pada
jiwa-jiwa mereka dengan diberi berbagai beban berat bagi banyak orang,
seperti jihad di jalan Allah atau tertimpa penyakit. Oleh karena itu, Allah SWT
berkata, ‘Jika kamu bersabar dan bertakwa’ maksudnya, jika kalian bersabar
atas segala kejadian pada harta dan diri kalian berupa ujian, cobaan dan
gangguan dari orang-orang zhalim, serta kalian dapat bertakwa kepada Allah
SWT dalam kesabaran itu dengan niat mengharap wajah Allah dan
mendekatkan diri kepada-Nya, dan kalian tidak melampaui batas kesabaran
yang ditentukan oleh syariat, maksudnya tidak boleh bersabar atau menahan
diri pada saat syari’at mengharuskan membalas perlakuan musuh-musuh
Allah. (Maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut
diutamakan) artinya itu termasuk perkara yang harus didahulukan dan
meraihnya dengan berlomba-lomba. Tidak ada yang diberi taufik untuk dapat
melakukan ini kecuali orang-orang yang memiliki tekad kuat dan semangat
tinggi.(al-Sa’di, 2001, hlm. 160)
Tentunya dalam hidup, ada hal yang harus diprioritaskan, yaitu
Memprioritaskan kehidupan akhirat. Keberhasilan yang dikejar secara serius
oleh orang yang bertakwa ialah keberhasilan di akhirat. Baginya keberhasilan
di dunia merupakan sesuatu yang bersifat supplementary (faktor pelengkap)
saja. Tetapi keberhasilan di akhirat adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar
sedikitpun karena merupakan faktor utama. ia meyakini bahwa kehidupan
sebenarnya adalah di negeri akhirat. Sedangkan kehidupan di dunia tidak lain
hanyalah senda-gurau dan permainan belaka. Seperti firman Allah dalam QS.
al-‘Ankabut: 64. Oleh karena dunia ini hanyalah berupa senda gurau dan
main-main belaka, Allah memerintahkan manusia untuk mencari kehidupan
yang lebih baik yaitu kehidupan akhirat seperti dalam firman-Nya QS. al-
Qashas: 77.
Dan yang terakhir adalah manusia harus berlomba-lomba dalam
berbuat kebaikan. Perintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan terdapat
dalam QS. Al-Baqarah: 148. Berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan berarti
menaati dan patuh untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangannya dengan semangat yang tinggi. Allah akan membalas orang yang
beriman, berbuat baik dan suka menolong dengan surga dan berada
Kesejahteraan Sosial
Hubungan antar manusia di dalam al Qur’an adalah adanya
penciptaan Allah yang berbeda-beda dalam kehidupan manusia seperti laki
laki dan perempuan, suku-suku yang banyak, berbangsa-bangsa, bahasa yang
berbeda-beda, serta warna kulit yang tidak sama dan berbagai
keanekaragaman lainnya agar manusia tersebut saling mengenal satu sama
lainnya dan bukan untuk menjelekkan perbedaan tersebut. Namun,
bagaimana mereka bisa bersatu dengan segala perbedaan tersebut untuk
menciptakan sebuah kehidupan yang harmonis yang penuh dengan
kedamaian, karena manusia adalah makhluk sosial yang saling
membutuhkan satu sama lainnya dan mereka tidak akan bisa hidup dengan
individu mereka sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Hujurat: 13.
Kesempurnaan fitrah seseorang bisa dilihat dari mampunya ia
berinteraksi dengan sesama manusia. Manusia merupakan makhluk sosial
yang tak akan lepas dari sebuah keadaan yang bernama interaksi. Begitu
luasnya daratan serta lautan yang membentang dari timur hingga barat yang
sebagiannya dihuni oleh manusia dengan ragam peradaban serta adat
istiadat. Bermulanya peradaban suatu masyarakat tentu tidak terlepas dari
adanya interaksi sosial yang terjadi diantara manusia, baik diantara anggota
masyarakat dalam satu komunitas maupun interaksi yang terjadi dengan
anggota masyarakat lain diluar komunitasnya.(Ahmad Durah, 2007, hlm. 99)
Sudah umum diketahui bahwa Al-Qur’an memberi perhatian khusus
pada (hak-hak) keluarga, tetangga, dan para sahabat, Namun dalam porsi
yang sama, ia menaruh perhatian pada hak-hak kaum muslimin sebab
sesama muslim tentu bersaudara. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan
Imam al-Bukhari disebutkan bahwa Hak seorang muslim atas muslim lainnya
ada enam, yaitu mengucap salam ketika bertemu, memenuhi undangannya,
memberinya nasihat jika diminta, mengucap yarhamukallah ketika ia bersin
dan mengucap hamdalah, menjenguknya ketika sakit dan mengiringi
jenazahnya ketika meninggal. (Hajjaj, 2004, hlm. 1085–1086) Oleh karena itu,
untuk menjamin terciptanya sebuah persaudaraan antar sesama muslim,
Allah Swt memberikan beberapa petunjuk yang menunjang lahirnya
persaudaraan tersebut yaitu, prinsip persamaan (QS. al-Hasyr: 9), prinsip
perdamaian (QS. Al-Hujurat: 10), dan menghindari sikap-sikap tercela (QS Al
Hujurat: 11-12).
PENUTUP
Konsep al-Qur’an dalam membentuk kesejahteraan sosial menuju
masyarakat madani adalah dengan mengedepankan nilai-nilai ketuhanan
dalam segala aktivitas kemanusiaan serta melapisi dimensi material dengan
dimensi spiritual yang dibangun di atas pilar agama.
Keadaan umat Islam di Indonesia tidak sesuai dengan apa yang
dinginkan oleh al-Qur’an. Perhatian ummat Islam terhadap ketimpangan
sosial sangat kurang sehingga kesejahteraan sosial tidak mampu diwujudkan
secara sempurna. Melihat permasalahan tersebut, maka perlu dirumuskan
paradigma baru, yang lebih memberi perhatian kepada aspek sosial
masyarakat sebagai prasyarat tercapainya kesejahteraan sosial.
Sasaran kesejahteraan sosial dalam al-Qur’an adalah sesuai dengan
sistem kemanusiaan Yaitu kehidupan rohani dan jasmani. Indikator
REFERENSI
Abu Bakar al-Jaziry, J. (2003). Aysar al-Tafasir li Kalami ‘Aliy al-Kabir.
Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam.
Ahmad Durah, S. M. Y. (2007). Pustaka Pengetahuan Al-Qur’an. Jakarta: PT
Rehal Publika.
al-Thabari, I. J. (1994). Tafsir al-Thabari. Beirut: Muassasah al-Risalah. al-
Sa’di, A. bin N. (2001). Taysir al-Karim al-Rahman. Riyadh: Makatabah al
Abikan.
Azra, A. (2008). Kajian Tematik al-Qur’an tentang Kontruksi Sosial. Bandung:
Angkasa.
Departemen Agama RI. (2009). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:
Diponegoro.
Ghulsaniy, M. (1991). Filsafat Sains Menurut al-Qur’an. Bandung:
Mizan. Hajjaj, A. M. I. (2004). Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Fikr.
Hakim, A., & Giovani, G. (2012). Perbandingan ekonomi dari masa Sokarno
hingga Susilo Bambang Yudhoyono (1945-2009). Ekonomika-Bisnis,
03, 02.
Hamka. (1985). Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas.
Ismail bin Katsir al-Dimsyiqi, A. al-Fida’. (2000). Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim.
Kairo: Maktabah Aulad al-Syaikh li al-Turast.
Jalaluddin. (2002). Teologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo.