Anda di halaman 1dari 23

MEMPERSIAPKAN KONSELOR KOMUNITAS YANG KOMPETEN

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi sebagai salah satu
persyaratan Mata Kuliah Bambingan dan Konseling Komunitas

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Muhammad Nur Wangid, M.Si

Disusun oleh :
Lanny Ilyas Wijayanti 221113254009
Trias Maulin Tarlia 22113251037

PROGRAM STUDI MAGISTER BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2023
DAFTAR ISI
BAB I.......................................................................................................................3
A. Latar Belakang Masalah...................................................................................3
B. Rumusan Masalah.............................................................................................3
C. Tujuan...............................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................4
A. Misi Program....................................................................................................4
B. Infus Kurikulum................................................................................................5
C. Pernyataan Posisi Konselor untuk Keadilan Sosial tentang Infusi Kompetensi
Advokasi ke dalam program Pendidikan Konseling dan Konselor.........................7
D. Pendekatan Konseling Ekspansif dan Kontekstual.........................................11
E. Pembelajaran Eksperiensial............................................................................12
F. Belajar Sepanjang Hayat.................................................................................16
BAB III..................................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Konseling komunitas adalah kerangka bantuan yang komprehensif
yang didasarkan pada kompetensi multikultural dan berorientasi pada
keadilan sosial. Karena perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh konteks,
konselor komunitas menggunakan strategi yang memfasilitasi
perkembangan yang sehat bagi klien mereka dan komunitas yang
memelihara mereka.

Konselor komunitas yang efektif ialah konselor yang mampu


mengasilimasi bahasa, tradisi, budaya, namun ia juga menyadari akan
terjadinya bias budaya, konselor memfasilitasi pendekatan secara budaya
dan menjadi mediator antar budaya. Selanjutnya konselor memiliki
pengetahuan tentang budaya komunitas agar lebih memahami komunitas
serta memberikan kesimpulan yang tepat, dan mampu menerapkan serta
menyesuaikan keterampilan dalam konseling serta intervensi yang efektif
dengan komunitas yang beraneka ragam.

Definisi ini memerlukan program terkait dengan konseling


komunitas seperti berikut: a) dalam memfasilitasi pembangunan manusia,
b) memberikan intervensi langsung dengan klien dan anggota komunitas
serta, c) memfasilitasi pengembangan masyarakat dengan menggunakan
advokasi intervensi, untuk membangun lingkungan yang positif dan
memecah hambatan dari luar untuk kesejahteraan konseli.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu misi program dalam setting komunitas ?
2. Apa itu infus kurikulum dalam setting komunitas ?
3. Apa itu Pernyataan Posisi Konselor untuk Keadilan Sosial tentang
Infusi Kompetensi Advokasi ke dalam program Pendidikan Konseling
dan Konselor ?
4. Apa itu Pendekatan Konseling Ekspansif dan Kontekstual dalam setting
komunitas ?
5. Apa itu Pembelajaran Eksperiensial dalam setting komunitas ?
6. Apa itu belajar sepanjang hayat dalam setting komunitas ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui misi program dalam setting komunitas
2. Untuk mengetahui infus kurikulum dalam setting komunitas
3. Untuk mengetahui Pernyataan Posisi Konselor untuk Keadilan Sosial
tentang Infusi Kompetensi Advokasi ke dalam program Pendidikan
Konseling dan Konselor
4. Untuk mengetahui Pendekatan Konseling Ekspansif dan Kontekstual
dalam setting komunitas
5. Untuk mengetahui Pembelajaran Eksperiensial dalam setting komunitas
6. Untuk mengetahui belajar sepanjang hayat dalam setting komunitas
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Misi Program
Mempersiapkan individu untuk menjadi seorang konselor tidak
sesederhana mengintegrasikan konten kursus atau membuat tugas yang
dirancang untuk kompetensi advokasi melainkan mengembangkan budaya
advokasi di seluruh program konseling (Lewis et al., 2011). Budaya
advokasi dimulai dengan pmisi program yang didalamnya membentuk
sebuah harapan pada individu dan meletakan dasar untuk belajar dan
mengajar, dalam setiap pernyataan misi memcontohkan komitmen
terhadap multikulturalisme dan keadilan sosial. Conntoh misi program
yaitu sebagai berikut:

1. Universitas Negeri Oregon


Misi program pascasarjana Universitas Negeri Oregon dalam
konseling adalha untuk mempersiapkan para konselor professional
yang mempromosikan kesejahteraan sosial, psikologis dan fisik
individu, keluarga, komunitas dan organisasi. Konselor yang siap
menjadi pendidik proaktif, agen perubahan dan advokat dalam
menghadapi keadilan, serta peka terhadap masalah perkembangan
rentang hidup, menunjukan kesadaran multicultural dan mengakui
persfektif global sebagai bagian dari integral persiapan pemimpin
yang professional.
2. Universitas Roosevelt
Program konseling Universitas Roosevelt bertujuan untuk membekali
mahamahamahasiswanya dengan keterampilan pprofesional untuk
bekerja sebagai konselor Lembaga Kesehatan Masayarakat dan
mental, sekolah dan Lembaga sector swasta. Program tersebut menjadi
komitmen universitas untuk mempersiapkan konselor profesinal yang
inrtrospektif, cerdas secara multicultural dan sadar sosial dengan
orientasi sebagai agen perubahan.
3. Universitas George Mason
Program yang dibuat oleh Universitas Roosevelt mengupayan
keunggulan dalam skala nasional dan injternasional yang memberikan
landasan yaitu keterampilan konseling dasar, berfokus pada
multikulturalisme, keadilan sosial, kepemimpinan dan advokasi.
Program tersebut diyakini sebagai persiaan untuk membentuk
konselor professional
4. Universitas New Mexico
Program Pendidikan konselor Universitas New Mexico menampilkan
integritas teori, penelitian, praktik dan kolaborasi interdisipliner, hal
ini bermaksud untuk mempersiapkan para konselor yang terinformasi,
yang peka terhadap keragaman dan keunikan individu, keluarga,
masyarakat serta menghargai dan meningkatkan martabat, potensi dan
kesejahteraan semua orang. Program yang dibuat dimaksudkan untuk
mempersiapkan konselor yang professional untuk menanggapi dunia
dengan masalah sosial yang menantang dan mendesak.
5. Universita Carolina Selatan
Program yang dibuat bertujuan untuk melatih konselor untuk menjadi
praktisi yang kompeten secara multicultural yang dapat memenuhi
kebutuhan konseli yang beragam, hal tersebut dimuat dalam integrasi
teori, penelitian, praktik dan kolaborasi interdisipliner.

B. Kurikulum
Dokumen kompetensi yang dikembangkan oleh ACA banyak
dipergunakan oleh program Pendidikan konselor, dokumen kompetensi
tersebut meliputi kompetensi konseling multicultural, kompetensi
advokasi, selain itu divisi dari ACA telah mengembangkan dan
menyebarluaskan kompetensi untuk konseling pada konseli gay, lesbian,
biseksual dan transgender (LGBT) dan Kompetensi ALGBTIC untuk
konseling pada konseli transgender.

1. Kompetensi Multikultural
Kompetensi Konseling Multikulural (MCC) diperkenalkan dan
telah terbukti melahirkan transformasi dalam profesi konselor. Hampir
semua program konseling mencangkup bahasan multikulturalisme,
dan lebih sedikit yang berhasil menanamkan kompetensi
multikulturalisme pada kulrikulumnya. Terlepas dari kode etik ACA
(2005) yang secara eksplisit Pendidikan konselor aktif menanamkan
kompetensi keragaman multicultural dalam praktik pelatihan dan
pengawasan. Secara aktif mahamahamahasiswa di latih untuk
mendapatkan kesadaranm pengetahuan, keterampilan dalam
kompetensi praktik multicultural.
2. Kompetensi keanekaragaman
Kompetensi multicultural diakui secara luas sebagai inti dari
praktik konseling yang baik, namun beberapa masih mempertanyakan
tingkat inklusivitas yang tersirat dalam definisi multikulturalisme.
Masalah yang memisahkan adalah apakah individu yang lesbi, gay,
biseksual dan transgender (LGBT) harus dimasukan atau tidak di
bawah paying multikulturalisme.
Sebagian orang memiliki pandangan yang sempit tentang
multikulturalisme dan mungkin juga mengabaikan populasi lain,
namun masalah LGBT sangat mencolok karena ternyata masih banyak
profesi yang mengakui ketidaknyamanan. Sebagai pemegang profesi
konseling pendidik konselor berkewajiban untuk memastikan supaya
mahamahamahasiswa memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan
kesadaran yang diperlukan untuk bekerja secara afirmatif dan etis
dengan individu LGBT.
Kompetensi ALGBTIC untuk konseling pada konseli gay, lesbian,
biseksual dan transgender (LGBT) menggambarkan kompetensi
konseling di seluruh kategori pertumbuhan dan perkembangan
manusia meliputi hubungan sosial dan budaya, kerja kelompok,
pengembangan karir dan gaya hidup, penilaian, penelitian dna
orientasi professional. Kompetensi difokuskan hampir seluruhnya
pada konseling di setiap bidang penekanan yang dibahas dan
memungkinkan konselor menjadi kompeten akan mengikuti jalan
menuju advokasi keadilan sosial.
3. Kompetensi advokasi ACA
Kompetensi advokasi melengkapi dan dibangun diatas kompetensi
multicultural. PKS membuka jalan bagi kompetensi advokasi dalam
du acara, yaitu; (a) Mereka menunjukan bahwa serangkaian
kompetensi yang dipikirkan dengan baik dan mudah dipahami dapat
memainkan peran sebagai kunci dalam pengembangan professional,
(b) mereka memastikan kehadiran populasi konselor yang kompeten
secara multicultural yang dapat menjadi garda depan gerakan keadilan
sosial.

C. Pernyataan Posisi Konselor untuk Keadilan Sosial tentang Infusi


Kompetensi Advokasi ke dalam program Pendidikan Konseling dan
Konselor
1. Posisi Counselors for Sosial Justice (CSJ)
Counselors for Sosial Justice (CSJ) menekankan pada kompetensi
advokasi sebagai elemen penting dari konseling dan program
Pendidikan konselor dan merekomendasikan agar kompetensi ini
ditanamkan diseluruh program
2. Dasar Pemikiran
Konselor memiliki tanggung jawab untuk memberdayakan dan
mengadvokasikakn kelompok yang kurang terwakili, terpinggirkan
dan tertindas. Tanggung jawab ini merupakan tugas etis dan
professional dari semua konselor. Kompetensi advokasi perlu
dimasukan kedalam program Pendidikan konseling dan konselor yang
memberikan pengetahuan teoritis dan praktis untuk pelatihan konselor
dan mempersiapkan sebagai agen perubahan sosial dan advokat untuk
masyarakat yang beragam, kompetensi advokasi mengacu pada
kemampuan konselor untuk mengenali ketidak adilan yang
mempengaruhi kesejahteraan fisik, akademik, karir, ekonomi dan
mental. Jadi advokasi keadilan sosial adalah elemen mendasar yang
memberikan layanan sensitive secara budaya dan efektif kepada
konseli dan karenanya harus menajdi elemen inti dalam program
Pendidikan konselor.
Isu yang ramai dibicarakan dikalangan para sarjana Pendidikan
konseling dan konselor yaitu isu tentang keragaman, budaya, dan
konteks yang menintegrasikan ke dalam nilai-nilai inti. Hal tersebut
dilakukan dengan menanamkan Pendidikan multicultural dan keadilan
sosial ke dalam semua kegiatan kulikuler dan ekstrakulikuler dalam
program konseling.
3. Relevansi dengan Konseling
Pada umumnya pengalaman dan masalah konseli dipengaruhi oleh
lingkungan dan masyarakat, ketidakadilan sosial, marginalisasi,
penindasan dalam bentuk rasisme, seksisme, kemampuan, klasisme,
heteroseksisme, sizeisme dan ageism dapat dilihat dalam distribusi
kekuasaan yang tidak merata dan akses yang tidak merata terhadap
sumber daya dan partisipasi yang merupakan factor penyebab dalam
perkembangan masalah yang diajukan oleh konseli . Untuk itu
konselor tidak hanya bertanggung jawab untuk membantu konseli
tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk menghadapi ketidakadilan
dalam masyarakat.
4. Tindakan yang disarankan
a. Kompetensi advokasi harus tercerminkan dalam nilai inti program
konseling
b. Kompetensi advokasi harus ditanamkan kedalam keseluruhan
program pendiikan konselor, sehingga kompetensi tersebut
tercermin dalam silabus mata kuliah, visi dan misi program.
c. Pelatihan konselor harus mencermintan perspektif multicultural
serta penerapan internaasional dan lobal serta pengulana teori dan
prakti konselor. Konselor dilatih sebagai pendukung keadilan
sosial local, regional dan internasional.
d. Program Pendidikan konseling dan konselor harus
memberdayakan mahamahamahasiswanya untuk mengambil peran
lebih aktif dalam uaya transformasi masyarakat, organisasi
keadilan sosial, penelitian tindakan dan KKN
e. Program Pendidikan konseling dan konselor harus memberikan
kesempatan pada mahamahamahasiswa untuk belajar menjadi
advokat keadilan sosial global dengan memberikan pengalaman
praktikum dan magang internasional.
f. Program Pendidikan konseling dan konselor harus mendukung
penelitian dan beamahamahasiswa dibidang keadilan sosial dan
perubahan sosial yang responsive terhadap kebutuhan konseli
g. Standar CACREP dan CORE harus memasukan harapan untuk
menanamkan kompetensi advokasi di semua program terakreditasi

5. Rekomendasi Kompetensi Advokasi dalam Program Pendidikan


Konselor (Durham & Glosoff, 2010):
a. Perkenalkan Kompetensi Advokasi kepada mahamahamahasiswa
sedini mungkin dalam program mereka, sebaiknya selama
orientasi (pra-kelas) dan di kelas yayasan atau pengantar.
b. Dalam kursus pengantar, mintalah mahamahamahasiswa meninjau
sejarah profesi konseling dari perspektif advokasi sosial.
c. Mintalah mahamahamahasiswa merencanakan dan
mengimplementasikan proyek poster advokasi. Bekerja dalam tim,
mereka mengembangkan poster yang menyajikan masalah yang
relevan dengan kursus, ringkasan atau literatur terkait, dan
deskripsi peran advokasi yang diusulkan dalam mengatasi masalah
dan tantangan yang terkait dengan advokasi untuk populasi
tertentu di enam domain Kompetensi Advokasi. Hal ini dapat
diintegrasikan dalam beberapa kelas, seperti pengenalan profesi,
konseling anak, konseling karir, dan sebagainya.
d. Dalam kelas penilaian dan diagnosis, mintalah
mahamahamahasiswa meninjau kategori diagnostik dari perspektif
sejarah sosio-politik, mencatat tren mengenai kecenderungan
untuk klasifikasi individu tertentu yang kurang atau terlalu
terwakili dengan diagnosis itu.
e. Mintalah mahamahamahasiswa berpartisipasi dalam pelatihan
legislatif dan "hari legislatif" yang ditawarkan oleh asosiasi
profesional konseling negara bagian dan kirimkan makalah
tentang pengalaman mereka, termasuk bagaimana pelatihan
tersebut dapat memengaruhi pekerjaan mereka dengan konseli dan
lingkungan kerja mereka.
f. Di seluruh mata kuliah, gunakan studi kasus yang menyertakan
individu dari populasi yang dicabut haknya atau terpinggirkan,
termasuk individu penyandang disabilitas, sebagai cara untuk
membantu mahamahamahasiswa mulai memikirkan peran mereka
sebagai konselor advokasi sosial.
Universitas George Mason (GMU) telah menerapkan model
pendidikan konselor yang mencontohkan konsep menanamkan konsep
keadilan sosial di seluruh kurikulum. Program UGM unik karena
memasukkan keadilan sosial dalam setiap aspek program pelatihannya.
Program ini tidak hanya membangun keadilan sosial sebagai
landasan misinya dan menanamkan konsep keadilan sosial dan hak
asasi manusia di seluruh kursus sambil mendiversifikasi populasi
fakultas dan mahamahamahasiswa, tetapi juga telah mengambil
langkah tambahan. Itu termasuk mengembangkan kursus dan magang
aktual dalam keadilan sosial dan perubahan sosial. Oleh karena itu,
dalam Program Penyuluhan dan Pengembangan UGM, keadilan sosial
menjadi yang terdepan dalam program pelatihan. (Talleyrand, Chung,
& Bemak, 2006, hlm. 47)
Program ini adalah hasil dari upaya yang disengaja dari waktu ke
waktu, menyerukan desain ulang setiap aspek kurikulum dan kerja
intensif antar fakultas. Talleyrand dkk. menyarankan agar para
pendidik konselor yang ingin memulai perjalanan seperti itu harus
memanfaatkan retret fakultas; orientasi fakultas tambahan dan
pengawas lapangan untuk misi keadilan sosial; pemberdayaan
mahamahasiswa melalui organisasi mahamahasiswa, pertemuan balai
kota, dan berbagai kesempatan untuk komunikasi terbuka; membangun
kemitraan di tingkat lokal, negara bagian, nasional, dan internasional
dan penilaian berkelanjutan dan evaluasi kompetensi keadilan sosial.

D. Pendekatan Konseling Ekspansif dan Kontekstual


Konseling langsung dan advokasi keadilan sosial terkait erat jika
konseptualisasi konseli bersifat ekspansif dan kontekstual. Sikap
supervisor dalam pengaturan praktikum dan magang dapat berdampak
besar pada sikap mahamahamahasiswa. Selama praktikum konseling
tingkat lanjut, akan sangat membantu jika mahamahasiswa diminta untuk
membahas bagaimana mereka menggunakan Kompetensi Advokasi (dari
tingkat mikro ke tingkat makro) untuk memandu konseptualisasi kasus dan
rencana perawatan mereka selama presentasi kasus dan dalam catatan
kasus mereka. Untuk masing-masing contoh yang mahamahasiswa
berikan, kami menyarankan mereka diminta untuk (a) memeriksa ketika
mereka telah bertindak dengan konseli dalam peran
"pendukung/penyemangati"; (b) mengidentifikasi kapan akan lebih efektif
untuk berkolaborasi dengan atau atas nama konseli dalam bekerja dengan
pemimpin sekolah, lembaga, atau masyarakat untuk mengatasi masalah;
dan (c) mengeksplorasi isu atau masalah yang teridentifikasi dari
perspektif historis dan sistemik, termasuk menggambarkan undang-undang
dan kebijakan tertulis atau tidak tertulis yang dapat memengaruhi
kehidupan konseli . (Durham & Glosoff, 2010, hlm. 145)

Intervensi semacam ini sangat efektif ketika program secara


keseluruhan mendukung pendekatan kontekstual untuk konseling. Sama
seperti advokasi dapat dimasukkan ke dalam kurikulum, demikian juga
teori konseling yang ramah advokasi.

Program konseling di Universitas Cincinnati memberikan contoh


yang baik dari pendekatan ini. “Inti dari Program Konseling Universitas
Cincinnati adalah komitmen untuk mempromosikan pendekatan ekologis
dalam proses konseling” (University of Cincinnati, 2010). Aspek
Konseling Ekologi ditanamkan dalam program magister, dan program
doktor sebenarnya "didasarkan pada pendekatan ini".

Pusat Konseling Ekologi dikaitkan dengan program konseling dan


memainkan peran nasional yang penting dalam menyebarluaskan
penelitian dan praktik terkini terkait dengan model konseling ekologi.
Seperti yang dijelaskan oleh definisi Pusat tentang pendekatan ekologis
program, orientasi ekologis juga memiliki dampak yang kuat dalam
komunitas terdekat. “Fokus Ekologi Pusat Konseling melibatkan
"pendekatan ekologis berbasis kekuatan untuk kesejahteraan psikologis
dan emosional manusia di sekolah dan komunitas perkotaan, terutama
ditujukan untuk kota Cincinnati" (Pusat Konseling Ekologi Universitas
Cincinnati, 2010).

E. Pembelajaran Eksperiensial
Tidak seorang pun akan menganggap mungkin bagi seorang
mahamahamahasiswa untuk mendapatkan gelar dan memasuki profesi
konseling tanpa pernah melihat konseli di bawah pengawasan. Sampai saat
ini, bagaimanapun, sangat sedikit program konseling yang menawarkan
kesempatan kepada mahamahasiswa mereka untuk berpartisipasi dalam
upaya penjangkauan masyarakat atau untuk memiliki pengalaman
advokasi kehidupan nyata. Sekarang konselor diharapkan untuk
menunjukkan kompetensi dalam keadilan sosial dan advokasi, lebih
penting dari sebelumnya bahwa mahamahasiswa terlibat dalam KKN.
Program pendidikan konselor harus memastikan bahwa mahamahasiswa
memiliki pengalaman dalam dua bidang umum: (a) keterlibatan dalam
menjangkau orang- orang yang tertekan atau terpinggirkan dan (b)
partisipasi dalam upaya advokasi di arena publik.

1. Menjangkau Orang tertekan atau terpinggirkan


Program pendidikan konselor gram yang menemukan cara untuk
melibatkan mahamahasiswa dalam upaya penjangkauan memberikan
kontribusi yang patut dipuji setidaknya dalam dua cara: (a) mengatasi
kebutuhan yang sering kali sangat besar di komunitas yang mereka
layani sambil (b) memberikan kesempatan belajar yang unik dan
berharga bagi mahamahasiswa mereka. Salah satu proyek tersebut
dapat ditemukan dalam program Konseling Kesehatan Mental di
Rollins College, di Winter Park, Florida, di mana mahamahasiswa
dapat melakukan praktikum atau magang di Komunitas Pekerja
Pertanian Apopka. Katherine Norsworthy, yang telah membawa
mahamahasiswa ke Apopka selama bertahun-tahun, menjelaskan
proyek ini sebagai berikut:
Komunitas ini terutama terdiri dari orang-orang yang hidup dalam
kemiskinan: pekerja migran dan pekerja pertanian serta keluarga
mereka dari Amerika Serikat dan berbagai bagian Amerika Tengah
dan Selatan serta Karibia. Kami bekerja melalui Pusat Komunitas
Harapan, sebuah proyek berbasis keadilan sosial yang didirikan oleh
tiga Suster Biarawati Katolik Notre Dame lebih dari empat puluh tahun
yang lalu. Para mahamahasiswa memberikan konseling keadilan sosial
dan kemitraan mendengarkan kepada pemuda dan orang dewasa di
masyarakat, serta sukarelawan Americorps yang bekerja di
masyarakat. Kami juga menawarkan kelompok pengurangan stres
berbasis kesadaran untuk konstituen yang sama selama delapan
minggu selama kami berada di sana.
Mahamahasiswa membenamkan diri dalam pengalaman, yang
menghidupkan studi mereka dalam program ini, terutama selama
kursus multikultural dan keluarga. Mereka terlibat dengan hak buruh
tani, reformasi imigrasi, dan masalah lainnya. Kami turun ke
masyarakat untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang
masalah hak asasi manusia bagi pekerja migran, terutama yang tidak
memiliki dokumen. Melalui pengalaman ini, mahamahasiswa belajar
tentang isu-isu politik yang mungkin tidak mereka kenal sebelumnya.
(Norslayak, 2010).
Kombinasi layanan dan pembelajaran mendalam ini juga tersedia
bagi mahamahasiswa dalam program Konseling dan Pengembangan di
Universitas George Mason, di Fairfax, VA. Melalui proyek Counselors
without Borders, mahasiswa memiliki kesempatan untuk berpartisipasi
dalam proyek penjangkauan terkait bencana. Perjalanan Counselors
without Borders pertama terjadi sebagai tanggapan terhadap kebutuhan
kesehatan mental yang mendesak di sepanjang Pantai Teluk setelah
Badai Katrina. Mahamahasiswa dan pengawas fakultas mereka, Fred
Bemak dan Rita Chung, melakukan perjalanan ke Mississippi untuk
memberikan bantuan di pusat bantuan bencana.
Perjalanan ini merupakan pengalaman unik yang memungkinkan
mahasiswa menerapkan apa yang mereka pelajari di kelas...
Pengalaman langsung adalah sesuatu yang tidak dapat kami berikan di
sini—kelas adalah lingkungan buatan, dan selalu ada jaring pengaman.
Itu tidak bisa dibandingkan dengan menempatkan mahasiswa di dunia
nyata. (Chung, seperti dikutip Biderman, 2006)
Mahasiswa Mason memiliki kesempatan lain untuk pelayanan
dunia nyata ketika mereka melakukan perjalanan ke California untuk
menjangkau korban kebakaran hutan California tahun 2007.
“Konsekuensi dari kebakaran hutan dan bagaimana mereka
mempengaruhi masyarakat sangat mendalam,” kata Fred Bemak,
profesor konseling dan pengembangan dan direktur Pusat Penelitian
dan Aksi Keanekaragaman di Sekolah Tinggi Pendidikan dan
Pengembangan Manusia. “Ada kebutuhan yang signifikan di
komunitas berpenghasilan rendah, yang sebagian besar adalah orang
Hispanik dan penduduk asli Amerika. Ada beberapa layanan yang
tersedia bagi mereka dan bahkan lebih sedikit lagi layanan yang
tanggap secara budaya.” (Bemak, seperti dikutip oleh Edgerly, 2007).
Misi keadilan sosial dari program Mason menciptakan jenis
lingkungan yang memungkinkan proyek semacam ini. Pada saat yang
sama, pengalaman penjangkauan ini tidak diragukan lagi menyuburkan
program secara keseluruhan.
2. Advokasi di Arena Publik
Karena advokasi telah diakui sebagai aspek penting dari peran
konselor, penting bahwa kurikulum pendidikan konselor mencakup
pengalaman praktikum dan magang yang dikhususkan untuk advokasi.
Rollins
College, misalnya, memiliki kursus pra-praktikum yang ditawarkan
kepada mahasiswa di awal program. Pra-praktikum dirancang agar
setengah dari jam kerja lapangan mahasiswa berlangsung di
lingkungan kesehatan mental dan setengahnya lagi di organisasi yang
berfokus pada advokasi. Saat mahasiswa menyelesaikan jam yang
diperlukan dalam keadilan atau advokasi sosial, fungsi dan peran
mereka meliputi yang berikut (Rollins College, 2010):
Pra-Praktikum Keadilan Sosial/Advokasi yaitu :
a. Dapatkan pengetahuan dan kesadaran tentang masalah keadilan
sosial saat ini dan kekhawatiran kelompok sosial tempat Anda
bekerja.
b. Berpartisipasi dalam proses advokasi yang diperlukan untuk
mengatasi hambatan kelembagaan dan sosial yang menghambat
akses, kesetaraan, dan kesuksesan populasi ini.
c. Terlibat dalam kegiatan yang mengadvokasi hak-hak kelompok
yang terpinggirkan.
d. Terlibat dalam kegiatan yang mempromosikan perubahan sosial
atau keadilan sosial.

Di antara pengaturan lokal potensial untuk Pra-Praktikum Keadilan


Sosial atau Advokasi adalah sebagai berikut (Paladino, 26 Maret
2010):
a. Koalisi untuk perawatan Penatua
b. Tunawisma
c. Kelompok advokasi seperti Equality Florida, PFLAG, dan
Community GLBT Center
d. Kantor Urusan Multikultural di kampus
e. Pekerja Peternakan Apopka
f. Harbour House dan program/tempat penampungan kekerasan
dalam rumah tangga lainnya.
g. Kakak/Kakak Kaum Muda yang Membutuhkan atau kamp-kamp
yang menangani masalah kaum muda tertentu
Mahasiswa juga memiliki kemampuan untuk membentuk
kelompok kecil dan mengusulkan kepada fakultas sebuah proyek
advokasi untuk populasi yang kurang terwakili, terpinggirkan, atau
membutuhkan.
Seperti program Konseling Kesehatan Mental di Rollins College,
banyak program bergerak kearah pelatihan berdasarkan pengalaman
dalam advokasi keadilan sosial. Pengalaman ini sangat dibutuhkan jika
mahasiswa dipersiapkan untuk peran yang akan mereka mainkan.
Namun, dalam jangka panjang, konselor komunitas akan
membutuhkan pengarahan diri sendiri untuk mendapatkan dan
mempertahankan kompetensi baru dalam menghadapi perubahan yang
konstan.
F. Belajar Sepanjang Hayat
Sepanjang karir mereka, konselor komunitas menemukan
tantangan baru dan peluang baru. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari
pembelajaran mandiri seumur hidup, orang harus bersedia untuk melihat
ke dalam, memperhatikan area kekuatan dan tantangan. Proses ini sangat
penting ketika menyangkut advokasi karena banyak konselor menyadari
pentingnya kompetensi advokasi lama setelah mereka menyelesaikan
program studi yang berfokus terutama pada layanan langsung. Survei
Penilaian Diri Kompetensi Advokasi ACA (Ratts & Ford, 2010) sangat
membantu dalam hal ini. Pertanyaan-pertanyaan yang dibahas dalam
survei ditunjukkan pada Tampilan 12.2.

Survei ini memberi kesempatan kepada konselor individu untuk


menilai tingkat kenyamanannya sendiri dengan semua aspek advokasi.
Evaluasi diri yang jujur dari tipe ini memberi individu kesempatan untuk
memutuskan berapa banyak pelatihan atau praktik tambahan yang
dibutuhkan.

Survei Penilaian Diri Kompetensi Advokasi ACA


Arah: Untuk menilai kompetensi dan keefektifan Anda sendiri sebagai
agen perubahan keadilan sosial, tanggapi pernyataan berikut sejujur dan
seakurat mungkin.
Kadang Hampir
Hampir
Pertanyaan - Tidak
Selalu
Kadang Pernah
Sulit bagi saya untuk mengidentifikasi
kekuatan dan sumber daya klien
Saya merasa nyaman dengan negosiasi
untuk layanan yang relevan atas nama
klien/siswa
Saya memberi tahu komunitas atau
kelompok sekolah tentang
kekhawatiran yang saya sadari melalui
pekerjaan saya dengan klien/siswa.
Saya menggunakan data untuk
menunjukkan urgensi perubahan
sistemik
Saya menyiapkan materi tertulis dan
multi-media yang menunjukkan
bagaimana hambatan lingkungan
berkontribusi terhadap pengembangan
klien/siswa
Saya membedakan kapan masalah
perlu
diselesaikan melalui advokasi sosial.
Sulit bagi saya untuk mengidentifikasi
apakah kondisi sosial, politik, dan
ekonomi mempengaruhi perkembangan
klien/siswa.
Saya ahli dalam membantu klien/siswa
mendapatkan akses ke sumber daya
yang dibutuhkan.
Saya mengembangkan aliansi dengan
kelompok yang bekerja untuk
perubahan sosial.
Saya mampu menganalisis sumber-
sumber kekuatan politik dan sistem
sosial yang mempengaruhi
perkembangan klien/mahasiswa
Saya dapat berkomunikasi dengan cara
yang etis dan pantas saat menangani
masalah penindasan publik
Saya mencari dan bergabung dengan
sekutu potensial untuk menghadapi
penindasan
Saya merasa sulit untuk mengenali
ketika kekhawatiran klien/siswa
mencerminkan tanggapan terhadap
penindasan sistemik.
Saya dapat mengidentifikasi hambatan
yang menghambat kesejahteraan
individu dan kelompok rentan.
Saya mengidentifikasi kekuatan dan
sumber daya yang dibawa anggota
komunitas ke dalam proses perubahan
sistem
Saya merasa nyaman mengembangkan
rencana aksi untuk membuat perubahan
sistem.
Saya menyebarkan informasi tentang
penindasan ke media.
Saya mendukung aliansi dan gerakan
yang adauntuk perubahan sosial
Saya membantu klien/siswa
mengidentifikasi hambatan eksternal
yang memengaruhi perkembangan
mereka
Saya merasa nyaman dengan
mengembangkan rencana tindakan
untuk menghadapi hambatan yang
berdampak pada klien/siswa
Saya menilai keefektifan saya ketika
berinteraksi dengan komunitas dan
kelompok sekolah.
Saya dapat mengenali dan menghadapi
penolakan ketika terlibat dalam
advokasi sistem.
Saya dapat mengidentifikasi dan
berkolaborasi dengan profesional lain
yang terlibat dalam penyebaran
informasi publik
Saya berkolaborasi dengan sekutu
dalam menggunakan data untuk
mempromosikan perubahan sosial
Saya membantu klien/siswa dengan
mengembangkan keterampilan
advokasi diri
Saya dapat mengidentifikasi sekutu
yang dapat membantu menghadapi
hambatan yang memengaruhi
perkembangan klien/siswa.
Saya merasa nyaman berkolaborasi
dengan grup dengan berbagai ukuran
dan latar belakang untuk membuat
sistem berubah.
Saya menilai efektivitas upaya
advokasi
saya pada sistem dan konstituennya.
Saya menilai pengaruh upaya saya
untuk menyadarkan masyarakat umum
tentang hambatan yang menindas
yang berdampak pada klien/siswa.
Saya melobi legislator dan pembuat
kebijakan untuk menciptakan
perubahan sosial.
BAB III
KESIMPULAN

Program pendidikan konselor melakukan pekerjaan luar biasa


dalam mempersiapkan siswa untuk unggul dalam layanan konseling
langsung. Kerangka konseling komunitas, bagaimanapun, membutuhkan
tidak hanya kompetensi dalam konseling individu, keluarga, dan kelompok
kecil tetapi
juga landasan yang kuat dalam advokasi multikulturalisme, keragaman,
dan keadilan sosial. Program yang mempersiapkan konselor komunitas
dapat mengambil manfaat dari (a) misi yang dinyatakan dengan jelas yang
menekankan multikulturalisme, keragaman, keadilan sosial, dan advokasi;
(b) kurikulum yang menanamkan kompetensi multikultural, advokasi, dan
keragaman di seluruh kursus yang dibutuhkan; (c) pendekatan teori,
praktik, dan supervisi konseling yang bersifat ekspansif dan kontekstual;
dan (d) komponen pengalaman yang kuat yang memungkinkan siswa
memiliki
pengalaman yang diawasi tidak hanya dalam layanan langsung tetapi juga
dalam advokasi.

Banyak program persiapan konselor yang baik telah beralih ke


misi, kurikulum, dan pengalaman yang berorientasi pada keadilan sosial.
Bab ini mengulas contoh-contoh program yang berkomitmen untuk
pengembangan konselor yang berkompeten dalam multikulturalisme,
keragaman, keadilan sosial, dan advokasi. Karena konselor komunitas
yang efektif perlu dilibatkan dalam pembelajaran mandiri seumur hidup,
survei penilaian diri diperkenalkan.
DAFTAR PUSTAKA

Lewis, J. A., Lewis, M. D., Daniels, J. A., & D’Andrea, M. J. (2011). A


Multicultural -Social Justice Perspective. Brooks/Cole, Cengage Learning,
362.

Anda mungkin juga menyukai