ASMA
ASMA
ASTHMA
Dokter Pembimbing :
Disusun Oleh :
Yucky Hendrawan
22710043
Disusun Oleh :
HARI :…………………………………………
TANGGAL :…………………………………………
MENGETAHUI
DOKTER PEMBIMBING
2
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan laporan kasus
ini.
Laporan kasus ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna
mengikuti ujian utama SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi sebagai
Dokter Muda di RSU Dr.Wahidin Sudiro Husodo. Penulis menyadari bahwa
laporan kasus ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu
yang tidak terbatas.
Terselesaikannya laporan kasus ini tentunya tak lepas dari dorongan dan
uluran tangan berbagai pihak. Oleh karena itu, tak salah kiranya bila penulis
mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Prof. Dr. Suhartati, dr., MS , Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya yang telah memberi kesempatan kepada penulis menuntut
ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
2. dr. Andi Wijayanto, Sp. P selaku pembimbing lapsus di RSU dr.Wahidin
Sudiro Husodo yang telah memberikan banyak ilmunya kepada penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas ini dengan maksimal.
3. Orang tua penulis serta semua keluarga yang selalu mendukung dan
memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan laporan kasus
ini.
4. Teman-teman pendidikan Dokter Umum angkatan 2022 yang telah banyak
membantu menyelesaikan laporan kasus ini.
5. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Semoga Tuhan YME membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang
telah membantu penulis guna menyelesaikan laporan kasus ini dengan
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.
Penulis
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................2
KATA PENGANTAR.......................................................................................................3
DAFTAR ISI......................................................................................................................4
1.1 Identitas....................................................................................................................5
1.2 Anamnesa.................................................................................................................5
1.6 Planning.................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................40
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Usia : 59 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
1.2. ANAMNESA
Sesak napas
Pasien datang ke IGD keluhan sesak napas sejak 3 hari yang lalu terus
Riwayat sesak sejak lama > 10x/bulan. Terakhir kontrol Juli 2022. Riwayat
- DM (-)
5
- HT (-)
- HT (-)
- DM (-)
- Merokok (-)
GCS : 4-5-6
TTV
RR : 26 x/menit
Suhu : 36,4°C
SpO2 : 99%
STATUS GENERALIS
Kepala/Leher
Kepala
- A/I/C/D: -/-/-/-
6
- Hidung: pernapasan cuping hidung (-)
- Mulut: sianosis (-), mukosa mulut pucat (-), gusi berdarah (-)
Leher
- Massa: (-)
THORAX
Paru :
Jantung:
Abdomen:
- Inspeksi: Flat
- Palpasi: Soefl, nyeri tekan (-), turgor kulit lambat, splenomegaly (-),
hepatomegaly (-)
7
- Perkusi: Timpani
Ekstremitas :
Odem -/-
8
Hasil pemeriksaan laboratorium 22 Februari 2023
Kimia Darah
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Glukosa Sewaktu 114 mg/dL 50-90
Kalsium H 21,5 mg/dL 8,80-10,80
Natrium mmol/L 136,0-145,0
Kalium mmol/L 3,5-5,1
Chlorida Darah mmol/L 98,0-107,0
Imunoserologi
Antigen SARS-COV2 Negatif Negatif
Kimia Darah
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Bilirubin Total 0,68 mg/dL <1,1
Bilirubin Direk 0,17 mg/dL <0,2
SGOT (AST) 17 U/L 0 – 35
SGPT (ALT) 24 U/L 0 – 35
Albumin 3,8 g/dL 3,4-4,8
9
1.6 PLANNING
1.7 FOLLOW UP
S O A P
Keluhan
10
TTV
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
12
Sedangkan, pemberian ASI dan kontak dengan unggas merupakan faktor protektif
terhadap kejadian asma.
+
Sedikitnya ada dua jenis T3helper (Th1 dan Th2), limfosit subtype CD4
telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T
mensekresi interleukinH3 (ILH3) dan granulocyte macrophage colonystimulating
factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF dan TNF-α
Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma,
yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2
bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat ataupun
cell3 mediated.
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresentasikan oleh selHsel aksesoris, yaitu suatu proses
13
yang melibatkan molekul major histocompatibility complex (MHC kelas II
pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik
merupakan antigen presenting cells (APC) yang utama dalam saluran
respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang,
membentuk jaringan luas, dan selHselnya saling berhubungan pada epitel
saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan sel-sel
limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi
sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap,
sel dendritik pindah ke daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat
tersebut, dengan pengaruh sitokinHsitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang
sebagai APC yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi sel T
naïveHTh0 menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokinHsitokin yang
termasuk dalam klaster gen 5q31-33 (IL34 genecluster)
14
eosinofil. Tingkat keberadaannya pada mukosa saluran respiratori pasien
asma berkorelasi dengan aktivasi sel limfosit T dan eosinofil.
15
Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi factor-faktor pertumbuhan,
kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos
saluran respiratori, meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, serta
memperbanyak vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf.
Peningkatan deposisi matriks molekul, termasuk kompleks proteoglikan pada
dinding saluran respiratori, dapat diamati pada pasien yang meninggal karena
asma dan hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet
kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang
kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pada pasien asma
memperlihatkan perubahan struktur yang bervariasi yang dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratori. Selama ini, asma dipercaya sebagai
suatu obstruksi saluran respiratori yang bersifat reversibel. Pada sebagian
besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran
dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi steroid. Akan tetapi,
beberapa pasien asma mengalami obstruksi saluran respiratori residual yang
dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala.
16
sembuh sempurna setelah terapi steroid hirupan.2,7,8
2.4.2 Patofisiologi
17
menjadi satuHsatunya gejala asma yang ditemukan.
Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak
faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot
polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi.
Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan
leukotrien C4 dari sel mast, neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan
asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot polos saluran
respiratori diperkuat oleh penebalan dinding saluran respiratori akibat edema
akut, infiltrasi selHsel inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan
hipertrofi kronik otot polos, vaskular, dan selHsel sekretori, serta deposisi
matriks pada dinding saluran respiratori. Selain itu, hambatan saluran
respiratori juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan
lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar
melalui mikrovaskular bronkus, dan debris selular.
18
bronkus (airway remodeling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi
dicetuskan oleh berbagai faktor, termasuk alergen, virus, olahraga, dll. Faktor
tersebut juga menimbulkan respons hiperreaktivitas pada saluran respiratori
penderita asma. Inflamasi dan hiperreaktivitas menyebabkan obstruksi saluran
respiratori. Meskipun perubahan patofisiologis yang berkaitan dengan asma
pada umumnya reversibel, penyembuhan sebagian/parsial dapat terjadi.
19
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang
diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma
berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan
produksi sputum. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB)
dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan
karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma.
Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:
• Gejala timbul secara episodik atau berulang.
• Timbul bila ada faktor pencetus.
- Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu
dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa,
pengawet makanan, pewarna makanan.
- Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
- Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold,
rinofaringitis
- Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
• Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu,
bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari
(nokturnal).
• Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau
dengan pemberian obat pereda asma.2
20
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas
akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau
adanya atopi pada pasien. Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji
reversibilitas dan untuk menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat
dilakukan pemeriksaan dengan peak flowmeter
• Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE
spesifik.
• Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric oxide),
eosinofil sputum.
• Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin
hipertonik.
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk
mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto
sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks gastro esofagus, uji keringat, uji
gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks, endoskopirespiratori
(rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).
21
2.6 Diagnosis Banding Asthma
Gejala asma tidak patognomonik, dalam arti dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit lain sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan
diagnosisbanding.
Inflamasi: infeksi, alergi
• Rinitis, rinosinusitis
• Chronic upper airway cough syndrome
• Infeksirespiratoriberulang
• Bronkiolitis
• Aspirasiberulang
• Defisiensi imun
• Tuberkulosis
Obstruksi mekanis
• Laringomalasia, trakeomalasia
• Hipertrofitimus
• Pembesaran kelenjar getah bening
• Aspirasi benda asing
• Vascularring, laryngeal web
• Disfungsi pita suara
• Malformasi kongenital saluran respiratori
Patologi bronkus
• Displasiabronkopulmonal
• Bronkiektasis
• Diskinesia silia primer
• Fibrosiskistik
Kelainan sistem organ lain
• Penyakit refluksgastroesofagus(GERD)
• Penyakit jantung bawaan
• Gangguan neuromuskular
• Batuk psikogen
22
2.7 Klasifikasi Asthma
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi
yang sangat luas. Atas dasar itu, ada berbagai cara
mengelompokkan asma.
Berdasarkan umur
• Asma bayi– baduta (bawah dua tahun)
• Asma balita (bawah lima tahun)
• Asma usia sekolah (5-11 tahun)
• Asma remaja (12-17 tahun)
Berdasarkan fenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan yang
serupa dalam aspek klinis, patofisologis, atau demografis.
• Asma tercetus infeks ivirus
• Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
• Asma tercetus alergen
• Asma terkait obesitas
• Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)
23
penentuan tata laksana.
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai
kombinasi dari gejala-gejala tersebut.
24
2.7.1 Kriteria penentuan derajat asma
Keterangan:
1. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah
dibuat diagnosis kerja asma dan dilakukan tata laksana
umum (pengendalian lingkungan, penghindaran pencetus)
selama 6 minggu.
2. Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak
kunjungan awal, tatalaksanadapatdilakukan
sesuaiklasifikasi.
3. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal
penetapan jenjang tata laksana jangka panjang.
4. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan,
masukkan ke dalam klasifikasi lebih berat.
25
Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tata laksana
umum yaitu penghindaran pencetus, pereda, dan tata laksana penyakit
penyulit.
2. Diagnosis klasifikasi kekerapan
Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila informasi
klinis sudah kuat.
3. Diagnosis derajat kendali
Dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal
sesuai klasifikasi kekerapan
26
Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide
yang diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat steroid inhalasi
yang baru, efek sistemik minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit
dibanding preparat steroid inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya
dibanding preparat yang lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
2. Agonis β2 kerja panjang (long acting β2-agonist, LABA )
Agonis β2 kerja panjang digunakan bersama steroid inhalasi. Kombinasi
Agonis β2 kerja panjang dengan steroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan
menurunkan angka kekambuhan asma.
3. Antileukotrien
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umu tidka lebih
unggul dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali
tinggal, efeknya lebih rendah dibandingkan steroid inhalasi. Kombinasi steroid
inhalasi-leukotrien dapat menurunkan angka serangan asma dan menurunkan
kebutuhan dosis steroid inhalasi.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai preparat tunggal atau diberikan
sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun.
Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali
asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma
27
persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih dianjurkan karena kemampuan
absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi teofilin lepas lambat
bervariasi antar individu sehingga pada penggunaan jangka lama kadar teofilin
dalam plasma erlu dimonitor. Efek samping teofilin lepas lambat terutama
timbul pada dosis tingg, diatas 10mg/kgbb/hari, bisa berupa mual, muntah,
anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia, nyeri perut, dan diare.
5. Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE)
Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu mengurangi
kadar IgE bebas dalam serum. Pad aorang dewasa dan anak di atas usia 5
tahun, omalizumab dapat diberikan pada pasien asma yang telah mendapat
steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis β2 kerja panjang namun masih sering
mengalami eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi. Karena adanya risiko
anafilaksis, omalizumab seharusnya dibawah pengawasan dokter spesialis.
28
Jenjang pengendalian asma
Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit asma
berdasarkan kekerapan atau episodik dan derajat kendali. Setelah dilakukan
tatalaksana umum berupa penghindaran pencetus, klasifikasi kekerapan asma
dapat ditentukan dalam waktu enam minggu. Pada asma intermitten tidak
dibutuhkam tatalaksana asma jangka panjang sesuai dengan jenjang 1, sedangkan
pada asma persisten dilakukan tatalaksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2
sampai jenjang 4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk menaikan atau
menurunkan jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma. Diagnosis derajat
kendali dibuat setelah 6 minggu menjalani tatalaksana jangka panjang awal sesuai
klasifikasi kekerapan atau episodik.
Pemberian steroid inhalasi sebagai tatalaksana asma jangka panjang harus
dipertimbangkan pada pasien asma dengan salah satu dari kriteria berikut:
mengalami serangan asma pada dua tahun terkahir, penggunaan obat pereda asma
≥3 kali dalam satu minggu, terbagun karena serangan asma 1 kali dalam satu
minggu.
Gambar 5. Jenjang dalam tatalaksana asma janga panjang pada anak usia > 5 tahun
Keterangan:
1. Acuan awal penetapan jenjang tatalaksana janga panjang menggunakan
klasifikasi kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tatalaksana sudah berlangsung selama 6-8minggu
dan asma belum terkendali, maka tatalaksana naik jenjang ke atasnya (step
up)
29
3. Bila suatu jenjang dalam tatalaksana sudah berlangsung selama 8-12
minggu dan asma terkendali peuh, maka tatalaksana turun jenjang
kebawahnya (step down).
4. Perubahan jenjang tatalaksana harus memperhatikan aspek-aspek
penghindaran penyakit penyerta.
5. Pada jenjang 4, jika belum terkendali, tatalksana ditambahkan
omalizumab.
30
bronkus lewat peningkatan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di
saluran napas.
3. Aminofilin intravena
Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan serangan asma berat atau
dengan ancaman henti napas yang tidak berespon terhadap dosis maksimal
inhalasi β2 agomis dan steroid sistemik. Dosis yang direkomendasikan yaitu
dengan dosis inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit
dilanjutkan dengan pemberian rumatan secara drip 1 mg/kg/jam. Loading 1
mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL. Untuk efek
terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/mL.
Oleh karena itu kadar aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah
loading dose diberikan.
4. Steroid sistemik
Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan dan
mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan untuk diberikan pada semua
jenis serangan. Jika meungkinkan, steroid oral diberikan dalam 1 jam
pertama. Pemberian peroral sama efektifnya dengan pemberian secara
intravena. Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per
oral dengan dsis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40
mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama pemberian 3-5 hari tanpa
tappering off.
5. Adrenalin
Apabila tidak tersedia obat-obatan lain, dapat digunakan adrenalin. Epinefrin
(adrenalin) intramuskular diberikan sebagai terapi tambahan pada asma yang
berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema dengan dosis 10 ug/kgBB
(0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0,5 ml).
6. Magnesium sulfat
Pada penelitian multisenter didapatkan hasil bahwa pemberian magnesum
sulfat (MgSO4) intravena 50 mg/kgBB (inisial) dalam 20 menit yang
31
dilanjutkan dengan 30 mg/kgBB/jam mempunyai efektifitas yang sama
dengan pemberian agonis β2. Pemberian MgSO4 ini dapat meningkatan Fev1
dan mengurangi angka perawatandi RS.
7. Steroid inhalasi
Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug budesonide) dapat
digunakan untuk serangan asma, namun perlu diperhatikan untuk memberi
dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat
untuk mengatasi serangan asma. Harap diperhatikan pula bahwa penggunaan
steroid inhalasi dosis tinggi ini terbatas pada pasien-pasien yang memiliki
kontraindikasi terhadap steroid sistemik.
8. Mukolitik
Mukolitik pada serangan asma ringan sedang dapat diberikan, tetapi harus
berhati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Hati-hati
pemberian mukolitik pada bayi dan anak di bawah usia 2 tahun. Pemberian
mukolitik secara inhalasi tidak memunyai efek yang signifikan dan tidak
boleh diberikan pada serangan asma berat.
9. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagian besar
pencetusnya bukan infeksi bakteri melainkan infeksi virus. Pada keadaan
tertentu antibiotik dapat diberikan, yaitu pada infeksi respiratori yang
dicurigai karena bakteri atau dugaan adanya sinusitis yang menyertai asma.
Pada serangan yang berat perlu dipikirkan adanya suatu penyulit antara lain
pneumonia atipik. Apabila ada kecurigaan pneumonia atipik maka diberikan
antibiotik, yang dianjurkan adalah golongan makrolid.
10. Obat sedasi
Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangan tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan depresi pernapasan.
11. Antihistamin
Antihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena tidak memunyai efek
yang bermakna, bahkan dapat memperburuk keadaan.
Tabel 4. Derajat keparahan serangan asma
32
Kotak 2. Pasien risiko tinggi
33
Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali
lagi.
Jika dengan 2 kali pemberian agonis β2 kerja pendek via nebulizer
belum membaik, segera bawa ke fasyankes.
b. Jika di berikan via MDI+spacer
Berikan agonis β2 kerja pendek serial via spacer dengan dosis: 2-4
semprot. Berikan satu semprot obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan
napas melalui antar muka (interface) spacer berupa masker atau
mouthpiece. Bila belum ada respon, berikan semprot berikutnya dengan
siklus yang sama.
Jika membaik dengan dosis ≤4 semprot, inhalasi dihentikan.
Jika gejala tidak membaik dengan dosis 4 semprot, segera bawa ke
fasyankes.
34
Gambar 6. Alur tatalaksana serangan asma pada anak di fasyankes dan RS
Tindak lanjut:
Bila pasien memenuhi kriteria untuk dipulangkan, obat yang dibawa pulang
adalah agonis β2 kerja pendek (bila terseda sangat dianjurkan inhalasi
daripada preparat oral) dan steroid oral. Pemberian steroid oral bisa
35
dilanjutkan sampai 3-5 hari lalu dapat dihentikan langsung tanpa tappering
off.
Jika pasien dengan asma persisten, berikan obat pengendali. Apabila pasien
sebelumnya sudah diberi obat pengendali, lalu evaluasi dan sesuaikan ulang
dosisnya.
Jika obat diberikan dalam bentk inhaler, sebelum pasien dipulangkan,
pastikan teknik pemakaian inhaler sudah tepat.
Kontrol ulang ke fasyankes 3-5 hari kemudian.
36
c. Ancaman gagal napas
Apabila pasien menunjukan gejala dan tanda ancaman gagal napas, pasien
harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pemeriksaan rontgen
toraks dilakukan untuk mendeteksi adanya komplikasi pneumotoraks
dan/atau pneuomediastinum.
Kriteria pasien yang memerlukan ICU adalah:
Tidak ada respon sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD
dan/atau perburukan asma yang cepat.
Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas,
atau hilangnya kesadaran.
Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku diruang rawat inap.
Ancaman henti napas; hipoksemia tetap terjadi meskipun sudah diberi
oksigen (kadar PaO2<60 mmHg dan/atau PaCO2>45 mmHg, meskipun
tentu saja gagal napas dapat terjadi pada kadar PaCO2 yang lebih tinggi
atau lebih rendah). Penggunaan ventilator tidak dibahas dalam pedoman
ini.
2.8.6 Tatalaksana di ruang rawat sehari (RRS)
Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap diberikan
Setelah pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam dengan respon
parsial di UGD, di RRS diteruskan dengan nebulisasi agonis β2 dan
ipratropium bromida setiap 2 jam.
Kemudian berikan steroid sistemik oral berupa prednison atau
prednisolon. Pemberian steroid ini dilanjutkan hingga 3-5 hari
Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan
dibekali obat seperti pada pasien serangan ringan sedang yang
dipulangkan dari klinik/UGD.
37
Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6-8 jam. Dosis steroid
intravena adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari.
Nebulisasi agonis β2 kerja pendek + ipratropium bromida dengan
oksigen dilanjutkan setiap 1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian
mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat dierlebar menjadi
tiap 4-6 jam.
Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis
- Aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB, dilarutkan
dalam dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, dan diberikan
selama 30 menit, dengan infusion pump atau mikroburet.
- Bila respon belum optimal dilanjutkan dengan pemberian aminofilin
dosis rumatan sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam.
- Jika pasien telah mendapat aminoflin (kurang dari 8 jam), dosis
diberikan separuhnya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun
rumatan (0,25-0,5 mg/kgBB/jam).
- Bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan
dipertahan 10-20 mc/ml.
- Pantau gejala-gejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang
sering adalah mual, muntah, takikardi dan agitasi. Toksisitas yang
berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang.
Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam
hingga mencapai 24 jam, dan steroid serta amiofilin diganti dengan
pemberian peroral.
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat agonis β2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6
jam selama 24-48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien
kontrol ke klinik rawat jalan dalam 3-5 hari untuk reevaluasi tatalaksana
BAB III
KESIMPULAN
38
Laporan kasus, pasien Ny. S datang ke RSU Dr. Wahidin Sudiro Husodo,
Mojokerto pada tanggal 22 Februari 2023 dengan keluhan sesak napas. Pasien
memiliki riwayat sesak >10x/bulan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan wheezing.
Pemeriksaan foto toraks AP didapatkan infiltrate pada paracardial kanan dan
parahiler kiri. Pasien didiagnosis dengan asthma attack. Terapi yang diberikan
ialah Inf. PZ 20 tpm, O2 24 lpm NC, Inf. Ceftriaxone 2x1 gr IV, Inj. Ranitidin
2x1 amp, Inj. Methylprednisolon 2x62,5mg IV, Nebul Pulmicort 3x/hari, dam
Nebul Combivent 3x/hari. Setelah mendapatkan penanganan dan pengobatan,
pasien mengatakan bila sesak napas berkurang. Pasien diperbolehkan KRS pada
tanggal 24 Februari 2023.
DAFTAR PUSTAKA
39
1. World Health Organization. Asthma [internet]. Geneva: WHO; 2013
[disitasi tanggal 1 Februari 2023]. Tersedia
dari:http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs307/en
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman nasional asma anak. Jakarta:
IDAI; 2015.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013.
Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar respirologi. Edisi ke-2. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2010.
5. Lenfant C, Khaltaev N. Global initiative for asthma. Geneva:
NHLBI/WHO; 2002.
6. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H,
Siregar SP, et al. Allergy and asthma, the scenario in Indonesia. Dalam:
Shaikh WA, editor. Principles and practice of tropical allergy and asthma.
Mumbai: Vicas Medical Publishers; 2006.
7. Masoli M, Fabian D, Holt S, Beasley R. Global burden of asthma. New
Zealand: Medical Research Institute of New Zealand; 2013.
8. Steinke JW, Borish L. Genetics of allergic disease. Med Clin N Am. 2006;
90: 1-15.
9. Waldo EM. Ilmu kesehatan anak Nelson. Edisi ke-15. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2012.
40