Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia hidup didunia sebagai subjek hukum yang tidak dapat hidup mandiri tanpa adanya
hubungan dengan individu lain. Eksistensi manusia selaku individu sosial adalah harta yang telah
ditetapkan untuknya oleh Allah SWT. Demikian pula dalam perkara kesejahteraan manusia
berinteraksi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cara berinteraksi.
Salah satu interaksi yang yang dilakukan oleh manusia dalam hal ekonomi bisa ditemukan pada
seluruh masyarakat diantaranya pemasaran terhadap suatu produk yang tentunya harus sesuai
dengan maqashid syariah.
secara etimologi maqashid syariah merupakan salah satu cara yang dilakukan para ulama
dalam merumuskan setiap permasalahan-permasalahan sosial yang berkaitan dengan hukum
Islam. dengan adanya maqashid syariah ini, diharapkan mempu mengkontribusi dalam
menjawab tantangan-tantangan yang muncul di tengah masyarakat. Ilmu maqashid syariah
banyak digunakan dalam merumuskan produk-produk dalam lembaga pemasaran syariah.
membicarakan tentang maqashid syariah atau tujuan hukum Islam merupakan penting dalam
hukum Islam yang tidal luput dari perhatian Ulama serta pakar hukum Islam, adapun beberapa
Ulama yang mendefinisikan tentang maqashid syariah yaitu sebagai berikut :
a. Menurut pernyataan al-Syatibi dapat dikatakan bahwasanya, kandungan maqashid
syariah atau tujuan hukum ialah kemaslahatan umat manusia. Penekanan maqashid
syariah yang dilakukan al-Syatibi secara umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat
Al-Quran yang menunjukan bahwa hukum-hukum tuhan mengandung kemaslahatan.1
b. Menurut al-Gazali dapat dikatakan bahwa maqashid syariah merupakan salah satu bentuk
pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kaidah
kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan
hukum islam melalui pendekatan maqashid syariah dapat membuat hukum islam lebih
flesibel.2

1
Asafri Jaya Bakri, Konsep maqashid syariah menurut al-syatibi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) h.
64-66
2
Moh. Mukri, Aplikasi Konsep Maslahah Al-Gazali Pada Isu-Isu Hukum Islam Kontemporer Di Indonesia
(Yogyakarta : Idea Press Yogyakarta, 2012), h.3
c. Menurut Ibnu Ashur bahwa maqashid syariah adalah tujuan-tujuan akhir yang harus
terealisasi dengan diaplikasikannya syariat. maqashid syariah bisa berupa maqashid
syariah al’ammah yang meliputi keseluruhan aspek syariat, dan maqashid syariah al
khasah yang dikhusukan pada satu bab dari bab-bab syariat yang ada, seperti maqashid
syariah pada bidang keluarga, bidang ekonomi dan lain-lain.

Adapun salah satu nilai esensial maslhahah sebagai maqashid syariah ini dapat dipakai untuk
merumuskan ekonomi, dapat dilihat dari produksinya dan kualitas produksi tersebut. Dalam
dunia bisnis sesuatu yang diperlukan dari produk adalah yan dapat memenuhi kebutuhan dan
keinginan konsume, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Adapun pengertian dari
produk sustu yang bisa ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan pembelian, pemakaian, atau
konsumsi yang dapat memenuhi kebutuhan.
Menurut Kotler & Keller (2016:54) produk adalah segala sesuatu yang dapat didefenisikan
sebagai segala sesuatu yang memenuhi keinginan atau kebutuhan, termasuk barang, fisik, jasa,
tempat properti dan lain sebaginya.
Menurut John W. Mullins dan Orville C. Walker (2013:252) suatu produk dapat
didefenisikan sebagai segala sesuatu yang memenuhi keinginan atau kebutuhan melalui
pengguna, komsumsi atau akuisisi.
Untuk mendapatan kualitas produksi yang baik dan memuaskan perlu adanya peningkatan
kualitas produksi bahan baku dan kualitas produk sehinga diperoleh suatu produk yang sesuai
dengan standar kualitas yang diharapkan. Proses menciptakan produk yang berkualitas tinggi
tidak terlepasnya dari adanya proses produksi yang baik dan tepat. Proses produksi yang berjalan
dengan baik dan lancar merupakan suatu hal yang diharapkan seluruh perusahaan, karena baik
dan buruknya pelaksanaan proses produksi akan mempengaruhi kualitas produksi yang akan
dihasilkan.
Selanjutnya daya tarik suatu produk tidak dapat terlepas dari kemasannya. Kemasan
merupakan “pemicu” karena ia langsung berhadapan dengan konsumen, karena itu kemasan
harus dapat mempengaruhi konsumen untuk memberikan respon positif, dalam hal ini membeli
produk karena tujuan akhir dari pengemasan adalah untuk menciptakan penjualan. 3 Hal ini

3
Iwan Wirya (1999), Kemasan Yang Menjual, (PT. Gramedia Pustaka Utama, jakarta) h. 9
merupakan suatu tantangan karena selain dituntut untuk memaksimalkan daya tarik kemasan
untuk dapat menang dalam pertarungan menghadapi produk-produk pesaing.
Hermawan Kartajaya, seorang pakar bidang pemasaran mengatakan bahwa teknologi telah
membuat packaging berubah fungsi dulu orang mengatakan “packaging protects what it sells
(kemasan melindungi apa yang dijual)” sekarang “packaging sells what it protcts (kemasan
menjual apa yang dilindungi)”. 4 Dengan kata lain, kemasan bukan lagi sebagai pelindung atau
wadah tetapi harus dapat menjual produk yang dikemasannya.
Perkembangan fungsional kemasan tidak hanya berhenti sampai disitu saja, sekarang ini
kemasan juga sudah berfungsi sebagai media komunikasi. Misalnya pada kemasan gula aren
yang sering kali dibubuhi nomor telepon toll-free atau bebas pulsa. Nomor ini bisa dihubungi
oleh konsumen tidak hanya untuk complain , tetapi juga sebagi pusat informasi untuk bertanya
tentang segala hal yang berhubungan dengan produk tersebut.
Dengan melihat fungsi kemasan yang sangat penting, maka konsep fungsional penemasan
harus mencakup seluruh proses pemasaran dari konsepsi produk sampai ke pemakaian akhir.
Kemasan yang baik dan akan digunakan semaksimal mungkin dalam pasar harus
mempertimbangkan dan dapat menampilkan beberapa faktor , antara lain yaitu : faktor
pengamanan, faktor ekonomi, foaktor pendistribusian, faktor komunikasi, faktor ergonomi,
faktor estetika, faktor identitas, faktor promosi, dan yang terakhir faktor lingkungan.
Kunci utama untuk membuat sebuah kemasan yang baik adalah kemasan terbuat harus simple
(sederhana). Kemasan harus dapat menarik perhatian secara visual, emosional dan rasional.
Menurut penelitian, dari seluruh kegiatan penginderaan manusia, 80% adalah grafis dari
kemasan antara lain: warna, bentuk, merek, ilustrasi, huruf dan tata letak merupakan unsur visual
yang mempunyai peran terbesar dalam proses penyampaian pesan secara kasatmata (visual
commuication).
Adapun dalam prinsip pemasaran dikenal 4 elemen penting dalam strategi pemasaran, yaitu:
product (produk), price (harga), place (tempat) dan promotion (promosi).namun demkian,
dewasa ini banyak pakar pemasaran yang menganggap kemasan (packaging) sebagai p kelima
dalam elemen strategi pemasaran.5 Sebuah kemasan yang berhasil merupakan perpaduan antara
pemasaran dan desain, tetapi ada perbedaan yang sangat besar anatar cara berfikir para pakar

4
Hermawan Kartajaya (1996) Marketing Plus 2000 Siasat Memenangkan Persaingan Global, (PT. Gramedia
Pustaka Utama) h. 263
5
Philip Kotler (1987), Marketing Jlid I, (Penerbit Erlangga, Jakarta) h. 200
pemasaran dengan desainer. Akan tetapi dibalik perbedaan itu, ada satu kemasan tujuan,
yaitumendapatkan respons positif dari pengamat sasaran. Karena itu seorang desainerkomunikasi
visual perlu mengerti konsep dasar pemasaran dan hubunganya dengan visualisasi, sebaliknya
seorang staf pemasaran perlu mengerti cara visual para konsumennya.
Menurut Hermawan Kartajaya, kita tidak boleh menganggap remeh “estetika” (baca; desain).
Hal ini disebabkan oleh bertambahnya jumblah produsen yang ikut serta dalam persaingan pasar.
Deahulu ketika jumbalh produk dipasar masih sedikit, setetika tidak punya arti apa-apa dimata
konsumen. Konsumen tidak peduli dengan bentuk produk yang unik, pilihan kemasan yang lain
dari pada yang lain. Tetapi kini ketika informasi sangat mudah didapatkan dan diakses dari
berbagai sumber serti koran, majalah, televisi hingga internet, maka mau tidak mau estetika
memegang peranan penting dan menjadi nilai tambah disamping kualitas produk dan layanan
pasca jual.
Ada tiga alasan penting mengapa estetika penting dalam pemasaran yaitu:
1. Estetika dapat menciptakan loyalitas konsumen dengan memberikan pengaruh psikologis
dan emosional. Contohnya melalui keunikan sebuah logopada kemasan.
2. Estetika dapat menjadi standar perusahaan untuk menetapkan harga.
3. Estetika dapat membuat sebuah produk menjadi berbeda ditengan persaingan merek yang
semakin ketat.
Adapun beberapa pendapat tokoh–tokoh terhadap maqasid syariah yaitu :
1. Imam al-Haramain al-Juwaini
Menurut telaah historis, Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebaga ahli ushul
pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashid syariah dalam menetapkan
hukum Islam dengan memperkenalkan teori tingkatan keniscayaan. Dia secara tegas
mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam
sebelum ia memahami benar-benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan
larangan-larangan-nya. Beliau mengatakan bahwa maqashid dari hukum Islam adalah
kemaksuman (al-ishmah) atau penjaga keimanan, jiwa, akal, keluarga dan harta.
Sebagaimana diketahui bahwa al-Juwainimerupakan peletak landasan utama dalam
pemikiran maqashid syariah (tujuan pokok syariat). Menerutnya, orang-orang tidak mampu
memehami dengan baik tujuan al-syari’ (Allah SWT) didalam meletakkan syariat, maka pada
hakikatnya ia belum dipandang mampu dalam menetapkan atau melakukan istinbath hukum-
hukum syariat.
2. Imam Ghazali
maqashid syariah menurut imam Ghazali adalah pengabdian dengan menolak segala
bentuk madharat dan menarik manfaat, sehingga dikenal dengan kaidah mendapatkan
kebaikan dan menolak kerusakan. maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan
rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari keseluruhan
hukumnya. Inti dari tujuan syariah adalah merealisasikan kemaslahaan bagi manusia dan
menghilangkan kemudorotan, sedangkan mabadi (pokok dasar) yakni memperhatikan nilai-
nilai dasar Islam. seperti keadilan, persamaan dan kemerdekaan.
3. Al-‘Izz ibn’Abd al-Salam
Pemikiran menurut Al-‘Izz ibn’Abd al-Salam lebih menekankan dan mengelaborasi
konsep maslahatan secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat.
Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala
prioritas, yaitu: daruriyat, hajiyat, dan takmilat atau tatimmat. Lebig jauh lagia ia
menjelaskan, bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik d dunia
maupun di akhirat. Dalam pandangan Al-‘Izz ibn’Abd al-Salam maqashid itu selalu dalam
dua kategori yaitu : nafis dan khasis, khathir dan qalil, jali dan khafi, ajil dan ukhrawi, ajil
dan duniyawi. Sedangkan dun’yawi terdiri dari mutawaaqiqi dan waqi’, mukhatalaf fih dan
muttafaq fih.
4. Wahbah al Zuhaili
Wahbah al Zuhaili dalam bukunya menetapkan syarat-syarat maqashid syariah,
menurutnya bahwa sesuatu baru dapat dikatakan sebagai maqashid syariah apabila
memenuhi empat syarat berikut:
a. Harus bersikap tetap, meksudnya makna-makna yang dimaksudkan itu harus bersifat
pasti atau diduga kuat mendekati kepastian.
b. Harus jelas, sehingga para fuqaha tidak akan berbeda dalam penetapan makna tersebut.
c. Harus terukur, maksudnya makna itu harus mempunyai ukuran atau batasan yang jelas
yang tidak diragukan lagi.
d. Berlaku umum, artinya makna itu tidak akan berbeda karena perbedaan waktu dan
tempat.

Anda mungkin juga menyukai