Anda di halaman 1dari 167

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi........................................................................ iii - vi


Abstrak......................................................................................... vii - xiii
Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah Pertanian
(Kajian Yuridis Terhadap UU NO. 56/PRP/ Tahun 1960
Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian)
oleh: Sulasi Rongiyati.................................................................. 1 - 15
Tinjauan Yuridis atas Pemanfaatan Ruang
di Bawah Tanah
oleh: Harris Y. P. Sibuea.............................................................. 17 - 34
Penguatan Lembaga Adat
sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
oleh: Nikolas Simanjuntak........................................................... 35 - 66
Redenominasi Rupiah dalam Prespektif Hukum
oleh: Trias Palupi Kurnianingrum.............................................. 67 - 85
Upaya Perlindungan Whistleblower dan Justice
Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi
oleh: Puteri Hikmawati............................................................... 87-104
Penghapusan Tahapan Penyelidikan
dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana
oleh: Marfuatul Latifah............................................................... 105 - 123
Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme
Checks and Balances dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia
oleh: Andy Wiyanto..................................................................... 125 - 151
PENGANTAR REDAKSI

Pada edisi bulan Juni ini, Jurnal Negara Hukum (JNH) tetap memuat hasil
kajian, penelitian, dan analisis hukum dalam berbagai bidang, seperti hukum
ekonomi, pidana, dan ketatanegaraan. Edisi ini memuat 7 (tujuh) tulisan yang
bervariasi sesuai dengan bidang kajian hukum yang disebutkan sebelumnya.
Istimewanya, JNH kali ini memuat 2 (dua) tulisan yang berasal dari luar peneliti
hukum P3DI, yaitu dari Tenaga Ahli Fraksi dan Tenaga Ahli Anggota DPR RI.
Tulisan pertama ditulis oleh Sulasi Rongiyati, berjudul “Land Reform melalui
Penetapan Luas Tanah Pertanian (Kajian Yuridis terhadap Undang-Undang No.
56/PRP/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian)”. Dalam tulisan ini
dikatakan, bahwa Land reform dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, khususnya petani yang tidak memiliki tanah. Analisis dilakukan
terhadap pelaksanaan land reform di Indonesia yang didasarkan pada UUPA
yang mengatur pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah dan kemudian
dijabarkan dengan UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian (UUPT). Berdasarkan hasil analisis Penulis, Land Reform dalam UU
tersebut diwujudkan melalui pengaturan luas maksimum dan minimum tanah
pertanian dan redistribusi tanah. Namun, implementasi UU ini belum efektif
karena beberapa ketentuan berpotensi dilakukannya penyelundupan hukum
untuk menghindari ketentuan pembatasan luas tanah pertanian serta kebijakan
pendukung yang belum memadai.
Selanjutnya, Harris Y. P. Sibuea menulis tentang “Tinjauan Yuridis atas Hak
Guna Ruang Bawah Tanah sebagai Lembaga Hak Baru dalam Hukum Tanah
Nasional Indonesia”. Dalam tulisan ini dikatakan bahwa pemanfaatan dan
penggunaan tanah di atas permukaan tanah sudah overload, disebabkan oleh arus
urbanisasi yang semakin meningkat khususnya ke kota-kota besar. Dalam hasil
analisisnya, Penulis mengatakan bahwa peningkatan arus urbanisasi tersebut
tidak diimbangi oleh jumlah luas tanah di atas permukaan bumi yang pada
akhirnya mencari ruang di bawah tanah untuk digunakan sebagai kepentingan
tempat tinggal, usaha, dan publik. Kepastian hukum atas kepemilikan atas
tanah sudah ada payung hukumnya, namun terjadi kekosongan hukum
terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah. Ruang-ruang bawah
tanah seperti di Kota dan Blok-M bukan hanya dimanfaatkan sebagai terminal
kedatangan keberangkatan bus-way, namun juga dimanfaatkan untuk kegiatan
usaha masyarakat. Pemanfaatan ruang bawah tanah tersebut tidak ada peraturan

PENGANTAR REDAKSI iii


perundang-undangan bidang agraria yang mengaturnya. Oleh karena itu, hukum
harus merespon kekosongan hukum tersebut di mana diperlukan suatu kebijakan
yang mengatur alas hak penggunaan ruang di bawah tanah, agar tidak terjadi
konflik di masa depan dan terjaminnya suatu kepastian hukum di bidang agraria.
Tulisan Nikolas Simanjuntak berjudul “Penguatan Lembaga Adat sebagai
Alternatif Penyelesaian Sengketa”. Dalam tulisan ini disebutkan, bahwa para
sarjana post-kolonial telah mewariskan pengetahuan mengenai hukum adat
yang bersendikan pada dasar hubungan kesedarahan (genealogis) dan kedaerahan
(territorial). Dari mereka itu diketahui ada lebih dari 200an hukum adat yang khas
tersebar di wilayah nusantara, yang kemudian masing-masing adat itu secara terpisah
berkembang lagi dengan hukumnya dan lembaga pengadilan adat yang khusus,
baik yang berada dalam situasi wilayah yang tertutup di daerah pedesaan maupun
di wilayah yang terbuka dalam konteks modern sebagai masyarakat perantau di
perkotaan (urban migran). Penulis mengemukakan, bahwa Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Luar Pengadilan telah diberlakukan dengan Undang-undang No.30
Tahun 1999, yang sebelumnya dipersiapkan pada masa-masa awal terjadinya multi-
krisis Indonesia menuju era reformasi. Dengan Undang-undang itu diharapkan
banyak hal akan dapat diselesaikan untuk memotong rantai rumitnya kompleksitas
soal di dalam praktik pelaksanaan hukum acara yang selama ini terjadi. Melalui
tulisan ini, penulis berharap lembaga hukum adat bisa dikembangkan dengan
penguatan yang menjadi praktik penyelesaian sengketa di luar pengadilan menurut
hukum yang berlaku saat ini. Bahkan, bisa digunakan untuk mencapai pelaksanaan
konsep hukum restoratif yang berkeadilan, yakni dengan menerapkan kombinasi
hukum adat dalam situasi masyarakat pedesaan yang tertutup di masa lalu, ke arah
konteks masyarakat yang terbuka di era global modern masa kini.
Tulisan Trias Palupi Kurnianingrum dengan judul “Redenominasi Rupiah
dalam Perspektif Hukum”. Dalam tulisan ini dikemukakan bahwa redenominasi
merupakan salah satu wacana yang akan dilakukan oleh Pemerintah dengan
tujuan untuk mengefektifkan perekonomian agar menjadi lebih efisien serta
untuk meningkatkan kebanggaan rupiah di mata dunia Internasional. Namun,
untuk mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara yang mudah, masih banyak
pro-kontra. Berdasarkan analisis penulis, redenominasi memang memberikan
banyak manfaat namun juga dapat menimbulkan dampak negatif yakni inflasi
akibat pembulatan harga. Oleh karena itu, perlu persiapan yang dilakukan, seperti
mempersiapkan landasan hukum guna menjamin kepastian dan perlindungan
hukum, menyiapkan infrastruktur yang tepat serta sosialisasi intensif kepada
masyarakat. Pengaturan yang komprehensif sangat diperlukan untuk menjamin
kepastian hukum dan mewujudkan apa yang bermanfaat bagi banyak orang.

iv NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Tulisan Puteri Hikmawati berjudul “Upaya Perlindungan Whistleblower dan
Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi. Dalam tulisan ini dikatakan
bahwa korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia, banyak kasus yang belum
terungkap. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya alat bukti keterangan saksi.
Saksi merasa enggan memberikan kesaksian karena mungkin mendapat ancaman
atau intimidasi dari pelaku. Saksi dan pelapor kurang mendapat perlindungan hukum.
Dalam penanganan kasus korupsi muncul istilah whistleblower (pelapor) dan justice
collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama). Penulisan kajian ini dimaksudkan
untuk mengkaji formulasi norma hukum yang mengatur perlindungan saksi dan
pelapor tindak pidana korupsi serta pelaksanaannya. Dalam analisisnya, penulis
mengemukakan, bahwa kebijakan perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi
saksi telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Sedangkan ketentuan perlindungan saksi dan korban umumnya
secara khusus diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban. Sementara perlindungan terhadap pelapor tidak diatur secara rinci
dalam UU No. 13 Tahun 2006 tersebut. Oleh karena itu, menimbulkan masalah
dalam pelaksanaannya. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun
2011 dibuat untuk mengadopsi istilah whistleblower dan justice collaborator. Namun
ketentuan SEMA tersebut menimbulkan permasalahan. Salah satunya, ketentuan
dalam UU No. 13 Tahun 2006 menutup peluang bagi Pelapor sebagai whistleblower,
yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik secara pidana maupun perdata.
SEMA No. 4 Tahun 2011 justru memberi peluang untuk memproses Pelapor
atas laporan yang disampaikannya. Penulis merekomendasikan, dalam revisi UU
No. 13 Tahun 2006 perlu diatur perlindungan terhadap whistleblower dan justice
collaborator secara rinci.
Tulisan berjudul “Penghapusan Tahapan Penyelidikan dalam RUU tentang
Hukum Acara Pidana”, ditulis oleh Marfuatul Latifah. Dalam tulisan ini
dikemukakan, bahwa penghapusan tahapan penyelidikan dalam draf Rancangan
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana akan mengubah sistematika
hukum acara pidana di Indonesia. Dalam analisisnya, Penulis mengemukakan,
mengingat penyelidikan telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun
di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia dan banyak tindak pidana
yang menggantungkan pemecahan perkara melalui tahapan penyelidikan seperti
tindak pidana narkotika dan tindak pidana korupsi, maka hal tersebut dapat
mengakibatkan perubahan mendasar dalam praktik hukum acara pidana dan
menimbulkan hambatan bagi penyelesaian perkara pidana khususnya tindak
pidana temuan.

PENGANTAR REDAKSI v
Tulisan Andy Wiyanto berjudul “Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme
Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Dalam tulisan
ini dikemukakan, bahwa historiografi ketatanegaraan Indonesia telah mencatat
bahwa telah sebanyak dua kali Presiden di Indonesia diturunkan di tengah masa
jabatannya. Catatan sejarah tersebut rupanya menyisakan polemik. Untuk itulah
kemudian di bawah kepemimpinan Mohammad Amien Rais, MPR melakukan
perubahan UUD 1945 yang menjadi salah satu tujuan dari reformasi. Perubahan
tersebut tidak hanya memperbaiki mekanisme pemakzulan di Indonesia, namun
juga menjadikan UUD 1945 tidak lagi sebagai UUD sementara sebagaimana
yang diutarakan Soekarno dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Berdasarkan hasil analisis, sejatinya
proses pemakzulan pasca reformasi merupakan bentuk check and balances atas
pemilihan Presiden secara langsung. Sehingga ada legitimasi yang besar dalam
pemerintahan pada satu sisi, juga dalam sisi yang lainnya hal itu diimbangi
dengan proses pertanggungjawaban yang terukur. Secara akademik, konsep
tersebut tentu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Tinggal bagaimana hal ini
terimplementasi dalam bentuk regulasi, mulai dari undang-undang dasar hingga
aturan-aturan lain dibawahnya yang menjadi penjabaran-penjabaran yang lebih
rinci dan jelas. Tulisan ini mengkaji hal tersebut dengan dimulai dari pembahasan
struktur ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi yang menganut prinsip checks
and balances di dalamnya, kemudian dilanjutkan dengan ulasan mengenai proses
pemakzulan di Indonesia, yang pada akhirnya dari kedua variabel tersebut
dibedah dengan teori-teori yang mengulas tentang sistem check and balances
dalam sistem ketatanegaraan pada sebuah negara.
Pemikiran-pemikiran dalam tulisan yang dimuat di dalam Jurnal Negara
Hukum ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan pengetahuan pembaca
dan dapat menjadi referensi, baik untuk penelitian atau membuat kajian lanjutan,
maupun perumusan kebijakan publik. Selamat membaca.


Jakarta, Juni 2013

Redaksi

vi NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


LAND REFORM MELALUI PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN
(KAJIAN YURIDIS TERHADAP UU NO. 56/PRP/ TAHUN 1960
TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN)

Sulasi Rongiyati

Abstrak
Land reform dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya
petani yang tidak memiliki tanah. Secara yuridis pelaksanaan land reform di Indonesia
didasarkan pada UUPA yang mengatur pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah
dan kemudian dijabarkan dengan UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian (UUPT). Land Reform dalam UU ini diwujudkan melalui pengaturan
luas maksimum dan minimum tanah pertanian dan redistribusi tanah. Namun,
implementasi UU ini belum efektif karena beberapa ketentuan berpotensi dilakukannya
penyelundupan hukum untuk menghindari ketentuan pembatasan luas tanah pertanian
serta kebijakan pendukung yang belum memadai.

Abstract
Land reform is intended to improve the welfare of the people, especially farmers who lessland.
Juridical implementation of land reform in Indonesia is based on UUPA restrictions governing
the ownership and control of land and described by Act No. 56/Prp/ 1960 on Agricultural
Land Area Determination. Land Reform Act is implemented through setting minimum and
maximum area of agricultural land and land redistribution. However, the implementation of
this Act has not been effective because some provisions could potentially do to avoid smuggling
law provision barring agricultural land and supporting policies that have not been adequate.

ABSTRAK vii
TINJAUAN YURIDIS ATAS PEMANFAATAN RUANG BAWAH TANAH
Harris Y. P. Sibuea

Abstrak
Pemanfaatan dan penggunaan tanah di atas permukaan tanah sudah overload yang
disebabkan oleh arus urbanisasi yang semakin meningkat khususnya ke kota-kota
besar. Peningkatan arus urbanisasi tersebut tidak diimbangi oleh jumlah luas tanah
di atas permukaan bumi yang pada akhirnya mencari ruang di bawah tanah untuk
digunakan sebagai kepentingan tempat tinggal, usaha, publik. Kepastian hukum atas
kepemilikan atas tanah sudah ada payung hukumnya, namun terjadi kekosongan hukum
terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah. Ruang-ruang bawah tanah
seperti di Kota dan Blok-M bukan hanya dimanfaatkan sebagai terminal kedatangan
keberangkatan bus-way, namun juga dimanfaatkan untuk kegiatan usaha masyarakat.
Pemanfaatan ruang bawah tanah tersebut tidak ada peraturan perundang-undangan
bidang agraria yang mengaturnya. Hukum harus merespon terhadap kekosongan hukum
tersebut dimana diperlukan suatu kebijakan yang mengatur alas hak penggunaan ruang
di bawah tanah, agar tidak terjadi konflik di masa depan dan terjaminnya suatu kepastian
hukum di bidang agraria.

Abstract
Utilization and use of land above ground level where the overload caused by the increasing
urbanisation especially to big cities. Increasing urbanisation is not offset by the amount of land
area on the surface of the earth is ultimately looking for underground space for use as a place
of residence, business interests, public. Legal certainty over ownership of the land was legal
basis, but the vacancy against setting use of underground space. Underground spaces such as
in Kota and Blok-M is not only used as a bus-way arrival-departure terminal, but also utilized
for the business activities of the society. Utilization of underground space is no agrarian areas
regulations that govern it. The law must respond to the legal vacuum in which required a policy
governing the use of the right underground space, to prevent conflicts in the future and where a
legal certainty in the field of agrarian.

viii NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


PENGUATAN LEMBAGA ADAT
SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Nikolas Simanjuntak

Abstrak
Para sarjana post-kolonial kita telah mewariskan pengetahuan mengenai hukum adat
yang bersendikan pada dasar hubungan kesedarahan (genealogis) dan kedaerahan
(territorial). Dari mereka itu kita ketahui ada lebih dari 200an hukum adat yang khas
tersebar di seantero wilayah nusantara, yang kemudian masing-masing adat itu secara
terpisah berkembang lagi dengan hukumnya dan lembaga pengadilan adat yang khusus,
baik yang berada dalam situasi wilayah yang tertutup rapat di daerah pedesaan maupun di
wilayah yang terbuka dalam konteks modern sebagai masyarakat perantau di perkotaan
(urban migran).
Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan telah diberlakukan dengan
Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang sebelumnya dipersiapkan pada masa-masa
awal terjadinya multi-krisis Indonesia menuju era reformasi. Dengan Undang-undang
itu diharapkan banyak hal akan dapat diselesaikan untuk memotong rantai rumitnya
kompleksitas soal di dalam praktik pelaksanaan hukum acara yang selama ini terjadi.
Makalah ini bermaksud menyajikan gambaran apa adanya mengenai lembaga hukum
adat, apakah itu bisa dikembangkan dengan penguatan yang menjadi praktik penyelesaian
sengketa di luar pengadilan menurut hukum yang berlaku saat ini. Bahkan mungkin
pula dengan itu diharapkan, apakah bisa digunakan untuk mencapai pelaksanaan
konsep hukum restoratif yang berkeadilan, yakni dengan menerapkan kombinasi hukum
adat dalam situasi masyarakat pedesaan yang tertutup di masa lalu, ke arah konteks
masyarakat yang terbuka di era global modern masa kini.

Abstract
The legacy of postcolonial scholars has preserved the meaning of traditional law based on
genealogical and territorial intimate relationship. Spreading at local various tribes in more
than 200 kinds of unique tradition within the archipelago along this country, each of the
society has separately developed their traditional law with its particular court institution, from
splendid isolation rural area context into Indonesian modern era of urban migran open society.
Alternative Dispute Resolution thereof has been promulgated as the Law number 30 of 1999.
It was prepared during the Indonesian multicrisis at the beginning of reformation era. Much
more expectation is borne in cutting the sophisticated multifaceted off the implications practices
to the private legal proceeding. This paper intends to elaborate the picturesque of traditional
court institution, could it be empowered into practice for alternative dispute resolution within
the prevailing recent law. It may affect the pursuant of restorative justice concept, combining
traditional isolation context during the ancient rural area within the open society in modern
global context.

ABSTRAK ix
REDENOMINASI RUPIAH DALAM PRESPEKTIF HUKUM

Trias Palupi Kurnianingrum

Abstrak
Redenominasi merupakan salah satu wacana yang akan dilakukan oleh Pemerintah
dengan tujuan untuk mengefektifkan perekonomian agar menjadi lebih efisien serta
untuk meningkatkan kebanggaan rupiah di mata dunia Internasional. Namun untuk
mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara yang mudah, mengingat masih banyaknya
pro-kontra di dalamnya. Redenominasi memang memberikan banyak manfaat namun
juga dapat menimbulkan dampak negatif yakni inflasi akibat pembulatan harga. Kiranya
perlu adanya persiapan yang harus dilakukan oleh Indonesia seperti mempersiapkan
landasan hukum guna menjamin kepastian dan perlindungan hukum, menyiapkan
infrastuktur yang sudah disetting dengan tepat serta sosialisasi intensif kepada masyarakat.
Pengaturan yang komprehensif sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum
mengingat hukum sudah sepantasnya bertujuan untuk mewujudkan apa yang menjadi
faedah bagi banyak orang.

Abstract
Redenomination is one of the discourse that will be conducted by the Government to effecting
the economy that will become more efficient and to increase pride in the eyes of the International.
But to achieve this goal is not easy, since there are many pros and cons in it. Redenomination
does provide many benefits but also can negatively impact the price inflation due to rounding.
However, the preparations should be done by Indonesia such as ensuring legal certainty and
legal protection, setting up the infrastructure that has been configured in a proper and giving
intensive socialization to the community. Comprehensive arrangement is needed to ensure legal
certainty so can giving the benefits for many people.

x NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


UPAYA PERLINDUNGAN WHISTLEBLOWER
DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Puteri Hikmawati
Abstrak
Korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia, banyak kasus yang belum terungkap.
Salah satu penyebabnya adalah kurangnya alat bukti keterangan saksi. Saksi merasa enggan
memberikan kesaksian karena mungkin mendapat ancaman atau intimidasi dari pelaku. Saksi
dan pelapor kurang mendapat perlindungan hukum. Dalam penanganan kasus korupsi muncul
istilah whistleblower (pelapor) dan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama). Penulisan
kajian ini dimaksudkan untuk mengkaji formulasi norma hukum yang mengatur perlindungan
saksi dan pelapor tindak pidana korupsi serta pelaksanaannya. Kebijakan perlindungan
saksi dalam tindak pidana korupsi saksi telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan ketentuan perlindungan saksi dan korban
umumnya secara khusus diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban. Sementara perlindungan terhadap pelapor tidak diatur secara rinci dalam UU
No. 13 Tahun 2006 tersebut. Oleh karena itu, menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 dibuat untuk mengadopsi
istilah whistleblower dan justice collaborator. Namun ketentuan SEMA tersebut menimbulkan
permasalahan. Salah satunya, ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2006 menutup peluang
bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik secara pidana
maupun perdata. Namun, SEMA No. 4 Tahun 2011 justru memberi peluang untuk memproses
Pelapor atas laporan yang disampaikannya. Oleh karena itu, dalam revisi UU No. 13 Tahun
2006 perlu diatur perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator secara rinci.
Abstract
Corruption remains a serious problem in Indonesia, many cases are yet to be revealed. One reason is
the lack of witness evidence. This witnesses were reluctant to testify because it might receive threats or
intimidation from perpetrators. Witnesses and complainants receive less legal protection. In the handling
of corruption cases that the term whistleblower and justice collaborator. This review is intended to assess
the formulation of legal norms that regulate the protection of witnesses and reporting of corruption
and its implementation. Witness protection regulation in corruption has been stipulated in Law no.
31 of 1999 on Eradication of Corruption and Law no. 30 of 2002 on the Corruption Eradication
Commission. While the witness and victim protection provisions generally are specifically provided in
Law no. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims. While protection of the complainant
is not regulated in detail in the Law no. 13 of 2006. Therefore, cause problems in the implementation
Supreme Court Circular (SEMA) no. 4 of 2011 was made to adopt the term whistleblower and
justice collaborator. However, the provisions of the SEMA causes problems. On of them, the provisions
of Law no. 13 of 2006 closed opportunity for a reporting as whistleblower, who has a good faith, to
be prosecuted either criminal or civil. However, SEMA no. 4 of 2011 gives the opportunity to process
the whistleblower for the report had to say. Therefore, in the revised Law no. 13 of 2006 should be set
against the whistleblower and justice protection in detail.

ABSTRAK xi
PENGHAPUSAN TAHAPAN PENYELIDIKAN
DALAM RUU TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Marfuatul Latifah

Abstrak
Penghapusan tahapan penyelidikan dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang
Hukum Acara Pidana akan mengubah sistematika hukum acara pidana di Indonesia.
Tulisan ini bermaksud mengkaji penghapusan penyelidikan dan konsekuensi yang
akan ditimbulkan. Mengingat penyelidikan telah digunakan selama lebih dari tiga
puluh tahun di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia dan banyak tindak
pidana yang menggantungkan pemecahan perkara melalui tahapan penyelidikan seperti
tindak pidana narkotika dan tindak pidana korupsi, hal tersebut dapat mengakibatkan
perubahan mendasar dalam praktik hukum acara pidana dan menimbulkan hambatan
bagi penyelesaian perkara pidana khususnya tindak pidana temuan.

Abstract
The Removal of Investigation at Criminal Law Procedure bill, would change the system of
criminal law procedure in Indonesia. This paper intends to analyze the removal of investigation
and the consequences. Considers that the investigation have been used for over thirty years
at the criminal justice system in Indonesia and many criminal offences solved by using the
investigation method, for example Narcotics and Corruption. It might be caused fundamental
change in the practice of criminal procedure law and raises barriers to the completion of the
criminal cases in particular fond-case.

xii NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


PEMAKZULAN DAN PELAKSANAAN MEKANISME CHECKS AND BALANCES
DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
Andy Wiyanto

Abstrak
Historiografi ketatanegaraan Indonesia telah mencatat bahwa telah sebanyak dua kali
Presiden di Indonesia diturunkan ditengah masa jabatannya. Catatan sejarah tersebut rupanya
menyisakan polemik. Untuk itulah kemudian di bawah kepemimpinan Mohammad Amien
Rais, MPR melakukan perubahan UUD 1945 yang menjadi salah satu tujuan dari reformasi.
Perubahan tersebut tidak hanya memperbaiki mekanisme pemakzulan di Indonesia, namun
juga menjadikan UUD 1945 tidak lagi sebagai UUD sementara sebagaimana yang diutarakan
Soekarno dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus
1945. Sejatinya proses pemakzulan pasca reformasi merupakan bentuk check and balances atas
pemilihan Presiden secara langsung. Sehingga ada legitimasi yang besar dalam pemerintahan
pada satu sisi, juga dalam sisi yang lainnya hal itu diimbangi dengan proses pertanggungjawaban
yang terukur. Secara akademik, konsep tersebut tentu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Tinggal
bagaimana hal ini terimplementasi dalam bentuk regulasi, mulai dari undang-undang dasar
hingga aturan-aturan lain dibawahnya yang menjadi penjabaran-penjabaran yang lebih rinci
dan jelas. Tulisan ini mencoba untuk membedah hal tersebut dengan dimulai dari pembahasan
struktur ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi yang menganut prinsip checks and balances
di dalamnya, kemudian dilanjutkan dengan ulasan mengenai proses pemakzulan di Indonesia,
yang pada akhirnya dari kedua variabel tersebut dibedah dengan teori-teori yang mengulas
tentang sistem chesks and balances dalam sistem ketatanegaraan pada sebuah Negara.

Abstract
Historiography of Indonesia constitutional has noted that the President of Indonesia has twice
lowered in the middle of his tenure. The historical record apparently leaves a polemics. In
this case under the leadership of Mohammad Amien Rais, MPR (Majelis Permusyawaratan
Rakyat) make changes UUD 1945 to be one of the purposes of the reform. The changes are
not only revise mechanism of impeachment in Indonesia, but also makes the 1945 Constitution
no longer as temporary as stated Soekarno in the PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) Indonesia Independence Preparatory Committee meeting dated August 18, 1945.
even impeachment process after reformation is form of Checks and balances on the direct
election of the President. so there is legitimacy in the Goverment on the one hand in one side,
and the other side it is balanced measurable accountability proccess. Academically, the concept
is certainly based on science. How this implemented in the form of regulation , start from basic
laws to other rules it below to be explanations more detail and clear. This paper try to explain
these cases started from criticism structure of Indonesia constitutional after the reform that
embracing Checks and Balances principle. Then followed by a review of the impeachment
process in Indonesia, and then the end of two variables are elaborate more deeply with teories
Checks and Balances system in the state system in a country.

ABSTRAK xiii
LAND REFORM MELALUI PENETAPAN
LUAS TANAH PERTANIAN
(KAJIAN YURIDIS TERHADAP UU NO. 56/PRP/ TAHUN 1960
TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN)

Sulasi Rongiyati*

Abstract
Land reform is intended to improve the welfare of the people, especially farmers who
lessland. Juridical implementation of land reform in Indonesia is based on UUPA
restrictions governing the ownership and control of land and described by Act No.
56/Prp/ 1960 on Agricultural Land Area Determination. Land Reform Act is
implemented through setting minimum and maximum area of agricultural land and
land redistribution. However, the implementation of this Act has not been effective
because some provisions could potentially do to avoid smuggling law provision barring
agricultural land and supporting policies that have not been adequate.
Kata kunci: Land reform, redistribusi tanah, dan UU No. 56/Prp/Tahun 1960.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan agraria yang populis di Indonesia ditandai dengan
diundangkannya  suatu produk hukum yang sangat fundamental, yaitu Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) menggantikan hukum tanah produk pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Dalam perkembangannya penerapan hukum tanah yang pro-rakyat
berdasarkan UUPA, mengalami pergeseran setelah pemerintah Orde Baru
menerapkan kebijakan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, sehingga
kebijakan pertanahan di Indonesia lebih berpihak pada kepentingan investor.
Kondisi tersebut terus berlangsung, meski sudah lebih dari setengah abad
UUPA berlaku. Sebagai dampaknya berbagai peraturan perundang-undangan
di bidang pertanahan yang semula dibentuk dengan tujuan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945),dalam
pelaksanaannya “jauh panggang dari api”. Bahkan banyak peraturan perundang-


*
Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
Sekretariat Jenderal DPR RI (e-mail: susidhan@yahoo.com).

SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah... 1


undangan yang dalam implementasinya mengesampingkan hak-hak masyarakat,
khususnya masyarakat kecil yang tidak memiliki akses permodalan.
Keadaan tersebut telah menimbulkan ketimpangan kepemilikan dan
penguasaan tanah dan berdampak pada timbulnya konflik tanah yang dari tahun
ke tahun menujukan peningkatan dan penyelesaiannya berlarut-larut. UUPA
sendiri telah melihat potensi ketimpangan kepemilikan tanah ini sejak awal. Oleh
karenanya beberapa ketentuan dalam UUPA mengatur mengenai pembatasan
dan kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian. Pasal 7 UUPA junto Pasal
17 UUPA melarang kepemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas
dan mengamanatkan pengaturan pembatasan luas kepemilikan dan penguasaan
tanah dalam perundang-undangan. Sebagai tindak lanjut, Pemerintah kemudian
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor
56 Tahun 1960. Perpu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang
Nomor 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU
PLTP) yang diundangkan pada tanggal 19 Desember 1960. Meskipun terbatas
pada pengaturan batas kepemilikan dan penguasaan tanah pertanian, UU PLTP
sering disebut sebagai UU Land Reform Indonesia.
Aspek land reform adalah  penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan
tanah. Hal tersebut sejalan dengan produk yang dihasilkan dalam masa reformasi
dalam konteks Reforma Agraria, yaitu Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001.
Ketetapan tersebut secara tegas memberikan mandat untuk melaksanakan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfataan tanah
(land reform) yang berkeadilan.
Penetapan luas tanah pertanian melalui pembatasan luas maksimum dan
minimum, memiliki makna penting bagi bangsa Indonesia yang dulu dikenal
sebagai negara agraris dengan sebagian besar penduduk bermata pencaharian
sebagai petani. Namun, pertambahan penduduk dan berbagai kebijakan
pemerintah yang kurang berorientasi pada bidang pertanian menyebabkan
kepemilikan dan penguasaan tanah pertanian oleh petani mengalami penurunan
secara signifikan. Alih fungsi lahan pertanian marak terjadi di hampir semua
daerah dan konflik pertanahan pun tidak terhindarkan. Konferensi La Via
Campesina (LVC) atau Gerakan Petani Sedunia ke-6 yang berlangsung di Jakarta
tanggal 6-13 Juni 2013 menilai konflik agraria di dunia yang memicu petani
kehilangan akses terhadap lahan sudah semakin mencemaskan, oleh karenanya
kalangan petani internasional mendesak agar konflik lahan sebagai persoalan
paling krusial, segera diatasi. Besarnya konflik agraria di dunia ditunjukan
dengan maraknya pembelian lahan oleh perusahaan besar yang mencapai 50
juta hektar sejak tahun 2008. Tingkat pendidikan dan kesejahteraan petani yang

2 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


umumnya relatif rendah memaksa petani harus melepaskan tanahnya kepada
pengusaha dan perusahaan transnasional. Petani kecil perlahan menghilang
dan perusahaan besar semakin berkuasa. Kesenjangan ini membuat petani tidak
mampu mengakses lahan pertanian.1
Pembatasan luas maksimum dan minimum kepemilikan dan penguasaan
tanah sebagaimana diatur dalam UU PLTP dimaksudkan untuk memberi
perlindungan kepada petani agar dapat mengakses tanah pertanian sebagai
bidang usahanya dan menghindarkan pemusatan kepemilikan atau penguasaan
tanah pertanian pada pemilik modal tertentu. UU PLTP juga mengatur larangan
pemindahtanganan tanah pertanian yang berakibat kepemilikan tanah kurang
dari batas minimum luas tanah pertanian.

B. Permasalahan
Penetapan luas tanah maksimum merupakan amanat UUPA telah lebih dari
50 tahun diatur dalam UU PLTP dan belum pernah sekalipun dilakukan revisi
atau perubahan. Namun, praktik di lapangan menunjukan kepemilikan dan
penguasaan lahan pertanian oleh petani jauh dari luas minimum yang ditentukan
dalam UU PLTP. Pada sisi lain, di lapangan banyak ditemukan penguasaan lahan
pertanian lebih dari ketentuan luas maksimum. Berdasarkan permasalahan
tersebut, pertanyaan yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimana ketentuan Land Reform dalam Hukum Tanah Nasional?
2. Mengapa ketentuan tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian sebagaimana
diatur dalam UU PLTP tidak implementatif?

C. Tujuan dan Kegunaan


Tujuan penulisan ini untuk mengetahui ketentuan Land Reform dalam hukum
tanah nasional dan pelaksanaan UU No. 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian. Sedangkan kegunaan dari tulisan ini adalah untuk menambah
wawasan dan pengetahuan pembaca di bidang hukum pertanahan sekaligus
sebagai masukan bagi anggota DPR RI dalam menjalankan fungsinya baik
fungsi legislasi maupun pengawasan yang berkaitan dengan masalah-masalah
pertanahan.

II. KERANGKA PEMIKIRAN


1. Pengertian Land Reform
Reforma Agraria dalam arti luas meliputi pelaksanaan pembaharuan hukum
agraria; penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
“Konferensi La Via Campesina: Konflik Agraria Dianggap Persoalan Paling Krusial,” Kompas,13 Juni 2013.
1

SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah... 3


mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur; perombakan mengenai
pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan
dengan penguasaan tanah; perencanaan persediaan dan peruntukan bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara berencana, sesuai
dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.2 Pelaksanaan Reforma Agraria
yang ke-4 dikenal sebagai kebijakan Land Reform atau Reforma Agraria dalam
arti sempit, yaitu perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta
hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah.
Pada tataran implementasi, istilah Land Reform sering dipadankan atau
diidentikkan dengan istilah agrarian reform atau reforma agraria, karena land reform
secara langsung dapat menunjukkan hasil yang lebih nyata melalui perombakan
pemilikan dan penguasaan tanah yang lebih berkeadilan dan dapat dirasakan
oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebagai misal, Elias H. Tuma menyatakan
bahwa “dalam praktiknya konsep land reform telah diperluas cakupannya untuk
menekankan peran strategis dari tanah dan pertanian dalam pembangunan”, oleh
karenanya konsep ini kemudian menjadi sinonim bagi konsep reforma agraria.3
AP. Parlindungan berpendapat, bahwa land reform adalah bukan sekedar
membagi-bagi tanah, ataupun bersifat politis, akan tetapi merupakan suatu usaha
untuk reformasi hubungan antara manusia dengan tanah yang lebih manusiawi.4
Peter Donner dalam S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi mengatakan
bahwa sistem penguasaan tanah meliputi pengaturan-pengaturan secara legal
maupun adat yang dengan hal tersebut petani memperoleh akses terhadap
kesempatan-kesempatan produktif atas tanah. Sistem ini merupakan tatanan
dan prosedur yang mengatur hak, kewajiban, kebebasan dalam penggunaan dan
pengawasan sumber daya tanah dan air. Dengan kata lain sistem penguasaan
tanah turut membentuk pola penyebaran pendapatan dalam sektor pertanian,
oleh karenanya land reform berarti mengubah dan menyusun kembali tatanan
dan prosedur di dalam usaha membuat sistem penguasaan tanah itu konsisten
dengan persyaratan secara keseluruhan dari pembangunan ekonomi.5
Tujuan dari land reform adalah untuk menyempurnakan pemerataan tanah.
Terdapat dua dimensi dalam tujuan ini yaitu, pertama: untuk menciptakan
pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah dan untuk mengurangi
perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang merupakan upaya
2

Reforma Agraria Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan  “Tanah untuk
Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, BPN RI, 2007, hal.17.
3
“Dalam Untung Rusli Tandi, Redistribusi Tanah,” http://redistribusitanah.blogspot.com/diakses 5 Mei 2013.
4
A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem Hukum UUPA, Bandung: Mandar Maju, 1989, hal. 60.
5
S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah
Pertanian di Jawa dari Mas ke Masa,Jakarta: Yayasan Obor, 2008, hal.378.

4 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


memperbaiki penghasilan dan taraf hidup para petani secara menyeluruh. Kedua:
untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan tanah.6
Pelaksanaan land reform untuk tanah-tanah pertanian (daerah pedesaan)
dapat dilaksanakan dengan model seperti distribusi tanah, redistribusi tanah,
rekonsentrasi tanah dan non redistribusi, sedangkan land reform untuk tanah-
tanah di daerah perkotaan dilaksanakan melalui kebijakan konsolidasi tanah
daerah perkotaan.7
2. Redistribusi Tanah
Dalam pelaksanaannya land reform memerlukan program redistribusi tanah
untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah secara intensif dan pembatasan
dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah.8 Program redistribusi tanah
dalam pelaksanaan land reform mempunyai arti pokok yang berhubungan dengan
suatu perubahan yang disengaja dalam sistem land tenure (penguasaan dan
pemilikan tanah) yaitu penyusunan kembali sistem land tenure, pengawasan hak-
hak atas tanah dan lain-lain yang berhubungan dengan tanah.9
Menurut Gunawan Wiradi, redistribusi tanah meliputi pemecahan,
penggabungan satuan-satuan usaha tani dan perubahan skala kepemilikan.10
Retribusi tanah diperuntukkan bagi tanah pertanian yang akan diberikan pada
petani yang memiliki mata pencaharian mengusahakan tanah pertanian dengan
syarat-syarat tertentu, yang berasal dari tanah kelebihan luas batas maksimum;
tanah absente, tanah swapraja, tanah bekas swapraja, dan tanah yang dikuasai
negara.11

III. ANALISIS
1. Land Reform dalam Hukum Tanah Nasional
Berlakunya UUPA telah memberikan perubahan alur politik agraria dari
politik agraria kolonial ke poltik agraria nasional.12 Politik agraria nasional
mengedepankan kesejahteraan rakyat dalam mengelola dan memanfaatkan
sumber agraria terutama tanah. Khusus terkait kebijakan land reform, upaya
meningkatkan kesejahteraan rakyat diwujudkan melalui pemberlakuan beberapa
peraturan pelaksana UUPA, antara lain: UU PLTP, PP No. 10 Tahun 1961
6
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 203
7
BPN-RI, Pengembangan dan Pemantapan Program Strategis BPN-RI, Pemaparan Kepala BPN-RI pada
pembukaan Rakernas, 2010, hal.17.
8
Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1985, hal.11.
9
Ari Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah..., hal. 19.
10
Dalam Ira Sumaya, Analisis Hukum Land Reform Sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan Masyarakat,
Tesis, Universitas Sumatera Utara, hal. 45.
11
Chadidjah Dalimunthe dalam Ira Sumaya, Analisis Hukum Land Reform..., hal 46.
12
Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994,hal.3.

SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah... 5


tentang Peraturan Pendaftaran Tanah, dan PP No. 224 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.13
UUPA menjadi induk pelaksanaan land reform di Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dari upaya pembentuk UUPA mencoba mencari solusi untuk mengatasi
persoalan ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia yang
sudah terjadi sejak Negara Indonesia diproklamirkan, dengan merumuskan
prinsip-prinsip land reform dalam substansi pengaturan UUPA. Pasal-pasal yang
menjadi landasan yuridis pelaksanaan land reform tersebut yaitu Pasal 7, Pasal 10,
dan Pasal 17 UUPA.
Pasal 7:
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Pasal 10:
1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah
pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2) Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur
lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
3) Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat ( 1 ) pasal ini diatur dalam
peraturan perundangan.
Pasal 17:
1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai
tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/
atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut
dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan
dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.
3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud
dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian,
untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang
akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara
berangsur-angsur.
Sejalan dengan tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yaitu salah satunya untuk memajukan kesejahteraan umum, maka prinsip tersebut
13
Suhariningsih, Tanah Terlantar: Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban, Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2009, hal.8.

6 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


menjadi acuan dalam sistem hukum tanah nasional. Larangan pemilikan dan
penguasaan tanah melebihi batas sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPA pada
dasarnya dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pemusatan kepemilikan
dan penguasaan tanah pada golongan tertentu sehingga merugikan golongan
lain yang secara finansial memiliki keterbatasan untuk mengakses tanah. Sifat
tanah yang terbatas dan konstan serta nilai tanah yang tidak terbatas pada
sosial, ekonomis, politis, bahkan religi menyebabkan tingginya potensi disparitas
kepemilikan dan penguasaan tanah antara golongan pemilik modal dan ekonomi
lemah.
Boedi Harsono menyatakan bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang
melebihi batas merugikan kepentingan umum karena hal ini berhubungan dengan
terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya di daerah padat penduduk,
hal ini berpotensi berkurangnya lahan pertanian atau bahkan dapat berpotensi
hilangnya kemungkinan banyak petani untuk memiliki tanah pertanian sendiri.14
Lebih lanjut UUPA dalam Pasal 10 juga mewajibkan kepada pemilik tanah
untuk mengusahakan dan mengerjakan sendiri tanahnya. Hal ini dimaksudkan
untik mencegah cara-cara pemerasan terutama bagi pemilik tanah yang tidak
mampu mengusahakan tanahnya sendiri karena keterbatasan modal dan
kemudian menggadaikannya kepada pihak lain secara berkelanjutan,sehingga
menghilangkan kesempatan pemilik tanah yang tidak mampu menebus gadainya,
untuk memperoleh hasil dari tanah yang dimilikinya.
Merujuk pendapat A.P. Parlindungan bahwa land reform adalah menata
kembali hubungan antara manusia dengan tanah yang antara lain dilakukan
melalui membagikan tanah, maka jelas Pasal 17 UUPA yang mengatur
pembatasan luas tanah maksimum dan minimum merupakan ketentuan yang
mendasari pelaksanaan Land Reform di Indonesia. Ketentuan ini dipertegas
dengan bunyi Pasal 17 ayat (3) UUPA yang mengatur perlakuan terhadap tanah
yang merupakan kelebihan luas tanah maksimum.
Prinsip-prinsip Land Reform ini kemudian dijabarkan dalam UU PLTP melalui
ketentuan penetapan luas batas minimum dan maksimum tanah pertanian,
pembagian tanah untuk petani tidak bertanah (landless), dan pengalihan tanah
hasil kelebihan luas maksimum tanah pertanian dalam rangka meningkatan
kesejahteraan masyarakat, khususnya petani.15 Secara umum, substansi UU
PLTP memuat program land reform yang meliputi:
a. Pembatasan luas maksimum pemilikan tanah;
14
Dalam Supriadi, Hukum Agraria..., hal.204.
15
Lihat Penjelasan Umum UU PLTP

SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah... 7


b. Larangan pemilikan tanah secara “absentee” atau “guntai”, redistribusi
tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang
terkena larangan “absentee”, tanah-tanah bekas swapraja, dan tanah-tanah
negara;
c. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan;
d. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian; dan
e. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan
tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
Relevan dengan pendapat Peter Donner dan Gunawan Wiradi, UU PLTP
menjadi acuan bagi pemerintah dalam melaksanakan land reform secara teknis,
karena konsekuensi implementasi UU PLTP adalah mengubah dan menyusun
kembali tatanan dan prosedur di dalam usaha membuat sistem penguasaan
tanah dengan membuka peluang bagi petani untuk mampu mengakses
kesempatan-kesempatan produktif atas tanah. Dalam sistem penguasaan tanah
mecakup tatanan dan prosedur yang mengatur hak, kewajiban, kebebasan
dalam penggunaan dan pengawasan sumber daya tanah dan air. Melalui UU
PLTP diupayakan perubahan skala kepemilikan tanah dengan cara membatasi
kepemilikan dan penguasaan luas tanah pertanian dan kemudian mendistribusikan
tanah kelebihan luas tanah maksimum tersebut untuk petani tidak bertanah atau
yang memiliki tanah pertanian di bawah luas minimum.
Selain ketentuan yang berkaitan dengan luas minimum dan maksimum
tanah pertanian, pada hakekatnya UU PLTP juga mengamanatkan dalam
Pasal 12 bahwa luas maksimum dan jumlah tanah untuk perumahan dan
pembangunan lainnya akan diatur dengan peraturan pemerintah. Sayangnya
sampai saat ini peraturan pemerintah tersebut, khusunya berkaitan dengan
pembatasan maksimum luas dan jumlah tanah untuk bangunan yang dapat
dimiliki oleh orang perorangan belum dibentuk. Pemerintah baru mengatur
pembatasan luas tanah untuk perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan izin
lokasi melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 2 Tahun 1999
tentang Izin Lokasi. Dalam ketentuan tersebut luas maksimum luas tanah yang
dapat diberikan ditentukan berdasarkan jenis usaha, seperti: pengembangan
perumahan dan pemukiman, kawasan industri, perkebunan, dan tambak untuk
tiap provinsi di Indonesia.16
16
Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Prespektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta:Penerbit
Buku Kompas, 2008, hal.5.

8 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


2. Implementasi UU PLTP
a. Batas Minimum Luas Tanah Pertanian.
Ketentuan mengenai batas minimum kepemilikan luas tanah pertanian
sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 UU PLTP adalah 2 (dua) hektar. Hal ini
maksudkan dengan kepemilikan tanah minimum sebanyak 2 hektar diharapkan
petani dapat mengusahakan tanahnya untuk memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraannya, sebagaimana tujuan akhir diadakannya Land Reform yaitu
kesejahteraan masyarakat, khususnya petani.
Seiring dengan perkembangan jaman, penerapan ketentuan luas batas
minimum tanah pertanian semakin sulit terwujud. Berbagai faktor menjadi
penyebabnya, antara lain: bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan
akan tanah untuk kegiatan non-pertanian. Menurut dosen Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya, Malang, Ahmad Erani, PhD, pada 1980-an pemilikan
lahan pertanian di Jawa rata-rata kurang dari 0,5 hektar, tahun 2010 kepemilikan
lahan pertanian hanya 0,25 hektar. Data BPS menyebutkan bahwa jumlah petani
gurem dalam kurun 1993-2003 meningkat rata-rata sebesar 2,6 persen per tahun.
Di Pulau Jawa, jumlah petani gurem mencapai 75 persen dari seluruh total rumah
tangga petani.17 
Berkurangnya luas lahan pertanian juga terjadi karena meluasnya alih
fungsi lahan. Di Indonesia luas lahan pertanian yang beralih fungsi setiap
tahun mencapai 40.000-100.000 hektar, 50% diantaranya terdapat di pulau
Jawa. Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan, Achmad Suryana, alih fungsi
lahan terjadi akibat peruntukan areal pemukiman, perkantoran, dan bangunan
lain. Untuk menekan alih fungsi lahan pertanian telah dibentuk UU No. 41
Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
yang menjadi dasar peraturan daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota
dalam mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan. Namun, dalam
realisasinya aturan ini seringkali dilanggar dan kepala daerah turut berperan
mengalihkan lahan pertanian.18 Data Kementerian Pertanian menyebutkan,
luas sawah irigasi di Indonesi mencapai 4.784.974 hektar dan luas sawah tidak
non-irigasi sebanyak 7.748.348 hektar. Berdasarkan data sensus pertanian oleh
BPS tahun 2003 rata-rata luas lahan yang dikuasai petani di Pulau Jawa hanya
0,3 hektar per keluarga, yang berarti menurun dibandingkan 10 tahun yang lalu
yang mencapai 0,48 hektar per keluarga. Anggota La Via Campesina, Wildan
Tarigan, menambahkan bahwa masalah keterbatasan lahan menjadi persoalan
paling krusial yang dialami petani di Indonesia. Petani tidak lagi berdaulat sesuai
17
“Ironi Pembangunan di Jawa”, Tempo, 11 Juni 2011
18
“Lahan Pertanian 100.000 Ha Lahan Beralih Fungsi”, Kompas, 13 Juni 2013.

SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah... 9


predikat yang disandangnya karena tak lagi memiliki lahan. Sebagian besar
petani hanya menjadi buruh penggarap lahan.19
Orientasi pembangunan yang cenderung mengejar pertumbuhan dan
bertumpu pada strategi industrialisasi, tanpa perencanaan penggunaan tanah
yang baik, berakibat pada pengalihfungsian tanah pertanian untuk kegunaan yang
lain. Padahal penyusutan/penyempitan lahan pertanian secara tidak langsung
akan meningkatkan jumlah petani gurem.  Faktanya kebijakan Pemerintah yang
cenderung mengejar industrialisasi pertanian tetapi kurang memperhatikan
struktur penguasaan tanah, semakin mempersulit terpenuhinya batas minimum
kepemilikan tanah pertanian. Program pembangunan bidang perkebunan
dengan memberikan kemudahan perizinan bagi perusahaan perkebunan skala
besar tanpa sadar menjadi salah satu pemicu terusirnya petani dari tanahnya.
Sangat disadari, orientasi pengelolaan pertanahan diwaktu lampau tidak
diarahkan kepada upaya pemerataan aset produksi. Tanah lebih ditekankan
sebagai aset produksi dan dialokasikan kepada sektor ekonomi kuat dan besar,
karena diyakini akan mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Akibatnya petani kecil semakin terpinggirkan dan menjadi penggarap
yang semakin kecil atau menjadi buruh tani. Akibatnya petani miskin bertambah
miskin, hal ini semakin parah karena tanah pertanian juga diubah menjadi daerah
perumahan, perluasan kota, pengembangan prasarana, dsb. Keadaan ini juga
berdampak kepada meningkatnya konflik - konflik pertanahan. Disatu pihak,
petani kecil membutuhkan tanah untuk sumber kehidupan dan kelanjutan hidup
mereka, sedangkan pihak lainnya (pemodal) pada umumnya memerlukan tanah-
tanah tersebut untuk mengembangkan kegiatan usaha ekonomi.
b. Batas Maksimum Luas Tanah Pertanian
Pasal 1 ayat (2) UU PLTP menyebutkan bahwa seorang atau orang-orang
dalam satu keluarga dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah, dan
faktor lainnya ditentukan penguasaan tanah pertanian tidak melebihi 20 hektar. 
Sedangkan untuk daerah yang sangat khusus berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Menteri
Agraria dapat menambah luas maksimum tersebut menjadi 25 hektar.  Ketentuan
batasan luas maksimum tersebut dimaksudkan agar tanah pertanian tidak hanya 
dimonopoli oleh orang atau golongan tertentu yang memiliki kekuatan modal. 
Sangat disayangkan baik UUPA maupun UU PLTP tidak mengatur ketentuan
luas maksimum tanah pertanian untuk tanah dengan Hak Guna Usaha dan hak-
hak yang bersifat sementara. Pasal 1 ayat (4) UU PLTP menyebutkan bahwa
luas maksimum tersebut pada ayat (2) pasal ini tidak berlaku terhadap tanah
pertanian yang dikuasai dengan Hak Guna Usaha atau hak-hak lainnya yang
19
“Pangan Jadi Alat Spekulasi: Konferensi Petani Internasional di Jakarta”, Kompas, 5 Juni 2013

10 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari Pemerintah, yang dikuasai oleh
badan-badan hukum. 
Tidak tersedianya dasar yuridis maksimum kepemilikan atau pengusahaan
tanah pertanian dengan HGU berpotensi penguasaan tanah pertanian oleh
pemodal besar yang berarti mempersempit peluang akses petani tanpa tanah
untuk memiliki tanah garapan.
Demikian juga dengan pembatasan terhadap tanah-tanah nonpertanian,
dalam Pasal 12 UU PLTP menyebutkan mengenai perlunya pembatasan luas
maksimum luas tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya, namun hingga
kini Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan yang diamanatkan pasal
tersebut belum diterbitkan.
Implementasi luas batas maksimum tanah pertanian juga terkendala sikap pasif
BPN dalam melakukan pengawasan kepemilikan atau penguasaan tanah pertanian
yang melebihi batas maksimum. Hal ini salah satunya disebabkan ketentuan Pasal
3 UU PLTP meletakan kewajiban kepada pemilik atau penguasa tanah untuk
melaporkan atas kelebihan dari  batas maksimum tanah pertanian  kepada Kepala
Agraria daerah kabupaten/kota. Sedangkan tindak lanjut penyelesaian atas tanah
kelebihan luas maksimum pengaturannya tidak diatur dalam UU PLTP tetapi
didelegasikan kepada peraturan pemerintah dengan memperhatikan keinginan
pihak yang memiliki kelebihan luas tanah maksimum (Pasal 5 UU PLTP).
Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera
Barat menyebutkan bahwa dalam pelaksanaannya, umumnya tidak terdapat
laporan adanya kelebihan luas batas maksimum terhadap penguasaan tanah
pertanian.  Penguasaan terhadap tanah hanya dapat terdeteksi dari  tanah-tanah
yang terdaftar (bersertifikat) saja,  atau peguasaan tanah pertanian yang terdaftar
di BPN pada umumnya tidak ada yang melebihi batas maksimum. Dinyatakan
lebih lanjut bahwa pelanggaran terhadap ketentuan batas maksimum tersebut
umumnya dilakukan melalui modus tidak mendaftarkan tanah miliknya atau
kelebihan luas tanah didaftarkan atas nama orang lain, sehingga kepemilikan
batas maksimum tidak selalu dapat terdeteksi.20
Mekanisme penyelesaian kelebihan batas luas maksimum, diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, jo Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Peraturan Pemerintah
Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian
Ganti Kerugian, yang tahapannya meliputi penghitungan sisa tanah luas batas
20
Hasil wawancara dengan Kepala Wilayah BPN Provinsi Sumatera Barat dalam rangka Pemantauan
Pelaksanaan UU PLTP di Padang tanggal 20 Maret 2013

SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah... 11


maksimum; penaksiran harga ganti kerugian sisa tanah oleh Panitia Land Reform
Daerah; dan pemberian ganti kerugian terhadap sisa tanah kelebihan luas
maksimum.
Lemahnya penegakan hokum terhadap kepemilikan atau penguasaan tanah
pertanian yang melebihi batas maksimun juga disebabkan rendahnya nilai ganti
kerugian yang diberikan pada pemegang hak, yaitu hanya dinilai seharga 3,5
juta Rupiah per hektar sebagaimana diatur dalam Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1992, yang semula 50.000 Rupiah dikonversi
menjadi 3,5 juta Rupiah per hektar, sehingga Panitia Pertimbangan land reform
tidak dapat bekerja maksimal, karena tingginya potensi gugatan perdata oleh
pemegang hak yang memiliki kelebihan batas luas maksimum tanah pertanian.
Disamping itu dengan dibubarkannya Pengadilan Land Reform (Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1964) berdasarkan Undang-Undang Nomor 69 jo Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1970, maka  perlindungan terhadap kerja Panitia Land
Reform dinilai kurang memadai yang berdampak Panitia Land Reform tidak dapat
melaksanakan tugasnya secara maksimal.
Selain itu ketentuan Pasal 4 UU PLTP terkait mengenai larangan untuk
memindahkan hak milik atas seluruh atau sebagian tanah kelebihan (maksimum)
kecuali dengan izin kepala agraria daerah kabupaten/kota, dalam pelaksanaannya
tidak optimal karena adanya pendapat bahwa hak milik atas tanah merupakan
hak keperdataan dan hak milik atas tanah merupakan hak yang sempurna
sehingga pemegang hak memiliki kewenangan untuk memindahtangankan hak
atas tanahnya.
Meskipun demikian berdasarkan data BPN, Land Reform dalam arti redistribusi
tanah mulai dilaksanakan sekitar tahun 1961, namun setelah tahun 1965 kegiatan
redistribusi tanah untuk pertanian tetap dilakukan tetapi tidak terlalu signifikan.
Sampai dengan tahun 2000, setidak-tidaknya sebanyak 840.227 hektar tanah
obyek Land Reform sudah didistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga petani
yang tersebar di seluruh Indonesia. Tahun 2007 Pemerintah mengeluarkan
Program Pembaruan Agraria Nasional dengan target mendistribusikan tanah 8-9
juta lahan pemerintah kepada masyarakat dan tahun 2010 Pemerintah melakukan
penertiban tanah terlantar yang jumlahnya mencapai lebih dari 7 juta hektar dan
diperuntukan bagi kegiatan redistribusi tanah pertanian.
Redistribusi tanah merupakan pembagian tanah-tanah yang dikuasai negara
dan telah ditegaskan menjadi obyek Land Reform yang diberikan kepada petani
penggarap yang telah memenuhi syarat pembagian sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Sesuai Keppres Nomor 32 Tahun 1979

12 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


jo PP Nomor 224 Tahun 1961, redistribusi tanah diperuntukan bagi petani yang
memiliki kriteria sebagai berikut:
a) Berdomisili di daerah setempat atau setidak-tidaknya berbatasan dengan
kecamatan dimana letak tanah itu berada (untuk menghindari terjadinya
ketentuan tentang guntai);
b) Pekerjaan penerima redistribusi tanah wajib sebagai petani (benivecier/farmer);
c) Tidak dalam keadaan mempunyai tanah melebihi batas maksimum (latifundia);
d) Sedikit/kurang memiliki tanah (minifundia);
e) Sama sekali tidak memiliki tanah (landless/tunakisma)

IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Land Reform di Indonesia didasarkan pada Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 17
UUPA yang kemudian dijabarkan dalam UU PLTP. Berdasarkan UU PLTP
Land Reform penetapan batas minimum dan maksimum luas tanah pertanian
serta redistribusi tanah baik dari tanah negara maupun tanah kelebihan luas
maksimum yang telah diambil alih pemerintah melalui pemberian ganti kerugian.
Pelaksanaan UU PLTP kurang efektif karena beberapa kendala seperti penetapan
batas luas minimum tanah pertanian sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk,
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tanah, faktor ekonomi dan sosial
budaya masyarakat pemegang hak atas tanah pertanian, serta keterbatasan
kebijakan pendukung pengusahaan tanah pertanian. Sedangkan ketentuan
batas luas maksimum tanah pertanian implementasinya terkendala antara lain
oleh faktor yuridis formal sehingga berpotensi terjadinya penyelundupan hukum
untuk menghindari ketentuan pembatasan maksimum luas tanah pertanian dan
kurangnya pengawasan dari Pemerintah.

B. Saran 
Mengingat peran penting ketersediaan tanah pertanian guna menopang
ketahanan pangan nasional serta dalam rangka mewujudkan kesejahteraan petani
Indonesia, khususnya petani tanpa lahan dan petani dengan lahan di bawah batas
minimum kepemilikan tanah pertanian maka UU PLTP masih diperlukan dengan
beberapa penyempurnaan sesuai kondisi masyarakat serta dengan memperhatikan
kearifan lokal yang dimiliki masing-masing daerah. Penyempurnaan terhadap
UU PLTP dapat dilakukan melalui Revisi UU No. 56/Prp/tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian atau dengan memuat substansi pengaturan UU
PLTP ini ke dalam RUU tentang Pertanahan yang saat ini sedang dipersiapkan
untuk dibahas bersama antara DPR RI dengan Pemerintah.

SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah... 13


DAFTAR PUSTAKA

Buku
A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem Hukum UUPA, Bandung:
Mandar Maju, 1989.
Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Press, 1985.
Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Yogyakarta:Gajah Mada University
Press, 1994.
Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Prespektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2008.
S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola
Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan
Obor, 2008.
Suhariningsih, Tanah Terlantar: Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban,
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2009.
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
BPN-RI, “Pengembangan dan Pemantapan Program Strategis BPN-RI”,
Pemaparan Kepala BPN-RI pada pembukaan Rakernas, 2010.
“Reforma Agraria Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan 
Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, BPN RI, 2007.

Surat Kabar
“Konferensi La Via Campesina: Konflik Agraria Dianggap Persoalan Paling
Krusial”, Kompas,13 Juni 2013.
“Lahan Pertanian 100.000 Ha Lahan Beralih Fungsi”, Kompas, 13 Juni 2013.
“Pangan Jadi Alat Spekulasi: Konferensi Petani Internasional di Jakarta”, Kompas,
5 Juni 2013

14 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Peraturan Perundang-Undangan
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
UU No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.

SULASI RONGIYATI: Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah... 15


TINJAUAN YURIDIS ATAS PEMANFAATAN RUANG
DI BAWAH TANAH

Harris Y. P. Sibuea*

Abstract
Utilization and use of land above ground level where the overload caused by the
increasing urbanisation especially to big cities. Increasing urbanisation is not
offset by the amount of land area on the surface of the earth is ultimately looking
for underground space for use as a place of residence, business interests, public.
Legal certainty over ownership of the land was legal basis, but the vacancy against
setting use of underground space. Underground spaces such as in Kota and Blok-M
is not only used as a bus-way arrival-departure terminal, but also utilized for the
business activities of the society. Utilization of underground space is no agrarian
areas regulations that govern it. The law must respond to the legal vacuum in which
required a policy governing the use of the right underground space, to prevent conflicts
in the future and where a legal certainty in the field of agrarian.
Kata Kunci: Hak guna ruang bawah tanah, kepastian hukum, dan kekosongan
hukum.

A. Latar Belakang
Pemikiran atas lahirnya hak guna ruang bawah tanah sebagai lembaga
hak baru sudah lama ada yang digagas oleh salah satu pakar hukum agraria
Indonesia yaitu almarhum Boedi Harsono. Pemikiran beliau menurut penulis
berdasarkan adanya dugaan di masa yang akan datang atau sekarang ini
dipastikan pemanfaatan atau penggunaan bidang tanah akan semakin terbatas.
Terbatasnya tanah tersebut dikarenakan arus urbanisasi terutama ke kota-kota
besar yang memerlukan bertambahnya penyediaan tempat bermukim baik untuk
kepentingan pribadi atau kepentingan bisnis. Pemikiran tersebut terbukti benar
bahwa semakin sulitnya mencari bidang tanah untuk dimanfaatkan dengan
status hak-hak atas tanah primer.
Sebagaimana diketahui penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun
dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi alas hak atas tanah yang diatur
dalam hukum tanah nasional sesuai dengan status hukum yang menguasai dan
peruntukan penggunaan tanahnya. Sekarang ini hak-hak atas tanah yang tersedia

*
Penulis adalah Peneliti Pertama Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pelayanan Data dan Informasi
(P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, e-mail: harris.sibuea@dpr.go.id

HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis... 17


untuk penggunaan di wilayah perkotaan adalah hak milik, hak guna bangunan
dan hak pakai yang merupakan hak-hak atas tanah yang primer artinya yang
diberikan langsung oleh Negara. Selain itu tersedia berbagai hak sekunder yang
bisa diberikan oleh pihak yang memiliki tanah kepada pihak lain seperti hak
guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan.1 Semua alas hak
tersebut baik yang primer maupun sekunder dilengkapi dengan sertipikat sebagai
alat bukti kepemilikan bidang tanah yang terkuat dan terpenuh.
Hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan ruang di bawah
tanahnya adalah terletak pada pintu keluar masuk antara permukaan bumi
dengan ruang di bawah tanah. Apabila antara ruang di atas permukaan bumi
dengan ruang dibawah tanah dimiliki oleh orang yang sama tidak menimbulkan
masalah karena alas hak di bawah tanah mengikuti induknya yaitu alas hak di
atas permukaan buminya. Masalah muncul ketika kepemilikan yang berbeda
antara ruang di atas permukaan bumi dengan ruang dibawah tanah.
Bangunan-bangunan yang memerlukan ruang di dalam tubuh bumi yang
secara fisik tidak ada kaitannya dengan bangunan yang berada di permukaan
bumi di atasnya, misalnya bangunan untuk kegiatan usaha pertokoan, restoran,
stasiun dan jalan kereta api bawah tanah dan lain-lain. Untuk masuk dan keluar
ruang yang bersangkutan memang diperlukan penggunaan sebagian permukaan
bumi untuk lokasi pintu. Tetapi karena bagian utama struktur bangunan berada
di dalam tubuh bumi, isi kewenangan yang bersumber pada hak atas tanah sebagai
yang ditetapkan dalam Pasal 4 UUPA tidak mungkin ditafsirkan juga keberadaan
dan penguasaan bangunan-bangunan di bawah tanah.2
Konsepsi komunalistik religius dalam hukum tanah nasional tampaknya
sekarang ini mulai tersingkirkan bahkan sudah tidak dapat diimplementasikan
lagi. Komunalistik religius terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dikenal
dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA)
yang menyatakan bahwa “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air
dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Artinya
seluruh wilayah Indonesia adalah milik dari seluruh rakyat Indonesia. Setiap
individu bangsa Indonesia sesungguhnya mempunyai hak untuk memperoleh
tanah dan/atau manfaat dari tanah tersebut, baik bagi dirinya sendiri maupun
keluarganya demi pemenuhan kebutuhan akan keberlangsungan hidup dan
kehidupannya sebagai suatu hak asasi manusia.
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan
Pelaksanaannya, Ed. Rev., Cet. 7, (Jakarta: Djambatan, 1997), Hal. 416.
2
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: ... , Hal. 419.

18 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Kondisi sulitnya mendapatkan atau menggunakan bidang permukaan
bumi di daerah perkotaan menyebabkan masyarakat mulai mencari bidang-
bidang tanah di bawah permukaan bumi. Sebagai contoh di Daerah Khusus Ibu
Kota Jakarta terdapat kawasan ruang bawah tanah di Kota dan Blok-M, yang
digunakan sebagai tempat bisnis sekaligus jalan keluar bagi penumpang kereta
api dan bus way. Di Makassar terdapat bangunan di bawah Lapangan Karebosi
yang digunakan untuk kepentingan usaha atau bisnis dimana menjadi salah satu
pusat perbelanjaan di Makassar. Penguasaan tanah di bawah tanah tersebut belum
diatur alas hak nya sehingga siapapun dapat memanfaatkannya baik menyewa
dari instansi yang berkaitan maupun dengan cara yang ilegal yakni membayar
uang sewa kepada oknum. Kondisi ini disebut kekosongan hukum dimana jika
dibiarkan maka akan menimbulkan suatu konflik karena adanya ketidakpastian
hukum atas kepemilikan suatu ruang di bawah tanah.
Tanah yang merupakan kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan
dengan berbagai hal, antara lain:3
1. Keterbatasan tanah, baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan
kebutuhan yang harus dipenuhi;
2. Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dan tanah sebagai akibat
perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan dan
perubahan-perubahan sosial pada umumnya;
3. Tanah di satu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat
penting, pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek
spekulasi;
4. Tanah di satu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-
besarnya kesejahteraan rakyat lahir batin, adil dan merata, sementara di lain
pihak harus dijaga kelestariannya.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu terobosan dan inovasi pembangunan yang
dapat mengatasi perkembangan kebutuhan masyarakat tersebut, yaitu ruang di
bawah permukaan bumi (ruang bawah tanah). Namun demikian, terobosan dan
inovasi tersebut tentunya membutuhkan dukungan perangkat hukum agar dalam
perwujudannya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh
lapisan masyarakat. Dalam hal ini, tentunya kita harus kembali pada landasan
hukum pertanahan nasional yaitu UUPA.
Pemenuhan kebutuhan akan tanah tersebut diatur oleh Negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang diberikan kewenangan oleh Undang-
Undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, bahwa “Atas dasar
3
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Ed. I, Cet. IV, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), Hal. 1.

HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis... 19


ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Kewenangan negara tersebut yang disebut hak menguasai negara atas tanah
yang diartikan negara mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Selain itu juga
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan perbuatan hukumnya mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Negara
harus merespon dengan kebijakan untuk mengakomodir kekosongan hukum
yang terjadi berkaitan dengan alas hak bagi masyarakat yang memanfaatkan dan
menggunakan ruang bawah tanah. Sehingga nantinya tidak akan muncul saling
memiliki dan konflik antara masyarakat dalam hal kepemilikan ruang bawah
tanah.
Berbagai permasalahan pemanfaatan ruang bawah tanah yang belum
ada alas haknya serta penggunaan tanah atau permukaan bumi yang sudah
ada alas haknya berdasarkan UUPA membuat penulis merasa tertarik untuk
mengkaji permasalahan tersebut dalam tulisan ini. Tulisan ini menggunakan
data kepustakaan berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan hak guna ruang bawah tanah kemudian dianalisis
secara deskriptif analitis sehingga dapat digambarkan secara jelas mengenai
permasalahan terhadap hak guna ruang bawah tanah yang tidak digunakan
sebagai hak kepemilikan ruang di bawah permukaan bumi di bidang agraria.

B. Perumusan Masalah
Penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan pemanfaatan ruang di
bawah tanah yang tidak diakomodir jenis alas haknya di dalam bidang agraria
dengan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana urgensi atas kebutuhan yang mendesak terhadap pengaturan
pemanfaatan ruang di bawah tanah?
2. Bagaimana substansi pengaturannya terkait pemanfaatan ruang di bawah
tanah?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan utama yang hendak dicapai dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. mengetahui urgensi atas kebutuhan yang mendesak terhadap pengaturan
pemanfaatan ruang di bawah tanah;
2. mengetahui substansi peraturan terkait pemanfaatan ruang di bawah tanah.

20 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


D. Kerangka Teori
Nonet dan Selznick dengan teori hukum responsif, menempatkan hukum
sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik.
Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan
akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan
dan emansipasi publik. Kepedulian pada akomodasi aspirasi sosial, menyebabkan
teori ini tergolong dalam wilayah sosiological jurisprudence. Bahkan menurut Nonet
dan Selznick, hukum responsif merupakan progam dari sosiological jurisprudence
dan realist jurisprudence. Dua aliran tersebut, pada initinya menyerukan kajian
hukum yang lebih empirik melampaui batas-batas formalisme, perluasan
pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum.4
Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan
dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya,
maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi
juga harus mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose),
yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari
bekerjanya hukum itu.5
Hukum responsif itu melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan
looking towards pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu. Itulah
sebabnya, hukum responsif mengandalkan dua doktrin utama. Pertama, hukum
itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan, dan rasional. Kedua, kompetensi
menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum.6
Kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma kritik, maka tatanan
hukum responsif menekankan: (1). Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi
hukum; (2). Peraturan merupakan subordinasi dari prinsip dan kebijakan; (3).
Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan
masyarakat; (4). Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan
keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan; (5). Memupuk sistem
kewajiban sebagai ganti sistem paksaan; (6). Moralitas kerja sama sebagai
prinsip moral dalam menjalankan hukum; (7). Kekuasaan didayagunakan
untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat; (8). Penolakan
terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum; (9).
Akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan
sosial.7
4
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cet. ke - III,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), Hal. 205.
5
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi ... , Hal. 206.
6
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi ... , Hal. 207.
7
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi ... , Hal. 207.

HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis... 21


Pendek kata, bagi tatanan hukum responsif, hukum merupakan institusi
sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat lebih dari sekedar suatu sistem peraturan
belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial
dalam dan untuk masyarakatnya. Melihat hukum sebagai institusi sosial, berarti
melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagai
proses dan kekuatan dalam masyarakat.8
Hukum responsif menurut Nonet dan Seznick merupakan suatu upaya
dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan
ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang
pengalaman hukum menemukan kembali persambungannya dengan ilmu hukum
klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik. Ilmu hukum selalu lebih dari
sekadar bidang akademik yang dipahami oleh hanya segelintir orang. Jadi, teori
hukum tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak pula kebal dari
pengaruh sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan kedalaman, ketika ia secara
sadar mempertimbangkan implikasi-implikasi yang dimilikinya untuk tindakan
dan perencanaan kelembagaan. Menurut Nonet dan Seznick, untuk membuat
ilmu hukum lebih relevan dan lebih hidup harus ada reintegrasi antara teori
hukum, teori politik, dan teori sosial.9
Teori hukum responsif di atas dilengkapi dengan asas yang melandasi
kepemilikan atas tanah sebagai landasan pemikiran serta untuk menganalisis
hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan ruang di bawah
tanahnya. Asas tersebut yaitu asas yang berkaitan dengan hubungan antara
tanah dengan tanaman dengan bangunan baik yang terdapat di atasnya maupun
di bawahnya. Terdapat 2 (dua) asas yaitu asas perlekatan dan asas pemisahan.
Asas perlekatan horizontal sebagaimana diatur dalam Pasal 588 KUHPerdata
menyatakan bahwa segala apa yang melekat pada suatu barang, atau yang
merupakan sebuah tubuh dengan barang itu, adalah milik orang yang menurut
ketentuan-ketentuan tercantum dalam pasal-pasal berikut dianggap sebagai
pemiliknya. Asas perlekatan vertikal sebagaimana diatur Pasal 571 KUHPerdata
menyatakan bahwa hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas segala
sesuatu yang ada di atasnya dan di dalam tanah itu. Sedangkan asas pemisahan
horizontal adalah hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan
bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.10

8
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi ... , Hal. 210.
9
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi ... , Hal. 211.
10
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Hal. 4-6.

22 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


E. Pembahasan
1. Urgensi atas kebutuhan yang mendesak terhadap pengaturan pemanfaatan
ruang di bawah tanah.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini
diakomodir di dalam Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa:
1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada
ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat
dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat
dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada Daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,
menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah
Kemudian selanjutnya Pasal 4 UUPA menyatakan bahwa:
1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum.
2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian
pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah

HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis... 23


itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan
hukum lain yang lebih tinggi.
3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Pasal 2 UUPA serta Pasal 4 tersebut tersebut
jelas hanya mengatur mengenai alas hak atas tanah di atas permukaan bumi saja
yaitu bumi, air dan ruang angkasa baik dari peruntukannya, hubungan hukum
maupun perbuatan hukumnya. Padahal sekarang ini sudah banyak tersedia ruang
di bawah tanah yang sudah berfungsi untuk kepentingan bisnis tanpa adanya
bukti kepemilikan atas kepemilikan ruang di bawah tanah itu. Hukum harus
responsif terhadap permasalahan ini melalui kebijakan legislasi yang mengatur
alas hak bagi kepemilikan ruang di bawah tanah.
Dapat dikaji dari 9 ciri-ciri hukum responsif Nonet dan Selznick yang telah
digambarkan pada kerangka teori dapat diambil 4 ciri yang berkaitan langsung
dengan apa yang harus dilakukan terhadap kebijakan pemanfaatan ruang
di bawah tanah di Indonesia khususnya di kota-kota besar yaitu: peraturan
merupakan subordinasi dari prinsip dan kebijakan; pertimbangan hukum harus
berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat; kekuasaan
didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat;
akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan
sosial.
Pertama, peraturan merupakan subordinasi dari prinsip dan kebijakan. Dapat
dilihat kajian dari hubungan antara Pasal 33 UUD 1945, Pasal 2 UUPA serta
Pasal 4 UUPA yang menjelaskan bahwa Negara hanya membuat peraturan
yang mengatur mengenai pemanfaatan dan penggunaan tanah di permukaan
bumi saja. Peraturan yang menjadi landasan hukum untuk kepemilikan ruang
bawah tanah belum diatur secara nasional. Sertifikat atas ruang bawah tanah
merupakan bukti kepemilikan yang kuat dan penuh dalam arti sudah jelas secara
hukum kepemilikan atas ruang bawah tanah tersebut.
Adapun diambil contoh Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 yang mengatur tentang syarat teknis
penggunaan ruang di bawah tanah namun tidak ada induk peraturan perundang-
undangan yang mengatur alas hak pemanfaatan ruang di bawah tanah yang
digunakan sebagai bukti kepemilikan ruang di bawah tanah. Pasal 198 Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, menyatakan bahwa:
1) Pemanfaatan ruang di atas dan/atau di bawah tanah yang melintasi prasarana
dan/atau sarana umum mengikuti arahan:

24 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


a. tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal;
b. tidak menggangu fungsi prasarana dan sarana yang berada di bawah
tanah;
c. memenuhi persyaratan kesehatan sesuai fungsi bangunan gedung;
d. memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan keselamatan
bagi pengguna bangunan gedung;
e. mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
2) Pemanfaatan ruang di bawah dan/atau di atas air mengikuti arahan:
a. Tidak mengganggu keseimbangan lingkungan dan fungsi lindung kawasan;
b. Tidak menimbulkan perubahan arus air yang dapat merusak lingkungan;
c. Tidak menimbulkan pencemaran; dan
d. Telah mempertimbangkan faktor keselamatan, kenyamanan, kesehatan,
dan kemudahan bagi pengguna bangunan gedung.
3) Pemanfaatan ruang di atas prasarana dan/atau sarana umum mengikuti
arahan:
a. Tidak mengganggu fungsi prasarana dan sarana yang berada di bawahnya
dan/atau di sekitarnya;
b. Tetap memperhatikan keserasian bangunan gedung terhadap lingkungannya;
dan
c. Memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan sesuai fungsi gedung.
4) Pembangunan ruang bawah tanah untuk kepentingan perorangan dan
umum mempunyai batasan kedalaman tertentu sesuai dengan fungsi yang
akan dikembangkan dan akan diatur dengan peraturan sendiri
5) Ketentuan lebih lanjut tentang pembangunan dan pemanfaatan ruang di
atas dan/atau di bawah tanah, air dan/atau prasarana dan sarana umum
ditetapkan oleh Gubernur.
Kedua, pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat
bagi kemaslahatan masyarakat. Tujuan diakomodirnya kebijakan atas hak guna
ruang bawah tanah sebagai lembaga hak baru adalah demi kepastian hukum atas
kepemilikan ruang-ruang di bawah tanah yang selama ini sudah berjalan, seperti
ruang-ruang bawah tanah di Kota dan Blok-M. akibat dari adanya kebijakan
tersebut maka sedikitnya sudah ada payung hukum atas kepemilikan ruang
di bawah tanah, sehingga suatu ketika baik instansi maupun masyarakat yang
menggunakan dan memanfaatkan ruang bawah tanah sudah jelas ada landasan
hukumnya.
Pertimbangan hukum atas hak guna ruang bawah tanah akan dijadikan
salah satu hak atas ruang pada legislasi akan sangat berguna seperti halnya
pendapat dari Hendricus Andy Simarmata, pengamat perkotaan Universitas

HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis... 25


Indonesia, yang menyatakan bahwa ruang bawah tanah dapat digunakan untuk
5 (lima) kegiatan utama, yakni: transportasi massal, kegiatan produksi, aktifitas
komersial, kegiatan pergudangan dan kegiatan lainnya seperti pengembangan
ilmu kebumian. MRT hanya merupakan salah satu pemanfaatan ruang bawah
tanah. Pembangunan MRT seharusnya diintegrasikan dengan tata ruang bawah
tanah yang sesuai visi pembangunan Jakarta masa depan.11 Semua kegiatan
tersebut perlu didukung dengan alas hak yang memberikan kepastian hukum
dalam melakukan semua aktifitas tersebut.
Ketiga, kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam
melayani masyarakat. Kekuasaan ada pada pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia di bidang legislasi untuk membuat suatu peraturan
yang mengakomodir kepentingan rakyat yang memanfaatkan dan menggunakan
ruang bawah tanah dengan adanya kepastian hukum yaitu sertipikat.
Keempat, akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi
hukum dan sosial. Partisipasi dapat dilakukan dengan adanya uji publik terhadap
kebijakan legislasi yang sedang disusun serta adanya rapat dengar pendapat
umum dengan pakar-pakar bidang hukum agraria dan tata ruang. Hal ini sangat
berguna agar terjadinya sinkronsisasi peraturan antar isntansi pemerintah yang
sudah berjalan selama ini.
Sudah saatnya Indonesia melengkapi peraturan pemanfaatan atas tanah
yaitu membuat peraturan induk sebagai alas hak pemanfaatan ruang di bawah
tanah mengingat sudah sangat overload penggunaan tanah di atas permukaan
bumi yang disebabkan semakin meningkatnya arus penduduk masuk ke kota-
kota besar yang mengakibatkan terbatasnya lahan atau tanah di atas permukaan
bumi untuk dimanfaatkan.

2. Substansi pengaturan terkait pemanfaatan ruang di bawah tanah.


Kekosongan hukum atas tidak adanya induk peraturan atas alas hak guna
ruang di bawah tanah menjadi tantangan tersendiri bagi pengambil kebijakan
untuk mengakomodir subtansi tentang hak guna ruang bawah tanah di dalam
peraturan perundang-undangan. Untuk memberikan masukan terhadap
penerapan hak guna ruang bawah tanah sebagai lembaga baru dalam hukum
tanah nasional didefinisikan terlebih dahulu tentang hak guna ruang bawah
tanah. Secara sederhana hak guna ruang bawah tanah diartikan sebagai suatu
hak bagi pemegang hak yang memanfaatkan ruang di bawah tanah baik untuk
tujuan pribadi maupun bersama-sama.
11
DKI Butuh Tata Ruang Bawah Tanah, http://www.bkprn.org/v2/subpage.php?id=205, diakses 2 Juni
2013.

26 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Hak guna ruang bawah tanah dapat didefinisikan lebih rinci sebagai berikut:
(1). Hak guna ruang bawah tanah meliputi hak atas permukaan bumi yang
merupakan pintu masuk/keluar tubuh bumi dan hak membangun dan memakai
ruang dalam tubuh bumi, serta hak milik atas bangunan yang berbentuk ruang
dalam tubuh bumi; (2). Hak guna ruang bawah tanah tidak terlepas dari hak
atas tanah yang untuk memiliki/ menggunakan tanah sebagai pintu masuk/
keluar tubuh bumi harus dilandasi dengan suatu hak atas tanah; (3). Sebagai
landasan hak untuk menggunakan/memiliki ruangan di dalam tubuh bumi, di
bawah tanah yang menjadi hak orang lain; (4). Untuk kepastian hukum dalam
kepemilikan bangunan dalam ruang di dalam tubuh bumi.12
Hak guna ruang bawah tanah disebut juga hak di bawah permukaan bumi
yang mana merupakan hak yang mengandung unsur-unsur: (1). Hak atas tanah
untuk ruang tempat masuk ke dalam bangunan; (2). Mempertimbangkan hak
keperdataan pihak yang ada di atasnya (di atas tanah); (3). Hak mendirikan dan
memiliki bangunan di bawah tanah serta memanfaatkan ruang bangunannya
dengan mempertimbangkan kedalaman dan luas bangunan yang boleh digali
di bawah permukaan bumi berdasarkan faktor-faktor keselamatan, kesehatan,
keamanan, tingkat teknlogi yang digunakan dan kelestarian lingkungan bagi
pengguna bangunan, pemilik tanah di atasnya dan masyarakat luas lainnya;
(4). Hak guna ruang bawah tanah harus dikenakan untuk setiap kegiatan
pembangunan yang memanfaatkan ruang bawah tanah seperti bangunan fisik,
aliran listrik/gas/telepon, dan sebagainya; (5). Pemilik hak guna ruang bawah
tanah harus bertanggung jawab kepada pemilik tanah yang ada di atasnya dan
masyarakat luas lainnya atas segala resiko kerugian yang ditimbulkan akibat
pemanfaatan ruang bawah tanah tersebut; (6). Hak guna ruang bawah tanah
seyogyanya jangka waktunya lebih pendek dibandingkan hak atas tanah yang
ada di atasnya, dan dapat diperpanjang; (7). Hak guna ruang bawah tanah dapat
berlaku penuh di perkotaan, namun terbatas di pedesaan/pertanian mengingat
aliran air bawah tanah dan kondisi alam lainnya.13
Setelah definisi dan unsur-unsur atas hak guna ruang bawah tanah jelas
maka diperlukan subtansi yang perlu diakomodir dalam penerapannya dalam
peraturan perundang-undangan. Beberapa pakar bidang agraria di Indonesia
mempunyai berbagai macam pemikiran yang dapat menjadi bahan masukan
untuk subtansi legislasi perundang-undangan. Boedi Harsono, pakar hukum
12
Indra Gumilar, dkk, Dir. Pendaftaran Hak Tanah dan Guna Ruang, http://eleveners.wordpress.
com/2010/01/19/dir-pendaftaran-hak-tanah-dan-guna-ruang/, diakses 5 Juni 2013.
13
Asmadi Adnan, Keberadaan dan Pengaturan Hak-Hak Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah,
Jurnal Ilmiah:Hasil-Hasil Penelitian Dan Kajian Pertanahan, Ed. IX, No. 1, 2008, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, 2007, ISSN: 1410-1971, Hal. 5.

HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis... 27


agraria, memberikan pemikirannya terkait hak guna ruang bawah tanah sebagai
lembaga hak baru yaitu:14
1. Nama haknya: Hak Guna Ruang Bawah Tanah (HGRBT);
2. HGRBT memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk membangun
dan memiliki bangunan di dalam tubuh bumi tertentu, berupa ruang
berdimensi tiga serta menggunakan bagian-bagian permukaan bumi tertentu
di atasnya sebagai jalan masuk dan keluar bangunan yang bersangkutan;
3. Bangunan yang dibangun bisa terdiri atas bagian-bagian tertentu yang dapat
digunakan secara terpisah satu dengan yang lain serta bagian-bagian lain,
seperti lorong, tangga dan lain-lainnya digunakan secara bersama. Bagian-
bagian yang dapat digunakan secara terpisah tersebut dapat disewakan
kepada pihak lain oleh pemegang HGRBT.
4. HGRBT diberikan oleh Negara dengan jangka waktu selama-lamanya sekian
tahun, dengan kemungkinan diperpanjang dengan jangka waktu selama-
lamanya sekian tahun;
5. HGRBT dapat beralih melalui pewarisan dan pemindahan hak;
6. HGRBT dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan
menurut ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996;
7. HGRBT dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia dan badan-badan
hukum yang didirikan di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
8. HGRBT didaftar dalam buku tanah yang dilengkapi dengan sertipikat sebagai
surat bukti haknya, menurut peraturan tentang pendaftaran hak atas tanah,
yang dilengkapi dengan ketentuan untuk mengidentifikasi letak, ukuran dan
luas bangunan dan bagian-bagiannya;
9. Pembangunan dan penggunaan ruang yang bersangkutan oleh pemegang
HGRBT tidak boleh mengakibatkan kerusakan pada tubuh bumi dan tanah
di atasnya serta tidak boleh menimbulkan gangguan pada pemagang hak atas
tanah di atasnya;
10. Penggunaan tanah di atasnya oleh pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan juga tidak boleh mengakibatkan kerusakan atau gangguan
dalam penggunaan ruang bawah tanah tersebut;
11. Tanpa mempunyai HGRBT pemegang hak atas tanah dilarang membangun
atau memberi izin pihak lain untuk membangun di dalam tubuh bumi di bawah
tanah yang dihaki, jika dibangun yang dibangun itu tidak ada hubungan fisik
dengan bangunan yang dibangun di atas tanah yang bersangkutan.
Selanjutnya Arie S. Hutagalung, Guru Besar Hukum Agraria Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, berpendapat terkait hak guna ruang bawah
14
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: ... , Hal. 420-422.

28 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


tanah dalam acara Rapat Dengar Pendapat Umum tentang RUU Perubahan
Atas UUPA yang diselenggarakan oleh DPR RI, memberikan masukan bahwa
jenis-jenis hak terkait agraria setelah UUPA dirubah adalah sebagai berikut: (1).
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai; (2). Hak Sewa,
membuka tanah, memungut hasil hutan; (3). Hak-atas ruang lainnya: a. Hak
Milik atas Satuan Bangunan Bertingkat, b. Hak Guna Ruang Atas Tanah, Hak
Guna Ruang Bawah Tanah.
Adapun Maria Sumardjono, pakar hukum agraria Universitas Gajah Mada,
menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan ruang di bawah tanah, maka ada
beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu:15
1. Pertama, bila subyek hak di atas tanah sama dengan subyek hak di bawah
tanah, maka hak yang diberikan untuk ruang di bawah tanah sama dengan
hak yang berada di atasnya. Misalnya: suatu bank pemerintah membangun
fasilitas parkir di bawah tanah untuk kelancaran pelayanan kepada
nasabahnya, maka dapat diberikan hak milik. Bila yang membangun sarana
parkir itu suatu hotel untuk keperluan pengoperasian hotel tersebut, maka
HGB dapat diberikan;
2. Kedua, bila hak di bawah tanah terpisah dengan penguasaannya di
atasnya, maka ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi: (1) untuk
pembangunan subway (terminal berikut jaringan), bila yang membangun,
memiliki, dan mengoperasikan seluruhnya pemerintah, maka dapat diberikan
hak pengelolaan; (2) bila subway dibangun, dimiliki, dan dioperasikan oleh
pihak swasta, maka dapat diberikan HGB; (3) bila subway dibangun oleh
pemerintah, tetapi dikelola/dioperasikan oleh pihak swasta, maka pemerintah
mempunyai hak pengelolaan dan di atas hak pengelolaan tersebut dapat
diberikan HGB kepada pihak swasta;
3. Ketiga, untuk pembangunan business center, maka dapat diberikan HGB;
4. Keempat, kemungkinan yang bersifat hipotesis, yakni apabila badan-badan
hukum yang diperkenankan mempunyai hak milik (bank-bank pemerintah,
organisasi keagamaan, dan sebagainya) yang memohon hak atas ruang di
bawah tanah, kiranya dapat juga diberikan hak milik;
5. Kelima, untuk membedakan (sekedar nama) antara hak-hak yang diperoleh
terkait ruang di bawah tanah dan di permukaan bumi, maka penyebutannya
dapat ditambah dengan, misalnya Hak Milik Bawah Tanah (HMBT), Hak
Guna Bangunan Bawah Tanah (HGBBT), dan sebagainya;
15
Maria S. W. Sumardjono, Tanah: Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2009), Hal. 131-132.

HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis... 29


6. Keenam, pembentukan lembaga hak atas tanah yang baru belum diperlukan,
pilihan apa pun yang akan dijatuhkan dalam menghadapi perkembangan
serta era globalisasi, seyogianya dilakukan dengan tetap mengingat tanggung
jawab terhadap generasi yang akan datang.
Dari sisi teknis tata ruang, Hendricus Andy Simarmata, pengamat
perkotaan Universitas Indonesia, mengatakan bahwa jika selama ini pemikiran
tentang pemanfaatan ruang bawah tanah di Jakarta berkembang hanya
sebatas pembangunan subway sebagai bagian dari Mass Rapid Transit (MRT),
sebenarnya pemanfaatan tersebut bisa dikembangkan untuk menjawab masalah
kependudukan di Jakarta yang sudah overload. Berdasarkan pengalaman negara
Belanda, ruang bawah tanah dapat dikembangkan untuk struktur kota seperti
fondasi dan struktur untuk bangunan dan jaringan jalan, parkir mobil, stasiun
bawah tanah, sinema, perkantoran, bangunan komersial, pusat perbelanjaan dan
perumahan. Beliau mengatakan bahwa harus digalakkan upaya menyakinkan
masyarakat dan sektor privat tentang keamanan dan kenyamanan tinggal dan
berada di kedalaman 4-16 meter di bawah permukaan tanah. Justru di kedalaman
itu suhu udara lebih stabil daripada seperti di permukaan. Idealnya, lapisan
pertama di kedalaman sekitar 4 meter untuk publik, sedangkan lapisan kedua
di kedalaman 16 meter bisa disewakan untuk sektor swasta. Tetapi yang paling
penting adalah aturan yang melibatkan instansi pemerintahan yang sama sampai
tahap yang detail.16
Dari sekian banyak pernyataan dari pakar hukum agraria Indonesia terkait
urgensi akan adanya payung hukum penggunaan HGRBT dapat penulis simpulkan
bahwa untuk membuat suatu kebijakan atas HGRBT tersebut harus dikaji dari
berbagai unsur-unsur yang mendukung HGRBT tersebut. Unsur-unsur tersebut
antara lain: (1) nama hak dan definisinya; (2) subyek hak; (3) jangka waktu hak;
(4) tata cara pemindahan hak; (5) hapusnya hak.
Pertama, nama hak dilihat dari letak sasaran hak adalah bawah tanah maka
nama yang dapat dijadikan opsi antara lain Hak Guna Ruang Bawah Tanah
atau Hak Milik Bawah Tanah atau Hak Guna Bangunan Bawah Tanah. Definisi
dapat dilihat dari nama hak tersebut yang dapat dipisah-pisah katanya yakni
hak, guna dan ruang bawah tanah. Hak merupakan kewenangan yang dipunyai
oleh pemegang hak. Guna merupakan tujuan atau sasaran dari hak untuk
menggunakan bagian dari tubuh bumi yaitu ruang bawah tanah. Selanjutnya
ruang bawah tanah merupakan bagian bawah permukaan bumi atau tanah.
Jadi dapat didefinisikan secara sederhana bahwa misalnya yang digunakan
16
Ruang Bawah Tanah, Solusi Kependudukan Jakarta?, http://www.forumbebas.com/thread-79576.
html, diakses 12 Juni 2013.

30 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


namanya adalah Hak Guna Ruang Bawah Tanah, didefinisikan suatu hak yang
memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk menggunakan, memiliki
dan membangun bangunan pada ruang di bawah permukaan bumi tertentu.
Kedua, subyek hak merupakan siapa pemegang hak yang dapat menggunakan,
memiliki maupun membangun sebuah bangunan di ruang bawah tanah. Subyek
hak ini sangat penting untuk dikaji siapa saja yang dapat memiliki hak guna
ruang bawah tanah nantinya. Apakah Warga Negara Asing dan Badan Hukum
Asing dapat memiliki ruang bawah tanah ini dengan berbagai batasan yang
diatur. Hak pemanfaatan ruang bawah tanah tidak seperti hak milik atas tanah
yang kepemilikannya terkuat dan terpenuh selama tidak ada kepentingan umum
di atas hak milik atas tanah tersebut. Penulis memberikan opsi bahwa subyek hak
atas pemanfaatan ruang bawah tanah antara lain (a) Warga Negara Indonesia;
(b) Badan Hukum Indonesia artinya menutup pihak asing untuk memiliki ruang
bawah tanah atau pihak asing dapat juga memiliki dengan pembatasan sebagai
berikut: (a) Warga Negara Indonesia; (b) Badan Hukum Indonesia; (c) Warga
Negara Asing dengan pembatasan; (d) Badan Hukum Asing dengan pembatasan.
Ketiga, jangka waktu hak harus dibatasi dalam penggunaan dan pemanfaatan
ruang bawah tanah. Pembatasan ini bertujuan agar tidak terjadinya penelantaran
ruang bawah tanah yang pada akhirnya akan mengurangi fungsi pemeliharaan dari
ruang bawah tanah tersebut. Jangka waktu hak tersebut terdiri dari jangka waktu
awal kemudian dapat diperpanjang dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi
antara lain tidak ditelantarkan, pemeliharaannya baik selama menggunakan
ruang bawah tanah tersebut. Jangka waktu yang tepat antara 10 sampai 30 tahun
dengan perpanjangan antara 10 sampai 20 tahun.
Keempat, hak atas ruang bawah tanah dapat dipindahtangankan baik jual
beli, dijaminkan, sampai pada sewa menyewa. Dari ketiga jenis pemindahan hak
ruang bawah tanah sangat penting untuk dibatasi dengan syarat-syarat yang diatur
lebih khusus pada peraturan pelaksana dimana akan lebih rinci pengaturannya
dalam peraturan khusus tersebut.
Kelima, hapusnya hak ruang bawah tanah dapat terjadi antara lain: (a) jangka
waktunya berakhir dimana kemudian hak tersebut akan kembali menjadi milik
negara; (b) ruang bawah tanahnya musnah akibat force majeur misalnya bencana
alam yang memusnahkan ruang bawah tanah itu; (c) dihentikan sebelum jangka
waktunya berakhir karena syarat yang ditidak dipenuhi; (d) pelepasan hak oleh
pemegang hak; (e) dicabut atas dasar kepentingan umum yang dilaksanakan
oleh negara (f) ditelantarkan oleh pemegang hak.
Menurut uraian di atas beberapa pemikiran baik secara subtansi maupun
teknis dapat dijadikan bahan masukan dalam mengambil kebijakan dalam bidang

HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis... 31


agraria khususnya dalam mengakomodir alas hak guna ruang bawah tanah untuk
pemanfaatan dan pengunaan ruang di bawah tanah. Hal ini karena hukum yang
responsif itu digambarkan dari kebijakan yang mengerti akan adanya kekosongan
hukum yang terjadi di masyarakat, sehingga masyarakat juga mendapat kepastian
hukum dan aman dalam menggunakan dan memanfaatkan ruang di bawah tanah.

F. Penutup
1. Kesimpulan
Urgensi peraturan yang menjadi landasan hukum atas pemanfaatan ruang
bawah tanah dirasa kurang karena ada kekosongan hukum yang menjadi induk
peraturan atas alas hak pemanfaatan hak guna ruang bawah tanah. Hal ini
dibuktikan sampai saat ini UUPA maupun peraturan perundang-undangan yang
lain belum mengatur secara jelas mengenai alas hak guna ruang bawah tanah
sebagai payung hukum penggunaan ruang bawah tanah.
Pengaturan hak guna ruang bawah tanah sebagai lembaga hak baru dalam
hukum tanah nasional sangat diperlukan dalam peraturan perundang-undangan
di bidang agraria dengan subtansi sebagai berikut: nama hak, subyek hak, obyek
hak, jangka waktu pemanfaatan hak, hak dan kewajiban pemegang hak. Selain
itu dari segi tata ruang diperlukan peraturan teknis seperti ukuran kedalaman
dari ruang di bawah tanah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi
maupun bersama.

2. Saran
Berbagai opsi dapat dijadikan bahan masukan bagi pengambil kebijakan
khususnya dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Pertanahan yakni
Pertama, kebijakan yang membiarkan kepemilikan ruang di bawah tanah
tanpa ada alas hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berdampak akan terjadinya konflik kepemilikan atas ketidakpastian hukum di
masa yang akan datang; Kedua, kebijakan yang merespons kekosongan hukum
yang terjadi di masyarakat terkait belum diaturnya alas hak bagi penggunaan
dan pemanfaatan ruang di bawah tanah yang dampaknya akan sangat berguna
di berbagai bidang baik ekonomi, hukum, sosial maupun politik. Hal ini dapat
diakomodir dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang sedang disusun
oleh Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai usul inisiatif
dengan induknya UUPA. Terkait dengan memenuhi hukum yang responsif, maka
diharapkan diakomodir tentang kepemilikan hak guna ruang bawah tanah yang
perlu diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksananya.

32 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Ed. Rev. Cet. 7. (Jakarta: Djambatan,
1997).
Sumardjono, Maria S. W. Tanah: Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya.
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009).
Supriadi. Hukum Agraria. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Ed. I. Cet. IV.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
Tanya, Bernard L., dkk. Teori Hukum:Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi. Cet. ke - III. (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010).

Artikel Jurnal
Adnan, Asmadi, Keberadaan dan Pengaturan Hak-Hak Ruang Atas Tanah dan Ruang
Bawah Tanah, Jurnal Ilmiah:Hasil-Hasil Penelitian Dan Kajian Pertanahan,
Ed. IX, No. 1, 2008, Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan
Nasional, 2007, ISSN: 1410-1971.

Artikel Internet
DKI Butuh Tata Ruang Bawah Tanah, http://www.bkprn.org/v2/subpage.
php?id=205, diakses 2 Juni 2013.
Indra Gumilar, dkk, Dir. Pendaftaran Hak Tanah dan Guna Ruang, http://eleveners.
wordpress.com/2010/01/19/dir-pendaftaran-hak-tanah-dan-guna-ruang/,
diakses 5 Juni 2013.
Ruang Bawah Tanah, Solusi Kependudukan Jakarta?, http://www.forumbebas.com/
thread-79576.html, diakses 12 Juni 2013.

Peraturan Perundang-undangan/Dokumen Lain


Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

HARRIS YONATAN PARMAHAN SIBUEA: Tinjauan Yuridis... 33


--------------. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor
Indonesie), Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.
--------------.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).
--------------. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor
1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 (Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 30).

34 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


PENGUATAN LEMBAGA ADAT
SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Nikolas Simanjuntak*

Abstract
The legacy of postcolonial scholars has preserved the meaning of traditional law
based on genealogical and territorial intimate relationship. Spreading at local various
tribes in more than 200 kinds of unique tradition within the archipelago along this
country, each of the society has separately developed their traditional law with its
particular court institution, from splendid isolation rural area context into Indonesian
modern era of urban migran open society. Alternative Dispute Resolution thereof
has been promulgated as the Law number 30 of 1999. It was prepared during the
Indonesian multicrisis at the beginning of reformation era. Much more expectation
is borne in cutting the sophisticated multifaceted off the implications practices to the
private legal proceeding. This paper intends to elaborate the picturesque of traditional
court institution, could it be empowered into practice for alternative dispute resolution
within the prevailing recent law. It may affect the pursuant of restorative justice
concept, combining traditional isolation context during the ancient rural area within
the open society in modern global context.
Kata Kunci: Lembaga peradilan adat, penyelesaian sengketa alternatif, era
moderenisasi di Indonesia, dan konsep keadilan restoratif.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Entitas “Lembaga Adat” an sich, per se, di era generasi digital1 terkini, sudah
menjadi soal yang sarat beban untuk dipahami, terlebih lagi untuk bisa diterapkan
sesuai dengan subtansi maksudnya. Dengan sengaja Penulis menegaskan era terkini
*
Penulis adalah Tenaga Ahli Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR RI
1
Generasi digital, dirujuk dari artikel Radhar Panca Dahana (Kompas, 28/xi/2012, hlm.6) antara lain
“Mereka, yang kerap disebut sebagai iGeneration (i:Internet) atau NetGeneration atau Generation@,
adalah gelombang manusia tumbuh bahkan menjadi digital: generasi digital! …Manusia-manusia yang
sangat praktis, bahkan hiperpragmatis, dengan kantong yang tipis tetapi padat isi dan makna, ada dunia
di dalam sakunya, dalam bentuk yang tidak lebih besar dari bungkus rokoknya… mengakses dan merepsi
data, kata, dan makna dengan cubitan di kotak screen. Dengan ujung telunjuknya mereka memindai
semesta dalam kecepatan daya tangkap visual dan kognitif yang luar biasa. Mereka tahu banyak, bahkan
terlalu banyak. Namun tetap dalam paradoks: mereka juga tak tahu banyak …generasi canggih ini
sebenarnya juga terluka oleh krisis-krisis politik, moneter, hingga lingkungan yang diproduksi oleh sistem
hasil ciptaan kakek dan buyutnya…”

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 35


sebagai “generasi digital” untuk menggambarkan betapa kontras latar belakang situasi
yang sungguh berbeda dengan era di masa efektif berlakunya suatu entitas Lembaga
Adat. Pemahaman “generasi digital” itu sendiri Penulis setuju dengan rumusan
yang dilontarkan oleh Radhar Panca Dahana, yang dikenal sebagai budayawan dan
intelektual penulis kontemporer masa kini di Indonesia. Pada intinya ‘generasi digital’
adalah mereka yang hidup di alam sosial yang serba terbuka hampir tanpa isolasi dan
mereka berpola pikir sangat praktis bahkan hyperpragmatis.
Berbeda dengan latar situasi sosial kultural berlakunya suatu Lembaga Adat
yang hampir pasti keberadaannya di suatu lingkungan yang pada prinsipnya
bernuansa eksklusif atau tertutup dalam ragam aturan, pada intinya berkaitan
dengan tujuan isolasi terhadap orang atau masyarakat luar yang tidak berada
di dalam adat itu sendiri. Kultur masyarakat adat yang demikian itu, kini
berhadapan langsung dengan konteks situasi masyarakat yang telah menjadi
urban migran di era zaman open society dan multi-variasi mutasi cepat. Situasi
ini telah memposisikan masyarakat lembaga adat menjadi terancam di ambang
punah dalam 2-3 generasi dari sekarang.
Juga latar situasi yang kurang lebih serupa terjadi dengan upaya memahami
praktik lembaga ADR (Alternative Dispute Resolution) atau yang kita kenal
sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (APS) sebagaimana
diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. ADR/APS yang intinya mempersyaratkan
wajib memenuhi itikad baik, serius dan berfokus solusi, selalu menjadi pokok
soal tersulit untuk diciptakan dalam penyelesaian kasus-kasus yang beraras
mikro, terutama yang makro. Hampir selalu pasti, timbulnya suatu kasus justru
disebabkan tiadanya tiga hal itu (itikad baik, serius, fokus solusi) di antara para
pihak.
Problematika praktis lainnya, juga tergambar dari banyaknya keluhan bahwa
APS itu sendiri belum membudaya dihayati oleh para praktisi hukum. Padahal,
seharusnya semua Lawyers berusaha menghayati kemudahan dan kesederhanaan
acara ini, untuk selanjutnya disosialisasikan segi-segi baik itu kepada klien dan
masyarakat umum.2
Di dalam paradoks konteks situasi di atas itu, lalu jika dikehendaki upaya
“penguatan” atau rancangan aksi untuk melakukan revitalisasi dan kontekstualisasi
Lembaga Adat, maka memang ada banyak segi yang menarik ditelusuri lebih jauh,
antara lain, ke arah bentuk dan cara penguatan apa dan bagaimanakah, serta
akan berlanjut ke mana implikasi dari upaya ini? Lebih lanjut bisa diharapkan
pula, apakah dengan penguatan itu akan menjadi solusi terhadap problematika
2
I Made Widyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Penerbit PT Fikahati Aneska bekerjasama
dengan BANI, Jakarta, 2009, hlm. 25;

36 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


pemajuan praktik APS di masa kini dan ke depan? dan, landasan filsafat apa pula
yang bisa kita rujuk untuk proyek penguatan itu ke dalam sistem hukum Indonesia?

B. Rumusan masalah
Ada ragam soal menarik yang bersifat praktis, teoritis konsepsional beraras
sosio-kultural, bahkan yang bersifat filosofis, bisa dikembangkan dari upaya
penguatan Lembaga Adat sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di dalam
sistem hukum Indonesia masa kini dan ke depan. Namun, di dalam makalah
singkat dengan ruang terbatas ini, Penulis hanya bermaksud berusaha membahas
secara lebih mendalam mengenai satu masalah pokok saja yang dibatasi berikut
ini, yakni: dalam konteks situasi apa dan bagaimakah masih relevan menerapkan
Lembaga Peradilan Adat sebagai APS di era modern Indonesia terkini?

C. Tujuan penulisan
Searah dengan latar situasi kontras yang diuraikan di atas itu, dan menjadi
sangat terbatas pada rumusan pokok masalah di atas itu, maka tujuan penulisan
ini diharapkan bisa menjadi:
a) analisis teoritis yang komprehensif sebagai landasan rencana aksi untuk
merancang berbagai upaya penguatan Lembaga Adat sebagai APS;
b) pemaparan gambaran situasi mengenai berbagai implikasi praktis dan teoritis untuk
menggunakan Lembaga Adat sebagai APS dalam konteks sosio-kultural terkini.

C. Metode penulisan
Metode penulisan makalah ini pada umumnya akan dilakukan secara deskriptif
analitis. Berbagai analisis eksploratif akan dilakukan terhadap yang diperoleh dari sumber
literature review. Untuk deskripsi situasi konteks dan narasi dari contoh kasus APS, akan
dilakukan sebentuk pendalaman melalui analisis reflektif dengan maksud supaya dapat
dikembangkan di kemudian hari oleh Penulis sendiri maupun para Penulis lain-lain.

II. KERANGKA PEMIKIRAN


A. Lembaga Adat dalam Prinsip Teoritis
Pemahaman mengenai realitas Hukum Adat3 dapatlah dikatakan sudah
merupakan masa lalu dalam konteks kekinian Indonesia era saat ini dan ke

3
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung Jkt, 1983; Soepomo Prof.
Dr, SH, Bab-bab tentang Hukum Adat; Hazairin, Prof.Dr.SH, Rejang; Nasroen N, Prof. SH, Dasar Falsafah
Adat Minangkabau; Soekanto Dr, Meninjau Hukum Adat Indonesia; Ter Haar B., Bzn, Mr, Beginselen en stelsel
van Adatrecht; van Vollenhoven C, Mr., Het Adatrecht van Ned. Indie; De ontdekking van het adatrecht; Een
Adatwetboekje heel Indie; van Kan J., Mr, Uit de geschidenis onder Codificatie; Snouck Hurgronje, Prof.Dr., De
Atjehers; Het Gajoland; Wilken G.A., Dr., Het Strafreht bij de Volken van het Malaische Ras, Verspreide Geschrijften
II 1912;

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 37


depan. Pendapat mengenai hal itu didasarkan pada pemahaman kerangka
teoritis hukum adat itu sendiri menurut berbagai sumber literatur babon yang
telah dikenal selama ini (seperti disebut dalam catatan kaki). Uraian berikut ini
pada intinya dipetik dari sumber literatur itu.
Struktur persekutuan hukum adat di seluruh nusantara terjadi dengan
dipengaruhi oleh dua faktor yakni territorial berdasarkan lingkungan daerah dan
genealogis berdasarkan pertalian keturunan. Maine, di dalam bukunya Ancient
Law, menyebut ini sebagai dasar pertama timbulnya tribal constitution dan
kemudian berkembang menjadi territorial constitution.
Persekutuan masyarakat adat di dalam struktur hukum dengan dua prinsip
di atas itu, terbentuk menjadi sistem hukum adat yang pada umumnya terdapat
dan hidup berkembang di seluruh nusantara (kemudian menjadi wilayah
hukum negara kesatuan Republik Indonesia). Bentuk badan sebagai subyek
hukum dari persekutuan masyarakat adat itu, sekurang-kurangnya terdiri dari
4 (empat) unsur yakni: (1) tata susunan masyarakat yang bersifat tetap, seperti
penghuni rumah besar atau jurai di Minangkabau, atau penamaan lain-lain yang
semacamnya di daerah masyarakat adat lainnya. (2) Ada pengurus sendiri dengan
struktur kepemimpinan yang terdiri dari ketua dan fungsi kepengurusan lainnya
untuk memimpin masyarakat itu. (3) Ada harta pusaka sendiri yang diurus oleh
pengurus bagi kemaslahatan semua masyarakat adat itu secara kolektif dan juga
untuk keperluan yang bersifat privat kekeluargaan. Harta kekayaan ini ada
yang bersifat materil dan juga ada yang bersifat immateril. (4) Ada hukum yang
berlaku sama bagi semua anggota masyarakat itu sendiri dan aturan itulah yang
berlaku, diikuti serta ditaati.
Kepentingan dan kegunaan Hukum Adat itu, mengapa masih perlu dipelihara
dan dihidupkan serta diberlakukan dalam kebijakan publik dan pemerintahan,
antara lain dapat kita ketahui dari uraian penjelas berikut ini. Dari catatan
Van Kan, di dalam Uit de Geschiedenis onder Codificatie, kita mengetahui bahwa
kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia, ternyata dan memang, tidak
pernah masuk dalam perhitungan kebijakan pemerintah kolonial. Lalu, sejak
pada awalnya di tahun 1948 setelah Indonesia menyatakan diri merdeka dari
pemerintah kolonial Belanda, di masa itu sudah dirasakan sangat perlu adanya
penetapan hukum-hukum yang berdasarkan pola di Belanda untuk diberlakukan
di Nusantara. Ada banyak alasan mengapa pola Belanda yang dibuat sebagai
dasarnya, antara lain karena sistem hukum Indonesia sendiri masih belum
terbentuk dan nyata berlaku. Situasi itulah yang terjadi pada waktu hukum
adat dimasukkan dalam kebijakan sistem hukum pemerintahan di masa sebelum
terbentuknya hukum nasional Indonesia. Posisi-antara, yang terdapat di sela-sela

38 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


itulah, Hukum Adat akan diberi tempat diantara hukum perdata, dagang, acara
perdata, dan acara pidana, sebagaimana yang sebelumnya telah terjadi di dalam
kebijakan pemerintahan kolonial bagi kepentingan ekonomi dan keamanan
wilayah jajahan di kepulauan nusantara.
Karakter Hukum Adat itu sendiri tetap dirasakan sangat perlu dan penting
dipelihara dan dipertahankan dalam kebijakan publik dan pemerintahan,
kendati pun hanya ada di posisi-antara di sela-sela hukum Belanda yang berlaku.
Menurut Soepomo, ada sekurang-kurangnya 4 (empat) alasan untuk itu, yakni
karena hukum adat (a) mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat;
(b) mempunyai corak religio-magis dalam pandangan hidup; (c) diliputi oleh
pikiran penataan serba konkrit, yang artinya sangat memperhatikan banyaknya
dan berulang-ulangnya perhubungan hidup yang konkrit; dan (d) mempunyai
sifat yang visual, yang dalam perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh
karena ditetapkan dengan suatu ikatan tanda yang dapat dilihat. Dengan karakter
itu, menurut Soepomo, bahwa kedudukan penduduk Indonesia yang serba
berada mengakibatkan kesukaran-kesukaran dalam perkembangan ke arah satu
hukum seragam. Lagi pula, keseragaman itu tidak perlu harus didasarkan pada
sistem hukum Barat/Belanda. Selain itu menurut Soepomo, terdapat nilai-nilai
universal hukum adat tradisional yang meliputi adanya (1) asas gotong royong;
(2) fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat; (3) asas persetujuan
sebagai dasar kekuasaan umum; (4) asas perwakilan dan permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan.
Pendapat Soepomo itu masih juga sejalan dengan Ter Haar, murid van
Vollenhoven, yang sejak lama (sebelum perang dunia kedua) sudah berusaha
supaya hukum adat dipertahankan dan dilaksanakan sebagai hal yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat bangsa Indonesia dalam kedudukannya.
Khususnya tertuju kepada penduduk tani dalam masyarakat-masyarakat agraria,
dan dari sistem hukum adat ini akan dapat dilakukan reorganisasi pengadilan,
yang melaksanakan pengadilan desa dan memperbaiki peradilan mahkamah
yang harus melakukan hukum adat. Ciri-ciri masyarakat adat yang mendukung
berlakunya hukum adat itu, digambarkan terjadi dalam hak-hak pertanahan
dengan pengelompokan orang yang membuka tanah; orang yang memiliki
pekarangan atau rumah atau tegalan; orang yang tidak memiliki pekarangan
atau tempat tinggal sebagai penumpang; dan juga cara orang luar masuk ke
dalam persekutuan hukum adat yang bisa dimulai dari masuk sebagai hamba
atau budak; karena pertalian perkawinan; atau dengn jalan mengambil anak;
dalam hal masalah warisan; perkawinan; dan hubungan anak di dalam keluarga.

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 39


Perlu dan pentingnya hukum adat, ternyata sudah sejak lama ditemukan
oleh para sarjana Belanda sebelumnya (Mr. Wichers, Van der Putte, dan van
Vollenhoven), bahwa dari segi lingkup berlakunya hukum adat tidak ada
kecocokan dengan hukum Barat terutama dalam perhubungan-perhubungan
hukum bangsa di nusantara, mengenai hukum tanah penduduk desa untuk
kepentingan agraria, dan sama sekali tidak mampu memenuhi tuntutan zaman
bagi perekonomian dan perdagangan di masa itu. Untuk hal itulah, Van
Vollenhoven melakukan riset yang hingga kini telah menjadi referensi babon
mengenai perjuangan berlakunya hukum adat (Strijd van het Adatrecht) yang
semula hanya bertujuan sebagai kritik keras terhadap pendapat pemerintahnya
yang memberlakukan hukum barat di saat itu.

B. Lembaga Adat dalam Konteks Modern Terkini


Warisan teoritis dari para ahli hukum adat (tradisionalis) masa lalu kepada
generasi digital pasca-modern Indonesia terkini, dari uraian di atas itu, telah
nampak sebagai fenomena antara mitos dan realitas. Hingga kini secara realistis
tak dapat disangkal, adanya lembaga adat terjadi karena masih beralaskan
hubungan yang sama menurut kedaerahan (territorial) ataupun atas dasar
keturunan (genealogis). Dengan itu lembaga adat hanya mungkin hidup dan
berjalan efektif, ketika hubungan hukum yang terjadi atas kesamaan territorial
dan/atau genealogis itu masih tetap terpelihara, hidup berkembang dan masih
setia diikuti nyata-nyata oleh masyarakat pendukungnya hingga pada saat
sekarang ini.
Dari segi legal standing, entitas lembaga adat sebagai subyek hukum
diharuskan memiliki unsur-unsur lengkap pembentuk kesatuan masyarakat
hukum adat yang bersifat tetap seperti kerangka teoritis di atas. Kelengkapan
unsur itu meliputi adanya pemimpin formal yang terstruktur, harta kekayaan
kolektif yang tak-terbagi secara individual, ada tata hukum khas kultural yang
nyata masih dipraktikkan, ada wilayah territorial berlakunya norma hukum adat
itu, dan nyata ada masyarakat pendukung yang tetap setia melaksanakan hukum
adatnya.
Formulasi masyarakat hukum seperti di atas itu dalam realitas sosial terkini,
dikenal sebagai masyarakat asli (indigeneous people) yang di dalam prinsip hak
asasi manusia (HAM) diberi tempat dengan perlakuan khusus alami (natural
particularity). Secara teoritis, mereka adalah kesatuan warga kelompok tertentu
yang hidup di wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan para warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari

40 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan4. Dengan
demikian, terdapat garis kesamaan, namun tidak identik dengan kebijakan
pemberlakuan hukum adat masa lalu. Sebab, realitas konteksnya kini telah
menjadi imperatif norma HAM terhadap pemerintahan negara sebagaimana di
dalam aturan konstitusi dan Undang-undang HAM5.
Akan tetapi, formulasi itu bisa jadi juga sekadar mitos, jika pemberlakuan
lembaga adat didasarkan pada sebentuk ekspektasi romantika kerinduan masa
lalu yang eksklusif dan tertutup bagi orang luar dari kesatuan masyarakat
tersebut. Sifat mitologis di era modern itu bisa jadi akan berhadapan langsung
dengan norma konstitusional. Sebab, substansi maksud di dalamnya tidak lagi
identik sama dengan para tradisionalis ahli hukum adat itu.
Aturan konstitusi NKRI, UUD RI Tahun 1945, dalam Pasal 18B Ayat (2)
menentukan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI, yang diatur dalam
undang-undang.” Ketentuan konstitusi itu pun sejalan dengan aturan dalam
Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, yang kemudian
hari ditegaskan lagi secara lebih operasional ke dalam Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Norma yuridis di atas itu, sesungguhnya lebih tampak berfokus pada tujuan
khusus untuk solusi masalah hak-hak pertanahan yang berkaitan dengan hak-
hak masyarakat adat. Namun demikian, substansi pemahaman entitas lembaga
adat tampak dalam legitimasi pengakuan konstitusional oleh negara yang
sangat tegas menyatakan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat. Juga
Undang-undang yang terkini berlaku tentang Penanganan Konflik Sosial (UU
No. 7 Tahun 2012) telah mengatur adanya penyelesaian melalui lembaga adat.
Namun, daya ikatnya tetap bersifat tidak final, karena bilamana dengan cara
ini tidak selesai juga, maka harus diteruskan lagi menurut hukum acara yang
berlaku.
Dengan posisi lembaga penyelesaian adat yang tidak final and binding seperti
itu, masih ada juga beberapa hukum organik yang diberlakukan oleh Pemerintah
4
Formulasi ini juga yang dirumuskan di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat.
5
UUD NKRI Tahun 1945 Pasal 28I ayat (4) menentukan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Pasal 8 mengatur hal yang persis serupa rumusannya.

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 41


NKRI kini, seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang
Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan, Keraton, dan Lembaga Adat
dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah. Juga masih ada Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian
serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat
di Daerah. Menindaklanjuti hukum organik di atas itu, lalu kemudian beberapa
daerah membuat dan memberlakukan Peraturan Daerah yang bertujuan untuk
memfungsikan lembaga adat dengan maksud tujuan yang serupa.
Pengakuan dan penghormatan konstitusional terhadap lembaga adat, kini
tampak telah menjadi hukum di atas kertas (law in books) seperti di atas. hal itu
masih belum menjamin keberlakuan hukum adat sebagai penguatan berlakunya
Lembaga Adat yang menjadi imperatif teknokratis sebagai solusi final, baik intra-
partes maupun apalagi bukan erga omnes (berlaku umum). Status yuridis itu saja
masih lebih menunjukkan legitimasi cita moral semata-mata (sollen juridisch).
Posisi ini masih tidak berkepastian sebagai hukum terapan. Lembaga penyelesaian
sengketa melalui dan oleh lembaga adat, hingga kini masih belum dapat langsung
sebagai realitas hukum (law in action). Artinya, Lembaga Adat sebagai APS masih
sekadar ekspektasi mitos. Kasus bisa jadi selesai namun tidak menyelesaikan.

C. Konsepsi APS secara Teoritis


APS itu sendiri sebagai salah satu Hukum Acara di Indonesia yang bersifat
positif, masih belum cukup lama diberlakukan. Masih banyak praktisi hukum
dan bisnis yang belum feeling in touch dengan terapan APS ke dalam praktik
solusi berbagai kasus yang sedang atau potensial dihadapi. Tentu saja tidak
kurang banyak publikasi dan sosialisasi mengenai ada dan sudah berlakunya APS
setelah lebih dari duabelas tahun hingga sekarang. Dengan kata lain, mungkin
dapat disebut bahwa praktik APS masih terasa belum cukup membudaya seperti
misalnya dengan hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum acara
TUN, serta hukum acara peradilan agama.
Di samping itu, masih pula ada sisi lain yang perlu dicermati mengenai
terjemahan APS itu sendiri. Kini ada yang lazim mengalih-bahasakan itu secara
internasional jadi Alternative Dispute Resolution (ADR). Padahal ada implikasi
serius di dalamnya, karena justru dengan terjemahan itu tidak menjadi berarti
bahwa APS sama dengan ADR. Sebab terjemahan sebagai alih bahasa adalah
satu soal tersendiri, yang masih harus dibedakan lagi dengan sistem hukum yang
dianut bahasa asal dan sistem budaya hukum pengguna sistem. Oleh karena itu,
para praktisi dan intelektual hukum terutama, harus menyadari benar apakah
alih bahasa yang digunakan di dalam satu konteks situasi akan menjadi satu

42 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


pemahaman makna yang serupa dari para pihak. Masalah serius masih bisa terjadi,
bilamana bahasa yang digunakan dalam komunikasi adalah serupa, tetapi makna
yang dipahami untuk diterapkan menjadi berbeda. Situasi itu bisa menjadi beda
pendapat, yang justru di dalam APS sebagai hukum acara akan menjadi obyek
perkara sebagaimana ditentukan di dalam UU No. 30 Tahun 1999.
Keberadaan APS itu sendiri dengan dan di dalam UU No. 30 Tahun 1999
dapat disebut juga merupakan salah satu solusi bagi kebijakan pemerintahan pada
saat terjadinya satu era multi-krisis antara tahun 1997-2000. Substansi pokok yang
dapat dibaca dari konteks situasi pada masa itu adalah untuk menjawab segala
soal situasi dan kondisi carut-marut multi krisis yang dialami perekonomian dan
dunia bisnis Indonesia. Betapa parahnya gambaran situasi nasional Indonesia di
masa itu, memori kita perlu disegarkan kembali ke situasi di sekitar tahun 1997
s.d. 2000 pada awal era reformasi di hampir segala segi kehidupan masyarakat
dan kenegaraan. Pada masa-masa itulah pemikiran para praktisi ekonomi bisnis,
hukum, dan sosial politik sangat ramai disibukkan dengan berbagai solusi praktis
yang diharapkan cespleng, segera bermanfaat dan berkepastian serta bernilai
ekonomis. Di penghujung era Orde Baru itu sudah sangat terang ditengarai
oleh para guru bangsa, pengamat, dan masyarakat bahwa kondisi Indonesia
telah hampir mencapai bibir jurang kehancuran akibat krisis multi dimensi
sosial politik, hukum, ekonomi dan bisnis khususnya. Kurs mata uang asing dan
terutama US$ dalam waktu singkat melonjak drastis sekitar 700% dari kisaran
Rp2.500,00/US$ menjadi sekitar Rp17.000,00an. Hutang perusahaan swasta
dan pemerintah yang ketika itu banyak dibuat patokannya ke dalam mata uang
asing, lalu meningkat naik tajam memasuki posisi gagal bayar. Diperkirakan total
hutang swasta dan pemerintah ketika itu mencapai kisaran US$ 150 miliar, dan
kemudian lagi, bunga bank menjadi gila-gilaan, bahkan pernah mencapai sampai
60% per tahun yang berarti 5% sebulan. Tambahan lagi banyak jenis barang stok
dalam negeri menjadi semakin langka. Puncaknya adalah krisis ekonomi politik
yang berujung pada demonstrasi massal di seluruh Indonesia untuk menjatuhkan
pemerintahan di bawah Soeharto yang telah berkuasa 30-an tahun. Di tengah
situasi itu pula, organisasi keuangan international [IFO: International Finance
Organizations seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian
Development Bank), dsb.] di bawah komando IMF (International Monetary Funds)
dapat dikatakan sangat berkuasa di Indonesia. Karena berbagai keputusan
dan rekomendasi yang dikeluarkannya harus dilaksanakan oleh pemerintah
Indonesia, seperti misalnya LOI (Letter of Intent) dan seterusnya.
Situasi multi krisis itu ternyata semakin menguakkan pula fenomena lain di
bidang penegakan hukum Indonesia, yang sudah diketahui terbuka banyak borok

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 43


sehingga masyarakat menyebutnya saja sebagai praktik mafia peradilan. Demikian
terhinanya para praktisi dan penegak hukum, bahkan ketika itu terang-terangan
ada tuduhan di masyarakat yang mengarah pada kata-kata sangat kasar dan
sarkastis terhadap para hakim, jaksa, polisi, dan advokat seperti istilah “maling,
garong, rampok, preman”. Semua kata kasar itu disampaikan dengan geram dan
penuh amarah oleh masyarakat, seakan-akan tidak menemukan lagi kata lain
yang lebih santun. Masyarakat umum beranggapan bahwa kata santun yang
disampaikan untuk mengkritik bahkan membombardir para penegak hukum
tidak akan dihiraukan, bahkan bisa balik menyerang si pengkritiknya yang jadi
terhukum. Umum diketahui ketika itu bahwa mengkritik para ahli hukum seakan
membenturkan kepala ke dinding tembok tebal.
Arbitrase yang jauh sebelumnya sudah dipelajari di hampir semua Fakultas
Hukum di Indonesia sebagai bagian dari hukum acara perdata, pun sekalian
termasuk juga yang dimutakhirkan kembali ke dalam UU ini. Maka, judul UU
ini jadi tampak aneh, karena justru APS itu sendiri bukan hanya Arbitrase tetapi
juga ada 5 (lima) acara lain yakni: Konsultasi, Negosiasi, Konsilisasi, Mediasi,
dan Penilaian Ahli (Pasal 1 butir 10 UU No. 30 Tahun 1999). Dan masih lebih
aneh lagi, apa dan bagaimana itu proses acara yang lima ini, tidak ada dirumuskan
tahapannya di dalam UU No. 30 Tahun 1999, sehingga dianggap saja semua orang
sudah tahu dan mengenal acara APS ini. Padahal lagi, masih juga ada beberapa
acara ADR yang sudah lazim digunakan oleh masyarakat bisnis internasional, tetapi
acara-acara itu tidak dimasukkan ke dalam UU ini. Oleh sebab itu seharusnya
bisa juga digunakan sebagai proses acara APS/ADR, yakni antara lain: Compulsory
Arbitration, Minitrial, Summary Jury Trial, dan pun juga Settlement Conference.
Dengan demikian, seharusnya posisi ke-4 acara yang lazim ini dapat
dirancang sebagai hukum acara yang berkedudukan serupa dengan penyelesaian
melalui acara Lembaga Adat. Acara itu secara teoritis sangat terbuka dan bisa
juga dilakukan bilamana para pihak sepakat dengan prasyarat yang mengandung
keseriusan, beritikad baik, dan fokus solusi. Akan tetapi, acara ini sebagai APS,
tetap saja berkategori proses non-litigasi [Pasal 6 ayat (1)] yang harus dibuat secara
tertulis, dan supaya berlaku final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan
dengan itikad baik, maka wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penyelesaian ini ditandatangani oleh para
pihak [Pasal 6 ayat (7)].

D. Implikasi Praktis Aspek Keadilan Penyelesaian Kasus dengan APS


Uraian di atas itu sekurang-kurangnya bisa memperjelas APS sebagai
sistem hukum positif yang telah berlaku di Indonesia kini. ADR adalah sistem

44 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


hukum lain yang diterapkan di luar wilayah hukum Indonesia. Namun tidak bisa
dikatakan bahwa keduanya, APS dan ADR, tidak saling berhubungan. Bahkan,
khusus untuk konteks situasi terkini di Indonesia, terdapat saling pengaruh yang
memperkaya antara ADR dengan APS bila sistem acara ini digunakan dalam
solusi kasus yang sedang dihadapi.
Pengalaman atas runyamnya proses penegakan hukum litigasi di masa lalu
(dan hingga kini), masih menyisakan adanya hal yang diakui oleh para praktisi,
ahli, dan penegak hukum, yaitu bahwa proses acara peradilan di Indonesia
memakan waktu yang sangat lama sampai berkekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde verklaard) untuk bisa dieksekusi. Bahkan untuk melaksanakan eksekusi
putusan pengadilan yang telah inkracht itu pun juga tidak mudah ditempuh.
Jangka waktu 5 (lima) tahun dapat diperkirakan untuk memproses satu perkara
perdata sejak gugatan disusun, disidangkan di Pengadilan, banding ke Pengadilan
Tinggi, dan kasasi ke Mahkamah Agung, serta masih sangat mungkin lagi diajukan
peninjauan kembali (PK). Belum terhitung bagaimana mahalnya biaya perkara
yang dikeluarkan, banyak energi pikiran dan perasaan harus ditumpahkan, serta
liku-liku proses acara di dalam pengadilan resmi maupun berbagai acara yang
tidak resmi harus ditempuh bersamaan.
Singkatnya, di masa-masa runyam itu terkuak betapa ketidak-percayaan
terhadap proses acara pengadilan (litigasi) yang lazim berlangsung. Padahal,
dalam situasi dan kondisi ketidak-percayaan itu, ternyata sangat banyak bahkan
bertimbun kasus harus segera diselesaikan dengan acara yang berkepastian
supaya roda ekonomi dan bisnis bisa terus berlangsung. Berbagai perkara itu
meliputi antara lain seperti hutang-hutang yang harus segera diselesaikan dalam
kurs mata uang asing atau rupiah, ragam konsultasi dan negosiasi bisnis harus
ditempuh untuk melakukan restrukturisasi hutang dan piutang jangka pendek,
menengah, dan panjang. Eksekusi barang jaminan hutang harus bisa segera
diselesaikan berkepastian agar usaha bisa diteruskan atau dihentikan dan/atau
diambil-alih oleh pemberi piutang, dan seterusnya. Belum lagi, banyak usaha yang
harus menempuh proses acara pailit karena sudah nyata bangkrut, dan banyak
kasus lain-lain lagi yang memerlukan solusi berkepastian yang sangat mendesak.
Di tengah situasi dan kondisi multi-krisis itu, pemerintah sendiri tampak
kewalahan untuk menghadapi carut-marut soal mendesak. Karena selain situasi
sosial politik dalam negeri harus dibereskan, tetapi tak-kurang juga tekanan
lembaga internasional dan dunia bisnis global harus dihadapi dengan kepala
dingin. Pada saat itulah di sekitar tahun 1998, sekelompok ahli dan praktisi
bersama dengan pemerintah menggagas pembuatan dan pemberlakuan APS
sebagai UU yang sejak 12 Agustus 1999 oleh Presiden B.J. Habibie diberlakukan

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 45


menjadi UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Aspek keadilan dari dan di dalam penyelesaian kasus, yang selama ini
mengalami situasi ketidakpastian untuk dapat diterapkan di dalam kehidupan
publik, diharapkan bisa dipenuhi dengan pemberlakuan UU ini. Di dalam
konsiderans UU ini dapat dibaca sangat eksplisit menyatakan dua hal yakni:
(1) acara arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, padahal arbitrase itu
sendiri selama ini dikenal juga sebagai alternatif penyelesaian perkara; dan (2)
kedua instrumen acara itu kini diakui sebagai yang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman. Selanjutnya dikutip, bahwa berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata di samping dapat
diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa; dan bahwa peraturan perundang-undangan yang kini
berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya. Tercapainya kepastian
keadilan diharapkan akan bisa diperoleh dari UU APS ini.

E. Kombinasi integratif APS ke dalam Lembaga Adat


Soal praktis lainnya yang masih tersisa dengan UU No. 30 Tahun 1999,
apakah penyelesaian melalui Lembaga Adat yang seringkali juga ditempuh
sebelumnya, menjadi tidak berlaku lagi, atau, dapatkah hal itu diterapkan secara
bersamaan?
Sebagaimana diketahui, selama ini masyarakat sudah mengenal adanya
penyelesaian kasus dengan acara perdamaian, baik dikenal sebagai acara
musyawarah untuk mufakat, dan juga berbagai jenis acara penyelesaian melalui
Lembaga Adat yang ditempuh sesuai dengan kelaziman dan kebiasaan hukum
adat tertentu sebagai traditional law. Acara penyelesaian adat di Indonesia bisa
bervariasi bentuknya menurut konteks situasi lokal. Situasi ini lazim dikenal
sebagai pemberlakuan asas receptio in complexu, yakni berlaku hukum adat yang
meresepsi di dalamnya sekaligus hukum agama yang dianut, atau berlaku hukum
agama yang diterapkan sekaligus sebagai aturan hukum adat.
Dalam banyak kasus di daerah pedalaman (remotes area) yang jauh dari
perkotaan dan yang masih nyata hidup dan berkembang dianut hukum adat
oleh masyarakatnya, seringkali acara penyelesaian adat sangat efektif sebagai
solusi kasus. Selain karena berkepastian, tetapi juga mengandung unsur dasar
rekonsiliasi akibat tidak ada yang merasa dikalahkan (win win solution). Dan
dengan kenyataan itu, rasanya menjadi sangat disayangkan bilamana solusi
rekonsiliatif di dalam acara hukum adat melalui Lembaga Adat menjadi hilang

46 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


ditelan zaman. Apalagi jika ditelusuri lebih mendalam (duc in altum) ke akar
filosofi yang terkandung dalam prinsip dasar hukum adat, lazimnya ditemukan
ada hal-hal unik yang merupakan kearifan lokal (local genius) yang bahkan dunia
peradaban modern perkotaan pun perlu dan layak menimba inspirasi daripadanya.
Lagi pula, masyarakat perkotaan Indonesia kini yang umumnya adalah kaum
urban migran, sangat terancam pada dua-tiga generasi mendatang akan semakin
tercerabut dari akar budaya asli yang membentuk jati-diri kepribadiannya.
Acara penyelesaian dengan musyawarah untuk mufakat antar para pihak
yang bersengketa, telah lazim dikenal dan ditempuh oleh masyarakat Indonesia
selama ini. Bahkan terminologi ‘musyawarah untuk mufakat’ itu dipandang
mengandung filosofi kepribadian khas Indonesia, yang dirumuskan ke dalam
Pancasila sebagai landasan paling mendasar dalam hidup kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan RI. Namun kini disadari, ada juga sisi skeptis dan
sinisme terhadap ‘musyawarah mufakat’ karena degradasi penggunaannya yang
lebih kental rekayasa teknik musyarawah untuk mengelabui dan menguasai
kaum yang lebih lemah, terutama di masa era Orde Baru dengan sistem komando
dari atas ke bawah di segala segi. Ketika itu sudah lazim diketahui bahwa acara
‘musyawarah untuk mufakat’ seringkali ditempuh hanya sebagai acara formalitas
belaka sekadar untuk memuluskan agenda kekuasaan para pejabat yang seringkali
menyatu dengan kepentingan para pengusaha. Situasi pengalaman itu, misalnya
seringkali terjadi dalam kasus-kasus penyelesaian konflik sosial dan ganti rugi
tanah masyarakat pedesaan dan pinggiran kota. Juga seringkali terjadi dalam
pengambil-alihan barang jaminan pelunasan kredit yang secara tak profesional
dipergunakan oleh masyarakat desa yang tak kuasa menolak penawaran yang
gencar dari para kreditor. Dalam acara yang seringkali lebih kental sebagai
manipulasi terselubung itu, masyarakat yang lebih lemah pada umumnya selalu
jadi korban dan bahkan berposisi menjadi kaum tertindas.
Dengan pengalaman masyarakat yang lebih banyak diam (the silent majority)
dan memendam pengalaman tertindas buntu jalan keluar bagi mereka yang
tak-bersuara (the voice of the voiceless), maka bisa dipahami kemudian bahwa
penyelesaian perdamaian dengan acara musyawarah untuk mufakat, pun dengan
Lembaga Adat, menjadi tidak populer dan sangat rentan untuk disalah-gunakan.
Namun bagaimana pun acara itu tetaplah netral. Karena ada juga fakta selama
ini bahwa musyawarah untuk mufakat bisa menyelesaikan sengketa dengan baik.
Di samping juga secara temporal dan kondisional, selalu saja ada orang/pihak
yang senantiasa menyalah-gunakan acara apa pun juga demi kepentingannya
sendiri.

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 47


Sejalan dengan cita penggunaan Lembaga Adat, juga ada acara dading yang
lazim berlaku di dalam setiap acara perkara perdata, yang masih berlangsung
hingga kini. Acara penyelesaian perdamaian di pengadilan perkara perdata,
selalu dapat ditempuh sampai dengan putusan perkara itu berkekuatan hukum
tetap (inkracht). Hakim pengadilan perdata bahkan senantiasa menyampaikan
kepada para Penggugat dan Tergugat supaya perkara ini ditempuh saja dengan
perdamaian dan agar isi kesepakatan perdamaian itulah yang dibuat menjadi
putusan Hakim Pengadilan. Dengan acara dading, maka Majelis Hakim
umumnya merasa lebih dihargai dan dihormati, selain tentu saja lebih ringan
tugasnya, karena keputusan Hakim akan menjadi berbunyi: menghukum para
pihak Penggugat dan Tergugat untuk mentaati segala isi putusan perdamaian dalam
perkara ini. Dengan itu, putusan atas solusi dading menjadi langsung inkracht dan
bisa dieksekusi oleh para pihak sendiri.
Kombinasi integratif penggunaan Lembaga Adat dengan beberapa bentuk
APS menurut UU No. 30 Tahun 1999, kini bahkan diperkuat lagi dengan
berlakunya PERMA RI No. 2 Tahun 2003 jo. PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai APS, untuk perkara perdata dan publik
(terbatas), juga mengatur penggunaan acara Mediasi.
Pasal 1 butir 6 merumuskan: Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Pasal 1 butir 9 juga mengatur:
Sengketa publik adalah sengketa-sengketa di bidang lingkungan hidup, hak asasi manusia,
perlindungan konsumen, pertanahan dan perburuhan yang melibatkan kepentingan
banyak buruh. Pasal 2: (1) Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan
tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan
bantuan mediator. (2) Dalam melaksanakan fungsinya mediator wajib menaati kode
etika mediator. Pasal 23 yang menentukan syarat-syarat kesepakatan perdamaian
yakni: (a) sesuai kehendak Para Pihak; (b) tidak bertentangan dengan hukum; (c) tidak
merugikan pihak ketiga; (d) dapat dieksekusi; dan (e) dengan itikad baik.
Uraian di atas itu bisa menunjukkan kerangka teoritis yuridis untuk berbagai
upaya rencana aksi penguatan Lembaga Adat sebagai Acara Penyelesaian
Sengketa di luar maupun di dalam pengadilan. Artinya, baik dalam proses litigasi
maupun non-litigasi, bisa digunakan lembaga adat. Namun substansi kasus yang
disengketakan masih perlu dicermati seksama.

III. PEMBAHASAN
A. Lembaga Adat dan Implikasi Praktisnya di Era Generasi Modern Terkini
Di era modern terbuka saat ini, tampak kuat terjadinya situasi dilematis
posisi Lembaga Adat, bilamana dikonstruksi ke dalam konteks seperti adanya di

48 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


masa lalu.6 Gambaran situasi itu bisa dideskripsikan secara psiko-sosio-kultural
antara lain sebagai berikut ini.
Kelompok orang subyek pendukung Lembaga Adat pastilah berupa kesatuan
masyarakat asli yang berbasis territori dan/atau genealogis tertentu yang
umumnya secara sosio-kultural bersifat stabil dan rural. Namun praktiknya kini,
siapakah dan bagaimana masyarakat adat asli seperti itu masih bisa ditemukan di
era modern Indonesia? Konteks situasi psiko-sosio-kultural masyarakat asli kini
telah menciptakan mentalitas splitz-personality, yang terjadi dalam pengalaman
bersama sebagai masyarakat perkotaan seperti Jakarta dan kota lain-lainnya,
yang kini didiami oleh para pendatang berbaur dengan berbagai suku masyarakat
asli Indonesia.
Konteks situasi dan kondisi masyakarat bauran perkotaan modern Indonesia,
nyata tidak lagi rural agraris, tapi menjadi urban migran. Kehidupan modern
perkotaan tidak lagi stabil seperti di ragam desa tempat asal muasal para
penduduk urban. Tapi nyata irama hidup sangat dinamis, dengan frekuensi
mutasi fisik dan psiko-sosiologis yang cepat berubah-ubah. Orang pendatang
generasi pertama dan kedua yang kini bermukim di perkotaan seperti Jakarta
dan berbagai kota besar lainnya, nyatanya juga masih tak bisa lepas dari situasi
urban migran. Karena senantiasa dia masih disibukkan urusan keluarga dan
peristiwa di kampung halaman yang masih rural agraris. Situasi itu sangat nyata
dalam acara rutin mudik. Akan tetapi, irama hidup berkeluarga dan pekerjaan
harian menuntut sikap tindak profesional dan rasional dengan pertimbangan
yang sangat terukur dari segi waktu, biaya, dan enerji penggerak psiko-sosial.
Frekuensi perubahan dinamika hidup sangat tinggi, dari satu territori ke wilayah
lain di seantero nusantara. Pun topik yang sedang digumuli bisa bergeser begitu
saja, langsung dari urusan niaga, bisnis manajemen ke perbincangan tentang
keluarga, melompat ke situasi moneter, dan loncat lagi ke berita politik hukum
aktual, terus sambil berhitung jam sibuk macet jalanan, dan seterusnya, terus
berkejar-kejaran dengan waktu dan situasi. Begitulah wujud nyata hidup
pragmatis dan pertimbangan praktis kaum urban migran, yang hidup dalam
situasi diaspora terbuka (open society) peradaban global dengan sarana canggih
tekno-multimedia.
6
Bagian tulisan ini diolah dari riset Penulis (NS) yang sudah beberapa kali dipresentasikan pada ragam
kesempatan, antara lain dari riset ttg ‘Hukum Acara Kanibal dalam Budaya Animis’ di dalam Buku
“Acara Pidana dalam SIRKUS HUKUM”, Penerbit Ghalia Ind., Jkt, 2009; riset terbatas ‘Napak Tilas
Peta Sejarah dalam Narasi Simanjuntak Sanggamula dari Sidamdamon’ [2006], juga sebagian dari
Paper (NS) “Refleksi Historis Religiositas Masyarakat Asli Indonesia” bersama Ahli Arkeologi dan
Ahli Sejarah Gereja, dalam Forum Studi Iman Ilmu Budaya, Bhumiksara, Jakarta, Maret 2003;

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 49


Di dalam konteks modern yang urban migran diaspora itu, apakah penguatan
terhadap Lembaga Adat masih relevan dilakukan? Nyata, masyarakat perkotaan
masih tetap saja mengharapkan kerinduan hidup nyaman dengan sesama
masyarakat suku asli, seperti yang akan dapat terpenuhi di dalam acara-acara
adat atau upacara khas masyarakat asli. Namun implikasi praktisnya, justru
seringkali romantika kerinduan itu seakan fatamorgana. Banyak contoh kasus
yang menggambarkan kerinduan seseorang yang merasa sudah berhasil. Lalu
agar senantiasa dekat dengan Ayah Ibu yang juga sangat dirindukan oleh anak
kandungnya yang mungil, maka orang-tua yang biasa hidup di alam pertanian
dusun itu pun ‘dipaksa’ ikut menghidupi udara polusi hiruk pikuk berhimpitan
di kota seperti di Jakarta. Si orang tua biasanya tak kerasan meninggalkan sawah
ladang dan segala pernik desa sunyi alam asri. Tapi dia juga tak sampai hati
meninggalkan cucu tersayang dan anak yang sungguh merindukannya.
Itulah potret nyata splitz personality psiko-sosio-kultural kaum urban migran
kini, yakni generasi pertama dan kedua hasil bermata-pencaharian di perkotaan
modern. Mereka ini ada yang masih terpaut langsung dengan keluarga di tanah
asal. Tetapi juga ada yang sudah ‘lebih Jawa dari Jawa’ atau sudah lebih Sunda
karena menyunda hidup di Tatar Sunda7 bagi mereka yang berdiam dan bergaul
erat dengan masyarakat asli di tanah Jawa, Sunda, dan seterusnya. Jika pun
ada beberapa kajian atau buku yang menguraikan situasi budaya masyarakat
asli, tidak akan sampai untuk mereka baca. Jika pun buku itu ada, tapi mood
psikologis untuk membaca kisah narasi berpanjang-panjang, tidak sesuai dengan
alam kondisi mereka yang sangat praktis, perlu singkat, tegas, direktif, terinci,
dan bernilai nyata. Dunia hidup mereka di perkotaan dan berbagai wilayah
berpengaruh perkotaan, sungguh jauh berjarak tak bisa dikomparasi dengan
alam kultur rural agraris masyarakat adat. Satu-satunya penyatuan situasi adalah
bahwa mereka itu masih manusia yang tak-lepas dari akar kultur asal di pedesaan.
Masa depan masyarakat adat modern terkini, juga sangat ditentukan di
sentra wilayah marginal urban migran. Ancaman akan hilangnya generasi (the
lost generation) menantang kaum muda dan para profesional terkini untuk
menyelamatkannya. Relevansi konteks situasi masyarakat asli yang dulu di
pedesaan hampir selalu ‘hadir bersama-sama’ dalam living-in, sudah tak bisa lagi
dipertahankan kini. Situasi personal contact yang intim penuh empati, justru
sangat dirindukan oleh kaum urban migran. Betapa sering terdengar jeritan
tangis, yang mengeluhkan sangat perlunya fasilitasi pendampingan personal
kontak bagi kaum pekerja rendahan, buruh, profesional kerah biru dan putih,
7
Dr. Togar Nainggolan OFMCap, Batak Toba di Jakarta Kontinuitas dan Perubahan Identitas, disertasi di
Univ Nijmegen, Belanda, Percetakan Bina Media, 2006;

50 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


aktivis advokasi, yang juga digumuli oleh orang urban modern di perkotaan
padat dan daerah industri. Kesaksian pengalaman nyata menunjukkan juga
bahwa mereka itu sangat memerlukan inspirasi, animasi, dan coaching egaliter
berbentuk fasilitasi pendampingan yang penuh persahabatan intim bagi kaum
muda masyarakat asli yang menyebar diaspora di eksekutif swasta, di lingkungan
kerja sosial kemasyarakatan, dan hidup kenegaraan.
Nyata, mereka mengalami ragam kesulitan berimplikasi praktis yang muncul
dari kerinduan upaya fasilitasi pendampingan dan penguatan. Mereka berharap
adanya fasilitator pendamping bagi kaum urban migran dinamis diaspora di
perkotaan. Untuk itu diperlukan warisan nilai bersama dari kekayaan, kekuatan
daya komunikasi batin kepenuhan hidup spiritual peninggalan masyarakat asli
yang dulunya berasal dari wilayah splendid isolation. Kini lagi, berbagai kemudahan
dan fasilitas situasi zaman, menjadi “musuh” langsung terhadap kesetiaan nilai-
nilai hidup keutuhan berkeluarga sebagai sesama masyarakat asli. Sederet soal
yang berimplikasi praktis dilematis dalam splitz personality, antara mentalitas urban
migran berbaur kerinduan rural statis, justru memerlukan redefinisi, reformulasi,
dan revitalisasi bagi kerinduan berfungsinya lembaga adat masyarakat asli di era
modern.
Konteks redefinisi dan revitalisasi masyarakat adat itu, tidaklah bermaksud
sekadar untuk pemenuhan entertainment romantis kerinduan situasi rural agraris
yang statis. Berbarengan, ada sejumlah ancaman bahaya yang dialami masyarakat
urban modern terkini. Mereka pun rentan tercerai berai dan tercerabut dari akar
asal-usul kultur asli menuju punah pada dua-tiga generasi dari sekarang. Sebab,
bahasa suku asal dan detil tatakrama adat asli yang rumit, tidak lagi mereka hidupi,
pun hal itu nyata tidak lagi bernilai praktis dalam pergaulan harian yang berbaur
lintas multi-kultural bahkan global. Tantangan nyata itulah yang dihadapi oleh
kerinduan penguatan lembaga masyarakat adat, termasuk di dalamnya untuk
memotivasi agar bersatu dalam memobiliasi massa bagi tujuan yang tidak sekadar
pragmatis, kondisional, situasional partisan, temporer berjangka pendek dengan
instrumen ekonomis politis, yang tidak sekadar memuaskan kerinduan romantika
mitos masa lalu situasi nyaman lembaga adat.
Situasi urban migran masyarakat post-modern dengan generasi digital terkini
dalam potret di atas itu, menurut hemat Penulis, tampak menjadi dilematis untuk
dikembalikan ke situasi asli Lembaga Adat masa lalu. Namun bisa dipahami,
sungguh diperlukan adanya satu gerakan inkulturasi sekaligus dekulturasi untuk
melakukan seleksi nilai-nilai local genius dengan eliminasi terhadap ragam
nilai lokal masyarakat asli, agar dimodernisasikan sesuai dengan konteks era
zaman terkini dan ke depan. Gerakan nasionalisasi nilai-nilai kultural lokal dan

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 51


sekaligus lokasisasi nilai-nilai universal ke dalam modernisasi Lembaga Adat,
sesungguhnya bukan hanya dalam rangka penggunaan acara APS. Tetapi realistis
kondisional, maksud itu juga meliputi ragam aksi revitalisasi peradaban bangsa
masa kini, supaya kebangsaan modern kita mengandung basis akar kultur yang
tertanam dalam (rooted embedded) ke dalam konteks yang sudah beratus tahun
ada selama ini.

B. Manfaat Praktis Konsepsi Hukum Positif APS


APS sebagai hukum acara, wajib ditempuh dengan undang-undang atau
dalam perikatan yang berkekuatan sebagai undang-undang (KUH-Perdata, Pasal
1320 jo 1338-1339). Dengan dasar itulah, penyelesaian suatu perkara di luar
pengadilan selama ini dipraktikkan di Indonesia, pun jauh hari sejak UU No. 30
Tahun 1999 belum diberlakukan. Lalu, manfaat apa yang diharapkan sehingga
legislator masih menganggap perlu membuat Undang-undang ini?
Ada beberapa alasan sebagai latar belakang untuk dapat melihat manfaat itu.
Pertama, demi kepastian dan legalitas APS bagi masyarakat modern Indonesia
terkini, terutama karena generasi Indonesia masa sekarang ini sudah tidak hidup
lagi di alam masyarakat adat. Lagi pula, adat istiadat dan hukum adat itu sendiri
pun sudah mengalami kemunduran pada zaman global sekarang ini yang sudah
memasuki era open society. Apalagi, karena hampir semua hukum adat itu tidak
tertulis, tetapi hanya ada beberapa yang dituliskan kemudian sehingga tidak
mudah ditelusuri lagi kandungan konsep moral filosofis di dalamnya. Generasi
muda zaman ini, yang adalah generasi digital, hampir semua tidak lagi menguasai
bahasa daerah asal dan detil teknik tatacara hukum adat itu sendiri.
Kedua, masyarakat Indonesia zaman kini sudah hidup secara inklusif terbuka,
tidak lagi berkelompok seasal suku (genealogis) atau sedaerah (territorial). Pada
kenyataannya, hukum adat atau adat istiadat sudah tidak bisa lagi dipraktikkan
secara terbuka dalam pergaulan yang berbaur antar suku dan antara daerah,
terutama di masyarakat perniagaan dan perkotaan urban migran dengan
pergerakan sosial dalam perputaran yang tinggi, baik secara territorial maupun
fungsional. Sementara adat istiadat dan hukum adat itu sendiri, bisa dikatakan
masih stabil dan susah untuk diubah, agar disesuaikan dengan tuntutan
perkembangan zaman. Dengan berlakunya Undang-undang secara nasional,
maka segala norma adat istiadat yang baik itu dari masa lalu, menjadi dikristalkan
ke dalam satu norma hukum modern dan berlaku umum sebagai undang-undang
yang berlaku tidak hanya untuk satu masyarakat adat tertentu saja.
Ketiga, Undang-undang APS yang berlaku secara nasional dan umum
bagi semua kelompok masyarakat, bisa dikatakan sebagai legalisasi kepastian

52 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


terhadap cara-cara penyelesaian sengketa yang selama ini sudah dikenal oleh
banyak masyarakat adat. UU APS sebagai legalisasi dan modernisasi hukum adat
sekaligus juga menjadi kristalisasi dari kombinasi cara penyelesaian yang berlaku
secara internasional. Oleh sebab itu, acara hukum APS di dalam UU No. 30
Tahun 1999 bisa juga dikatakan sebagai titik pertemuan (melting pots) antara
hukum yang berlaku di internasional dengan norma yang selama ini telah ada di
tengah-tengah masyarakat adat Indonesia.
Oleh sebab itu, dengan APS yang dipahami dan dihayati dengan baik dan
benar, maka menjadi lebih jelas lagi bahwa hukum acara ini sesungguhnya
merupakan penyederhanaan terhadap kerumitan dan lamanya acara pengadilan
yang biasa berlangsung untuk menyelesaikan perkara keperdataan dan publik
(seperti kondisi di masa multi-krisis 1997-2001 bahkan hingga sekarang). Sebelum
adanya cara penyelesaian dengan APS, kerumitan dan lamanya acara persidangan
perkara bukan hanya terjadi dalam Sistem Kontinental (dengan kodifikasi) tetapi
juga sebagai ADR dalam Sistem Anglo Saxon (dengan Customary Laws). Situasi
ini tentu sangat tidak kondusif dan tidak nyaman, khususnya bagi kalangan
kaum bisnis, yang sangat seksama mengkalkulasi segala sesuatunya menjadi uang
dan keuntungan yang bernilai ekonomis. Bagi mereka, time is money benar-benar
berlaku. Untuk itu, mereka sangat mengutamakan efisiensi dan efektivitas dari
setiap proses solusi.
Penyederhanaan acara APS akan semakin jelas lagi dan tegas berkepastian,
karena beberapa pilihan acara sudah diatur secara tertulis di dalam UU No. 30
Tahun 1999. Dengan mempelajari dan memahami APS secara seksama, baik dan
benar (best effort and best practices) maka sesungguhnya bisa dikatakan, singkatnya,
para pelaku APS sekaligus menjadi hakim pemutus terhadap perkara mereka
sendiri, sehingga mereka yang melaksanakan APS itu tidak lagi memerlukan
hakim dan pengadilan. Oleh sebab itu, semakin jelas dan tegas betapa penting dan
perlunya mempelajari dan memahami APS/ADR secara mendalam (indepth) dan
meluas (broadening), terutama bagi semua orang yang berminat akan pemajuan
hukum. Namun sayangnya hingga kini, masih banyak pengamat dan ahli APS/
ADR di Indonesia sering kali kecewa, karena bahkan para praktisi hukum pun
tidak menyadari betapa APS/ADR mengandung segi positif dan konstruktif yang
sangat baik untuk didalami dan dipahami.

C. Implikasi Esensi Keadilan dalam APS ke Arah Restorative Justice


Dari manfaat APS seperti uraian di atas, nampak bahwa penguatan Lembaga
Adat dengan APS, dari segi lain, bisa juga sekaligus merupakan bagian dari
upaya untuk memperoleh esensi keadilan dengan mengembangkan konsepsi dan

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 53


penerapan hukum restoratif di era Indonesia modern kini dan ke depan yang
dapat dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa. Upaya ini bukan
hanya dalam penggunaan acara APS untuk berbagai kasus konflik sosial dengan
lembaga perdamaian tetapi juga untuk berbagai sengketa lain-lainnya. Tetapi,
upaya restoratif itu betapa tidak mudah diperoleh dengan penerapan APS, antara
lain bisa kita ketahui dari praktik dua contoh kasus berikut ini.
Kasus pertama, dalam sengketa antara PT Jasa Marga (Persero, Tbk)8 selaku
Tergugat yang harus membayar kerugian senilai Rp1,24 triliun, atau setara
dengan perpanjangan masa kerjasama operasional bagi hasil selama 24 tahun.
Penggugatnya adalah PT Tirtobumi Prakarsatama yang ditempuh dengan acara
Arbitrase di BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan sudah diputuskan
pada Juni 2011. Lalu, putusan BANI itu telah didaftarkan oleh Penggugat di
PN Jakarta Pusat pada 20 Januari 2012 dan dimohon eksekusi pada 22 Februari
2012. Namun, di pihak lain PT. Jasa Marga telah mengajukan banding lagi atas
putusan BANI tersebut kepada PN Jakarta Timur, yang kemudian diputuskan
pada 10 Desember 2012 bahwa PT Jasa Marga (Persero, Tbk) dihukum harus
membayar ganti rugi tersebut. Pokok soal yang disengketakan adalah perjanjian
kerjasama (3 April 1993) bagi hasil pelebaran jalan tol sepanjang 23,20 km
dengan biaya pembangunan sebesar Rp108,55 miliar sepenuhnya berasal dari
Penggugat sendiri.
Penyelesaian kasus ini telah nyata ditempuh dengan acara Arbitrase selaku
APS menurut hukum positif yang berlaku. Tetapi nyata, masih juga tidak bisa
diselesaikan tuntas bahkan berlanjut seperti acara litigasi yang rumit berbelit
berliku-liku. Artinya, tujuan UU No. 30 Tahun 1999 sama sekali tidak terpenuhi
di dalam kasus ini, dan upaya restorasi keadilan tidak bisa ditemukan secara
esensial, yang bisa jadi karena nilai finansialnya begitu besar berjumlah triliunan
rupiah dan berkaitan pula dengan badan usaha milik negara. Lalu, apakah
jika jumlah finansial tidak besar, maka sengketa bisa jadi selesai dengan tuntas
beresensi keadilan?
Kasus kedua, antara Penggugat dengan Tergugat-I dan Tergugat-II sudah
membuat dan menandatangani Surat Perdamaian9 pada tanggal 06 Juli 2010,
yang pada intinya menyepakati: (1) Tergugat-I dan Tergugat-II telah mengaku
bersalah dan dengan ini meminta maaf kepada Penggugat; (2) Penggugat
menerima Tergugat-I dan Tergugat-II kembali bergabung bersama ke dalam
Perusahaan Penggugat dan/atau membentuk Perusahaan yang baru berdasarkan
syarat dan ketentuan bisnis yang berlaku umum; (3) Segala biaya dalam perkara
8
Sumber: Majalah GATRA, Februari 2013
9
Dalam perkara Perdata No. 202/Pdt.G/2010/PN.Bks didaftarkan tanggal 24 Mei 2010.

54 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


ini sejak awal pengajuan gugatan menjadi beban tanggungan untuk dilunaskan
oleh Tergugat-I dan Tergugat-II secara tanggung-renteng sebesar Rp2.000.000,00
(dua juta rupiah). Akan tetapi kemudian, Advokat selaku Kuasa Hukum dari
para Tergugat, mempersoalkan lagi Surat Perdamaian ini dengan alasan “tidak
tercapai kesepakatan antara para Tergugat dengan Penggugat mengenai besaran
biaya” padahal yang “tidak sepakat” itu adalah hanya Kuasa Hukum para Tergugat
yang mengambil posisi berbeda dengan para Tergugat Principal, in persoon, yang
sebelumnya telah sepakat dan telah menanda-tangani Surat Perdamaian. Namun
Majelis Hakim setelah lebih dari 20 (dua puluh) hari sidang pada tanggal 25
Januari 2011, kemudian memutuskan perkara ini pada pokoknya menyatakan:
“tidak tercapai kesepakatan antara para Tergugat dengan Penggugat mengenai
besaran biaya.”
Lagi-lagi sengketa APS yang telah ditempuh menurut hukum yang berlaku,
masih juga tidak selesai tuntas, walaupun besaran finansial uangnya sama sekali
tidak signifikan dipersoalkan. Restorasi esensi keadilan menjadi tidak tercapai,
hanya karena kuasa hukum yang dalam hal ini Advokat dan Hakim selaku ahli
dan praktisi hukum, meniadakannya.
Program restorasi keadilan dengan rehabilitasi melalui acara APS untuk
penyelesaian sengketa perdata, pun juga dalam kasus publik, seperti diatur dalam
PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagaimana
diketahui telah banyak ditempuh oleh berbagai negara. Khususnya dalam kasus
yang bertujuan untuk mempercepat reintegrasi narapidana agar lebih siap kembali
ke masyarakat. Teori ini telah dianut oleh negara-negara Asia Pasifik seperti
Australia, Selandia Baru, Kanada, Jepang, Korea, Hongkong, India, Thailand,
Singapore, Vietnam, Malaysia, dan termasuk Indonesia. Latar masalah yang
muncul dengan penerapan teori itu, semula karena kepadatan penghuni lembaga
pemasyarakatan, yang situasinya juga dialami Indonesia. Untuk itu, bahkan dana
dari pemerintah diperlukan agar dapat menjalankan berbagai program mencapai
tujuan rehabilitasi dan reintegrasi itu.
Pengembangan hukum restoratif di atas itu terhadap APS, sebagai bench-
marking dalam upaya berbagai rencana aksi penguatan Lembaga Adat, bisa jadi
sangat potensial dan relevan dalam rangka revitalisasi penyelesaian sengketa di
Indonesia kini dan ke depan. Paparan berikut ini seyogianya dapat disimulasikan
sebagai bench-marking aksi bersama upaya bangsa yang bersifat makro. Upaya
yang bertujuan sama telah dan sedang dilakukan terhadap rehabilitasi dan
reintegrasi narapidana dalam rangka hukum restoratif10.
10
Bagian tulisan ini dipetik dari Buku oleh Penulis “Hukum Acara Pidana Indonesia dalam SIRKUS
HUKUM”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009.

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 55


Pelaksanaan teori rehabilitasi kepada narapidana (juga seharusnya dalam
kasus lain-lain), tampak semakin berkembang lagi dengan didukung pula adanya
teori restorasi dalam bidang hukum. Dengan itu, tujuan dari rehabilitasi dalam
rangka reintegrasi narapidana ke pergaulan sosial masyarakat bebas, tampak
semakin didukung untuk dilaksanakan terutama di negara-negara maju di Asia
Pasifik tersebut. Inti pokok dari tujuan rehabilitasi dan restorasi keadilan adalah
bahwa penghukuman melalui acara pengadilan, haruslah bertujuan untuk
memulihkan hubungan pelaku dengan korbannya dalam keadaan yang direstui
oleh masyarakat. “Masyarakat” dalam hal ini menjadi sangat relevan dengan re-
aktualisasi dan revitalisasi lembaga adat masa lalu ke era konteks sosial modern
yang urban migran. Untuk itu, memang diperlukan fasilitasi yang legal formal
dilaksanakan juga oleh Pemerintah atas nama Negara. Salah satu contoh yang
biasa dikutip oleh para ahli adalah upaya restorasi kerugian korban kejahatan yang
diberi ganti rugi atau kompensasi. Contoh seperti ini misalnya, telah diterapkan
di Selandia Baru, yang mengadopsi hukum adat orang Maori (penduduk asli
Selandia Baru). Seyogianya hukum adat Indonesia modern pun bisa serupa (?)
Makna restorasi itu sendiri bertujuan untuk memulihkan situasi micro
cosmos dan macro cosmos dalam pemahaman masyarakat asli Maori. Paham yang
transenden seperti itu juga kurang-lebih serupa dianut oleh penduduk asli Asia
Pasifik. Namun, hal itu di Indonesia masih belum diformalkan ke dalam hukum
positif. Konsep praktis seperti itu menjadi bagian terapan dari teori restorative
justice dengan rujukan kepada John Braitwhaite (1998) seorang kriminolog
terkemuka di Australia. Prinsip-prinsip yang baik dari konsep seperti di atas itu,
tampak juga dirindukan oleh para ahli dan praktisi hukum masa kini supaya
sebisa mungkin dapat segera diterapkan pula di Indonesia.
Dengan bench-marking ini, jelas menunjukkan bahwa ada banyak segi di
dalam nilai-nilai kultural masyarakat asli yang bisa ditumbuh-kembangkan ke
dalam sistem hukum modern terkini. Penguatan Lembaga Adat di zaman modern
Indonesia, bukan tak bisa dilakukan, pun dalam rangka penggunaan acara APS.
Namun untuk itu diperlukan keseriusan semua pihak, dan tentu saja dengan
restu masyarakat dan fasilitasi dana, keahlian lintas-profesi, dan ragam peralatan
dari pihak pemerintah di pusat dan daerah. Penguatan Lembaga Adat bisa dan
harusnya bisa dilakukan dengan segala upaya kerja keras kita semua.

D. Analisis Keadilan Restoratif: antara Michael Walzer vs John Rawls


Dasar argumentasi filosofis penguatan lembaga adat, selain bukan hanya dalam
rangka APS, juga sangat relevan untuk diaktualisasikan dalam kondisi terkini untuk
penguatan teori keadilan ke dalam Lembaga Adat sebagai kesatuan sistem hukum

56 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


modern Indonesia. Bahan dasar yang Penulis gunakan mendalami pembahasan
topik keadilan (justice) disini, dengan sengaja disarikan dari buku buku “Sphere
of Justice” oleh Michael Walzer yang merupakan kritik keras terhadap proyek “A
Theory of Justice” dari John Rawls. Maksud Penulis, kiranya bisa dipahami, karena
lazimnya dalam konsepsi dan teori hukum yang berkembang di Indonesia selama
ini, telah banyak dirujuk referensinya seakan-akan hanya ke dalam John Rawls
dkk, padahal kaum Rawlsian itu telah mengalami kritik keras kini.
Bahan yang diajukan ini merupakan hasil pendalaman reflektif keadilan
sebagai alternatif terhadap teori keadilan John Rawls, yang semoga bisa jadi
rujukan bagi kita di Indonesia dalam rangka menemukan teori keadilan menurut
konteks situasi terkini. Rujukan berikut ini dari buku Sphere of Justice oleh
Michael Walzer11 bermaksud utama agar dapat kita gunakan jadi landasan
filosofis terhadap niat penguatan Lembaga Adat yang kita kehendaki.
Buku Sphere of Justice dari Michael Walzer merupakan salah satu mahakarya,
sebagai sebuah kritik keras yang ambisius terhadap proyek A Theory of Justice dari
Rawls. Buku Walzer terbit pada 1983, yang sebagian besarnya merupakan hasil
seminar bersama Robert Nozick tentang “Capitalism and Socialism” di Universitas
Harvard pada tahun akademik 1970-1971. Di dalam buku itu terdapat satu teori
keadilan sosial yang sangat berbeda dengan teori keadilan libertarian yang diuraikan
oleh Nozick dalam karya utamanya Anarchy, State and Utopia, 1974. Nozick
menganggap teori keadilan Rawls kurang liberal dalam kaca mata libertarisme,
sedangkan Walzer menganggap teori keadilan Rawls kurang radikal sebagai
suatu teori keadilan sosial. Walzer adalah Profesor of Government di Universitas
Harvard pada 1966-1980, dan juga sejak 1980 menjadi Profesor di School of
Social Science pada Institute for Advanced Study di Princenton, New Jersey, sampai
menjadi emeritus. Dia juga dikenal sebagai seorang ahli teori politik Amerika
Serikat yang terkemuka, karena banyak menulis tentang teori politik dan filsafat
moral, antara lain mengenai kewajiban politis, perang yang adil dan tidak adil,
nasionalisme dan etnisitas, keadilan ekonomi, dan negara kesejahteraan.
Bagaimana Walzer mengajukan kritik keras terhadap Rawls? Walzer menyerang
Rawls dalam pengandaian yang berada di belakang suatu teori keadilan distributif
yang tidak menghargai kenyataan pluralisme dalam masyarakat. Teori Rawls yang
semacam itu menganggap terlalu yakin adanya “sebuah kriteria, atau sekumpulan
kriteria yang saling terkait, untuk semua distribusi”. Walzer membela bentuk pluralistik
dari prinsip-prinsip keadilan, dengan mengatakan: “… barang-barang kebutuhan
11
Sumber: A.Widyarsono, DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi, STF Driyarkara, Jkt, Vol.10 Apr
2011. Penulis merasa berhutang mohon izin Rm. Widyarsono atas penggunaan referensi ini utk tujuan
ilmiah/ akademis.

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 57


sosial seharusnya didistribusikan dengan alasan-alasan yang berbeda-beda,
menurut prosedur-prosedur yang berbeda-beda, oleh orang-orang yang berbeda-
beda pula, dan bahwa segala perbedaan ini berasal dari pemahaman-pemahaman
yang berbeda-beda tentang barang-barang kebutuhan itu, yang merupakan hasil
yang tak terelakkan dari partikularisme historis dan kultural..”12
Inilah juga yang menjadi inti dari argumen Walzer melawan Rawls. Di dalamnya
ada dua kritik berbeda, yang disebut Walzer sebagai kesalahan abstraksi metodologis
Rawls. Di satu pihak menyarankan pemahamannya tentang barang-barang kebutuhan
yang dikonstruksikan secara sosial, yang oleh Walzer dikatakan “merupakan hasil yang
tak terelakkan dari partikularisme historis kultural”. Di lain pihak, bagian pertama itu
menyarankan bahwa kita tidak dapat memisahkan metode pendistribusiannya dari
makna sosial yang berbeda-beda yang terdapat dalam barang-barang tertentu. Bagian
yang pertama itu disebut oleh Mulhall dan Swift sebagai “metodologi partikularis dari
teori” (the particularist methodology of the theory) dan bagian kedua sebaga “substansi
yang berbeda-beda” (the differentiated substance)13.
Pengakuan yang pertama mengandung ide bahwa prinsip-prinsip keadilan
distributif haruslah bergantung pada budaya (culture-specific), sedangkan yang
kedua adalah pengakuan bahwa prinsip-prinsip keadilan itu juga harus bergantung
pada jenis barang kebutuhannya (goods-specific). Inilah yang disebut oleh Walzer
bahwa prinsip-prinsip keadilan Rawlsian berakibat negatif bagi harapan untuk
membangun suatu teori keadilan “prosedural secara murni” (purely procedural).
Kegagalan ini, menurut Walzer, terjadi karena Rawls tidak mempunyai perhatian
pada masalah “barang-barang kebutuhan” (the goods) dalam teorinya.
Argumen Walzer melawan abstraksi metodologis Rawls dalam dua segi.
Pertama difokuskan pada masalah metodologi dengan mengajukan pendekatan
partikularisme radikal untuk mengkritik universalisme Rawls. Walzer
mengkategorikan Rawls sebagai filosof kontemporer yang menggunakan abstraksi
metodologis yang diyakini oleh Walzer sbg metode yang salah dari Rawls untuk
membangun teorit keadilan. Dalam membahas “substansi yang berbeda-beda”
Walzer merumuskannya sebagai kritik yang lebih positif untuk mengembangkan
konsep keadilan yang disebutnya sebagai “kesetaraan yang kompleks”.
Metode partikularisme radikal, menurut Walzer, merupakan pendekatan
yang tidak mengambil jarak dari konteks masyarakat partikular tempat mereka
hidup. Konteks dalam hal ini jangan dinilai dengan kriteria eksternal yang
12
Sphere of Justice, p.6: (D)ifferent social goods ought to be distributed for different reason, in accordance with
different procedures, by different agents; and that all these differences derive from different understandings
concerning the social goods themselves – the inevitable product of historical and cultural particularism.”
13
Stephen Mulhall and Adam Swift, Liberal and Communitarians, pp. 127-128;

58 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


diabstraksikan dari kontingensi kebudayaan itu sendiri. Dengan mengacu kepada
Plato, Walzer berfilsafat untuk berusaha mentransendensikan konteks yang
partikular dan menemukan “suatu posisi obyektif dan universal” (an objective
and universal standpoint). Ini disebutnya metode pertama, sebagai universalisme
abstrak. Sedangkan metode yang kedua adalah “untuk menginterpretasikan
dunia makna yang mereka hidup kepada para warga negara lain.” Untuk metode
kedua ini disebutnya sebagai pendekatan partikularisme radikal.
Menurut Walzer, ketika pendekatan pertama itu diterapkan pada pertanyaan
tentang keadilan distributif, maka para filosof politik sejak zaman Plato meyakini
bahwa “ada satu, dan hanya satu-satunya, sistem distribusi yang dapat ditemukan
secara benar oleh filsafat.” Inilah pengandaian yang diterapkan oleh Rawls dalam
teori keadilannya. Dua prinsip keadilan Rawls itu berasal dari suatu prosedur
yang diabstraksikan dari partikularisme budaya. Prosedur yang dimaksud itu
adalah konsep “posisi asli” (original position) yang diandaikan Rawls dimiliki
oleh pihak-pihak yang mau membuat kontrak sosial. Dalam kontrak sosialnya,
Rawls meminta kita membayangkan suatu situasi, dimana sekelompok individu
berusaha mencapai kesepakatan mengenai konstitusi dasar dari masyarakat yang
mau mereka bentuk, tetapi untuk menjamin sikap netral dan tidak memihak
(impartiality) mereka, Rawls menempatkan mereka dalam “selubung ketidak-
tahuan” (a veil of ignorance). Selubung membuat mereka seolah-olah tidak
memiliki pengetahuan tentang ras, gender, kelas sosial, talenta dan kemampuan,
keyakinan religius dan konsep tentang kebaikan hidup, karena pengetahuan
tentang hal-hal itu membuat mereka menjadi berat sebelah untuk menentukan
prinsip bersama yang akan disepakati. “Selubung ketidaktahuan” menjadi syarat
dasar dari upaya untuk kembali ke “posisi asli” agar semua pihak dapat memilih
prinsip-prinsip keadilan secara fair.14
Abstraksi Rawls di atas itu memungkinkannya hanya mempertimbangkan
pendistribusian dari apa yang disebutnya sebagai barang-barang kebutuhan primer
seperti “hak-hak dan kebebasan, kesempatan dan kekuasaan, pendapatan dan
kesejahteraan” yang oleh Rawls diandaikan sebagai diingini oleh semua individu
dan tidak tergantung dari kebutuhan dalam budaya tertentu. Konsekuensi lebih
jauh dari abstraksi semacam ini ialah bahwa logika distribusi dalam “posisi asli”
berlaku sama untuk semua barang-barang kebutuhan primer itu. Justru ini yang
ditolak oleh Walzer karena tidak adanya partikularisme kepentingan. Kekurangan
Rawls menurut Walzer adalah karena tidak memberi perhatian pada apa yang
kita buat dalam kehidupan kita sehari-hari dalam budaya tertentu. Rawls tidak
peka akan paham-paham keadilan dalam budaya masyarakat tertentu.
14
Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press, 1971, pp.17-22; 137-142

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 59


Walzer mengemukakan dua alasan yakni bersifat konseptual murni dan bersifat
politis sebagai argumen demokratis. Argumen konseptual murni mengenai barang-
barang kebutuhan dengan enam preposisi berikut ini. Segala barang kebutuhan
dalam keadilan distributif adalah barang-barang kebutuhan sosial, yang tidak
mungkin memiliki nilai pada dirinya sendiri, tetapi memiliki makna bersama karena
penciptaannya merupakan proses-sosial sehingga dia sebagai barang kebutuhan
memiliki makna yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda. Preposisi pertama
makna sosial itu mengandung konsekuensi pendekatan partikularisme radikal,
yakni: (a) identitas seorang pribadi dibentuk oleh konstruksi sosial barang-barang
itu; (b) tidak ada satu kelompok barang primer untuk “segala dunia moral dan
material”; (c) makna barang itu harus menentukan cara pendistribusiannya; (d)
makna-makna barang-barang itu bersifat historis sehingga penditribusiannya juga
“berubah dari waktu ke waktu” dan akhirnya (e) pendistribusian itu harus otonom
karena makna barang berbeda-beda. Preposisi inilah yang oleh Walzer digunakan
bagi suatu teori barang-barang yang untuk itu prinsip-prinsip keadilan seharusnya
bersifat pluralistik. Yang dengan itu, kita akan dapat memisahkan konsepsi tentang
keadilan dari konsepsi tentang barang-barang kebutuhan sosial.
Prinsip-prinsip distribusi, menurut Walzer, bersifat internal karena instrinsik
pada makna barang-barang kebutuhan sosial yang harus didistribusikan.
Setiap barang kebutuhan sosial memiliki logika distribusinya sendiri dan setiap
masyarakat memiliki peta ruang distributif sendiri yang kompleks. Inilah yang
disebut Walzer sebagai konsep “kesetaraan yang kompleks”. Walzer memberi
contoh roti, sebagai barang kebutuhan dalam hampir semua konteks partikular
tapi memiliki makna sosial yang berbeda-beda dari kebudayaan yang satu dengan
yang lain [Sphere of Justice, p.8]. Dan, karena kita memiliki kesulitan akan makna
roti sebagai barang sosial, maka menjadi lebih sulit lagi memahami makna barang-
barang sosial yang lebih kompleks seperti kebebasan, kekuasaan, kekayaan, dan
sebagainya. Dengan itu, Walzer yakin bahwa Rawls telah gagal memberi perhatian
yang serius terhadap partikularitas budaya dengan mentransendensikan konteks
kultural itu dalam rangka untuk mencari posisi universal dan suatu jawaban
tunggal yang benar mengenai keadilan distributif.
Kritik Walzer itu berlanjut pada kegagalan Rawls karena kurangnya perhatian
pada konteks partikular sehingga meremehkan nilai pendapat warganegara biasa
bila dibandingkan dengan filosof-filosof politik yang merumuskan teori keadilan.15
Pertanyaan utama yang diajukannya disitu yakni: apa kedudukan filosof dalam
sebuah masyarakat yang demokratis? Jika tujuan filsafat adalah mencari kebenaran,
maka ada bahaya bahwa filsafat menghasilkan implikasi-implikasi yang tidak
15
Walzer, Philosophy and Democracy” Political Theory, 1981.

60 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


demokratis. Ada bahaya campur tangan filsafat ke dalam ruang demokratis suatu
komunitas politik dalam jangkauan yang tersedia bagi warga negara biasa dan wakil-
wakil mereka dalam demokrasi (yakni para legislator/anggota parlemen) untuk
memutuskan kehidupan mereka sendiri. Menurut Walzer, keadilan tidak tergantung
pada pengetahuan filosofis, karena komunitas partikular juga memiliki usaha untuk
mengartikulasikan kebenaran universal. Sebaliknya, pengetahuan politis berasal
dari dalam, dari pengalaman historis yang dimiliki bersama mengenai “negosiasi,
intrik, dan perjuangan” yang membentuk suatu kelompok menjadi komunitas
politis. Menurut Walzer, pengetahuan filosofis bersifat “universal dan tunggal” dan
pengetahaun politis bersifat “partikular dan majemuk”.
Bagi Walzer, demokrasi bukanlah mengenai pengetahuan filosofis melainkan
pengetahuan politis. Demokrasi harus mendahului filsafat. Apa yang penting
dalam demokrasi bukanlah pengetahuan dan pendapat para filosof, melainkan
pendapat warga negaranya. Maka bisa jadi semakin buruk, bilamana para filosof
berusaha membuat jalan pintas ke arena demokratis dengan membuat kesimpulan-
kesimpulan yang masuk akal dilembagakan secara langsung menjadi hukum, setelah
menyadari bahwa warga negara lain menentang atau menghambatnya. Walzer di
dalam “Philosophy and Democracy” berusaha memisahkan filsafat dari demokrasi
sebagai “dua bidang kegiatan manusia yang sama sekali berbeda”. Dia menyatakan
bahwa demokrasi tidak memiliki klaim dalam ruang filsafat, dan para filosof tidak
memiliki hak-hak khusus dalam komunitas politis. Dalam dunia opini, kebenaran
sesungguhnya hanyalah salah satu opini, dan filsuf hanyalah salah seorang pembuat
opini.” (Democracy has no claims in the philosophical realm, and philosophers have no
special rights in the political community. In the world of opinion, truth is indeed another
opinion, and the philosopher is only another opinion-maker) [p. 397].
Walzer merumuskan teori keadilan secara lebih positif yang disebutnya
sebagai teori “substansi yang berbeda-beda” (differentiated substance). Untuk itu dia
menerapkan metodologi partikularisme yang menganalisis masyarakat kontemporer.
Dia mengembangkan yang disebut sebagai “kesetaraan yang kompleks” (complex
equality) sebagai konsepsi untuk menganalisis dominasi dan monopoli dalam
masyarakat kontemporer dan untuk itu konsep “kesetaraan yang kompleks” dapat
menyediakan jalan keluar yang lebih unggul bagi masalah ini daripada konsep
“kesetaraan yang sederhana” dalam konsep keadilan. Menurut Walzer, prinsip-prinsip
distributif keadilan itu adalah unik karena kebutuhan sosial itu juga unik menurut
makna barang-barang di dalam setiap “ruang bidang” (sphere). Dia menyatakan
bahwa setiap barang sosial atau sekumpulan barang-barang sosial itu membentuk
suatu ruang distributif, dimana hanya kriteria dan pengaturan tertentu yang cocok.
Prinsip itu menjadi proposisi bahwa barang-barang sesuai jenisnya adalah spesifik

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 61


(good-specific) yang merupakan lanjutan dari prinsip bahwa makna barang-barang itu
sesuai dengan kebudayaannya (culture specific). Contoh yang diberikan oleh Walzer
merujuk pada situasi abad pertengahan di Eropah bahwa “uang adalah tidak cocok
dalam bidang jabatan-jabatan gerejawi” karena itu menjadi benar bahwa “barang
sosial dan jabatan gerejawi tidak boleh diperjualbelikan”. Jika prinsip ini dilanggar
maka akan menimbulkan intervensi masyarakat untuk menolaknya. Disinilah dia
berarti sebagai “ruang-ruang keadilan” (sphere of justice) yang berbeda-beda dan
memasuki masyarakat secara intuitif. Dengan itu, masyarakat akan membenarkan
bahwa “jabatan-jabatan politis tidak boleh diperjual-belikan”.
Namun Walzer mengakui pula bahwa memang masyarakat tidak berfungsi secara
otonom masing-masing dalam ruang keadilan itu karena masih terjadi monopoli
dan dominasi, yakni sejumlah kecil barang-barang sosial memiliki prioritas di atas
barang-barang lainnya, seperti emas yang biasanya dimonopoli sehingga diangkat
nilainya oleh kekuatan dan kohesi dari para pemiliknya. Monopoli dan dominasi
itu adalah konflik sosial dan ketidakstabilan. Dan ini hanya dapat diatasi oleh
negara yang kuat. Cara untuk mengatasinya, oleh Walzer disebut sebagai reaksi
dari suatu “rezim kesetaraan yang sederhana” (regime of simple equality). Disini yang
tidak adil bukan dominasinya tetapi monopolinya. Daripada mengatasi bahaya
dominasi dan monopoli dengan memusatkan diri untuk mengatasinya, maka
Walzer mengusulkan teori “kesetaraan yang kompleks” yang merupakan lawan dari
“kesetaraan yang sederhana”. Kesetaraan yang kompleks harus terlibat pada kritik
atas dominasi barang-barang sosial apa pun karena adanya “pluralitas barang-
barang sosial” yang artinya tidak ada barang sosial yang dominan karena semuanya
memiliki otonomi masing-masing dalam kaitan ruang mereka yang partikular
sehingga keunikan masing-masing barang sosial itu dapat saling dipertukarkan
dalam “kesetaraan yang kompleks”. Dengan ini Walzer meyakini bahwa sebuah
masyarakat yang adil itu mungkin diwujudkan, karena “dominasi barang-baranglah
yang membuat dominasi atas manusia.” Pluaritas barang-barang sosial melindungi
monopoli kontrol atas barang-barang itu. Manusia yang satu dapat lebih unggul
dalam bidang tertentu. Setiap orang memiliki kompetensi yang berbeda-beda
menurut bidangnya, sehingga ketidak-samaan memang tidak hilang. Orang-orang
yang berbakat mungkin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan lebih terdidik,
para pengusaha mungkin tetap memiliki uang yang lebih, namun ketidaksamaan
yang unik dalam masing-masing bidang itu tidak menyediakan pengaruh bagi
distribusi barang-barang di bidang lain yang tidak ada kaitannya.

E. Prediksi Implikatif Reflektif Konteks Adat dan Praktik Hukum Terkini


Arah redefinisi dan revitalisasi masyarakat adat sebagai bagian tak-

62 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


terpisahkan dari berbagai rencana aksi upaya penguatan Lembaga Adat ke depan,
bisa dilakukan pertama-tama dengan merancang-ulang mindset yang selama ini
menjejali kita dengan konsep pola pikir di sekitar pasca-kolonial. Nomenklatur
masyarakat adat di semua literatur masa kolonial dan tak lama sesudahnya, hanya
diposisikan sebagai “wewenang urus sendiri” sekadar tidak menjadi soal bagi
pemerintah yang mengutamakan keamanan dan ketertiban (rust en orde) agar
tidak mengganggu arus hilir mudik politik ekonomi bagi kepentingan kolonial.
Konteks dan mindset kita terkini sudah jauh berubah dari tema rust en orde itu.
Masa lalu itu harus kita tinggalkan dan bisa kita maafkan, walau tak perlu dilupakan
(forgive but not to forget) untuk menjadi bahan pembelajaran ke generasi masa
depan. Kesatuan masyarakat adat bagi kita kini dan ke depan adalah soal HAM
kolektif dengan tanggungjawab penugasan negara untuk “melindungi, mencerdaskan,
memajukan kesejahteraan, dan mendamaikan kehidupannya secara universal” (Pembukaan
UUD NKRI Tahun 1945) dan diimplementasikan dengan ketentuan dalam Pasal 28I
ayat (4) jo. UU No.39 Tahun 1999 Pasal 8 mengenai “perlindungan, pemenuhan,
pemajuan, dan penegakan HAM, sebagai tanggungjawab negara”.
Mindset terkini juga mengharuskan kita merevitalisasi konsep dasar kebenaran
dan keadilan. Kebenaran yang tidak hanya empiris positivistik tetapi juga yang
etis dan estetis bagi kesatuan masyarakat. Keadilan dalam konsep Rawlsian (The
Theory of Justice) harus dirancang-ulang ke dalam sistem hukum yang restoratif
dan rekonsiliatif, tidak sekadar “kalah sebagai salah” atau “menang sebagai benar”.
Tetapi bagaimana “masalah sosial” dan ragam sengketa privat/publik harus
diperiksa dan dinilai cermat teliti untuk menemukan solusi yang mencerdaskan,
melindungi, menyejahterakan, dan mendamaikan semua pemangku kepentingan
di sekitar kesatuan masyarakat adat (kolektif) dan semua warga lokal (personal).
Untuk itu, elaborasi harus dilakukan terhadap deployment “kuasa negara”
yang pertama-tama memikul beban tanggungjawab untuk “melindungi,
memenuhi, memajukan, dan menegakkan” kepastian kebenaran dan keadilan
itu. Kuasa negara itu meliputi 6 (enam) pokok soal teknis yuridis politik hukum
yakni: kebijakan (beleids), pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad), pengawasan (toezichthoudensdaad), dan kepemilikan
yang kolektif rakyat atau yang privat (Putusan MK 15 Des 2004). Ke-6 konsep
ini yang harus dipilah-pilah ke dalam rumusan yuridis tanggungjawab bersama
dengan fungsi berbeda-beda (common responsibility but different in functions).
Yang mana menjadi kepentingan bisnis untuk dikelola secara manajerial, yang
mana wewenang publik dengan tindakan hukum bersegi-satu (eenzedigheid) dan
terhadap yang mana bisa dilakukan perbuatan hukum bersegi-dua (tweezedigheid)
sebagai otonomi wewenang keperdataan.

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 63


Kesatuan masyarakat adat kini tidak mungkin lagi eksklusif sekadar biologis
territorial dan genealogis, tetapi merupakan konteks nilai-nilai kultural (cultural
values) yang khas partikular alami (natural particularity) sebagai local genius
untuk dihidupi semua orang dalam sistem masyarakat yang terbuka (open society)
sehingga tidak menjadi beban melainkan memperkaya konteks situasi yang urban
migran diaspora terkini. Baik “peradilan adat” yang khusus (jika mau dibentuk)
maupun sistem peradilan pada umumnya, seharusnya bisa dikonsepsi-ulang ke
arah restoratif dan rekonsiliatif yang bersifat final and binding karena menjadi
solusi yang holistik bagi semua pemangku kepentingan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang dipaparkan pada bab-bab yang terdahulu, dengan
sasaran untuk menjawab masalah “dalam konteks situasi apa dan bagaimakah
masih relevan menerapkan Lembaga Peradilan Adat sebagai APS di era modern
terkini”, secara singkat bisa disimpulkan sebagaimana berikut ini.
Pertama, Lembaga Adat bisa diperkuat untuk menjadi APS baik untuk
obyek sengketa yang bersifat privat dan keperdataan, maupun dalam sengketa
berkategori publik menurut aturan pokok di dalam UU No. 30 Tahun 1999 dan
dikaitkan dengan aturan di dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 serta ragam aturan
terkait lain-lainnya.
Kedua, solusi penguatan Lembaga Adat sebagai APS yang mengandung
keadilan, bisa diterapkan dengan memulai dari perubahan mindset pola pikir
di sekitar pasca-kolonial terhadap nomenklatur “masyarakat adat” yang tidak
lagi hanya diposisikan sebagai “wewenang urus sendiri” tetapi menjadi kesatuan
masyarakat sebagai HAM kolektif dengan tanggungjawab penugasan negara
menerapkan kebenaran keadilan yang restoratif.

B. Saran
Langkah praktis operasional untuk melaksanakan ragam aksi yang dipaparkan
dalam makalah ini, disarankan agar bisa ditindaklanjuti dengan berbagai upaya
best efforts, best practices and best services yang serius dan tegas dari semua pihak,
dan tentu saja fasilitasi berbagai sarana dan dana, serta keahlian lintas-profesi,
dengan dukungan masyarakat dan pemerintah di pusat dan daerah. Disamping
itu, tentu saja perlu ditindaklanjuti dengan segala upaya kerja keras kita semua
sejak tahap awal hingga di tahap evaluasi akhir.

64 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


DAFTAR PUSTAKA

GATRA Majalah, Februari 2013;


Hamid Shahab, Menyingkap dan Meneropong UU No. 30 Tahun 1999 …,
Djambatan, 1999
Harahap Yahya, Laporan Akhir Penelitian Hukum tentang Penyelesaian Sengketa di
Luar Pengadilan, Depkeh RI, 1996;
---------, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,
CA Bakti, Bandung, 1997;
Hazairin, Rejang, dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung, Jakarta, 1983;
I Made Widyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Penerbit PT Fikahati
Aneska bekerjasama dengan BANI, Jakarta, 2009;
Nasroen N, Dasar Falsafah Adat Minangkabau; dalam Surojo Wignjodipuro,
Gunung Agung, Jakarta, 1983;
Nolan-Halley, Jaqueline M., Alternative Dispute Resolution,West Pbl.Co., USA,
1992;
Perkara Perdata No. 202/Pdt.G/2010/PN.Bks, tanggal 24 Mei 2010, Bekasi.
Rawls, John A Theory of Justice, Oxford University Press, 1971;
Simanjuntak Nikolas, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta., 2009;
Snouck Hurgronje, De Atjehers; Het Gajoland; dalam Surojo Wignjodipuro,
Gunung Agung, Jakarta, 1983; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung,
Jakarta, 1983;
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung
Agung, Jakarta, 1983;
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung
Agung, Jakarta, 1983;

NIKOLAS SIMANJUNTAK: Penguatan Lembaga Adat... 65


Stephen Mulhall and Adam Swift, Liberal and Communitarians, dalam Diskursus Jurnal;
Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan …, Ghalia, Jakarta., 2000;
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung
Jakarta, 1983;
Ter Haar B., Bzn, Beginselen en stelsel van Adatrecht; dalam Surojo Wignjodipuro,
Gunung Agung, Jakarta, 1983;
Togar Nainggolan, OFMCap., Batak Toba di Jakarta Kontinuitas dan Perubahan
Identitas, disertasi di Univ Nijmegen, Belanda, Percetakan Bina Media, 2006;
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
van Kan J., Uit de geschidenis onder Codificatie; dalam Surojo Wignjodipuro,
Gunung Agung, Jakarta, 1983;
van Vollenhoven C, Het Adatrecht van Ned. Indie; De ontdekking van het adatrecht;
Een Adatwetboekje heel Indie; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung,
Jakarta, 1983;
Walzer, Philosophy and Democracy” Political Theory, 1981;
Widyarsono A., DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi, STF Driyarkara,
Jakarta, Vol.10 April 2011;
Wilken G.A., Het Strafreht bij de Volken van het Malaische Ras, Verspreide Geschrijften
II 1912; dalam Surojo Wignjodipuro, Gunung Agung, Jakarta, 1983;

66 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


REDENOMINASI RUPIAH DALAM PRESPEKTIF HUKUM

Trias Palupi Kurnianingrum*

Abstract
Redenomination is one of the discourse that will be conducted by the Government to
effecting the economy that will become more efficient and to increase pride in the eyes
of the International. But to achieve this goal is not easy, since there are many pros
and cons in it. Redenomination does provide many benefits but also can negatively
impact the price inflation due to rounding. However, the preparations should be done
by Indonesia such as ensuring legal certainty and legal protection, setting up the
infrastructure that has been configured in a proper and giving intensive socialization
to the community. Comprehensive arrangement is needed to ensure legal certainty so
can giving the benefits for many people.
Kata kunci: Redenominasi, sanering, pro-kontra, dan inflasi.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai amanah Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia, redenominasi merupakan salah satu tugas dari Bank Indonesia dalam
rangka menjalankan dan menjaga kelancaran sistem pembayaran yang efisien,
aman, handal dan cepat di Indonesia.1 Redenominasi rupiah dimaksudkan
sebagai penyederhanaan denominasi (pecahan) mata uang dengan cara
mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Jadi
nantinya akan ada mata uang baru Rp100 untuk Rp100.000,-, Rp50 baru untuk
Rp50.000,- , Rp5 baru untuk Rp5.000,- kemudian Rp50 sen untuk Rp500,- dan
seterusnya. Redenominasi rupiah berbeda dengan kebijakan sanering yang dulu
pernah dilakukan Indonesia pada jaman pemerintahan Orde Baru. Redenominasi
adalah pemotongan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa harus mengubah
nilai tukarnya. Sementara sanering adalah suatu kebijakan memotong nilai uang
50% dari nilai nominal. Sederhananya jika kita mempunyai uang Rp1000,-
maka nilainya tinggal Rp500,-. Jadi apabila kita mempunyai simpanan deposito
sebesar Rp1 miliar maka dalam jangka waktu satu hari, simpanan akan hilang
setengahnya. Sayangnya, nilai yang dipotong hanya posisi nilai uang saja
*
Penulis adalah Peneliti Muda Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail: triaspalupikurnianingrum@yahoo.com.
1
Pasal 7 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah... 67


sementara harga barang tetap. Ini berarti masyarakat akan tetap dirugikan. Ibarat
kata penghasilan menurun namun harga barang tetap.
Sebenarnya jika dicermati wacana redenominasi sempat masuk ke dalam
materi UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang namun kemudian oleh sejumlah
kalangan, materi mengenai redenominasi ditarik keluar untuk menjadi undang-
undang tersendiri. Hal ini dipertegas oleh Pasal 23B UUD Tahun 1945, yang
mengamanatkan bahwa macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-
undang. Selain itu penegasan redenominasi ke dalam undang-undang tersendiri
juga diperkuat oleh Pasal 3 ayat (5) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
yang menyatakan bahwa perubahan harga rupiah diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan amanah tersebut, maka Pemerintah melalui Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) tahun 2013 telah mempersiapkan Rancangan Undang-
Undang tentang Perubahan Harga Rupiah untuk segera dibahas bersama dengan
DPR RI.
Redenominasi pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk
menyederhanakan, mengingat pecahan uang rupiah saat ini jumlah digitnya
terlalu banyak sehingga akan dapat menimbulkan in-efisiensi dan kurang praktis,
karena dengan denominasi yang besar maka nilai mata uang rupiah akan terlihat
menjadi rendah di mata dunia internasional. Ini bukannya tanpa alasan mengingat
selama ini mata uang rupiah dianggap tidak kompetitif jika dibandingkan dengan
mata uang negara lain sehingga mata uang rupiah dengan mudah akan dapat
dikalahkan oleh kekuatan mata uang negara lain. Terlebih dalam proses input
dan pelaporan data, jumlah digit yang terlalu banyak dirasakan akan merepotkan
dan cenderung menimbulkan kesalahan.
Namun wacana kebijakan redenominasi yang digulirkan oleh Bank Indonesia
ternyata justru menuai kritikan. Banyak pro-kontra di dalamnya, ada yang setuju
dan tidak setuju bahkan ada yang salah mengartikan pengertian redenominasi
sama dengan sanering. Pada dasarnya perdebatan tersebut lebih dikarenakan
adanya kemungkinan timbul inflasi akibat kebijakan redenominasi tersebut.
Terlepas dari pro-kontra tersebut, wacana redenominasi memang sangat menarik
untuk dikaji mengingat redenominasi sendiri bukan merupakan hal mudah
untuk dilakukan, perlu adanya kesiapan dari semua elemen untuk mensukseskan
kebijakan redenominasi ini. Pengaturan yang komprehensif sangat diperlukan
untuk menjamin kepastian hukum mengingat hukum sudah sepantasnya
bertujuan untuk mewujudkan apa yang menjadi faedah bagi banyak orang.

68 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji
redenominasi rupiah dari prespektif hukum. Sudah siapkah Indonesia untuk
melakukan redenominasi? tidak disangkal bahwa masih terdapat pro-kontra
terkait kebijakan redenominasi rupiah di Indonesia. Oleh karena itu dalam
tulisan ini akan dikaji permasalahan bagaimanakah persiapan Indonesia dalam
menghadapi redenominasi serta melihat kemungkinan implikasi yang terjadi dari
penerapan redenominasi itu sendiri.

C. Tujuan dan Kegunaan


Tulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian mengenai redenominasi rupiah
dalam prespektif hukum, khususnya mengetahui dan memahami bagaimanakah
persiapan Indonesia dalam menghadapi redenominasi serta mengetahui dan
memahami kemungkinan implikasi yang terjadi dari penerapan redenominasi.
Selain itu kajian ini dimaksudkan sebagai masukan bagi anggota DPR RI
khususnya Komisi XI dalam rangka mendukung tugas legislasi untuk menyusun
dan membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah.

II. KERANGKA PEMIKIRAN


1. Pengertian Redenominasi
Secara etimologi, redenominasi berasal dari kata latin “re” yang berarti
kembali dan “denominare” yang berarti memberi nama khusus atau memecah.
Sementara pengertian redenominasi mata uang menurut kata bahasa inggrisnya
adalah “redenomination currency” yang berarti pertama, pecahan mata uang
atau penyederhanaan mata uang sebagai dampak inflasi tertinggi (the process
whereby a country’s currency is recalibrated due to significant security). Kedua,
proses mengubah nilai mata uang demi keamanan sektor keuangan (the process of
changing the currency value on a financial security).2
Pengertian redenominasi menurut Bank Indonesia, adalah penyederhanaan
dari nilai atau nominal yang tertera pada mata uang tertentu tanpa memotong
nilai tukar dari uang itu sendiri, disertai dengan penyesuaian harga komoditas
di pasaran dan nilai tukar dengan valuta asing (valas).3 Jadi misalnya uang
Rp1.000,- nantinya akan disederhanakan menjadi Rp1. Hal ini berlaku juga
menyeluruh ke semua harga-harga barang dan jasa di negara tersebut. Tujuan
redenominasi ini adalah sebagai efisiensi penghitungan dalam sistem pembayaran.
2
“Pengertian Redenominasi”, http://www.redenominasirupiah.com/, diakses 20 Februari 2013.
3
Kamus Bank Sentral Republik Indonesia, “Pengertian Redenominasi”, http://www.bi.go.id/web/id/
kamus, diakses tanggal 20 Juni 2013.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah... 69


Redenominasi sukses jika dilakukan pada saat inflasi dan ekspektasi inflasi stabil
dan rendah. Intinya adalah penyederhanaan akunting dan sistem pembayaran
tanpa menimbulkan dampak bagi ekonomi. Terdapat tiga hal yang perlu untuk
diperhatikan apabila ingin melakukan penyederhanaan satuan nilai tukar, antara
lain kondisi ekonomi yang stabil, inflasi yang terjaga rendah dan adanya jaminan
stabilitas harga.4

2. Pengertian Sanering
Sanering berasal dari bahasa belanda yang berarti penyehatan, pembersihan
atau reorganisasi. Dalam ilmu ekonomi, sanering adalah pemotongan nilai uang
tanpa mengurangi nilai harga sehingga daya beli masyarakat menurun.5 Sanering
pernah dilakukan pada saat Orde Lama, yakni tahun 1950 untuk mengatasi situasi
perekonomian Indonesia yang sedang terpuruk antara lain hutang menumpuk,
inflasi tinggi dan harga melambung. Kebijakan sanering pada waktu itu dikenal
dengan sebutan “gunting syariffuddin”, yang kemudian dilanjutkan Pemerintah
pada tahun 1959 dan terakhir pada tahun 1965.
Gunting Syafruddin adalah sebuah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh
Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II yang
mulai berlaku pada tanggal 10 Maret 1950. Menurut kebijakan itu, “uang merah”
(uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp5 ke atas digunting
menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah
dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus. Kebijakan ini
dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk
(utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung).6
Dampak negatif sanering yang pernah dilakukan pada saat orde pemerintahan
lama, yakni:
a. kebijakan sanering yang dilakukan pada tahun 1950 dirasakan kurang tepat
karena tindakan sanering justru meyebabkan rakyat semakin menderita.
Kebijakan sanering cenderung dilakukan demi kepentingan pemerintah
semata, yakni untuk melunasi hutang pemerintah yang menumpuk tanpa
memikirkan kesulitan rakyat yang disebabkan pemotongan nilai rupiah
tersebut;


4
“BI: Perekonomian Stabil, Syarat Utama Penerapan Redenominasi”, http://www.infobanknews.com/2013/01/
bi-perekonomian-stabil-syarat-utama-penerapan-redenominasi/, diakses tanggal 23 Januari 2013.

5
“Perbedaan Redenominasi dengan Sanering”, http://klik-fe.blogspot.com/2011/03/perbedaan-redenominasi-
dengan-sanering.html, diakses tanggal 20 Februari 2013.
6
“Gunting Syafruddin”, http://id.wikipedia.org/wiki/Gunting_Syafruddin, diakses tanggal 20 Februari
2013.

70 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


b. sanering kedua yang dilakukan pada tahun 1959, menimbulkan likuiditas
dimana-mana; dan
c. terjadi depresiasi nilai rupiah yang menyebabkan nilai rupiah semakin
menurun dan tidak berharga.

3. Teori Hukum
Teori mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini disebabkan karena
teori itu menjelaskan suatu fenomena. Teori menurut Fred N. Kerlinger adalah
seperangkat konstruk (konsep), batasan, dan proposisi yang menyajikan
pandangan sistematis tentang fenomena dengan memerinci hubungan-hubungan
antar variabel dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksi gejala itu.7
Hukum pada dasarnya memerlukan kebijakan dalam arti yang positif, karena
memang harus diakui bahwa hukum sebenarnya merupakan produk politik.
Kebijakan dalam arti positif, mengandung makna sebagai penjamin adanya
kepastian hukum (rechtmatigheid) maupun keadilan hukum (doelmatigheid).8
Hukum juga dapat dikatakan sebagai suatu wadah untuk memberikan legitimasi
dan juga legalitas terhadap suatu kebijakan yang dihasilkan melalui produk
hukum yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan
dominan. Oleh karena itu, di dalam menentukan politik hukum harus bertolak
pada suatu tujuan yang dirumuskan bersama sebagai sasaran yang akan dicapai
dalam setiap pembentukan hukum.9
Hukum memiliki suatu tujuan. Menurut teori utilitas (manfaat) yang
dikemukakan oleh Jeremy Bentham, digunakan untuk menjelaskan konsep
kebahagiaan atau kesejahteraan. Jeremy Bentham melalui bukunya “introduction
to the morals and legislation”, berpendapat bahwa tugas hukum adalah memelihara
kebaikan dan mencegah kejahatan, sehingga hukum harus memberikan
manfaat atau kegunaan bagi orang banyak (to serve utility).10 Hukum sudah
sepantasnya bertujuan untuk mewujudkan apa yang menjadi faedah bagi orang
yang satu dapat juga merugikan orang lain, maka tujuan hukum ialah untuk
memberi faedah sebanyak-banyaknya sehingga kepastian melalui hukum bagi
perorangan merupakan tujuan utama daripada hukum. Sayangnya, teori ini
7
Fred N. Kerlinger, Asas-asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990, Hal.
14-15.
8
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, Jakarta: Akademia, 2012, hal. 56.
9
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, hal. 58.
10
Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan)diterjemahkan oleh Nurhadi,
Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2006, hal. 26.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah... 71


memiliki kelemahan karena hanya memperhatikan hal-hal umum sehingga tidak
memberikan kepuasan bagi perasaan hukum.
Agar tujuan hukum dapat tercapai maka hukum harus dilaksanakan dan
ditegakkan. Sudikno Mertokusumo, mengemukakan tiga hal yang harus
diperhatikan dalam penegakkan hukum, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan
dan keadilan.11 Hal senada juga dipertegas oleh Friedman. Penegakan hukum
pada prinsipnya harus memberikan manfaat atau berdaya guna (utility) kepada
masyarakat, namun disamping itu masyarakat juga menginginkan kepastian
hukum untuk mencapai keadilan.

III. PEMBAHASAN
A. Persiapan Indonesia dalam Menghadapi Redenominasi Rupiah
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator makro yang
menggambarkan pertumbuhan barang dan jasa di suatu wilayah pada waktu
tertentu. Sedangkan stabilitas perekonomian dalam suatu negara dipandang
sangat penting sehingga merupakan tujuan utama pembuat kebijakan dalam
mengarahkan berbagai instrumen fiscal dan moneter. Dengan demikian stabilitas
pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan kegiatan perekonomian dalam
bentuk perdagangan barang atau jasa dan transaksi keuangan. Keadaan ini
haruslah diimbangi dengan tersedianya mata uang sebagai alat tukar pembayaran
atas barang dan jasa dalam jumlah yang memadai, karena secara tidak langsung
keberadaan uang juga menunjukkan kekayaan seseorang dan kedaulatan suatu
negara.
Dalam dunia perekonomian peranan uang sangat vital. Di dalam lalu lintas
perekonomian baik nasional maupun internasional, lazimnya uang diartikan
sebagai alat pembayaran yang sah. Uang adalah sesuatu yang secara umum
diterima di dalam pembayaran untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa
serta untuk pembayaran hutang-hutang. Fungsi uang itu sendiri selain sebagai
alat penukar juga digunakan sebagai alat pengukur harga. Uang dikatakan sebagai
alat penukar khususnya dalam hubungan transaksi jual beli, sedangkan pengukur
harga artinya digunakan untuk penetapan harga. Tanpa uang, perekonomian
suatu negara akan lumpuh bahkan tidak dapat dilaksanakan.
Sebenarnya jika dicermati, materi redenominasi awalnya masuk ke dalam
UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, namun oleh sebagian kalangan hal
tersebut dibatalkan karena redenominasi kemudian akan dibentuk menjadi
undang-undang tersendiri. Hal ini diperkuat dalam Pasal 23B UUD Tahun 1945
yang mengamanatkan bahwa macam dan harga mata uang ditetapkan dengan
11
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010, hal. 37.

72 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


undang-undang.12 Ketentuan frasa tersebut menjadi sangat penting, mengingat
kedudukan uang sangat besar pengaruhnya kepada masyarakat terutama sebagai
alat penukar dan pengukur harga. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu
adanya macam dan rupa uang yang diperlukan oleh rakyat sebagai pengukur
harga untuk menetapkan harga masing-masing barang yang dipertukarkan.
Barang yang menjadi pengukur harga tersebut mesti tetap harganya, jangan
naik turun tidak jelas karena keadaan uang yang tidak teratur. Oleh karenanya
keadaan uang perlu diatur dengan undang-undang.
Penetapan Negara melalui undang-undang dirasakan sangat penting untuk
dilakukan, dimaksudkan agar nilai mata uang rupiah tidak diserahkan kepada
mekanisme pasar bebas yang menggambang (floating). Selain itu amanah
pembentukan redenominasi ke dalam undang-undang juga terlihat dalam
Pasal 3 ayat (5) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang menyatakan
bahwa perubahan harga rupiah diatur dengan undang-undang.13 Kewenangan
redenominasi merupakan kewenangan Bank Indonesia mengingat Bank
Indonesia memiliki kebebasan penuh mengambil kebijakan moneter, bebas dari
pengaruh campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain.14 Namun meskipun
Bank Indonesia memiliki otoritas penuh tetap harus mendapatkan persetujuan
DPR RI selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.15 Sebagai
perwakilan atau representasi dari rakyat Indonesia secara keseluruhan, dan
secara yuridis juga diakui demikian maka proses legislasi di Indonesia dalam hal
pembentukan peraturan perundang-undangan berada di tangan DPR RI dan
Presiden. Dengan demikian wakil-wakil rakyat merasa ikut andil dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Tidak dipungkiri bahwa wacana redenominasi memang dipandang cukup
menarik karena masih banyak adanya perbedaan penafsiran kerangka berpikir
masyarakat akan hal tersebut. Masih banyak kalangan yang belum memahami
pengertian redenominasi bahkan sempat menyalahartikan dengan sanering.
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil
tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi sendiri bukan merupakan hal
yang baru untuk dilakukan. Sebagai bahan perbandingan, redenominasi justru
telah dilakukan di beberapa negara, misalnya Turki. Turki merupakan contoh
sukses negara yang melakukan redenominasi dengan menghilangkan 6 angka nol
pada mata uangnya. Jadi redenominasi yang dilakukan Turki adalah mengubah
12
Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13
Pasal 3 ayat (5) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
14
Pasal 4 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
15
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah... 73


1.000.000 lira menjadi 1 lira pada tahun 2006. Setelah redenominasi, semua uang
lama Turki (yang diberi kode TL) dikonversi menjadi uang baru (dengan kode
YTL).16 Turki meredominasi mata uang secara bertahap dengan memperhatikan
stabilitas perekonomian dalam negerinya. Pada tahap awal, mata uang TL dan
YTL beredar secara simultan selama setahun. Kemudian mata uang lama ditarik
secara bertahap digantikan dengan YTL. Pada tahap selanjutnya sebutan “yeni”
(baru) pada uang baru dihilangkan sehingga mata uang YTL kembali menjadi TL
dengan nilai redenominasi. Selama tahap redenominasi, keadaan perekonomian
tetap terjaga.
Selain Turki, negara yang berhasil melakukan redenominasi adalah Polandia,
Rumania dan Ukrania. Namun tidak sedikitpula yang gagal melakukan
redenominasi, sebagai contoh Argentina, Zimbabwe, Brasil dan Korea Utara.
Negara-negara tersebut memberlakukan redenominasi pada saat yang tidak
tepat dimana perekonomian tidak stabil dan memiliki tingkat inflansi yang
tinggi. Misalnya Korea Utara, pada akhir tahun 2009 melakukan redenominasi
100 won menjadi 1 won namun ketika warga hendak menggantikan uang lama
won ke uang baru, stok uang baru justru tidak tersedia. Brazil juga sempat
gagal melakukan redenominasi pada tahun 1986-1989. Brazil melakukan
penyederhanaan mata uangnya dari cruzeiro menjadi cruzado. Namun kurs mata
uangnya justru terdepresiasi secara tajam terhadap USD hingga mencapai ribuan
cruzado untuk setiap USD. Kegagalan ini terjadi dikarenakan pemerintah Brazil
tidak mampu untuk mengelola inflansi yang pada waktu itu mencapai 500%
per tahun. Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
juga merupakan faktor kegagalan redenominasi pada tahun 1986 mengingat
negeri tersebut masih dilanda konflik politik dan instabilitas pemerintahan yang
mengikis kepastian berusaha.17
Salah satu persoalan penting di dalam masyarakat sebagian besar adalah
masalah ekonomi. Ekonomi merupakan hal terpenting diantara beberapa hal dalam
kehidupan manusia karena peran ekonomi itu sendiri sebagai sebuah aktivitas
pemenuhan kebutuhan manusia. Terdapat banyak perdebatan mengenai aktivitas
ekonomi apalagi jika berhubungan dengan kebijakan yang diambil oleh beberapa
pihak khususnya pemerintah. Dalam hal ini, kebijakan ekonomi dapat menjadi
sebuah kontroversi ketika kebijakan tersebut diambil secara sepihak dan dalam
kondisi yang memaksa kebijakan tersebut untuk dijalankan. Ini terbukti melalui
kebijakan sanering yang dilakukan tanpa melalui koordinasi dari Bank Indonesia.
16
“Redenominasi Rupiah dan Stabilitas Perekonomian”, http://www.setneg.go.id/index.php?Option=com
_content&task=view&id=6730&Itemid=29, diakses tanggal 3 Januari 2013.
17
Redenominasi Rupiah dan Stabilitas Perekonomian”, http://www.setneg.go.id/index.php? Option = com
_content&task=view&id=6730&Itemid=29, diakses tanggal 3 Januari 2013.

74 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Sanering sendiri merupakan kebijakan yang diambil pemerintah pada tahun
1950 (1950, 1959, dan 1965). Sanering pada dasarnya dilakukan dengan tujuan
untuk mengatasi situasi perekonomian Indonesia yang memburuk, yaitu hutang
yang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung. Terbukti pada tahun
1950, sanering digunakan untuk mengatasi situasi ekonomi yang saat itu sedang
memburuk dan belum tertata setelah kemerdekaan. Pada tahun 1959, sanering
digunakan untuk menekan laju inflasi dan menutup hutang pemerintah di bank
yaitu dengan adanya pembekuan simpanan (giro dan deposito) yang diganti
dengan simpanan jangka panjang oleh Pemerintah. Sementara pada tahun
1965, sanering dilakukan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar akibat
hiperinflasi.18 Salah satu mekanisme kebijakan sanering yang dilakukan oleh
Pemerintah pada saat itu :
a. penurunan nilai uang kertas Rp500 dan Rp1000 diganti menjadi Rp50 dan
Rp100.
b. pembekuan sebagian simpanan pada bank (giro dan deposito) sebesar 90%
dari jumlah simpanan diatas Rp25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan
yang dibekukan akan menjadi simpanan jangka panjang oleh Pemerintah.19
Sayangnya upaya sanering yang dilakukan justru menyebabkan resiko atau
dampak negatif sehingga masyarakat semakin menderita. Tahun 1959, kebijakan
sanering menyebabkan bank-bank mengalami likuiditas, sehingga akhirnya
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.
2 Tahun 1959 dan Perpu No.3 Tahun 1959 yang isinya melakukan penurunan
nilai rupiah dan pembekuan simpanan di bank-bank.20 Hal inilah yang kemudian
menjadi kekhawatiran masyarakat apabila rencana redenominasi akan
diberlakukan, karena tidak sedikit yang menyalahartikan kebijakan redenominasi
akan berakibat sama seperti sanering yang pernah dilakukan pada tahun 1959.
Jika dicermati, terdapat perbandingan antara redenominasi dengan sanering,
antara lain sebagai berikut:

18
“Redenominasi dan Sanering”, http://setiyonoachmad.blogspot.com/2012/12/redenominasi-dan-
senering_16.html, diakses tanggal 20 Februari 2013.
19
Pasal 3 Perpu No. 3 Tahun 1959 tentang Pembekuan Sebagian Dari Simpanan Pada Bank-Bank.
20
Perpu No. 2 Tahun 1959 tentang Penurunan Nilai Uang Kertas dan Perpu No. 3 Tahun 1959 tentang
Pembekuan Sebagian Dari Simpanan Pada Bank-Bank.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah... 75


PERBEDAAN REDENOMINASI DAN SANERING
No. Redenominasi Sanering
1. Pengertian: redenominasi adalah Pengertian: sanering adalah pemotongan
menyederhanakan denominasi (pecahan) daya beli masyarakat melalui pemotongan
mata uang menjadi lebih sedikit dengan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan
cara mengurangi digit (angka nol) tanpa pada harga-harga barang sehingga daya
mengurangi nilai mata uang tersebut, beli masyarakat menurun.
misal Rp1.000,- menjadi Rp1. Hal yang
sama secara bersamaan dilakukan juga
pada harga-harga barang, sehingga daya
beli masyarakat tidak berubah.
2. Dampak masyarakat: tidak ada kerugian Dampak masyarakat: menimbulkan banyak
karena daya beli masyarakat sama. kerugian karena daya turun masyarakat
drastis.
3. Tujuan: penyederhanaan pecahan Tujuan: mengurangi jumlah uang yang
uang agar lebih efisien dan nyaman beredar akibat lonjakan harga-harga.
dalam melakukan transaksi serta Dilakukan karena hiperinflasi (inflasi yang
mempersiapkan kesetaraan ekonomi sangat tinggi).
dengan negara regional.
4. Nilai uang terhadap barang: tidak Nilai uang terhadap barang: berubah
berubah karena hanya cara penyebutan menjadi lebih kecil karena yang dipotong
dan penulisan pecahan uang saja yang adalah nilainya.
disesuaikan.
5. Kondisi saat dilakukan: kondisi makro Kondisi saat dilakukan: dilakukan pada
ekonomi stabil dan ekonomi tumbuh saat kondisi makro ekonomi tidak sehat
serta inflasi terkendali. serta hiperinflasi.
6. Masa transisi: dipersiapkan secara
matang dan terukur sampai masyarakat
siap agar tidak menimbulkan gejolak di
masyarakat.
21

Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia,
tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
terhadap barang dan jasa yang tercermin dari tingkat inflasi yang rendah, dan
mata uang negara lain yang tercermin dari stabilitas kurs valuta asing.22 Bank
Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten,
transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di

21
Materi Konsultasi Publik Perubahan Harga Rupiah “Redenominasi Bukan Sanering”, Jakarta 23 Januari
2013.
22
Pasal 7 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.

76 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


bidang perekonomian.23 Untuk mencapai tujuan yang dimaksud tersebut, maka
Bank Indonesia mempunyai tugas antara lain menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, mengatur dan mengawasi bank serta mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran.
Pelaksaan ketiga tugas tersebut mempunyai keterikatan satu dengan lainnya
dan saling mendukung. Tugas melaksanakan kebijakan moneter dilakukan melalui
pengendalian jumlah uang yang beredar dan pengaturan suku bunga. Agar efektif
maka memerlukan dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan
handal. Sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal memerlukan
sistem perbankan yang sehat karena sistem perbankan yang sehat selain
mendukung kinerja sistem pembayaran juga mendukung kinerja pengendalian
moneter, mengingat pelaksanaan kebijakan moneter dan efektivitasnya sangat
mempengaruhi kegiatan ekonomi rill untuk mencapai stabilitas nilai rupiah.
Dalam rangka untuk menciptakan sistem pembayaran yang efisien, aman,
handal dan cepat inilah Bank Indonesia melakukan redenominasi. Jadi dapat
dikatakan bahwa redenominasi merupakan salah satu langkah kebijakan yang
dilakukan Bank Indonesia dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran di Indonesia.
Memang tidak dipungkiri bahwa redenominasi sarat dengan problematika.
Hal ini semakin terlihat ketika pada saat pembahasan RUU Mata Uang, banyak
perdebatan di dalamnya dimana kemudian materi redenominasi justru dikeluarkan
untuk dibentuk menjadi undang-undang tersendiri sesuai amanah Pasal 23B
UUD Tahun 1945. Namun terlepas dari pro-kontra tersebut, redenominasi
selayaknya menjadi wacana yang patut untuk diperhitungkan namun dengan
berbagai catatan tentunya karena memang disadari atau tidak, nominal mata
uang rupiah yang sudah sangat besar tentu memberikan efek pada segala macam
transaksi keuangan terutama pada transaksi yang melibatkan valuta asing.
Kuotasi rupiah terhadap dollar AS dan Euro hampir mencapai 4-5 desimal di
belakang koma, dan hal ini dinilai jelas tidak praktis serta tidak nyaman. Selain
itu redenominasi diperlukan untuk membangun infrastruktur pembayaran non
tunai di masa depan, sebab semakin tinggi digit angka maka sistem pencatatan
dan akutansi akan semakin sulit. Kesulitan mucul jika sistem pencatatan (mesin
hitung) tidak dapat mengantisipasi bertambahnya digit angka dalam bertransaksi
sehingga sangat dipahami apabila Indonesia memerlukan redenominasi rupiah
yang bertujuan untuk mengantisipasi in-efisiensi akibat semakin banyaknya
waktu dan biaya transaksi yang semakin membesar.
23
Pasal 7 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah... 77


Hal ini sesuai dengan teori utilitas yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham,
dimana dia berpendapat bahwa tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan
mencegah kejahatan, sehingga hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan
bagi orang banyak. Teori ini dirasakan sangat penting karena digunakan untuk
menganalisis manfaat (faedah) redenominasi yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia. Dengan kata lain teori ini bertujuan untuk melihat sejauhmana
kebijakan redenominasi akan memberikan manfaat (faedah) bagi masyarakat
Indonesia. Misalnya manfaat yang dirasakan tersebut akan membuat masyarakat
dapat melakukan transaksi dengan nilai yang lebih mudah, sehingga hal ini
akan berimbas positif pada kemudahan pencatatan keuangan yang dibuat oleh
perusahaan. Kemudian akan meningkatkan faktor psikologis bangsa Indonesia
selaku pemilik mata uang rupiah di mata dunia Internasional yang selama ini
nominal rupiah terkenal terlalu besar dan sehingga perlu adanya penyederhanaan.
Akan tetapi, untuk mencapai itu semua bukanlah perkara yang mudah. Oleh karena
itu diperlukan beberapa persiapan yang harus dilakukan Indonesia dalam menghadapi
redenominasi, antara lain: Pertama, menyiapkan landasan hukum yang kuat untuk
memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat serta menerapkan
regulasi tersebut pada saat yang tepat. Saat ini Pemerintah telah menyiapkan draft
RUU Perubahan Harga Rupiah untuk segera dibahas bersama dengan DPR RI.
Pengaturan redenominasi ke dalam undang-undang tersendiri merupakan amanah
dari Pasal 23B UUD Tahun 1945 dan Pasal 3 ayat (5) UU No. 7 Tahun 2011 tentang
Mata Uang, yang menyatakan bahwa perubahan harga rupiah diatur dengan undang-
undang. Regulasi dan timing implementation menjadi faktor penting bagi keberhasilan
redenominasi. Pemerintah beserta DPR RI harus menyiapkan regulasi yang tegas
karena redenominasi akan berdampak pada peraturan perundang-undangan lainnya,
hal ini dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan.
Kedua, sosialisasi secara intensif kepada masyarakat. Sosialisasi kiranya
memegang peranan penting, hal ini dapat dilakukan pada saat sebelum dan
setelah redenominasi karena jika Bank Indonesia salah melakukan sosialisasi
maka yang terjadi adalah kepanikan masyarakat secara meluas dan hal ini akan
berdampak buruk pada sistem perekonomian Indonesia. Kesiapan masyarakat
akan menjadi poin penting bagi Bank Indonesia selaku bank sentral. Bank
Indonesia dapat melakukan kajian insentif dampak redenominasi pada stabilitas
ekonomi, misalnya melalui seminar, road show ke kampus-kampus, dan lainnya.
Tidak disangkal bahwa segala hal yang berhubungan dengan uang termasuk
nilai serta fungsinya menjadi sangat sensitif untuk diperbincangkan sehingga
masyarakat harus dimintai pendapatnya terlebih dahulu secara langsung.
Kesiapan masyarakat sangat diperlukan karena tanpa adanya kesiapan masyarakat

78 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


justru akan menyebabkan gejolak ekonomi dimana nantinya berimbas kepada
kepanikan di masyarakat. Hal ini jelas sangat berbahaya seperti kasus sanering
yang dulu terjadi sejak pemerintahan Orde Lama.
Ketiga, sebelum melakukan kebijakan redenominasi, Bank Indonesia perlu
untuk meyakinkan bahwa seluruh infrastruktur sudah disesuaikan dan disetting
sedemikian rupa sehingga kompatibel dengan mata uang baru dengan lebih sedikit
nol. Seluruh sistem penghitungan komputer di Indonesia termasuk akutansi,
electronic data processing, stok gudang, cash flow, pengiriman dan sebagainya
harus terlebih dahulu diubah dan perubahan itu harus dapat mengakomodir hasil
penghitungan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu mesin ATM, mesin SPBU,
mesin argo taksi, mesin kasir seluruh toko juga harus diubah. Menurut data dari
Bank Indonesia pelaksanaan tahap-tahap redenominasi akan dilakukan pada
tahun 2011-2016, dengan perhitungan sebagai berikut :24
Tahun Tahap Transisi
2010 Wacana redenominasi dimunculkan oleh Gubernur Bank Indonesia.
2011-2012 Sosialisasi serta persiapan sistem akutansi dan pencatatan seluruh
kegiatan perekonomian (perbankan, perdagangan dan lainnya)
2013-2015 Masa transisi, dua nilai rupiah berlaku
2016 Periode transisi selesai
2016-2018 Semua uang kertas lama ditarik habis. Proses penarikan selesai pada tahun 2018
2019-2022 Rupiah dengan nilai baru berlaku menyeluruh

Tahun 2013-2015 dikatakan sebagai masa transisi. Pada masa transisi nanti
akan digunakan dua mata uang rupiah, yakni uang rupiah lama dan uang rupiah
baru hasil redenominasi. Pada masa ini masyarakat dapat menggunakan dua
mata uang tersebut dalam melakukan transaksi sampai akhirnya uang rupiah
lama akan ditarik oleh Bank Indonesia (tahun 2016-2018). Tahun 2019-2022
semua masyarakat akan melakukan transaksi dengan uang rupiah yang telah
diredenominasi. Secara garis besar pelaksanaan redenominasi mata uang
dilakukan menjadi 4 (empat) tahap, yaitu tahap penyiapan, tahap pemantapan,
tahap implementasi dan transisi, serta tahap phasing out, yakni suatu tahap
dimana seluruh transaksi nantinya akan menggunakan mata uang rupiah baru.

B. Kemungkinan Implikasi Yang Terjadi dari Penerapan Redenominasi


Ada beberapa faktor dampak negatif dari digit rupiah yang terlalu besar,
antara lain sebagai berikut: 25
24
“Ingat Selalu, Jadwal-Jadwal Pelaksanaan Redenominasi Rupiah”, http://bisnis.liputan6.com/read/498131/
ingat-selalu-jadwal-jadwal-pelaksanaan-redenominasi-rupiah, diakses 20 Juni 2013.

25
Kiki Afiyanti, “Lima Dampak Ekonomi Akibat Nilai Rupiah Terlalu Besar”, http://bisnis.liputan6.com/
read/494726/lima-dampak-ekonomi-akibat-nilai-rupiah-terlalu-besar, diakses tanggal 30 Januari 2013.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah... 79


1. Input data, pengelolaan database, laporan data dan penyimpanan data
cenderung tidak efisien. Begitupula dengan sistem akutansi dan laporan
teknologi informasi;
2. Digit yang terlalu banyak menyebabkan pemborosan dalam penyajian
laporan dan akutansi;
3. Pemborosan juga dialami dalam penggunaan memori dalam berbagai
perangkat teknologi informasi;
4. Nilai uang dengan jumlah digit yang terlalu banyak akan membuat kerumitan
dalam penghitungan transaksi ekonomi sehingga berpotensi menimbulkan
kekeliruan dan memakan waktu yang lama; dan
5. Dari sisi pembayaran non tunai, jumlah digit yang besar dapat menyebabkan
permasalahan transaksi akibat nilai transaksi yang melampaui digit yang
dapat ditolerir sistem pembayaran dan pencatatan.
Ketidakefisien tersebut membuat Bank Indonesia berinisiatif untuk melakukan
kebijakan redenominasi mengingat redenominasi merupakan salah satu bagian
dari tugas Bank Indonesia dalam melaksanakan dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran di Indonesia.26 Nilai rupiah yang mempunyai digit yang cukup
banyak dirasakan tidak mencerminkan fundamental perekonomian Indonesia
jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, terlebih Indonesia
akan memasuki Asean Community 2015 dimana kesetaraan regional mata uang
negara-negara Asean sangat diperlukan. Selain itu manfaat redenominasi lainnya
adalah untuk memudahkan perekonomian menjadi lebih efisien, meningkatkan
kebanggan terhadap rupiah.
Namun selain manfaat juga terdapat kemungkinan-kemungkinan implikasi
yang timbul dari penerapan redenominasi, seperti inflasi. Hal ini sangat rentan
mengingat inflasi dapat terjadi dikarenakan adanya pembulatan harga ke atas
apabila tidak terdapat pecahan kecil untuk mata uang baru. Misalnya, semula
harga cabai per kilogram Rp8700,- kemudian setelah redenominasi menjadi Rp8,7.
Dengan angka tersebut terdapat kemungkinan pedagang cabai akan nakal untuk
membulatkan angka menjadi Rp9. Hal inilah yang dapat menyebabkan inflasi.
Jika dicermati pembulatan harga disebabkan efek psikologis masyarakat yang
terserang kepanikan luar biasa serta perilaku moral hazard yang memanfaatkan
asymmetric information untuk spekulasi menyimpan barang dan menaikkan
harga. Oleh karena itu kebijakan redenominasi memang sangat penting untuk
diperhatikan dengan seksama, karena kebijakan ini tidak sekedar membuang tiga
angka di belakang koma.
26
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

80 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Selain itu, kemungkinan implikasi lainnya juga berdampak pada peraturan
perundang-undangan dimana dengan diberlakukannya redenominasi maka
seluruh penyebutan dan/atau penggunaan rupiah akan dinyatakan dalam rupiah
baru (hasil setelah redenominasi). Hal ini tentu saja akan berdampak pada segala
macam pencatatan transaksi, peraturan perundang-undangan (penerapan sanksi
denda), keputusan pengadilan, perjanjian, surat berharga, dokumen keuangan
dan sebagainya. Ini bukan perkara yang mudah untuk dilakukan. Sebagai contoh,
legalitas kontrak-kontrak investasi yang nantinya juga dipertanyakan. Oleh
karenanya perlu adanya pengharmonisasian ketentuan perundang-undangan
yang sudah ada dan perlu diatur di dalam ketentuan peralihan di dalam RUU
tentang Perubahan Harga Rupiah.
Redenominasi memang merupakan wacana yang sangat menarik akan tetapi
perlu untuk ditinjau kembali karena persiapan haruslah matang, tidak tergesa-
tega dan sebisa mungkin menutup flaw yang mungkin dapat terjadi di dalam
implementasinya. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dari pihak Pemerintah,
mengingat kondisi perekonomian Indonesia belumlah stabil karena redenominasi
sebaiknya dilakukan pada saat kondisi ekonomi yang stabil, inflasi yang terjaga
rendah serta adanya jaminan stabilitas harga. Jika memang ketiga syarat mutlak
tersebut dapat dijaga, maka redenominasi akan berjalan sebagaimana mestinya.

IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Redenominasi yang merupakan salah satu program kebijakan Bank
Indonesia untuk menyederhanakan nilai mata uang ternyata menuai pro-kontra
di dalamnya, hal ini dikarenakan adanya perdebatan masyarakat mengenai
hal tersebut. Ada yang setuju, tidak setuju bahkan sempat menyalahartikan
pengertian redenominasi dengan sanering yang dulu pernah diberlakukan pada
saat pemerintahan Orde Baru. Kekhawatiran masyarakat cukup beralasan
mengingat kebijakan sanering yang diberlakukan justru semakin membuat rakyat
menderita. Materi redenominasi yang dulu sempat masuk dalam UU No. 7
Tahun 2011 tentang Mata Uang akhirnya dikeluarkan untuk menjadi undang-
undang tersendiri, sesuai amanah Pasal 23B UUD Tahun 1945 dan Pasal 3 ayat
(5) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Ada beberapa point penting
kesiapan Indonesia dalam menghadapi redenominasi, yakni: Pertama, perlu
adanya payung hukum atau landasan hukum tegas yang mengatur mengenai
redenominasi untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum. Hal
ini telah diantisipasi oleh Pemerintah melalui RUU tentang Perubahan Harga
Rupiah yang akan segera dibahas bersama DPR RI. Kedua, sosialisasi intensif

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah... 81


terkait RUU tentang Perubahan Harga Rupiah yang dilakukan oleh Bank
Indonesia beserta Pemerintah kepada masyarakat. Ketiga, kesiapan infrastruktur
untuk disesuaikan dan disetting sedemikian rupa sehingga kompatibel dengan
mata uang baru dengan lebih sedikit nol.
Tidak dipungkiri bahwa redenominasi diberlakukan selain untuk
memudahkan perekonomian menjadi lebih efisien juga untuk meningkatkan
kebanggaan terhadap rupiah. Namun disamping manfaat-manfaat tersebut,
redenominasi juga dapat menimbulkan dampak negatif misalnya berpeluang
untuk menimbulkan inflasi akibat pembulatan harga, dikarenakan efek psikologis
masyarakat yang terserang kepanikan luar biasa serta perilaku moral hazard
yang memanfaatkan asymmetric information untuk spekulasi menyimpan barang
dan menaikkan harga. Selain itu redenominasi juga akan berdampak kepada
peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya dalam hal penerapan sanksi
denda. Oleh karenanya perlu adanya pengharmonisasian ketentuan perundang-
undangan yang sudah ada dan perlu diatur di dalam ketentuan peralihan di
dalam RUU tentang Perubahan Harga Rupiah. Hal ini perlu menjadi perhatian
serius bagi Pemerintah, mengingat kondisi perekonomian Indonesia saat ini
belumlah stabil. Kewibawaan suatu negara tidak diukur dari nilai tukar mata
uang terhadap mata uang negara lainnya, melainkan dipandang dari struktur,
kekuatan dan kedaulatan ekonomi suatu negara tersebut.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka terdapat beberapa masukan atau saran
diantaranya sebagai berikut :
1. Salah satu resiko yang dapat terjadi di dalam kebijakan redenominasi adalah
potensi kenaikan harga. Hal ini dipicu akibat pembulatan harga-harga ke atas
secara berlebihan dikarenakan adanya kepentingan pribadi. Oleh karenanya
resiko ini dapat diminimalisir melalui undang-undang yang tegas mengatur
praktek pembulatan harga, termasuk kriteria kewajaran, pengawasan dan
penindakan yang tegas bagi yang melanggar. Materi ini kiranya dapat
dimasukkan ke dalam draft Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
Harga Rupiah.
2. Perlu adanya kerjasama dengan pihak-pihak terkait, dalam hal ini institusi
penyusunan standard akutansi privat (IAI) dan penyusun standar akuntansi
pemerintah (KSAP) untuk memperoleh rekomendasi terkait proses
pencatatan dan pelaporan keuangan dengan adanya kebijakan redenominasi.
Dari sisi pemerintah, UU Perubahan Harga Rupiah harus mencantumkan
peraturan mengenai mekanisme penyusunan APBN untuk tahun awal

82 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


diberlakukannya kebijakan redenominasi. Dari sisi sektor privat, pencatatan
dan pelaporan keuangan harus diseragamkan dalam hal pencantuman nilai
nominal agar otoritas pajak dapat memotong dan memungut pajak sesuai
nilai yang seharusnya.
3. Perlu adanya sosialisasi intensif terkait redenominasi kepada masyarakat,
tidak hanya pada kota-kota besar saja namun juga menyeluruh sampai
ke pelosok daerah terpencil termasuk juga daerah perbatasan. Sosialisasi
tersebut tidak hanya sekedar memperkenalkan mata uang baru saja namun
juga mensosialisasikan kesetaraan nilai rupiah lama dan rupiah baru.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah... 83


DAFTAR PUSTAKA

Literatur
Bentham, Jeremy. The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan)
diterjemahkan oleh Nurhadi, Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2006.
Dumairy, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1997.
Kerlinger, Fred N. Asas-asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1990.
Khalwaty, Tajul. Inflasi dan Solusinya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Materi Konsultasi Publik Perubahan Harga Rupiah “Redenominasi Bukan Sanering”,
Jakarta 23 Januari 2013.
Mertokusumo, Sudikno. Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2010.
Muliadi, Ahmad. Politik Hukum, Jakarta: Akademia, 2012.

Peraturan Perundang-undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Lembaran Negara
Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5223.
Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1959 tentang Penurunan
Nilai Uang Kertas
Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1959 tentang Pembekuan
Sebagian dari Simpanan Pada Bank-Bank.

84 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Website
BI: Perekonomian Stabil, Syarat Utama Penerapan Redenominasi, http://www.
infobanknews.com/2013/01/bi-perekonomian- stabil- syarat-utama-
penerapan-redenominasi/, diakses tanggal 23 Januari 2013.
Gunting Syafruddin, http://id.wikipedia.org/wiki/Gunting_Syafruddin, diakses
tanggal 20 Februari 2013.
Ingat Selalu, Jadwal-Jadwal Pelaksanaan Redenominasi Rupiah, http:// bisnis.
liputan6.com/read/498131/ingat-selalu-jadwal-jadwal-pelaksanaan-
redenominasi-rupiah, diakses tanggal 20 Juni 2013.
Kamus Sentral Bank Indonesia, Pengertian Redenominasi, http://www.bi.go.id/
web/id/ kamus, diakses tanggal 20 Juni 2013.
Kiki Afiyanti, Lima Dampak Ekonomi Akibat Nilai Rupiah Terlalu Besar, http://
bisnis.liputan6.com/read/494726/lima-dampak-ekonomi-akibat-nilai-
rupiah-terlalu-besar, diakses tanggal 30 Januari 2013.
Pengertian Redenominasi, http://www.redenominasirupiah.com/, diakses tanggal
20 Februari 2013.
Perbedaan Redenominasi dengan Sanering, http://klik-fe.blogspot.com/2011/03/
perbedaan-redenominasi-dengan-sanering.html, diakses tanggal 20 Februari
2013.
Redenominasi Rupiah dan Stabilitas Perekonomian, http://www.setneg.go.id/ index.ph
p?option=comcontent&task=view&id=6730&Itemid=29, diakses tanggal
3 Januari 2013.
Redenominasi dan Sanering, http://setiyonoachmad.blogspot.com/2012/12/
redenominasi-dan-senering_16.html, diakses tanggal 20 Februari 2013.
Redenominasi Rupiah, Siapa Takut? http://majalah.pialangindonesia.com/images/
edisimajalah/f_Pialang%20Indonesia%20Maret%202013.pdf, diakses tanggal
20 Februari 2013.

TRIAS PALUPI KURNIANINGRUM: Redenominasi Rupiah... 85


UPAYA PERLINDUNGAN WHISTLEBLOWER
DAN JUSTICE COLLABORATOR
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Puteri Hikmawati*

Abstract
Corruption remains a serious problem in Indonesia, many cases are yet to be revealed.
One reason is the lack of witness evidence. This witnesses were reluctant to testify
because it might receive threats or intimidation from perpetrators. Witnesses and
complainants receive less legal protection. In the handling of corruption cases that
the term whistleblower and justice collaborator. This review is intended to assess the
formulation of legal norms that regulate the protection of witnesses and reporting
of corruption and its implementation. Witness protection regulation in corruption
has been stipulated in Law no. 31 of 1999 on Eradication of Corruption and Law
no. 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission. While the witness and
victim protection provisions generally are specifically provided in Law no. 13 of 2006
on the Protection of Witnesses and Victims. While protection of the complainant is
not regulated in detail in the Law no. 13 of 2006. Therefore, cause problems in
the implementation Supreme Court Circular (SEMA) no. 4 of 2011 was made to
adopt the term whistleblower and justice collaborator. However, the provisions of the
SEMA causes problems. On of them, the provisions of Law no. 13 of 2006 closed
opportunity for a reporting as whistleblower, who has a good faith, to be prosecuted
either criminal or civil. However, SEMA no. 4 of 2011 gives the opportunity to
process the whistleblower for the report had to say. Therefore, in the revised Law no.
13 of 2006 should be set against the whistleblower and justice protection in detail.
Kata kunci: Whistleblower, justice collaborator, perlindungan hukum, dan tindak
pidana korupsi.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia. Tindak pidana ini
telah menimbulkan kerugian keuangan negara dalam jumlah yang tidak sedikit.
Data dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC), pada tahun 2011
Indonesia berada di peringkat pertama sebagai negara terkorup dari 16 negara


*
Peneliti Bidang Madya Bidang Hukum Pidana pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
Setjen DPR RI, email: puterihw@yahoo.com

PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower... 87


Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi, dengan skor korupsi Indonesia 9,27.1
Selama ini banyak tindak pidana korupsi yang telah terungkap. Data Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, kerugian negara dari kasus korupsi
sudah menembus angka Rp39 triliun. Wakil Ketua KPK, Busyro Muqqodas,
mengatakan, dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Kantor Direktorat
Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, 4 Desember 2012, bahwa sepanjang
2004-2011, kerugian negara akibat tindak pidana korupsi tercatat sebesar Rp
39,3 triliun.2
Kerugian dari kasus korupsi yang tidak terungkap, nilainya mungkin tidak
kalah besar. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya alat bukti keterangan
saksi. Keberhasilan penyelesaian suatu tindak pidana sangat tergantung pada
keterangan saksi yang berhasil diungkap. Dalam proses penyelesaian perkara
korupsi terutama yang berkenaan dengan saksi, tidak sedikit perkara yang kandas
di tengah jalan disebabkan karena ketiadaan saksi yang dapat mendukung tugas
penegak hukum. Saksi merasa enggan memberikan kesaksian karena mungkin
mendapat ancaman atau intimidasi dari pelaku.
Keberadaan saksi merupakan unsur yang sangat menentukan dalam suatu
proses peradilan pidana. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), “Keterangan saksi adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”3 Peran saksi dalam proses
peradilan pidana sangat penting. Saksi merupakan kunci untuk memperoleh
kebenaran materil. Menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP, “Saksi adalah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri.”
Pasal 184 KUHAP menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas
alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Selanjutnya, Pasal 185 ayat (2) menyatakan “Keterangan seorang saksi saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakannya kepadanya.” Ayat (3)nya menyatakan “Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang

1
“PERC: Indonesia Negara Terkorup di Asia Pasifik”, http://metrotvnews.com/read/news/2011/08/11/60962/
PERC-Indonesia-Negara-Terkorup-di-Asia-Pasifik, diakses tanggal 1 Februari 2012.
2
“Korupsi Rugikan Negara Rp 39 T”, http://www.jambi-independent.co.id/jio/index.php?option=com_
content&view=article&id=17564:korupsi-rugikan-negara-rp-39-t-&catid=6:ekobis&Itemid=8,
diakses tanggal 5 Maret 2013.
3
Pasal 1 angka 27 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

88 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


sah lainnya”. Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan lebih dari satu orang
saksi saja tanpa disertai dengan alat bukti lainnya, dapat dianggap cukup untuk
membuktikan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak.
Pada saat memberikan keterangannya, saksi harus dapat memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu, saksi perlu aman dan bebas
saat diperiksa di muka persidangan. Ia tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa
yang sebenarnya, walaupun mungkin keterangannya itu memberatkan terdakwa.
Kecenderungan yang terjadi, banyak saksi yang membongkar kasus tetapi dijadikan
tersangka, salah satu contohnya adalah mantan Kabareskrim Kepolisian RI Susno
Duadji pada tahun 2010, mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) karena merasa keselamatan diri dan keluarganya
terancam setelah membongkar perkara makelar kasus pajak Gayus Tambunan,
tetapi kemudian yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus PT
Salmah Arowana Lestari di Riau. Susno dituduh telah menerima suap sebesar Rp
500 juta dari Haposan Hutagalung selaku pengacara investor PT SAL, Mr. Ho,
melalui Sjahril Djohan. Selain itu, ia juga dijerat kasus korupsi dana pengamanan
pemilihan gubernur Jawa Barat 2008 saat menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat.4
Peran saksi dalam proses penyelesaian perkara selama ini sangat jauh dari
perhatian masyarakat dan penegak hukum. Adanya perkara-perkara yang tidak
terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan oleh karena keengganan saksi
untuk memberikan keterangan saksi kepada penegak hukum karena mendapat
ancaman dari pihak-pihak tertentu. Padahal, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) mewajibkan seorang saksi untuk memberikan keterangan dan
diancam sanksi pidana jika tidak memenuhi kewajibannya (Pasal 224).
Dalam penanganan tindak pidana korupsi, terkait dengan istilah saksi, kini
muncul istilah whistleblower dan justice collaborator. LPSK berpandangan Susno
Duadji sebagai ‘peniup peluit’ atau whistleblower mesti dilindungi secara fisik dan
pemenuhan hak hukum. Berkaitan dengan itu, Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dapat diterapkan
terhadap Susno.5
Istilah whistleblower dan justice collaborator muncul dari Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi
Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice
Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Tindak pidana tertentu
4
“Polri: LPSK Lindungi Saksi, Susno Tersangka”, http://log.viva.co.id/news/read/153472-polri__lpsk_
lindungi_saksi__susno_tersangka, diakses tanggal 5 Maret 2013.

5
“Susno Tetap dalam Perlindungan LPSK”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt4d47d6096983a/
susno-tetap-dalam-perlindungan-lpsk, diakses tanggal 5 Maret 2013.

PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower... 89


yang dimaksud dalam SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak
pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun
tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi. SEMA tersebut dikeluarkan
karena ketidakjelasan penerapan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006.
Dalam kasus korupsi yang ditangani oleh KPK, selain Susno Duadji yang
dianggap sebagai ‘peniup peluit’ atau whistleblower, setidaknya ada dua orang
yang sudah disebut sebagai justice collaborator. Pertama, mantan Anggota DPR
dari Fraksi PDIP Agus Tjondro Prayitno yang divonis bersalah menerima suap
terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) tahun 2004.
Agus sudah memperoleh pembebasan bersyarat sejak akhir Oktober 2012. Selain
Agus, mantan Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang
juga memperoleh label justice collaborator. Rosa telah divonis bersalah karena
menyuap Sesmenpora Wafid Muharram dalam proyek pembangunan wisma atlet
di Palembang. LPSK bersama KPK mengajukan permohonan agar Rosa diberikan
pengurangan hukuman (remisi) yang diharapkan bisa berujung ke pembebasan
bersyarat.6 Kini Rosa tengah menunggu pembebasan bersyarat.

B. Permasalahan
Dengan berdasarkan pada asas kesamaan dalam hukum yang menjadi salah
satu prasyarat dalam suatu negara hukum, saksi dan pelapor dalam tindak pidana
korupsi harus pula diberi perangkat hukum untuk menjamin perlindungan
hukum. UU No. 13 Tahun 2006 yang mengatur perlindungan saksi dan korban,
dalam pelaksanaannya menimbulkan masalah dan perbedaan pendapat, apakah
whistleblower (pelapor), seperti Susno dan justice collaborator perlu dilindungi. Ada
perbedaan persepsi antara LPSK dengan Mabes Polri perihal penempatan rumah
tahanan. Menurut Lili, LPSK berpandangan bahwa Susno menjadi whistleblower
dalam kasus Gayus sehingga layak dilindungi, sebaliknya, Mabes Polri beranggapan
Susno menjadi tersangka dalam kasus SAL sehingga tak bisa mendapat
perlindungan. Awalnya LPSK akan menempatkan Susno pada tempat yang aman,
namun Polri berpendapat Susno layak ditempatkan pada Rumah Tahanan Mako
Brimob Kelapa Dua, Depok Jawa Barat.7 Perbedaan persepsi ini timbul karena
ketidakjelasan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006. Berdasarkan hal tersebut, maka
tulisan ini akan mengkaji bagaimana formulasi norma hukum yang mengatur
perlindungan saksi (justice collaborator) dan pelapor (whistleblower) tindak pidana
korupsi dalam peraturan perundang-undangan dan bagaimana pelaksanaannya.

6
“Perbedaan Whistle Blower dan Justice Collaborator”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt4fb7bff86349a/perbedaan-iwhistle-blower-i-dan-justice-collaborator-i, diakses tanggal 16 Maret 2013.
7
Ibid.

90 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Penulisan kajian ini dimaksudkan untuk mengkaji formulasi norma hukum
yang mengatur perlindungan saksi dan pelapor tindak pidana korupsi dalam
peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya. Tulisan ini diharapkan
dapat menjadi bahan masukan bagi Anggota DPR RI dalam merevisi UU No. 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

II. KERANGKA PEMIKIRAN


Politik hukum pidana merupakan bagian dari politik hukum nasional.
Politik hukum pidana didefinisikan secara garis besar sebagai cara bertindak,
atau siasat dari pemerintah (negara) dalam bentuk hukum pidana, sebagai garis
besar pedoman untuk mencapai tujuan/sasaran tertentu (dalam menghadapi
kejahatan). Hal ini sejalan dengan definisi yang diberikan oleh Sudarto.
Berpijak dari pengertian tersebut, lebih lanjut Sudarto menyatakan bahwa
melaksanakan “Politik Hukum Pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna.8 Dalam bagian lain dia menyatakan
bahwa melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti “Usaha mewujudkan
peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadilan situasi pada
suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang”.9
Sementara itu, menurut Marc Ancel, politik hukum pidana (penal policy)
adalah suatu seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman, yang tidak saja kepada pembuat undang-undang, tetapi juga
kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.10
Kemudian A. Mulder berpendapat bahwa politik hukum pidana (Strafrecht
Politiek) ialah garis kebijakan untuk menentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berhak perlu diubah atau
diperbaharui.
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik
pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
8
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983, hal. 93.
9
Ibid., hal. 109.
10
Barda Nawawi Arief, Politik Hukum Pidana, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1992, hal. 1.

PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower... 91


Oleh karena itu, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian
dari politik kriminal, sehingga politik hukum pidana identik dengan pengertian
“kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.11 Sedangkan
politik kriminal adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi aktivitas dari pembentuk undang-
undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pemidanaan.
Aktivitas badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan satu
sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing.12
Penggunaan hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi
kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek
perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di
Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan
normal, sehingga eksistensinya tidak dipersoalkan lagi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka usaha untuk membuat peraturan hukum
pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Politik hukum pidana dapat diidentikkan dengan kebijakan penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan
hukum pidana merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Oleh karena
itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum
(law enforcement policy).
Berpijak dari keseluruhan pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa politik hukum pidana mencakup ruang lingkup kebijakan yang luas, yang
meliputi bidang hukum pidana yang tidak dapat dilepaskan dari pembaharuan
hukum pidana. Politik hukum pidana berintikan tiga tahap, yakni tahap formulasi,
tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap formulasi merupakan tahap perumusan
undang-undang, yang diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal dan penjelasannya.
Sedangkan tahap aplikasi dan tahap eksekusi adalah tahap penerapan suatu
undang-undang, yang berkaitan erat dengan proses peradilan.
Berkaitan dengan perlindungan saksi dan pelapor tindak pidana korupsi, tahap
formulasi adalah tahap perumusan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang menjadi acuan bagi aparat penegak hukum dalam melindungi
saksi dan pelapor tindak pidana korupsi. Sementara itu, tahap aplikasi dan tahap
eksekusi adalah bagaimana aparat penegak hukum menerapkan ketentuan UU
11
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997, hal. 21.
12
Ibid., hal. 23.

92 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


No. 13 Tahun 2006, UU No. 31 Tahun 1999, dan UU No. 30 Tahun 2002 dalam
melindungi saksi dan pelapor tindak pidana korupsi agar dapat memberikan
keterangan secara aman dalam proses peradilan.

III. PEMBAHASAN
A. Analisis terhadap Formulasi Norma Hukum Pengaturan Perlindungan
Saksi (justice collaborator) dan Pelapor Tipikor (whistleblower)
Selama ini perhatian para pembuat kebijakan dan aparat penegak hukum
lebih mengarah terhadap pelaku tindak pidana, sangat kurang terhadap saksi
dan pelapor yang ikut berperan dalam mengungkap tindak pidana. Padahal,
telah ada undang-undang yang khusus mengatur perlindungan saksi, yaitu UU
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam konsiderans
UU tersebut, disebutkan bahwa UU ini diperlukan karena mengingat pentingnya
keterangan saksi dan/atau korban sebagai salah satu alat bukti dalam upaya
mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana, sementara penegak hukum sering mengalami kesulitan
disebabkan tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau karena adanya ancaman
terhadap saksi, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.
Sebelum pembentukan UU No. 13 Tahun 2006, kebijakan perlindungan saksi
untuk tindak pidana tertentu telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Dalam peraturan-peraturan tersebut terdapat perbedaan para
pihak yang perlu mendapat perlindungan. Dalam pelanggaran HAM misalnya,
perlindungan saksi dan korban diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP)
No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi
dalam Pelanggaran HAM yang Berat (peraturan pelaksana ketentuan Pasal
34 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM), perlindungan
saksi tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 5 PP No. 57 Tahun 2003
tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana
Pencucian Uang (peraturan pelaksana ketentuan Pasal 40 ayat (2) dan Pasal
42 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003), dan perlindungan
saksi tindak pidana terorisme diatur dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun 2003 tentang
Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim
dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme (peraturan pelaksana ketentuan Pasal
33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang).

PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower... 93


Khusus untuk tindak pidana korupsi, perlindungan saksi diatur dalam Pasal
41 ayat (2) huruf e UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang menyebutkan bahwa “masyarakat yang berperan serta membantu
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat
perlindungan hukum, dalam hal diminta hadir dalam proses penyelidikan,
penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi
ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Selain itu, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juga mengatur perlindungan saksi. Pasal 15 UU No. 30 Tahun
2002 menyebutkan “Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban memberikan
perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun
memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.”
Adapun peraturan pelaksana dari ketentuan mengenai peran serta masyarakat
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam UU No.
31 Tahun 1999 adalah PP No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 5 ayat (1) PP tersebut mengatakan
bahwa “Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat,
yang memberikan informasi disertai keterangan mengenai dugaan pelaku tindak
pidana korupsi, berhak atas perlindungan hukum baik mengenai status hukum
maupun rasa aman.” Tetapi perlindungan hukum tidak diberikan apabila dari
hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti yang cukup yang memperkuat
keterlibatan pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan.13 Perlindungan
hukum juga tidak diberikan apabila terhadap pelapor dikenakan tuntutan dalam
perkara lain.14
Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan saksi
tersebut dianggap tidak memadai, sehingga perlu dibuat UU yang khusus mengatur
perlindungan saksi dan korban. Oleh karena itu, lahirlah UU No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Ketentuan mengenai perlindungan dan
hak saksi dan korban dalam UU No. 13 Tahun 2006 diatur dalam Pasal 5 sampai
dengan Pasal 10. Berbagai hak dapat diberikan kepada seorang saksi dan korban
untuk memberikan rasa aman dalam memberikan keterangan pada setiap proses
peradilan pidana. Hak-hak tersebut meliputi: a. memperoleh perlindungan atas
keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman
yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
13
Lihat Pasal 5 ayat (2) PP No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat
dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
14
Pasal 5 ayat (3) PP No. 71 Tahun 2000.

94 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat
penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi
mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan
pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas
baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; k. memperoleh penggantian biaya
transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum; dan/atau m.
memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir.15
Satu hal yang menarik dalam UU No. 13 Tahun 2006. UU ini mengatur
perlindungan saksi dan korban dan dalam Pasal 1 disebutkan definisi saksi
dan korban. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,
dan/atau ia alami sendiri.16 Sedangkan korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana.17 Tetapi di dalam bab mengenai perlindungan saksi dan korban,
yaitu dalam Pasal 10 tiba-tiba muncul istilah “pelapor”, yang bunyinya: “Saksi,
Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun
perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.”18
Kemudian Penjelasan Pasal 10 ayat (1) menyebutkan, bahwa “yang dimaksud
dengan “pelapor” adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak
hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana.”
Jika dilihat Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, yang merupakan RUU Usul DPR RI, pada saat diajukan kepada
Presiden dengan surat No. RU.02/4428/DPR-RI/2005, tertanggal 30 Juni 2005,
RUU tidak menyebutkan istilah “pelapor” dalam salah satu pasalpun. Draf
awal RUU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan pengertian saksi, yang
pengertiannya hampir sama dengan pengertian saksi dalam UU KUHAP, dan
korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik maupun mental
serta kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Selanjutnya,
Pasal 10 RUU mengatakan “seorang saksi yang termasuk sebagai tersangka
terus kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia
ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, namun kesaksiannya
15
Pasal 5 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006.
16
Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2006.
17
Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2006.
18
Pasal 10 ayat (1) UU No 13 Tahun 2006.

PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower... 95


dapat dijadikan pertimbangan hakim terus meringankan pidana yang akan
dijatuhkannya.”
Pada saat pembahasan RUU terjadi perdebatan mengenai perlunya
memberikan perlindungan terhadap pelapor. Pemerintah (diwakili oleh Dirjen
Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM) dalam Rapat Panja RUU
tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Komisi III DPR RI, tanggal 17 Mei
2006, menjelaskan bahwa istilah “pelapor” bukan merupakan istilah yang baru.
Kata “pelapor” telah ada dalam UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang. Pasal 43 UU tersebut mengatakan, bahwa “pelapor dan/atau
saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/
atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.19 Penjelasan Pemerintah
ini muncul karena adanya perdebatan mengenai perlunya memberikan
perlindungan saksi dalam bentuk hak untuk mendapatkan keringanan atau
bahkan penghapusan dari segala tuntutan terhadap apa yang dia sampaikan
atau keterangan yang dia berikan, untuk memotivasi/mendorong seseorang
yang mengetahui betul tindak pidana korupsi dan ingin membongkarnya.
Usul ini disampaikan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) yang
diwakili oleh Lukman Hakim Saifuddun.20 Terkait dengan hal ini, F-PPP sejak
awal mengusulkan pasal ini untuk memerangi korupsi. Pada saat pembahasan
RUU, istilah “Mr. Blower” telah muncul bagi saksi yang mempunyai keberanian
untuk memberikan kesaksian dalam konteks korupsi.21 Jadi politik hukum pada
saat pembahasan RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban sudah ingin
melindungi whistleblower khusus menyangkut korupsi.
Pada akhirnya, UU No. 13 Tahun 2006 menentukan bahwa “Saksi, Korban,
dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata
atas laporan, kesaksian, yang akan, sedang, atau telah diberikannya.”22 Tetapi
ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang
memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Walaupun pembuktian
mengenai ada tidaknya itikad baik seseorang sulit dibuktikan. Perlakuan tersebut
berbeda dengan perlakuan yang diberikan terhadap seorang saksi yang juga
menjadi tersangka dalam kasus yang sama. UU menetapkan “Seorang saksi yang
19
Risalah Rapat Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban Komisi III DPR RI dengan Dirjen
Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, 17 Mei 2006, Buku I Proses Pembahasan RUU
tentang Perlindungan Saksi dan Korban”, Setjen DPR RI, 2006, hal. 443.
20
Risalah Rapat Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban Komisi III DPR RI dengan Dirjen
Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, 15 Maret 2006, hal. 326-327.
21
Risalah Rapat Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban Komisi III DPR RI dengan Dirjen
Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, 17 Mei 2006, op.cit., hal. 432-433.
22
Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006.

96 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan
pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi
kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana
yang akan dijatuhkan.”23
Jadi, whistleblower dan justice collaborator sebenarnya telah masuk dalam
lingkup pihak-pihak yang perlu dilindungi dalam UU No. 13 Tahun 2006,
namun karena ketentuan yang kurang tegas, maka timbul permasalahan dalam
pelaksanaannya.

B. Pelaksanaan Perlindungan Justice Collaborator dan Whistleblower: Kendala


dan Solusinya
Persoalan pembuatan peraturan termasuk peraturan perlindungan saksi
dan korban adalah masalah kebijakan. Kebijakan adalah suatu keputusan yang
menggariskan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan
yang ditetapkan secara kolektif. Kebijakan pembuatan perundangan-undangan
merupakan tahap yang strategis dalam mendasari kebijakan selanjutnya.
Perlindungan saksi, korban, dan pelapor dalam proses peradilan pidana
merupakan suatu kebijakan yang dibuat dalam bentuk undang-undang.
Pemerintah dan DPR RI membentuk Undang-undang tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, yang disahkan pada tanggal 18 Juli 2006. Dengan demikian, saksi
dan pelapor tindak pidana diharapkan akan mendapatkan pelindungan dalam
memberikan keterangannya. Namun, kenyataan yang terjadi ada kelemahan
dari UU No. 13 Tahun 2006 tersebut. Ada perbedaan yang mencolok dalam
melindungi seorang pelapor dan seorang saksi, sehingga seorang pelapor tidak
mendapatkan perlindungan seperti perlindungan yang didapat oleh seorang
saksi. Dalam menyebutkan hak-hak yang diberikan kepada Saksi, UU tidak
menyebutkan kata “pelapor”, tetapi hanya menyebutkan hak seorang Saksi dan
Korban. Pasal 5 ayat (1) mengatakan “Seorang Saksi dan Korban berhak:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
23
Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006.

PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower... 97


g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir.
Hal ini tentunya akan menimbulkan keengganan pelapor untuk melaporkan
suatu tindak pidana, seperti kasus korupsi.
Untuk mengungkap suatu tindak pidana, terutama pelanggaran HAM dan
korupsi, peran serta masyarakat sangat menentukan. Beberapa kasus pelanggaran
HAM dapat terungkap karena adanya kesaksian dari korban, tetapi masih lebih
banyak yang tidak terungkap karena korban tidak mau bersaksi mengingat
besarnya resiko yang harus dihadapi. Sedangkan dalam kasus korupsi, peran
pelapor (whistleblower) sangat menentukan. Kasus korupsi di tubuh Komisi
Pemilihan Umum dapat terungkap tidak lain karena peran whistleblower.
Khairiansyah pernah mendapat perlindungan dari KPK karena membantu
membongkar kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum. Namun, belakangan,
ia menjadi tersangka dalam kasus Dana Abadi Umat Departemen Agama. Di
mata Khairiansyah, mantan pegawai Badan Pemeriksa Keuangan, salah satu
perlindungan yang mestinya dipertimbangkan adalah, saksi yang membuka kasus
korupsi dibebaskan dari tuduhan kasus lain. Khairiansyah mengibaratkan orang
yang melaporkan kasus korupsi itu seperti orang membeli polis asuransi. Orang
itu memberi uang premi dalam bentuk kasus, KPK memberi jaminan.24
Melihat modus korupsi yang tersistematis dengan baik, disertai adanya
keterlibatan para pejabat negara ataupun orang-orang yang cukup berpengaruh,
ketakutan para saksi atau pelapor adanya indikasi korupsi perlu dihilangkan dengan
kepastian hukum dan pemenuhan akan rasa keadilan yang hendak dicapainya.
Dalam hal ini, UU tentang Perlindungan Saksi jelas diperlukan untuk memberikan
jaminan dan kepastian hukum bagi para saksi yang memiliki keberanian untuk
mengungkapkan kasus korupsi. Undang-undang ini diharapkan mampu memotivasi
orang yang mengetahui terjadinya tindak pidana korupsi untuk berani menguak
kebenaran yang selama ini sengaja ditutupi oleh konspirasi dari para koruptor.
Istilah whistleblower merupakan istilah baru dalam hukum acara pidana di
Indonesia. Whistleblower adalah orang-orang yang berani dalam mengungkapkan
24
“Silang Pendapat Perlindungan Saksi”, http://jurnalis.wordpress.com/2006/01/31/silang-pendapat-
perlindungan-saksi/, diakses tanggal 17 Mei 2010.

98 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


kasus, terlepas adanya dendam pribadi ataupun karena panggilan hati nurani.
Jika melihat definisi pada Penjelasan Pasal 10, maka ada kemiripan antara istilah
whistleblower dengan pelapor. Bahkan di dalam wacana yang berkembang, konsep
whistleblower juga dikaitkan dengan saksi yang berasal dari kelompok pelaku,
misalnya Kasus Agus Condro dan Kasus M. Nazaruddin.
SEMA No. 4 Tahun 2011 sudah mengadopsi definisi whistleblower. Pada
angka 8 huruf a ditegaskan bahwa “Yang bersangkutan merupakan pihak yang
mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud
dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang
dilaporkannya.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa sistem hukum di
Indonesia menyamakan kedudukan Pelapor sebagai whistleblower. Namun
ketentuan SEMA tersebut justru bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2006
dengan dimasukannya huruf b pada angka 8, yaitu “Apabila Pelapor Tindak
Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan
yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan
dari terlapor.”
Jika dibandingkan dengan Pasal 10 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006, yang
menegaskan, bahwa “Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara
hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya”, maka di dalam UU No. 13 Tahun 2006 telah tertutup
bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik
secara pidana maupun perdata. Namun SEMA No. 4 Tahun 2011 justru memberi
peluang untuk memproses Pelapor atas laporan yang disampaikannya. Hal ini
dapat disimpulkan berdasarkan kalimat “………..penanganan perkara atas
laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding
laporan dari terlapor.” Kalimat tersebut mengandung makna, bahwa jika perkara
yang dilaporkan oleh seorang whistleblower selesai disidangkan, maka kemudian
perkara yang dilaporkan oleh terlapor akan dapat diproses, sehingga seorang
whistleblower akan menghadapi tuntutan pidana dan/atau perdata atas perkara
yang ia laporkan. Jelas di dalam SEMA tersebut, MA menggunakan kalimat
yang dapat ditafsirkan berbeda. Mengapa tidak ditegaskan saja bahwa seorang
whistleblower yang dengan itikad baik tidak bisa dilaporkan kembali karena
laporannya.
Suatu ketentuan yang digunakan sebagai ketentuan pelaksanaan undang-
undang lazimnya dibuat dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan lainnya
yang lebih rendah. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji mengenai kedudukan
surat edaran dalam tata hukum Indonesia. Produk hukum dalam bentuk ”Surat

PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower... 99


Edaran” baik sebelum maupun sesudah berlakunya UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sekarang diganti dengan
UU No. 12 Tahun 2011, tidak dikategorikan sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan, dengan demikian keberadaannya sama sekali tidak terikat
dengan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 (UU No. 12 Tahun 2011).
Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas cetakan Edisi I Januari 2004
dan Permen No. 22 Tahun 2008 yang diterbitkan oleh KeMenpan, Pengertian
Surat Edaran adalah “Naskah Dinas yang memuat pemberitahuan tentang hal
tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Selanjutnya di Permendagri No.
55 Tahun 2010 Pasal 1 angka 43 dijelaskan:25 Surat Edaran adalah naskah dinas
yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal
tertentu yang dianggap penting dan mendesak.
Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa pemberitahuan, maka dengan
sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana
norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh karena itu, Surat
Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir Peraturan Menteri,
Perpres atau PP, apalagi UU, tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna
dari peraturan yang ingin diberitahukan. Surat Edaran mempunyai derajat lebih
tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan
tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat
Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.26 Sehingga
SEMA atau Surat Edaran Mahkamah Agung adalah merupakan surat dinas yang
memuat penjelasan atau petunjuk tentang cara pelaksanaan suatu peraturan
perundang-undangan dalam ruang lingkup kewenangannya. Tetapi SEMA No. 4
Tahun 2011 ini masih membutuhkan petunjuk lebih lanjut.
Dalam banyak hal SEMA tersebut justru tidak memberikan petunjuk
pelaksanaannya, bahkan masih menimbulkan beberapa permasalahan, antara
lain bila terjadi conflict of interest, seperti pada kasus Komjen Pol Susno Duadji,
institusi mana yang berwenang memberikan perlindungan hukum? Karena
SEMA ini hanya berlaku pada ruang lingkup penuntutan dan pemeriksaan di
dalam sidang. Sedangkan pada tahap Kepolisian hanya sebagai tembusan artinya
tidak mengikat kepada POLRI.
SEMA sebagai petunjuk dan pedoman pelaksanaan tidak menjelaskan
mengenai berapa besar keringanan hukuman yang akan diberikan kepada justice
http://www.depdagri.go.id/media/documents/2011/01/11/p/e/permen_no.55-2010.doc
25

Sri Hariningsih, “Kedudukan Surat Edaran dalam Tata Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia:
26

Implementasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, Materi yang disampaikan dalam Kegiatan


Implementasi Perangkat Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, http://www.djpp.info/index.php/
component/content/article/89-implementasi/282-implementasi-ternate, diakses tanggal 8 April 2013.

100 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


collaborators. Kalau dilihat pada Kasus Agus Condro yang dituntut 1 tahun 5 bulan
oleh JPU dan mendapat keringanan oleh Majelis Hakim karena Agus Condro
sebagai pelapor hanya 3 bulan, menjadi 1 tahun 3 bulan. Sebegitu besarnya kasus
yang diungkap oleh Agus Condro, namun hanya mendapat keringanan 3 bulan.
Selanjutnya, digolongkan sebagai apakah ketika seseorang melaporkan dugaan
tindak pidana dan ternyata ia juga sebagai salah satu pelaku? Saksi Pelaku ataukah
Pelapor? Bagaimana jika seorang Pelapor kehilangan imunitasnya karena ada
itikad tidak baik? Apakah laporannya secara otomatis ditolak atau bagaimana?
LPSK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menentukan
apakah seseorang layak mendapat perlindungan hukum atau tidak. Jika dianggap
layak, maka seseorang akan berada di dalam salah satu status, saksi kah, saksi
pelaku kah, korban kah atau Pelapor kah? Persetujuan atas suatu permohonan
dituangkan ke dalam sebuah perjanjian. Apakah kemudian Perjanjian tersebut
kemudian dijadikan acuan oleh Jaksa untuk menyusun tuntutannya ataukah
Perjanjian itu dijadikan salah satu alat bukti yang meringankan oleh Hakim?
Karena di dalam SEMA, ditegaskan agar Hakim tetap wajib mempertimbangkan.
Di dalam angka 7 SEMA No 4 Tahun 2011, ditegaskan agar Hakim
memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya bagi
pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama. Ini juga poin yang
menyesatkan, karena kewenangan untuk memberikan perlindungan hukum
yang diberikan oleh UU No. 13 Tahun 2006 adalah kepada LPSK bukan
kepada Hakim, kecuali ditegaskan atas permintaan Hakim kepada LPSK untuk
memberikan perlindungan hukum, karena di dalam proses pemeriksaan, saksi
pelaku pantas untuk dilindungi. Terkait dengan angka 7 SEMA tersebut, apakah
bisa seorang saksi pelaku mengajukan permohonan kepada Hakim untuk
diberikan perlindungan hukum. Padahal, Pasal 29 huruf a jo Pasal 32 ayat (1)
huruf b UU No. 13 Tahun 2006, dimana disebutkan bahwa “perlindungan atas
keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan
…. atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan
terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang
bersangkutan.”
Ketentuan dalam SEMA yang awalnya diharapkan sebagai petunjuk
pelaksana dari Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006, justru semakin menambah
permasalahan. Hal ini dikarenakan pemahaman mengenai definisi whitleblower
yang belum jelas, sehingga pengaturan melalui SEMA No. 4 Tahun 2011
menimbulkan kejanggalan. SEMA ini bertentangan dengan UU No. 13 Tahun
2006, karena itu dalam revisi UU No. 13 Tahun 2006 ketentuan whistleblower
dan justice collaborator harus dirumuskan secara tegas dan rinci.

PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower... 101


IV. PENUTUP
Kerugian negara karena kasus korupsi sangat besar, tetapi masih banyak
korupsi yang tidak terungkap. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya alat
bukti keterangan saksi. Saksi merasa enggan memberikan kesaksian karena
mungkin mendapat ancaman atau intimidasi dari pelaku. Padahal, keberadaan
saksi merupakan unsur yang sangat penting dalam proses peradilan pidana.
Dalam penanganan tindak pidana korupsi, muncul istilah whistleblower dan
justice collaborator. Istilah whistleblower dan justice collaborator muncul dari Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi
Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice
Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. SEMA tersebut dikeluarkan
karena ketidakjelasan ketentuan dalam Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006.
Ketentuan perlindungan saksi dan korban dalam UU No. 13 Tahun
2006 yang mengatur perlindungan saksi dan korban, dalam pelaksanaannya
menimbulkan masalah dan perbedaan pendapat. Permasalahannya, terdapat
perbedaan persepsi apakah whistleblower (pelapor) dan justice collaborator (saksi
pelapor yang bekerjasama) mendapat perlindungan.
Whistleblower dan justice collaborator sebenarnya telah masuk dalam lingkup
pihak-pihak yang perlu dilindungi dalam UU No. 13 Tahun 2006, namun karena
ketentuan yang kurang tegas, maka timbul permasalahan dalam pelaksanaannya.
Ada kelemahan dari UU No. 13 Tahun 2006, terdapat perbedaan yang mencolok
dalam melindungi seorang pelapor dan seorang saksi, sehingga seorang pelapor tidak
mendapatkan perlindungan seperti perlindungan yang didapat oleh seorang saksi.
Jika ketentuan dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 dibandingkan dengan
ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2006, maka UU No. 13 Tahun 2006
menutup peluang bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik,
untuk dituntut baik secara pidana maupun perdata. Namun, SEMA No. 4
Tahun 2011 justru memberi peluang untuk memproses Pelapor atas laporan yang
disampaikannya. Selain itu, SEMA sebagai petunjuk dan pedoman pelaksanaan
tidak menjelaskan mengenai berapa besar keringanan hukuman yang akan
diberikan kepada justice collaborators.
Ketentuan dalam SEMA yang awalnya diharapkan sebagai petunjuk pelaksana
dari Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006, justru semakin menambah permasalahan.
Hal ini dikarenakan pemahaman mengenai ketentuan whitleblower belum jelas,
sehingga pengaturan melalui SEMA No. 4 Tahun 2011 menimbulkan kejanggalan.
SEMA ini bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2006, karena itu dalam revisi
UU No. 13 Tahun 2006 ketentuan whistleblower dan justice collaborator harus
dirumuskan secara tegas dan rinci.

102 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Barda Nawawi Arief, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Pascasarjana Universitas
Indonesia, 1992.
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum,
Jakarta: Penaku, 2012.
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983.

Internet
“PERC: Indonesia Negara Terkorup di Asia Pasifik”, http://metrotvnews.com/
read/ news/2011/08/11/60962/PERC-Indonesia-Negara-Terkorup-di-Asia-
Pasifik, diakses tanggal 1 Februari 2012.
“Korupsi Rugikan Negara Rp 39 T”, http://www.jambi-independent.co.id/jio/
index.php?option=com_content&view=article&id=17564:korupsi-rugikan-
negara-rp-39-t-&catid=6:ekobis&Itemid=8, diakses tanggal 5 Maret 2013.
“Polri: LPSK Lindungi Saksi, Susno Tersangka”, http://log.viva.co.id/news/ read/
153472-polrilpsk_lindungi_saksi__susno_tersangka, diakses tanggal 5 Maret 2013.
“Susno Tetap dalam Perlindungan LPSK”, http://www.hukumonline.com/berita/
baca/lt4d47d6096983a/susno-tetap-dalam-perlindungan-lpsk, diakses
tanggal 5 Maret 2013.
“Perbedaan Whistle Blower dan Justice Collaborator”, http://www.hukumonline.
com/ berita/baca/lt4fb7bff86349a/perbedaan-iwhistle-blower-i-dan-justice-
collabo-rator-i, diakses tanggal 16 Maret 2013.
“Silang Pendapat Perlindungan Saksi”, http://jurnalis.wordpress.com/2006/
01/31/silang-pendapat-perlindungan-saksi/, diakses tanggal 17 Mei 2010.
http://www.depdagri.go.id/media/documents/2011/01/11/p/e/permen_no.55-
2010.doc

PUTERI HIKMAWATI: Upaya Perlindungan Whistleblower... 103


Sri Hariningsih, “Kedudukan Surat Edaran dalam Tata Hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia: Implementasi Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan”, Materi yang disampaikan dalam Kegiatan Implementasi Perangkat
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, http://www.djpp.info/index.
php/component/content/article/89-implementasi/282-implementasi-ternate,
diakses tanggal 8 April 2013.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lain-lain
Risalah Rapat Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban Komisi III
DPR RI dengan Dirjen Perundang-undangan Departemen Hukum dan
HAM, 17 Mei 2006, Buku I Proses Pembahasan RUU tentang Perlindungan
Saksi dan Korban”, Setjen DPR RI, 2006.
Risalah Rapat Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban Komisi III
DPR RI dengan Dirjen Perundang-undangan Departemen Hukum dan
HAM, 15 Maret 2006.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

104 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


PENGHAPUSAN TAHAPAN PENYELIDIKAN
DALAM RUU TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

Marfuatul Latifah*

Abstract
The Removal of Investigation at Criminal Law Procedure bill, would change the
system of criminal law procedure in Indonesia. This paper intends to analyze the
removal of investigation and the consequences. Considers that the investigation have
been used for over thirty years at the criminal justice system in Indonesia and many
criminal offences solved by using the investigation method, for example Narcotics
and Corruption. It might be caused fundamental change in the practice of criminal
procedure law and raises barriers to the completion of the criminal cases in particular
fond-case.
Kata Kunci: Investigasi, hukum acara pidana, dan penegakan hukum.

I. LATAR BELAKANG
Setelah 31 (tiga puluh satu) tahun menjadi Pedoman bagi proses beracara
pidana di Indonesia, upaya penggantian terhadap UU Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana akhirnya menjadi prioritas bagi Dewan Perwakilan
Rakyat untuk menjadi salah satu rancangan Undang-undang yang akan dibahas
bersama dengan pemerintah melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas).1
Perubahan tersebut dianggap sangat mendesak, sebab dalam waktu yang cukup
lama telah terjadi perubahan yang besar dalam setiap aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia. Sebagai undang-undang yang merupakan produk tahun
1981, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dirasa telah memiliki
banyak kelemahan substansi yang kemudian menghambat dalam pelaksanaan
pedoman beracara hukum pidana di Indonesia. Upaya tersebut merupakan upaya
nyata untuk melakukan pembaruan hukum nasional baik secara formil maupun
materiil, penyusunan RUU tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) juga
diarahkan untuk mewujudkan demokratisasi dan konsolidasi hukum pidana serta
adaptasi dan harmonisasi terhadap perkembangan hukum yang terjadi.2
*
Peneliti Pertam Bidang Ilmu Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat
Jenderal DPR RI.
1
“Revisi KUHAP dan KUHP Masuk Prolegnas DPR 2013”, http://news.okezone.com/read/2012/12/17
/339/733176/revisi-kuhap-dan-kuhp-masuk-prolegnas-dpr-2013, diakses tanggal 19 Desember 2012.
2
“Komisi III DPR mulai membahas RUU tentang KUHP dan RUU tentang KUHAP”, http://www.
bphn.go.id/prolegnas/index.php?action=news, diakses tanggal 8 Maret 2013.

MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan... 105


RUU KUHAP telah diajukan oleh pemerintah pada DPR untuk segera
dibahas bersama dan kemudian disahkan. Dalam rancangan undang-undang
tersebut, terdapat beberapa hal baru yang dianggap dapat mengisi kekosongan
hukum dan membantu pelaksanaan hukum acara pidana dengan baik guna
menghindari penyimpangan serta mempermudah bagi warga negara untuk
mencapai keadilan.
Salah satu perubahan yang terdapat dalam RUU KUHAP yang telah
diajukan oleh pemerintah pada DPR adalah penghapusan tahapan penyelidikan.
Penyelidikan dihapuskan karena proses penyelidikan tidak lagi dianggap
sebagai proses pro-yustisia karena dalam proses penyelidikan upaya paksa tidak
diperbolehkan.
Dalam RUU ini, proses penegakan hukum diawali dengan tahapan
penyidikan, karena sering kali terdapat anggapan bahwa proses penyelidikan
merupakan proses yang sangat subjektif karena kewenangan memutuskan adanya
indikasi terjadinya tindak pidana hanya menjadi domain aparat penyelidik dan
atasannya langsung. Hal tersebut berkebalikan dengan pengaturan dalam UU
No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP),
yang mengatur bahwa penyelidikan merupakan tahapan yang dilakukan sebelum
dilakukan penyidikan.
Dalam tahapan penyelidikan, penyelidik pada umumnya mendapatkan
laporan atau pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan dalam menjalankan
kewenangannya. Tujuan dari diadakannya penyelidikan adalah memberikan
tanggung jawab kepada aparat penyelidik, agar tidak melakukan tindakan hukum
yang merendahkan harkat dan martabat manusia.
Berpijak pada kedua keadaan yang berkebalikan tersebut, penulis beranggapan
bahwa perlu dilakukan kajian terhadap penghapusan tahapan penyelidikan yang
dituangkan dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana sebagai penggantian
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan konsekuensi apa
yang akan timbul dengan dihapusnya proses penyelidikan dalam proses acara
pidana. Kajian yang akan dilakukan diharapkan dapat menjadi masukan bagi
RUU tentang Hukum Acara Pidana yang dalam waktu dekat akan dibahas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan hukum yang ada di Indonesia.

II. KERANGKA PEMIKIRAN


a. Penyelidikan
Penyelidikan adalah memeriksa, mensurvey, mempelajari dan meneliti fakta
dan/atau keadaan, situasi, insiden dan skenario, baik terkait atau tidak, dengan

106 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


tujuan untuk menjelaskan suatu hal yang tidak jelas menjadi sebuah kesimpulan
berdasarkan bukti-bukti yang ada. Ketika seseorang melakukan penyelidikan,
maka ia akan membuat sebuah penyelidikan sistematis, menganalisa dengan
mendalam, dan mengamati informasi yang ada. Oleh karena itu, penyelidikan
dilakukan berdasarkan pada sebuah evaluasi lengkap tidak berdasarkan dugaan,
spekulasi atau anggapan.3
Dalam beberapa sistem hukum negara lain, tidak dikenal adanya pemisahan
istilah untuk pemeriksaan pendahuluan, dengan bahasa yang berbeda-beda
pemeriksaan pendahuluan disebut sebagai investigation di Inggris dan Amerika
Serikat. Sedangkan di Belanda pemeriksaan pendahuluan dikenal dengan
opsporing.
Sedangkan dalam KUHAP terdapat pemisahan istilah antara penyidikan
dan penyelidikan. Pemisahan tersebut memberikan penegasan bahwa terdapat
dua tahapan yang berbeda walaupun keduanya berasal dari dasar yang sama,
yaitu sidik yang memiliki pengertian memeriksa atau meneliti. Kata sidik dalam
penyelidikan diberi sisipan -el- menjadi selidik yang diartikan sebagai banyak
menyidik, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kata menyelidik dan
menyidik sebenarnya memiliki pengertian yang sama hanya saja sisipan -el-
hanya mempertegas pengertian dari menyidik menjadi banyak menyidik.4
Berdasarkan KUHAP, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan atas peristiwa tersebut
menurut cara yang diatur dalam undang-undang.5 Pada dasarnya KUHAP
memberikan batasan yang limitatif antara penyelidikan dengan penyidikan. Hal
tersebut dibuktikan dengan dipisahkannya kedua kewenangan tersebut dalam
bab pengaturan yang berbeda dan dibedakannya tugas dan wewenang antara
penyelidik dengan penyidik. Namun beberapa literatur mengatakan bahwa
penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyidikan.6
Menilik dari sejarah, sebelumnya hukum acara pidana Indonesia tidak
mengenal proses penyelidikan sebagai salah satu tahapan dalam penyelesaian
perkara pidana. Hal tersebut karena dalam HIR hanya dikenal istilah opsporing
(penyidikan). Istilah penyelidikan kemudian dibawa oleh rezim UU No. 11/
Pnps/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Pasal 2 huruf (b) dan
3
Charles M. Alifano, Fundamentals Of Criminal Investigation, Worldwide Law Enforcement
Consulting Group, Inc, 2006, http://www.worldwidelawenforcement.com/docs/fundamentals%20
of%20criminal%20investigations.pdf, hlm. 1
4
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 6, 2012 hlm. 119.
5
Lihat Pasal 1 angka 5 KUHAP.
6
Pedoman Pelaksanaan KUHAP, hlm 27.

MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan... 107


(d).7 Dalam rezim undang-undang tersebut digunakan istilah penyelidikan yang
sebelumnya belum pernah digunakan dalam peraturan hukum manapun yang
berlaku di Indonesia. Dalam rezim UU tersebut belum ada prosedur bagaimana
melakukan penyelidikan yang benar.
Selanjutnya, penyelidikan kemudian diperkenalkan dalam KUHAP.
Pengaturan penyelidikan dalam KUHAP didasarkan pada upaya perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia dan pembatasan ketat terhadap upaya paksa yang
dilakukan di dalam proses penyidikan sehingga dengan adanya penyelidikan
maka upaya paksa hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dilakukan
demi kepentingan yang lebih luas.8 Karena dengan adanya penyelidikan maka
dilakukanlah upaya pendahuluan terhadap tindakan-tindakan lain yang
digunakan untuk menentukan apakah sebuah peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana dapat diteruskan pada proses penyidikan atau tidak.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 Angka 4 KUHAP,
penyelidikan hanya dapat dilakukan oleh setiap pejabat polisi negara Republik
Indonesia. Oleh karena itu, setiap polisi memiliki kewenangan untuk melakukan
penyelidikan dan bertindak sebagai penyelidik, dan hal itu berlaku bagi seluruh
polisi dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi.
Dalam menjalankan penyelidikan, penyelidik memiliki wewenang antara
lain menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana; mencari keterangan dan barang bukti; menyuruh berhenti seorang
yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; serta
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Yang dimaksud dengan “tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab” dapat dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut: tidak bertentangan
dengan suatu aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan; tindakan tersebut harus patut dan masuk akal
serta termasuk dalam lingkungan jabatan; dan dilakukan atas pertimbangan yang
layak berdasarkan keadaan memaksa; menghormati hak asasi manusia.9
Penyelidik selain menjalankan kewenangannya juga menjalankan tindakan
yang dianggap perlu berdasarkan perintah penyidik.10 Tindakan tersebut antara
lain penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
pemeriksaan dan penyitaan surat; mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik. Setelah menjalankan
7
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia…
8
A.C.’t Hart dan Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,
Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1986, hlm. 9.
9
Lihat Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 4 KUHAP.
10
Lihat Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP.

108 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


tugasnya, penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan
tugas dan wewenangnya pada penyidik. Laporan tersebut tidak hanya laporan
yang bersifat lisan, laporan juga harus berbentuk laporan tertulis. Hal tersebut
berfungsi sebagai sistem pengawasan vertikal bagi penyelidik.
Selain kewenangan penyelidik baik yang merupakan kewenangannya
sendiri maupun kewenangan yang didapatkan atas perintah penyidik, perlu
dijelaskan juga mengenai mekanisme terkait dengan kewenangan penyelidikan.
penyelidikan dilakukan berdasarkan penilaian terhadap informasi atau data-data
yang diperoleh. Informasi atau data yang diperoleh dapat berasal dari laporan
langsung yang diterima oleh penyelidik yang dituangkan dalam berita acara
penerimaan laporan. Informasi dan data dapat juga didapatkan melalui orang
lain, tulisan dalam media massa sepanjang informasi atau data tersebut berasal
dari sumber terpercaya.
Dalam penyidikan dilakukan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan tidak hanya menjadi domain polisi saja, karena selain polisi
penyidik juga dapat berasal dari pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi
wewenang oleh undang-undang terkait dengan tindak pidana tertentu yang
membutuhkan keahlian khusus tidak hanya keahlian penyidikan. Sebagai contoh
penyidik pegawai negeri bea cukai, selain harus memiliki kemampuan penyidikan,
seorang penyidik pegawai negeri bea cukai harus memiliki pemahaman tentang
tindak pidana bea cukai.11
Dalam menjalankan fungsi penyidikan, penyidik memiliki tugas dan
wewenang. Tugas yang dimiliki oleh penyidik adalah mengawasi, mengoordinasi
dan memberi petunjuk; pelaksana pada waktu dimulai penyidikan, dan memberi
tahu kepada penuntut umum; pelaksana jika penyidikan dihentikan; pelaksana
jika minta ijin atau lapor kepada ketua pengadilan jika melakukan penggeledahan,
penyitaan, pemeriksaan surat; pelaksana jika melakukan pemeriksaan tambahan
jika diperlukan; dapat memberikan alasan baru untuk melakukan penuntutan
dalam hal telah dilakukan penghentian penuntutan; pelaksana atas kuasa
penuntut umum, mengirim berkas acara cepat ke pengadilan; pelaksana
untuk menyampaikan amar putusan acara cepat kepada terpidana; menerima
pemberitahuan jika tersangka dalam acara cepat mengajukan perlawanan.
Setelah selesai mengadakan penyidikan dan ditemukannya bukti yang cukup
untuk menyatakan telah terjadi tindak pidana dan penyidikan sudah dianggap
11
Lihat Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP.

MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan... 109


selesai, maka penyidik menyerahkan berkas perkara dan tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti yang mendukung perkara kepada penuntut umum.

b. Fungsi Hukum Acara Pidana


Hukum acara pidana memiliki tujuan untuk mencari dan mendapatkan
kebenaran materiil. Jika kebenaran materiil sulit untuk didapatkan maka hukum
pidana dilaksanakan untuk melakukan upaya yang setidak-tidaknya mendekati
kebenaran materiil. Dalam sistem hukum Indonesia, upaya mendapatkan
kebenaran materiil tersebut menjadi tugas hakim dan hakim dalam menjalankan
tugasnya mencari kebenaran materiil dibatasi oleh dakwaan jaksa, karena hakim
tidak dapat memutus melebihi tuntutan yang diajukan jaksa.12
Menurut Van Bammelen terdapat 3 (tiga) fungsi hukum acara pidana. Ketiga
fungsi tersebut adalah:13
1. Mencari dan menemukan kebenaran;
2. Pemberian keputusan oleh hakim;
3. Pelaksanaan keputusan.
Dari ketiga fungsi yang ada, mencari dan menemukan kebenaran merupakan
fungsi yang paling penting karena kedua fungsi yang lain bertumpu pada upaya
pencarian dan penemuan kebenaran. Setelah kebenaran akan sebuah peristiwa
ditemukan melalui alat bukti dan barang bukti maka seyogyanya akan dicapai
putusan yang adil dan tepat. Dengan adanya putusan yang adil dan tepat maka
dapat dicapai pelaksanaan putusan yang adil.
Masih menurut Bammelen, dalam hukum acara pidana pengaturan yang
ada mencakup: terjadinya sebuah peristiwa yang kemudian diduga sebagai
delik pidana, sampai dengan dilaksanakannya putusan pidana terhadap pelaku
delik pidana tersebut. Hal tersebut kemudian diartikan secara bebas oleh Andi
Hamzah yaitu dalam hukum acara pidana terdapat 7 tahapan, dalam tahapan
tersebut tidak hanya permulaan dan akhirnya saja. tahapan tersebut mencakup
seluruh substansi yang ada dalam hukum acara pidana, yaitu:14
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan
kalau perlu menahannya;
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh
pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa
terdakwa ke depan hakim tersebut;
12
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hlm. 2.
13
Ibid., hlm 8.
14
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hlm 9-10.

110 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


1. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang
dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau
tindakan tata tertib;
2. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
3. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.
Dalam tahapan tersebut tujuan awal adanya hukum acara pidana adalah
mencari dan mendapatkan kebenaran materiil. Apabila kebenaran materiil tidak
dapat tercapai, setidaknya akan dicapai hal yang mendekati kebenaran materiil
tersebut.

c. Model Penegakan Hukum


Menurut Herbert L Packer, terdapat dua model utama dalam penegakan
hukum yaitu crime control model (CCM) dan due process of law (DPL).15 Dalam
CCM, digunakan metode penekanan pelaku kejahatan atau the repression of the
criminal conduct yang melihat penegakan hukum dari perspektif hasil. Pendekatan
CCM dilakukan utamanya lebih ditujukan pada “the eficiency” dan dilakukan
dengan cara “de-emphasize adversary aspect of the process” serta praduga bersalah
(a presumption of guilt). Praduga bersalah ini adalah produk sampingan atau
merupakan sub-culture aparatur dari operasionalisasi CCM dan bukan merupakan
lawan dari the presumption of innocent.
Sedangkan pendekatan due procces of law model (DPM) melihat penegakan
hukum dari sisi proses dan cenderung menempatkan secara sentral aspek proses
yang bersifat adversary. Titik tolak yang dipentingkan dalam DPM adalah “the
agreement that the process has, for everyone subjected to it” . Dengan kata lain, dalam
DPM terdakwa dan penuntut sama-sama subyek dalam proses penyelesaian
perkara. Oleh karena itu, model DPM menolak cara-cara yang bersifat informal
dan non ajudikatif fact finding karena dengan hal demikian akan mungkin terjadi
kesalahan-kesalahan.
Kedua pendekatan penegakan hukum tersebut sampai saat ini secara
faktual masih diterapkan dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) di negara
manapun. Dari hasil kajian dan studi hukum, pendekatan DPM sangat efektif
dalam penegakan hukum yang memperjuangkan dan menjunjung tinggi nilai-
nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan pendekatan CCM sangat efektif
untuk menciptakan ketertiban dan memfasilitasi tujuan negara. Kedua model
penegakan hukum tersebut dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan
sehingga ada proses tarik ulur pendekatan CCM dan DPM. Proses tersebut
15
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: Universitas Muhammadiyah Press,
2005, hlm. 256.

MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan... 111


merupakan dinamika dalam mengelola negara sehingga negara sebagai entitas
mampu mengakomodasi kepentingan yang laten terhadap pendekatan CCM dan
laten terhadap pendekatan DPM.

III. PEMBAHASAN
a. Kedudukan Penyelidikan dalam Penegakan Hukum Acara Pidana di Indonesia
Penyelidikan seperti yang telah disebutkan sebelumnya merupakan upaya
permulaan sebelum dilakukannya penyidikan terhadap sebuah peristiwa yang
diduga merupakan delik pidana. Penyelidikan bertujuan untuk mengumpulkan
bukti permulaan atau bukti yang cukup sehingga proses dapat ditingkatkan pada
tahapan penyidikan.
Pemisahan fungsi penyidikan dan penyelidikan dimaksudkan untuk
mempertegas diferensiasi fungsi dalam penegakan hukum, seperti yang selama ini
dianut dalam KUHAP. Diferensiasi fungsi antara penyelidikan dengan penyidikan
telah membentuk tahapan-tahapan tindakan dalam proses awal perkara sehingga
diharapkan dapat menghindari cara-cara penegakan hukum yang tergesa-gesa
yang dapat menimbulkan pelanggaran hak seseorang saat terjadinya pemeriksaan.
Selain itu dengan adanya penyelidikan maka diharapkan aparat penegak hukum
lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugas penegakan hukum.16
Pemisahan fungsi penyelidikan dan penyidikan terkadang menimbulkan
kerancuan dalam praktek lapangan. Status kasus pada tahap penyelidikan dan
penyidikan seringkali membuat masyarakat bingung. Bahkan tidak jarang terjadi
perbedaan pendapat yang cukup tajam di kalangan polisi sendiri mengenai status
suatu kasus, apakah masih dalam tahap penyidikan atau penyelidikan.17
Namun penyelidikan bukanlah proses yang berdiri sendiri terpisah dari
penyidikan18 dan dipisahkannya fungsi penyelidikan dalam KUHAP merupakan
upaya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia. Pada tanggal
6 Mei 1966 telah dilakukan simposium Angin baru di Universitas Indonesia.
Dalam simposium tersebut berhasil dirumuskan pokok-pokok pikiran sebagai
bagian dari usaha untuk memulihkan kehidupan negara hukum.19 Pokok-pokok
pikiran tersebut adalah pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang
mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, kultural
16
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan Edisi ke-
2, Cet. 14, Jakarta: 2012, Sinar Grafika, hlm. 102.
17
Adrianus Meliala, “Beda Penyelidikan dari Penyidikan”, Koran Tempo, 3 April 2009.
18
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Bandung: MandarMaju, 2001, hlm.
36-37.
19
A.C.’t Hart dan Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,
Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1986, hlm. 9.

112 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


dan pendidikan; peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi
oleh suatu kekuasaan/kekuatan apapun; legalisasi dalam arti hukum dalam segala
bentuknya.
Berdasarkan hal tersebut, maka penyusunan KUHAP dilakukan dengan
mengedepankan hak-hak individu dalam proses penegakan perkara. Hak-
hak individu tersebut antara lain hak dianggap tidak bersalah sampai adanya
keputusan hukum yang bersifat tetap, hak untuk menuntut kerugian untuk
penahanan yang tidak sah, hak untuk diperiksa dalam pengadilan yang terbuka.
Sehingga dinilai penting dibentuk suatu tahapan yang di dalamnya terdapat
pembatasan yang tegas mengenai upaya paksa seperti penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan. Oleh karena itu, dibentuklah fungsi penyelidikan
yang dalam menjalankan wewenangnya dalam batasan-batasan yang ketat dan di
bawah pengawasan langsung dari penyidik.
Pentingnya fungsi penyelidikan bertujuan agar dapat dinilai apakah setiap
peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana sehingga perlu ditemukan
landasan yang kuat agar dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Oleh karena
itu, sebelum melangkah pada fungsi penyidikan yang di dalamnya terdapat upaya
paksa, maka perlu ditentukan terlebih dahulu apakah sebuah peristiwa merupakan
tindak pidana atau bukan berdasarkan data atau informasi yang didapatkan dari
tahapan penyelidikan. Karena dalam upaya paksa terdapat potensi pelanggaran
HAM apabila upaya paksa tersebut dilaksanakan tidak sesuai dengan prosedur
yang ada.
Selain dibentuk penjenjangan fungsi antara penyelidikan dengan penyidikan,
dalam memberikan jaminan individu dibentuk juga lembaga praperadilan yang
dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan pengujian mengenai sah
tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, atau tentang sah tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan; sebagai sarana untuk tuntutan ganti
rugi atau rehabilitasi dalam pelaksanaan kewenangan yang telah disebutkan
sebelumnya. Selain itu, praperadilan juga dapat dilakukan terhadap adanya
kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat pembuktian, atau seseorang yang
dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.20
Hukum acara pidana memiliki tujuan untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, berdasarkan hal tersebut
maka menurut Van Bamellen hukum acara pidana memiliki beberapa fungsi
yang salah satunya adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran. Pada
dasarnya setiap wewenang yang dilaksanakan oleh penyelidik dalam tahapan
20
Lihat PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.

MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan... 113


penyelidikan merupakan upaya pencarian bukti permulaan yang akan digunakan
untuk menemukan kebenaran materiil. Bukti tersebut kemudian akan dibawa
pada tahapan selanjutnya yaitu Penyidikan dan tahapan tahapan lanjut lainnya
sehingga dapat digunakan sebagai pembuktian sehingga didaptkan kebenaran
materiil atas sebuah peristiwa.
Dalam setiap tindakan penyelidikan yang dilakukan oleh setiap penjabat
penyelidik terdapat upaya negara untuk memeriksa apakah ditemukan indikasi
terjadinya tindak pidana dalam sebuah peristiwa. Oleh karena itu, penyelidikan
dapat disetarakan sebagai tahapan pertama dalam tujuh tahapan hukum acara
pidana seperti yang telah dikemukakan oleh Van Bammelen.

b. Konsekuensi Penghapusan Fungsi Penyelidikan dalam RUU KUHAP


Berdasarkan Naskah Akademik RUU KUHAP yang disusun oleh Pemerintah,
konsep yang ingin dibangun dalam sistem peradilan pidana adalah kewenangan
yang jelas antara tiap aparat penegak hukum21. Setiap aparat penegak hukum
memiliki kewenangan masing-masing yang saling berhubungan sehingga
membentuk sebuah sistem peradilan pidana.
Dalam RUU HAP akan diatur mengenai kewenangan aparat penegak hukum
secara umum sesuai dengan masing-masing fungsi yang ada dalam sistem peradilan
pidana. Sedangkan kewenangan yang bersifat khusus diatur secara mendalam dan
detail dalam undang-undang teknis sesuai dengan instansi masing-masing seperti
UU Kepolisian, UU Kejaksaan, serta peraturan pelaksanaannya. Hal tersebut karena
dalam RUU KUHAP kewenangan penyidikan tidak hanya dimiliki oleh Polisi dan
PPNS, penyidikan juga dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum lainnya.
Yang dimaksud dengan oleh “aparat penegak hukum lainnya” adalah pejabat
suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu
yang diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan.22 Sehingga berdasarkan
hal tersebut selain Polisi dan PPNS, saparat penegak hukum lainnya yang dapat
melakukan penyidikan adalah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
karena mendapatkan wewenang dari UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Jaksa berdasarkan UU No. 17 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Penyidik KPK merupakan penyidik
yang bertugas di KPK dan diangkat serta diberhentikan oleh KPK. Dalam
bertugas penyidik KPK melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi
yang menjadi kewenangan KPK.23
21
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, hlm. 7.
22
Lihat Pasal 6 Huruf c draf RUU tentang Hukum Acara Pidana.
23
Lihat Pasal 45 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

114 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Selain penyidik KPK, Jaksa juga merupakan aparat penegak hukum lain
yang memiliki kewenangan penyidikan. Kewenangan tersebut diberikan melalui
Pasal 30 Ayat 1 Huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, Jaksa memiliki tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.24 Dalam penjelasan pasal
tersebut, di jelaskan lebih lanjut bahwa tindak pidana yang dimaksud adalah
tindak pidana korupsi dan tindak pidana terhadap HAM berat.
Sehingga berdasarkan RUU HAP, dapat disimpulkan bahwa penyidikan tidak
hanya mutlak kewenangan Polisi. Penyidikan dapat dilakukan oleh Polisi bagi
seluruh tindak pidana, Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan kewenangan
yang melekat pada lembaganya, Jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi dan Tindak
Pidana HAM berat, serta Penyidik KPK dalam tindak pidana korupsi yang
menjadi kewenangan KPK.
Selain memberikan pengakuan dan legalitas bagi “aparat penegak hukum
lain” yang menjalankan kewenangan penyidikan, dalam konsep RUU HAP tahap
awal pada proses peradilan pidana adalah penyidikan bukan lagi penyelidikan.
Sehingga tahapan penyelidikan yang dilakukan sebelum penyidikan tidak
menjadi tahapan yang harus diatur dalam mekanisme yang ada karena metode
yang digunakan dapat beragam sesuai dengan ciri khas masing-masing instansi
yang memiliki kewenangan penyidikan.
Tentu saja hal ini dapat menimbulkan anggapan adanya upaya untuk
mengebiri kewenangan Polisi untuk melakukan penyelidikan karena selama
ini kewenangan melakukan penyelidikan menurut ketentuan yang ada dalam
KUHAP adalah mutlak milik Polisi.25 Hal tersebut sama sekali berbeda dengan
praktek di lapangan. Pada dasarnya setiap instansi yang memiliki kewenangan
penegakan hukum telah melakukan fungsi penyelidikan walaupun tanpa
pengaturan dalam KUHAP. sehingga pengaturan penyelidikan dalam KUHAP
yang mengatur tentang penyelidikan yang hanya menjadi kewenangan Polisi saja
pada dasarnya tidak sesuai lagi dengan praktek yang terjadi di lapangan.
Indonesia telah menggunakan KUHAP selama lebih dari 30 tahun. Undang-
undang sebagai hukum yang tertulis dalam teks tentunya tidak selalu sama
dengan kehidupan manusia yang dinamis dan selalu berkembang. Dalam jangka
waktu lebih dari 30 tahun telah banyak undang-undang yang telah berubah dan
telah mencantumkan hukum acara di dalamnya.
24
Lihat Pasal 30 Ayat 1 huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
25
RM. Panggabean, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dari Perspektif Polri sebagai Penyidik,
Jurnal Supremasi Hukum Vol. II No. 2, http://supremasihukumusahid.org/jurnal/87-volume-ii-no-2.
html, diakses tanggal 15 Februari 2013.

MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan... 115


Berdasarkan hal tersebut, kebutuhan akan perubahan KUHAP yang selama
ini dijadikan pedoman dalam praktek beracara pidana dirasakan sangat mendesak.
Hal itu kemudian diwujudkan dengan upaya yang dilakukan oleh Komisi III DPR
RI bersama-sama dengan pemerintah untuk melakukan penggantian KUHAP
melalui pembahasan RUU HAP. Dalam RUU HAP tersebut terdapat banyak
substansi yang berubah terkait dengan hukum acara pidana di Indonesia, baik
perubahan yang hanya sedikit penyesuaian maupun perubahan yang bersifat
mendasar. perubahan mendasar antara lain perubahan sistem pemeriksaan
persidangan.
Dalam KUHAP dianut sistem inquisitorial yang artinya dalam pemeriksaan
persidangan hakim mempunyai peranan besar dalam mengarahkan dan
memutuskan perkara. Hakim juga bersifat aktif dalam menemukan fakta dan
cermat dalam menilai alat bukti. Berbeda dengan sistem pemeriksaan yang
dianut dalam KUHAP, RUU KUHAP menganut sistem pemeriksaan persidangan
adversarial yang memandang dalam pemeriksaan persidangan selalu ada dua
pihak yang saling bertentangan dan memiliki kedudukan yang sama dalam
menghadirkan bukti. Dengan demikian, dianutnya sistem adversarial maka
akan terjadi perubahan peran hakim karena hakim hanya bersifat pasif namun
demikian hakim memiliki kebebasan memberikan penafsiran terhadap sebuah
undang-undang.
Karena terjadinya perubahan sistem pemeriksaan peradilan, maka pengaturan
mengenai subsistem yang mendukung juga ikut mengalami perubahan. Salah
satunya adalah fungsi penyelidikan. Berbeda dengan ketentuan mengenai
penyelidikan yang menjadi Bab tersendiri dalam KUHAP, RUU KUHAP tidak
menuangkan penyelidikan dalam ketentuan yang berada di dalamnya. Penulis
hanya melihat satu bab pengaturan mengenai penyidikan yang sebelumnya
merupakan tahapan selanjutnya dari fungsi yang dijalankan dalam hukum acara
pidana.
Dianulirnya ketentuan mengenai penyelidikan merupakan perubahan yang
cukup signifikan bagi mekanisme penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Karena
selama ini fungsi tersebut telah dijalankan oleh seluruh anggota kepolisian. Dalam
penelusuran yang dilakukan oleh penulis, penulis berkesimpulan kewenangan-
kewenangan yang ada dalam fungsi penyelidikan tidak dihilangkan sama sekali
dalam RUU KUHAP, kewenangan tersebut dikategorikan sebagai kewenangan
yang dimiliki dan dijalankan oleh penyidik.
Sebagai contoh dalam Pasal 5 KUHAP penyelidik memiliki kewenangan
menerima laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti,
menyuruh berhenti orang yang dicurigai, dan tindakan lain menurut hukum.

116 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Dalam draf RUU HAP hal tersebut tidak hilang sama sekali hanya saja diatur
dalam ketentuan Pasal 7 RUU HAP tentang tugas dan wewenang penyidik.
Kewenangan menerima laporan atau pengaduan terdapat dalam Pasal 7 Ayat
(1) huruf a yang berbunyi “menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang terjadinya tindak pidana” hal tersebut merupakan penyempurnaan dari
ketentuan kewenangan penyelidik dalam KUHAP.
Selain itu kewenangan “menyuruh berhenti orang yang dicurigai” dari KUHAP,
disempurnakan pada ketentuan Pasal 7 Ayat (1) huruf c draf RUU HAP, yang berbunyi
“menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa surat atau tanda pengenal diri yang
bersangkutan”. Kewenangan penyelidik terkait dengan “tindakan lain menurut
hukum” juga disempurnakan melalui Pasal 7 Ayat (1) huruf j, yaitu “melakukan
tindakan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Berdasarkan hal tersebut penulis menganggap bahwa penyusun RUU
KUHAP tidak memisahkan fungsi yang ada dalam penyelidikan. Tindakan-
tindakan yang diambil terhadap sebuah peristiwa yang dianggap perkara pidana
untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk menentukan sebuah peristiwa
tersebut merupakan tindak pidana atau bukan, hanya dilakukan dalam tahapan
penyidikan dan hanya dapat dilakukan oleh penyidik. Oleh karena itu, tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh penyidik tersebut hanya dapat dilakukan demi
kepentingan hukum (pro-Justitia) dan harus melalui birokrasi formil terlebih
dahulu.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa hanya jabatan penyelidik yang dihilangkan
sebagai subsistem dalam hukum acara pidana dalam RUU KUHAP, namun
fungsi penyelidikan yang dimaksudkan untuk mendapatkan bukti permulaan
yang cukup bagi sebuah perkara sudah menjadi bagian dari kewenangan penyidik
dari fungsi penyidikan.
Hal tersebut sesuai model penegakan hukum yang kedua yaitu due process
of law yang menitikberatkan penegakan hukum yang memperjuangkan dan
menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam prinsip ini
penegakan hukum dilihat dari sisi proses dan cenderung menerapkan sistem
pemeriksaan persidangan yang bersifat adversary. Dalam prinsip due process of law
setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan
konstitusional serta harus menaati hukum.
Dalam prinsip ini, tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian
dari ketentuan hukum dengan dalih menggunakan bagian hukum yang lain.
Oleh karena itu, model yang dianut dalam prinsip ini menolak cara-cara yang
bersifat informal dan non ajudikatif fact finding karena dengan hal demikian akan
mungkin terjadi kesalahan-kesalahan.

MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan... 117


Masih berdasarkan prinsip due process of law segala tindakan yang dijalankan
oleh aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum harus sesuai dengan
ketentuan yang ada di undang-undang baik dari segi mekanisme maupun cara
yang akan ditempuh. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan penyelidikan yang
memberikan kebebasan bagi penyelidik untuk menempuh cara-cara tertentu
guna mendapatkan bukti permulaan terhadap sebuah perkara yang memiliki
indikasi tindak pidana.
Sehingga dengan dihilangkannya jabatan penyelidik yang dimiliki oleh
seluruh anggota kepolisian negara Republik Indonesia dalam RUU KUHAP,
maka telah dilakukan penyesuaian tahapan hukum acara pidana yang menitik
beratkan pada perlindungan terhadap hak asasi manusia. Karena setiap tindakan
yang dilakukan penyidik baik dalam rangka menemukan bukti permulaan
yang cukup ataupun menindaklanjuti sebuah peristiwa sehingga dapat disebut
sebagai peristiwa pidana dan dapat diketahui siapa pelaku dari tindak pidana
tersebut, harus berdasarkan ketentuan yang telah diatur pokok-pokoknya dalam
ketentuan undang-undang sehingga kemungkinan penyalahgunaan kewenangan
dapat ditekan dan meminimalisir terjadinya kesalahan dalam penyelidikan.
Dalam sebuah perubahan khususnya berkaitan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, selain membawa perubahan menuju keadaan yang lebih
baik, pasti juga membawa keadaan negatif yang jika diketahui lebih awal maka
dapat diperbaiki guna mencegah adanya celah hukum dalam pelaksanaan
ketentuan tersebut.
Hilangnya tahapan penyelidikan yang berarti menghilangkan jabatan
penyelidik akan berpeluang menghambat penegakan hukum bagi tindak pidana
yang ditindak berdasarkan hasil penyidikan (found case). Sebagai contoh tindak
pidana narkotika dan tindak pidana korupsi.
Dalam tindak pidana narkotika, pada umumnya dilakukan penyelidikan
terhadap indikasi peredaran dan penyalahgunaan narkotika baru kemudian
dapat ditemukan perkara peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika. Ketika
hilangnya tahapan penyelidikan maka tindakan penyelidikan guna penegakan
hukum atas tindak pidana narkotika dapat mengalami penurunan, sebab
dalam tidak pidana narkotika sangat kecil kemungkinan terdapat laporan akan
terjadinya tindak pidana sehingga aparat penegak hukum harus melakukan upaya
pengungkapan perkara guna mengumpulkan bukti yang kemudian akan diolah
dalam tahapan penyidikan guna dinilai apakah bukti tersebut layak digunakan
sebagai alat bukti.
Hal yang serupa terjadi juga dalam penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi, khususnya yang dilakukan oleh KPK. Dalam penegakan hukum

118 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


oleh KPK, dilakukan upaya penemuan bukti terhadap sebuah peristiwa sebelum
peristiwa tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana melalui penyelidikan.
Upaya penemuan tersebut dilakukan dengan melakukan penyadapan,
pengintaian dan kewenangan penyelidikan lain yang dilakukan atas perintah
penyidik. Ketika penyelidikan dihilangkan hal tersebut akan mengakibatkan
jumlah temuan kasus yang ditangani KPK melalui upaya pengumpulan bukti
akan mengalami penurunan drastis yang hal tersebut dapat dikatakan menjadi
hambatan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Lebih lanjut menurut Chandra Hamzah, dengan hilangnya kewenangan
penyelidikan maka dapat menyebabkan kewenangan penindakan yang dimiliki
oleh KPK akan hilang, sebab selama ini kewenangan penyelidikan di KPK
digunakan untuk mendapatkan 2 alat bukti guna menyatakan adanya tindak
pidana korupsi ketika kewenangan itu hilang maka KPK akan sulit untuk
menemukan 2 alat bukti.26
Selain itu, hilangnya kewenangan penyelidikan yang menyebabkan hapusnya
jabatan penyelidik akan berimplikasi pada penyelidik yang ada di KPK sebab
tidak seperti pada lembaga lain, pada lembaga KPK penyelidik merupakan
jabatan tersendiri yang jumlahnya tidak sedikit. Ketika dihilangkan kewenangan
penyelidikan maka jabatan penyelidik KPK juga akan terhapuskan yang hal itu
akan menghambat penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK.
Menanggapi kedua kondisi yang dipaparkan dalam contoh yang sebelumnya,
menurut Andi Hamzah, hilangnya tahapan penyelidikan dalam RUU KUHAP
dapat disiasati dengan melakukan pengaturan lebih lanjut mengenai kegiatan
intelijen yang dimiliki oleh aparat penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, maupun
PPNS serta aparat penegak hukum lain yang dapat melakukan penyidikan
berdasarkan RUU KUHAP.27
Pengaturan lebih lanjut mengenai kegiatan intelijen tersebut dapat dilakukan
dalam UU yang mengatur mengenai kewenangan masing-masing aparat penegak
hukum seperti UU Kepolisian dan UU Kejaksaan atau UU mengenai aparat
penegak hukum yang lain. Dalam ketentuan mengenai kegiatan intelijen tersebut
dapat diatur mengenai tindakan apa saja yang dapat menjadi kewenangan aparat
penegak hukum dalam melakukan tindakan intelijen. Terbuka juga kemungkinan
bahwa dalam pengaturan kewenangan intelijen diatur kewenangan-kewenangan
yang semula ada dalam tahapan penyelidikan.
26
Chandra Hamzah, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisioner KPK Jilid II atas
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Randangan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Komisi III DPR RI, 11 Juni 2013.
27
Andi Hamzah, dalam Focus Group Discussion dengan tema “Penangguhan Penahanan dalam
Pemeriksaan Perkara Pidana”, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, 21 Mei 2013.

MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan... 119


Lebih lanjut, ketika hilangnya tahapan penyelidikan di dalam penegakan
acara pidana di Indonesia maka perlu dilakukan perubahan terhadap mekanisme
penghentian penyidikan. Karena dengan ditiadakannya proses penyelidikan maka
besar kemungkinan akan dilakukannya upaya penyidikan terhadap peristiwa
yang dilaporkan pada penyidik. Sedangkan tidak dalam semua perkara ternyata
ditemukan alat bukti yang sah sehingga penyidikan tersebut dapat dilanjutkan
dalam tahapan selanjutnya yaitu persidangan guna mendapatkan putusan hukum
yang mengikat.

IV. PENUTUP
Upaya perubahan atas UU No. 8 Tahun 1981 yang saat ini sedang dilakukan
oleh DPR bersama-sama dengan pemerintah akan membawa perubahan
mekanisme mendasar dalam penegakan hukum acara pidana di Indonesia
khususnya dalam tahapan awal penindakan perkara karena tidak seperti
ketentuan yang ada dalam KUHAP, dalam draf RUU KUHAP tidak dicantumkan
tahapan penyelidikan dalam ketentuan tersendiri.
Dalam draf RUU KUHAP terdapat konsep baru yang ingin dibangun dalam
sistem peradilan pidana, yaitu kewenangan yang jelas tiap aparat penegak hukum
yang diatur secara mendalam dan detail dalam undang-undang teknis. Selain
itu, dalam konsep RUU KUHAP tahap awal pada proses peradilan pidana
adalah penyidikan bukan lagi penyelidikan. Sehingga tahapan penyelidikan
yang dilakukan sebelum penyidikan tidak menjadi tahapan yang harus diatur
dalam mekanisme yang ada karena metode yang digunakan dapat beragam sesuai
dengan ciri khas masing-masing instansi yang memiliki kewenangan penyidikan.
Penulis beranggapan dengan menganulir pengaturan terkait penyelidikan
dalam bab tersendiri, penyusun draf RUU KUHAP menggunakan Model
Penegakan Hukum kedua yaitu due process of law yang menitikberatkan
penegakan hukum yang memperjuangkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai
Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan penyidikan sebagai tahap awal dalam
penegakan hukum maka diharapkan akan tercipta sistem yang penuh dengan
kehati-hatian oleh aparat penegakan hukum. Sehingga setiap penegakan dan
penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta
harus menaati hukum.
Hilangnya tahapan penyelidikan yang berarti menghilangkan jabatan
penyelidik akan menimbulkan beberapa konsekuensi yang harus disadari sejak
awal oleh pembentuk undang-undang. Dengan hilangnya tahapan penyelidikan
maka perkara-perkara pidana yang penindakannya banyak didapatkan melalui
penyelidikan seperti tindak pidana narkotika dan tindak pidana korupsi serta

120 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


beberapa tindak pidana lain, akan mengalami hambatan tersendiri karena
sulitnya pengungkapan perkara-perkara tersebut tanpa adanya penyelidikan.
Hal tersebut dapat disiasati dengan melakukan pengaturan lebih lanjut
tentang kegiatan intelijen dalam UU yang mengatur mengenai kewenangan
masing-masing aparat penegak hukum seperti UU Kepolisian dan UU Kejaksaan
atau UU mengenai aparat penegak hukum yang lain. Kegiatan intelijen tersebut
dapat mencakup kegiatan yang semula dilakukan dalam penyelidikan.
Guna melakukan penyesuaian, maka dengan dianulirnya tahapan
penyelidikan maka perlu dilakukan perubahan atas mekanisme penghentian
perkara. Sebab tinggi kemungkinannya dibutuhkan mekanisme penghentian
penyidikan yang lebih mudah dan memiliki mekanisme yang lebih jelas karena
banyaknya perkara yang akan disidik oleh aparat penegak hukum yang tidak dapat
dilanjutkan dalam tahapan selanjutnya yaitu persidangan guna mendapatkan
putusan hukum yang mengikat.

MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan... 121


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 6,
2012.
Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan Edisi ke-2, Cet. 14, Jakarta: 2012, Sinar Grafika.
Hart, A.C.’t dan Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana dalam
Prespektif Hak Asasi Manusia, Jakarta: 1986, Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia.
Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana. Normatif, Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya, Bandung: 2007, PT. Alumni.
Mulyadi, Lilik, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Teori, Praktek,
Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya, Bandung: 2007, PT. Citra aditya
Bakti.
Salam, Moch. Faisal, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Bandung:
2001, Mandar Maju.
Sunaryo, Sidik, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: 2005, Universitas
Muhammadiyah Press.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 tentang Badan-Badan Dan Peraturan
Pemerintah Dulu.
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang: Pelaksanaan Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana.

122 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Internet dan Surat Kabar
“Komisi III DPR mulai membahas RUU tentang KUHP dan RUU tentang
KUHAP”, http://www.bphn.go.id/prolegnas/index.php?action=news, diakses
tanggal 8 Maret 2013.
“Revisi KUHAP dan KUHP Masuk Prolegnas DPR 2013”, http://news.
okezone.com/read/2012/12/17/339/733176/revisi-kuhap-dan-kuhp-masuk-
prolegnas-dpr-2013, diakses tanggal 19 Desember 2012.
Adrianus Meliala, “Beda Penyelidikan Dari Penyidikan”, Koran Tempo, 3 April
2009.
Alifano, Charles M., “Fundamentals Of Criminal Investigation”, Worldwide Law
Enforcement Consulting Group, Inc, 2006, http://www.worldwidelawenfor
cement.com/docs/fundamentals%20of%20criminal%20investigations.pdf.
Diakses tanggal 19 Desember 2012.
Panggabean, RM., Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dari
Perspektif Polri sebagai Penyidik, Jurnal Supremasi Hukum Vol. II No. 2, http://
supremasihukumusahid.org/jurnal/87-volume-ii-no-2.html, diakses tanggal
15 Februari 2013

Lain-lain
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Kementrian Hukum dan HAM, Laporan
Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Hukum
Acara Pidana, 2010.

MARFUATUL LATIFAH: Penghapusan Tahapan Penyelidikan... 123


PEMAKZULAN DAN PELAKSANAAN MEKANISME
CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA

Andy Wiyanto*

Abstract
Historiography of Indonesia constitutional has noted that the President of Indonesia
has twice lowered in the middle of his tenure. The historical record apparently leaves a
polemics. In this case under the leadership of Mohammad Amien Rais, MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat) make changes UUD 1945 to be one of the purposes of
the reform. The changes are not only revise mechanism of impeachment in Indonesia,
but also makes the 1945 Constitution no longer as temporary as stated Soekarno
in the PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Indonesia Independence
Preparatory Committee meeting dated August 18, 1945. even impeachment process
after reformation is form of Checks and balances on the direct election of the President.
so there is legitimacy in the Goverment on the one hand in one side, and the other
side it is balanced measurable accountability proccess. Academically, the concept is
certainly based on science. How this implemented in the form of regulation, start from
basic laws to other rules it below to be explanations more detail and clear. This paper
try to explain these cases started from criticism structure of Indonesia constitutional
after the reform that embracing Checks and Balances principle. Then followed by a
review of the impeachment process in Indonesia, and then the end of two variables
are elaborate more deeply with teories Checks and Balances system in the state system
in a country.
Kata Kunci: Perubahan UUD 1945, checks and balances, dan pemakzulan.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pembahasan perubahan UUD 1945, alasan pemberhentian Presiden
disesuaikan dengan lampiran Keputusan MPR No. IX/MPR/2000, yaitu masuk
dalam kewenangan MPR dengan dua alternatif. Alternatif pertama tanpa melibatkan
Mahkamah Konstitusi, yaitu “Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya apabila terbukti melanggar UUD, melanggar haluan
negara, mengkhianati negara, melakukan tindak pidana kejahatan, melakukan
tindak pidana penyuapan, dan/atau melakukan perbuatan tercela”. Dan alternatif

*
Penulis adalah Tenaga Ahli DPR RI A-124, email: bung.andywiyanto@gmail.com

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 125


kedua dengan melibatkan Mahkamah Konstitusi, yaitu “Memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya apabila terbukti melanggar
UUD, melanggar haluan negara, menghianati negara, melakukan tindak pidana
kejahatan, melakukan tindak pidana penyuapan, dan/atau melakukan perbuatan
yang tercela, berdasarkan putusan MK”. Pada dasarnya semua Fraksi bersepakat
bahwa MK harus dilibatkan dalam proses pemakzulan. Meskipun demikian, setiap
fraksi memiliki pemikiran yang berbeda-beda dalam implementasinya.1
Berdasarkan hasil pembahasan perubahan UUD 1945, ketentuan mengenai
peranan Mahkamah Konstitusi dalam proses pemakzulan menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dalam pasal
tersendiri yaitu Pasal 24C ayat (2). Kewenangan ini dipisahkan dari kewenangan
Mahkamah Konstitusi lainnya yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1). Ketentuan
ini terkait dengan ketentuan dalam Pasal 7A yang mengatur tentang pelanggaran
yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dan terkait juga dengan
ketentuan dalam Pasal 7B ayat (1) yang mengatur prosedur atau tata cara
beracara dalam rangka pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.2
Dalam hal ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tidak menyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi
hanya diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus dilalui dalam proses
pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban konstitusional
Mahkamah Konstitusi adalah untuk membuktikan dari sudut pandang hukum,
mengenai benar tidaknya dugaan pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Jika terbukti pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan/atau
Wakil Presiden, putusan Mahkamah Konstitusi tidak secara otomatis dapat
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, karena hal itu bukan
wewenang Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, jika putusan Mahkamah Konstitusi
menyatakan terbukti bersalah, maka DPR meneruskan usul pemberhentian
itu kepada MPR. Persidangan MPR nantinya, yang akan menentukan apakah
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah diusulkan pemberhentiannya
oleh DPR, dapat diberhentikan atau tidak dari jabatannya.3 Konteks peletakan
ketentuan Pasal 24C ayat (2) dipisah dari ayat (1) dimaksud harus dilihat dari
proses yang sudah mulai diatur dalam Pasal 7B tersebut, di mana proses hukum
1
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses,
dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VI: Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008), hlm. 541.
2
Ibid, hlm. 718.
3
Ibid, hlm. 595.

126 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


ketatanegaraan kita masih diteruskan walaupun proses hukum di Mahkamah
Konstitusi telah selesai.4 Menanggapi kondisi ini Iwan Permadi berpendapat
bahwa hal ini sangatlah bertolak belakang dengan semangat demokrasi, karena
telah menganulir keputusan hukum yang bersifat final dengan suatu kebijakan
yang bersifat politik.5
Menarik untuk menjadikan hal tersebut sebagai sebuah diskursus pasca
perubahan UUD 1945, karena Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dipilih
secara langsung oleh rakyat,6 sehingga memberikan legitimasi yang kuat bagi
Presiden dan Wakil Presiden. Pilihan ini merupakan penegasan terhadap sistem
presidensil7, dalam hal ini adalah adanya masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden yang pasti (fixed term). Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
yang pasti ini tercermin dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa “Presiden dan
Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Sehingga dalam hal sistem pemerintahan, pasca perubahan UUD 1945 Indonesia
menganut sistem pemerintahan presidensil yang lebih murni sifatnya.8 Hal ini
sesuai dengan kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang
terdiri atas lima butir yaitu:9
4
Ibid, hlm. 719.
5
Iwan Permadi, “Impeachment MK terhadap Presiden dan Kekuasaan Mayoritas di MPR” Jurnal Konstitusi,
Volume 4 Nomor 3 (September, 2007), hlm. 132.
6
Pasal 6A Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”
7
Dalam sistem presidensil, setidaknya terdapat ciri-ciri: 1) Adanya masa jabatan Presiden yang bersifat
pasti (fixed term); 2) Presiden disamping sebagai kepala negara, sekaligus sebagai kepala pemerintahan;
3) Adanya mekanisme saling mengawasi dan saling mengimbangi; 4) Adanya mekanisme impeachment.
[Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat (Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI, 2008), hlm. 56.]
8
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer, 2007, hal. 317. Menurut Sri Soemantri Mertosuwignyo sebelum diubah, UUD 1945 juga
menganut ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer. [Sri Soemantri Mertosuwignyo, Kapabilitas
Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan Mekanisme “Check And Balances” Dalam Hubungan
Antara Eksekutif Dan Legislatif, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD
1945 Hasil Perubahan), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM
Republik Indonesia, 2006, hal. 5.] Ia menambahkan bahwa sistem pemerintahan presidensil untuk
pertama kali dianut dan dilaksanakan di Amerika Serikat. Itulah sebabnya sistem pemerintahan ini
oleh Maurice Duverger diberi nama sistem pemerintahan pola Amerika Serikat. Dalam kepustakaan
Inggris oleh SL. Witman dan JJ. Wuest sistem pemerintahan ini juga disebut Presidential Government
dan oleh CF. Strong disebut sebagai the fixed excecutive. [Ibid, hal. 3.]
9
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., 13.

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 127


1. Tidak mengubah pembukaan UUD 1945;
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensil;10
4. Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan
dalam pasal-pasal (batang tubuh);
5. Melakukan perubahan dengan cara adendum.
Sekalipun demikian, sebagai bentuk imbangan atas legitimasi yang besar
tersebut dirumuskan dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila
telah terbukti melakukan pelanggaran hukum maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sehingga
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya
kecuali karena hal-hal yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar.
Disini terlihat konsistensi penerapan paham negara hukum, yaitu bahwa tidak
ada pengecualian penerapan hukum, bahkan terhadap Presiden sekalipun.11
Mengenai hal ini penulis bependapat bahwa:
“Dalam sistem Pemilihan Presiden secara langsung, tidaklah mungkin dapat
memberhentikan Presiden di tengah masa jabatannya oleh MPR yang jumlahnya
hanya beberapa ratus orang, sementara yang memilih presiden adalah mayoritas
rakyat yang jumlahnya ratusan juta orang. Hal ini akan menjadi pengecualian ketika
Presiden telah melakukan pelanggaran yang begitu besar sehingga tidak terampuni
lagi dan dapat diturunkan dari jabatannya.”12
Implikasi dan konsekuensi hukum dari pengisian jabatan Presiden melalui
pemilihan langsung adalah pertanggungjawaban Presiden harus langsung kepada
rakyat, tidak lagi kepada MPR. Karena tidak ada lagi hubungan pertanggungjawaban
antara Presiden dengan MPR, maka sebagai gantinya diperlukan adanya pranata
pemakzulan dalam hubungannya dengan konsep tindakan terhadap pelanggaran

10
Kesepakatan ini dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri
umum sistem presidensil. Penyempurnaan dilakukan dengan perubahan kedudukan MPR yang
mengakibatkan kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Perubahan selanjutnya
untuk menyempurnakan sistem presidensil adalah menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara
lembaga eksekutif dan legislatif, dalam hal ini terutama antara DPR dan Prsiden. [Jimly Asshiddiqie,
Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945, (Makalah untuk Seminar
Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Perubahan), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006, hal. 4.]
11
Ibid, hlm. 56.
12
Andy Wiyanto, “Pertanggungjawaban Presiden dan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 7
Nomor 3 (Juni, 2010), hlm. 212.

128 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


oleh Presiden.13 Penulis menangkap hal yang mendasar dari implikasi dan
konsekuensi hukum tersebut adalah karena legitimasi Presiden yang begitu
besar. Maka harus dibuat mekanisme checks and balances antar lembaga negara.
Untuk itulah ada mekanisme pertanggungjawaban Presiden yang merupakan
pertanda adanya penyeimbang kekuatan antara lembaga eksekutif dengan
lembaga legislatif dan yudikatif.14 Oleh sebab itu, pemakzulan dan pelaksanaan
mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi
menarik untuk dikaji.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah


Berdasarkan pemaparan pada latar belakang masalah di atas, maka untuk
dapat menjawab persoalan-persoalan yang berkenaan dengan pemakzulan dan
pelaksanaan makanisme checks and balances di Indonesia perlu diadakan kajian
secara akademis. Penulis akan membatasi permasalahan dengan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perspektif ilmu hukum memandang proses pemakzulan di
Indonesia baik sebelum maupun sesudah perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945? Dan
2. Bagaimanakah perspektif ilmu hukum memandang mekanisme checks and
balances dalam proses pemakzulan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian yang dilakukan berdasarkan latar belakang dan permasalahan
yang diuraikan diatas bertujuan untuk:
1. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum mengenai proses pemakzulan di
Indonesia baik sebelum maupun sesudah perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
2. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum mengenai mekanisme checks and
balances dalam proses pemakzulan di Indonesia.
Sedangkan manfaat dari penelitian dengan uraian latar belakang dan
permasalahan seperti diatas adalah untuk memberikan kontribusi pemikiran
terkait dengan pemakzulan di Indonesia, khususnya berkenaan dengan
pelaksanaan mekanisme check and balances dalam prosesnya.

13
Jimly Asshiddiqie, et al, Gagasan Perubahan UUD 1945 dan Pemilihan Presiden secara Langsung (Jakarta:
Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 47-48.
14
Andy Wiyanto, op.cit., hal. 227.

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 129


D. Metodologi Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian hukum
normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan meneliti data sekunder berupa bahan-bahan primer, sekunder dan tersier.
Data-data tersebut amat berguna dalam memahami teori-teori hukum dan
perundang-undangan yang digunakan dalam proses pemakzulan di Indonesia.
Dari data-data tersebut pula, kemudian dihubungkan satu sama lain dan/atau
ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban atas masalah penelitian.

II. KERANGKA PEMIKIRAN


Perlu kita ketahui bahwa konsep negara hukum tidak terlepas dari sejarah
panjang terbentuknya konsep negara hukum itu sendiri. Konsep negara hukum
yang biasa kita pahami sebagai konsep yang lahir dalam tradisi Eropa Kontinental
dan Anglo Saxon tidak lahir dalam waktu sekejap dan tanpa pengorbanan yang
besar. Konsep negara hukum terlahir dengan latar belakangnya masing-masing
dan seringkali harus dibayar dengan nilai yang tidak sedikit.
Sudjito bin Atmoredjo merujuk pada Satjipto Rahardjo15 menggambarkan
bahwa sejarah panjang terbentuknya negara hukum dalam kerangka rechtsstaat
adalah sebagai berikut:
“Rechtstaat adalah konsep negara modern yang pertama kali muncul di Eropa dan
kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kemunculannya bukan secara
tiba-tiba melalui sebuah rekayasa penguasa, melainkan melalui sejarah pergulatan
sistem sosial. Secara singkat dapat diceritakan bahwa Eropa sebelum abad 17
diwarnai oleh keambrukan sistem sosial yang berlangsung secara susul-menyusul
dari sistem sosial satu ke sistem sosial lain. Dimulai dari feodalisme, Staendestaat,
negara absolut, dan baru kemudian menjadi negara konstitusional. Eropa, sebagai
ajang persemaian negara hukum membutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh
abad, sebelum kelahiran rule of law dan negara konstitusional. Masing-masing
keambrukan sistem sosial tersebut memberi jalan kepada lahirnya negara hukum
modern. Ambil contoh, Perancis. Negara ini harus membayar mahal untuk bisa
menjadi negara konstitusional, antara lain diwarnai dengan pemenggalan kepala
raja dan penjebolan penjara Bastille. Belanda, harus memeras negeri jajahan
(Indonesia) dengan cara mengintroduksi sistem tanam paksa (kultur stelsel, supaya
bisa tetap hidup (survive). Hanya dengan pemaksaan terhadap petani di Jawa untuk
menanam tanaman tertentu dan pengurasan hasil pertanian, Belanda bisa berjaya
kembali.”16
15
Satjipto Rahardjo, “58 Tahun Negara Hukum Indonesia, Negara Hukum, Proyek yang Belum Selesai.”,
Kompas, 11 Agustus, 2003
16
Sudjito bin Atmoredjo, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila (Makalah untuk Kongres Pancasila,
Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Universitas Gadjah Mada), Yogyakarta, 2009, hal. 6.

130 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Secara umum dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum,
dapat dilihat dari bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy
of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law) dan penegakan
hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of
law).17 Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat
ciri-ciri akan adanya:18
a. Jaminan perlindungan hak asasi manusia;
b. Peradilan yang merdeka;
c. Legalitas dalam arti hukum, yaitu baik pemerintah/negara, maupun warga
negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum.
Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan negara hukum di dunia, yaitu
negara hukum dalam tradisi eropa kontinental yang disebut rechtsstaat dan negara
hukum dalam tradisi anglo saxon yang disebut rule of law.19 Konsep rechtsstaat lahir
dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner,
sebaliknya konsep rule of law berkembang secara evolusioner. Konsep rechtsstaat
bertumpu pada sistem hukum yang disebut civil law, sedangkan konsep rule of
law bertumpu pada sistem hukum yang disebut common law.20 Menurut Roscoe
Pound karakteristik rechtsstaat adalah administratif, sedangkan karakteristik rule
of law adalah judicial.21 Sedangkan menurut Mohammad Mahfud MD perbedaan
antara keduanya adalah sebagai berikut:
“Kebenaran hukum dan keadilan di dalam Rechsstaat terletak pada ketentuan
bahkan pembuktian tertulis. Hakim yang bagus menurut paham civil law (legisme)
di dalam Rechtsstaat adalah hakim yang dapat menerapkan atau membuat putusan
sesuai dengan bunyi undang-undang. Pilihan pada hukum tertulis dan paham
legisme di Rechtsstaats karena menekankan pada ‘kepastian hukum’. Sedangkan
kebenaran hukum dan keadilan di dalam the Rule of Law bukan semata-mata
hukum tertulis, bahkan di sini hakim dituntut untuk membuat hukum-hukum
sendiri melalui yurisprudensi tanpa harus terikat secara ketat kepada hukum-hukum
tertulis. Putusan hakimlah yang lebih dianggap hukum yang sesungguhnya daripada
hukum-hukum tertulis. Hakim diberi kebebasan untuk menggali nilai-nilai keadilan

17
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., hal. 46.
18
Ibid, hal. 46-47.
19
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah
Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law, But Not of Man. [Moh. Koesnardi dan
Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983, hal. 161.]
20
Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 20.
21
Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, (Makalah
untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen), Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006, hal. 12.

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 131


dan membuat putusan-putusan sesuai dengan rasa keadilan yang digalinya dari
masyarakat. .... Pemberian keleluasaan bagi hakim untuk tidak terlalu terikat pada
hukum-hukum tertulis disini karena penegakan hukum di sini ditekankan pada
pemenuhan ‘rasa keadilan’ bukan pada hukum-hukum formal.”22
Dalam perkembangannya, konsep negara hukum mengalami perumusan
yang bermacam-macam. Misalnya dalam kerangka rechtsstaat, Immanuel Kant
menyebutkan bahwa negara hukum memiliki unsur-unsur sebagai berikut:23
a. Perlindungan terhadap hak asasi manusia;
b. Pemisahan kekuasaan.
Sementara itu Frederich Julius Stahl menambahkan unsur-unsur yang
disebutkan oleh Kant tersebut menjadi:24
a. Perlindungan terhadap hak asasi manusia;
b. Pemisahan kekuasaan;
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
d. Adanya peradilan administrasi negara yang berdiri sendiri.
Negara Anglo Saxon tidak mengenal Negara Hukum dalam kerangka
rechtsstaat, tetapi mengenal atau menganut apa yang disebut dengan rule of law.
A.V. Dicey salah seorang pemikir Inggris yang termasyur, mengemukakan tiga
unsur utama pemerintah yang kekuasaannya di bawah hukum (rule of law), yaitu
supremacy of law, equality before the law dan constitution based on individual right.25
Unsur-unsur tersebut sebagaimana tergambar dalam uraiannya mengenai doktrin
rule of law sebagai berikut:26
a. Tidak seorang pun yang dihukum atau membayar denda atas perbuatan yang
tidak secara jelas dilarang oleh hukum;
b. Hak hukum atau kewajiban setiap orang hampir tanpa kecuali ditentukan
oleh pengadilan umum di wilayahnya; dan
c. Hak hukum setiap individu sama sekali bukan hasil dari konstitusi, melainkan
landasan konstitusi.
Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia telah didesain sebagai negara
hukum yang berkedaulatan rakyat.27 Hal ini kemudian dipertegas dalam Pasal
22
Ibid. hal. 12.
23
Nukthoh Arfawie Kurde, op.cit., hal. 17.
24
Ibid, hal. 18.
25
Ibid, hal. 18-19.
26
AV. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, terjemahan Nurhadi, Bandung: Nusamedia, 2007, hal. 37.
27
Lihat Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum ....
” dan lihat juga Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, “ .... maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat .... ” Menurut Bung Hatta apabila kekuasaan
negara digantungkan kepada diri seorang raja ataupun digenggam oleh seorang diktator yang bukan raja,

132 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.28
Konsepsi Negara hukum yang dahulu dikesankan menganut rechtsstaat29 sekarang
dinetralkan menjadi Negara hukum saja30, tanpa embel-embel rechtsstaat di
belakangnya yang diletakkan di dalam kurung. Oleh sebab itu politik hukum
Indonesia tentang konsepsi negara hukum Indonesia menganut unsur-unsur yang
baik dalam rechtsstaat dan rule of law atau bahkan sistem hukum lain sekaligus.31
Di Indonesia unsur negara hukum dalam rechtsstaat salah satunya terlihat dengan
adanya Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan administrasi negara.32
Sedangkan unsur negara hukum dalam rule of law terlihat dengan adanya jaminan
konstitusional mengenai kesamaan kedudukan dalam hukum (equality before the
law).33
maka kedaulatan tersebut tidaklah bisa kekal. Karena dengan lenyapnya dia dari muka bumi atau dari
kedudukannya, maka lenyap pula kekuasaan itu. Oleh karena itu, dasar yang teguh untuk susunan negara
haruslah diserahkan kepada pemerintahan yang berdasar pada pertanggungjawaban yang luas dan kekal,
yaitu dalam paham kedaulatan rakyat. Karena rakyat adalah jenis yang kekal, yang hidupnya tak bergantung
pada umur manusia yang menyusunnya. Manusia akan lenyap berganti, tetapi rakyat tetap ada. Selama ada
negara, ada rakyatnya. [Mohammad Hatta, Kedaulatan Rakyat, Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 17.]
Pada hakikatnya kedaulatan rakyat adalah inti dari partisipasi umum rakyat dalam kehidupan bernegara.
Adanya kesempatan melakukan partisipasi umum secara efektif adalah wujud sebenarnya dari kebebasan
dan kemerdekaan. [Nurcholish Madjid, “Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara” Jurnal
Dialog Peradaban, Volume 2 Nomor 1 (Juli-Desember, 2009), hal. 27.]
28
Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan serta tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Masuknya
ketentuan mengenai Indonesia adalah negara hukum dalam Pasal UUD 1945 dimaksudkan untuk
memperteguh paham bahwa Indonesia adalah negara hukum, baik dalam penyelenggaraan negara
maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. [Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, op.cit., hal. 46.]
29
Vide Penjelasan UUD 1945, “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak
berdasarakan atas kekuasaan belaka (machstaat)”.
30
Vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara
Indonesia adalah negara hukum.”

31
Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: LP3ES,
2007,. 50-51. Dalam tulisan yang lain Mahfud MD mengatakan bahwa UUD 1945 yang telah diperubahan
memberi arahan kepada hukum adat untuk dipertahankan sebagaimana dimaksud Pasal 18B Ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut pasal tersebut hukum adat yang
diakui adalah hukum adat yang masih nyata-nyata hidup, jelas materi dan lingkup masyarakat adatnya dan
tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. [Mohammad Mahfud MD, Politik
Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional…., op.cit., hal. 16.]
32
Vide Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
33
Vide Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 133


Dapat dikatakan bahwa konsep negara hukum Indonesia menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah negara hukum
Pancasila, yaitu konsep negara hukum yang memenuhi kriteria dari konsep
negara hukum pada umumnya dan diwarnai oleh aspirasi-aspirasi keindonesiaan
yaitu nilai fundamental dari Pancasila.34 Sehingga menurut Darji Darmodiharjo
dan Shidarta materi hukum di Indonesia harus digali dan dibuat dari nilai-nilai
yang terkandung dalam masyarakat Indonesia.
“Nilai-nilai itu dapat berupa kesadaran dan cita hukum (rechtsidee), cita moral,
kemerdekaan individu dan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian,
cita politik, sifat, bentuk dan tujuan negara, kehidupan kemasyarakatan, keagamaan,
dan sebagainya. Dengan perkataan lain, sedapat mungkin hukum Indonesia harus
bersumber dari bumi Indonesia sendiri.”35
Negara hukum Indonesia merupakan konsep yang khas Indonesia. Indonesia
merupakan negara hukum, namun Indonesia menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga merupakan negara yang
berdasarkan kedaulatan rakyat.36 Dari ketentuan tersebut telah nyata bahwa
Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat yang dibingkai dalam hukum yang
terukur kebenaran dan keadilannya.37 Menurut Jean Jacques Rousseau dalam
teori kontrak sosialnya sumber dari segala sumber hukum menurut paham ini
adalah kedaulatan rakyat itu sendiri.38 Akan tetapi catatan diberikan oleh Darji
Darmodiharjo dan Shidarta bahwa:
34
Abdul Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Malang: Bayumedia, 2005, hal. 86.
35
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, hal. 209.

36
Vide Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Hal ini berarti
kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh organ konstitusional dengan masing-masing fungsi dan
kewenangannya berdasarkan UUD 1945. Jika berdasarkan ketentuan sebelum perubahan kedaulatan
sepenuhnya dilakukan oleh MPR dan kemudian didistribusikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara,
maka berdasarkan ketentuan setelah perubahan ini kedaulatan berada tetap ditangan rakyat dan
pelaksanaannya langsung didistribusikan secara fungsional kepada organ-organ konstitusional. [Jimly
Asshiddiqie, Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945, ...., op.cit., hal.
3-4.]
37
Kedaulatan rakyat yang dibingkai dalam hukum adalah sebagaimana konsepsi Bung Hatta mengenai
kedaulatan rakyat sebagai pemerintahan rakyat yang dijalankan menurut peraturan yang telah
dimufakati dengan bermusyawarah. [Mohammad Hatta, op.cit., hal. 18.] Paham negara hukum
Indonesia juga terkait erat dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum
materil yang sesuai dengan bunyi alinea keempat Pembukaan dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,
op.cit., hal. 48.]
38
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hal. 212.

134 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


“Teori kedaulatan rakyat dari Rousseau tidak sama dengan teori kedaulatan rakyat
dari Negara Pancasila, karena kedaulatan rakyat kita dijiwai dan diliputi oleh
Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila-sila lain dari Pancasila. Demikian pula, teori
kedaulatan rakyat kita pun berbeda dengan teori kedaulatan rakyat dari Hobbes
(yang mengarah ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah ke demokrasi
parlementer).”39
Mohammad Hatta memaksudkan kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan yang
dijalankan oleh rakyat atau atas nama rakyat diatas dasar permusyawaratan.
Kedaulatan rakyat memberi kekuasaan yang tertinggi kepada rakyat, tetapi juga
memberi tanggung jawab yang terbesar. Sehingga merupakan dasar pemerintahan
yang adil, karena siapa yang mendapat kekuasaan dia itulah yang bertanggung
jawab. Manakala rakyat seluruhnya merasa kewajibannya untuk mencapai
keselamatan bersama, maka tertanamlah sendi negara yang kokoh.40
Berbicara mengenai Negara Hukum tidak akan lepas dari sejarah
ketatanegaraan pemerintahan-pemerintahan di berbagai macam belahan dunia,
yang mana hal ini turut menentukan hingga akhirnya konsep Negara Hukum
menjadi populer hingga saat ini. Jika kita tarik ke belakang, hingga abad ke-
18 seringkali pemerintahan dalam suatu negara bersifat despotis, hingga pada
akhirnya seorang pemikir besar mengenai negara dan hukum dari Perancis
bernama Charles de Secondat baron de Labrede et de Montesquieu memisahkan
kekuasaan memerintah negara yang dilaksanakan oleh masing-masing badan
yang berdiri sendiri. Dengan ajarannya itu Montesquieu berpendapat bahwa:
“Apabila kekuasaan negara itu dipisahkan secara tegas menjadi tiga, yaitu: kekuasaan
perundang-undangan, kekuasaan melaksanakan pemerintahan, dan kekuasaan
kehakiman, dan masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh badan yang berdiri
sendiri, ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan yang sewenang-
wenang dari seorang penguasa, atau tegasnya tidak memberikan kemungkinan
dilaksanakannya sistem pemerintahan absolutisme.”41
Pembagian kekuasaan-kekuasaan itu kedalam tiga pusat kekuasaan oleh
Immanuel Kant kemudian diberi nama Trias Politika (Tri = tiga; As = poros
(pusat); Politika = kekuasaan) atau tiga Pusat/Poros Kekuasaan Negara.42
Ajaran Trias politica ini sesungguhnya merupakan penyempurnaan dari ajaran
John Locke. Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu meliputi:43
39
Ibid. hal. 212.
40
Mohammad Hatta, op.cit., hal. 14-15.
41
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2004, hal. 117.
42
Mohammad Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Rineka
Cipta, 2001, hal. 74.
43
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal. 13.

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 135


a. Fungsi Legislatif;
b. Fungsi Eksekutif; dan
c. Fungsi Federatif.
Dalam kuliah Ilmu Negara pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat Universitas Indonesia tahun ajaran 1961-1962, Padmo Wahjono
membandingkan keduanya sebagai berikut:
“Fungsi pengadilan dalam ajaran John Locke dimasukkan dalam bidang Exekutif, sebab
Pengadilan itu adalah melaksanakan hukum. Jadi dalam hal adanya perselisihan,
maka itu menjadi wewenang daripada fungsi Exekutif! Tapi Montesquieu
mengeluarkannya dari Exekutif karena Montesquieu melihat kedalam di Perancis
dengan adanya penggabungan itu timbul kesewenang-wenangan. Oleh karena itu
harus dipisahkan agar supaya jangan timbul ketidakadilan.!
Disini terletak perbedaan peninjauan fungsi Yudikatif antara Montesquieu
dengan John Locke.
John Locke melihat secara prinsipel yaitu sebagai pelaksanaan hukum. Dilihat
hasilnya untuk keadilan, maka fungsi judikatif itu dikeluarkan dari bidang Exekutif oleh
Montesquieu. Dan ajaran Montesquieu lebih populer daripada John Locke. Hanya
kemudian, dimanakah disalurkan wewenang Diplomasi dalam Trias Montesquieu?
Dan ini oleh Montesquieu dimasukkan dalam fungsi legislatif, oleh karena hubungan
Diplomasi menciptakan ketentuan-ketentuan yang berlaku buat negara itu dengan
negara lain.! Jadi dimasukkan dalam bidang Legislatif karena membuat peraturan-
peraturan.”44
Sejalan dengan perkembangan konsep pemisahan kekuasaan dalam negara
hukum, dikenal pula konsep checks and balances di dalamnya. Butterworths
Concise Australian Legal Dictionary mendefinisikan Checks and Balances menjadi
“A system of rules diversifying the membership of, and mutually countervailing controls
interconnecting the executive, legislative, judicial branches of government, designed to
prevent concentration of power within any one branch at the expense of the others.”45
Sedangkan Black’s Law Dictionary mengartikannya sebagai “arrangement of
governmental powers whereby powers of one governmental branch check or balance
those of other brances.” Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa
checks and balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi
antar-cabang kekuasaan satu dengan yang lain. Tujuan dari konsepsi ini adalah
untuk menghindari adanya konsentrasi kekuasaan pada satu cabang kekuasaan

44
Teuku Amir Hamzah, Ilmu Negara: Kuliah-Kuliah Padmo Wahjono, Jakarta: Indo Hill Co., 2003, hal.
164-165.
45
http://masnurmarzuki.blogspot.com/2011/12/pemisahan-kekuasaan-dan-prinsip-checks.html diakses
pada Rabu, 12 Juni 2013

136 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


tertentu.46 Gagasan ini lahir sebagai hasil dari ajaran klasik tentang pemisahan
kekuasaan, dan pertama kali diadopsi kedalam konstitusi Amerika Serikat (US
Constitution 1789). Berdasarkan ide ini, suatu negara dikatakan memiliki sistem
checks and balances yang efektif jika tidak ada satupun cabang pemerintahan yang
memiliki kekuasaan dominan, serta dapat dipengaruhi oleh cabang lainnya (A
government is said to have an effective system of checks and balances if no one branch
of government holds total power, and can be overridden by another).47
Secara tersirat dapat ditangkap bahwa esensi pokok dari prinsip checks and
balances ini adalah menjamin adanya kebebasan dari masing-masing cabang
kekuasaan negara sekaligus menghindari terjadinya interaksi atau campur
tangan dari kekuasaan yang satu terhadap kekuasaan lainnya. Dengan kata lain,
inti gagasan demokrasi konstitusional adalah menciptakan keseimbangan dalam
interaksi sosial politik. Namun, upaya menciptakan keseimbangan tersebut tidak
dilakukan dengan melemahkan fungsi, mengurangi independensi, atau atau
mengkooptasi kewenangan lembaga lain yang justru akan mengganggu kinerja
lembaga yang bersangkutan. Dengan demikian, checks and balances sesungguhnya
bukanlah tujuan dari penyelenggaraan entitas politik bernama negara. Konsep
ini lebih merupakan elemen pemerintahan demokratis untuk mewujudkan cita-
cita besar membangun sosok pemerintahan yang demokratis, bersih dan kuat
melalui penyempurnaan tata hubungan kerja yang sejajar dan harmonis diantara
pilar-pilar kekuasaan dalam negara.48 Konsep inilah yang mengilhami MPR
dalam melakukan perubahan UUD 1945 untuk tidak meletakkan kekuasaan
pemerintah yang hendak dibangun pada satu badan, hingga terjadilah checks and
balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mekanisme saling mengawasi
dan mengimbangi diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada ruang bagi
absolutisme di Indonesia.

III. ANALISIS
A. Pemakzulan di Indonesia
Semenjak proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah mencatat bahwa telah
sebanyak dua kali MPR memberhentikan Presiden di tengah masa jabatannya.
Pertama adalah pada saat pemberhentian Presiden Soekarno yang dianggap
bersalah karena ketidakmampuannya memberikan pertanggungjawabannya atas

46
http://gunawantauda.wordpress.com/2010/03/14/pembatasan-kekuasaan/ diakses pada Rabu, 12 Juni
2013
47
http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/11/menyimak-kembali-checks-and-balances.html
diakses pada Rabu, 12 Juni 2013
48
Ibid.

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 137


peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G30S)49 serta kemerosotan ekonomi
dan kemerosotan akhlak rakyat. Kedua adalah pada saat pemberhentian
Presiden Abdurahman Wahid yang dianggap bersalah karena ketidakmampuan
(keengganan) Presiden memberikan pertanggungjawaban di hadapan Sidang
Istimewa MPR, kesalahan Presiden yang dengan sengaja mengeluarkan maklumat
pembubaran MPR serta tidak menjalankan ketetapan-ketetapan MPR dan
undang-undang yang berlaku di Indonesia.50
Dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia sebelum perubahan UUD 1945,
MPR dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya. Hal ini
tertuang dalam Pasal 4 Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/atau antar Lembaga-lembaga
Tinggi Negara yang menjelaskan alasan pemberhentian tersebut sebagai berikut:
1. Atas permintaan sendiri;
2. Berhalangan tetap; dan
3. Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara.
Tap MPR No. III Tahun 1978 mengatur prosedur pemakzulan sebelum
perubahan konstitusi.51 Prosedur ini mensyaratkan dikeluarkannya dua kali
surat peringatan secara berturut-turut. Memorandum pertama memperingatkan
Presiden tentang pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan kepadanya. Jika
setelah tiga bulan kemudian Presiden tidak menanggapi surat peringatan itu
secara memuaskan, memorandum kedua dilayangkan. Dan jika satu bulan
kemudian tanggapan Presiden masih juga tidak memuaskan, MPR akan
menggelar sebuah Sidang Istimewa untuk membahas kedua memorandum itu
berikut tanggapan dari Presiden. Sidang ini kemudian akan memutuskan apakah
Presiden akan diberhentikan atau tidak. Menurut Denny Indrayana prosedur
pemakzulan Indonesia ini problematik, apalagi kalau dibandingkan dengan
prosedur serupa milik Amerika Serikat.52 Hal inilah yang turut menjadikan alasan
untuk mengakomodir mekanisme pemakzulan yang lebih adil dalam perubahan
ketiga UUD 1945.
Munculnya mekanisme pemakzulan secara limitatif dalam perubahan UUD
1945 sesungguhnya sebagai konsekuensi logis dari adanya penegasan sistem


49
Tulisan ini tidak lagi menggunakan istilah rezim orde baru yaitu G30S/PKI melainkan Gerakan 30
September saja. Ada beberapa versi tentang peristiwa itu dan PKI hanya salah satu versi. Oleh sebab itu
lebih objektif dengan menyebut Gerakan 30 September tanpa embel-embel apapun. [Asvi Warman Adam,
Pelurusan Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2007, hal 176.]

50
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945,
Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hal. 81
51
Ibid, pasal. 7.
52
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung: Mizan, 2007,
hal. 245-246.

138 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


presidensil dalam perubahan UUD 1945. Dalam Buku Panduan Pemasyarakatan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan
bahwa:
“Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, menjadikan
Presiden dan Wakil Presiden terpilih mempunyai legitimasi yang lebih kuat. Jadi,
adanya ketentuan tersebut berarti memperkuat sistem pemerintahan presidensial
yang kita anut dengan salah satu cirinya adalah adanya periode masa jabatan yang
pasti (fixed term) dari Presiden dan Wakil Presiden, dalam hal ini masa jabatan
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia lima tahun. Dengan demikian Presiden
dan Wakil Presiden terpilih tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya kecuali
melanggar hukum berdasar hal-hal yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui suatu prosedur konstitusional yang
populer disebut impeachment.”53
Sekalipun Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan
dalam masa jabatannya, namun karena alasan-alasan tertentu dalam rangka
pertanggungjawaban dengan mekanisme yang diatur secara konstitusional
Presiden dan/atau Wakil Presiden masih memungkinkan untuk diberhentikan,
sebagaimana pendapat Mohammad Laica Marzuki berikut:
“Hal dimaksud merupakan pengecualian yang diberikan konstitusi bagi
pemberhentian presiden dan wakil presiden hasil pemilihan langsung, yang
sesungguhnya -dalam keadaan biasa (normal procedure)- tidak dapat diberhentikan
selama masa jabatan. Pengecualian yang diberikan konstitusi terhadap MPR tidak
dapat dipahami seketika selaku wewenang MPR”54
Dalam hal ini Mohammad Mahfud MD berpendapat dengan membandingkan
proses pemakzulan pada saat pra dan pasca perubahan UUD 1945 sebagai berikut:
“Pada masa lalu pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya hanya didasarkan
pada pertimbangan politik yang diatur dalam Tap MPR Nomor III/MPR/1978
dengan alasan melanggar haluan negara yang penafsirannya sangat luas. Namun
pada saat ini Presiden hanya dapat dijatuhkan (melalui impeachment) dengan
alasan-alasan tertentu yang harus dibuktikan lebih dulu secara hukum (melalui
forum previlegiatum). Di sini, memenangkan suara dalam demokrasi dipadukan
(bahkan diuji) dengan substansi dan prosedur hukum berdasar nomokrasi”55
Kendatipun mekanisme pemakzulan telah diatur secara limitatif dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun masih
terdapat beberapa persoalan yang belum sepenuhnya dapat terjawab dengan
53
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., hal. 56.
54
Mohammad Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal &
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 40.
55
Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara...., op.cit., hal. xvi.

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 139


sepenuhnya dalam konstitusi hasil perubahan tersebut. Menurut hemat penulis,
masalah yang paling mendasar adalah mengenai tidak mengikatnya putusan
Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR setelah diteruskan DPR kepada MPR.
Artinya sejauh apa pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap
kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut hanya dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam rapat paripurna
MPR.56 Akan memungkinkan ketika Mahkamah Konstitusi membenarkan
pendapat DPR atas alasan pemakzulan, namun dalam rapat paripurna MPR
majelis justru tidak memutuskan untuk memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dengan alasan-alasan yang bersifat politis. Dengan kondisi ini,
mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia juga tidak
terjadi sebagaimana gagasan dasar dalam hasil perubahan UUD 1945.
Penulis menilai hal ini juga tidak sejalan dengan semangat pengawasan
yang dilakukan oleh DPR kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Karena
pasca perubahan UUD 1945 ada perumusan secara limitatif terhadap alasan
pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi alasan hukum saja, maka
bentuk pengawasan yang dilakukan oleh DPR yang berujung pada pemakzulan
Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah masuk dalam pengawasan hukum.57
Oleh sebab itu dalam hal ini bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah pertanggungjawaban hukum tata negara.
Sementara itu pengawasan yang dilakukan DPR terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam hal kebijakan yang telah diambil oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak dapat dijadikan sebagai landasan pemakzulan karena masuk dalam
pengawasan politik yang sanksinya ada pada pemilihan umum selanjutnya. Karena
semakin sering DPR menggunakan haknya58 dalam rangka menjalankan fungsi
pengawasan, maka dapat disimpulkan oleh rakyat bahwa kebijakan-kebijakan
yang telah diambil oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden bukanlah merupakan
kebijakan yang berpihak bagi rakyat, atau setidaknya menurut DPR. Sehingga
56
Bahkan menurut Ali Murtopo dalam mekanisme ini terdapat kerancuan karena efektifitas putusan
Mahkamah Konstitusi tertunda sebab DPR harus meneruskan proses pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. [Ali Murtopo, “Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Bidang
Impeachment Presiden di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 Nomor 1 (Februari, 2006), hal. 69.]
57
Pasal 7B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan
“Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.”
58
Pasal 20A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan
“Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang
Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan
pendapat.”

140 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


dalam pemilihan umum selanjutnya rakyat dapat menilai bahwa mereka atau
partai politik yang mengusung mereka tidak layak untuk dipilih kembali apabila
kembali mencalonkan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam konteks pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR
terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, sejatinya apabila fungsi itu telah
dijalankan yang didukung oleh putusan Mahkamah Konstitusi59, maka semestinya
putusan Mahkamah tersebut turut mengikat MPR sebagai tindak lanjut dari
proses pengawasan tersebut. Perumusan dalam Pasal 7B Ayat (6) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 194560 yang tidak menyebutkan secara
eksplisit mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang mengikat MPR justru
membuat fungsi pengawasan yang telah dilakukan oleh DPR menjadi serba tidak
pasti. Karena pasal tersebut bukannya menguatkan fungsi pengawasan yang telah
dilakukan DPR, melainkan justru membuat fungsi pengawasan tersebut menjadi
terombang-ambing dengan keputusan sidang MPR yang sarat kepentingan karena
tidak terikat kepada putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi pun
turut membuat kondisi ini menjadi semakin larut dalam ketidakpastian. Melalui
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 dirumuskan dalam Pasal
19 Ayat (5) bahwa “Putusan Mahkamah bersifat final secara yuridis dan mengikat
bagi DPR selaku pihak yang mengajukan permohonan.”. Perumusan pasal ini
dapatlah dimaklumi, sebab sebagaimana visi Mahkamah Konstitusi, peraturan
yang dibuatnya pun haruslah dibuat dalam rangka menegakkan konstitusi.61
Menjadi ironis dan kedepannya hal ini akan menjadi preseden buruk
bagi penegakan hukum di Indonesia karena senyatanya putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut merupakan putusan yang terbingkai dengan norma hukum
yang terukur kebenarannya. Ironisnya terletak pada kewenangan Mahkamah
Konstitusi sebagai satu-satunya penjaga dan penafsir UUD dan diberi wewenang
untuk memutuskan pernyatan DPR tentang pelanggaran hukum Presiden, tetapi
keputusan terakhir yang memberi sanksi pemberhentian atau sanksi lainnya
terhadap Presiden berada pada MPR.62
59
Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud adalah yang membenarkan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah terbukti melakukan pelanggaran hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
60
Pasal 7B Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan “Majelis
Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan
Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul
tersebut.”
61
Visi Mahkamah Konstitusi RI adalah “Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara
hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.”
62
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Bandung: Yrama Widya, 2007,
hal. 176-177.

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 141


B. Mekanisme Checks and Balances dalam Proses Pemakzulan di Indonesia
Turut sertanya Mahkamah Konstitusi dalam proses pemakzulan merupakan
langkah tepat agar dalam proses pembuktian bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bisa terlepas dari
biasnya kepentingan partai politik yang bertarung dalam proses ini. Pelibatan
Mahkamah Konstitusi juga sebagai konsekuensi logis karena dasar-dasar
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut merupakan alasan
hukum, sehingga yang bisa membuktikannya hanya lembaga yang masuk dalam
ranah kekuasaan kehakiman. Selain itu bila proses tersebut diserahkan hanya
kepada DPR dan MPR saja sebagaimana pengalaman di masa lalu, maka proses
pembuktian tersebut akan tidak memiliki batasan yang jelas dan mudah dibajak
oleh kepentingan sesaat para politisi yang bermain kekuasaan, sehingga untuk
meminimalisir kemungkinan terjadinya ketidakadilan yang timbul karena proses
pemakzulan Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi suatu keniscayaan.
Dalam Putusan ini akan nampak terbukti atau tidaknya pelanggaran yang telah
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, namun hal ini tidak ditujukan
pada pertanggungjawaban pidana melainkan untuk pertanggungjawaban hukum
tata negara Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dengan konstruksi ini, maka Putusan
Mahkamah Konstitusi berkedudukan sebagai landasan berhentinya Presiden dan/
atau Wakil Presiden di tengah masa jabatan. Putusan ini menjadi jembatan bagi
eksekusi pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dilakukan oleh MPR.
Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, menurut penulis secara
filosofis Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan suatu jabatan yang harus
diemban oleh orang yang baik mulai dari awal pencalonannya hingga pada saat
menjabat. Kategori baik ini dirumuskan dalam persyaratan calon Presiden dan/
atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian ketika Presiden dan/
atau Wakil Presiden telah menjabat, maka kategori baik berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah tidak melakukan
hal-hal yang dilarang sebagai dasar pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dirumuskan dalam pasal 7A Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga menjadi tidak layak seseorang
mencalonkan dan menjabat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila
tidak memenuhi kriteria orang yang baik tersebut.

142 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Untuk itulah ketika seseorang telah menjabat sebagai Presiden dan/
atau Wakil Presiden kemudian ada dugaan bahwa ia tidak memenuhi kriteria
tersebut, maka hal itu haruslah dibuktikan, baru kemudian Presiden dan/atau
Wakil Presiden tersebut dapat diberhentikan dari masa jabatannya. Pembuktian
tersebut bukanlah dengan maksud untuk mempertanggungjawabkan tindak
pidana sebagaimana yang telah dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden, namun lebih karena pertanggungjawaban hukum tata negara Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Karena menurut hukum tata negara Presiden dan/
atau Wakil Presiden haruslah orang baik sebagaimana telah dirumuskan oleh
MPR yang tercermin dari Pasal 6 dan Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945. Karena kedua pasal tersebut terdapat dalam
Undang-Undang Dasar yang merupakan hukum tata negara63, maka dengan
demikian konsep pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 7A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah pertanggungjawaban
hukum tata negara dan bukan merupakan pertanggungjawaban pidana, apalagi
pertanggungjawaban politik.
Kemudian timbul persoalan secara filosofis, Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut di satu sisi bila turut mengikat bagi MPR, artinya merupakan kemenangan
bagi kedaulatan hukum sebab dengan itu menjadi optimal fungsi pengawasan
yang telah dilakukan oleh DPR sebagai pertanda adanya mekanisme checks and
balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pendek kata, tiada kekuasaan
yang tidak terbatas. Namun di sisi lain MPR yang merupakan gabungan dari
anggota DPR dan DPD yang notabene dipilih oleh rakyat merupakan gambaran
dari kemenangan kedaulatan rakyat bila putusan Mahkamah Konstitusi hanya
diposisikan hanya sebatas jembatan bagi proses pemakzulan Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Untuk menjawab problematika ini, selanjutnya akan diulas
(juga) secara filosofis mengenai pertarungan antara paham kedaulatan hukum
dengan paham kedaulatan rakyat yang terjadi sesuai dengan perkembangan
ketatanegaraan Indonesia.
Dalam negara hukum yang demokratis, kekuasaan haruslah dibatasi. Bentuk
pembatasan itu adalah dengan tidak meletakkan kekuasaan pada satu tangan atau
63
Menurut Mahfud MD, hukum tata negara adalah bukan apa yang ada di dalam teori atau yang berlaku
di negara lain, betapapun itu dianggap sudah sangat mapan. Hukum tata negara adalah apa yang
digagas dan kemudian ditulis di dalam konstitusi oleh bangsa suatu negara, jadi hukum tata negara
adalah apa yang diperdebatkan dan ditulis sebagai pilihan politik di dalam konstitusi. Lebih lanjut
dengan meminjam ungkapan KC Wheare, Mahfud mengatakan bahwa konstitusi adalah resultante
atau kesepakatan yang dibuat oleh bangsa yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan tempat dan
waktu serta situasi. [Mohammad Mahfud MD, Komisi Yudisial Dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita,
dalam Saiful Rachman, et al, (editor), Bunga Rampai Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan, Jakarta:
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007, hal. 10.]

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 143


satu lembaga negara. Sehingga antara lembaga negara tersebut memiliki kekuasaan
yang sama kuat dan dapat saling mengawasi dan mengimbangi satu sama lain antar
lembaga negara. Dalam konteks pemakzulan, sesungguhnya hal ini merupakan
bentuk dari pengawasan antara lembaga legislatif terhadap eksekutif. Masuknya
lembaga yudikatif dalam proses pengawasan ini disebabkan karena yang menjadi
alasan dalam pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah merupakan
alasan hukum. Sehingga dalam mekanisme pemakzulan dapat ditemukan prinsip-
prinsip negara hukum yang demokratis, karena terdapat fungsi saling mengawasi
dan mengimbangi antara lembaga legislatif dan yudikatif terhadap lembaga
eksekutif. Prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis tersebut akan dengan jelas
tergambar ketika pemakzulan sebagai fungsi pengawasan DPR terhadap Presiden
dapat berjalan dengan optimal tanpa dikaburkan dengan hasil sidang MPR yang
dimungkinkan beda simpulan dari serangkaian proses sebelumnya.
Namun bagi penganut paham demokrasi mau tidak mau suara rakyat
harus benar-benar diperhatikan, artinya dalam penyelenggaraan negara harus
berdasarkan kehendak rakyat. Vox Populi Vox Dei64 kata pepatah politik kuno,
pepatah yang menunjukkan betapa tingginya rakyat dalam konteks negara,
terutama negara yang menganut paham demokrasi. Sekalipun ungkapan itu
tidak dimaksudkan untuk membandingkan kekuasaan Tuhan yang sakral dengan
kekuasaan politik yang sekuler, namun itu bermakna bahwa bagaimanapun tanpa
kehadiran rakyat, tanpa keterlibatannya, suatu negara demokratis tidak akan
pernah ada. Hal ini adalah sejalan dengan paham kedaulatan rakyat.
Akan tetapi menurut Mohammad Mahfud MD dalam kuliah umum bertema
“Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Pembangunan Hukum dan Demokrasi”,
demokrasi adalah konsep yang biasanya setiap keputusannya berdasarkan
menang-kalah, berdasarkan suara terbanyak, meskipun mungkin belum tentu
benar hasil yang disepakatinya. Hal ini justru berbahaya, untuk itu demokrasi
harus tetap dipertahankan tanpa menggesernya dari konsep asli dengan cara
membangunnya bersama-sama dengan nomokrasi (negara berdasar hukum).
Demokrasi dan nomokrasi dibangun secara interdependen. “Politik tanpa hukum
itu dzalim. Sebaliknya, hukum tanpa dikawal kekuasaan politik akan lumpuh.”65
Pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut sesuai dengan maksud Pasal 1
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menegaskan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.”
64
Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan). Dalam konteks ini pepatah tersebut sesuai
dengan prinsip Salus Populi Suprema Lex (Suara Rakyat Adalah Hukum Tertinggi).
65
Wiwik Budi Wasito, “Demokrasi dan Nomokrasi dibangun secara Intrerdependen”, Majalah Konstitusi,
No. 34 (November, 2009), hal. 62.

144 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Bila diteliti sesungguhnya terdapat hubungan yang erat antara kedaulatan
rakyat dengan kedaulatan hukum. Menurut Krabbe hukum itu berdaulat karena ia
bersumber kepada kesadaran-kesadaran hukum dari rakyat, sehingga kedaulatan
hukum merupakan kelanjutan dari kedaulatan rakyat.66 Kesadaran-kesadaran
hukum dari rakyat tersebut bila dikaitkan dengan paham kedaulatan rakyat
Rousseau adalah merupakan kehendak umum (volonte generale). Sebagaimana
perkataan Rousseau mengenai kedaulatan rakyat, bahwa kehendak umum
merupakan pimpinan tertinggi atau kekuasaan tertinggi (kedaulatan). Berikut
rumusannya:
“Masing-masing dari kita menyerahkan diri dan seluruh kekuasaan untuk
kepentingan bersama, di bawah pimpinan tertinggi yaitu kehendak umum, dan di
dalam korps kita menerima setiap anggota sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
keseluruhan. .... Pribadi sosial yang dibentuk sedemikian itu oleh penyatuan semua
pribadi, dahulu disebut Negara kota, sedangkan sekarang disebut Republik atau
korps politik. Sebagai korps yang pasif disebut Negara oleh anggotanya, sebagai
korps yang aktif disebut Souverain, dan disebut kekuasaan apabila dibandingkan
dengan korps-korps yang sejenis.”67
Secara filosofis, kehendak umum sejatinya adalah gagasan bahwa kekuasaan
tidak dapat dijalankan oleh kehendak pribadi. Dengan kata lain kekuasaan harus
dibatasi, sehingga manifestasi dari kehendak umum adalah hukum. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Kant bahwa individu hanya menaati hukum yang diamini
secara rasional dan kolektif. Hukum mendapatkan kekuatannya apabila
dikehendaki sebagai aturan umum.68 Dari rangkaian logika diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa hukum baru akan menjadi kedaulatan tertinggi bila hukum
itu sudah sesuai dengan kehendak umum sebagai manifestasi kedaulatan rakyat.
Bila dihubungkan dengan konstruksi ini, maka kaitan antara putusan
Mahkamah Konstitusi dalam mekanisme pemakzulan dengan prinsip supremasi
hukum adalah bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut baru akan
memiliki kekuasaan tertinggi bila sudah sejalan dengan kehendak umum
rakyat. Persoalannya adalah kehendak umum rakyat tersebut tidak lagi dapat
digambarkan dalam keputusan MPR. Sebab MPR tidak lagi seperti dahulu sebelum
perubahan UUD 1945 yang merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia
(vertretungsorgan des willens des staatsvolkes) dan pelaksanaan kedaulatan rakyat
pasca perubahan UUD 1945 adalah didistribusikan secara langsung kepada tiap
66
Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, hal. 135.
67
Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik, terjemahan Ida Sundari
Husen dan Rahayu Hidayat, Jakarta: Dian Rakyat, 1989, hal. 16.
68
Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme, Depok: Penerbit
Koekoesan, 2010, hal. 97.

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 145


lembaga tinggi negara sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Polemik selanjutnya timbul ketika kenyataan
sosiologis berbicara bahwa MPR kini tidak lagi merepresentasikan rakyat yang
telah memilihnya, tarik ulur dalam pengambilan keputusan selama ini hanya
berdasarkan kepentingan partai politik yang ada di belakang mereka. Terlebih
yang menjadi alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah
alasan hukum, tentunya putusan Mahkamah Konstitusi merupakan parameter
yang jelas dan menjadi realistis bila turut mengikat MPR sebagai pertanda
kuatnya mekanisme checks and balances antar lembaga negara.

IV. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
relatif belum sejalan dengan prinsip supremasi hukum dan mekanisme hukum
tata negara dalam proses ini turut dicampuri oleh mekanisme politik. Sehingga
mekanisme checks and balances dalam proses ini belum terjadi. Belum sejalannya
mekanisme pemakzulan dengan prinsip supremasi hukum disebabkan karena
hakikat pemakzulan sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan sebagai pertanda
adanya mekanisme checks and balances menjadi sumir akibat putusan Mahkamah
Konstitusi yang dijadikan jembatan dalam mekanisme tersebut tidak secara
eksplisit ditentukan turut mengikat bagi MPR dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengawasan tersebut adalah pengawasan
terhadap pelanggaran hukum tata negara yang dilakukan oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu pertanggungjawaban yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden atas proses ini masuk dalam
kategori pertanggungjawaban hukum tata negara.
Sekalipun mekanisme checks and balances tersebut belum terjadi dengan
sempurna karena MPR dimungkinkan memberikan putusan yang berbeda
dari putusan Mahkamah Konstitusi, akan tetapi mekanisme yang ada tetaplah
merupakan mekanisme hukum tata negara. Sebab pemakzulan terjadi dalam
rangka pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap eksekutif sebagai bagian dari
mekanisme checks and balances yang merupakan sendi dari prinsip supremasi
hukum. Hanya saja karena MPR dimungkinkan memberikan putusan yang
berbeda, maka mekanisme hukum tata negara dalam proses pemakzulan juga
dicampuri oleh mekanisme politik. Hal ini menjadi persoalan ketika pemakzulan
yang merupakan manifestasi dari pengawasan hukum tata negara dimaksudkan

146 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


dalam rangka pertanggungjawaban hukum tata negara. Sehingga untuk mekanisme
politik seharusnya cukup diletakkan dalam menjalankan fungsi pengawasan
politik (pengawasan atas kebijakan) dalam rangka pertanggungjawaban politik
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sekalipun mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden
di Indonesia pasca perubahan UUD 1945 masih memiliki kekurangan bila
disandingkan dengan prinsip checks and balances dalam konsep negara hukum.
Namun secara garis besar setidaknya proses tersebut menjadi koreksi atas proses
sebelumnya ketika belum diadakan perubahan UUD 1945. Pembenahan sistem
lebih lanjut tidak dapat dilakukan dengan melakukan perubahan Undang-
Undang Makhamah Konstitusi, Tata Tertib DPR, Peraturan Mahkamah Konstitusi
maupun peraturan-peraturan terkait lainnya, melainkan dengan melakukan
perubahan UUD 1945 kembali dengan menyempurnakan proses pemakzulan di
Indonesia. Penyempurnaan tersebut tentu haruslah menempatkan pelaksanaan-
pelaksanaan fungsi DPR, Putusan Mahkamah Konsitusi serta Putusan MPR
sebagai satu kesatuan yang linear dan utuh apabila kemudian MPR tetap
mempertahankan gagasan checks and balances dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 147


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Adam, Asvi Warman. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2007.
Adian, Donny Gahral. Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme.
Depok: Penerbit Koekoesan, 2010.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Konstitusi
Press, 2006.
---------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Asshiddiqie, Jimly, et al. Gagasan Perubahan UUD 1945 dan Pemilihan Presiden
secara Langsung. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2006.
Atmoredjo, Sudjito bin. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila (Makalah untuk
Kongres Pancasila, Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Universitas
Gadjah Mada), Yogyakarta, 2009.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Dicey, AV. Pengantar Studi Hukum Konstitusi (Introduction to the Study of the
Constitution), diterjemahkan oleh Nurhadi. Bandung: Nusamedia, 2007.
Fadjar, Abdul Mukthie. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia, 2005
Firdaus. Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi. Bandung:
Yrama Widya, 2007.
Hamzah, Teuku Amir. Ilmu Negara: Kuliah-Kuliah Padmo Wahjono, SH. Jakarta:
Indo Hill Co., 2003.
Hatta, Mohammad. Kedaulatan Rakyat. Surabaya: Usaha Nasional, 1980.
Indrayana, Denny. Perubahan UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran.
Bandung: Mizan, 2007.

148 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Koesnardi, Moh. dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2000.
Koesnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1983.
Kurde, Nukthoh Arfawie. Telaah Kritis Teori Negara Hukum. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
Mahfud MD, Mohammad. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia Edisi Revisi.
Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
---------, Komisi Yudisial Dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita, dalam Saiful Rachman,
et al, (editor), Bunga Rampai Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan. Jakarta:
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007.
---------, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Perubahan Konstitusi. Jakarta:
LP3ES, 2007.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan
Urutan Bab, Pasal, dan Ayat. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008.
Marzuki, Mohammad Laica. Berjalan-Jalan di Ranah Hukum. Jakarta: Sekretariat
Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Rousseau, Jean Jacques. Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik
(Du Contrat Social), diterjemahkan oleh Ida Sundari Husen dan Rahayu
Hidayat. Jakarta: Dian Rakyat, 1989.
Soehino, Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2004.
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945,
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-
2002, Buku VI: Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008
Zoelva, Hamdan. Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian
Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 149


Jurnal/Majalah
Madjid, Nurcholish. Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara.
Jurnal Dialog Peradaban, Volume 2 Nomor 1. Juli-Desember 2009.
Murtopo, Ali. Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Bidang Impeachment Presiden di
Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 Nomor 1. Februari 2006.
Permadi, Iwan. Impeachment MK terhadap Presiden dan Kekuasaan Mayoritas di
MPR. Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 3. September 2007.
Wasito, Wiwik Budi. Demokrasi dan Nomokrasi dibangun secara Intrerdependen,
Majalah Konstitusi, No. 34. November 2009.
Wiyanto, Andy. Pertanggungjawaban Presiden dan Mahkamah Konstitusi. Jurnal
Konstitusi, Volume 7 Nomor 3. Juni 2010.

Surat Kabar
Rahardjo, Satjipto. 58 Tahun Negara Hukum Indonesia, Negara Hukum, Proyek
yang Belum Selesai. Kompas, 11 Agustus 2003.

Website
http://gunawantauda.wordpress.com/2010/03/14/pembatasan-kekuasaan/
diakses pada Rabu, 12 Juni 2013
http://masnurmarzuki.blogspot.com/2011/12/pemisahan-kekuasaan-dan-
prinsip-checks.html diakses pada Rabu, 12 Juni 2013
http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/11/menyimak-kembali-checks-and-
balances.html diakses pada Rabu, 12 Juni 2013

Makalah
Asshiddiqie, Jimly. Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan
UUD 1945, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut
UUD 1945 Hasil Perubahan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Hukum dan HAM Republik Indonesia), Jakarta, 2006.

150 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 1, Juni 2013


Mertosuwignyo, Sri Soemantri. Kapabilitas Dewan Perwakilan Rakyat Dalam
Menjalankan Mekanisme “Check And Balances” Dalam Hubungan Antara
Eksekutif Dan Legislatif, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum
Menurut UUD 1945 Hasil Perubahan. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia), Jakarta, 2006.
---------, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, (Makalah
untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil
Perubahan. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan
HAM Republik Indonesia), Jakarta, 2006.

ANDY WIYANTO: Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme... 151


PEDOMAN PENULISAN
JURNAL NEGARA HUKUM

1. Naskah yang dimuat dalam Jurnal Negara Hukum adalah tulisan yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan hukum dan ditulis dalam bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris.
2. Naskah dapat berupa hasil penelitian, pengembangan, gagasan konseptual,
atau tinjauan kepustakaan yang belum pernah dipublikasikan.
3. Sistimatika tulisan hasil pemikiran/gagasan konseptual meliputi: judul,
nama penulis (tanpa gelar akademik) dan alamat e-mail, abstrak, kata kunci,
pendahuluan yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan,
teori atau kerangka pemikiran, analisis, kesimpulan dan saran (jika ada).
4. Sistimatika tulisan hasil penelitian meliputi: judul, nama penulis (tanpa
gelar akademik) dan alamat e-mail, abstrak (maksimal 250 kata), kata
kunci, pendahuluan yang berisi: latar belakang, perumusan masalah, dan
tujuan, teori atau kerangka pemikiran, metode penelitian, hasil penelitian,
kesimpulan dan saran (jika ada).
5. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word di atas kertas ukuran
A4 dengan jarak spasi rapat (satu spasi), jumlah halaman 15-20, huruf Arial,
font 10. Penulis wajib menyerahkan tulisan dalam bentuk hard copy dan soft
copy (disket/CD) ke Redaksi Jurnal Negara Hukum e-mail: negarahukum_
p3di@yahoo.co.id
6. Naskah diterima oleh Redaksi Jurnal Negara Hukum selambat-lambatnya
awal Maret untuk terbitan bulan Juni dan awal September untuk terbitan
bulan November.
7. Penulisan sumber kutipan atau rujukan menggunakan sistem catatan kaki
(footnote) dengan urutan: nama pengarang/editor (tanpa gelar akademik),
judul karangan (ditulis dengan huruf miring/italic, kota penerbit, nama
penerbit, tahun penerbitan, dan nomor halaman yang dirujuk atau dikutip.
Contoh:
Andrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 23.
Sumber kutipan berikutnya yang menunjuk kepada sumber yang telah disebut
dalam catatan kaki di atasnya, menggunakan Ibid (jika halaman sama) atau
Ibid.hal. 35. (jika berbeda halaman).
Penulisan sumber kutipan yang telah disebut sebelumnya dan telah disisipi
sumber kutipan lain, sbb: nama pengarang, judul singkat, hal (tidak
menggunakan op.cit, loc.cit).
Contoh:
Andrian Sutedi, Prinsip Kepentingan Umum, hal. 56.
8. Penulisan daftar pustaka disusun secara alfabetis, sebagai berikut:
Buku:
Sutedi, Andrian. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Jurnal/majalah:
Samsul, Inosentius. Pengaturan Kerangka Hukum Alternatif Penanganan Konflik
Sosial: Studi Terhadap Upaya Pelestarian dan Pemberdayaan Adat Kabupaten
Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Era Hukum. No.1/Tahun 16.
September 2008.
Terjemahan:
Nonet, Philippe dan Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi
(Law and Sosiety in Transition: Toward Responsive Law), diterjemahkan oleh
Rafael Edy Bosco. Jakarta: HuMa, 2003.
Surat Kabar:
Negara Ikut Lemahkan KPK. Media Indonesia, 9 November 2010.
Website:
Mulhadi, Relevansi Teori Sosiological Yurisprudensi dalam Upaya Pembaharuan
Hukum di Indonesia. http://www.search-ebooks.com, diakses tanggal 4 Juni
2010.
Peraturan Perundang-undangan:
Indonesia. Undang-Undang Tentang Penanaman Modal. UU No. 25, LN No.
67 tahun 2007. TLN. No. 4724.

Anda mungkin juga menyukai