Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH USHUL FIQIH

TENTANG KAIDAH-KAIDAH PENGAMBILAN HUKUM II

Nama Kelompok 8

1. Taura Aurelia Siera Putri (215221004)

2. Sinta Umul Rasidah (215221015)

3. Syifa Nabila Safitri (215221030)

4. Shafa Nur Azizah (215221041)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dzat yang Maha
Sempurna pencipta dan penguasa segalanya. Karena hanya dengan ridha-Nya penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah Mata Kuliah Fiqh Ibadah ini sesuai dengan apa yang
diharapkan yaitu tentang “KAIDAH-KAIDAH PENGAMBILAN HUKUM II”.

Dengan harapan semoga tugas makalah ini bisa berguna dan ada manfaatnya bagi
kita semua. Amiin. Tak lupa pula penyusun sampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang turut berpartisipasi dalam proses penyusunan tugas makalah ini, karena
penulis sadar sebagai makhluk sosial penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada
interaksi dengan orang lain dan tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari-
Nya. Akhirnya walaupun penulis telah berusaha dengan secermat mungkin.

Namun sebagai manusia biasa yang tak mungkin luput dari salah dan lupa. Untuk
itu penulis mengharapkan koreksi dan sarannya semoga kita selalu berada dalam
lindungan-Nya.

Karanganyar,17 Maret 2022

Penyusun

Kelompok 8

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................................................2


DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
BAB I ...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN ...........................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................4
BAB II..............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN ..............................................................................................................................5
2.1 Manthuq Dan Mafhum .......................................................................................................5
1) Manthuq .......................................................................................................................5
2) Mafhum ......................................................................................................................6
2.2 Muradhif Dan Musytarak ...................................................................................................8
2.3 Ta'wil Dan Nasakh ..........................................................................................................13
1) Ta’wil .......................................................................................................................13
2) Nasakh ......................................................................................................................15
2.4 Ta’arudh Dan Tarjih .......................................................................................................17
1) Ta’arudh ...................................................................................................................17
2) Tarjih ........................................................................................................................19
BAB III ..........................................................................................................................................21
PENUTUP......................................................................................................................................21
3.1. Kesimpulan ....................................................................................................................21
3.2. Saran ...............................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Al-Quran yang berdampingan dengan hadis Nabi Muhammad SAW, merupakan petunjuk
yang dipercaya oleh umat Islam sebagai pedoman hidup. Keduanya juga merupakan sumber
utama penerapan hukum-hukum syari’ah.

Dari apa yang diredaksikan di dalam al-Quran dan hadis, ada yang dapat dipahami dengan
apa adanya, tidak lebih dan tidak kurang. Namun, adakalanya harus masuk ke kedalaman kata
atau kalimat yang terkandung di dalamnya sehingga lahir makna-makna baru yang tidak
berhubungan langsung dengan apa yang tertuliskan, kendati dari jauh ada hubungannya.

Maka, dalam menetapkan suatu hukum, diperlukan adanya usaha untuk melakukan
pengamatan dan penelitian guna memahami apa yang tersurat dan apa yang tersirat dari teks al-
Quran dan hadis tersebut. Dari sini para ulama menciptakan istilah mantuq dan mafhum.

Untuk mengetahui pengertian dari mantuq dan mafhum merupakan salah satu tujuan dari
penulisan makalah ini. Dan untuk menambah kejelasan dalam memahami mantuq dan mafhum
ini, juga akan disertakan bentuk-bentuk hukum dari mantuq dan mafhum, implikasi penerapan
hukumnya, serta contoh-contoh dan kaidahnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Pengertian Manthuq dan Mafhum

2. Pengertian Muradhif dan Musytarak

3. Pengertian Ta'wil dan Mas aku

4. Pengertian Taarudh dan Tarjih

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Manthuq Dan Mafhum

1) Manthuq

A. Pengertian Manthuq

Mantuq adalah lafadz yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang diucapkan.
Dengan kata lain, mantuq adalah makna yang tersurat. Contohnya ‚diharamkan bagi kamu
bangkai‛. Mantuq ayat ini adalah bagkai itu hukumnya haram.

B. Pembagian Manthuq

Mantuq dibagi menjadi dua yaitu :

1) Mantuq sharih adalah makna yang ditunjukkan oleh lafadz dengan dalalah muthabaqah
atau tadlammun.

2) Mantuq ghairu sharih adalah makna yang ditunjukkan oleh lafadz dengan dalalah
iltizam, baik berupa iqtidla, ima’ atau isyarah. Berikut uraiannya :

a. Iqtidla’ adalah makna dimana kalam tidak bisa tegak kecuali dengan
memperkirakannya.

Misalnya sabda nabi,

‫رفع اميت عن ثالث اخلطء و النسياف و ما استكره اليو‬

“Umatku bebas dari tiga beban dosa, salah, lupa, dan dalam keadaan terpaksa,‛Secara akal
sehat sebuah perbuatan yang sudah terjadi tidak mungkin dihapus dan dianggap tidak
terjadi, maka yang dimaksud dihapus disini adalah dosa dari perbuatan dosa tersebut.
Memperkirakan makna dosa inilah yag menyebabkan hadist ini dapat dipahami dengan
baik. Jadi hadist diatas jika diartikan ‚perbuatan yang timbul dari umatku berupa
ketersalahan, lupa dan dipaksa (dosanya) dihapus”

5
b. Isyarah adalah makna lazim yang tidak langsung dipahamidari teks dan makna lazim
tersebut bukanlah makna yang dimaksud oleh teks.

c. Ima’ adalah penyertaan hukum dengan sifat yang memberi petunjuk bahwa sifat itu
menjadi ilat bagi hukum tersebut. Contohnya adalah menyertai perintah memerdekakan
budak sebab jimak pada arti hadist berikut:

(Seorang laki-laki bertanya pada rasul) aku bersetubuh dengan istriku di (siang) bulan
ramadhan”. Rasul menjawab,”merdekakanlah seorang budak!”. Perintah memerdekakan
budak tersebut menunjukkan bahwa jimak menjadi ‘illat untuk memerdekakan budak.

2) Mafhum

A. Pengertian Mafhum

Adapun mafhum adalah lafadz yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang
terdapat dibalik dari arti mantuqnya. Dengan kata lain, mafhum itu disebut dengan makna
tersirat.

B. Jenis Mafhum

Mafhum terbagi menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.

1. Mafhum Muwafaqah.

Mafhum muwafaqah adalah menetapkan hukum dari makna mantuq yang diucapkan.
Contoh: janganlah kamu berkata kepada kedua orang tua dengan perkataan yang
menyakitkan perasaanya (QS.Al-Isra: 23). Kata fala taqul lahuma uffin mafhum
muwafaqahnya adalah mencaci dan menghina. Demikian juga, ‚janganlah kau dekati zina‛,
maka mafhum muwafaqah dari kata taqrabu zina adalah berduaan dan berpacaran. Para
ulama mengatakan bahwa semua mafhum muwafaqah adalah hujah. ‚ mafhumum al-
muwafaqati Hujjatun‛. Artinya, konklusi mafhum muwafaqah yang tidak bertentangan
dengan syara’ dapat dijadikan pegangan hukum. Dalam contoh yang penulis paparkan,
maka bukan hanya berkata ah yang dilarang, melainkan juga menghardik dan menghina
orang tua juga dilarang keras.

6
2. Mafhum Mukhalafah Mafhum mukhalafah adalah menetapkan hukum kebalikan dari
hukum mantuqnya. Contoh mafhum mukhalafah adalah firman Allah Swt:

‫اود ما مسفوحا‬

Ayat ini berkaitan dengan haramnya darah yang mengalir. Sedangkang darah yang tidak
mengalir hukumnya halal. Ini diambil dari mafhum mukhalafah (pengertian kebalikan)
dari bunyi nash dan untuk ini tidak ada petunjuk dari ayat, tetapi diketahui dari hukum
asal mubah atau dengan dalil syara’ yang lain.

Adapun beberapa mafhum mukhalafah dan contohnya adalah sebagimana berikut ini:

(1) Mafhum al washfi (pemahaman dengan sifat). Misalnya firman Allah Swt. Dalam
menjelaskan wanita yang haram dikawin: (Qs. An nisa’:23). Mafhum mukhalafahnya
adalah istri anak anak yang bukan kandungan, seperti cucu susuan.

(2) Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir). Misalnya firman Allah Swt.: (QS.
Al-Baqarah:230)

ِ ّٰ َ‫ظنَّا اَن يقِي َما حدود‬


ۗ ‫ّللا‬ َ ‫طلَّقَ َها فَ َل جنَا َح‬
َ ‫علَي ِه َما اَن يَّت ََرا َجعَا اِن‬ َ ‫طلَّقَ َها فَ َل تَحِ ل لَه مِ ن بَعد َحتّٰى ت َن ِك َح زَ و ًجا غَي َره ۗ فَاِن‬
َ ‫فَاِن‬
َ‫ّللا يبَيِن َها ِلقَوم يَّعلَمون‬
ِ ّٰ ‫َوتِلكَ حدود‬

Artinya: Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan
itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika
suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama
dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-
Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.

Mafhum mukholafahnya adalah jika istri tertalak tiga itu kawin dengan suami lain.

(3) Mafhum syarat (pemahaman dengan syarat)

Seperti firman Allah Swt.: (QS. At. Thalaq:6). Mafhum mukhalafahnya adalah jika istri-
istri tertalak itu tidak sedang hamil.

7
(4) Mafhum ‘adad (pemahaman dengan bilangan ).Seperti firman Allah Saw.: (QS. An
Nur :4)

Mafhum mukhalafahnya adalah kurang atau lebih dari 80 kali dera.

(5) Mafhum laqab (pemahaman dengan julukan).Seperti firman AllahSWT.:

‫وما كاف دمحم ال رسوؿ‬

Artinya: Muhammad utusan Allah Mafhum Mukhalafahnya adalah selain Muhammad


berarti bukan Rasul.

Para ulama mengatakan bahwa semua mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah kecuali
mafhum laqab.

2.2 Muradhif Dan Musytarak

A. Pengertian muradif dan musytarak

Muradif ialah: ‫ه َو اللَّفظ المتَعَ ِد د ِل َمعنًى َواحِ د‬

“(dua kata atau lebih artinya satu) atau disebut sinonim”

Contoh:

َ َ‫اَْل‬, ‫ اَللَّيث‬: singa


a. ‫سد‬

b. ‫اَلمعَ َؤدِب‬, ‫اَلمعَلِم‬, ‫اَلمدَ ِرس‬, ‫ اَْلست َذ‬: pendidik, (guru)

c. ‫اَلقِط‬, ‫ اَل ِهر‬: kucing

Sedangkan Pengertian musytarak ialah:

َ ‫( ه َو اللَّفظ الَّذِى يَدل‬yaitu satu lafadz mempunyai dua arti atau lebih)
‫ع َل َمعنَيَي ِن اَواَكثَ َر‬

contoh:

a.‫قروئ‬ : suci, haidh

8
b.‫َيد‬ : tangan secara keseluruhan, telapak tangan, lengan tangan

َ ‫ذَه‬
c.‫َب‬ : pergi, hilang

d. ‫عين‬
َ : mata, sumber mata air dan mata-mata

B. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan muradif dan musytarak

َ ‫علَي ِه‬
‫طالِع شَرعِى‬ َ ‫ إِيقِاع ك ِل مِ نَ الم َرا ِدفَي ِن َم َكانَ اْلَخ ََر يَجوز إِذَا لَم يَقم‬.

Artinya: mendudukkan dua muradif pada tempat yang lain diperbolehkan jika tidak
ada ketetapan syara’.(Abdul Hamid Hakim, H 79). Menetapkan dua muradif pada tempat
yang lain itu dibolehkan jika dibenarkan oleh syara’. Al-Qur’an adalah mu’jizat karenanya
tidak boleh mengubahnya. Bagi malikiah takbir sholat tidak boleh kecuali kata Allah Akbar.
Imam syafi’i membolehkan dengan kata Allahul Akbar. Sedangkan imam abu hanafiah
membolehkan Allah Akbar diganti dengan Allah al-Azim allah al-Ajal.

C. Bentuk-bentuk Lafadh Muradif dan Musytarak

Dalam mengetahui bentuk-bentuk lafadh muradif dan musytarak, hal utama yang harus
diperhatikan adalah siyaqul kalamnya. Oleh karena itu kami akan memberikan contoh-
contoh berikut (Al-Qatthan, 1992:289-290) :

a. Contoh lafadh muradif

Dalam al-Qur’an seorang pembaca akan sering menjumpai lafadh-lafadh muradif seperti
berikut :

1) Al-khauf dan khasyah artinya (Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi
jelas sudah menjadi rahasia umum jika kata Al-khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat
makna ketakutannya daripada kata Al-khauf. Seperti contoh berikut :

َ ِ‫سو َء ْالح‬
‫ساب‬ َ ‫َّللاُ ِب ِه أ َ ْن يُو‬
ُ َ‫ص َل َو َي ْخش َْونَ َر َّب ُه ْم َو َيخَافُون‬ َّ ‫صلُونَ َما أ َ َم َر‬
ِ ‫َوالَّذِينَ َي‬

“dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya


dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”
Dalam ayat ini memberitahukan bahwa sesungguhnya al-khasyhah dikhususkan hanya untuk

9
Allah SWT.sebab lafadh al-khasyah itu berfaedah memuliakan. Sedangkan lafadh al-khouf
berfaedah melemahkan atau dha’if.

2) Asy-syukh dan al-bukhl artinya Pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl
dengan kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya atau aibnya, namun al-
bukhl karena keadaannya. Seperti contoh berikut :

‫ضنِين‬ ِ ‫علَى ْالغَ ْي‬


َ ‫ب ِب‬ َ ‫َو َما ه َُو‬

“Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib.” Di
sini tidak disebutkan dengan lafadh al-bukhl. Di lain waktu juga dikatakan ad-dhanin bi
ilmihi.

3) Hasad dan al-hiqdu (dengki). Seperti pada contoh berikut :

ِ َّ ‫طلَ ْقت ُ ْم إِلَى َمغَان َِم ِلت َأ ْ ُخذُوهَا ذَ ُرونَا نَتَّبِ ْع ُك ْم ي ُِريدُونَ أ َ ْن يُبَ ِدلُوا ك َََل َم‬
َّ ‫َّللا قُ ْل لَ ْن تَتَّبِعُونَا َكذَ ِل ُك ْم قَا َل‬
‫َّللاُ مِ ْن‬ َ ‫سيَقُو ُل ْال ُم َخلَّفُونَ إِذَا ا ْن‬
َ
‫ِيَل‬ ُ ‫سيَقُولُونَ بَ ْل ت َ ْح‬
ً ‫سدُونَنَا بَ ْل كَانُوا ََل يَ ْفقَ ُهونَ إِ ََّل قَل‬ َ َ‫قَ ْب ُل ف‬

“Orang-orang badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk
mengambil barang rampasan: “biarkanlah kami, niscaya kami mengikutimu” mereka hendak
merubah janji Allah. Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian
Allah telah menetapkan sebelumnya. Mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki kepada
kami. Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”

4) As-sabil dan at-thariq (jalan). Seperti pada contoh berikut :

َ‫س ِبي ُل ْال ُم ْج ِرمِ ين‬ ِ ‫َص ُل ْاْل َيا‬


َ َ‫ت َو ِلت َ ْستَ ِبين‬ ِ ‫َو َكذَلِكَ نُف‬

“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an supaya jelas jalan orang-orang yang
saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.”

b. Contoh lafadh musytarak

10
Contoh lafadh musytarak yang sering kita jumpai dalam surah al-Baqarah : 288 adalah
sebagai berikut :

َ ‫َو ْال ُم‬


‫طلَّقَاتُ يَت ََربَّصْنَ ِبأَنفُ ِس ِه َّن ثَ ََلثَةَ قُ ُروء‬

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” Lafadh
quru’ dalam ayat tersebut, dalam bahasa Arab bias berarti suci dan bias pula berarti masa
haidh.Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk
mengetahui arti yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.Para ulama’ berbeda p
Pendapat dalam mengartikan lafadhquru’ tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam
Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya
indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa
arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu
Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadh
tsalatsah adalah lafadh yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-
masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan.

c. Implikasi Hukum dan Kaidah-kaidahnya

a) Dilalah muradif

Kaidah yang berkaitan dengan muradif, jumhur ulama’ menyatakan bahwa mendudukkan
dua mmiradif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syari’.
Kaidahnya adalah sebagai beikut :

‫ايقاع المترادفين فى مكان اَلخر يجوز اذا لم يقم عليه مانع شرعى‬

“mendudukkan dua muradif pada tempat yang sama diperbolehkan jika tidak ada mani’
syar’iy.” Al-Quran adalah mukjizat baik dari sudut lafadh maupun artinya.Oleh karena itu
tidak diperbolehkan mengubahnya. Bagi Malikiyah mengatakan bahwa takbir dalam shalat
tidak diperbolehkan kecuali “Allahu Akbar”, sedang Syafi’iyah hanya memperbolehkan
“Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Hanafiyah memperbolehkan semua lafadh
yang semisal dengannya, seperti “Allahul A’dhom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.

b) Dilalah musytarak

11
Dalam pnggunaan lafadh musytarak, jumhur ulama’ dari golongan Syafi’iyah, Abu Bakar
dan Abu ‘Ali al-Jaba’I memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang
dikehendaki, atau berbagai makna.Kaidahnya :

‫استعمال المشترك فى معنييه او معا نيه يجوز‬

“Menggunakan (lafadh) musytarak menurut dua atau beberapa arti itu


diperbolehkan.”Alasan mereka berdasarkan pada surah al-Hajj : 18 sebagaimana berikut

َّ ‫س َو ْالقَ َم ُر َوالنُّ ُجو ُم َو ْال ِجبَا ُل َوال‬


ٌ ‫ش َج ُر َوالد ََّوابُّ َو َكث‬
َ‫ِير مِ ن‬ َّ ‫ض َوال‬
ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫ت َو َم ْن فِي‬
ِ ‫األر‬ ِ ‫س َم َاوا‬ َ َّ ‫أَلَ ْم ت ََر أ َ َّن‬
َّ ‫َّللا يَ ْس ُجدُ لَهُ َم ْن فِي ال‬
‫َّللا يَ ْفعَ ُل َما يَشَا ُء‬ َّ ‫علَ ْي ِه ْالعَذَابُ َو َم ْن يُ ِه ِن‬
َ َّ ‫َّللاُ فَ َما لَهُ مِ ْن ُم ْك ِرم إِ َّن‬ َ ‫ِير َح َّق‬
ٌ ‫اس َو َكث‬ ِ َّ‫الن‬

“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di
bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan
sebagian besar daripada manusia?dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab
atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang
memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” Lafadh yasjudu
bisa diartikan menempelkan dahi ke bumi, bias diartikan tunduk. Dan seperti pada surah al-
Ahzab : 56 sebagaimana berikut :

‫إن هللا ومَلئكته يصلون على النبي ياأيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما‬

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang


yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.” Arti lafadh yushalluuna bila datang dari Allah berarti memberikan rahmat, bila
dating dari malaikat berarti memintakan ampunan (istighfar) dan bila dari manusia biasa
berarti do’a Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, Abu Hasyim, Abu Hasan al-Bashri dan
ulama’ lainnya berpendapat sebaliknya.Yakni pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau
beberapa maknanya itu tidak diperbolehkan (Yahya, 1986:257-258)

12
2.3 Ta'wil Dan Nasakh

1) Ta’wil

A. Pengertian ta’wil

Pada awalnya At-Ta’wil berasal dari kata dasar awwala-yu’awwilu, yang memiliki arti:
penjelasan dan dari arti ini sama seperti kata al-tafsir yang berarti: uraian, tafsir, atau dari
kata al-marju’ yang mengandung arti tempat kembali atau al-jaza’ yaitu balasan.
Menurut istilah ta’wil adalah memindahkan suatu perkataan dari arti yang jelas (dzahir)
kepada arti yang tidak jelas (lemah atau marjuh), yang kemungkinan besar lebih sesuai
karena ada alasan yang kuat, sehingga arti lain inilah yang dianggap lebih sesuai.

B. Syarat Ta’wil
Terdapat beberapa syarat-syarat Ta’wil adalah:

1) Dalam menta’wil suatu lafadz dalil seorang yang menta’wil sudah memiliki keahlian
dalam bidang penta’wilan. Serta dibutuhkannya dalam penguasaan berbagai ilmu-ilmu
syara’ (agama), seperti ilmu fiqh, ilmu hadits, dan ushul fiqh. Sehinggamemungkinkan
untuk mengkompromikan dua dalil yang saling bertentangan dengan menta’wilkannya.

2) Di dalam hal ini lafadz yang dita’wil harus diwajibkan untuk memiliki sebuah kriteria
lafadz yang hanya boleh dita’wil dan hal tersebut masih berada di dalam kajiannya,
seperti:

a. Sesuai dengan tatanan dalam ilmu bahasa Arab,

b. Dan harus mencapai dengan ketentuan-ketentuan syara yang sudah ada dan istilah
yang sudah ada di dalamnya.

Lafadz tersebut dapat ditakwilkan dan secara lahiriyah lafadz tersebut juga memiliki
makna lazim dan makna yang tidak lazim.

3) Ta’wil haruslah didasarkan pada hadis-hadis yang shahih dimana statusnya bisa benar-
benar bisa menguatkan terhadap hasil dari penta’wilannya tersebut.

13
4) Dengan melalui takwil bahasa, maka akan bisa menghasilkan lafadz yang bisa di ta’wil
dan harus mencakup dari beberapa arti. Jadi dalam hal ini lafadz ta’wil harus sesuai
dengan kriteria lafadz agar dalam pen ta’wilan itu sesuai dengan pengkajiannya.

5) Ta’wil tidak diperbolehkan untuk bertentangan dengan nash qath’iy, karena hal ini
menyebabkan nash qath’iy masuk dalam bagian tata urutan syari’ah yang secara umum.
Jika memang hal itu tidak demikian, maka dalam hal itu ta’wil tidak akan dianggap sah,
karena ta’wil itu merupakan salah satu cara berijtihad yang bisa berkualitas dhanniy,
sedangkan dhanniy sendiri tidak akan kuat untuk melawan yang qath’iy.

6) Arti dari penta’wilan nash itu sendiri harus lebih kuat dari arti lahiri dengan
menghasilkan bukti yang bisa dikuatkan oleh beberapa dalil. Karena bila didapati dalil
yang mendukungnya lemah, maka dalil tersebut tidak dapat mendukung pemalingan
makna dan tidak dapat diamalkan. Bahkan ta’wil dapat dikatakan meragukan ketika dalil
tersebut mempunyai kekuatan yang sama berdasarkan dilalah lafadznya dengan makna
yang lazim.

C. Landasan Ta’wil
Pada dasarnya takwil itu tidak ada dan juga tidak terbentuk, kecuali dengan bukti
adanya suatu dalil yang menguatkan. Kemudian dari munculnya ide pokok tersebut, akan
memunculkan beberapa masalah (juz’i). diantaranya yaitu merupakan suatu kewajiban yang
berguna untuk mengamalkan pada setiap petunjuk yang berasal dari beberapa yang
mencakup arti nash secara nyata (dhahir). Maka dari semua dalil dianggap hujjah dengan
kejelasan dan keberadaannya, sehingga dalam hal ini lafadz mutlak itu akan sesuai dengan
kemutlakannya dan tidak diikat, kecuali dengan bukti berupa dalil.
Dan juga lafadz umum akan berlaku sesuai dengan keumumannya dan itu tidak perlu di
takhsish, kecuali dengan adanya sebuah dalil. Adapun yang terdapat dalam lafal khas itu
bisa diamalkan sesuai dengan dasar hakikat artinya sendiri dan hal itu tidak boleh mengubah
menjadi arti kalimat majazi, kecuali dengan adanya sebuah dalil. Dan sementara dalam hal
itu takwil sudah menyalahi landasan tersebut.
Maka di dalam landasan umum takwil itu sendiri adalah mengamalkan sebuah dalil
dimana yang sesuai dengan konteks bahasanya itu sendiri dan bisa mengambil ketetapan

14
hukumnya. Dan takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang awalnya berasal dari akal,
bukan berasal dari bahasa. Sebab takwil itu dapat mengubah arti yang sesuai dengan
kebutuhan bahasa. Dan takwil tidak akan ada jika tidak terdapat bukti dengan adanya sebuah
dalil.

D. Klasifikasi Ta’wil
Ta’wil itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Ta’wil Qarib
Ta’wil qorib merupakan ta’wil yang dimana di dalam penta’wilannya itu hanya
berdasarkan pada dalil terendah, maksudnya yaitu berdasarkan pada pemahaman secara
logis, tekstual maupun kontekstual. Dalam takwil qarib dalam penetapannya hanya
membutuhkan dalil yang sederhana.

b) Ta’wil ba’id

Ta’wil ba’id merupakan ta’wil dimana yang persyaratannya tidak dapat dipenuhi di
dalam suatu penta’wilan yang berdasarkan pada dalil terendah. Maka dari hal itu jika
ternyata di dalam ta’wil itu sudah ditemukan adanya sebuah penyimpangan dari persyaratan
tersebut, maka hal seperti itu ta’wil harus ditolak. Berbeda dengan ta’wil qorib, ta’wil bad’i
dalam menetapkannya tidak hanya membutuhkan dalil yang sederhana, melainkan dalam hal
ini membutuhkan dalil yang kuat agar dapat memalingkan dari makna yang lazim pada
makna yang tidak lazim, sehingga akan menghasilkan makna yang tidak lazim tersebut
menjadi kuat dan dapat dipergunakan.

2) Nasakh
A. Pengertian Nasakh

Nasakh yang menunjukkan arti membatalkan, menghapuskan atau menyalin. Adapun


menurut istilah nasakh ini merupakan membatalkan sesuatu hukum dengan dalil yang datang
kemudian.

15
B. Syarat-syarat Nasakh

Jumhur mengakui kebenaran nasakh dalam al-qur’an, namun harus memenuhi beberapa
persyaratan. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang tidak.

Diantara syarat-syarat yang disepakati antara lain:

1) Yang dibatalkan adalah hukum syara’.

2) Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’

3) Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum,


seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai
melaksanakan puasa tersebut.

4) Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.

Adapun persyaratan yang diperselisihkan, antara lain:

1) Alasan yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan sebagian Hanafiyah yang menyatakan
bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilaksanakan, atau syara’ telah memberi
kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut, yang menunjukkan bahwa hukum itu
baik.

2) Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan hukum yang


dinasakh itu haruslah ditujukan untuk sesuatu yang baik yang diterima akal
pembatalannya. Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa baik dan
buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara’ bukan oleh akal.

3) Sebagian ulama ushul fiqih mensyaratkan adanya pengganti terhadap hukum yang
dibatalkan. Mereka beralasan dengan firman Allah surat al-baqarah, 2.

4) Sebagian ahli ushul fiqh dari golongan Hanafiyah mensyaratkan bahwa apabila akan
menasakh terhadap nash al-qur’an atau hadis yang mutawatir, maka nasikh itu harus
sederajat, tidak boleh yang kualitasnya lebih rendah, seperti menasakh hadis
mutawatir dengan hadis ahad.

16
C. Rukun Nasakh

Terdapat beberapa rukun naskh yaitu ada empat, diantaranya:

1) Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah
ada.

2) Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya,
nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan menghapusnya.

3) Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau dipindahkan.

4) Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.

D. Hikmah Nasakh

Dalam pensyari’atan berbagai hukum dalam islam, terdapat beberapa pendapat dari
para ulama ushul fiqh, yang memiliki maksud untuk menjaga kemaslahatan umat manusia,
baik di dunia ataupun di akhirat. Selain itu, Allah SWT sebagai syari’ juga menuntut
kepatuhan dan ketulusan para hamba-Nya guna melakukan keseluruhan perintah dan
menjauhi semua larangan-Nya.

2.4 Ta’arudh Dan Tarjih

1) Ta’arudh

A. Pengertian Ta’arudh

Kata ta’arudh secara bahasa berarti pertentangan antara dua hal. Adapun menurut istilah,
seperti dikemukakan Wahbah Zuhaili, bahwa satu dari dua dalil menghendaki hukum yang
berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain .Sebagai contoh ada ulama
yang berpendapat bahwa kaki itu wajib dibasuh ketika berwudhu. Namun, dalam qiraat lain

17
ada ulama yang mengatakan bahwa kaki itu cukup disapu saja ketika berwudhu. Serta masih
ada banyak contoh lagi. Namun, perlu dicatat bahwa ta’arud yang sebenarnya tidak mungkin
terjadi dalam diri nash itu sendiri, sebab pertentangan seperti itu berarti pertentangan dalam
diri syari’, terutama Allah sendiri. Hal ini tentu mustahil adanya karena Allah bersih dari
segala macam konflik batin sebagaimana terdapat dalam diri manusia.

B. Pendapat Ulama Mengenai Ta’arudh

Bilamana dalam pandangan seorang mujtahid terjadi ta’arudh antara dua dalil, maka
perlu dicarikan jalan keluarnya, dan di sini terdapat perbedaan pendapat antara kalangan
Hanaiyah dan Syai’iyah.

a) Menurut kalangan Hanaiyah, jalan yang ditempuh bilamana terjadi ta’arud secara global
yaitu :

1. Dengan meneliti mana yang lebih dahulu turunnya ayat atau diucapkannya Hadis, dan
bila diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap telah di-nasakh (dibatalkan) oleh dalil
yang datang belakangan.

2. Jika tidak diketahui mana yang lebih dahulu, maka cara selanjutnya adalah dengan tarjih,
yaitu meneliti mana yang lebih kuat di antara dalil-dalil yang bertentangan itu dengan cara-
cara tarjih yang dijelaskan secara panjang lebar dalam kajian ushul fiqh.

3. Jika tidak bisa di tarjih karena ternyata sama-sama kuat, maka jalan keluarnya dengan
mengompromikan antara dua dalil itu.

4. Bila tidak ada peluang untuk mengompromikannya, maka jalan keluarnya adalah dengan
tidak memakai kedua dalil itu, dan dalam hal ini seorang mujtahid hendaklah merujuk
kepada dalil yang lebih rendah bobotnya.

b) Sedangkan menurut kalangan Syai’iyah, langkah-langkah yang ditempuh yaitu :

a. Dengan mengompromikan antara dua dalil itu selama ada peluang untuk itu,
karena mengamalkan kedua dalil itu lebih baik dari hanya memfungsikan satu dalil saja.

18
b. Jika tidak bisa dikompromikan, maka jalan keluarnya adalah dengan jalan tarjih.

c. Selanjutnya jika tidak ada peluang untuk men-tarjih salah satu dari keduanya, maka
langkah selanjutnya adalah dengan meneliti mana di antara dua dalil itu yang lebih dahulu
datangnya. Jika sudah diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap telah dinasakh
(dibatalkan) oleh dalil yang terkemudian.

d. Jika tidak mungkin mengetahui mana yang terdahulu, maka jalan keluarnya dengan tidak
memakai dua dalil itu dan dalam keadaan demikian, seorang mujtahid hendaklah merujuk
kepada dalil yang lebih rendah bobotnya.

Karena ta'arudh berarti pertentangan. Maka ta'arudh dalil berarti adanya dalil-dalil yang
seakan saling bertentangan. Jika terjadi ta'arudh, maka dibutuhkan tarjih, yaitu penguatan
salah satu dalil yang seakan saling bertentangan.

2) Tarjih

A. Pengertian Tarjih

Tarjih menurut bahasa berarti membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan. Menurut
istilah, seperti dikemukakan oleh al-Baidawi, ahli ushul fiqh dari kalangan Syafi’iyah,
adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk dapat diamalkan.

Adapun yang dimaksud tarjih sebagaimana dirumuskan oleh para ulama adalah
membandingkan dalil-dalil yang tampak bertentangan untuk dapat mengetahui manakah di
antaranya yang lebih kuat dibandingkan dengan lainnya. Mentarjihkan salah satunya dengan
segala jalan tarjih ditempuh bila usaha menjama’ atau menasakhkan tidak berhasil.

Berdasarkan definisi itu diketahui bahwa dua dalil yang bertentangan dan akan di-tarjih
salah satunya itu sama-sama zhanni. Berbeda dengan itu, menurut kalangan Hanaiyah, dua
dalil yang bertentangan yang akan di-tarjih salah satunya itu bisa jadi sama-sama qath’i atau
sama-sama zhanni. Oleh sebab itu, mereka mendefinisikan tarjih sebagai upaya mencari
keunggulan salah satu dari dua dalil yang sama atas yang lain. Dalam definisi itu tidak
dibatasi dengan dua dalil yang zhanni saja.

19
B. Tata Cara Tarjih

Cara-cara mentarjihkan di antara dua buah hadits yang nampaknya berlawanan itu ada
dua segi, yaitu meneliti keadaan sanad dan meneliti keadaan matan.

1. Tarjih dari segi sanad.

Tarjih dari sisi ini mungkin dilakukan antara lain dengan meneliti rawi yang menurut
jumhur ulama ushul fiqh, Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih banyak
jumlahnya, didahulukan atas Hadis yang lebih sedikit.

2. Tarjih dari segi matan

Tarjih ini kemungkinan dilakukan dengan beberapa bentuk, antara lain bahwa bilamana
terjadi pertentangan antara dua dalil tentang hukum suatu masalah, maka dalil yang
melarang didahulukan atas dalil yang membolehkan.

Ada satu lagi jenis tarjih yaitu tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah
satu dari dua dalil yang bertentangan. Dalil yang didukung oleh dalil lain termasuk dalil
yang merupakan hasil ijtihad didahulukan atas dalil yang tidak mendapat dukung.

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam kaidah pengambilan hukum islam ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan
seperti Manthuq dan Mafhum, Muradif dan Musytarak, Ta’wil dan Nasakh, Ta’arudh dan
Tarjih.

Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung
kemungkinan pengertian ke makna yang lain. Mafhum adalah lafadz yang kandungan
hukumnya dipahami dari apa yang terdapat dibalik dari arti manthuqnya.

Muradif yaitu beberapa lafadh yang menunjukkan satu arti, dua kata atau lebih artinya
satu atau disebut sinonim. Sedangkan Musytarak yaitu satu lafadh yang menunjukkan dua
makna atau lebih,

Ta’wil yaitu memindahkan suatu perkataan dari arti yang jelas kepada arti yang tidak
jelas, yang kemungkinan besar lebih sesuai karena ada alasan yang kuat, sehingga arti lain
inilah yang dianggap lebih sesuai. Nasakh yaitu mmebatalkan sesuatu hukum yang datang
kemudian.

Ta’arudh yaitu dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang
dikehendaki oleh dalil yang lain. Tarjih yaitu menguatkan salah satu dari dua dalil yang
zhanni untuk dapat diamalkan.

3.2 Saran

Demikianlah pokok bahasan contoh makalah ini yang dapat kami paparkan, besar
harapan kami makalah ini apat bermanfaat untuk kalangan banyak. Karenaketerbatasan
pengetahuan dan referensi . kami menyadari makalah ini masih jauhdari sempurna. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat
disusun menjadi lebih baik dimasa yang akan datang.

21
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, H. S., & Zein, M. Ushul Fiqh: Edisi Pertama. (Jakarta : Prenada Media 2017).

Fathoni, K. (2020) Metode Penyelesaian Ta’arudh al-Adillah dalam Metodologi Hukum Islam.
AL-MANHAJ: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, 2(1), 45-64.

Harisudin, M. Noor. 2020. Ilmu Ushul Fiqh 1. Jember: Pena Salsabila.

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.academia.edu/3626578
7/Makalah_muradif_dan_musitarak&ved=2ahUKEwiZvrnhhsz2AhV2ILcAHUrBCXsQF
noECAQQAQ&usg=AOvVaw0nJgCwTV13Gwul12697tj9.

Hisniya, Fitri Tsani. Nurul, Kamilia Dwiastuti. Ismatul, Maula Ramadhani. 2018.
pikirdandzikir.blogspot.com, Menyelaraskan Pikir dan Dzikir – TA’WIL DAN
NASAKH MURADIF DAN MUSYTARAK (PAI A Semester Genap 2017/2018).
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=
8&ved=2ahUKEwjH1syq4sz2AhV47HMBHT3-
BRgQFnoECAcQAQ&url=http%3A%2F%2Fpikirdandzikir.blogspot.com%2F2018%2F
05%2Ftawil-dan-nasakh-muradif-dan-
musytarak.html&usg=AOvVaw3QwmyEv0q_EqLvVB9T_zk4, diakses pada 17 Maret
2022.

Khairuddin, K. (2010) Metode Penyelesaian Hadist Mukhtalif: Kajian Ta'arudh al-Adillah.


Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin,12(1), 47-58.

Https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://pikirdandzikir.blogspot.com/2
018/05/tawil-dan-nasakh-muradif-dan musytarak.
html%3Fm%3D1&ved=2ahUKEwjL2JTu8dT2AhXH7HMBHcU4Cx0QFnoECAMQAQ&usg=
AOvVaw0mprefK0Nadvu2h0H2n4ku.

Khaq, Rafqil. 2015. kangrifqil.blogspot.com,


https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=
8&ved=2ahUKEwjC37D4g8_2AhVTTmwGHZ28AjAQFnoECAQQAQ&url=http%3A

22
%2F%2Fkangrifqil.blogspot.com%2F2015%2F11%2Fsyarat-dan-rukun-nasikh-
mansukh-m-yusuf.html&usg=AOvVaw0tiICwGWOLnJG0NYtXfUcg, diakses pada
jum’at 18 Maret 2022.

Sadzali, Ahmad. Pengantar Belajar Ushul Fiqh. (Jakarta : Pusat Studi Hukum Islam, 2017)

Ulum, Muhammad. 2017. repo.iain-tulungagung.ac.id,


https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKE
wj2tf6Qg8_2AhW3S2wGHXLbB8AQFnoECAQQAQ&url=http%3A%2F%2Frepo.iain-
tulungagung.ac.id%2F7394%2F13%2FBab%2520II.pdf&usg=AOvVaw3QmqQmsqIlW
YGzJQ3CrkKM, diakses pada 18 Maret 2022.

23

Anda mungkin juga menyukai