Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Taqlid, Ittiba’ Dan Talfiq


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Fiqih Dan Ushul Fiqih”

Dosen Pengampu: Muzayyin M.E.

Disusun Oleh Kelompok 13 :

1. Dian Kusuma Ningrm (222105020056)


2. Riza Umami (222105020063)
3. Linda Paramita (222105020087)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ACHMAD SIDDIQ JEMBER

TAHUN AKADEMIK 2022/2023

i
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan atas kehadirat allah SWT. Yang telah memberikan
rahmat serta hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan
baik.Adapun judul Makalah ini adalah “Taqlid, Ittiba’,Talfiq” yang kami dapat selesaikan tepat
waktu meskipun masih banyak kekurangan dalam penulisan dan isi yang terkandung di
dalamnya.

Keberhasilan yang didapatkan oleh penulis dalam menyelesaikan makalah ini tak lepas
dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyadari dan menyampaikan terima
kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Babun Suharto, S.E., MM. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Kiai
Haji Achmad Siddiq Jember.
2. Bapak Dr. Khamdan Rifa’I, S.E., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis dan Islam.
3. Ibu Dr. Nikmatul Masruroh, S.H.I, M.E.I. selaku Ketua Jurusan Ekonomi Islam Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Islam.
4. Bapak M.F Hidayatullah, S.H.I., M.S.I selaku Ketua Program Studi Ekonomi Syariah.
5.Bapak Toton Fanshurna M.E.I., selaku Dosen Pengampu mata kuliah Ilmu Al-Qur’an dan
Hadist
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini.Oleh sebab itu, kritik dan saran
yang membangun sangat diperlukan demi tercapainya kesempurnaan dalam makalah ini. Semoga
segala amal baik yang telah Bapak/Ibu dan rekan-rekan berikan kepada penulis mendapat
balasan yang baik dari Allah SWT

Jember, 21 Mei 2023

Kelompok 13
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................................1
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ......................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................2
A. Taqlid ............................................................................................................................... 2
1. Definisi Taqlid ........................................................................................................................ 2
2. Hukum Dasar Taqlid ............................................................................................................... 4
3. Contoh Taqlid ........................................................................................................................ 4

B. Ittiba’ ............................................................................................................................... 5
1. Definisim Ittiba'....................................................................................................................... 5
2. Hukum Dasar Ittiba' ................................................................................................................ 5
3. Pandangan ulama ................................................................................................................... 6

B. Talfiq .......................................................................................................................................... 8
1. Definisi Talfiq .......................................................................................................................... 8
2. Hukum Dasar Talfiq ................................................................................................................. 8
3. Contoh Talfiq .......................................................................................................................... 9

BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 10


A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 10
B. Saran .......................................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
ilmu ushul fiqih merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum.
Ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistibatkan hukum
syara’ secara benar dan dapat di pertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqih
dapat di temukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dengan
dalil lainnya.
Dalam ushul fiqih juga dibahas masalah taqlid, ittiba’, tarjih dan talfiq. Ke empat-
empatnya memiliki arti yang berbeda beda dan maksudnya juga berbeda. Tetapi ke
empat-empatnya sangat jelas diatur dalam islam. Ittiba’ ini didasarkan dalam alqur’an
surat an-nahl ayat 43 yg artinya : “ Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali
orang orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Jangan sampai perbedaan pendapat di antara kita menjadikan jalan untuk saling
bercerai di dalam memperkokoh kuatnya agama islam, maka dari itu sudah seharusnya
kita memahami dan mengetahui tentang taqlid, ittiba’, tarjih dan talfiq. Maka pada
kesempatan ini makalah ini akan membahas tentang taqlid, ittiba’, tarjih dan talfiq beserta
hukum dan prbedaannya

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Taqlid, hukumTaqlid dan contoh taqlid?
2. Apakah pengertian dari Ittiba’, hukum dan bagamana pandangan ulama tentang
ittiba’?
3. Apa yang dimaksud dengan dengan Talfiq, hukum dan contoh talfiq?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian taqlid,hukum taqlidd an contoh dari taqlid
2. Untuk mengetahui apa itu ittiba’, hukum ittiba’ dan pandangan ulama tentang
ittiba’
3. Untuk mengetahui definisi dari talfiq, hukum talfiq dan contoh talfiq

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Taqlid
1. Pengertian
Taqlid berasal dari kata qalada – yuqalidu – taqlidan, artinya meniru, menyerahkan,
menghiasi, dan menyimpangkan. Secara istilah, taqlid ialah mengikuti pendapat orang lain
tanpa mengetahui sumber atau alasannya.
‫قَبول قَول القَائ ِِل َوأَنتَ َلت َعلَم ح َّجت َه أَو َل ت َعلَم مِ ن أينَ قَالَه‬
“Menerima pendapat orang lain (mengamalkannya) tanpa mengetahui alasannya atau
engkau tidak tahu asal perkataan tersebut”1
Dilihat dari taqlid secara bahasa ada juga beberapa paparan secara istilah hukum yang
keterkaitannya tidak jauh berbeda dari hakikatnya. Diantara pengertian taqlid secara istilah,
yaitu ;
a) Al-Ghazali mendefinisikan taqlid yaitu Menerima ucapan tanpa hujah
b) Dalam kitab Nihayat al-Ushul Al-Asnawi mendefinisikan taqlid yaitu Mengambil
perkataan orang lain tanpa dalil
c) Dalam kitab Jam’ul Jawami’ Ibn Subki mendefiisikan Taqlid ialah mengambil suatu
perkataan tanpa mengetahui dalil.2
Dari tiga pengertian secara istilah tentang taqlid di atas, Imam Al-Ghazali
mengemukakan pengertian tersebut secara ringkas dan sederhana. Akan tetapi definisi
tersebut jika ditelaah secara sederhana belum memiliki pengertian yang lengkap maka masih
menimbulkan pertanyaan yang harus dijelaskan.
Pemaparan definisi taqlid menurut Al-Asnawi banyak menjawab kesamaran yang ada di
dalam pemaparan definisi menurut Imam Al-Ghazali tersebut. Dalam pengertian yang
dikemukakan itu beliau menggunakan kata “mengambil” sebagai pengganti dari kata
“menerima” tapi dua kata tersebut tetap memiliki maksud yang sama. Kata “orang lain”
mengandung maksud kata atau pendapat orang lain, bukan pendapat atau kata dari dirinya
sendiri. Sedangkan kata “tanpa dalil” tersebut memperjelas atau menejelaskan kata “tanpa
hujah” yang telah dipaparkan dari Imam AL-Ghazali.

1
Beni A. Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), 293
2
Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum Islam. (Jakarta: Amzah, 2019). Hal, 267

2
Akan tetapi kesamaran kembali timbul dari kata “tanpa dalil” itu, maksud kata tanpa dalil
tersebut bukan berarti pendapat yang diambil itu tidak berdalil atau tidak memliki dalil, akan
tetapi orang yang menerima pendapat tersebut tidak mengetahui dalil-dalil yang terkandung
dalam suatu pendapat itu yang telah dikemukakan oleh orang lain.
Al-Mahalli yang mensyarah kitab Jam’u al-Jawami’ mengemukakan bahwa apabila
menerima atau mengambil selain ucapan, baik dalam bentuk suatu perbuatan ataupun suatu
pengakuan maka hal tersebut tidak dinamakan taqlid.
Mengenai tiga definisi di atas hanya mengemukakan pasal tiga kata yakni “tanpa hujah”
atau “tanpa dalil” atau “tanpa mengetahui dalil” orang yang mempunyai pendapat. Pada
bagian ini memberikan penjelasan ketika seorang penerima atau pengambil pendapat tersebut
ada hujahnya atau mengetahui dalilnya, maka cara tersebut bukan dinamakan taqlid, akan
tetapi termasuk suatu karya ijtihad yang secara kebetulan hasilnya bersamaan dengan yang
telah diikutinya.
Untuk menjawab kesamaran yang terdapat di tiga paparan definisi di atas Ibn al-
Hummam (dari kalangan ulama Hanafiyah) mengemukakan definisi lebih lengkap yang
mampu menjelaskan kesamaran tersebut, yakni: “Taqlid ialah beramal dengan pendapat
sesorang yang pendapatnya itu bukan merupakan hujah, tanpa mengetahui hujahnya.3
Berhubungan dengan definisi tersebut, maka apabila menerima pendapat dari Nabi yang
bernilai hujah dengan sendirinya, dan juga ketika menerima pendapat yang dilahirkan dari
kesepakatan Ijma’, maka hal tersebut bukan taqlid, walaupun pada saat penerimaan pendapat
tersebut tanpa hujah atau tidak mengetahui dalilnya. Begitu pula sebaliknya, pendapat
seorang mujtahid secara perseorangan itu bukan dinamakan hujah, maka bila seseorang telah
mengikuti pendapat seorang mujtahid tersebut tanpa mengetahui suatu dalilnya, maka hal
tersebut dinamakan taqlid.
Maka dari beberapa paparan serta analisis diatas dapat disimpulkan hakikat dari taqlid,
yakni:
a. Taqlid itu ialah melakukan sesuatu dengan mengikuti ucapan atau pendapat dari orang
lain
b. Ucapan atau pendapat orang lain tersebut tidak bernilai sebagai hujjah.

3
Amir Syarifuddin, USHUL FIQH 2, Jakarta: Kencana. Hal 460
c. Seseorang yang mengikuti ucapan atau pendapat orang lain tersebut tidak mengetahui
sepenuhnya mengenai sebab-sebab atau dalil-dalil dan hujjah dari ucapan atau pendapat yang
telah diikutinya itu.4
2. Dasar Hukum
Pada asalnya, bertaqlid dalam hukum Islam sangat dilarang. Karena ia hanya mengikuti
tanpa mengetahui alasan dan dalilnya. Namun, para ulama menghukumi taqlid dengan tiga
hukum, yaitu :
a. Haram
Ulama sepakat bahwa haram hukumnya jika melakukan tiga macam taqlid ini :
1) Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau
orang terdahulu yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis
2) Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
3) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid
mengetahui bahwa pendapat atau perkataan itu salah.
b. Boleh
Adalah taqlid nya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada
yang diturunkan Allah Swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang
tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya.
c. Wajib
Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu
perkataan dan perbuatan Rassulullah Saw. Juga sebagaimana perkataan Ibnul
Qayyim “sesungguhnya Allah Swt. Telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu
dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan Hadis yang Allah Swt perintahkan agar
para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya “Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah
nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (Q.S
Al-Ahzab [33]: 34)5
3. Contoh Taqlid
a. Haram
Mengikuti kegiatan ritual yang berasal dari nenek moyang dan bertentangan dengan
syariat Islam .

4
Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum Islam. (Jakarta: Amzah, 2019). Hal, 268
5
Tim Penyusun, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Diponegoro, 2014), 422
b. Boleh
Taqlid kepada sebagian Mujtahid kepada Mujtahid lain karena tidak ditemukan dalil yang
kuat untuk memecahkan persoalan.
c. Wajib
Bertanya kepada para ulama jika ada yang tidak diketahui.

B. Ittiba’
1. Pengertian
Kata Ittiba’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il ittaba’a - yattabi’u -
ittiba’an, yang artinya adalah mengikuti atau menurun.
Ittiba’ yang dimaksudkan disini adalah :
‫أَيْنَ قَالَه‬.‫ول ْالقَائِ ِل َوأ َ ْنتَ تَعْلَم مِ ْن‬
ِ َ‫قَبول ق‬

"Menerima perkataan orang lain, dan kamu mengetahui alasan perkataannya."


Disamping itu ada juga yang memberi definisi:
‫قبول قول ْالقَائ ِِل بِدَ ِليْل راجح‬

"Menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat."


Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa ittiba’ adalah
mengambil atau menerima perkataan seorang Faqih atau Mujtahid, dengan mengetahui
alasannya serta tidak terikat pada salah satu Madzhab dalam mengambil suatu hukum
6
berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan jalan membanding.
2. Hukum Dasar
Ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan Agama. Adapun orang yang
mengambil atau mengikuti pendapat ulama dengan disertai alasan-alasan, dinamakan
Muttabi.
Hukum ittiba' adalah wajib bagi setiap muslim, karena ittiba' adalah perintah Allah,
sebagaimana firman-Nya:

ً ‫نز َل كمْْ ِإلَي ِمن َّر ِبك ْم َو َل تَت َّ ِبعوا مِ ن دونِ ِة أ َ ْو ِليَاء قَل‬
َ‫ِيل َّما تَذَ َّكرون‬ ِ ‫ات َّ ِبعوا َما أ‬

6
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), 195
"Ikuti apa yang dirutunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)".
(Q.S. Al-A'raf [7]:3)7
Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk mengikuti perintahperintah Allah. Kita
telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil merubahnya. 8
Ada pula firman Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 31 :
َّ ‫ّللا َويَ ْغف ِْر لَك ْم ذنوبَك ْم َو‬
‫ّللا غَفور َّرحِ يم‬ َّ ‫ّللاَ يِْفَات َّ ِبعون يحْ ِببْكم‬
َّ َ‫قلْ ِإن كنت ْم تحِ بُّون‬
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(
Q.S. Ali ‘Imran [3]: 31) 9
Juga dalam Q.S. An-Nahl ayat 43 :
ِ ‫س ْلنَا مِ ن قبلك إل رجال لوجى إليهم فثلوا أهل‬
‫الذ ْك ِر كنت ْمن ل ت َ ْعلَمو َن ا‬ َ ‫َو َما أ َ ْر‬
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui”( Q.S. AnNahl [16]:43)10
Dari ayat-ayat di atas, Beni dan Januri mengatakan bahwa cara-cara ittiba’ adalah sebagai
berikut: 11
a. Melakukan penggalian hukum secara mendalam
b. Mempelajari dasar-dasar pijakan hukum Islam
c. Menguasai bahasa Arab sebagai bahasa yang dipergunakan oleh AlQur’an
d. Memahami hadis serta seluk beluknya
e. Mengenali lebih dalam tentang ulama madzhab
f. Menghargai pendapat orang lain
g. Selalu bertanya kepada ahlinya (ulama) jika tidak mengetahui urusan Agama.
3. Pandangan Ulama Mengenai Ittiba’
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima
semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain,

7
Tim Penyusun, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Diponegoro, 2014), 151
8
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal 196
9
Tim Penyusun, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Diponegoro,2014), 54
10
Tim Penyusun, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Diponegoro, 2014), 272
11
Beni A. Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hal. 292
ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat
yang diikuti.
Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
b. Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.

Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam
surat Al-A’raf [7]: 3 yang artinya: “Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan
janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil
pelajaran”.
Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat
perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul.
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulamayang dikategorikan
sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya:
Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri)
dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan
pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut
terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam
menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran.
Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba’ kepadanya.
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat
tertentu untuk berititba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan
dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang
benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin
sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan karena
adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan
keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.
Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama
diragukan kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada
mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinannya
dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan kepada beberapa orang
mujtahid ayau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah
lai mengikuti ulama .12

C. Talfiq
1. Pengertian
Secara bahasa talfiq berarti melipat antara yang satu dengan yang lainnya, sedangkan
istilah dapat diartikan mencampuradukkan dua pendapat atau lebih dalam sebuah
permasalahan yang mempunyai hukum, sehingga akan melahirkan pendapat ketiga yang
antara kedua pendapat tadi sama-sama tidak mengakui kebenarannya. Sehingga terjadilah
sebuah hukum baru yang membatalkan antara kedua pendapat tersebut. Berkaitan dengan
pengertian talfiq dalam pembahasan ini para ahli ushul memberikan sebuah pengertian bahwa
yang dimaksud dengan talfiq yaitu: Menetapkan suatu perkara yang tidak dikatakan oleh
seorang mujtahid. Maksudnya adalah melakukan suatu perbuatan dengan mengikuti suatu
madzhab, dan mengambil satu masalah dengan dua pendapat atau lebih untuk sampai kepada
suatu perbuatan yang tidak di ditetapkan oleh kedua mujtahid tersebut, baik pada imam yang
diikuti dalam madzhabnya maupun menurut pendapat imam yang baru ia ikuti. 13
2. Dasar Hukum
Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidah ada dalil sharih (jelas) yang
menunjukkan kebolehan ataupun pelarangan untuk melakukan talfiq. Adapun pendapat yang
mengatakan tidak boleh melakukan talfiq itu bersumber dari apa yang dikatakan oleh ulama’
ushul di dalam ijma’ mereka, dimana mereka beranggapan bahwasanya dikhawatirkan akan
timbul pendapat ketiga setelah terjadi perbedaan pendapat antara dua kelompok dalam
madzhab tersebut. Maka, menurut para ulama’ berpendapat tidak boleh memunculkan
pendapat yang ketiga, sehingga akan menyalahi sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan
ulama’ secara ittifaq. 14
Terdapat tiga pendapat utama sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Wahbah al-
Zuhayli tentang talfiq :

12
Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hal. 134

Rasyida al Jasad, 2015, “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Madzhab”,
13

CENDEKIA:Jurnal Islam, Vol.1 No. 1, 63

Rasyida al Jasad, 2015, “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Madzhab”,
14

CENDEKIA:Jurnal Islam, Vol.1 No. 1, 70-71


a. Pendapat yang menyatakan bahwa seseorang wajib mengikuti satu madzhab dan tak boleh
pindah ke yang lain,
b. Pendapat yang menyatakan bahwa seseorang dibebaskan memilih dan berpindah-pindah
madzhab, dan
c. Pendapat yang menyatakan bahwa perpindahan madzhab boleh dilakukan asal berada di
luar lingkup satu ibadah tertentu.
Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat ketiga adalah yang paling mutakhir dan
merangkum kedua pendapat lainnya. Artinya, seseorang bisa berpindah madzhab asalkan
tidak dalam satu rumpun ibadah..15
3. Contoh Talfiq
Dalam masalah berwudhu, seseorang mengikuti madzhab Imam Syafi’i dengan
mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita
ajnabiyah (bukan mahramnya), setelah itu dia langsung melaksanakan shalat tanpa berwudhu
kembali dengan alasan mengikuti madzhab Imam Hanafi yang menyatakan bahwa
menyentuh wanita ajnabiyah tidak membatalkan wudhu. 16

15
Hilmy Firdausi, 2018, “Bolehkah Melakukan Talfiq”, Harakah Islamiyah : Rujukan Islam Masa Kini
(https://harakahislamiyah.com/konsultasi/bolehkah-melakukan-talfiq-memperadukkan-madzhab), diakses pada 23
September 2019

Rasyida al Jasad, 2015, “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Madzhab”,
16

CENDEKIA:Jurnal Islam, Vol.1 No. 1, 60


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara istilah, taqlid ialah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau
alasannya Pada asalnya, bertaqlid dalam hukum Islam sangat dilarang. Karena ia hanya mengikuti
tanpa mengetahui alasan dan dalilnya. Para ulama menghukumi taqlid dengan tiga hukum, yaitu
haram, boleh dan wajib. Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang Faqih atau
Mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu Madzhab dalam
mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan jalan membanding.
Ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan Agama. Adapun orang yang mengambil
atau mengikuti pendapat ulama dengan disertai alasan-alasan, dinamakan Muttabi. Hukum ittiba'
adalah wajib bagi setiap muslim. Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidah ada dalil
sharih (jelas) yang menunjukkan kebolehan ataupun pelarangan untuk melakukan talfiq.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga bisa menambah wawasan pengetahuan kepada
penulis serta para pembaca dalam memahami setidaknya sedikit yaitu tentang Taqlid,Ittiba’ Dan
Talfiq. Dan kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata kesempurnaan karena keterbatasan
ilmu yang kami miliki. Kami sangat mengharapkan bimbingan, saran serta kritik dari semua
pihak yang membaca makalah ini yang bersifat membangun dan konstruktif demi perbaikan
makalah ini agar lebih baik di kemudian hari.

10
DAFTAR PUSTAKA

Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.

Beni, Januari. 2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia.


Djalil Basiq A. 2010. Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua. Jakarta: Kencana.
Hayatuddin, Amrullah.Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum Islam. Jakarta: Amzah,
2019.

Jasad al Rasyidi. 2015. Talfiq Dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Madzhab.
Cendekia: Jurnal Islam, Vol.1 No.1.
Syarifuddin, Amir.USHUL FIQH 2, Jakarta: Kencana, 2008.

Tim Penyusun. 2014. Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. Diponegoro

Anda mungkin juga menyukai