Anda di halaman 1dari 20

AT-TIBYAN

Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

KONSEP AL-QUR’AN DALAM MEMBENTUK


KESEJAHTERAAN SOSIAL MENUJU MASYARAKAT
MADANI

Ahmad Mustaniruddin
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia
ahmad_mustanirruddin@uinjambi.ac.id

Abstrak:
Fokus penelitian ini adalah tentang teori kesejahteraan sosial dan bagaimana konsep
al-Qur’an dalam membentuk kesejahteraan sosial menuju masyarakat madani.
Tujuan dari penelitian untuk mengetahui; (1) Komponen kesejahteraan sosial yang
terdapat dalam al-Qur’an. (2) Cara-cara al-Qur’an dalam mewujudkan kesejahteraan
sosial (3) Implementasi Untuk Membentuk Kesejahteraan Sosial Menuju Masyarakat
Madani. Hasil penelitian menunjukkan (1) Menurut al-Qur’an terdapat lima
komponen yang harus terpenuhi dalam kehidupan agar tercipta kesejahteraan
sosial, yaitu kebutuhan fisik biologis, intelektual, emosi/psikis, spiritual dan sosial.
(2) Secara subtantif terdapat sejumlah ayat al-Qur’an yang menunjukkan cara-cara
untuk memenuhi lima komponen kesejahteraan sosial yang dikemukakan oleh al
Qur’an sehingga terciptalah sebuah masyarakat yang sejahtera dan menjadi salah
satu faktor pendukung perwujudan masyarakat madani. (3) Konsep kesejahteraan
sosial menurut al-Qur’an masih belum terimplementasikan dengan sempurna di
Indonesia. Masih banyak teori-teori lain seperti liberalis kapitalis, sosialis dan lain
sebagainya yang lebih didahulukan penggunaannya dalam membentuk
kesejahteraan sosial di Indonesia. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah konsep al
Qur’an dalam membentuk kesejahteraan sosial menuju masyarakat madani adalah
dengan mengedepankan nilai-nilai ketuhanan dalam segala aktivitas kemanusiaan
serta melapisi dimensi material dengan dimensi spiritual yang dibangun di atas pilar
agama.

Kata Kunci : Kesejahteraan Sosial, Masyarakat Madani, Konsep Al-Qur’an.

Abstract:
The focus of this research is about a theory of social prosperity and how the concept
of the Quran in forming social wealth to achieve a prosperous society. The purposes
of this research are; (1) The components of social wealth in the Quran. (2) The steps
offered by the Quran in the effort to attain prosperity in society to gain wealth. (3)
Implementation to shape social welfare towards civil society. The research resulted
(1) The Quran suggests five components that should be fulfilled in life so that it
creates social prosperity, such as physically biological relationships, intellectual
relationships, emotional or psychological relationships, spiritual relationships, and
social relationships. (2) Substantially, several verses of the Quran show steps to gain
the five components of social prosperity so wealthy people appear and become one
of the supporting factors to attain a prosperous society. (3) The concept of social
welfare according to the Qur'an is still not implemented perfectly, there are many
other theories such as capitalist liberals, socialists, and others that take precedence
in the formation of social welfare in Indonesia. The conclusion in this research is

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 35


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

that the concept of the Qur'an in shaping social welfare towards civil society is to
promote the values of divinity in all humanitarian activities and coat the material
dimension with the spiritual dimension built on the pillars of religion.

Keywords: Social Prosperity, Prosperous Society, The Concept Of The Quran

PENDAHULUAN
Kesejahteraan merupakan bagian penting dari negara berkembang.
Bahkan, dibentuknya sebuah negara adalah upaya dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakatnya. Berbagai cara, metode, aturan, alat,
pendekatan, ataupun kebijakan telah dipilih dan dilakukan oleh sebuah
negara dalam rangka untuk mencapai tujuan tersebut. Berbagai nilai dan
institusi sosial tersebut dapat menjadi instrumen bagi terciptanya kehidupan
yang lebih teratur dan lebih baik, demikian juga dengan dorongan untuk
membentuk negara. Negara dibutuhkan dan dibentuk untuk mewujudkan
ketertiban dan kehidupan yang lebih baik yang juga biasa disebut
kesejahteraan. Dengan demikian, kesejahteraan menjadi idaman setiap
individu dan setiap masyarakat, bahkan setiap negara. Kondisi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang sejahtera menjadi sesuatu yang
diidealkan.(Soetomo, 2014, hlm. 1)
Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
(Undang-Undang Republik Indonesia, 2009, hlm. 2) Namun di Indonesia yang
juga termasuk dari salah satu negara berkembang, kesejahteraan belum
mampu diwujudkan sepenuhnya. Masih banyak permasalahan-permasalahan
sosial yang melanda Indonesia sehingga sangat sulit untuk membentuk
kesejahteraan warga negaranya. Salah satunya adalah kemiskinan.
Kemiskinan dapat dikategorikan sebagai salah satu masalah sosial yang
banyak menarik perhatian para ahli, khususnya para sosiolog, ekonom dan
budayawan. Sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa kemiskinan
lebih ditujukan kepada orang-orang yang taraf kehidupan ekonominya tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok dan ada pula yang melihat
kemiskinan kasih sayang dan sebagainya. Demikian pula dengan sebab-sebab
terjadinya kemiskinan ada yang mengatakan karena sikap mental yang
malas, tidak tersedianya kesempatan kerja, karena tertindas dan lain
sebagainya.(Azra, 2008, hlm. 153)
Pembangunan kesejahteraan sosial yang selama ini dilakukan oleh
Indonesia perlu dievaluasi secara kritis, baik yang berkiblat pada pandangan
kaum sosialis maupun yang berkiblat pada kaum liberalis-kapitalis, karena

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 36


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

pada realitanya ideologi-ideologi tersebut belum membawa negara Indonesia


kepada kesejahteraan sosial yang dicita-citakan. Paradigma sosialis maupun
liberalis-kapitalis yang dianut oleh Indonesia tentang pembangunan
kesejahteraan sosial tersebut secara kasat mata belum membawa umat
manusia kepada kesejahteraan yang sejatinya, lahir batin. Sebaliknya,
pembangunan sosial yang berbasis pada paradigma kapitalis yang bertumpu
pada kepentingan para pemilik modal, menjadi pihak yang paling
bertanggung jawab dalam melahirkan berbagai kerusakan lingkungan
ekologi manusia yang menyangkut tata ruang, penggunaan sumber-sumber
kekayaan alam, air, minyak, dan gas bumi. Kekayaan alam Indonesia yang
dikelola dengan paradigma kapitalis tidak berhasil dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Negeri yang kaya dengan sumber-sumber daya alam,
seperti indonesia, masih bergumul dengan kemiskinan dan masalah-masalah
sosial yang masih akut, bahkan ledakan sosial akibat meningkatnya angka
pengangguran dan jumlah orang miskin, serta penyandang masalah
kesejahteraan sosial merupakan ancaman serius yang bisa menyulut gejolak
sosial atau bahkan revolusi sosial yang membahayakan eksistensi Negara
Kesatuan Republik Indonesia.(Usman Ismail, 2012, hlm. 12–13)
Dengan demikian, ada beberapa alasan yang memperkuat perlunya
merumuskan kembali pembangunan kesejahteraan berbasis pada al-Qur’an
yaitu, pertama, kaum muslim yang merupakan penduduk terbesar negeri ini
meyakini bahwa al-Qur’an itu firman Allah yang merupakan buku petunjuk
bagi manusia untuk menjalani hidup dan kehidupan dengan baik, kedua,
negeri ini sebuah negeri yang majemuk. Didirikan oleh berbagai komponen
bangsa. Ibarat sebuah perusahaan, kaum muslim adalah pemilik saham
terbesar. Oleh sebab itu, kaum muslim memiliki tanggung jawab yang besar
pula dalam membangun kesejahteraan bangsa ini. Ketiga, sumber dana untuk
membiayai pembangunan kesejahteraan sosial di negeri yang mayoritas
Muslim ini tidak mengandalkan pinjaman dari Bank Dunia yang merupakan
lembaga keuangan kapitalis, dan tidak juga datang dari bantuan asing, tetapi
dengan menggalang dana dari potensi umat Islam itu sendiri melalui zakat,
infaq, dan sedekah, serta wakaf sebagaimana yang dirintis oleh beberapa
kelompok umat dengan kelembagaan yang mandiri, manajemen modern
serta didukung oleh manusia-manusia yang amanah dan profesional.(Usman
Ismail, 2012, hlm. 13–14)

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 37


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

PEMBAHASAN
Kesejahteraan Biologis
Dalam memenuhi kesejahteraan fisik biologis, tentunya manusia
memerlukan empat hal yang harus dipenuhi yaitu makanan, minuman,
pakaian dan tempat tinggal. Dalam kitab suci al-Qur’an banyak ayat yang
memuat tentang makanan dan minuman dalam berbagai konteks dan arti,
dalam hal ini kitab suci al-Qur’an selalu menekankan salah satu dua sifat
yakni halal (boleh) dan thayyib (baik). Bahkan ditemukan empat ayat yang
menggabungkan kedua sifat-sifat tersebut, yaitu QS. al-Baqarah ayat 168, QS.
al-Maidah ayat 88, QS al-Anfal ayat 69, QS al-Nahl ayat 114.(Shihab, 2013,
hlm. 287) Sama halnya dengan makan dan minum, dalam al-Qur’an juga
terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebutuhan manusia terhadap
pakaian dan tempat tinggal seperti yang tertera pada QS. al-Nahl: 80 dan 81.
(Departemen Agama RI, 2009, hlm. 276)
Adapun cara yang diberikan al-Quran untuk memenuhi kebutuhan
tersebut adalah bekerja mencari rezeki. Manusia merupakan makhluk
jasmaniah dan rohaniah yang memiliki sejumlah kebutuhan sandang, pangan,
papan, udara dan sebagainya. Guna memenuhi kebutuhan jasmaniah itu
manusia bekerja dan berusaha mencari rezeki walaupun tujuan itu tidak
semata-mata hanya untuk keperluan jasmaniah semata.(Rohim, 2011, hlm.
116)
Setiap manusia pada dasarnya wajib bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah. Sebagaimana firman
Allah dalam Q.S al-Tawbah: 105. Namun dalam bekerja, manusia diharuskan
untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Hal
ini dijelaskan dalam QS. al-Zumar: 39. Namun perlu diingat bahwa dalam
setiap kesibukan manusia mencari rezeki, manusia tidak boleh lupa
mengingat Allah dalam setiap pekerjaannya, karena segala keni’matan yang
ada didunia ini berasal dari Allah SWT dan manusia harus senantiasa
bersyukur kepada-Nya seperti yang tertulis dalam firman Allah QS. al
Jumu’ah: 10.
Adapun tujuan bekerja setiap orang tergantung pada niatnya.
Sebagian orang tidak menghadirkan rasa religius dalam niat bekerjanya dan
akan berakibat kepada tidak merasa bahagia dalam bekerja. Mereka hanya
mendapat tujuan dari bekerjanya atau cukup secara jasmani namun tidak
bahagia batinnya. Padahal setiap pekerjaan yang baik, yang dilakukan oleh
seorang muslim karena Allah SWT termasuk jihad fi sabilillah.(Luth, 2011,
hlm. 25) al-Qur’an telah menegaskan bahwasanya yang perlu dicari adalah
keutamaan dan keridhaan dalam Q.S al-Baqarah: 207.

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 38


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

Kesejahteraan Intelektual
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam,
hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur’an yang memandang orang
berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia disamping hadis-hadis nabi yang
banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu. Salah
satu ayat yang menyuruh kepada menuntut ilmu adalah pada QS. al-Tawbah:
122.(Departemen Agama RI, 2009, hlm. 206)
Selain mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu
dan kearifan, al-Qur’an juga menempatkan orang yang berpengetahuan pada
derajat Tinggi,(Ghulsaniy, 1991, hlm. 3) seperti dalam QS. al-Mujadilah ayat
11.(Departemen Agama RI, 2009, hlm. 543)
Oleh karenanya al-Qur’an memerintahkan manusia untuk belajar.
Belajar dalam Islam bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan
perkembangan rasional saja, tetapi harus meliputi seluruh kebutuhan
jasmani dan rohani secara seimbang, tidak melihat unsur-unsur psikologinya
secara dikotomis. Konsep inilah yang sebenarnya melahirkan fikir dan dzikir
menjadi satu arah, dan menempatkan manusia sesuai dengan harkat dan
martabat manusia, baik sebagai individu, sosial ataupun makhluk spiritual.
Sehingga tujuan belajar untuk menempatkan manusia pada posisinya yang
paling mulia dapat tercapai. Manusia sejak lahir memiliki fitrah yang harus
senantiasa dikembangkan. Belajar merupakan media utama untuk
mengembangkannya. Islam telah menjelaskan secara rinci dan operasional
mengenai proses belajar, (pemahaman dan pengetahuan) Proses kerja sistem
memori (akal) dan proses penguasaan pengetahuan dan keterampilan.(Syah,
2006, hlm. 76)
Al-Qur’an hanya memberikan indikasi-indikasi yang sekiranya bisa
menjelaskan tentang ketiga proses itu. Al-Qur’an memberikan penekanan
pada signifikansi fungsi kognitif (aspek akliah) dan sensori (panca indera)
sebagai alat penting untuk belajar dengan sangat jelas. Ada beberapa kata
kunci yang termaktub dalam al-Qur’an yaitu: ya’qilun, yatafakkarun, yubsirun,
dan yasma’un. Dalam beberapa ayat al-Qur’an yang secara eksplisit ataupun
implisit mewajibkan orang untuk belajar agar memperoleh ilmu pengetahuan
sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. al-Zumar: 9.
Agar manusia tidak kosong akalnya maupun jiwa raganya, maka perlu
adanya pengisian melalui belajar. Manusia lahir dalam keadaan kosong, maka
Allah Swt memberikan bekal potensi yang bersifat jasmaniah untuk belajar
dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
kemaslahatan manusia. Potensi-potensi tersebut dalam organ fisio-psikis
manusia berfungsi sebagai alat penting untuk melakukan kegiatan belajar

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 39


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

yang berupa, indera penglihatan fungsinya untuk menerima informasi visual,


indera pendengaran, fungsinya untuk menerima informasi verbal, akal
potensi kejiwaan manusia, yang merupakan sistem psikis yang kompleks
untuk menyerap, mengelola, menyimpan, dan memproduksi kembali item
item informasi dan pengetahuan (ranah kognitif).(Syah, 2006, hlm. 78) Hal
ini sejalan dengan firman Allah QS. al-Nahl: 78.
Daya nalar yang tercantum dalam ayat tersebut di atas sangat penting,
karena dengan daya nalar yang tinggi manusia mampu mengelola segala
potensi yang ada dalam dirinya untuk mewujudkan insan kamil. Begitu juga
dengan proses belajar yang merupakan proses untuk meningkatkan
kemampuan dan memfungsikan aspek-aspek fisio-psikis dalam ajaran Islam
yang telah ada sejak diciptakannya Adam sebagai manusia di bumi.(Najati,
1997, hlm. 170)

Kesejahteraan Psikis
Dalam memenuhi kesejahteraan emosi/psikis, tentunya manusia
memerlukan tiga hal yang harus dipenuhi yaitu rasa aman, cinta dan kasih
sayang dan saling menghormati dan menghargai.
Kedamaian dan rasa aman adalah syarat mutlak bagi tegak dan
sejahteranya suatu masyarakat. Keamanan dan kesejahteraan merupakan
dua hal yang saling terkait. Jika tak ada rasa aman, maka kesejahteraan tidak
dapat diraih dan dirasakan dan bila kesejahteraan tidak wujud, maka
keamanan tidak dapat terasa, bahkan kekacauan dan kegelisahan tumbuh
subur. Itu sebabnya ditemukan al-Qur’an menggarisbawahi keduanya bahkan
menyandingkannya antara lain dengan merekam permohonan Nabi Ibrahim
as. Pada QS. Al-Baqarah: 126.
Oleh karena rasa aman adalah sesuatu yang mutlak dibutuhkan. tidak
heran jika ditemukan sekian banyak firman Allah dalam al-Qur’an yang
mengindikasikan tentang keamanan bagi umat manusia, diantaranya adalah
pada QS. al-Nur: 55 dan QS. Quraisy: 4.
Untuk mencapai keamanan terdapat empat hal yang harus dilakukan
oleh manusia yaitu beriman dan bertaqwa, tidak berbuat syirik dan syukur
terhadap Nikmat yang telah Allah berikan.
Pada dasarnya orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang
kuat. Kuat batin dan kuat jiwanya, sehingga tidak akan takut menghadapi
hidup dengan segala tantangan dan masalahnya. Karena itu, banyak
penjelasan dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa beriman dan berbuat
baik tidak akan merasa takut dan tidak pula akan merasa khawatir. Hal ini

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 40


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

dijelaskan dalam firman Allah QS. al-An’am: 48, QS. Fusshilat: 30 dan QS. al
Nur: 55.
Begitu juga dengan taqwa. Hamka menjelaskan dalam tafsirnya Al
Azhar bahwa dalam kalimat taqwa terkandung makna yang lebih
komprehensif yaitu cinta, kasih, harapan, cemas, tawakal, ridha, sabar, berani
dan lain-lain. Intinya adalah memelihara hubungan baik dengan Allah.
Dengan memperbanyak amal saleh, hal tersebut dilakukan bukan karena
takut akan tetapi kesadaran diri sebagai hamba Allah.(Hamka, 1985, hlm.
123)
Pengertian yang diberikan oleh Hamka diatas telah memberi
penjelasan bahwa kata taqwa bukan hanya menghindari adzab Allah sebagai
antisipasi menolak kemudharatan, akan tetapi memiliki semangat
keberagamaan (religious spirit) yakni dengan memperbaiki hubungan
vertikal (dengan Allah) dan juga horizontal (dengan Manusia). Ketika
hubungan vertikal telah terjalin, maka rasa aman akan dengan sendirinya
terbangun, sebab orang yang bertakwa meyakini bahwa hidupnya akan
selalu dijaga oleh Allah SWt. Rasa aman yang didapat tidak hanya sebatas
kehidupan dunia, namun juga di akhirat kelak. Sebagaimana yang dijelaskan
pada QS. al-Dukhan: 51 dan QS. al-Hijr: 45-46.
Selain iman dan taqwa, manusia juga tidak boleh menyekutukan Allah
(syirik). Ibnu Katsir dalam menafsirkan QS. al-An’am: 82 memaknai kata
zhulmin dengan memurnikan ibadah kepada Allah dan tidak
menyekutukannya, sebab kata zhulmin pada ayat tersebut dimaknai dengan
syirik berdasarkan hadits Nabi riwayat al-Bukhori bahwa ketika ayat di atas
diturunkan, para sahabat Nabi berkata “siapakah diantara kita yang tidak
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri?” lalu turunlah firman Allah QS.
Luqman: 13. Keseluruhan ayat ini mengisyaratkan bahwa siapa saja yang
memurnikan ibadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, ia akan
mendapatkan keamanan pada hari kiamat dan mendapat hidayah dunia dan
akhirat.(Ismail bin Katsir al-Dimsyiqi, 2000, hlm. 101)
Terakhir adalah bersyukur terhadap nikmat Allah. Hakikat syukur
adalah menampakkan nikmat, sedangkan hakikat kufur adalah
menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti
menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh
pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah.
(Shihab, t.t., hlm. 216) Artinya hakikat syukur adalah mempergunakan nikmat
yang dikaruniakan Allah swt untuk berbuat ketaatan kepada Allah swt guna
mendekatkan diri kepada Allah swt.

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 41


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

Adapun diantara manfaat syukur itu adalah kembalinya kebaikan


pada dirinya sendiri sebagaimana dalam QS. Al-Naml ayat 40, dan merasakan
keamanan sebagaimana dalam QS. Al-Nahl: 112.
Selanjutnya rasa cinta dan kasih sayang. Semua makhluk ciptaan Allah
di dunia ini memiliki kondisi dan potensi masing-masing. Begitu juga
manusia, dalam kapasitasnya sebagai makhluk yang paling sempurna -
dengan akal, perasaan, dan nafsu yang dimilikinya. Dalam fitrah manusia
sebagai makhluk yang mempunyai perasaan, salah satu potensi yang dimiliki
oleh manusia adalah potensi rasa kasih sayang yang ada pada dirinya sejak
lahir. Kasih sayang adalah fitrah karena merupakan bagian dari kebutuhan
manusia.(Jalaluddin, 2002, hlm. 234) Seperti dalam QS. Al-Rum: 21 dan QS. al
Balad: 17.
Terwujudnya kasih sayang antar manusia merupakan kebutuhan
penting dalam kehidupan masyarakat yang sejahtera, karena tidak ada alasan
bagi mereka untuk melakukan masalah dan mengembangkan permasalahan,
karena masing-masing sudah bisa menjalani kehidupan dengan baik dan
tentu ingin dipertahankan. Pada masyarakat yang sejahtera berkembanglah
rasa kasih dan sayang antar sesama. Kebahagiaan dan kesejahteraan dalam
kehidupan masyarakat akan terwujud manakala manusia saling menyayangi.
Di samping itu keindahan hidup juga bisa dilihat dan dirasakan bila kasih
sayang antar sesama dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Paling tidak,
ada enam hal yang harus diwujudkan sebagai cermin dari saling menyayangi
antar sesama manusia. Yaitu, saling menghormati (QS. Al-Hujurat: 11), tolong
menolong (QS al-Maidah: 2), saling memberi nasihat (QS. al-‘Ashr: 2-3),
melindungi keselamatan harta dan jiwa (QS. Al-Baqarah: 179), saling
memaafkan (QS. al-Shura>: 40), dan saling memberi hadiah (QS. Al-Naml:
35).
Sama halnya dengan dua hal di atas, manusia juga perlu saling
menghormati dan menghargai. Kehormatan dan harga diri adalah sesuatu
yang harus dijaga dan tak boleh mati. Kebenaran yang akhirnya melahirkan
martabat dan martabatlah yang membuat segala menjadi terhormat. Harga
diri adalah wujud dari keinginan untuk tetap terhormat. Terhormat adalah
sebuah tindakan untuk menjaga martabat dengan melakukan tindakan
berdasarkan asas kebenaran dan tatanan.
Di antara ajaran al-Qur’an tentang menjaga harga diri dan kehormatan
adalah tidak adanya paksaan dalam beragama pada QS. al-Baqarah: 256,
Menjaga lidah pada QS. al-Nur: 4 dan menghormati wanita pada QS. Al-Nur:
30-31.

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 42


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

Cara pertama yang diberikan oleh al-Qur’an untuk menjaga


kehormatan dan harga diri adalah dengan berusaha menahan pandangan dan
menjaga kemaluan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana yang
dijelaskan dalam Q.S. al-Nur: 30-31.
Pada ayat ini, perintah pertama untuk menjaga pandangan adalah
ditujukan kepada kaum laki-laki, karena kaum laki-laki mempunyai potensi
lebih besar menggoda dari pada kaum perempuan. Sedang bagi perempuan,
perintah ini adalah dalam rangka untuk menjunjung tinggi martabat dan
kemuliaan seorang perempuan. Untuk itu, al-Qur’an juga memerintahkan
agar kaum perempuan memalingkan pandangannya dari hal-hal yang
dilarang, seperti melihat laki-laki dengan penuh nafsu. Perintah ini tidak
terlepas dari pergaulan atau interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan
yang tidak dapat dielakkan. Hal ini memungkinkan antara laki-laki dengan
perempuan untuk saling melihat dan bergaul, sehingga tidak menutup
kemungkinan aurat dari keduanya (baik laki-laki dan terlebih perempuan)
terbuka. Tidak hanya itu, pada ayat yang sama pula, terdapat perintah untuk
menjaga kemaluan bagi keduanya.
Jadi, dalam hal ini antara kaum laki-laki dan kaum perempuan
mendapatkan perintah dan mempunyai tanggung jawab yang sama, yaitu
sama-sama menjaga pandangan dan memelihara kemaluan mereka. Manusia
laki-laki dan perempuan diberi syahwat kelamin agar supaya mereka tidak
punah dan musnah dari muka bumi ini. Laki-laki memerlukan perempuan
dan perempuan juga memerlukan laki-laki. Tidak hanya manusia saja, namun
binatangpun juga sama. Perbedaannya adalah manusia diberi karunia oleh
Allah dengan akal dan akal sendiri menghendaki hubungan-hubungan yang
teratur dan bersih. Sedangkan hewan tidak diberi akal sebagaimana manusia.
Dengan adanya pemberian anugerah tersebut, tentunya dalam hal ini harus
ada perbedaan antara sikap manusia dan hewan. Syahwat adalah keperluan
hidup dan akan menjadi baik jika digunakan sebagaimana mestinya dan akan
menjadi malapetaka jika tidak digunakan sebagaimana mestinya. Selain itu
menjaga syahwat juga salah satu cara untuk menjaga kehormatan dan harga
diri manusia.(Hamka, 1985, hlm. 492)
Adapun cara kedua adalah tidak meminta-minta. Seseorang yang
meminta-minta kepada orang lain baik harta atau segala kebutuhannya tanpa
ada kebutuhan dan tuntutan yang mendesak, mengandung kehinaan kepada
selain Allah SWT sebagaimana dijelaskan pada QS. Al-Baqarah: 273.
(Departemen Agama RI, 2009, hlm. 46)
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut berkomentar bahwa
Allah berkehendak agar mereka tidak memelas dalam meminta-minta dan

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 43


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

mereka tidak memaksa manusia dengan sesuatu yang mereka tidak


butuhkan, sebab orang yang meminta-minta padahal dia memiliki sesuatu
yang bisa mencegahnya dari meminta-minta maka sungguh dia termasuk
orang yang meminta-minta kepada manusia secara memaksa.(Ismail bin
Katsir al-Dimsyiqi, 2000, hlm. 447)

Kesejahteraan Spiritual
Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan di luar
dirinya. Dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan hidup, musibah,
dan berbagai bencana. Manusia mengeluh dan meminta pertolongan kepada
sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari keadaan
tersebut. Naluriah membuktikan manusia perlu beragama dan membutuhkan
Sang Khaliknya.(Yatimin, 2006, hlm. 37) Sekurang-kurangnya ada tiga alasan
yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama,(Nata, 2011, hlm.
16) yaitu fitrah manusia pada QS. Al-Rum: 30, kelemahan dan kekurangan
manusia pada QS. al-Qamar: 49, serta tantangan manusia pada QS. al-Isra’: 53
dan QS. al-Anfal : 36.
Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, pasti mengimani dan
meyakini bahwa hanya Islam sajalah agama yang terbaik dan benar sebagai
pedoman beribadah dan pedoman hidup di dunia. Sebab ia meyakini bahwa
segala yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya pasti benar dan baik sebagaimana
firman Allah dalam QS. Ali Imran: 19.
Ayat tersebut merupakan berita dari Allah bahwa tidak ada agama
siapapun yang diterima di sisi-Nya, kecuali Islam. Sedangkan Islam ialah
ittiba' (mengikuti) ajaran Rasul-rasul Allah yang diutus untuk tiap-tiap masa,
sampai akhirnya. ditutup dengan Muhammad sebagai rasul terakhir.
Sehingga semua jalan menuju Allah tertutup kecuali melalui jalan
Muhammad. Karenanya, siapa yang menghadap Allah (setelah diutusnya
Nabi Muhammad) dengan menggunakan agama yang tidak berdasarkan
syari'at beliau, maka tidak akan diterima.(Ismail bin Katsir al-Dimsyiqi, 2000,
hlm. 36) Seperti halnya Firman Allah pada QS. Ali Imran: 85.
Dengan kata lain, bahwa selain Islam adalah agama yang batil. Tidak
akan membawa kebaikan dunia dan tidak pula akhirat. Sebab agama selain
Islam, tidak diakui dan tidak dibenarkan oleh Allah sebagai pedoman, baik
dalam hal ibadah maupun mu'amalah duniawi. Kesempurnaan Islam adalah
kesempurnaan yang meliputi segala aspek, untuk tujuan kebahagiaan masa
depan yang abadi dan tanpa batas. Yaitu kebahagiaan tidak saja di dunia,
tetapi bahkan di akhirat.

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 44


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

Selain agama, manusia juga perlu menemukan makna dan tujuan


hidup. Al Quran adalah pedoman bagi manusia untuk menemukan makna
hidup yang sebenarnya. Kehidupan terbagi menjadi dua yaitu kehidupan
dunia dan kehidupan akhirat, banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan
tentang hal tersebut, di antaranya pada QS. Ghafir: 11.
Al Qur’an menjelaskan bahwa kehidupan kini bukanlah akan berlalu
tanpa akibat, tetapi berlangsung dengan catatan atas semua gerak zahir dan
batin yang menentukan nilai setiap individu untuk kehidupan di alam
akhirat, dimana kehidupan akan terpisah antara yang beriman dan yang
kafir. Oleh karenanya al-Qur’an mengisyaratkan tujuan manusia untuk hidup
yaitu ampunan Allah serta surga dan neraka serta Menggapai ridho Allah
seperti dalam firman Allah QS. Ali Imran: 133, QS. al-Tin: 4-6. Dan QS. al
Tawbah: 72.
Adapun makna dari kehidupan ini telah tergambar dalam al-Qur’an
secara jelas yaitu pertama sebagai sarana penghambaan diri pada QS. al
Dzariyat: 56, kedua sebagai ujian pada QS. al-Mulk: 2 dan QS. al-Baqarah:
155-156, dan yang ketiga adalah sebagai cara untuk menuju kehidupan yang
lebih baik dan kekal yaitu negeri akhir pada QS. Ali Imran: 14, Qs. al-Dhuha: 4
dan QS. Ghafir: 39.
Untuk itu, dalam menemukan makna dan tujuan hidup, manusia perlu
menjalankan segala Ibadah kepada Allah. Pada QS. Al-Baqarah: 21-22 Allah
memanggil seluruh umat manusia di setiap tempat dan di setiap masa. Allah
memerintahkan mereka untuk merealisasikan tujuan penciptaan mereka
yaitu beribadah kepada-Nya yang mencakup unsur menjalankan perintah
Nya, menjauhi larangan-Nya dan membenarkan berita-Nya. Dalam
menegaskan ayat ini, Allah menyertakannya dengan memperkenalkan Dzat
Nya kepada manusia agar mereka mengenal sifat-sifat keagungan dan
kesempurnaan-Nya. Tujuannya, agar mereka menyadari dan lebih mudah
menyambut perintah ini dan akhirnya menjalankan ibadah kepada-Nya yang
akan menyelamatkan mereka dari siksa-Nya dan mendatangkan ridha dan
jannah bagi mereka.(Abu Bakar al-Jaziry, 2003, hlm. 170–172)
Allah menyebutkan langit dan bumi di antara nikmat-nikmat yang Dia
sebutkan bagi mereka, karena melalui keduanya, mereka mendapatkan
makanan pokok, rezki dan penghidupan serta penopang dunia mereka.
Kemudian Allâ h SWT menyebutkan bahwa Dzat yang menciptakan keduanya
dan seluruh yang ada di dalam keduanya serta seluruh kenikmatan di
dalamnya Dialah yang berhak ditaati oleh mereka dan berhak disyukuri dan
diibadahi oleh mereka.(al-Thabari, 1994, hlm. 135)

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 45


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

Selain beribadah, manusia juga harus bersabar atas ujian dan cobaan.
‘Abdurrahman al-Sa’di dalam menafsirkan QS. Ali Imran: 186 menjelaskan
bahwa Allah SWT mengabarkan dan mengatakan kepada kaum Mukminin
bahwa mereka akan diuji pada harta mereka melalui (perintah untuk)
mengeluarkan nafkah-nafkah wajib dan yang sunat serta terancam hilang
harta untuk (berjuang) di jalan Allâ h SWT . (Mereka juga akan diuji) pada
jiwa-jiwa mereka dengan diberi berbagai beban berat bagi banyak orang,
seperti jihad di jalan Allah atau tertimpa penyakit. Oleh karena itu, Allah SWT
berkata, ‘Jika kamu bersabar dan bertakwa’ maksudnya, jika kalian bersabar
atas segala kejadian pada harta dan diri kalian berupa ujian, cobaan dan
gangguan dari orang-orang zhalim, serta kalian dapat bertakwa kepada Allah
SWT dalam kesabaran itu dengan niat mengharap wajah Allah dan
mendekatkan diri kepada-Nya, dan kalian tidak melampaui batas kesabaran
yang ditentukan oleh syariat, maksudnya tidak boleh bersabar atau menahan
diri pada saat syari’at mengharuskan membalas perlakuan musuh-musuh
Allah. (Maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut
diutamakan) artinya itu termasuk perkara yang harus didahulukan dan
meraihnya dengan berlomba-lomba. Tidak ada yang diberi taufik untuk dapat
melakukan ini kecuali orang-orang yang memiliki tekad kuat dan semangat
tinggi.(al-Sa’di, 2001, hlm. 160)
Tentunya dalam hidup, ada hal yang harus diprioritaskan, yaitu
Memprioritaskan kehidupan akhirat. Keberhasilan yang dikejar secara serius
oleh orang yang bertakwa ialah keberhasilan di akhirat. Baginya keberhasilan
di dunia merupakan sesuatu yang bersifat supplementary (faktor pelengkap)
saja. Tetapi keberhasilan di akhirat adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar
sedikitpun karena merupakan faktor utama. ia meyakini bahwa kehidupan
sebenarnya adalah di negeri akhirat. Sedangkan kehidupan di dunia tidak lain
hanyalah senda-gurau dan permainan belaka. Seperti firman Allah dalam QS.
al-‘Ankabut: 64. Oleh karena dunia ini hanyalah berupa senda gurau dan
main-main belaka, Allah memerintahkan manusia untuk mencari kehidupan
yang lebih baik yaitu kehidupan akhirat seperti dalam firman-Nya QS. al-
Qashas: 77.
Dan yang terakhir adalah manusia harus berlomba-lomba dalam
berbuat kebaikan. Perintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan terdapat
dalam QS. Al-Baqarah: 148. Berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan berarti
menaati dan patuh untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangannya dengan semangat yang tinggi. Allah akan membalas orang yang
beriman, berbuat baik dan suka menolong dengan surga dan berada

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 46


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

didalamnya kekal selama-lamanya sebagaimana firman Allah dalam QS. Al


Maidah: 85.

Kesejahteraan Sosial
Hubungan antar manusia di dalam al Qur’an adalah adanya
penciptaan Allah yang berbeda-beda dalam kehidupan manusia seperti laki
laki dan perempuan, suku-suku yang banyak, berbangsa-bangsa, bahasa yang
berbeda-beda, serta warna kulit yang tidak sama dan berbagai
keanekaragaman lainnya agar manusia tersebut saling mengenal satu sama
lainnya dan bukan untuk menjelekkan perbedaan tersebut. Namun,
bagaimana mereka bisa bersatu dengan segala perbedaan tersebut untuk
menciptakan sebuah kehidupan yang harmonis yang penuh dengan
kedamaian, karena manusia adalah makhluk sosial yang saling
membutuhkan satu sama lainnya dan mereka tidak akan bisa hidup dengan
individu mereka sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Hujurat: 13.
Kesempurnaan fitrah seseorang bisa dilihat dari mampunya ia
berinteraksi dengan sesama manusia. Manusia merupakan makhluk sosial
yang tak akan lepas dari sebuah keadaan yang bernama interaksi. Begitu
luasnya daratan serta lautan yang membentang dari timur hingga barat yang
sebagiannya dihuni oleh manusia dengan ragam peradaban serta adat
istiadat. Bermulanya peradaban suatu masyarakat tentu tidak terlepas dari
adanya interaksi sosial yang terjadi diantara manusia, baik diantara anggota
masyarakat dalam satu komunitas maupun interaksi yang terjadi dengan
anggota masyarakat lain diluar komunitasnya.(Ahmad Durah, 2007, hlm. 99)
Sudah umum diketahui bahwa Al-Qur’an memberi perhatian khusus
pada (hak-hak) keluarga, tetangga, dan para sahabat, Namun dalam porsi
yang sama, ia menaruh perhatian pada hak-hak kaum muslimin sebab
sesama muslim tentu bersaudara. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan
Imam al-Bukhari disebutkan bahwa Hak seorang muslim atas muslim lainnya
ada enam, yaitu mengucap salam ketika bertemu, memenuhi undangannya,
memberinya nasihat jika diminta, mengucap yarhamukallah ketika ia bersin
dan mengucap hamdalah, menjenguknya ketika sakit dan mengiringi
jenazahnya ketika meninggal. (Hajjaj, 2004, hlm. 1085–1086) Oleh karena itu,
untuk menjamin terciptanya sebuah persaudaraan antar sesama muslim,
Allah Swt memberikan beberapa petunjuk yang menunjang lahirnya
persaudaraan tersebut yaitu, prinsip persamaan (QS. al-Hasyr: 9), prinsip
perdamaian (QS. Al-Hujurat: 10), dan menghindari sikap-sikap tercela (QS Al
Hujurat: 11-12).

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 47


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)

Implementasi Teori Al-Qur’an Tentang Kesejahteraan Sosial Menuju


Masyarakat Madani di Indonesia
Indonesia sesungguhnya telah menanamkan prinsip-prinsip al-Qur’an
pada ideologi negaranya yaitu pancasila. lima asas penting dalam pancasila
yaitu, ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, telah sejalan dengan prinsip-prinsip bernegara menurut al-Qur’an
seperti yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya. Selain itu, Asas
asas dalam penyelenggaraan kesejahteraan di Indonesia pada Undang
undang Republik Indonesia No. 11 tahun 2009 seperti kesetiakawanan,
keadilan, kemanfaatan, keterpaduan, kemitraan, keterbukaan, akuntabilitas,
partisipasi, profesionalitas dan keberlanjutan juga sejalan dengan prinsip
prinsip al-Qur’an.
Hal ini wajar terjadi, sebab dalam rumusan ideologi dan konstitusi
tersebut, substansi negara Indonesia adalah berbentuk negara yang religius
(religious nation state). Negara tidak menafikan peran agama, dan agama juga
tidak menolak eksistensi negara. Antara agama dan negara memiliki peran
penting dalam menyukseskan cita-cita kemerdekaan RI, yaitu mewujudkan
kesejahteraan sosial dan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Islam tidak perlu menuntut negara atau pemerintah Indonesia
menjadi negara atau pemerintah Islam. Baginya adalah substansi atau esensi
esensinya, bukan bentuk formalnya yang sangat simbolis.(Madjid, 1984, hlm.
31) Pembentukan negara adalah suatu kewajiban bagi umat manusia dalam
bentuk demokratis, meskipun tidak ada keharusan dari Islam dalam bentuk
negara Islam, karena membentuk negara itu dapat memberikan beberapa
prinsip yang dipakai dalam mewujudkan masyarakat dimaksud, yaitu:
Pertama, pemerintahan yang adil dan demokratis (musyawarah), kedua,
organisasi pemerintah yang dinamis, ketiga, kedaulatan.(Madjid, 1984, hlm.
227)
Masalah integrasi keislaman dan ke-indonesiaan semakin konkrit,
ketika Nurcholis Madjid menjelaskan hubungan Islam dan ideologi Pancasila.
Ia berpendapat bahwa kaum muslim Indonesia menerima Pancasila dan UUD
1945 dengan pertimbangan yang jelas. Kedudukan Pancasila dan UUD 1945
menurutnya, sama kedudukan dan fungsi dokumen politik pertama dalam
sejarah Islam, yaitu Piagam Madinah, dan umat pada masa Rasulullah
menerima konstitusi Madinah dalam rangka menyetujui kesepakatan

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 48


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)
bersama dalam membangun masyarakat politik bersama.(Madjid, 1983, hlm.
63)
Namun pada kenyataannya Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri tidak
dijalankan secara utuh oleh pemerintah Indonesia. Masa orde lama misalnya,
disebut dengan masa liberal, karena dalam politik maupun sistem
ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan
pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik. Berbeda dengan orde lama. Orde
baru yang saat itu di pimpin oleh Soeharto bercita-cita meletakkan kembali
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan negara pada kemurnian
pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Tekad orde baru ialah melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun maraknya
KKN, kesenjangan sosial dan pembangunan yang tidak merata, ditambah
dengan Krisis moneter yang terjadi tahun 1997 dan terjadinya inflasi,
mengakibatkan dampak ekonomi yang sangat buruk bagi indonesia sehingga
membuat tatanan Negara menjadi kacau sehingga berujung pada
ketidakpuasan rakyat dan penggantian kursi kepresidenan.
BJ. Habibie sebagai pelopor era reformasi yang saat itu menjabat
sebagai presiden pengganti Soeharto, menghadapi keberadaan Indonesia
yang serba parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Cara
cara yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk dapat mengatasi
krisis ekonomi dan politik. Namun sampai akhir jabatannya tetap tidak
mampu menaikkan kembali kondisi keterpurukan yang di alami oleh
Indonesia.(Hakim & Giovani, 2012, hlm. 169)
Melanjutkan era reformasi Habibie, Abdurahman Wahid (Gus Dur)
bersama kabinetnya menolak melanjutkan semua hasil kerja keras kabinet
pemerintahan Habibie misalnya Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil
Menengah (PKM), yang selama pemerintahan Habibie menjadi lokomotif
ekonomi kerakyatan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dijadikan
kementerian nonportofolio atau menteri negara non Departemen.(Rafick,
2008, hlm. 211)
Meskipun begitu ditengah anggaran negara yang minus sekitar Rp 42
triliun, sepanjang tahun 2000 ekonomi Indonesia menggeliat pasti. tahun
2000-an ketika Presiden Abdurrahman Wahid berkuasa pertumbuhan
ekonomi Indonesia mencapai 3-4% dari sebelumnya yang hanya 0.13% pada
tahun 1999. Sementara inflasi bertengger pada angka terkendali, sekitar 7%.
Naiknya harga minyak dan gas bumi juga menjadi faktor penting dalam
menambah pemasukan keuangan Negara. Pemerintahan Abdurahman Wahid
juga memiliki gagasan sekuritisasi aset yaitu aset- aset negara, terutama
barang tambang bisa dinilai dulu, kemudian pemerintah bisa mengeluarkan

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 49


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)
saham atas aset-aset Negara tersebut yang kemudian diperjual-belikan
dipasar modal untuk membiayai pembangunan nasional, namun sayangnya
hal itu tidak dapat terwujud karena Abdurrahman Wahid berhasil
dilengserkan oleh MPR melalui Sidang Istimewa kedudukannya kemudian
digantikan oleh Megawati.(Rafick, 2008, hlm. 218)
Kebijakan ekonomi masa pemerintahan Megawati adalah Privatisasi
Badan Usaha Milik Negara, Program pengelolaan hutang luar negeri, investasi
asing, Usaha Kecil Menengah dan restrukturisasi dalam bidang keuangan.
Program privatisasi tersebut bertujuan mengembangkan potensi keuntungan
usaha yang telah dirintis oleh BUMN. Selain itu, privatisasi memungkinkan
pemerintah memiliki beberapa opsi eksplorasi sumber-sumber langka untuk
menurunkan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial.(Muchtar,
2002, hlm. 118)
Namun Megawati dianggap gagal melaksanakan agenda reformasi dan
tidak mampu mengatasi krisis bangsa. Menurut beberapa pengamat politik
dan pemerintahan, kebijakan pemerintah Megawati sepanjang tahun 2002
cenderung mengabaikan aspirasi rakyat dan hanya berorientasi pada
kepentingan kalangan tertentu serta tidak mampu melepaskan Indonesia
dari tekanan pihak-pihak asing. Tidak ada upaya pemberantasan KKN,
sebaliknya praktik korupsi makin terang-terangan dan meluas, kebijakan
pemerintah yang memberi pengampunan terhadap sejumlah koruptor jelas
mengingkari nilai keadilan.
Pada masa pemerintahannya, Susilo Bambang Yudhoyono banyak
melakukan perubahan kebijakan khususnya di bidang perekonomian antara
lain adalah mengganti pola kebijakan perekonomian yang selama ini
mengarah ke Amerika Serikat (arah ini sudah di anut sejak era Orba–sebut
saja (America’s Way), ke arah China (China’s Way). Satu hal yang paling
menonjol dalam “China’s Way” adalah agresifitas yang dimulai dalam
membangun infrastruktur dan serta cara nyata dan konsisten tanpa pandang
bulu dalam mencegah dan membasmi korupsi. SBY melakukan pembangunan
berkelanjutan selama masanya menjabat sebagai presiden 2 kali berturut
turut. Salah satu contoh pembangunan berkelanjutan tersebut adalah
kebijakan subsidi BBM, pembentukan perumahan murah bagi rakyat yang
akan menampung rakyat miskin yang hidup di kolong jembatan, juga
golongan rakyat lain yang belum punya rumah layak.
Meskipun bedasarkan hasil survey LSI tahun 2010 masyarakat
mengaku puas, namun ada banyak hal pula yang ternyata menjadi keburukan
pemerintahan SBY, antara lain adalah banyaknya kasus bersar yang belum
tuntas ditangani pemerintah, seperti kasus Bank Century, kasus pembunuhan

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 50


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)
aktivis HAM Munir dan kasus dugaan suap atas Nazaruddin.(Muchtar, 2002,
hlm. 316)
Dilihat dari akar sejarah berdirinya Indonesia terutama dalam
pembentukan pancasila dan UUD 1945 sebagai pondasi negara, peneliti
dapat mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya para pendiri Indonesia
telah menanamkan prinsip-prinsip al-Qur’an dalam pondasi negaranya.
Melihat hal ini, secara teoritis Indonesia berkesempatan untuk menjadi
tatanan masyarakat terbaik yang disebut masyarakat madani apabila pondasi
ini dijalankan dengan semaksimal mungkin dengan tetap berpanduan kepada
al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Adapun Indonesia hari ini mempunyai pekerjaan rumah yang sangat
banyak dalam usaha memperbaiki tatanan Negara agar kesejahteraan sosial
di Indonesia dapat terwujud. Jangan sampai Indonesia kalah dengan Negara
lain dalam hal mensejahterakan rakyatnya. Hal yang perlu dilakukan
Indonesia adalah menyadarkan setiap individu warga negaranya agar mau
berpedoman dan mengaplikasikan ajaran al-Qur’an dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Apabila setiap individu telah menjadi manusia
yang terbaik, maka dimanapun posisi dan kedudukannya, baik menjadi
masyarakat ataupun pejabat pemerintahan terutama pemimpin, maka ia
akan menjalankan prinsip-prinsip al-Qur’an dalam kehidupannya.
Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan berdasarkan al-Qur’an
dan masyarakat dalam menjalankan kehidupan bermasyarakatnya juga
berdasarkan ajaran al-Qur’an. Jika hal ini dapat terealisasikan, maka
kesejahteraan akan dapat dirasakan dan masyarakat madani akan mampu
untuk diwujudkan di Negara Indonesia yang tercinta ini.

PENUTUP
Konsep al-Qur’an dalam membentuk kesejahteraan sosial menuju
masyarakat madani adalah dengan mengedepankan nilai-nilai ketuhanan
dalam segala aktivitas kemanusiaan serta melapisi dimensi material dengan
dimensi spiritual yang dibangun di atas pilar agama.
Keadaan umat Islam di Indonesia tidak sesuai dengan apa yang
dinginkan oleh al-Qur’an. Perhatian ummat Islam terhadap ketimpangan
sosial sangat kurang sehingga kesejahteraan sosial tidak mampu diwujudkan
secara sempurna. Melihat permasalahan tersebut, maka perlu dirumuskan
paradigma baru, yang lebih memberi perhatian kepada aspek sosial
masyarakat sebagai prasyarat tercapainya kesejahteraan sosial.
Sasaran kesejahteraan sosial dalam al-Qur’an adalah sesuai dengan
sistem kemanusiaan Yaitu kehidupan rohani dan jasmani. Indikator

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 51


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)
kesejahteraan sosial dalam al-Qur’an tidak saja tercermin dalam
kesejahteraan lahiriah, melainkan juga tercermin dalam kehidupan rohaniah.
Sebab persoalan keterbalakangan, kebodohan dan kemiskinan bukan hanya
dikarenakan ada faktor-faktor rohani seperti mental, motivasi dan
pemahaman terhadap suatu sistem nilai yang dianut.
Dalam soal kesejahteraan rohani, perbaikan yang harus dilakukan adalah
bagaimana menjadikan sistem nilai yang dianut (tauhid) sebagai ruh, spirit
dan etos dalam melakukan aktifitas kehidupan. Dengan kata lain, bagaimana
mengfungsikan sistem aqidah (keimanan) seseorang agar mampu berbuat
lebih baik didunia ini. Sedangkan dalam kesejahteraan sosial, Islam
menekankan pada upaya memberantas kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan. Selain itu, juga mengutamakan penyantunan terhadap fakir
miskin, anak yatim dan orang tua. Penekanan terhadap obyek-obyek tersebut
dikarenakan, memang dalam kenyataannya masalah tersebutlah yang harus
dibenahi. Sebab masalah-masalah tersebut adalah persoalan abadi yang ada
di setiap tempat dan kurun waktu.

REFERENSI
Abu Bakar al-Jaziry, J. (2003). Aysar al-Tafasir li Kalami ‘Aliy al-Kabir.
Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam.
Ahmad Durah, S. M. Y. (2007). Pustaka Pengetahuan Al-Qur’an. Jakarta: PT
Rehal Publika.
al-Thabari, I. J. (1994). Tafsir al-Thabari. Beirut: Muassasah al-Risalah. al-
Sa’di, A. bin N. (2001). Taysir al-Karim al-Rahman. Riyadh: Makatabah al
Abikan.
Azra, A. (2008). Kajian Tematik al-Qur’an tentang Kontruksi Sosial. Bandung:
Angkasa.
Departemen Agama RI. (2009). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:
Diponegoro.
Ghulsaniy, M. (1991). Filsafat Sains Menurut al-Qur’an. Bandung:
Mizan. Hajjaj, A. M. I. (2004). Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Fikr.
Hakim, A., & Giovani, G. (2012). Perbandingan ekonomi dari masa Sokarno
hingga Susilo Bambang Yudhoyono (1945-2009). Ekonomika-Bisnis,
03, 02.
Hamka. (1985). Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas.
Ismail bin Katsir al-Dimsyiqi, A. al-Fida’. (2000). Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim.
Kairo: Maktabah Aulad al-Syaikh li al-Turast.
Jalaluddin. (2002). Teologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 52


AT-TIBYAN
Journal Of Qur’an and Hadis Studies Vol. 2 No. 2 (Desember 2019)
Luth, T. (2011). Antara Perut & Etos Kerja dalam Perspektif Islam. Jakarta:
Gema Insani Press.
Madjid, N. (1983). Aspirasi Umat Islam Indonesia. Jakarta: Leppenas. Madjid,
N. (1984). Suatu Tahapan terhadap Masa Depan Politik Indonesia (Prisma
Edisi Ekstra). Jakarta.
Muchtar, R. (2002). Megawati Soekarnoputri Presiden Republik Indonesia.
Depok: PT Rumpun Dian Nugraha.
Najati, U. (1997). Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. Bandung: Pustaka. Nata, A. (2011).
Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Rafick, I. (2008). Catatan
Hitam Presiden Indonesia. Jakarta: PT. Cahaya Insan Suci.
Rohim, F. A. (2011). Bimbingan dan Konseling dalam Islam. Yogyakarta: UII
Press.
Shihab, M. Q. (2013). Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan. Shihab, M. Q.
(t.t.). Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhui Atas Berbagai Persoalan Umat (E-
book).
Soetomo. (2014). Kesejahteraan dan Upaya Mewujudkannya dalam Perspektif
Masyarakat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syah, M. (2006). Psikologi Belajar. Jakarta: Logos.
Undang-Undang Republik Indonesia. (2009).
Usman Ismail, A. (2012). Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Lentera
Hati.
Yatimin, M. (2006). Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah.

Konsep Al-Qur’an Dalam Membentuk Kesejahteraan Sosial (Ahmad Mustaniruddin) 53

Anda mungkin juga menyukai