Pada edisi bulan Juni ini, Jurnal Negara Hukum (JNH) tetap memuat hasil
kajian, penelitian, dan analisis hukum dalam berbagai bidang, seperti hukum
ekonomi, pidana, dan ketatanegaraan. Edisi ini memuat 7 (tujuh) tulisan yang
bervariasi sesuai dengan bidang kajian hukum yang disebutkan sebelumnya.
Istimewanya, JNH kali ini memuat 2 (dua) tulisan yang berasal dari luar peneliti
hukum P3DI, yaitu dari Tenaga Ahli Fraksi dan Tenaga Ahli Anggota DPR RI.
Tulisan pertama ditulis oleh Sulasi Rongiyati, berjudul “Land Reform melalui
Penetapan Luas Tanah Pertanian (Kajian Yuridis terhadap Undang-Undang No.
56/PRP/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian)”. Dalam tulisan ini
dikatakan, bahwa Land reform dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, khususnya petani yang tidak memiliki tanah. Analisis dilakukan
terhadap pelaksanaan land reform di Indonesia yang didasarkan pada UUPA
yang mengatur pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah dan kemudian
dijabarkan dengan UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian (UUPT). Berdasarkan hasil analisis Penulis, Land Reform dalam UU
tersebut diwujudkan melalui pengaturan luas maksimum dan minimum tanah
pertanian dan redistribusi tanah. Namun, implementasi UU ini belum efektif
karena beberapa ketentuan berpotensi dilakukannya penyelundupan hukum
untuk menghindari ketentuan pembatasan luas tanah pertanian serta kebijakan
pendukung yang belum memadai.
Selanjutnya, Harris Y. P. Sibuea menulis tentang “Tinjauan Yuridis atas Hak
Guna Ruang Bawah Tanah sebagai Lembaga Hak Baru dalam Hukum Tanah
Nasional Indonesia”. Dalam tulisan ini dikatakan bahwa pemanfaatan dan
penggunaan tanah di atas permukaan tanah sudah overload, disebabkan oleh arus
urbanisasi yang semakin meningkat khususnya ke kota-kota besar. Dalam hasil
analisisnya, Penulis mengatakan bahwa peningkatan arus urbanisasi tersebut
tidak diimbangi oleh jumlah luas tanah di atas permukaan bumi yang pada
akhirnya mencari ruang di bawah tanah untuk digunakan sebagai kepentingan
tempat tinggal, usaha, dan publik. Kepastian hukum atas kepemilikan atas
tanah sudah ada payung hukumnya, namun terjadi kekosongan hukum
terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah. Ruang-ruang bawah
tanah seperti di Kota dan Blok-M bukan hanya dimanfaatkan sebagai terminal
kedatangan keberangkatan bus-way, namun juga dimanfaatkan untuk kegiatan
usaha masyarakat. Pemanfaatan ruang bawah tanah tersebut tidak ada peraturan
PENGANTAR REDAKSI v
Tulisan Andy Wiyanto berjudul “Pemakzulan dan Pelaksanaan Mekanisme
Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Dalam tulisan
ini dikemukakan, bahwa historiografi ketatanegaraan Indonesia telah mencatat
bahwa telah sebanyak dua kali Presiden di Indonesia diturunkan di tengah masa
jabatannya. Catatan sejarah tersebut rupanya menyisakan polemik. Untuk itulah
kemudian di bawah kepemimpinan Mohammad Amien Rais, MPR melakukan
perubahan UUD 1945 yang menjadi salah satu tujuan dari reformasi. Perubahan
tersebut tidak hanya memperbaiki mekanisme pemakzulan di Indonesia, namun
juga menjadikan UUD 1945 tidak lagi sebagai UUD sementara sebagaimana
yang diutarakan Soekarno dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Berdasarkan hasil analisis, sejatinya
proses pemakzulan pasca reformasi merupakan bentuk check and balances atas
pemilihan Presiden secara langsung. Sehingga ada legitimasi yang besar dalam
pemerintahan pada satu sisi, juga dalam sisi yang lainnya hal itu diimbangi
dengan proses pertanggungjawaban yang terukur. Secara akademik, konsep
tersebut tentu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Tinggal bagaimana hal ini
terimplementasi dalam bentuk regulasi, mulai dari undang-undang dasar hingga
aturan-aturan lain dibawahnya yang menjadi penjabaran-penjabaran yang lebih
rinci dan jelas. Tulisan ini mengkaji hal tersebut dengan dimulai dari pembahasan
struktur ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi yang menganut prinsip checks
and balances di dalamnya, kemudian dilanjutkan dengan ulasan mengenai proses
pemakzulan di Indonesia, yang pada akhirnya dari kedua variabel tersebut
dibedah dengan teori-teori yang mengulas tentang sistem check and balances
dalam sistem ketatanegaraan pada sebuah negara.
Pemikiran-pemikiran dalam tulisan yang dimuat di dalam Jurnal Negara
Hukum ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan pengetahuan pembaca
dan dapat menjadi referensi, baik untuk penelitian atau membuat kajian lanjutan,
maupun perumusan kebijakan publik. Selamat membaca.
Jakarta, Juni 2013
Redaksi
Sulasi Rongiyati
Abstrak
Land reform dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya
petani yang tidak memiliki tanah. Secara yuridis pelaksanaan land reform di Indonesia
didasarkan pada UUPA yang mengatur pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah
dan kemudian dijabarkan dengan UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian (UUPT). Land Reform dalam UU ini diwujudkan melalui pengaturan
luas maksimum dan minimum tanah pertanian dan redistribusi tanah. Namun,
implementasi UU ini belum efektif karena beberapa ketentuan berpotensi dilakukannya
penyelundupan hukum untuk menghindari ketentuan pembatasan luas tanah pertanian
serta kebijakan pendukung yang belum memadai.
Abstract
Land reform is intended to improve the welfare of the people, especially farmers who lessland.
Juridical implementation of land reform in Indonesia is based on UUPA restrictions governing
the ownership and control of land and described by Act No. 56/Prp/ 1960 on Agricultural
Land Area Determination. Land Reform Act is implemented through setting minimum and
maximum area of agricultural land and land redistribution. However, the implementation of
this Act has not been effective because some provisions could potentially do to avoid smuggling
law provision barring agricultural land and supporting policies that have not been adequate.
ABSTRAK vii
TINJAUAN YURIDIS ATAS PEMANFAATAN RUANG BAWAH TANAH
Harris Y. P. Sibuea
Abstrak
Pemanfaatan dan penggunaan tanah di atas permukaan tanah sudah overload yang
disebabkan oleh arus urbanisasi yang semakin meningkat khususnya ke kota-kota
besar. Peningkatan arus urbanisasi tersebut tidak diimbangi oleh jumlah luas tanah
di atas permukaan bumi yang pada akhirnya mencari ruang di bawah tanah untuk
digunakan sebagai kepentingan tempat tinggal, usaha, publik. Kepastian hukum atas
kepemilikan atas tanah sudah ada payung hukumnya, namun terjadi kekosongan hukum
terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah. Ruang-ruang bawah tanah
seperti di Kota dan Blok-M bukan hanya dimanfaatkan sebagai terminal kedatangan
keberangkatan bus-way, namun juga dimanfaatkan untuk kegiatan usaha masyarakat.
Pemanfaatan ruang bawah tanah tersebut tidak ada peraturan perundang-undangan
bidang agraria yang mengaturnya. Hukum harus merespon terhadap kekosongan hukum
tersebut dimana diperlukan suatu kebijakan yang mengatur alas hak penggunaan ruang
di bawah tanah, agar tidak terjadi konflik di masa depan dan terjaminnya suatu kepastian
hukum di bidang agraria.
Abstract
Utilization and use of land above ground level where the overload caused by the increasing
urbanisation especially to big cities. Increasing urbanisation is not offset by the amount of land
area on the surface of the earth is ultimately looking for underground space for use as a place
of residence, business interests, public. Legal certainty over ownership of the land was legal
basis, but the vacancy against setting use of underground space. Underground spaces such as
in Kota and Blok-M is not only used as a bus-way arrival-departure terminal, but also utilized
for the business activities of the society. Utilization of underground space is no agrarian areas
regulations that govern it. The law must respond to the legal vacuum in which required a policy
governing the use of the right underground space, to prevent conflicts in the future and where a
legal certainty in the field of agrarian.
Nikolas Simanjuntak
Abstrak
Para sarjana post-kolonial kita telah mewariskan pengetahuan mengenai hukum adat
yang bersendikan pada dasar hubungan kesedarahan (genealogis) dan kedaerahan
(territorial). Dari mereka itu kita ketahui ada lebih dari 200an hukum adat yang khas
tersebar di seantero wilayah nusantara, yang kemudian masing-masing adat itu secara
terpisah berkembang lagi dengan hukumnya dan lembaga pengadilan adat yang khusus,
baik yang berada dalam situasi wilayah yang tertutup rapat di daerah pedesaan maupun di
wilayah yang terbuka dalam konteks modern sebagai masyarakat perantau di perkotaan
(urban migran).
Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan telah diberlakukan dengan
Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang sebelumnya dipersiapkan pada masa-masa
awal terjadinya multi-krisis Indonesia menuju era reformasi. Dengan Undang-undang
itu diharapkan banyak hal akan dapat diselesaikan untuk memotong rantai rumitnya
kompleksitas soal di dalam praktik pelaksanaan hukum acara yang selama ini terjadi.
Makalah ini bermaksud menyajikan gambaran apa adanya mengenai lembaga hukum
adat, apakah itu bisa dikembangkan dengan penguatan yang menjadi praktik penyelesaian
sengketa di luar pengadilan menurut hukum yang berlaku saat ini. Bahkan mungkin
pula dengan itu diharapkan, apakah bisa digunakan untuk mencapai pelaksanaan
konsep hukum restoratif yang berkeadilan, yakni dengan menerapkan kombinasi hukum
adat dalam situasi masyarakat pedesaan yang tertutup di masa lalu, ke arah konteks
masyarakat yang terbuka di era global modern masa kini.
Abstract
The legacy of postcolonial scholars has preserved the meaning of traditional law based on
genealogical and territorial intimate relationship. Spreading at local various tribes in more
than 200 kinds of unique tradition within the archipelago along this country, each of the
society has separately developed their traditional law with its particular court institution, from
splendid isolation rural area context into Indonesian modern era of urban migran open society.
Alternative Dispute Resolution thereof has been promulgated as the Law number 30 of 1999.
It was prepared during the Indonesian multicrisis at the beginning of reformation era. Much
more expectation is borne in cutting the sophisticated multifaceted off the implications practices
to the private legal proceeding. This paper intends to elaborate the picturesque of traditional
court institution, could it be empowered into practice for alternative dispute resolution within
the prevailing recent law. It may affect the pursuant of restorative justice concept, combining
traditional isolation context during the ancient rural area within the open society in modern
global context.
ABSTRAK ix
REDENOMINASI RUPIAH DALAM PRESPEKTIF HUKUM
Abstrak
Redenominasi merupakan salah satu wacana yang akan dilakukan oleh Pemerintah
dengan tujuan untuk mengefektifkan perekonomian agar menjadi lebih efisien serta
untuk meningkatkan kebanggaan rupiah di mata dunia Internasional. Namun untuk
mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara yang mudah, mengingat masih banyaknya
pro-kontra di dalamnya. Redenominasi memang memberikan banyak manfaat namun
juga dapat menimbulkan dampak negatif yakni inflasi akibat pembulatan harga. Kiranya
perlu adanya persiapan yang harus dilakukan oleh Indonesia seperti mempersiapkan
landasan hukum guna menjamin kepastian dan perlindungan hukum, menyiapkan
infrastuktur yang sudah disetting dengan tepat serta sosialisasi intensif kepada masyarakat.
Pengaturan yang komprehensif sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum
mengingat hukum sudah sepantasnya bertujuan untuk mewujudkan apa yang menjadi
faedah bagi banyak orang.
Abstract
Redenomination is one of the discourse that will be conducted by the Government to effecting
the economy that will become more efficient and to increase pride in the eyes of the International.
But to achieve this goal is not easy, since there are many pros and cons in it. Redenomination
does provide many benefits but also can negatively impact the price inflation due to rounding.
However, the preparations should be done by Indonesia such as ensuring legal certainty and
legal protection, setting up the infrastructure that has been configured in a proper and giving
intensive socialization to the community. Comprehensive arrangement is needed to ensure legal
certainty so can giving the benefits for many people.
ABSTRAK xi
PENGHAPUSAN TAHAPAN PENYELIDIKAN
DALAM RUU TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
Marfuatul Latifah
Abstrak
Penghapusan tahapan penyelidikan dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang
Hukum Acara Pidana akan mengubah sistematika hukum acara pidana di Indonesia.
Tulisan ini bermaksud mengkaji penghapusan penyelidikan dan konsekuensi yang
akan ditimbulkan. Mengingat penyelidikan telah digunakan selama lebih dari tiga
puluh tahun di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia dan banyak tindak
pidana yang menggantungkan pemecahan perkara melalui tahapan penyelidikan seperti
tindak pidana narkotika dan tindak pidana korupsi, hal tersebut dapat mengakibatkan
perubahan mendasar dalam praktik hukum acara pidana dan menimbulkan hambatan
bagi penyelesaian perkara pidana khususnya tindak pidana temuan.
Abstract
The Removal of Investigation at Criminal Law Procedure bill, would change the system of
criminal law procedure in Indonesia. This paper intends to analyze the removal of investigation
and the consequences. Considers that the investigation have been used for over thirty years
at the criminal justice system in Indonesia and many criminal offences solved by using the
investigation method, for example Narcotics and Corruption. It might be caused fundamental
change in the practice of criminal procedure law and raises barriers to the completion of the
criminal cases in particular fond-case.
Abstrak
Historiografi ketatanegaraan Indonesia telah mencatat bahwa telah sebanyak dua kali
Presiden di Indonesia diturunkan ditengah masa jabatannya. Catatan sejarah tersebut rupanya
menyisakan polemik. Untuk itulah kemudian di bawah kepemimpinan Mohammad Amien
Rais, MPR melakukan perubahan UUD 1945 yang menjadi salah satu tujuan dari reformasi.
Perubahan tersebut tidak hanya memperbaiki mekanisme pemakzulan di Indonesia, namun
juga menjadikan UUD 1945 tidak lagi sebagai UUD sementara sebagaimana yang diutarakan
Soekarno dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus
1945. Sejatinya proses pemakzulan pasca reformasi merupakan bentuk check and balances atas
pemilihan Presiden secara langsung. Sehingga ada legitimasi yang besar dalam pemerintahan
pada satu sisi, juga dalam sisi yang lainnya hal itu diimbangi dengan proses pertanggungjawaban
yang terukur. Secara akademik, konsep tersebut tentu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Tinggal
bagaimana hal ini terimplementasi dalam bentuk regulasi, mulai dari undang-undang dasar
hingga aturan-aturan lain dibawahnya yang menjadi penjabaran-penjabaran yang lebih rinci
dan jelas. Tulisan ini mencoba untuk membedah hal tersebut dengan dimulai dari pembahasan
struktur ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi yang menganut prinsip checks and balances
di dalamnya, kemudian dilanjutkan dengan ulasan mengenai proses pemakzulan di Indonesia,
yang pada akhirnya dari kedua variabel tersebut dibedah dengan teori-teori yang mengulas
tentang sistem chesks and balances dalam sistem ketatanegaraan pada sebuah Negara.
Abstract
Historiography of Indonesia constitutional has noted that the President of Indonesia has twice
lowered in the middle of his tenure. The historical record apparently leaves a polemics. In
this case under the leadership of Mohammad Amien Rais, MPR (Majelis Permusyawaratan
Rakyat) make changes UUD 1945 to be one of the purposes of the reform. The changes are
not only revise mechanism of impeachment in Indonesia, but also makes the 1945 Constitution
no longer as temporary as stated Soekarno in the PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) Indonesia Independence Preparatory Committee meeting dated August 18, 1945.
even impeachment process after reformation is form of Checks and balances on the direct
election of the President. so there is legitimacy in the Goverment on the one hand in one side,
and the other side it is balanced measurable accountability proccess. Academically, the concept
is certainly based on science. How this implemented in the form of regulation , start from basic
laws to other rules it below to be explanations more detail and clear. This paper try to explain
these cases started from criticism structure of Indonesia constitutional after the reform that
embracing Checks and Balances principle. Then followed by a review of the impeachment
process in Indonesia, and then the end of two variables are elaborate more deeply with teories
Checks and Balances system in the state system in a country.
ABSTRAK xiii
LAND REFORM MELALUI PENETAPAN
LUAS TANAH PERTANIAN
(KAJIAN YURIDIS TERHADAP UU NO. 56/PRP/ TAHUN 1960
TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN)
Sulasi Rongiyati*
Abstract
Land reform is intended to improve the welfare of the people, especially farmers who
lessland. Juridical implementation of land reform in Indonesia is based on UUPA
restrictions governing the ownership and control of land and described by Act No.
56/Prp/ 1960 on Agricultural Land Area Determination. Land Reform Act is
implemented through setting minimum and maximum area of agricultural land and
land redistribution. However, the implementation of this Act has not been effective
because some provisions could potentially do to avoid smuggling law provision barring
agricultural land and supporting policies that have not been adequate.
Kata kunci: Land reform, redistribusi tanah, dan UU No. 56/Prp/Tahun 1960.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan agraria yang populis di Indonesia ditandai dengan
diundangkannya suatu produk hukum yang sangat fundamental, yaitu Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) menggantikan hukum tanah produk pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Dalam perkembangannya penerapan hukum tanah yang pro-rakyat
berdasarkan UUPA, mengalami pergeseran setelah pemerintah Orde Baru
menerapkan kebijakan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, sehingga
kebijakan pertanahan di Indonesia lebih berpihak pada kepentingan investor.
Kondisi tersebut terus berlangsung, meski sudah lebih dari setengah abad
UUPA berlaku. Sebagai dampaknya berbagai peraturan perundang-undangan
di bidang pertanahan yang semula dibentuk dengan tujuan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945),dalam
pelaksanaannya “jauh panggang dari api”. Bahkan banyak peraturan perundang-
*
Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
Sekretariat Jenderal DPR RI (e-mail: susidhan@yahoo.com).
B. Permasalahan
Penetapan luas tanah maksimum merupakan amanat UUPA telah lebih dari
50 tahun diatur dalam UU PLTP dan belum pernah sekalipun dilakukan revisi
atau perubahan. Namun, praktik di lapangan menunjukan kepemilikan dan
penguasaan lahan pertanian oleh petani jauh dari luas minimum yang ditentukan
dalam UU PLTP. Pada sisi lain, di lapangan banyak ditemukan penguasaan lahan
pertanian lebih dari ketentuan luas maksimum. Berdasarkan permasalahan
tersebut, pertanyaan yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimana ketentuan Land Reform dalam Hukum Tanah Nasional?
2. Mengapa ketentuan tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian sebagaimana
diatur dalam UU PLTP tidak implementatif?
III. ANALISIS
1. Land Reform dalam Hukum Tanah Nasional
Berlakunya UUPA telah memberikan perubahan alur politik agraria dari
politik agraria kolonial ke poltik agraria nasional.12 Politik agraria nasional
mengedepankan kesejahteraan rakyat dalam mengelola dan memanfaatkan
sumber agraria terutama tanah. Khusus terkait kebijakan land reform, upaya
meningkatkan kesejahteraan rakyat diwujudkan melalui pemberlakuan beberapa
peraturan pelaksana UUPA, antara lain: UU PLTP, PP No. 10 Tahun 1961
6
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 203
7
BPN-RI, Pengembangan dan Pemantapan Program Strategis BPN-RI, Pemaparan Kepala BPN-RI pada
pembukaan Rakernas, 2010, hal.17.
8
Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1985, hal.11.
9
Ari Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah..., hal. 19.
10
Dalam Ira Sumaya, Analisis Hukum Land Reform Sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan Masyarakat,
Tesis, Universitas Sumatera Utara, hal. 45.
11
Chadidjah Dalimunthe dalam Ira Sumaya, Analisis Hukum Land Reform..., hal 46.
12
Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994,hal.3.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Land Reform di Indonesia didasarkan pada Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 17
UUPA yang kemudian dijabarkan dalam UU PLTP. Berdasarkan UU PLTP
Land Reform penetapan batas minimum dan maksimum luas tanah pertanian
serta redistribusi tanah baik dari tanah negara maupun tanah kelebihan luas
maksimum yang telah diambil alih pemerintah melalui pemberian ganti kerugian.
Pelaksanaan UU PLTP kurang efektif karena beberapa kendala seperti penetapan
batas luas minimum tanah pertanian sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk,
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tanah, faktor ekonomi dan sosial
budaya masyarakat pemegang hak atas tanah pertanian, serta keterbatasan
kebijakan pendukung pengusahaan tanah pertanian. Sedangkan ketentuan
batas luas maksimum tanah pertanian implementasinya terkendala antara lain
oleh faktor yuridis formal sehingga berpotensi terjadinya penyelundupan hukum
untuk menghindari ketentuan pembatasan maksimum luas tanah pertanian dan
kurangnya pengawasan dari Pemerintah.
B. Saran
Mengingat peran penting ketersediaan tanah pertanian guna menopang
ketahanan pangan nasional serta dalam rangka mewujudkan kesejahteraan petani
Indonesia, khususnya petani tanpa lahan dan petani dengan lahan di bawah batas
minimum kepemilikan tanah pertanian maka UU PLTP masih diperlukan dengan
beberapa penyempurnaan sesuai kondisi masyarakat serta dengan memperhatikan
kearifan lokal yang dimiliki masing-masing daerah. Penyempurnaan terhadap
UU PLTP dapat dilakukan melalui Revisi UU No. 56/Prp/tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian atau dengan memuat substansi pengaturan UU
PLTP ini ke dalam RUU tentang Pertanahan yang saat ini sedang dipersiapkan
untuk dibahas bersama antara DPR RI dengan Pemerintah.
Buku
A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem Hukum UUPA, Bandung:
Mandar Maju, 1989.
Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Press, 1985.
Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Yogyakarta:Gajah Mada University
Press, 1994.
Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Prespektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2008.
S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola
Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan
Obor, 2008.
Suhariningsih, Tanah Terlantar: Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban,
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2009.
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
BPN-RI, “Pengembangan dan Pemantapan Program Strategis BPN-RI”,
Pemaparan Kepala BPN-RI pada pembukaan Rakernas, 2010.
“Reforma Agraria Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan
Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, BPN RI, 2007.
Surat Kabar
“Konferensi La Via Campesina: Konflik Agraria Dianggap Persoalan Paling
Krusial”, Kompas,13 Juni 2013.
“Lahan Pertanian 100.000 Ha Lahan Beralih Fungsi”, Kompas, 13 Juni 2013.
“Pangan Jadi Alat Spekulasi: Konferensi Petani Internasional di Jakarta”, Kompas,
5 Juni 2013
Harris Y. P. Sibuea*
Abstract
Utilization and use of land above ground level where the overload caused by the
increasing urbanisation especially to big cities. Increasing urbanisation is not
offset by the amount of land area on the surface of the earth is ultimately looking
for underground space for use as a place of residence, business interests, public.
Legal certainty over ownership of the land was legal basis, but the vacancy against
setting use of underground space. Underground spaces such as in Kota and Blok-M
is not only used as a bus-way arrival-departure terminal, but also utilized for the
business activities of the society. Utilization of underground space is no agrarian
areas regulations that govern it. The law must respond to the legal vacuum in which
required a policy governing the use of the right underground space, to prevent conflicts
in the future and where a legal certainty in the field of agrarian.
Kata Kunci: Hak guna ruang bawah tanah, kepastian hukum, dan kekosongan
hukum.
A. Latar Belakang
Pemikiran atas lahirnya hak guna ruang bawah tanah sebagai lembaga
hak baru sudah lama ada yang digagas oleh salah satu pakar hukum agraria
Indonesia yaitu almarhum Boedi Harsono. Pemikiran beliau menurut penulis
berdasarkan adanya dugaan di masa yang akan datang atau sekarang ini
dipastikan pemanfaatan atau penggunaan bidang tanah akan semakin terbatas.
Terbatasnya tanah tersebut dikarenakan arus urbanisasi terutama ke kota-kota
besar yang memerlukan bertambahnya penyediaan tempat bermukim baik untuk
kepentingan pribadi atau kepentingan bisnis. Pemikiran tersebut terbukti benar
bahwa semakin sulitnya mencari bidang tanah untuk dimanfaatkan dengan
status hak-hak atas tanah primer.
Sebagaimana diketahui penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun
dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi alas hak atas tanah yang diatur
dalam hukum tanah nasional sesuai dengan status hukum yang menguasai dan
peruntukan penggunaan tanahnya. Sekarang ini hak-hak atas tanah yang tersedia
*
Penulis adalah Peneliti Pertama Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pelayanan Data dan Informasi
(P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, e-mail: harris.sibuea@dpr.go.id
B. Perumusan Masalah
Penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan pemanfaatan ruang di
bawah tanah yang tidak diakomodir jenis alas haknya di dalam bidang agraria
dengan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana urgensi atas kebutuhan yang mendesak terhadap pengaturan
pemanfaatan ruang di bawah tanah?
2. Bagaimana substansi pengaturannya terkait pemanfaatan ruang di bawah
tanah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan utama yang hendak dicapai dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. mengetahui urgensi atas kebutuhan yang mendesak terhadap pengaturan
pemanfaatan ruang di bawah tanah;
2. mengetahui substansi peraturan terkait pemanfaatan ruang di bawah tanah.
8
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi ... , Hal. 210.
9
Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum:Strategi ... , Hal. 211.
10
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Hal. 4-6.
F. Penutup
1. Kesimpulan
Urgensi peraturan yang menjadi landasan hukum atas pemanfaatan ruang
bawah tanah dirasa kurang karena ada kekosongan hukum yang menjadi induk
peraturan atas alas hak pemanfaatan hak guna ruang bawah tanah. Hal ini
dibuktikan sampai saat ini UUPA maupun peraturan perundang-undangan yang
lain belum mengatur secara jelas mengenai alas hak guna ruang bawah tanah
sebagai payung hukum penggunaan ruang bawah tanah.
Pengaturan hak guna ruang bawah tanah sebagai lembaga hak baru dalam
hukum tanah nasional sangat diperlukan dalam peraturan perundang-undangan
di bidang agraria dengan subtansi sebagai berikut: nama hak, subyek hak, obyek
hak, jangka waktu pemanfaatan hak, hak dan kewajiban pemegang hak. Selain
itu dari segi tata ruang diperlukan peraturan teknis seperti ukuran kedalaman
dari ruang di bawah tanah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi
maupun bersama.
2. Saran
Berbagai opsi dapat dijadikan bahan masukan bagi pengambil kebijakan
khususnya dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Pertanahan yakni
Pertama, kebijakan yang membiarkan kepemilikan ruang di bawah tanah
tanpa ada alas hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berdampak akan terjadinya konflik kepemilikan atas ketidakpastian hukum di
masa yang akan datang; Kedua, kebijakan yang merespons kekosongan hukum
yang terjadi di masyarakat terkait belum diaturnya alas hak bagi penggunaan
dan pemanfaatan ruang di bawah tanah yang dampaknya akan sangat berguna
di berbagai bidang baik ekonomi, hukum, sosial maupun politik. Hal ini dapat
diakomodir dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang sedang disusun
oleh Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai usul inisiatif
dengan induknya UUPA. Terkait dengan memenuhi hukum yang responsif, maka
diharapkan diakomodir tentang kepemilikan hak guna ruang bawah tanah yang
perlu diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksananya.
Buku
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Ed. Rev. Cet. 7. (Jakarta: Djambatan,
1997).
Sumardjono, Maria S. W. Tanah: Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya.
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009).
Supriadi. Hukum Agraria. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Ed. I. Cet. IV.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
Tanya, Bernard L., dkk. Teori Hukum:Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi. Cet. ke - III. (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010).
Artikel Jurnal
Adnan, Asmadi, Keberadaan dan Pengaturan Hak-Hak Ruang Atas Tanah dan Ruang
Bawah Tanah, Jurnal Ilmiah:Hasil-Hasil Penelitian Dan Kajian Pertanahan,
Ed. IX, No. 1, 2008, Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan
Nasional, 2007, ISSN: 1410-1971.
Artikel Internet
DKI Butuh Tata Ruang Bawah Tanah, http://www.bkprn.org/v2/subpage.
php?id=205, diakses 2 Juni 2013.
Indra Gumilar, dkk, Dir. Pendaftaran Hak Tanah dan Guna Ruang, http://eleveners.
wordpress.com/2010/01/19/dir-pendaftaran-hak-tanah-dan-guna-ruang/,
diakses 5 Juni 2013.
Ruang Bawah Tanah, Solusi Kependudukan Jakarta?, http://www.forumbebas.com/
thread-79576.html, diakses 12 Juni 2013.
Nikolas Simanjuntak*
Abstract
The legacy of postcolonial scholars has preserved the meaning of traditional law
based on genealogical and territorial intimate relationship. Spreading at local various
tribes in more than 200 kinds of unique tradition within the archipelago along this
country, each of the society has separately developed their traditional law with its
particular court institution, from splendid isolation rural area context into Indonesian
modern era of urban migran open society. Alternative Dispute Resolution thereof
has been promulgated as the Law number 30 of 1999. It was prepared during the
Indonesian multicrisis at the beginning of reformation era. Much more expectation
is borne in cutting the sophisticated multifaceted off the implications practices to the
private legal proceeding. This paper intends to elaborate the picturesque of traditional
court institution, could it be empowered into practice for alternative dispute resolution
within the prevailing recent law. It may affect the pursuant of restorative justice
concept, combining traditional isolation context during the ancient rural area within
the open society in modern global context.
Kata Kunci: Lembaga peradilan adat, penyelesaian sengketa alternatif, era
moderenisasi di Indonesia, dan konsep keadilan restoratif.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Entitas “Lembaga Adat” an sich, per se, di era generasi digital1 terkini, sudah
menjadi soal yang sarat beban untuk dipahami, terlebih lagi untuk bisa diterapkan
sesuai dengan subtansi maksudnya. Dengan sengaja Penulis menegaskan era terkini
*
Penulis adalah Tenaga Ahli Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR RI
1
Generasi digital, dirujuk dari artikel Radhar Panca Dahana (Kompas, 28/xi/2012, hlm.6) antara lain
“Mereka, yang kerap disebut sebagai iGeneration (i:Internet) atau NetGeneration atau Generation@,
adalah gelombang manusia tumbuh bahkan menjadi digital: generasi digital! …Manusia-manusia yang
sangat praktis, bahkan hiperpragmatis, dengan kantong yang tipis tetapi padat isi dan makna, ada dunia
di dalam sakunya, dalam bentuk yang tidak lebih besar dari bungkus rokoknya… mengakses dan merepsi
data, kata, dan makna dengan cubitan di kotak screen. Dengan ujung telunjuknya mereka memindai
semesta dalam kecepatan daya tangkap visual dan kognitif yang luar biasa. Mereka tahu banyak, bahkan
terlalu banyak. Namun tetap dalam paradoks: mereka juga tak tahu banyak …generasi canggih ini
sebenarnya juga terluka oleh krisis-krisis politik, moneter, hingga lingkungan yang diproduksi oleh sistem
hasil ciptaan kakek dan buyutnya…”
B. Rumusan masalah
Ada ragam soal menarik yang bersifat praktis, teoritis konsepsional beraras
sosio-kultural, bahkan yang bersifat filosofis, bisa dikembangkan dari upaya
penguatan Lembaga Adat sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di dalam
sistem hukum Indonesia masa kini dan ke depan. Namun, di dalam makalah
singkat dengan ruang terbatas ini, Penulis hanya bermaksud berusaha membahas
secara lebih mendalam mengenai satu masalah pokok saja yang dibatasi berikut
ini, yakni: dalam konteks situasi apa dan bagaimakah masih relevan menerapkan
Lembaga Peradilan Adat sebagai APS di era modern Indonesia terkini?
C. Tujuan penulisan
Searah dengan latar situasi kontras yang diuraikan di atas itu, dan menjadi
sangat terbatas pada rumusan pokok masalah di atas itu, maka tujuan penulisan
ini diharapkan bisa menjadi:
a) analisis teoritis yang komprehensif sebagai landasan rencana aksi untuk
merancang berbagai upaya penguatan Lembaga Adat sebagai APS;
b) pemaparan gambaran situasi mengenai berbagai implikasi praktis dan teoritis untuk
menggunakan Lembaga Adat sebagai APS dalam konteks sosio-kultural terkini.
C. Metode penulisan
Metode penulisan makalah ini pada umumnya akan dilakukan secara deskriptif
analitis. Berbagai analisis eksploratif akan dilakukan terhadap yang diperoleh dari sumber
literature review. Untuk deskripsi situasi konteks dan narasi dari contoh kasus APS, akan
dilakukan sebentuk pendalaman melalui analisis reflektif dengan maksud supaya dapat
dikembangkan di kemudian hari oleh Penulis sendiri maupun para Penulis lain-lain.
III. PEMBAHASAN
A. Lembaga Adat dan Implikasi Praktisnya di Era Generasi Modern Terkini
Di era modern terbuka saat ini, tampak kuat terjadinya situasi dilematis
posisi Lembaga Adat, bilamana dikonstruksi ke dalam konteks seperti adanya di
B. Saran
Langkah praktis operasional untuk melaksanakan ragam aksi yang dipaparkan
dalam makalah ini, disarankan agar bisa ditindaklanjuti dengan berbagai upaya
best efforts, best practices and best services yang serius dan tegas dari semua pihak,
dan tentu saja fasilitasi berbagai sarana dan dana, serta keahlian lintas-profesi,
dengan dukungan masyarakat dan pemerintah di pusat dan daerah. Disamping
itu, tentu saja perlu ditindaklanjuti dengan segala upaya kerja keras kita semua
sejak tahap awal hingga di tahap evaluasi akhir.
Abstract
Redenomination is one of the discourse that will be conducted by the Government to
effecting the economy that will become more efficient and to increase pride in the eyes
of the International. But to achieve this goal is not easy, since there are many pros
and cons in it. Redenomination does provide many benefits but also can negatively
impact the price inflation due to rounding. However, the preparations should be done
by Indonesia such as ensuring legal certainty and legal protection, setting up the
infrastructure that has been configured in a proper and giving intensive socialization
to the community. Comprehensive arrangement is needed to ensure legal certainty so
can giving the benefits for many people.
Kata kunci: Redenominasi, sanering, pro-kontra, dan inflasi.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai amanah Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia, redenominasi merupakan salah satu tugas dari Bank Indonesia dalam
rangka menjalankan dan menjaga kelancaran sistem pembayaran yang efisien,
aman, handal dan cepat di Indonesia.1 Redenominasi rupiah dimaksudkan
sebagai penyederhanaan denominasi (pecahan) mata uang dengan cara
mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Jadi
nantinya akan ada mata uang baru Rp100 untuk Rp100.000,-, Rp50 baru untuk
Rp50.000,- , Rp5 baru untuk Rp5.000,- kemudian Rp50 sen untuk Rp500,- dan
seterusnya. Redenominasi rupiah berbeda dengan kebijakan sanering yang dulu
pernah dilakukan Indonesia pada jaman pemerintahan Orde Baru. Redenominasi
adalah pemotongan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa harus mengubah
nilai tukarnya. Sementara sanering adalah suatu kebijakan memotong nilai uang
50% dari nilai nominal. Sederhananya jika kita mempunyai uang Rp1000,-
maka nilainya tinggal Rp500,-. Jadi apabila kita mempunyai simpanan deposito
sebesar Rp1 miliar maka dalam jangka waktu satu hari, simpanan akan hilang
setengahnya. Sayangnya, nilai yang dipotong hanya posisi nilai uang saja
*
Penulis adalah Peneliti Muda Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail: triaspalupikurnianingrum@yahoo.com.
1
Pasal 7 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
2. Pengertian Sanering
Sanering berasal dari bahasa belanda yang berarti penyehatan, pembersihan
atau reorganisasi. Dalam ilmu ekonomi, sanering adalah pemotongan nilai uang
tanpa mengurangi nilai harga sehingga daya beli masyarakat menurun.5 Sanering
pernah dilakukan pada saat Orde Lama, yakni tahun 1950 untuk mengatasi situasi
perekonomian Indonesia yang sedang terpuruk antara lain hutang menumpuk,
inflasi tinggi dan harga melambung. Kebijakan sanering pada waktu itu dikenal
dengan sebutan “gunting syariffuddin”, yang kemudian dilanjutkan Pemerintah
pada tahun 1959 dan terakhir pada tahun 1965.
Gunting Syafruddin adalah sebuah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh
Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II yang
mulai berlaku pada tanggal 10 Maret 1950. Menurut kebijakan itu, “uang merah”
(uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp5 ke atas digunting
menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah
dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus. Kebijakan ini
dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk
(utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung).6
Dampak negatif sanering yang pernah dilakukan pada saat orde pemerintahan
lama, yakni:
a. kebijakan sanering yang dilakukan pada tahun 1950 dirasakan kurang tepat
karena tindakan sanering justru meyebabkan rakyat semakin menderita.
Kebijakan sanering cenderung dilakukan demi kepentingan pemerintah
semata, yakni untuk melunasi hutang pemerintah yang menumpuk tanpa
memikirkan kesulitan rakyat yang disebabkan pemotongan nilai rupiah
tersebut;
4
“BI: Perekonomian Stabil, Syarat Utama Penerapan Redenominasi”, http://www.infobanknews.com/2013/01/
bi-perekonomian-stabil-syarat-utama-penerapan-redenominasi/, diakses tanggal 23 Januari 2013.
5
“Perbedaan Redenominasi dengan Sanering”, http://klik-fe.blogspot.com/2011/03/perbedaan-redenominasi-
dengan-sanering.html, diakses tanggal 20 Februari 2013.
6
“Gunting Syafruddin”, http://id.wikipedia.org/wiki/Gunting_Syafruddin, diakses tanggal 20 Februari
2013.
3. Teori Hukum
Teori mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini disebabkan karena
teori itu menjelaskan suatu fenomena. Teori menurut Fred N. Kerlinger adalah
seperangkat konstruk (konsep), batasan, dan proposisi yang menyajikan
pandangan sistematis tentang fenomena dengan memerinci hubungan-hubungan
antar variabel dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksi gejala itu.7
Hukum pada dasarnya memerlukan kebijakan dalam arti yang positif, karena
memang harus diakui bahwa hukum sebenarnya merupakan produk politik.
Kebijakan dalam arti positif, mengandung makna sebagai penjamin adanya
kepastian hukum (rechtmatigheid) maupun keadilan hukum (doelmatigheid).8
Hukum juga dapat dikatakan sebagai suatu wadah untuk memberikan legitimasi
dan juga legalitas terhadap suatu kebijakan yang dihasilkan melalui produk
hukum yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan
dominan. Oleh karena itu, di dalam menentukan politik hukum harus bertolak
pada suatu tujuan yang dirumuskan bersama sebagai sasaran yang akan dicapai
dalam setiap pembentukan hukum.9
Hukum memiliki suatu tujuan. Menurut teori utilitas (manfaat) yang
dikemukakan oleh Jeremy Bentham, digunakan untuk menjelaskan konsep
kebahagiaan atau kesejahteraan. Jeremy Bentham melalui bukunya “introduction
to the morals and legislation”, berpendapat bahwa tugas hukum adalah memelihara
kebaikan dan mencegah kejahatan, sehingga hukum harus memberikan
manfaat atau kegunaan bagi orang banyak (to serve utility).10 Hukum sudah
sepantasnya bertujuan untuk mewujudkan apa yang menjadi faedah bagi orang
yang satu dapat juga merugikan orang lain, maka tujuan hukum ialah untuk
memberi faedah sebanyak-banyaknya sehingga kepastian melalui hukum bagi
perorangan merupakan tujuan utama daripada hukum. Sayangnya, teori ini
7
Fred N. Kerlinger, Asas-asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990, Hal.
14-15.
8
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, Jakarta: Akademia, 2012, hal. 56.
9
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, hal. 58.
10
Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan)diterjemahkan oleh Nurhadi,
Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2006, hal. 26.
III. PEMBAHASAN
A. Persiapan Indonesia dalam Menghadapi Redenominasi Rupiah
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator makro yang
menggambarkan pertumbuhan barang dan jasa di suatu wilayah pada waktu
tertentu. Sedangkan stabilitas perekonomian dalam suatu negara dipandang
sangat penting sehingga merupakan tujuan utama pembuat kebijakan dalam
mengarahkan berbagai instrumen fiscal dan moneter. Dengan demikian stabilitas
pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan kegiatan perekonomian dalam
bentuk perdagangan barang atau jasa dan transaksi keuangan. Keadaan ini
haruslah diimbangi dengan tersedianya mata uang sebagai alat tukar pembayaran
atas barang dan jasa dalam jumlah yang memadai, karena secara tidak langsung
keberadaan uang juga menunjukkan kekayaan seseorang dan kedaulatan suatu
negara.
Dalam dunia perekonomian peranan uang sangat vital. Di dalam lalu lintas
perekonomian baik nasional maupun internasional, lazimnya uang diartikan
sebagai alat pembayaran yang sah. Uang adalah sesuatu yang secara umum
diterima di dalam pembayaran untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa
serta untuk pembayaran hutang-hutang. Fungsi uang itu sendiri selain sebagai
alat penukar juga digunakan sebagai alat pengukur harga. Uang dikatakan sebagai
alat penukar khususnya dalam hubungan transaksi jual beli, sedangkan pengukur
harga artinya digunakan untuk penetapan harga. Tanpa uang, perekonomian
suatu negara akan lumpuh bahkan tidak dapat dilaksanakan.
Sebenarnya jika dicermati, materi redenominasi awalnya masuk ke dalam
UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, namun oleh sebagian kalangan hal
tersebut dibatalkan karena redenominasi kemudian akan dibentuk menjadi
undang-undang tersendiri. Hal ini diperkuat dalam Pasal 23B UUD Tahun 1945
yang mengamanatkan bahwa macam dan harga mata uang ditetapkan dengan
11
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010, hal. 37.
18
“Redenominasi dan Sanering”, http://setiyonoachmad.blogspot.com/2012/12/redenominasi-dan-
senering_16.html, diakses tanggal 20 Februari 2013.
19
Pasal 3 Perpu No. 3 Tahun 1959 tentang Pembekuan Sebagian Dari Simpanan Pada Bank-Bank.
20
Perpu No. 2 Tahun 1959 tentang Penurunan Nilai Uang Kertas dan Perpu No. 3 Tahun 1959 tentang
Pembekuan Sebagian Dari Simpanan Pada Bank-Bank.
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia,
tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
terhadap barang dan jasa yang tercermin dari tingkat inflasi yang rendah, dan
mata uang negara lain yang tercermin dari stabilitas kurs valuta asing.22 Bank
Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten,
transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di
21
Materi Konsultasi Publik Perubahan Harga Rupiah “Redenominasi Bukan Sanering”, Jakarta 23 Januari
2013.
22
Pasal 7 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.
Tahun 2013-2015 dikatakan sebagai masa transisi. Pada masa transisi nanti
akan digunakan dua mata uang rupiah, yakni uang rupiah lama dan uang rupiah
baru hasil redenominasi. Pada masa ini masyarakat dapat menggunakan dua
mata uang tersebut dalam melakukan transaksi sampai akhirnya uang rupiah
lama akan ditarik oleh Bank Indonesia (tahun 2016-2018). Tahun 2019-2022
semua masyarakat akan melakukan transaksi dengan uang rupiah yang telah
diredenominasi. Secara garis besar pelaksanaan redenominasi mata uang
dilakukan menjadi 4 (empat) tahap, yaitu tahap penyiapan, tahap pemantapan,
tahap implementasi dan transisi, serta tahap phasing out, yakni suatu tahap
dimana seluruh transaksi nantinya akan menggunakan mata uang rupiah baru.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Redenominasi yang merupakan salah satu program kebijakan Bank
Indonesia untuk menyederhanakan nilai mata uang ternyata menuai pro-kontra
di dalamnya, hal ini dikarenakan adanya perdebatan masyarakat mengenai
hal tersebut. Ada yang setuju, tidak setuju bahkan sempat menyalahartikan
pengertian redenominasi dengan sanering yang dulu pernah diberlakukan pada
saat pemerintahan Orde Baru. Kekhawatiran masyarakat cukup beralasan
mengingat kebijakan sanering yang diberlakukan justru semakin membuat rakyat
menderita. Materi redenominasi yang dulu sempat masuk dalam UU No. 7
Tahun 2011 tentang Mata Uang akhirnya dikeluarkan untuk menjadi undang-
undang tersendiri, sesuai amanah Pasal 23B UUD Tahun 1945 dan Pasal 3 ayat
(5) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Ada beberapa point penting
kesiapan Indonesia dalam menghadapi redenominasi, yakni: Pertama, perlu
adanya payung hukum atau landasan hukum tegas yang mengatur mengenai
redenominasi untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum. Hal
ini telah diantisipasi oleh Pemerintah melalui RUU tentang Perubahan Harga
Rupiah yang akan segera dibahas bersama DPR RI. Kedua, sosialisasi intensif
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka terdapat beberapa masukan atau saran
diantaranya sebagai berikut :
1. Salah satu resiko yang dapat terjadi di dalam kebijakan redenominasi adalah
potensi kenaikan harga. Hal ini dipicu akibat pembulatan harga-harga ke atas
secara berlebihan dikarenakan adanya kepentingan pribadi. Oleh karenanya
resiko ini dapat diminimalisir melalui undang-undang yang tegas mengatur
praktek pembulatan harga, termasuk kriteria kewajaran, pengawasan dan
penindakan yang tegas bagi yang melanggar. Materi ini kiranya dapat
dimasukkan ke dalam draft Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
Harga Rupiah.
2. Perlu adanya kerjasama dengan pihak-pihak terkait, dalam hal ini institusi
penyusunan standard akutansi privat (IAI) dan penyusun standar akuntansi
pemerintah (KSAP) untuk memperoleh rekomendasi terkait proses
pencatatan dan pelaporan keuangan dengan adanya kebijakan redenominasi.
Dari sisi pemerintah, UU Perubahan Harga Rupiah harus mencantumkan
peraturan mengenai mekanisme penyusunan APBN untuk tahun awal
Literatur
Bentham, Jeremy. The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan)
diterjemahkan oleh Nurhadi, Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2006.
Dumairy, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1997.
Kerlinger, Fred N. Asas-asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1990.
Khalwaty, Tajul. Inflasi dan Solusinya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Materi Konsultasi Publik Perubahan Harga Rupiah “Redenominasi Bukan Sanering”,
Jakarta 23 Januari 2013.
Mertokusumo, Sudikno. Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2010.
Muliadi, Ahmad. Politik Hukum, Jakarta: Akademia, 2012.
Peraturan Perundang-undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Lembaran Negara
Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5223.
Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1959 tentang Penurunan
Nilai Uang Kertas
Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1959 tentang Pembekuan
Sebagian dari Simpanan Pada Bank-Bank.
Puteri Hikmawati*
Abstract
Corruption remains a serious problem in Indonesia, many cases are yet to be revealed.
One reason is the lack of witness evidence. This witnesses were reluctant to testify
because it might receive threats or intimidation from perpetrators. Witnesses and
complainants receive less legal protection. In the handling of corruption cases that
the term whistleblower and justice collaborator. This review is intended to assess the
formulation of legal norms that regulate the protection of witnesses and reporting
of corruption and its implementation. Witness protection regulation in corruption
has been stipulated in Law no. 31 of 1999 on Eradication of Corruption and Law
no. 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission. While the witness and
victim protection provisions generally are specifically provided in Law no. 13 of 2006
on the Protection of Witnesses and Victims. While protection of the complainant is
not regulated in detail in the Law no. 13 of 2006. Therefore, cause problems in
the implementation Supreme Court Circular (SEMA) no. 4 of 2011 was made to
adopt the term whistleblower and justice collaborator. However, the provisions of the
SEMA causes problems. On of them, the provisions of Law no. 13 of 2006 closed
opportunity for a reporting as whistleblower, who has a good faith, to be prosecuted
either criminal or civil. However, SEMA no. 4 of 2011 gives the opportunity to
process the whistleblower for the report had to say. Therefore, in the revised Law no.
13 of 2006 should be set against the whistleblower and justice protection in detail.
Kata kunci: Whistleblower, justice collaborator, perlindungan hukum, dan tindak
pidana korupsi.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia. Tindak pidana ini
telah menimbulkan kerugian keuangan negara dalam jumlah yang tidak sedikit.
Data dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC), pada tahun 2011
Indonesia berada di peringkat pertama sebagai negara terkorup dari 16 negara
*
Peneliti Bidang Madya Bidang Hukum Pidana pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
Setjen DPR RI, email: puterihw@yahoo.com
B. Permasalahan
Dengan berdasarkan pada asas kesamaan dalam hukum yang menjadi salah
satu prasyarat dalam suatu negara hukum, saksi dan pelapor dalam tindak pidana
korupsi harus pula diberi perangkat hukum untuk menjamin perlindungan
hukum. UU No. 13 Tahun 2006 yang mengatur perlindungan saksi dan korban,
dalam pelaksanaannya menimbulkan masalah dan perbedaan pendapat, apakah
whistleblower (pelapor), seperti Susno dan justice collaborator perlu dilindungi. Ada
perbedaan persepsi antara LPSK dengan Mabes Polri perihal penempatan rumah
tahanan. Menurut Lili, LPSK berpandangan bahwa Susno menjadi whistleblower
dalam kasus Gayus sehingga layak dilindungi, sebaliknya, Mabes Polri beranggapan
Susno menjadi tersangka dalam kasus SAL sehingga tak bisa mendapat
perlindungan. Awalnya LPSK akan menempatkan Susno pada tempat yang aman,
namun Polri berpendapat Susno layak ditempatkan pada Rumah Tahanan Mako
Brimob Kelapa Dua, Depok Jawa Barat.7 Perbedaan persepsi ini timbul karena
ketidakjelasan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006. Berdasarkan hal tersebut, maka
tulisan ini akan mengkaji bagaimana formulasi norma hukum yang mengatur
perlindungan saksi (justice collaborator) dan pelapor (whistleblower) tindak pidana
korupsi dalam peraturan perundang-undangan dan bagaimana pelaksanaannya.
6
“Perbedaan Whistle Blower dan Justice Collaborator”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt4fb7bff86349a/perbedaan-iwhistle-blower-i-dan-justice-collaborator-i, diakses tanggal 16 Maret 2013.
7
Ibid.
III. PEMBAHASAN
A. Analisis terhadap Formulasi Norma Hukum Pengaturan Perlindungan
Saksi (justice collaborator) dan Pelapor Tipikor (whistleblower)
Selama ini perhatian para pembuat kebijakan dan aparat penegak hukum
lebih mengarah terhadap pelaku tindak pidana, sangat kurang terhadap saksi
dan pelapor yang ikut berperan dalam mengungkap tindak pidana. Padahal,
telah ada undang-undang yang khusus mengatur perlindungan saksi, yaitu UU
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam konsiderans
UU tersebut, disebutkan bahwa UU ini diperlukan karena mengingat pentingnya
keterangan saksi dan/atau korban sebagai salah satu alat bukti dalam upaya
mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana, sementara penegak hukum sering mengalami kesulitan
disebabkan tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau karena adanya ancaman
terhadap saksi, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.
Sebelum pembentukan UU No. 13 Tahun 2006, kebijakan perlindungan saksi
untuk tindak pidana tertentu telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Dalam peraturan-peraturan tersebut terdapat perbedaan para
pihak yang perlu mendapat perlindungan. Dalam pelanggaran HAM misalnya,
perlindungan saksi dan korban diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP)
No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi
dalam Pelanggaran HAM yang Berat (peraturan pelaksana ketentuan Pasal
34 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM), perlindungan
saksi tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 5 PP No. 57 Tahun 2003
tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana
Pencucian Uang (peraturan pelaksana ketentuan Pasal 40 ayat (2) dan Pasal
42 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003), dan perlindungan
saksi tindak pidana terorisme diatur dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun 2003 tentang
Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim
dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme (peraturan pelaksana ketentuan Pasal
33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang).
Sri Hariningsih, “Kedudukan Surat Edaran dalam Tata Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia:
26
Buku
Barda Nawawi Arief, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Pascasarjana Universitas
Indonesia, 1992.
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum,
Jakarta: Penaku, 2012.
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983.
Internet
“PERC: Indonesia Negara Terkorup di Asia Pasifik”, http://metrotvnews.com/
read/ news/2011/08/11/60962/PERC-Indonesia-Negara-Terkorup-di-Asia-
Pasifik, diakses tanggal 1 Februari 2012.
“Korupsi Rugikan Negara Rp 39 T”, http://www.jambi-independent.co.id/jio/
index.php?option=com_content&view=article&id=17564:korupsi-rugikan-
negara-rp-39-t-&catid=6:ekobis&Itemid=8, diakses tanggal 5 Maret 2013.
“Polri: LPSK Lindungi Saksi, Susno Tersangka”, http://log.viva.co.id/news/ read/
153472-polrilpsk_lindungi_saksi__susno_tersangka, diakses tanggal 5 Maret 2013.
“Susno Tetap dalam Perlindungan LPSK”, http://www.hukumonline.com/berita/
baca/lt4d47d6096983a/susno-tetap-dalam-perlindungan-lpsk, diakses
tanggal 5 Maret 2013.
“Perbedaan Whistle Blower dan Justice Collaborator”, http://www.hukumonline.
com/ berita/baca/lt4fb7bff86349a/perbedaan-iwhistle-blower-i-dan-justice-
collabo-rator-i, diakses tanggal 16 Maret 2013.
“Silang Pendapat Perlindungan Saksi”, http://jurnalis.wordpress.com/2006/
01/31/silang-pendapat-perlindungan-saksi/, diakses tanggal 17 Mei 2010.
http://www.depdagri.go.id/media/documents/2011/01/11/p/e/permen_no.55-
2010.doc
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lain-lain
Risalah Rapat Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban Komisi III
DPR RI dengan Dirjen Perundang-undangan Departemen Hukum dan
HAM, 17 Mei 2006, Buku I Proses Pembahasan RUU tentang Perlindungan
Saksi dan Korban”, Setjen DPR RI, 2006.
Risalah Rapat Panja RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban Komisi III
DPR RI dengan Dirjen Perundang-undangan Departemen Hukum dan
HAM, 15 Maret 2006.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Marfuatul Latifah*
Abstract
The Removal of Investigation at Criminal Law Procedure bill, would change the
system of criminal law procedure in Indonesia. This paper intends to analyze the
removal of investigation and the consequences. Considers that the investigation have
been used for over thirty years at the criminal justice system in Indonesia and many
criminal offences solved by using the investigation method, for example Narcotics
and Corruption. It might be caused fundamental change in the practice of criminal
procedure law and raises barriers to the completion of the criminal cases in particular
fond-case.
Kata Kunci: Investigasi, hukum acara pidana, dan penegakan hukum.
I. LATAR BELAKANG
Setelah 31 (tiga puluh satu) tahun menjadi Pedoman bagi proses beracara
pidana di Indonesia, upaya penggantian terhadap UU Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana akhirnya menjadi prioritas bagi Dewan Perwakilan
Rakyat untuk menjadi salah satu rancangan Undang-undang yang akan dibahas
bersama dengan pemerintah melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas).1
Perubahan tersebut dianggap sangat mendesak, sebab dalam waktu yang cukup
lama telah terjadi perubahan yang besar dalam setiap aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia. Sebagai undang-undang yang merupakan produk tahun
1981, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dirasa telah memiliki
banyak kelemahan substansi yang kemudian menghambat dalam pelaksanaan
pedoman beracara hukum pidana di Indonesia. Upaya tersebut merupakan upaya
nyata untuk melakukan pembaruan hukum nasional baik secara formil maupun
materiil, penyusunan RUU tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) juga
diarahkan untuk mewujudkan demokratisasi dan konsolidasi hukum pidana serta
adaptasi dan harmonisasi terhadap perkembangan hukum yang terjadi.2
*
Peneliti Pertam Bidang Ilmu Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat
Jenderal DPR RI.
1
“Revisi KUHAP dan KUHP Masuk Prolegnas DPR 2013”, http://news.okezone.com/read/2012/12/17
/339/733176/revisi-kuhap-dan-kuhp-masuk-prolegnas-dpr-2013, diakses tanggal 19 Desember 2012.
2
“Komisi III DPR mulai membahas RUU tentang KUHP dan RUU tentang KUHAP”, http://www.
bphn.go.id/prolegnas/index.php?action=news, diakses tanggal 8 Maret 2013.
III. PEMBAHASAN
a. Kedudukan Penyelidikan dalam Penegakan Hukum Acara Pidana di Indonesia
Penyelidikan seperti yang telah disebutkan sebelumnya merupakan upaya
permulaan sebelum dilakukannya penyidikan terhadap sebuah peristiwa yang
diduga merupakan delik pidana. Penyelidikan bertujuan untuk mengumpulkan
bukti permulaan atau bukti yang cukup sehingga proses dapat ditingkatkan pada
tahapan penyidikan.
Pemisahan fungsi penyidikan dan penyelidikan dimaksudkan untuk
mempertegas diferensiasi fungsi dalam penegakan hukum, seperti yang selama ini
dianut dalam KUHAP. Diferensiasi fungsi antara penyelidikan dengan penyidikan
telah membentuk tahapan-tahapan tindakan dalam proses awal perkara sehingga
diharapkan dapat menghindari cara-cara penegakan hukum yang tergesa-gesa
yang dapat menimbulkan pelanggaran hak seseorang saat terjadinya pemeriksaan.
Selain itu dengan adanya penyelidikan maka diharapkan aparat penegak hukum
lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugas penegakan hukum.16
Pemisahan fungsi penyelidikan dan penyidikan terkadang menimbulkan
kerancuan dalam praktek lapangan. Status kasus pada tahap penyelidikan dan
penyidikan seringkali membuat masyarakat bingung. Bahkan tidak jarang terjadi
perbedaan pendapat yang cukup tajam di kalangan polisi sendiri mengenai status
suatu kasus, apakah masih dalam tahap penyidikan atau penyelidikan.17
Namun penyelidikan bukanlah proses yang berdiri sendiri terpisah dari
penyidikan18 dan dipisahkannya fungsi penyelidikan dalam KUHAP merupakan
upaya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia. Pada tanggal
6 Mei 1966 telah dilakukan simposium Angin baru di Universitas Indonesia.
Dalam simposium tersebut berhasil dirumuskan pokok-pokok pikiran sebagai
bagian dari usaha untuk memulihkan kehidupan negara hukum.19 Pokok-pokok
pikiran tersebut adalah pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang
mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, kultural
16
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan Edisi ke-
2, Cet. 14, Jakarta: 2012, Sinar Grafika, hlm. 102.
17
Adrianus Meliala, “Beda Penyelidikan dari Penyidikan”, Koran Tempo, 3 April 2009.
18
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Bandung: MandarMaju, 2001, hlm.
36-37.
19
A.C.’t Hart dan Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,
Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1986, hlm. 9.
IV. PENUTUP
Upaya perubahan atas UU No. 8 Tahun 1981 yang saat ini sedang dilakukan
oleh DPR bersama-sama dengan pemerintah akan membawa perubahan
mekanisme mendasar dalam penegakan hukum acara pidana di Indonesia
khususnya dalam tahapan awal penindakan perkara karena tidak seperti
ketentuan yang ada dalam KUHAP, dalam draf RUU KUHAP tidak dicantumkan
tahapan penyelidikan dalam ketentuan tersendiri.
Dalam draf RUU KUHAP terdapat konsep baru yang ingin dibangun dalam
sistem peradilan pidana, yaitu kewenangan yang jelas tiap aparat penegak hukum
yang diatur secara mendalam dan detail dalam undang-undang teknis. Selain
itu, dalam konsep RUU KUHAP tahap awal pada proses peradilan pidana
adalah penyidikan bukan lagi penyelidikan. Sehingga tahapan penyelidikan
yang dilakukan sebelum penyidikan tidak menjadi tahapan yang harus diatur
dalam mekanisme yang ada karena metode yang digunakan dapat beragam sesuai
dengan ciri khas masing-masing instansi yang memiliki kewenangan penyidikan.
Penulis beranggapan dengan menganulir pengaturan terkait penyelidikan
dalam bab tersendiri, penyusun draf RUU KUHAP menggunakan Model
Penegakan Hukum kedua yaitu due process of law yang menitikberatkan
penegakan hukum yang memperjuangkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai
Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan penyidikan sebagai tahap awal dalam
penegakan hukum maka diharapkan akan tercipta sistem yang penuh dengan
kehati-hatian oleh aparat penegakan hukum. Sehingga setiap penegakan dan
penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta
harus menaati hukum.
Hilangnya tahapan penyelidikan yang berarti menghilangkan jabatan
penyelidik akan menimbulkan beberapa konsekuensi yang harus disadari sejak
awal oleh pembentuk undang-undang. Dengan hilangnya tahapan penyelidikan
maka perkara-perkara pidana yang penindakannya banyak didapatkan melalui
penyelidikan seperti tindak pidana narkotika dan tindak pidana korupsi serta
Buku
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 6,
2012.
Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan Edisi ke-2, Cet. 14, Jakarta: 2012, Sinar Grafika.
Hart, A.C.’t dan Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana dalam
Prespektif Hak Asasi Manusia, Jakarta: 1986, Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia.
Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana. Normatif, Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya, Bandung: 2007, PT. Alumni.
Mulyadi, Lilik, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Teori, Praktek,
Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya, Bandung: 2007, PT. Citra aditya
Bakti.
Salam, Moch. Faisal, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Bandung:
2001, Mandar Maju.
Sunaryo, Sidik, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: 2005, Universitas
Muhammadiyah Press.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 tentang Badan-Badan Dan Peraturan
Pemerintah Dulu.
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang: Pelaksanaan Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana.
Lain-lain
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Kementrian Hukum dan HAM, Laporan
Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Hukum
Acara Pidana, 2010.
Andy Wiyanto*
Abstract
Historiography of Indonesia constitutional has noted that the President of Indonesia
has twice lowered in the middle of his tenure. The historical record apparently leaves a
polemics. In this case under the leadership of Mohammad Amien Rais, MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat) make changes UUD 1945 to be one of the purposes of
the reform. The changes are not only revise mechanism of impeachment in Indonesia,
but also makes the 1945 Constitution no longer as temporary as stated Soekarno
in the PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Indonesia Independence
Preparatory Committee meeting dated August 18, 1945. even impeachment process
after reformation is form of Checks and balances on the direct election of the President.
so there is legitimacy in the Goverment on the one hand in one side, and the other
side it is balanced measurable accountability proccess. Academically, the concept is
certainly based on science. How this implemented in the form of regulation, start from
basic laws to other rules it below to be explanations more detail and clear. This paper
try to explain these cases started from criticism structure of Indonesia constitutional
after the reform that embracing Checks and Balances principle. Then followed by a
review of the impeachment process in Indonesia, and then the end of two variables
are elaborate more deeply with teories Checks and Balances system in the state system
in a country.
Kata Kunci: Perubahan UUD 1945, checks and balances, dan pemakzulan.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pembahasan perubahan UUD 1945, alasan pemberhentian Presiden
disesuaikan dengan lampiran Keputusan MPR No. IX/MPR/2000, yaitu masuk
dalam kewenangan MPR dengan dua alternatif. Alternatif pertama tanpa melibatkan
Mahkamah Konstitusi, yaitu “Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya apabila terbukti melanggar UUD, melanggar haluan
negara, mengkhianati negara, melakukan tindak pidana kejahatan, melakukan
tindak pidana penyuapan, dan/atau melakukan perbuatan tercela”. Dan alternatif
*
Penulis adalah Tenaga Ahli DPR RI A-124, email: bung.andywiyanto@gmail.com
10
Kesepakatan ini dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri
umum sistem presidensil. Penyempurnaan dilakukan dengan perubahan kedudukan MPR yang
mengakibatkan kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Perubahan selanjutnya
untuk menyempurnakan sistem presidensil adalah menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara
lembaga eksekutif dan legislatif, dalam hal ini terutama antara DPR dan Prsiden. [Jimly Asshiddiqie,
Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945, (Makalah untuk Seminar
Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Perubahan), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006, hal. 4.]
11
Ibid, hlm. 56.
12
Andy Wiyanto, “Pertanggungjawaban Presiden dan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 7
Nomor 3 (Juni, 2010), hlm. 212.
13
Jimly Asshiddiqie, et al, Gagasan Perubahan UUD 1945 dan Pemilihan Presiden secara Langsung (Jakarta:
Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 47-48.
14
Andy Wiyanto, op.cit., hal. 227.
17
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., hal. 46.
18
Ibid, hal. 46-47.
19
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah
Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law, But Not of Man. [Moh. Koesnardi dan
Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983, hal. 161.]
20
Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 20.
21
Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, (Makalah
untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen), Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006, hal. 12.
44
Teuku Amir Hamzah, Ilmu Negara: Kuliah-Kuliah Padmo Wahjono, Jakarta: Indo Hill Co., 2003, hal.
164-165.
45
http://masnurmarzuki.blogspot.com/2011/12/pemisahan-kekuasaan-dan-prinsip-checks.html diakses
pada Rabu, 12 Juni 2013
III. ANALISIS
A. Pemakzulan di Indonesia
Semenjak proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah mencatat bahwa telah
sebanyak dua kali MPR memberhentikan Presiden di tengah masa jabatannya.
Pertama adalah pada saat pemberhentian Presiden Soekarno yang dianggap
bersalah karena ketidakmampuannya memberikan pertanggungjawabannya atas
46
http://gunawantauda.wordpress.com/2010/03/14/pembatasan-kekuasaan/ diakses pada Rabu, 12 Juni
2013
47
http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/11/menyimak-kembali-checks-and-balances.html
diakses pada Rabu, 12 Juni 2013
48
Ibid.
49
Tulisan ini tidak lagi menggunakan istilah rezim orde baru yaitu G30S/PKI melainkan Gerakan 30
September saja. Ada beberapa versi tentang peristiwa itu dan PKI hanya salah satu versi. Oleh sebab itu
lebih objektif dengan menyebut Gerakan 30 September tanpa embel-embel apapun. [Asvi Warman Adam,
Pelurusan Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2007, hal 176.]
50
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945,
Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hal. 81
51
Ibid, pasal. 7.
52
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung: Mizan, 2007,
hal. 245-246.
IV. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
relatif belum sejalan dengan prinsip supremasi hukum dan mekanisme hukum
tata negara dalam proses ini turut dicampuri oleh mekanisme politik. Sehingga
mekanisme checks and balances dalam proses ini belum terjadi. Belum sejalannya
mekanisme pemakzulan dengan prinsip supremasi hukum disebabkan karena
hakikat pemakzulan sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan sebagai pertanda
adanya mekanisme checks and balances menjadi sumir akibat putusan Mahkamah
Konstitusi yang dijadikan jembatan dalam mekanisme tersebut tidak secara
eksplisit ditentukan turut mengikat bagi MPR dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengawasan tersebut adalah pengawasan
terhadap pelanggaran hukum tata negara yang dilakukan oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu pertanggungjawaban yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden atas proses ini masuk dalam
kategori pertanggungjawaban hukum tata negara.
Sekalipun mekanisme checks and balances tersebut belum terjadi dengan
sempurna karena MPR dimungkinkan memberikan putusan yang berbeda
dari putusan Mahkamah Konstitusi, akan tetapi mekanisme yang ada tetaplah
merupakan mekanisme hukum tata negara. Sebab pemakzulan terjadi dalam
rangka pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap eksekutif sebagai bagian dari
mekanisme checks and balances yang merupakan sendi dari prinsip supremasi
hukum. Hanya saja karena MPR dimungkinkan memberikan putusan yang
berbeda, maka mekanisme hukum tata negara dalam proses pemakzulan juga
dicampuri oleh mekanisme politik. Hal ini menjadi persoalan ketika pemakzulan
yang merupakan manifestasi dari pengawasan hukum tata negara dimaksudkan
Buku
Adam, Asvi Warman. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2007.
Adian, Donny Gahral. Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme.
Depok: Penerbit Koekoesan, 2010.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Konstitusi
Press, 2006.
---------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Asshiddiqie, Jimly, et al. Gagasan Perubahan UUD 1945 dan Pemilihan Presiden
secara Langsung. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2006.
Atmoredjo, Sudjito bin. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila (Makalah untuk
Kongres Pancasila, Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Universitas
Gadjah Mada), Yogyakarta, 2009.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Dicey, AV. Pengantar Studi Hukum Konstitusi (Introduction to the Study of the
Constitution), diterjemahkan oleh Nurhadi. Bandung: Nusamedia, 2007.
Fadjar, Abdul Mukthie. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia, 2005
Firdaus. Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi. Bandung:
Yrama Widya, 2007.
Hamzah, Teuku Amir. Ilmu Negara: Kuliah-Kuliah Padmo Wahjono, SH. Jakarta:
Indo Hill Co., 2003.
Hatta, Mohammad. Kedaulatan Rakyat. Surabaya: Usaha Nasional, 1980.
Indrayana, Denny. Perubahan UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran.
Bandung: Mizan, 2007.
Surat Kabar
Rahardjo, Satjipto. 58 Tahun Negara Hukum Indonesia, Negara Hukum, Proyek
yang Belum Selesai. Kompas, 11 Agustus 2003.
Website
http://gunawantauda.wordpress.com/2010/03/14/pembatasan-kekuasaan/
diakses pada Rabu, 12 Juni 2013
http://masnurmarzuki.blogspot.com/2011/12/pemisahan-kekuasaan-dan-
prinsip-checks.html diakses pada Rabu, 12 Juni 2013
http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/11/menyimak-kembali-checks-and-
balances.html diakses pada Rabu, 12 Juni 2013
Makalah
Asshiddiqie, Jimly. Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan
UUD 1945, (Makalah untuk Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut
UUD 1945 Hasil Perubahan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Hukum dan HAM Republik Indonesia), Jakarta, 2006.
1. Naskah yang dimuat dalam Jurnal Negara Hukum adalah tulisan yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan hukum dan ditulis dalam bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris.
2. Naskah dapat berupa hasil penelitian, pengembangan, gagasan konseptual,
atau tinjauan kepustakaan yang belum pernah dipublikasikan.
3. Sistimatika tulisan hasil pemikiran/gagasan konseptual meliputi: judul,
nama penulis (tanpa gelar akademik) dan alamat e-mail, abstrak, kata kunci,
pendahuluan yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan,
teori atau kerangka pemikiran, analisis, kesimpulan dan saran (jika ada).
4. Sistimatika tulisan hasil penelitian meliputi: judul, nama penulis (tanpa
gelar akademik) dan alamat e-mail, abstrak (maksimal 250 kata), kata
kunci, pendahuluan yang berisi: latar belakang, perumusan masalah, dan
tujuan, teori atau kerangka pemikiran, metode penelitian, hasil penelitian,
kesimpulan dan saran (jika ada).
5. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word di atas kertas ukuran
A4 dengan jarak spasi rapat (satu spasi), jumlah halaman 15-20, huruf Arial,
font 10. Penulis wajib menyerahkan tulisan dalam bentuk hard copy dan soft
copy (disket/CD) ke Redaksi Jurnal Negara Hukum e-mail: negarahukum_
p3di@yahoo.co.id
6. Naskah diterima oleh Redaksi Jurnal Negara Hukum selambat-lambatnya
awal Maret untuk terbitan bulan Juni dan awal September untuk terbitan
bulan November.
7. Penulisan sumber kutipan atau rujukan menggunakan sistem catatan kaki
(footnote) dengan urutan: nama pengarang/editor (tanpa gelar akademik),
judul karangan (ditulis dengan huruf miring/italic, kota penerbit, nama
penerbit, tahun penerbitan, dan nomor halaman yang dirujuk atau dikutip.
Contoh:
Andrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 23.
Sumber kutipan berikutnya yang menunjuk kepada sumber yang telah disebut
dalam catatan kaki di atasnya, menggunakan Ibid (jika halaman sama) atau
Ibid.hal. 35. (jika berbeda halaman).
Penulisan sumber kutipan yang telah disebut sebelumnya dan telah disisipi
sumber kutipan lain, sbb: nama pengarang, judul singkat, hal (tidak
menggunakan op.cit, loc.cit).
Contoh:
Andrian Sutedi, Prinsip Kepentingan Umum, hal. 56.
8. Penulisan daftar pustaka disusun secara alfabetis, sebagai berikut:
Buku:
Sutedi, Andrian. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Jurnal/majalah:
Samsul, Inosentius. Pengaturan Kerangka Hukum Alternatif Penanganan Konflik
Sosial: Studi Terhadap Upaya Pelestarian dan Pemberdayaan Adat Kabupaten
Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Era Hukum. No.1/Tahun 16.
September 2008.
Terjemahan:
Nonet, Philippe dan Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi
(Law and Sosiety in Transition: Toward Responsive Law), diterjemahkan oleh
Rafael Edy Bosco. Jakarta: HuMa, 2003.
Surat Kabar:
Negara Ikut Lemahkan KPK. Media Indonesia, 9 November 2010.
Website:
Mulhadi, Relevansi Teori Sosiological Yurisprudensi dalam Upaya Pembaharuan
Hukum di Indonesia. http://www.search-ebooks.com, diakses tanggal 4 Juni
2010.
Peraturan Perundang-undangan:
Indonesia. Undang-Undang Tentang Penanaman Modal. UU No. 25, LN No.
67 tahun 2007. TLN. No. 4724.