Anda di halaman 1dari 4

Nama : Irfan Rakhman H

NIM : C2C022030
Hari/ Tanggal : Rabu, 12 Oktober 2022
Mata Perkuliahan : Perilaku Organisasi
Pengampu : Dr. Dwita Darmawati, SE, Msi

Ujian Tengah Semester 1

1. Teori identitas sosial menurut Steven McShane dan Mary Ann Von Glinow (2017) adalah
sebuah teori yang menyatakan bahwa orang akan mengidentifikasi dirinya pada kelompok
dimana mereka termasuk di dalamnya atau kelompok yang mereka memiliki ikatan di
dalamnya. Lebih lanjut lagi diungkapkan oleh Pearson and Judge (2015) karena terdapat
ikatan emosi antara seseorang tersebut dengan kelompoknya maka kesuksesan dan kegagalan
dari sebuah kelompok juga akan dirasakan oleh dirinya sebagai kesuksesan dan kegagalannya
sendiri.

Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan bahwa seseorang akan selalu berhubungan dengan
sebuah kelompok karena kebutuhan sosialnya, dan ia akan memproyeksikan dirinya dalam
kelompok itu. Misalkan, bila terdengar kabar bahwa seorang mahasiswa Unsoed berhasil
meraih penghargaan nobel misalnya, kita yang merasa menjadi bagian dari keluarga civitas
akademika Unsoed tentu akan turut bangga terhadap prestasi tersebut meskipun kita tidak
mengenal orang yang mendapatkan penghargaan tersebut secara personal. Contoh lain yang
sedang hangat mengenai Aremania yang kemarin mendapatkan musibah, dan aremania lain
merasa ikut marah atas terjadinya musibah tersebut. Hal ini menunjukan betapa anggota-
anggota dalam suatu kelompok dapat terikat secara emosional meskipun mereka tidak
mengenal satu sama lain secara personal.

Salah satu implementasi paling menarik untuk teori ini menurut saya ada pada Pertamina
melalui program Zero Accidentnya. Zero Accident merupakan kebijakan pertamina terkait
keselamatan kerja dimana mereka menargetkan adanya kecelakaan kerja nol atau setidaknya
mendekati nol. Menariknya adalah, Pertamina memasang semacam display terkait seberapa
lama (dalam jam) mereka belum ada kecelakaan kerja. Terakhir, pada bulan Agustus lalu,
Pertamina memperoleh 1 juta jam kerja tanpa kecelakaan kerja.

Pertanyaanya adalah, apa hubungannya antara perilaku individu dalam kelompok dengan
kebijakan ini? Terwujudnya zero accident merupakan sebuah kebanggaan tidak hanya bagi
organisasi namun juga anggota di dalamnya. Bila seorang mengalami kecelakaan kerja maka
display ini akan direset menjadi nol. Tentu saja hal ini membuat para pegawai menjadi
merasa bertanggung jawab tidak hanya pada diri mereka sendiri namun juga terhadap anggota
kelompok. Dengan pelaksanaan zero accident, masing-masing anggota kelompok tidak hanya
akan mematuhi SOP dengan baik tetapi juga akan mengingatkan kepada anggota yang lain
bila terjadi kesalahan. Hal ini tentu untuk menjaga agar display pada Zero Accident yang
menjadi kebanggaan kelompok tetap bertambah angkanya. Reset angka display menjadi nol
dianggap sebagai hal yang memalukan secara kolektik. Aplikasi ini menarik karena pihak
manajemen tidak perlu lagi terlalu banyak mengeluarkan sumber daya untuk melakukan
pengawasan secara ketat terhadap karyawan agar mereka mematuhi SOP K3.

2. Bila kita mengamati kondisi teman-teman atau rekan kerja kita dalam suatu organisasi tentu
kita akan melihat bagaimana kepribadian mereka berbeda-beda antara yang satu dengan yang
lainnya. Misalkan, kita menemukan teman kerja yang sangat suka bersosialisasi dengan orang
lain, terbuka dalam menerima pendapat orang, sedikit kurang disiplin dan mungkin mudah
depresi karena perkerjaan. Hal ini dapat dijelaskan melalui Teori Big Five. Dalam teori Big
Five terdapat 5 traits besar yang bisa kita gunakan untuk mengidentifikasi kepribadian
seseorang yaitu :
a. Opennes to Experience ( Penuh rasa ingin tahu vs konsisten/hati-hati)
b. Consentiouness (Terorganisir vs kurang hati-hati)
c. Extraversion ( ekstrovert vs introvert)
d. Agreeableness (Bersahabat/ hangat vs Kritis/rasional)
e. Neuroticism (sensitive / mudah panik vs tahan banting/ penuh percaya diri)

Seorang yang mudah bersosialisasi misalnya akan memiliki nilai ektraversion yang tinggi
dibandingkan dengan mereka yang cenderung pemalu dan susah untuk bersosialisasi.
Kemungkinan juga orang tersebut akan memiliki skor yang tinggi juga pada agreeableness
namun skor yang rendah pada consentiousness dan neuroticism. Tentu saja, hal tersebut tidak
harus demikian, kita hanya mencoba melihat bagaimana kecederungan orang akan bersikap.

Terkait dengan kepribadian tersebut, para rekruter biasanya akan mempertimbangkannya


ketika mereka membuka sebuah lowongan pekerjaan. Lowongan-lowongan untuk pekerjaan
Sales misalnya, cenderung akan membutuhkan orang yang memiliki nilai tinggi pada
openness to experience, extraversion, neuroticism dan agreeableness meskipun mereka
mungkin akan memiliki skor rendah pada consentiousness dan . Hal ini karena pekerjaan
sales membutuhkan orang-orang yang mampu berkomunikasi dengan baik, terbuka pada
pengalaman baru, tahan banting dan mampu meyakinkan calon pembeli terhadap produk dan
jasa yang ditawarkan.

Disisi lain, lowongan pekerjaan akuntan mungkin akan mencari orang-orang yang memiliki
skor tinggi pada consentiousness, neurotism namun skor yang rendah pada agreeableness,
extraversion dan openness to experience. Dengan kata lain, perekrut memiliki asumsi bahwa
karakter ideal seorang akuntan haruslah konsisten, terorganisir, rasional, tahan banting dan
kemungkinan introvert yang mampu bekerja secara mandiri.

3. Untuk menjelaskan mengenai dorongan individu untuk berprilaku, sejujurnya saya lebih suka
menggunakan pendapat dari Hellrieger dan Scolum (2011) terkait dengan motivasi. Menurut
mereka, pada dasarnya dorongan individu untuk berprilaku disebabkan karena adanya sebuah
kebutuhan dalam diri manusia. Kebutuhan ini sebenernya menunjukan tentang adanya
sesuatu “kekurangan” yang harus dipenuhi dalam diri manusia.

Kekurangan ini menyebabkan orang menjadi tidak nyaman atau gelisah sehingga akan
mendorong orang itu sendiri untuk melakukan tindakan-tindakan atau perilaku untuk
memenuhi kekurangan tersebut. Kita ambil contoh mudahnya, seseorang yang lapar maka
tubuhnya akan memberi tahu bahwa ia membutuhkan makanan melalui rasa lapar. Rasa lapar
ini adalah bentuk “kekurangan” yang harus dipenuhi karena hal tersebut membuat seseorang
menjadi tidak nyaman. Sebagai konsekuensinya ia akan melakukan tindakan-tindakan untuk
memuaskan kebutuhan tersebut misalnya dengan mengambil makanan di dapur, memesan
makanan atau tindakan lainnya yang dapat memuaskan rasa laparnya tersebut.

Tentu saja kebutuhan manusia tidak hanya sekedar kebutuhan fisiologis saja seperti
pemenuhan rasa lapar, namun juga kebutuhan-kebutuhan psikologis misalnya seperti
kebutuhan akan rasa aman, sosial dsb. Dalam hal ini, teori yang paling terkenal dan mudah
dipahami untuk menjelaskan hal ini adalah teori hirarki kebutuhan dari Maslow. Secar umum
teori ini membagi kebutuhan dalam 5 kategori yaitu:

1. Physiological (Fisik atau terkait dengan tubuh). Termasuk di dalamnya ada rasa lapar,
haus, tempat tinggal, kebutuhan seksual dan kebutuhan tubuh lainnya.
2. Safety (rasa aman) yaitu kebutuhan untuk terhindar dari segala sesuatu yang dapat
membahayakan diri.
3. Social (Sosial). Termasuk didalamnya ada kebutuhan akan kasih saying, pertemanan,
penerimaan, dan rasa memiliki.
4. Esteem (Harga diri). Termasuk didalamnya adalah faktor-faktor internal seperti harga
diri, otonomi, pencapaian dan faktor-faktor eksternal seperti status, pengakuan dan
perhatian.
5. Self-actualization (aktualisasi diri). Merupakan dorongan untuk menjadi apa yang kita
mampu untuk capai seperti kebutuhan untuk tumbuh (secara emosional), mencapai
potensi diri, dan pemenuhan diri.

Maslow sendiri kemudian memeringkat kebutuhan ini dalam sebuah piramida yang sering
dikenal sebagai piramida kebutuhan Maslow. Dalam hal ini ia berpendapat bahwa kebutuhan
seseorang akan selalu dimulai dari level bawah yaitu Physiological dan terus meningkat
sampai ke level yang paling atas yaitu Self actualization. Meskipun hal ini sering dikritik oleh
banyak orang karena dikotominya yang kaku, namun menurut saya teori ini telah mampu
menjelaskan hal-hal apa yang mendorong seseorang individu untuk berperilaku.

4. Menurut Pearson dan Judge (2013), Emosi merupakan perasaan yang intens yang diarahkan
kepada seseorang atau sesuatu sedangkan moods merupakan perasaan yang kurang intens bila
dibandingkan dengan emosi dan seringkali (meskipun tidak selalu) muncul tanpa adanya
suatu kejadian yang memicunya.

Sebagian besar ahli percaya bahwa emosi singkat dibandingkan moods. Perasan yang
meluap-luap pada emosi dapat datang dan pergi dengan cepat, bahkan mungkin hanya dalam
hitungan detik saja. Disisi lain, ketika moods anda jelek, hal ini bisa bertahan dalam waktu
berjam-jam atau bahkan seharian penuh.

Emosi sendiri merupakan reaksi terhadap seseorang atau suatu kejadian. Misalkan, ketika
anak anda sulit diatur maka anda mungkin akan merasa frustasi, atau ketika orang lain yang
anda perintahkan untuk melakukan suatu pekerjaan justru terlihat sedang bersantai-santai
mungkin anda akan merasa marah. Disisi lain, moods tidak diarahkan pada seseorang atau
suatu kejadian. Namun, emosi sendiri bisa menjadi moods jika anda mulai kehilangan fokus
terhadap orang atau kejadian yang memicu emosi anda. Disisi lain, moods sendiri bisa
berubah menjadi lebih emosional, misal ketika anda mengalami moods yang jelek maka
kemungkinan anda akan lebih mudah untuk marah atau tersinggung.

Affective Events Theory pada dasarnya menjelaskan bagaimana emosi atau moods dapat
berpengaruh terhadap performa pekerjaan, komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Mari
kita gunakan contoh para sales people. Sales people atau lebih akrab disebut sebagai
salesman atau sering disingkat sales saja merupakan contoh yang sempurna untuk
menggambarkan hal ini. Kita seringkali melihat lowongan pekerjaan untuk posisi ini dan
bagaimana tingkat turnover pada posisi ini sangat tinggi.

Bila kita lihat, posisi salesman adalah posisi yang langsung berhubungan dengan costumer
(apalagi jika perusahaan menggunakan teknik hard selling). Interaksi dengan costumer yang
bermacam-macam kepribadiannya dan seringkali memandang rendah posisi ini membuat
pekerjaan ini sangat berat. Para salesman harus tetap terlihat profesional dan ramah meskipun
terkadang costumer mereka berbicara dengan kurang sopan, kurang menghargai atau bahkan
melampiaskan kekesalan mereka pada sang salesman.

Hal ini tentu saja sering menimbulkan rasa marah, frustasi dan sedih dalam diri salesman,
yang bila terus menumpuk akan menyebabkan performa kerjanya menurun. Disisi lain,
perusahaan juga menetapkan target untuk dipenuhi oleh salesman tersebut. Hal ini semakin
membuat frustasi para salesman. Tidak adanya support yang memadai (baik dari sisi
emosional maupun finansial) dari perusahaan untuk pekerjaan ini ditambah cara pandang
perusahaan yang melihat para salesman sebagai komponen yang mudah dibongkar pasang
tentu akan menyebabkan rasa ketidakpuasan para salesman semakin memuncak. Hal inilah
yang menyebabkan para salesman cepat memilih untuk keluar dari pekerjaan bila mereka
menemukan pekerjaan lain yang lebih baik.

Referensi

1. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2013). Organizational Behavior (15th ed.). Pearson
Education, Inc.
2. McShane, S. L., & Glinow, M. A. V. (2017). Organizational behavior: Emerging
knowledge and practice for the real world (8th ed.). New York, NY: McGraw-Hill/Irwin.
3. Hellriegel, D., & Slocum, J. W. (2011). Organizational behavior (13th ed.). South-
Western Cengage Learning.

Anda mungkin juga menyukai