Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN TERAPI KELOMPOK

TERAPI MENARI TERHADAP MOTORIK ANAK


TUNA GRAHITA DI SLB NEGERI CILEUNYI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah keperawatan anak
Dosen pembimbing : R. Nety Rustikayanti, S.Kp M,Kep

Disusun oleh :
Kelompok 2

Marcella 221FK04027 Vini Oktaviani 221FK04041


Mega Suryani 221FK04028 Wisnu Husnul Murni 221FK04042
M.Heikal D 221FK04030 Yuliana Nurannisa 221FK04043
Melda Dwi Utami 221FK04029 Zaqiah Nursolehah 221FK04044
Nawawi Hepni 221FK04031 Ai Maesyaroh 221FK04045
Neng Rena Agustina 221FK04032 Iin Indriyani 221FK04046
Risda Putri Magvira 221FK04034 Mochammad Rafly R.A 221FK04047
Senny Apriliani 221FK04035 Nisa Nadila 221FK04048
Sinta Tisnasari 221FK04036 Siti Rhona Maryam 221FK04049
Siti Novita 221FK04037 Tanti Rosdiana 221FK04050
Somantri 221FK04038 Rezty Zalza Putry 221FK04051
Sumirat Fitriandini 221FK04039 Robi Muhammad F 221FK04052
Via Yulianengsih 221FK04040

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatnya, sehingga laporan terapi kelompok tentang “Terapi Menari
terhadap Motorik Anak Tuna Grahita di SLB Negeri Cileunyi”. Untuk mata
kuliah Praktek Profesi Keperawatan Anak dapat terselesaikan. Adapun tujuan dari
pembuatan laporan terapi kelompok ini ialah untuk menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh dosen yang bersangkutan kepada kami sebagai mahasiswa Fakultas
Keperawatan Universitas Bhakti Kencana.

Laporan terapi kelompok ini dibuat untuk mengetahui tentang “Terapi


Menari terhadap Motorik Anak Tuna Grahita di SLB Negeri Cileunyi”. Kami
menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari cara penulisan maupun isi
dari laporan terapi kelompok ini, karenanya kami siap menerima baik kritik
maupun saran dari dosen pembimbing dan pembaca demi tercapainya
kesempurnaan dalam pembuatan berikutnya.

Kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan


laporan terapi kelompok ini, kami sampaikan terima kasih. Semoga Tuhan yang
Maha Esa senantiasa melimpahkan berkat dan bimbingannya kepada kita semua.

Bandung, November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................i


DAFTAR ISI ......................................................................................................ii
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................3
1.3 Tujuan ..................................................................................................3
BAB II KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi Tuna Grahita ..........................................................................4
2.2 Faktor Penyebab Tuna Grahita ............................................................5
2.3 Karakteristik Anak Tuna Grahita.........................................................6
2.4 Klasifikasi Tuna Grahita ......................................................................7
2.5 Gejala Klinis Tuna Grahita ............................................................... 10
2.6 Patofisiologi ...................................................................................... 11
2.7 Komplikasi........................................................................................ 13
2.8 Penatalaksanaan ................................................................................ 13
2.9 Analisis Jurnal .................................................................................. 16
2.10 Pembahasan Analisis Jurnal ........................................................... 22
BAB III PELAKSANAAN
3.1 Persiapan Kegiatan ........................................................................... 23
3.2 Pelaksanaan....................................................................................... 23
3.3 Evaluasi............................................................................................. 24
3.4 Hasil .................................................................................................. 25
3.5 Pembahasan ...................................................................................... 25
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan ....................................................................................... 28

ii
4.2 Saran ................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 30
LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Pengkaian Anak Berkebutuhan Khusus


Lampiran 2 : Berita Acara Pada Hari Rabu Tanggal 2 November 2022
Lampiran 3 : Berita Acara Pada Hari Kamis Tanggal 3 November 2022
Lampiran 4 : Dokumentasi

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

World Health Organization (WHO) terdapat 15% jumlah penyandang


disabilitas di dunia atau sekitar 650 juta jiwa, dimana 3% dari jumlah
populasi tersebut merupakan tunagrahita. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
memperkirakan bahwa 10% anak usia sekolah mempunyai kebutuhan khusus
(WHO, 2017). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) jumlah penyandang disabilitas sekitar
10% dari total penduduk Indonesia. Metanalisis didapatkan hasil bahwa
prevalensi tunagrahita secara global yaitu 10,37/1000 populasi. Sekitar 1-3 %
penduduk indonesia mengalami kejadian tunagrahita (Kementerian Sosial,
2018).

Direktorat Bina Kesehatan Anak Republik Indonesia (2010) menyebutkan


bahwa prevalensi tunagrahita diperkirakan sekitar 6,6 juta jiwa di Indonesia.
Berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011,
terdapat 130.572 anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin, yang
terdiri dari: cacat fisik dan mental (19.438 anak); tunadaksa (32.990 anak);
tunanetra (5.921 anak); tunarungu (3.861 anak); tunawicara (16.335 anak);
tunarungu dan tunawicara (7.632 anak); tunanetra, tunarungu, dan tunawicara
(1.207 anak); tunarungu, tunawicara, dan tunadaksa (4.242 anak); tunarungu,
tunawicara, tunanetra, dan tunadaksa (2.991 anak); retardasi mental (30.460
anak); dan mantan penderita gangguan jiwa (2.257 anak). Data ini tersebar di
seluruh Indonesia dengan proporsi terbanyak di Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Jawa Barat.

Anak merupakan individu yang berada pada rentang usia bayi baru lahir
sampai dengan remaja. Anak berada pada masa pertumbuhan dan
perkembangan baik secara biologis, psikologis, sosial maupun spiritual yang
berbeda-beda sesuai dengan tahapan usianya. Hal tersebut dipengaruhi oleh

1
berbagai faktor. Salah satu faktor tersebut adalah status kesehatan anak.
Kondisi gangguan kesehatan yang terjadi pada anak adalah kelainan mental
intelektual (mental retardation) atau tunagrahita. Upaya pemeliharaan
kesehatan pada anak tunagrahita harus ditujukan untuk menjaga agar tetap
hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis dan bermartabat (Undang-
undang Nomor 36 Tahun 2009).

Anak tunagrahita adalah kondisi klinis yang kompleks dengan etiologi


yang heterogen di mana orang di bawah intelgensi yang membatasi
kemampuan untuk berfungsi secara normal (Yusri, 2017). Anak tunagrahita
yang memiliki keterbatasan fisik, sehingga mempengaruhi tugas
perkembangannya sebagai seorang individu. Anak tunagrahita dapat
dikatakan sebagai anak dengan hambatan perkembangan. tunagrahita adalah
suatu kondisi keterbelakangan mental dan memiliki intelegensi (IQ) rendah,
dibawah rata-rata intelegensi (IQ) individu normal (85-115). Anak
tunagrahita memiliki gangguan penyerta yang melekat pada diri anak, salah
satunya adalah gangguan motorik. Gangguan motorik ini dapat berupa
kekakuan, kelumpuhan, gerakan yang tidak terkendali, gangguan gerakan
ritmis dan gangguan keseimbangan gerak. Gangguan motorik yang menyertai
anak tunagrahita diklasifikasikan dalam kelompok anak hiperaktivitas,
hipoaktivitas dan kurang koordinasi (Octaviani et al, 2019).

Terapi gerak tari menggunakan gerakan tari sebagai sarana komunikasi


nonverbal, mengekspresikan emosi, relaksasi fisik, dan peningkatan
kesadaran diri (Toombs dalam Gruenberg dan Miller, 2011). Melalui terapi
gerak tari ini diharapkan mampu untuk membimbing anak tunagrahita untuk
dapat menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar, sistem aturan yang ada,
sehingga anak dapat menerima dan diterima di lingkungan tempat tinggalnya.
Kajian hasil penelitian menunjukkan bahwa ada keberhasilan layanan terapi
gerak tari untuk menurunkan gangguan motorik. Namun terdapat perbedaaan
tingkat keberhasilan pada penelitian-penelitian yang sudah ada. Hasil
penelitian Rahmawati dkk (2018) yang berjudul “Menari Sebagai Media

2
Dance Movement Therapy (DMT)” menunjukkan adanya peningkatan
beberapa aspek dalam diri seseorang (kognitif, afektif, kesadaran diri,
pengendalian emosi dan lain sebagainya) setelah diberikan terapi gerak tari.
Hasil penelitian Dani dkk (2017) yang berjudul “Efek Penerapan Gerakan
Tari dalam Menurunkan Hiperaktivitas pada Anak ADHD” menunjukkan
adanya penurunan skor hiperaktivitas setelah diberikan layanan gerak tari.

Berdasarkan uraian diatas maka kita tertarik untuk melakukan “Terapi


Menari Bagi Motorik Anak Tunagrahita”.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan tunagrahita?
2. Apa saja faktor penyebab tunagrahita?
3. Bagaimana karakteristik anak tunagrahita?
4. Bagaimana klasifikasi anak tunagrahita?
5. Bagaimana gejala klinis anak tunagrahita?
6. Bagaimana patofisiologi/pathway tunagrahita?
7. Apa saja komplikasi tunagrahita?
8. Bagaimana penatalaksanaan tunagrahita?
9. Bagaimana analisa jurnal terapi pada anak tunagrahita?
10. Bagaimana pelaksanaan terapi kelompok pada anak tunagrahita?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui definisi tunagrahita
2. Mengetahui faktor penyebab tunagrahita
3. Mengetahui karakteristik anak tunagrahita
4. Mengetahui klasifikasi anak tunagrahita
5. Mengetahui gejala klinis anak tunagrahita
6. Mengetahui patofisiologi tunagrahita
7. Mengetahui komplikasi tunagrahita
8. Mengetahui penatalaksanaan tunagrahita
9. Mengetahui analisa jurnal terapi pada anak tunagrahita
10. Mengetahui pelaksanaan terapi kelompok pada anak tunagrahita

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Tunagrahita

Ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk mengartikan anak


tunagrahita. Istilah tersebut telah dikenal terutama di lingkungan pendidikan
diantaranya seperti lemah mental, lemah ingatan. keterbelakangan mental, dan
cacat mental. Sesuai dengan fungsinya, mental (kecerdasan) bagi manusia
merupakan pelengkap kehidupan yang paling sempurna sebab kecerdasan
adalah satu-satunya pembenar yang menjadi pembeda antara manusia dengan
makhluk lain. Tuna Grahita atau Cacat Ganda adalah kelainan dalam
pertumbuhan dan perkembangan pada mental intelektual (mental retardasi)
sejak bayi atau dalam kandungan atau masa bayi dan anak-anak yang
disebabkan oleh faktor organik biologis maupun faktor fungsional, adakalanya
disertai dengan cacat fisik. Tuna Grahita salah satu bentuk gangguan yang
dapat ditemui di berbagai tempat, dengan karakteristik penderitanya yang
memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata (IQ di bawah tujuh puluh
lima), dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi maupun melakukan
berbagai aktivitas sosial di lingkungan.

Menurut Mangunsong (2014: 129), dilihat dari asal katanya, tuna


berarti merugi sedangkan grahita berarti pikiran. Tunagrahita merupakan kata
lain dari reterdasi mental (mental reterdation) yang berarti terbelakang secan
mental. Istilah yang sering digunakan untuk keterbelakangan mental antara
lain feeble mindedness (lemah pikiran), cacat mental, defisit mental, bodoh
dungu, pandir (imbecile) dan sebagainya.

Menurut Kosasih (2012: 140), bahwa tunagrahita adalah suatu kondisi


anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh
keterbatasan inteligensi dan ketidakcakapan terhadap komunikasi sosial. Anak
tunagrahita juga sering dikenal dengan istilah keterbelakang mental

4
dikarenakan keterbatasan kecerdasannya yang mengakibatkan anak
tunagrahita ini sukar untuk mengikuti pendidikan disekolah biasa.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tunagrahita


disebut juga dengan istilah berkelainan mental. Istilah tersebut sesungguhnya
memiliki arti yang sama yaitu menjelaskan kondisi anak yang memiliki
tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal).
Tunagrahita bukan penyakit melainkan suatu kondisi yang melibatkan
berbagai faktor, ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan
ketunagrahitaan.

2.2 Faktor Penyebab Tunagrahita

Pada masa awal perkembangan, hampir tidak ada perbedaan antara


anak tunagrahita dengan anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Akan tetapi
semakin lama perbedaan pola perkembangan Antara anak tunagrahita dengan
anak normal semakin jelas terlihat.

Menurut Efendi (2008: 91) sebab terjadinya ketunagrahitaan pada


seseorang menurut kurun waktu terjadinya, yaitu dibawa sejak ia lahir (faktor
endogen) dan faktor dari luar seperti penyakit atau keadaan lainnya (faktor
eksogen).

Menurut Pratiwi dan Murtiningsih (2013: 49), faktor penyebab


tunagrahita di kelompokkan, sebagai herikut:

1) Faktor genetis atau keturunan yang dibawa dari gen ayah dan ibu.

2) Faktor metabolisme dan gizi yang buruk hal ini terjadi saat ibu sedang
hamil

atau menyusui.

3) Infeksi dan keracunan yang bisa terjadi pada saat kehamilan.

4) Proses kelahiran terdapat beberapa proses kelahiran yang menggunakan alat

5
bantu semacam tang atau catut untuk menarik kepala bayi karena sulit
keluar.

5) Lingkungan buruk diantaranya lemahnya ekonomi dan kurangnya

pendidikan sehingga keadaan kehamilan dan masa menyusui menjadi


kurang

optimal.

Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan ada dua


faktor penyebab tunagrahita yaitu faktor endogen atau faktor dari dalam dan
faktor eksogen atau faktor dari luar. Faktor endogen yaitu faktor
ketidaksempurnaan gen yang dibawa sejak lahir dan faktor eksogen yaitu
faktor yang terjadi akibat perubahan perkembangan.

2.3 Karakteristik Anak Tunagrahita

Tunagrahita merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasannya


mengalarni hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang
optimal. Untuk memudahkan pembuatan program dan pelaksanaan layanan
pendidikan pada anak tunagrahita para guru harus mengenal karaktenstik anak
tunagrahita.

Menurut Efendi (2008: 98) karakteristik yang tampak pada anak


tunagrahita, yaitu:

1) Cenderung memiliki kemampuan berpikir konkret dan sukar berpikir.

2) Mengalami kesulitan dalam konsentrasi.

3) Kemampuan sosialisasinya terbatas.

4) Tidak mampu menyimpan instruksi yang sulit.

5) Kurang mampu menganalisis dan menilai kejadian yang dihadapi.

6) Pada tunagrahita mampu didik, prestasi tertinggi bidang baca, tulis,


hitung

6
tidak lebih dan anak normal setingkat kelas III-IV Sekolah Dasar.

Dan uraian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa karakteristik


anak tunagrahita meliputi keterbatasan inteligensi, keterbatasan sosial dan
keterbatasan fungsi mental lainnya.

2.4 Klasifikasi Tunagrahita

Klasifikasi tuna grahita berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder (DSM IV), dalam a Journey to child neurodevelopment:
Application in daily practice:

a. Tuna grahita ringan tingkat nilai kecerdasan atau Intelligence Quotient


(IQ) 50–55 sampai 70.
b. tuna grahita sedang, tingkat nilai kecerdasan atau Intelligence Quotient (
IQ) 35-40 sampai 50-55
c. tuna grahita berat, tingkat nilai kecerdasan atau Intelligence Quotient ( IQ)
20-25 sampai 35-40
d. tuna grahita sangat berat, tingkat nilai kecerdasan atau Intelligence
Quotient ( IQ) dibawah 20 atau 25
e. tuna grahita dengan keparahan tidak ditentukan jika terdapat kecurigaan
kuat adanya retardasi mental. (Solek, 2010)

Ditinjau dari segi neurologi, ada beberapa penggolongan tuna grahita, antara
lain:

a. Kelompok tuna grahita genetik adalah keterbelakangan mental akibat


kelainan faktor keturunan yang disebabkan oleh:
1. Perubahan jumlah kromosom pada hasil pertumbuhan yang disebut
aborsi
2. Perubahan urutan rantai protein membentuk gen yang disebut mutase
3. Kelainan bentuk pada protein yang membentuk gen disebut deformitas
4. Adanya kekeliruan penempatan dalam urutan protein pembentuk gen
yang disebut translokasi

7
Contoh anak yang mengalami tuna grahita genetik seperti berikut ini:

1. Sindrom down. Ciri-cirinya adalah mata sipit, mata lebar, lipatan


kelopak mata atas lebih dalam, lidah tebal dan menonjol keluar mulut,
jari tangan pendek, telapak tangan lebar dan tebal.
2. Sindrom Turner. Ciri khasnya: leher pendek, badan pendek, dahi
sempit, alat kelamin tidak berkembang normal.
3. Klinerfer Sindrom. Cirinya: Bentuk luarnya lelaki, tetapi alat
kelaminnya tidak sempurna, buah dada membesar
4. Anof Talmus. Cirinya: tidak mempunyai bola mata, celah mata kecil
(mikro cephalis)
5. Kriptof Talmus. Cirinya: bibir sumbing, tanpa celah mata, langit-
langit bercelah, dada gepeng, jari-jari kaki dan tangan melekat satu
sama lain
6. Tuberous Sklerosis. Cirinya: banyak terjadi pada laki- laki, adanya
tumor kelenjar minyak kulit (adeno masebasa), wajah berwarna
kuning.
7. Sindrom Stueger-Werbur Demitri. Cirinya: membesarnya bola mata
satu sisi, sehingga sukar ditutup, dahi banyak ditumbuhi rambut juga
disertai kelumpuhan separuh anggota tubuh yang berlainan
b. Tuna grahita kerusakan otak (Brain Damage)

Tuna grahita akibat kerusakan otak disebabkan oleh sisa radang dari otak,
perdarahan otak terutama waktu melahirkan, kurang cukupnya
pemeliharaan oksigen dan glukosa pada otak terutama pada bayi yang lahir
belum cukup umur, dan keracunan Contoh anak yang mengalami tuna
grahita kerusakan otak, antara lain:

1. Anak Deteksio adalah anak prasekolah yang mengalami sukar untuk


berbicara atau seseorang yang mampu berpikir tetapi tidak mampu
menuliskannya atau menyampaikan dengan kata- kata.
2. Sindrom Etrman, anak ini mengalami kesulitan dalam membilang dan
menulis namun lancar untuk berbicara.

8
3. Sindrom Gertsman, anak ini mengalami kesulitan dalam mengenal
benda melalui perabaan dan tidak mampu menulis dan berhitung juga
mampu membedakan kiri dan kanan.
4. Sindrom Diskontrol, anak ini mengalami kesulitan dalam memberi
dan menerima terhadap ransangan dari luar, ia tidak tuli dan tidak
buta, tetapi lambat sekali dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
c. Tuna grahita fungsional

Tuna grahita fungsional adalah anak- anak terbelakang mental karena


adanya gangguan hubungan pergaulan, gangguan dalam cara mengasuh
atau faktor budaya. Sebab-sebab yang menimbulkan retardasi mental
fungsional antara lain berikut ini:

1. Faktor hereditas
a. Bapak yang hiperaktif waktu masih kecil, menyebabkan anak juga
menjadi hiperaktif
b. Orang tua yang mudah tersinggung waktu masih kecil, maka anak
yang dilahirkan juga mudah tersinggung
c. Usia ibu waktu mengandung lebih dari 35 tahun dengan tekanan
mental
d. Ibu merokok
e. Benturan- benturan mental waktu anak masih berumur 0- 3 tahun,
misalnya orang tua sering gaduh, broken home, dan lain- lain.
2. Fungsi otak, pada anak kelompok ini, menunjukkan kelainan/ ciri- ciri
kerusakan otak minimal.
3. Faktor perilaku. Golongan perilaku tertentu sering menghambat
perkembangan mental anak- anak sehingga meraka mengalami tuna
grahita. Contoh:
a. Menyendiri
b. Agresif
c. Nakal
d. Hiperkinetik

9
e. Autisme
(Iswari dan Nurhastuti, 2010)
2.5 Gejala Klinis tuna grahita

Gejala tuna grahita mental berdasarkan tipe dan umur :

a. Tuna grahita ringan


1. Usia prasekolah 0- 5 tahun : Maturasi dan perkembangan Cara
berjalan, makan sendiri, dan berbicara lebih lambat dibandingkan
anak normal.
2. Usia sekolah 6- 21 tahun : Pelatihan dan pendidikan Mampu
mempelajari keterampilan, membaca serta mempelajari aritmatika
sampai ke tingkat kelas tiga-kelas enam dengan pendidikan khusus,
dapat dibimbing kearah penyesuaian sosial sampai usia mental 8-
12 tahun normal.
b. Tuna grahita sedang
1. Usia prasekolah 0- 5 tahun : Maturasi dan perkembangan
Keterlambatan dapat dilihat pada perkembangan motorik, yaitu
cara berbicara dan berespon tehadap pelatihan dalam berbagai
aktivitas menolong diri.
2. Usia sekolah 6- 21 tahun : Pelatihan dan pendidikan Mampu
mempelajari komunikasi sederhaana, perilaku kesehtan dan
keamanan tingkat dasar serta keterampilan manual sederhana, tidak
mengalami perkembangan dalam membaca atau aritmatika secara
fungsional, usia mental mencapai 3-7 tahun usia mental normal.
c. Tuna grahita berat
1. Usia prasekolah 0- 5 tahun : Maturasi dan perkembangan
Keterampilan komunikasi kurang atau tidak ada, mampu berespon
terhadap pelatihan mengenai perawatan dasar diri sendiri, misalnya
makan sendiri
2. Usia sekolah 6- 21 tahun : Pelatihan dan pendidikan Mempunyai
sedikit pemahaman terhadap percakapan dan sedikit merespon,

10
mampu mengambil manfaat dari latihan kebiasaan yang sistematik,
usia mental mencapai usia mental toddler normal.
d. Tuna grahita sangat berat
1. Usia prasekolah 0- 5 tahun : Maturasi dan perkembangan
Membutuhkan perawatan total.
2. Usia sekolah 6- 21 tahun : Pelatihan dan pendidikan Keterlambatan
pada semua area perkembangan, menunjukkan respon emosional
dasar, mampi berespon terhadap latihan keterampilan dalam
menggunakan lengan, tangan, dan rahang, membutuhkan supervise
ketat, usia mental mecapai usia mental bayi muda normal.
(Wong, D, dkk, 2009)
2.6 Patofisiologi

Penyebab tuna grahita dapat digolongkan menjadi penyebab pranatal,


perinatal, dan pascanatal. Penyebab prenatal termasuk kelainan kromosom
(trisomi 21 [sindrom down], sindrom Fragile-X), gangguan sindrom
(distrofi otot Duchenne, neurofibromatosis [tipe-1] , dan gangguan
metabolisme bawaan (fenilketonuria). Penyebab perinatal dapat
berhubungan dengan masalah intrauterus seperti abrupsio plasenta,
diabetes maternal, dan kelahiran prematur serta masalah neonatal termasuk
meningitis dan perdarahan intrakranial. Penyebab pascanatal mencakup
kondisi- kondisi yang terjadi karena cedera kepala, infeksi, dan gangguan
degeneratif dan demielinisasi.

Sindrom Fragile X, sindrom down, dan sindrom alkohol janin terjadi


pada sepertiga dari kasus retardasi mental. Munculnya masalah-masalah
terkait, seperti paralisis serebral, defisit sensoris, gangguan psikiatrik, dan
kejang berhubungan dengan retardasi mental yang lebih berat. Diagnosis
retardasi mental ditetapkan secara dini pada masa kanak-kanak. Prognosis
jangka panjang pada akhirnya ditentukan oleh seberapa jauh individu
tersebut dapat berfungsi secara mandiri dalam komunitas (yaitu bekerja,
hidup mandiri, keterampilan sosial) (Betz dan Sowden, 2009)

11
Pathway

12
2.7 Komplikasi
1. Paralisis serebral
2. Gangguan kejang
3. Masalah- masalah perilaku/psikiatrik
4. Defisit komunikasi
5. Konstipasi (akibat penurunan motilitas usus akibat obat- obatan
antikonvulsi, kurang mengosumsi makanan berserat dan cairan)
6. Kelainan kongenital yang berkaitan seperti malformasi esophagus,
obstruksi usus halus dan defek jantung
7. Disfungsi tiroid
8. Gangguan sensoris
9. Masalah- msalah ortopedik, seperti deformitas kaki, scoliosis
10. Kesulitan makan
(Betz dan Sowden, 2009).
2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan anak dengan Tuna grahita bersifat multi


dimensional dan sangat individual. Semua anak yang mengalami retardasi
mental juga memerlukan perawatan seperti pemeriksaan kesehatan yang
rutin, imunisasi, dan monitoring terhadap tumbuh kembangnya
(Soetjiningsih, 2012)

a. Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah mengembangkan potensi anak
semaksimal mungkin Sedini mungkin diberikan pendidikan dan
pelatihan khusus, yang meliputi pendidikan dan pelatihan kemampuan
sosial untuk membantu anak berfungsi senormal mungkin
(Utaminingsih, 2015). Berikut ini adalah obat- obatan yang dapat
digunakan:
1. Obat- obat psikotropika (misalnya: tioridazin, [Mellaril] ,
haloperidol [Haldol] untuk remaja dengan perilaku yang
membahayakan diri sendiri.

13
2. Psikostimulan untuk remaja yang menunjukkan tanda-tanda defisit
perhatian/ hiperaktivitas( misalnya: metilfenidat [Ritalin])
3. Antidepresan (misalnya: fluoksetin [Prozac])
4. Obat untuk perilaku agresif (misalnya: karbamazepin [Tegretol])
b. Terapi Bermain
Anak yang mengalami kerusakan kognitif mempunyai
kebutuhan yang sama terhadap rekreasi dan olahraga seperti anak
lainnya. Namun, karena perkembangan anak yang lebih lambat,
orang tua kurang menyadari kebutuhan untuk memenuhi aktivitas
tersebut. Dengan demikian, perawat mengarahkan orang tua untuk
memilih permainan dan aktivitas olahraga yang sesuai. Jenis
permainan didasarkan pada usia perkembangan anak, walaupun
kebutuhan terhadap permainan sensorimotorik dapat diperpanjang
sampai beberapa tahun.
Orang tua harus menggunakan setiap kesempatan untuk
memperkenalkan anak kepada banyak suara, pandangan, dan sensasi
yang berbeda. Permainan yang sesuai meliputi suara musik yang
bergerak, mainan yang diisi, bermain air, menghanyutkan mainan,
kursi atau kuda yang dapat bergoyang, bermain ayunan, bermain
lonceng, dan bermain mobil-mobilan. Anak harus dibawa bermain
keluar, misalnya jalan-jalan ke toko makanan atau pusat
pembelanjaan; orang lain harus diberi semangat umtuk berkunjung
kerumah; dan anak seharusnya berhubungan langsung, misalnya
mendekap, memeluk, mengayun, berbicara kepada anak dalam posisi
menatap wajah (wajah-ke-wajah), dan menaikkan anak diatas bahu
orangtua.
Mainan dipilih berdasarkan manfaat rekreasi dan
edukasionalnya. Sebagai contoh, sebuah bola pantai besar yang
dapat dikempeskan merupakan mainan air yang baik;yang
mendorong permainan interaktif dan dapat digunakan untuk
mempelajari keterampilan motorik, misalnya keseimbangan,

14
mengayun, menendan, dan melempar. Boneka dengan pakaian yang
dapat diganti dan jenis kancing yang berbeda dapat membantu anak
mempelajari keterampilan berpakaian. Mainan musical yang dapat
meniru suara hewan atau merespon dengan frase sosial merupakan
cara yang sempurna untuk mendorong bicara. Mainan harus
dirancang secara sederhana sehingga anak dapat belajar memainkan
mainan tersebut tanpa bantuan.
Bagi anak yang mengalami gangguan kognitif dan fisik berat,
tombol elektronik dapt digunakan untuk memungkinkan anak
mengoperasikan mainan tersebut. Aktivitas yang sesuai untuk
aktivitas fisik berdasarkan pada ukuran tubuh, koordinasi, kesegaran
jasmani dan maturitas, motivasi, dan kesehatan anak. (Wong, 2009)

15
2.9 ANALISIS JURNAL
No Penulis
(Tahun dan Judul Tujuan Metode Responden Hasil
Kode)
1. Haryono, Y. Penerapan Tujuan penelitian Desain: Subjek penelitian Berdasarkan hasil analisis data
Setroyini. Terapi Gerak ini adalah untuk Quasi sudah ditentukan penelitian dapat disimpulkan
Windrawanto, Tari Untuk mengetahui eksperimen yaitu berjumlah bahwa terapi gerak tari dapat
Y. Menurunkan signifikansi dengan two 3 orang anak menurunkan gangguan motorik
2019 Gangguan penerapan terapi paired sample tunagrahita yang anak tunagrahita di SLB
ISSN: 1829- Motorik Anak gerak tari t-test masing-masing Wantuwirawan Salatiga yang
877X Tunagrahita dalam memiliki terbukti dengan hasil Asymp.sig
menurunkan Sampling: gangguan motorik (2 tailed) sebesar 0,034
gangguan motorik Simple random yang berbeda, AR (p<0,05). Hasil penelitian
anak tunagrahita sampling (gangguan terbukti efektif untuk
di SLB hiperaktivitas), menurunkan gangguan motorik
Wantuwirawan Instrumen: BY yang dialami anak tunagrahita.
Salatiga. Pedoman (gangguan Subjek AR, BY dan AZ
observasi hipoaktivitas), AZ mampu mengubah perilaku non-

16
gangguan (gangguan kurang adaptif yang mereka miliki,
motorik dari koordinasi gerak). menjadi perilaku yang adaptif.
teori Asjjari Ketiga subjek Ketiga subjek penelitian ini
penelitian mampu berperilaku sesuai dengan
ini berusia 16-18 aturan-aturan di lingkungan
tahun, namun sekolah, misalnya bersikap
memiliki tingkat tenang, fokus atau konsentrasi
perkembangan dalam hitungan 10-15 menit,
yang tidak sesuai mengatur emosi yang
dengan berlebihan (sedih, marah,
anak seusianya, gembira dan lain sebagainya). Hal
perkembangannya ini mendukung teori menurut
setara dengan Delphie (2006) terapi gerak tari
anak di tingkat mampu memberikan rasa
sekolah dasar. kegembiraan, pencapaian atas
pengendalian gerak tubuh dan
dapat meningkatkan kemampuan
emosional, sosial serta kognitif
anak tunagrahita. Namun, peneliti

17
mengamati jika layanan terapi
gerak tari ini tidak dilakukan
secara rutin, maka subjek akan
kembali ke kondisi awal
dengan gangguan motorik yang
dialaminya (hiperaktivitas,
hipoaktivitas, dan kurang
koordinasi).
2. Cahyani, N. Pembelajaran 1. Kondisi motorik Desain: 3 orang siswi Hasil penelitian ini menunjukkan
Yuwono, J. Tari Kreasi kasar anak Eksperimen tunagrahita di bahwa terdapat peningkatan
Mulia, D. Perahu Layar sebelum dengan SKu Al Kautsar dalam motorik kasar siswa
(2018) Untuk diberikan pendekatan one dengan menggunakan
ISSN 2443- Meningkatkan perlakuan group protest pembelajaran tari kreasi perahu
1389 Kemampuan (treatment) posttest design. layar. Hal ini dapat dilihat
Motorik Kasar pembelajaran terdapatnya peningkatan nilai
Anak tari kreasi Sampling: rata-rata pretest dan juga posttest
Tunagrahita 2. Kondisi motorik Probability yang diperoleh oleh siswa.
Pada Skh Al kasar anak pada sampling Hasil penelitian juga
Kautsar Kota saat diberikan menunjukkan bahwa setelah

18
Cilegon perlakuan Instrumen: memberikan perlakuan
(treatment) 1. Observasi (treatment)
pembelajaran (skala tari kreasi perahu layar
tari kreasi kategori diperoleh peningkatan rata-rata
3. Kemampuan kemampuan) nilai dari
motorik kasar 2. Tes 34,02 % menjadi 72, 22 %.
anak setelah 3. Dokumentasi
diberikan
perlakuan
pembelajaran tari
kreasi.
3. Azmi Azizah, Pengaruh Tujuan penelitian Desain: Seorang anak Hasil penelitian menunjukkan
2016 Gerak Irama ini adalah untuk Penelitian ini anak tunagrahita bahwa setelah diberikan
Terhadap memperoleh menggunakan sedang kelas IV intervensi gerak irama, subjek
Peningkatan gambaran dan pendekatan SD di SLB Bina mengalami peningkatan
Kemampuan informasi kuantitatif. Asih Cianjur. kemampuan orientasi arah. dalam
Orientasi Arah mengenai pengaruh Desain yang orientasi arah mulai dari fase awal
Pada Anak gerak irama digunakan baseline-1 (A1) yaitu 59%
Tunagrahita terhadap adalah A-B-A kemudian meningkat di fase

19
Sedang Di peningkatan yang terdiri dari intervensi (B) menjadi 72% dan
SLB Bina kemampuan tiga fase yaitu meningkat lagi di fase baseline-2
Asih Cianjur orientasi arah anak baseline-1(A1), (A2) menjadi 77%. Sehingga
tunagrahita sedang intervensi (B), dapat disimpulkan bahwa gerak
di SLB Bina Asih dan baseline-2 irama berpengaruh terhadap
Cianjur. (A2). peningkatan kemampuan orientasi
arah anak tunagrahita sedang
Sampling:
Single subject
research.

Instrumen:
Instrumen yang
digunakan
dalam
penelitian ini
berupa tes
perbuatan.
Pengukuran

20
dilakukan pada
kondisi
baseline1,
intervensi dan
baseline 2.

21
2.10 Pembahasan Analisis Jurnal

Gerakan tari telah terbukti dapat meningkatkan kemampuan motorik dari


anak tunagrahita dibuktikan dengan 3 jurnal yang telah kelompok analisa
yang menyatakan hal tersebut. Terapi dengan tari merupakan metode
pendidikan yang mempergunakan perpindahan gerak dalam setiap
program penyembuhan atau program pengajaran di sekolah. Program
terapi dalam tarian dapat meningkatkan gerakan tubuh secara
menyeluruh, pola-pola berbicara, daya gerak ditempat atau
locomotion, kemampuan untuk bergaul. Terapi dengan tari (dance
therapy) berguna untuk peningkatan fisik dan perkembangan sosial
anak-anak yang berkelainan karena adanya program pengajaran yang
meliputi:

a. Orientasi gerak yang berubah-ubah atau perpindahan gerak


b. Penggalian unsur-unsur perpindahan gerak
c. Dasar-dasar suatu tarian
d. Irama gerak
e. Tari-tarian tradisional atau daerah.

22
BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN
3.1 Persiapan Kegiatan

1. Membuat kontrak kerja dengan guru


2. Menjelaskan tujuan dan pelaksanaan kegiatan
3. Membuat kontrak waktu pelaksanaan kurang lebih 1 jam
4. Menjelaskan kegiatan dan terapi yang akan dilaksanakan
5. Mempersiapkan hadiah untuk anak
6. Mempersiapkan alat
7. Mempersiapkan tempat
3.2 Pelaksanaan
NO WAKTU KEGIATAN PESERTA
1 5 menit Pembukaan: 1. Menjawab salam
1. Membuka kegiatan dengan 2. Mendengarkan
mengucapkan salam.
3. Memperhatikan
2. Memperkenalkan diri.
4. Memperhatikan
3. Menjelaskan tujuan dari
terapi bermain.
4. Kontrak waktu dengan
anak.
2 15 menit Pelaksanaan: 1. Memperhatikan
1. Menjelaskan tata cara 2. Antusias saat
pelaksanaan terapi menari melihan contoh
pada anak. tariannya
2. Memberikan contoh 3. Mulai mengikuti
terlebih dahu kepada anak Gerakan tarian
bagaimana tarian yang akan
4. Menjawab
dilakukan.
pertanyaan
3. Fasilitator mendampingi
5. Mendengarkan
anak dan memberikan
motivasi kevada anak untuk 6. Memperhatikan
mengikuti gerakan.
4. Menanyakan kepada anak,
apakah merasa senang dan

23
bisa mengikuti tarian yang
diperlihatkan.
5. Memberitahu kepada anak
bagwa waktu bermain telah
selesai.
6. Memberikan pujian
terhadap semua anak yang
mampu mengikuti kegiatan
hingga selesai.
3 5 menit Evaluasi: 1. Mnceritakan
1. Memotivasi anak untuk 2. Gembira
mengungkapkan apa yang
dirasakan setelah terapi.
2. Membagikan reward
kepada seluruh peserta.
4 5 menit Terminasi: 1. Memperhatikan
1. Membarikan motivasi dan 2. Mendengarkan
pujian kepada seluruh anak
3. Menjawab salam
yang telah mengikuti
program terapi bermain.
2. Mengucapkan terimakasih
kepada anak.
3. Mengucapkan salam
penutup.

3.3 Evaluasi
1. Seluruh klien antusias terhadap terapi aktivitas menari yang diberikan
2. Seluruh klien mengikuti terapi aktivitas menari dari awal sampai akhir
3. Seluruh klien mengikuti gerakan menari walapun kadang gerakannya
kurang selaras dengan yang dicontohkan oleh perawat didepan
4. Setelah menari terdapat klien yang mengungkapkan bahwa dirinya
merasa senang dengan kegiatan tersebut. Sedangkan yang tidak mampu
mengungkapkan perasaan, raut wajah klien terlihat lebih ceria dan
gembira.

24
3.4 Hasil

Berdasarkan hasil observasi yang di lakukan pada anak Tunagrahita di


SLB Negeri Cileunyi terbukti bahwa dengan terapi aktifitas menari efektif
untuk menurunkan gangguan motorik yang dialami anak Tunagrahita klien
mampu mengkoordinasikan gerak kaki, tangan secara bersamaan dan
mampu sedikit mengontrol kecepatan/tempo, klien juga mampu bersikap
tenang dan fokus mengikuti intruksi yang di berikan oleh perawat.

3.5 Pembahasan

Dalam kegiatan terapi gerak tari ini, peneliti menggunakan sarana tari
kreasi Senam Ayam jago. Peneliti menggunakan tarian ini karena tarian
Senam Ayam jago ini terdiri dari beberapa gerakan yang energik. Hal ini
dirasa sesuai dengan kebutuhan subjek penelitian yang memerlukan
eksplorasi gerak tubuh agar tidak kaku dan melatih konsentrasi. Terapi
gerak tari ini juga menggunakan media tari berupa alat boks music. Tujuan
dari digunakannya alat berupa boks musik ini adalah agar subjek
terangsang untuk lebih tertarik dalam mengikuti kegiatan terapi.

Seni tari adalah seni yang berasal dari gerakan tubuh yang biasanya
diiringi dengan musik. Tarian dapat menunjukan ekspresi ataupun
emosional si penari. Untur utama dalam seni tari adalah gerak tubuh
manusia dan tidak lepas juga dengan irama, ruang, dan waktu. Bagi
manusia normal untuk bergerak mengikuti akunan musik tidaklah sulit,
akan berbeda dengan anak yang memiliki kebutuhan khusus. Anak-anak
yang erlahir dengan kondisi berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan
dalam berbagai hal, salah satunya kesulitan untuk bergerak mengikuti
suara musik (motorik). Akan tetapi bukan berarti mereka tidak memiliki
bakat di bidang seni tari. Dengan dilaksanakannya seni tari akan menjadi
salah satu terapi bagi anak berkebutuhan khusus (Tanjung,2021).

Dalam hal ini mahasiswa dan guru harus memiliki kesabaran dan
keuletan dalam melatih gerak tari pada anak berkebutuhan khusus. Selain
untuk motorik, seni tari juga melatih anak-anak dalam meningkatkan rasa

25
percaya diri pada anak. Dengan seni tari anak berkebutuhan khusus dapat
melakukan habi sekaligus menjadi sarana terapi yang bisa dilakukan kapan
saja (Tanjung,2021).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh


Refanda & Noordiana (2021) yang berjudul “Seni Tari sebagai Terapi
pada Anak Tunagrahita di SMA Negeri 4 Sidoarjo” bahwa seni tari
sebagai terapi pada anak tunagrahita menghasilkan rasa kepercayaan diri,
menambah fokus belajar, meningkatkan kratifitas anak tunagrahita saat
mengikuti terapi selalu dilakukan gerak bebas dengan iringan yang sudah
disediakan guru, memingkatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan
bekerja sama dengan orang lain.

Hasil penelitian ini juga mendukung beberapa penelitian yang sudah


ada, seperti hasil penelitian Haryono, Y. Setroyini. Windrawanto, Y.
(2019), Cahyani, N. Yuwono, J. Mulia, D. (2018), serta Azmi Azizah
(2016) bahwa terapi gerak tari ini dapat menurunkan gangguan motorik.
Namun yang membedakan hasil penelitian ini dengan penelitian
relevan lainnya adalah subjek yang diteliti. Peneliti menemukan
permasalah gangguan motorik ini terhadap anak-anak tunagrahita yang
berusia remaja namun memiliki tingkat perkembangan yang lambat. dapat
dilihat pada bidang keilmuannya, penelitian relevan yang ada memiliki
latar belakang bidang keilmuan psikologi, keperawatan anak (kesehatan)
dan pendidikan luar biasa serta seni tari. Peneliti mencoba untuk
menjadikan terapi gerak tari ini sebagai layanan bimbingan untuk
membantu anak-anak tunagrahita dapat berperilaku adaptif sesuai dengan
lingkungan di keluarga, sekolah dan di masyarakat.

Hasil penelitian terbukti efektif untuk menurunkan gangguan motorik


yang dialami anak tunagrahita. Subjek mampu mengubah perilaku non-
adaptif yang mereka miliki, menjadi perilaku yang adaptif. subjek
penelitian ini mampu berperilaku sesuai dengan aturan-aturan di
lingkungan sekolah, misalnya bersikap tenang, fokus atau konsentrasi dan
mengatur emosi yang berlebihan (sedih, marah, gembira dan lain

26
sebagainya). Namun, peneliti mengamati jika layanan terapi gerak tari ini
tidak dilakukan secara rutin, maka subjek akan kembali ke kondisi awal
dengan gangguan motorik yang dialaminya.

Dalam hasil kegiatan terapi gerak tari ini, peneliti menggunakan sarana
tari kreasi Senam Ayam jago anak-anak SLB Negeri Cilenyi berantusias
mengikuti gerakan gerakan yang dilakukan peneliti dengan iringan musik
ayam jago. Pada saat musik selesai juga anak-anak di SLB Negeri Cilenyi
juga meminta untuk di ulangi lagi, Peneliti menggunakan tarian ini karena
tarian Senam Ayam jago ini terdiri dari beberapa gerakan yang energik.
Hal ini dirasa sesuai dengan kebutuhan subjek penelitian yang
memerlukan eksplorasi gerak tubuh agar tidak kaku dan melatih
konsentrasi. Tujuan dari digunakannya alat berupa musik ini adalah agar
subjek terangsang untuk lebih tertarik dalam mengikuti kegiatan terapi.
Hasilnya anak anak di SLB Negeri Cilenyi merasa senang dan tidak ada
yang mengalami kecemasan atau ketakutan.

27
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Anak Tunagrahita disebut sebagai anak dengan hambatan


perkembangan yang memiliki gangguan pada motorik yaitu berupa,
kekakuan dan gangguan keseimbangan gerak. Keseimbangan gerak pada
anak tunagrahita ini perlu dilatih salah satunya dapat dilatih dengan terapi
gerak tari. Terapi gerak tari dengan menggunakan gerakan tarian sebagai
komunikasi non verbal dan peningkatan kesadaran, terapi gerak tari
mampu untuk membimbing anak tunagrahita agar dapat menyesuaikan diri
dengan keadaan sekitar dan dapat menurunkan gangguan motorik.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di SLB Negeri Cileunyi


pada anak Tunagrahita dengan terapi aktivitas menari dapat
diimplementasikan untuk menurunkan gangguan motorik berupa
mengkoordinasikan gerakan tangan dan kaki pada anak Tunagrahita. Anak
Tunagrahita mampu mengikuti instruksi yang dicontohkan meskipun
hanya sebagian karna keterbatasannya dalam melakukan gerakan-gerakan.

4.2 Saran
1. Bagi Pendidikan

Hasil kegiatan ini diharapkan dapat menambah informasi bagi dinas


Pendidikan mengenai terapi gerak tari yang telah terbukti dapat
meningkatkan kemampuan motorik dari anak tunagrahita.

2. Bagi Keperawatan

Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan mutu pelayanan kepada


pelayanan keperawatan dalam melakukan terapi gerak tari pada anak
tunagrahita dan dapat diaplikasikan dalam praktik keperawatan,
khususnya keperawatan anak dan keperawatan komunitas yang
komprehensif agar gangguan motorik pada anak tunagrahita membaik
tetapi harus didampingi oleh terapi lain.

28
3. Bagi Sekolah Luar Biasa

Hasil kegiatan ini diharapkan dapat menjadi role model yang bisa
digunakan sebagai terapi tambahan disekolah luar biasa dan
didampingi oleh terapi lain.

29
DAFTAR PUSTAKA

Betz, C. L. & Sowden, L. A. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5.


Jakarta: EGC.

Dani, Robik Anwar dkk. 2017. Efek Penerapan Terapi Gerakan Tari Dalam
Menurunkan Hiperaktivitas Pada Anak ADHD. Prosiding Temu Ilmiah X
Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia. (267-279). Semarang: Hotel
Gracia.

Efendi, Mohammad. 2008. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta:


Bumi Aksara.

Gruenberg, Ann M dan Miller, Regina. 2011. A Practical Guide to Early Childhod
Inclusion (Effective Reflection). Boston. Pearson Eduction, Inc.

Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik. (2010). Pedoman Pelayanan


Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan.
Retrieved from
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//123456789/1438/1/BK20
11- 1211-A.

Iswari, Mega & Nurhastuti. 2010. Anatomi Fisiologi dan Neorologi Dasar
(Dasar- dasar Ilmu Faal dan Saraf untuk PLS). Padang: UNP Press.

Kementerian Sosial Republik Indonesia. 2018. Merangsang Tumbuh Kembang


Anak dengan Bermain. Pusat Penyuluhan Sosial.
http://puspensos.kemsos.go.id/home/br/692

Kosasih. 2012. Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus Bandung:


Yrama Widya.

Mangunsong, Frieda. 2014. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan


Khusus. Jilid Kesatu. Depok: LPSP3 UI.

Octaviani et al (2019). Penerapan trapi gerak tari untuk menurunkan gangguan


motorik anak tunagahitra. Jurnal Mimbar Ilmu, Vol. 24 N0. 1, 2019

30
Pratiwi, Ratih Putri & Murtiningsih, Afin. 2013. Kiat Sukses Mengasuh Anak
Berkebutuhan Khusus. Maguwoharjo: Ar-ruzz Media.

Rahmawati, dkk. 2018. Menari Sebagai Media Dance Movement Therapy (DMT).
Jurnal Pendidikan dan Kajian Seni. 3(1): 31-46.

Refanda, A. S., & Noordiana, N. (2021). SENI TARI SEBAGAI TERAPI PADA
ANAK TUNAGRAHITA DI SMA NEGERI 4 SIDOARJO. Jurnal
Pendidikan Sendratasik, 10(2), 208-223.

SDKI. 2016. Definisi dan indikator diagnostik 2016-2017 edisi 1. Jakarta: Tim
Pokja SDKI DPP PPNI

Soetjiningsih, Ranuh Gde. 2016. Tumbuh Kembang Anak Edisi 2. Jakarta: EGC

Tanjung, Sherli. (2021, Agustus 28). Seni Tari sebagai Sarana Terapi Bagi Siswa
SLB Autisma YPPA. Solok

Wong, D.L, dkk. 2008. Buku ajar keperawatan pediatrik edisi 6. Jakarta: EGC

Yusri, N. 2017. Penyimpangan perilaku seksual pada remaja tunagrahita.


Jurnal psikologi islam. Vol 8, No 1

31
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2
LAMPIRAN 3
LAMPIRAN 4
DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai