Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

BIMBINGAN DAN KONSELING KOMUNITAS


KOLABORASI KOMUNITAS DAN ADVOKASI

Oleh:
Kelompok 7
Alyoriek Rahmadania, S. Pd 22113251001
Novita Arutmayanti, S.Pd 22113251045

S2 BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Bimbingan dan Konseling Komunitas
‘Kolaborasi Komunitas dan Advokasi’ ini dengan upaya sebaik-baiknya dan tepat waktu.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu dalam meyelesaikan penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah
ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna nantinya penulis mampu melakukan perbaikan terhadap makalah ini.
Kami berharap dengan adanya makalah mengenai Kolaborasi Komunitas dan Advokasi ini
dapat memberikan manfaat kepada siapa pun yang membaca.

Sleman, 06 Februari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2
A. Kolaborasi Komunitas .................................................................................................... 2
1. Program Lingkungan (Karang Taruna) ....................................................................... 3
2. Organisasi Bantuan Diri (Self-Help) ........................................................................... 6
3. Proyek Keluarga dan Komunitas............................................................................... 10
B. Advokasi Komunitas ..................................................................................................... 12
C. Mengatasi Ketidakberdayaan ........................................................................................ 13
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 15
A. Simpulan ....................................................................................................................... 15
B. Saran ............................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dengan munculnya abad ke-21, para konselor komunitas mulai memandang pekerjaan
mereka dengan sangat berbeda dari rekan-rekan mereka di abad ke-20. Di masa lalu, helpers
biasanya meneliti klien mereka sama seperti meneliti dengan mikroskop, mencoba
mengidentifikasi masalah individu yang membutuhkan perhatian. Sekarang, helpers yang
paling efektif mencoba menggunakan lensa sudut lebar yang membantu mereka melihat klien
mereka dalam konteks seluas mungkin. Model konseling komunitas buku ini membantu
memajukan proses perubahan ini dengan menyediakan teori mutakhir dan metode praktis untuk
menggabungkan konseling dan advokasi keadilan sosial.

Dalam konseling komunitas dibutuhkan metode untuk melakukan kolaborasi komunitas.


Konseling komunitas tidak dapat dilakukan sendiri. Diperlukan kolaborasi baik antara konselor
bersama konseli secara individu, konselor bersama konseli sebagai sebuah komunitas, maupun
konselor bersama komunitas dengan pihak lain. Sebab, sekalipun konselor komunitas dapat
menyelesaikan seluruh masalah konseli, mereka akan tetap gagal menyelesaikan masalah
utamanya yaitu: ketidakberdayaan. Sehingga dibutuhkan metode yang tepat agar mencapai
pemberdayaan konseli.

B. Rumusan Masalah

1. Apa dan bagaimanakah yang dimaksud dengan Kolaborasi Komunitas?


2. Apa dan bagaimanakah yang dimaksud dengan Advokasi Komunitas?
3. Bagaimana mengatas ketidakbedayaan dalam komunitas?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa dan bagaimanakah yang dimaksud dengan Kolaborasi Komunitas.
2. Untuk mengetahui apa dan bagaimanakah yang dimaksud dengan Advokasi Komunitas.
3. Untuk mengetahui bagaimana mengatasi ketidakbedayaan dalam komunitas.

1
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pekerjaan mereka, di lingkungan tertentu konselor komunitas sering kali
menemukan beberapa contoh klien yang menghadapi hambatan yang serupa dalam
perkembangan mereka. Melalui hubungan empati mereka dengan klien, mereka menyadari
bahwa komunitas mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggotanya. Mereka
tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan unik dari masing-masing klien tetapi juga
kebutuhan kolektif klien mereka sebagai sebuah kelompok. Setelah mengetahui hambatan yang
dihadapi klien, mereka mulai mengeksplorasi potensi dalam komunitas itu sendiri.

"Kebaikan" sebuah komunitas mungkin paling baik dievaluasi dari dampak yang
ditimbulkannya terhadap para anggotanya. Komunitas yang baik adalah komunitas yang
anggotanya baik individu dan keluarga dapat merasakan hal- hal berikut ini:

a. Mereka dapat memiliki "harapan masa depan yang ada di depan mereka" (Alinsky, 1969
dalam Lewis, Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011) dan keyakinan bahwa anak-anak mereka
dapat hidup lebih baik dibandingkan orang tua mereka.
b. Mereka dapat merasa aman beraktivitas di lingkungan mereka.
c. Mereka dapat melihat bahwa segala usaha yang sedang dilakukan atas nama mereka
(advokasi) adalah untuk mengatasi kemiskinan dan penindasan.
d. Mereka dapat mengakses sumber daya pendidikan dan kesehatan yang memenuhi standar.
e. Mereka dapat mengandalkan dukungan dari komunitas ketika mereka menghadapi masalah
serius.
f. Mereka dapat merasakan bahwa suara mereka didengar.

A. Kolaborasi Komunitas

Kompetensi Advokasi ACA (Lewis et al., 2002) mengkonseptualisasikan kolaborasi


masyarakat sebagai berikut:

Pekerjaan konselor yang terus menerus terlibat dengan banyak orang memberi mereka
kesadaran tentang masalah yang berulang. Konselor sering kali menjadi orang pertama
yang menyadari kesulitan-kesulitan tertentu di lingkungannya. Konselor melakukan
advokasi dengan melapor pada organisasi-organisasi yang berkaitan dengan masalah
yang dihadapi. Dalam situasi seperti ini, peran utama konselor adalah sebagai sekutu.
Konselor juga dapat membantu organisasi dengan menyediakan keahlian khusus mereka:
hubungan interpersonal, komunikasi, pelatihan, dan penelitian. (p. 2)

2
Konseptualisasi ini mengarah pada kompetensi konselor berikut ini:
a. Mengidentifikasi faktor -faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan konseli.
b. Menyadarkan kelompok masyarakat atau sekolah yang memiliki keprihatinan yang sama
terkait dengan masalah tersebut.
c. Mengembangkan hubungan dengan kelompok-kelompok yang bekerja untuk perubahan.
d. Menggunakan keterampilan mendengarkan yang efektif untuk mendapatkan pemahaman
tentang tujuan kelompok.
e. Mengidentifikasi kekuatan dan sumber daya yang dibawa oleh anggota kelompok ke dalam
proses perubahan sistemik.
f. Mengkomunikasikan pengakuan dan penghormatan terhadap kekuatan dan sumber daya
tersebut.
g. Mengidentifikasi dan menawarkan keterampilan yang dapat dibawa oleh konselor ke dalam
kolaborasi.

1. Program Lingkungan (Karang Taruna)


Zona Anak-Anak Harlem (Harlem Children's Zone/HCZ). Di antara program-
program lingkungan, HCZ merupakan salah satu yang paling komprehensif dan terkenal.

Filosofi di balik proyek ini sederhana—jika kemiskinan adalah penyakit yang menjangkit
seluruh komunitas dalam bentuk pengangguran dan kekerasan; gagal sekolah dan rumah tangga
yang berantakan, maka kita tidak bisa hanya mengobati gejala-gejala tersebut secara terpisah.
Kita harus menyembuhkan seluruh komunitas tersebut dari akarnya—. Oleh karena itu Zona
Anak-Anak Harlem memiliki sejumlah fasilitas seperti program pelatihan parenting orang tua
di “Baby College”, PAUD dan penitipan anak yang aman sekaligus program-program setelah
sekolah, layanan kesehatan gratis, hingga makanan yang terjangkau dan bergizi. Selain itu juga
terdapat konselor karir dan keuangan dan pelatihan teknologi serta pelatihan pencegahan
kejahatan. Semua program tersebut melibatkan seluruh warga setempat sebagai pelaksana dan
peserta.

Bagi Geoffrey Canada, pendiri program yang inspiratif dan inovatif ini, daripada
membantu beberapa, Harlem Children's Zone justru mengubah kesulitan tersebut secara
keseluruhan. Ketika Geoffrey Canada merencanakan program ini, ia memulai dengan
pertanyaan seperti "Apa yang diperlukan untuk mengubah kehidupan anak-anak miskin,
menyeluruh, melalui intervensi heroik, tetapi dengan cara yang terprogram dan
terstandardisasi, dan dapat diterapkan secara luas serta direplikasi di seluruh negara?" dan

3
"variabel mana dalam kehidupan anak yang perlu Anda ubah?" (Kanada dalam Lewis,
Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011: 188). Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut yaitu,
mengubah setiap aspek lingkungan tempat anak-anak miskin tumbuh; mengubah cara
keluarga mereka membesarkan mereka dan cara sekolah-sekolah mengajar serta karakter
lingkungan mereka.

Seiring dengan berkembangnya proyek ini, konsep awal tetap dipertahankan: Agar
anak-anak dapat tumbuh dengan baik, keluarga mereka harus tumbuh dengan baik. Dan agar
keluarga dapat berkembang dengan baik, komunitas mereka juga harus berkembang dengan
baik. Itulah sebabnya HCZ bekerja untuk memperkuat keluarga serta memberdayakan
mereka untuk memberikan dampak positif bagi perkembangan anak-anak mereka.

Dua prinsip dasar dari program lingkungan ini adalah untuk membantu anak-anak
dengan cara yang berkelanjutan, dimulai sedini mungkin dalam kehidupan mereka, dan
untuk menciptakan massa kritis orang dewasa di sekitar mereka yang memahami apa yang
diperlukan untuk membantu anak-anak agar berhasil. (Zona Anak-Anak Harlem, 2009b)

Program keluarga dan kesehatan tambahan yang bekerja sama dengan instansi
profesional antara lain:

a. Single Stop, yang menyediakan layanan langsung gratis dan dapat diakses di berbagai lokasi.
b. Layanan kesehatan, yang meliputi Bantuan Asma dan Bantuan Hidup Sehat.
c. Program Keluarga Berencana

Proyek Chicago untuk Pencegahan Kekerasan. Pada tahun 1995, Gary Slutkin baru
saja kembali ke Chicago dan memulai proyek pencegahan kekerasan di sana. Proyek ini
dimulai di salah satu lingkungan di Chicago—daerah dengan tingkat kekerasan senjata api
yang tinggi—. Kemudian secara bertahap, bergerak ke lingkungan lain dengan selalu
melibatkan kolaborasi dengan para pemimpin masyarakat dan organisasi setempat. Lalu pada
tahun 1998, proyek ini menerima investasi dari Robert Wood Johnson Foundation, komite
pengarahnya terdiri dari perwakilan dari 20 kota, kabupaten, negara bagian, dan lembaga
federal. Rencana yang disusun pada saat itu mencakup komponen- komponen berikut:

1) Komunitas yang kuat—koalisi yang luas dan komunitas bekerja pada norma-norma.
2) Larangan baku tembak disampaikan secara terpadu.
3) Memberikan respon cepat dan terkoordinasi terhadap kekerasan, termasuk pencegahan
balasan.

4
4) Identifikasi orang-orang yang berisiko dan memastikan alternatif dan hubungan.
5) Pengawasan tambahan terhadap orang-orang yang paling berisiko (termasuk mereka yang
berada dalam masa percobaan) terkait penggunaan senjata api dan keterlibatan dalam
kekerasan.
6) Peningkatan ketersediaan, keamanan, penggunaan, dan pengawasan program-program
setelah sekolah dan tempat aman lainnya
7) Meningkatkan tekanan pada senjata dan gerakan senjata di semua tingkatan.
8) Penuntutan untuk kekerasan dan komunikasi penuntutan dan hukuman.

Komponen penting dari proyek ini adalah gencatan senjata yang didasarkan pada lima
komponen inti (CeaseFire, 2010):

1) Penjangkauan di tingkat jalanan.


2) Pendidikan masyarakat.
3) Mobilisasi masyarakat
4) Keterlibatan pemuka agama
5) Partisipasi polisi

Penjangkauan di jalanan dilakukan oleh (a) petugas penjangkauan (outreach workers),


yang memiliki hubungan pendampingan yang berkelanjutan dengan "klien" mereka, dan (b)
pencegah kekerasan (violence interrupters), yang berperan di jalanan untuk membantu
menyelesaikan konflik ketika muncul.

Para petugas penjangkauan menjaga hubungan suportif dan stabil dengan klien
mereka. Petugas penjangkauan biasanya dinilai sebagai orang dewasa yang paling
penting dalam hidup mereka. Klien dapat menghubungi petugas penjangkau mereka pada
saat-saat genting—ketika mereka tergoda untuk kembali memakai narkoba, terlibat dalam
kegiatan ilegal, atau ketika mereka merasa bahwa kekerasan akan segera terjadi. (Skogan,
2008, hal. 2).

Sedangkan Pencegah Kekerasan (violation interrupters) memiliki peran yang berbeda:


Mereka sebagian besar terdiri dari mantan anggota geng-geng Chicago. Mereka
memanfaatkan pengetahuan mereka tentang kota untuk meredakan ketegangan dan menjaga
perdamaian dengan bertemu dengan anggota geng untuk menegosiasikan gencatan senjata,
dan mencegah pembalasan dendam ketika konflik meletus. Mereka juga berdialog dengan
para remaja untuk mencari cara-cara damai dalam mencapai kesepakatan dengan rekan-

5
rekan mereka di komunitas mereka. (CeaseFire, 2010).

Upaya penjangkauan di tingkat jalanan dilakukan dalam konteks jangka panjang untuk
mengedukasi masyarakat, memobilisasi masyarakat, dan membangun koalisi. Hasil dari
upaya ini adalah kekerasan dan intensitas baku tembak menurun dalam di sebagian besar
wilayah.

Keefektifan konselor komunitas akan bergantung pada kemauannya untuk menjangkau


komunitas dan berkolaborasi dengan organisasi-organisasi yang ada. Organisasi-organisasi
ini tidak hanya mencakup entitas pemberi layanan tetapi juga organisasi bantuan diri.

2. Organisasi Bantuan Diri (Self-Help)

Dalam organisasi bantuan diri, orang-orang yang memiliki ikatan yang sama dapat
saling berhubungan dan saling mendukung satu sama lain dan menangani masalah-masalah
bersama dalam suasana kelompok yang penuh pengertian namun realistis. Pada kebanyakan
organisasi bantuan diri, semua anggota membuat keputusan secara kolektif. Sehingga seluruh
anggota kelompok dianggap sebagai pemberi dan penerima bantuan.

Ife (1996) membuat daftar manfaat bergabung dalam kelompok bantuan diri yaitu:

1) Mendapatkan gambaran pribadi yang positif dalam kelompok sebaya.


2) Perubahan sikap mereka adalah hasil dari berada di lingkungan yang menekankan
pentingnya mengambil tindakan kolektif dan konstruktif untuk mengatasi tantangan
dan masalah umum yang dihadapi kelompok.
3) Merasa lebih percaya diri dengan cara mereka berkomunikasi dengan orang lain
karena pengalaman bersama yang dimiliki oleh anggota kelompok.
4) Menghindari banyak hambatan rasisme yang sering muncul dalam lingkungan
konseling tradisional.
5) Menemukan pengalaman yang meningkatkan sosialisasi mereka.

Kelompok-kelompok bantuan diri menyediakan lingkungan yang kondusif bagi


anggotanya berdiskusi secara bebas dan terbuka tentang isu-isu yang menjadi kepentingan
bersama. Karena kesamaan mereka, individu-individu dalam kelompok-kelompok itu dapat
menerima ide-ide dari rekan-rekan mereka dengan terbuka dan mendorong mereka untuk
bertanggungjawab atas kehidupan mereka sendiri.

6
Yang paling penting, individu menemukan peluang untuk mengembangkan dan melatih
keterampilan leadership dalam kelompok. Meskipun terdapat bantuan konselor, para peserta
dalam kelompok itu menyadari bahwa keberhasilan mereka bergantung pada keterlibatan aktif
dan komitmen para anggotanya. Kunci dari potensi pemberdayaan dari pendekatan ini adalah
setiap anggota kelompok bantuan diri menjadi pemberi bantuan bagi satu sama lain.

Prinsip "Helper-Therapy". Skovholt (1974) menguraikan manfaat yang biasanya


dialami oleh orang-orang yang memberikan bantuan kepada orang lain sebagai berikut:
1) Merasakan peningkatan tingkat kompetensi interpersonal sebagai hasil dari memberikan
dampak pada kehidupan orang lain.
2) Merasa setara dalam memberi dan menerima.
3) Menerima pembelajaran pribadi yang berharga saat bekerja dengan orang yang dibantu.
4) Mendapat penerimaan sosial dari orang yang ditolongnya.

Selain itu terdapat manfaat tambahan yang diidentifikasi oleh Gartner dan Riessman
(1984):
1) Penolong menjadi lebih mandiri.
2) Ketika menolong orang dengan permasalahan yang mirip, penolong jadi dapat sekaligus
menyelesaikan masalahnya sendiri.
3) Penolong merasa berguna secara sosial.

Contoh tindakan yang memakai prinsip terapi penolong adalah Recovery Incorporated,
sebuah organisasi untuk "pasien gangguan jiwa dan mantan pasien gangguan jiwa" yang para
pemimpinnya adalah mantan ODGJ. Pada pertemuan mingguan, diskusi kelompok
dikombinasikan dengan presentasi kelompok, membandingkan cara-cara lama dan baru dalam
menangani masalah pribadi mereka. Dengan merencanakan dan berpartisipasi bersama, para
anggota mengalami peningkatan well-being karena merasa tidak sendirian dalam menghadapi
masalah mereka. Mereka menyadari dapat membantu orang lain sambil membantu diri
mereka sendiri. Selain pertemuan rutin mereka, anggota yang berpengalaman dari kelompok
ini juga mempresentasikan program edukasi kesehatan mental kepada kelompok masyarakat
lainnya.

D'Andrea (1994) melaporkan keberhasilan penggunaan terapi penolong pada


sekelompok klien dewasa dengan gangguan jiwa kronis yang mengikuti terapi. Semua klien
dalam program berbasis komunitas ini adalah orang Afrika—Amerika yang didiagnosis

7
memiliki masalah kesehatan mental yang serius. Selain menerima berbagai layanan
psikoterapi tradisional, seperti psikoterapi individu dan kelompok kecil, para klien ini juga
bertemu dua kali seminggu sebagai kelompok bantuan diri untuk merencanakan kegiatan yang
membahas kebutuhan khusus mereka.

Menyadari bahwa sebagian besar stres mereka berhubungan langsung dengan rasisme,
para klien ini sepakat untuk mengembangkan strategi untuk mengatasi masalah yang
kompleks ini. Sebagai hasilnya, para klien merancang dan mengimplementasikan sebuah
kelas psikoedukasi yang berjudul "Mengatasi Rasisme di Amerika Kontemporer", yang
diadakan di pusat kesehatan mental komunitas tempat kelompok bantuan diri bertemu. Kelas
ini terdiri dari beberapa pertemuan di mana para klien berdiskusi tentang strategi yang efektif
untuk mengatasi masalah rasisme ini. Meski dipandang memiliki kemampuan terbatas untuk
mengembangkan dan menerapkan solusi praktis untuk masalah psikologis mereka, tetapi
pertemuan-pertemuan tersebut memberikan kesempatan untuk mengembangkan dukungan
dan kekuatan kolektif.

Proyek kedua yang dikembangkan oleh kelompok ini melibatkan perencanaan dan
pelaksanaan beberapa strategi yang meningkatkan partisipasi mereka dalam proses politik
masyarakat. Untuk itu, mereka memilih perwakilan kelompok yang bertanggung jawab
menghubungi pejabat terpilih setempat untuk bertemu membahas berbagai isu yang berkaitan
dengan layanan kesehatan jiwa di masyarakat dan kebutuhan memperluas layanan bagi orang
dengan masalah kesehatan jiwa yang serius. Proyek ini dikembangkan sebagai tanggapan atas
usulan pengurangan APBD untuk layanan kesehatan jiwa.

Klien tidak hanya bertemu dengan pejabat terpilih mereka, tetapi juga memberikan
kesaksian pada sejumlah dengar pendapat legislatif yang diselenggarakan untuk membantu
anggota parlemen negara bagian memahami dampak potensial dari pemotongan dana untuk
layanan kesehatan jiwa di daerah tersebut. Meskipun salah satu konselor di pusat kesehatan
jiwa berperan sebagai narasumber yang dapat dimintai bantuan oleh para klien jika
diperlukan, pada akhirnya para klienlah yang bertanggung jawab untuk merencanakan dan
melaksanakan proyek-proyek ini dan proyek-proyek bantuan diri lainnya.

Karena mereka berpartisipasi dalam proyek-proyek ini, beberapa perubahan positif


terjadi pada psikologis klien secara keseluruhan. Perubahan ini termasuk peningkatan rasa
tujuan sosial dan harga diri, pengembangan keterampilan interpersonal dan pemecahan

8
masalah yang lebih efektif, dan kebanggaan yang lebih besar dalam identifikasi mereka
dengan anggota lain dalam komunitas terapeutik (D'Andrea, 1994).

Saling Mendukung dalam Kelompok Bantuan diri (self-help groups) Orang-orang


bergabung dalam kelompok bantuan diri karena membutuhkan dukungan sosial yang tidak
dapat ditemukan pada orang-orang sekitarnya. Sesama anggota dapat saling menguatkan dan
menumbuhkan harapan positif dalam menghadapi tantangan dalam hidup mereka. Daftar self-
help groups di Indonesia antara lain:

Sehat Mental Indonesia


Get Happy Yuk
Into The Light Indonesia (komunitas pencegahan bunuh diri)
Komunitas Peduli Skizofernia
Bipolar Care Indonesia
Depression Warriors Indonesia

Organisasi/komunitas ini dirancang agar masyarakat dapat berdaya. McWhirter (dalam


Lewis, Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011: 196) mendeskripsikan pemberdayaan sebagai
proses individu (a) “menyadari kekuatan dalam menghadapi dinamika hidup”, (b)
“mengembangkan kemampuan dan kapasitas dalam mengendalikan hidup”, (c) “yang mereka
latih”, (d) “tanpa melanggar hak orang lain”.

Masing-masing organisasi self-help tersebut memberdayakan individu yang rentan atau


tengah mengalami permasalahan kesehatan mental. Inti dari proses pemberdayaan tersebut
yakni motivasi dan kemampuan konseli membantu diri sendiri dan orang lain dengan
permasalahan serupa agar dapat mencapai kesejahteraan psikologis (McWhirther dalam Lewis,
Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011: 196).

Bantuan-diri dan Aksi Politis. Ife (dalam Lewis, Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011:
196) mencatat bahwa self-help groups tradisional bersifat nonpolitik, lebih fokus pada
penguatan individu daripada memperbaiki kondisi sosial. Sedangkan advokasi berfokus pada
membantu konseli menemukan faktor eksternal yang mempengaruhi masalah mereka. Setelah
mampu menyadari kekuatan intrinsik dalam diri mereka sendiri, individu mampu melakukan
advokasi untuk kelompok mereka.

9
Konselor komunitas dapat membuat rujukan kepada self-help groups ketika konseli
membutuhkan pengalaman saling mendukung dan membantu. Goodman (2010 dalam Lewis,
Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011: 197) pernah menulis tentang advokasi terhadap lansia yang
dilakukan oleh AARP (American Association of Retired Persons) dan Older Women’s League
(OWL). Kenney dan Kenney (2010 dalam Lewis, Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011: 197)
pernah membahas advokasi populasi multiras yang dilakukan sejumlah organisasi/komunitas
seperti AMEA (Association of Multiethnic Americans), RACE (Reclassifying All Children
Equally) dan MAVIN Foundation. Kebanyakan organisasi self-help ini dapat berperan sebagai
advokasi politik maupun sebagai komunitas bagi individu yang membutuhkan dukungan.

3. Proyek Keluarga dan Komunitas

Doherty dan Carrol (2007, dalam Lewis, Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011: 199)
menekankan pentingnya membedah dikotomi yang salah termasuk membedakan antara privasi,
masalah personal dan masalah umum, antara penyedia layanan dan pengguna layanan, dan
antara terapi individu dan kerja komunitas.

Keluarga dan Demokrasi. Berikut prinsip-prinsip yang mendasari model ini:

1) Penguatan keluarga dilakukan oleh keluarga tersebut secara demokratis dalam komunitas
lokal.
2) Potensi terbesar yang belum dimanfaatkan untuk penguatan keluarga adalah pengetahuan,
kebijakan, dan pengalaman hidup keluarga dan komunitas mereka.
3) Keluarga harus terlibat sebagai penggerak dan kontributor dalam komunitas mereka, tidak
hanya sebagai pengguna layanan.
4) Saran dari profesional berperan penting dalam keluarga berinisiatif untuk belajar bersama
anggota keluarga lain dalam mengidentifikasi tantangan, menggerakan SDM, dan
melakukan tindakan publik.
5) Jika mulai dengan program yang sudah mapan, warga jarang untuk inisiatif. Sedangkan
inisiatif warga akan membentuk program yang menjadi bagian dari kegiatan mereka
sendiri.
6) Komunitas keluarga lokal menjadi lebih hidup ketika ia mengambil tradisi sejarah, budaya,
dan agamanya sendiri tentang kehidupan keluarga—dan membawanya ke dalam dunia
kontemporer kehidupan keluarga.
7) Inisiatif keluarga dan demokrasi harus memiliki visi yang jelas sembari bekerja secara
pragmatis mencapai tujuan yang spesifik.

10
Sama seperti upaya pengelolaan komunitas, proyek keluarga membangun tujuan,
mengembangkan pemimpin baru, dan menggerakan orang dari pasif sebagai penerima menjadi
aktif menyelesaian masalah. Teman Diabetes, sebuah inisiatif perawatan kesehatan,
memberikan sebuah contoh proyek yang menggunakan model Keluarga dan Demokrasi.
Orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah pengidap diabetes, anggota keluarga, tenaga
kesehatan profesional, administrator kesehatan, dan terapis keluarga. Misi kelompok tersebut
cukup sederhana yakni “meningkatkan kehidupan pasien dan keluarga yang mengalami
diabetes” (Doherty & Carroll, 2007 dalam Lewis, Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011: 200).

Penting untuk diingat bahwa seluruh anggota dalam tim perencanaan memberikan
masukan yang setara, tidak hanya dalam mengidentifikasi amasalah tapi juga dalam merancang
intervensi dan membuat kurikulum pelatihan.

Posko Layanan Terpadu. Progam seperti Mitra Diabetes yang melibatkan prinsip
demokrasi dalam masalah kesehatan warga disebut dengan posko layanan terpadu (posyandu)
dan telah diterapkan dalam kelompok-kelompok lintas budaya (Doherty & Mendenhall, 2006;
Bryan, 2009, dalam Lewis, Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011: 200). Misalnya, Mendenhall
bekerja dengan kepala suku Amerika Asli untuk mengatasi masalah-masalah yang
berhubungan dengan diabetes.

Bryan (2009 dalam Lewis, Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011: 200) juga mendefinisikan
sebuah komunitas kemitraan kampus yang disebut Progam Pekerja Sehat. Program promosi
kesehatan ini dirancang untuk memberikan layanan gratis bagi karyawan kantin magang di
kampus. Para karyawan tersebut kebanyakan merupakan Hispanik dan Afrika-Amerika yang
berasal dari golongan kurang mampu. Program ini bekerjasama dan serius dalam berkolaborasi
dengan para perwakilan yang berasal dari para karyawan itu sendiri. Bryan menegaskan bahwa
bagaimanapun program ini dapat lebih baik lagi jika dilakukan secara demokratis penuh
dengan melibatkan para karyawan dalam perencanaan sejak awal. Konselor perlu merubah
fokus yang semula menggunakan pendekatan top-down menjadi saling bekerja sama secara
adil bersama anggota komunitas untuk meningkatkan pemberdayaan komunitas itu sendiri.
Seiring konselor berkolaborasi dengan konseli, keluarga, dan komunitas, mereka harus mampu
mengenali potensi mereka untuk menjadi perwakilan yang memiliki kekuatan membantu
warga untuk membangun dasar kekuatan bagi mereka dalam meningkatkan situasi mereka
sendiri (Bryan, 2009, dalam Lewis, Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011: 201).

11
B. Advokasi Komunitas

Pada bagian ini membahas contoh-contoh potensi komunitas yang berguna untuk konseli.
Seringkali bantuan yang dibutuhkan konselor membantu untuk konseli sebenarnya telah
tersedia dalam komunitas itu sendiri. Dalam beberapa situasi, terdapat sebuah celah dalam
potensi komunitas yang tidak ditangani secara jelas oleh orang lain maka dari itu konselor
komunitas yang menangani.

Konselor kerap berharap dapat mengubah lingkungan dan mencegah masalah serupa
ketika mengidentifikasi faktor yang menjadi penghalang perkembangan konseli. Konselor
yang memandang dirinya sebagai agen perubahan dan memahami prinsip perubahan
sistemik mampu mengubah harapan itu menjadi kenyataan. Apapun target perubahannya,
prosesnya kurang lebih serupa. Perubahan adalah sebuah proses yang membutuhkan visi,
kegigihan, kepemimpinan, kolaborasi, analisis sitem, dan data yang kuat. Di banyak situasi,
seorang konselor adalah orang yang tepat untuk menjadi pemimpin (Lewis, 2002 dalam
Lewis, Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011: 202).

Sebagai contoh, kasus keluarga Soto/Torres pada bab 6. Dikarenakan kesulitan


transportasi, kedua orangtua mereka mengalami kesulitan dalam mengakses pusat kesehatan
dan layanan yang mereka butuhkan. Bahkan mereka kesulitan untuk membuat janji bertemu
dengan petugas masa percobaan anak bungsu mereka. Masalah mereka adalah aksesibilitas.

Konselor mereka, Laura, adalah advokat yang efektif dan dapat mempermudah mereka
mengakses pusat layanan kesehatan dan sistem peradilan anak. Di waktu yang bersamaan,
Laura dan teman-teman kampusnya menyadari bahwa kebanyakan dari klien mereka memiliki
ciri yang sama, yakni gagal mencapai janji temu penting karena masalah aksesibilitas.

Keluarga yang gagal melakukan pertemuan yang diamanatkan oleh agen masa percobaan
anak mereka, tahu bahwa mereka mungkin membahayakan masa depan anaknya.
Kekhawatiran yang mereka rasakan terhadap anak mereka terasa sangat nyata, tapi tidak dapat
mengubah lokasi kantor masa percobaan yang jaraknya begitu jauh dari tempat tinggal mereka.

Lokasi kantor masa percobaan berbeda sekali dengan gereja yang menjadi sumber
dukungan yang sangat mudah diakses. Bahkan gereja menyediakan makan siang di hari minggu
dan kegiatan sore untuk anak-anak dan remaja. Gereja juga berperan sebagai tempat pertemuan
rutin bagi kegiatan komunitas. Melalui pertemuan dengan para keluarga dan atas dasar

12
kepedulian dari para anggota lahirlah sebuah ide: kenapa tidak kita minta agen masa percobaan
untuk bertemu di gereja?

Pertemuan masa percobaan akhirnya mulai dilaksanakan dalam bangunan gereja. Jumlah
“ketidakhadiran” menjadi turun drastis. Keputusan pun dibentuk, yakni memindahkan kelas
parenting dan pelatihan manajemen emosi dari kantor masa percobaan ke gereja. Keputusan
tersebut menghasilkan peningkatan jumlah partisipan sebanyak 50%.

Konselor dan anggota komunitas yang bahagia dengan kesuksesan mereka memutuskan
untuk mengambil langkah lain: mengubah layanan transportasi. Konselor sekali lagi
mengambil langkah, mengajak untuk meneliti kemungkinan-kemungkinan untuk mengubah
rute bus lokal. Yang perlu diperhatikan adalah perusahaan transportasi membutuhkan bukti
permintaan masyarakat. Petisi dari pintu ke pintu (koordinasi dilakukan oleh para keluarga
dalam komunitas bukan oleh konselor) menghasilkan rute bus yang baru. Namun hasil jangka
panjang yang lebih penting sebenarnya adalah perasaan yang muncul pada anggota komunitas
bahwa partisipasi dapat membawa hasil.

C. Mengatasi Ketidakberdayaan

Sebagai konselor komunitas, kita perlu lebih sadar terhadap banyak masalah individu
yang mereka sendiri tidak berdaya mengatasinya. Kita mulai merasakan banyak rintangan yang
menghalangi kebebasan individu untuk berkembang dengan cara yang sehat. Kita
memperhatikan begitu banyak jumlah orang-orang yang masih hidup dalam kondisi miskin,
menganggur, pendidikan rendah, tertindas, kekurangan layanan, atau menjadi korban
pengambilan keputusan yang tidak demokratis. Kita menyadari individu-individu tersebut
sering dihukum karena berbeda. Kebanyakan dari kita tahu bahwa orang-orang itu tidak
berdaya. Orang-orang tersebut dipengaruhi lingkungan tapi tidak tahu bagaimana
mempengaruhi lingkungan.

Terkadang konselor mengalami frustasi atau putus asa dalam menyikapi pengetahuan
tersebut. Kita dapat melihat kebutuhan perubahan dalam komunitas tersebut tapi merasa tidak
berdaya untuk melakukan apa-apa. Beberapa konselor bereaksi dengan kabur dari masalah
tersebut. Yang lain mencoba berjuang sendiri mengubah kesalahan yang mereka lihat. Namun,
sekalipun jika konselor komunitas dapat menyelesaikan seluruh masalah konseli, mereka akan
tetap gagal menyelesaikan masalah utamanya yaitu: ketidakberdayaan.

13
Semua model yang telah diulas dalam bagian ini membagikan fakta yang sama yakni
membantu orang bangkit dari ketidakberdayaan. Masyarakat Harlem yang mengambil bagian
dalam proyek Zona Anak Harlem, seorang warga Chicago yang bergabung dalam koalisi
melawan kekerasan, seorang individu yang bergabung dalam organsisasi bantuan diri, sebuah
keluarga yang berpartisipasi dalam kegiatan posyandu. Semua orang ini melangkah ke arah
harapan dan keberdayaan. Ketika konselor komunitas masuk ke dalam kolaborasi komunitas
dan advokasi, mereka juga mulai mendapat manfaat. Mereka dapat melihat masa depan untuk
konseli dan komunitas mereka.

14
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan

Meskipun mengadvokasi atas nama konseli itu penting, terkadang konselor menyadari
faktor-faktor dalam lingkungan komunitas yang menyebabkan masalah bagi banyak konseli.
Tidak hanya kebutuhan unik individu konseli yang diperhatikan oleh konselor taoi juga
kebutuhan kolektif konseli sebagai sebuah kelompok. Semua anggota komunitas harus
mempunyai kepercayaan diri bahwa anak-anak mereka kelak akan mendapatkan kehidupan
yang lebih baik dari mereka, bahwa kekerasan bukan budaya mereka, bahwa usaha-usaha
dibuat untuk mengatasi kemiskinan dan penindasan, bahwa mereka dapat mengakses
pendidikan dan layanan kesehatan yang baik, dan bahwa mereka dapat mencari dukungan
dalam komunitas saat menghadapi rintangan serius.

Konselor komunitas dapat membantu memfasilitasi komunitas kesehatan dengan


berkolaborasi dengan program rakyat berbasis bukti seperti Zona Anak Harlem atau
CeaseFire-Chigago; organgisasi bantuan diril dan proyek keluarga dan komunitas. Ketika
celah dalam sumber daya komunitas muncul, konselor komunitas perlu mengambil peran
kepemimpinan dalam advokasi komunitas.

B. Saran

Apabila sumber bacaan berbahasa inggris pemakalah selanjutnya seyogyanya mampu


mengalihbahasa serta memaknai dan memparafrase dengan baik dan efektif sumber bacaan
asing agar materi yang diurai dan dikembangkan lebih mudah dipahami oleh pembaca.

15
DAFTAR PUSTAKA

Lewis, J. A., Lewis, M. D., Daniels, J. A., & D'Andrea, M. J. (2011). Community Counseling:
A Multicultural-Social Justice Perspective, Fourth Edition. Belmont: Brooks/Cole
Cengage Learning.

16

Anda mungkin juga menyukai