Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ANALISIS SOSIAL

FENOMENA BULLIYING DIPONDOK PESANTREN


Muhadir:

rifki hamiyal hadi,S.P.,M.Si.

Disusun oleh:

MUHAMMAD NASUHA(104210010)

ABDURRAHMAN ARRASYIDI(104210007)

MUHAMMAD MAHFUUZH(104210018)

ZAHWI MUQTAFA(104210027)

ARIEF KHIRUDIN(104210004)

MAS FAROCH MUHAMMAD ALA(104210014)

PROGRAM STUDI FIQH WA USHULUHU

MAHAD ALY AL-TARMASI

PERGURUAN ISLAM PONDOK TREMAS

TAHUN AJARAN 2022-2023M/1443-1444H


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kami karunia
nikmat dan kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, dan terus dapat
menimba ilmu di mahad aly.

Penulisan makalah ini merupakan sebuah tugas dari dosen mata kuliah analisis sosial.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan
pada mata kuliah yang sedang dipelajari, agar kami semua menjadi mahasiswa yang berguna
bagi agama, bangsa dan negara.

Dengan tersusunnya makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan, demi kesempurnaan makalah ini kami sangat berharap perbaikan, kritik dan saran
yang sifatnya membangun apabila terdapat kesalahan.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi saya
sendiri umumnya para pembaca makalah ini.

Terima kasih,
wassalamu’ alaikum.

Tremas, 09 januari 2023

Tim penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................5
PENDAHULUAN..................................................................................................................5
A. LATAR BELAKANG MASALAH..........................................................................5
B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................................6
C. TUJUAN MASALAH...............................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.....................................................................................................................7
1. Pondok pesantren.........................................................................................................7
2. Bulliying......................................................................................................................7
3. Bulliying dipondok pesantren......................................................................................8
4. Perilaku bulliying antara senior kepada junior............................................................9
5. Peranan ustadz di pondok pesantren..........................................................................10
BAB III.....................................................................................................................................12
PENUTUP........................................................................................................................12
A. Kesimpulan................................................................................................................12
B. Saran..........................................................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pembangunan pada bidang pendidikan merupakan salah satu instrumen penting dalam
meningkatkan mutu sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif, pendidikan akan semakin
berdayaguna manakala dapat dirasakan oleh semua elemen masyarakat tidak hanya terbatas
pada kalangan tertentu saja. Di antara sekian lembaga pendidikan yang ada terdapat institusi
bernama pesantren yang sudah terbukti serta terpercaya mengakomodir semua kalangan,
mulai dari kalangan bawah, menengah, sampai kalangan atas tanpa adanya diskriminasi.
Dengan kata lain, pesantren merupakan lembaga pendidikan kerakyatan yang sudah memiliki
akar yang kuat di tanah nusantara ini. kehadiran pesantren masih tetap bisa dirasakan dan
tetap konsisten untuk mencerdaskan generasi bangsa. Ekspektasi masyarakat terhadap
pesantren masih cukup tinggi, karena pesantren masih dianggap sebagai pilihan terbaik dalam
membentuk karakter seorang anak. Tidak mengherankan bila jumlah santri terus meningkat
dari tahun ke tahun untuk masuk pondok pesantren. Masyarakat berbondong-bondong
menitipkan anak-anaknya ke pesantren dengan tujuan agar terbiasa melakukan ibadah dan
mendapatkan ilmu agama sebagai modal untuk kembali ke masyarakat nantinya. Sekalipun,
di sisi lain juga terdapat kelompok masyarakat yang memiliki pandangan sinis terhadap
pesantren, lantaran dianggap sebagai lembaga pendidikan yang kuno, tradisonal, tertutup
dengan perkembangan zaman, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, selama tinggal di pesantren
para santri biasanya akan berada di bawah pengawasan dan bimbingan Kyai atau para Ustadz
yang berupaya untuk membentuk perilaku santri supaya dapat selaras dengan Al-Quran dan
Hadist. Dalam proses pembentukan karakter santri tentunya tidak selalu berjalan sesuai
rencana, hal ini lantaran terkadang masih dijumpai pelanggaran peraturan yang dilakukan
oleh para santri, dan yang paling perlu diperhatikan dari sekian banyak pelanggaran yang
timbul adalah perilaku bullying Mengingat dengan kondisi mereka yang di asramakan dengan
jumlah penghuni yang banyak dan tempat terbatas maka akan rentan menimbulkan banyak
gesekan jika tidak diantisipasi dengan penanganan yang baik. Banyak yang mengatakan
bahwa perilaku bullying hanya dilakukan oleh negara-negara berkembang atau hanya
dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan pinggiran dan tidak berkualitas. Hanya saja,
fakta berbicara lain karena di negara-negara maju nyatanya juga banyak terjadi bullying.
Apalagi bila berbicara para santri yang tinggal di pondok pesantren dengan pola komunikasi
dan relasi kolektif yang cukup intens dalam ruang dan waktu yang sama, artinya hampir
semua aktivitas dilakukan secara bersama-sama. Sangat mungkin akan melahirkan konflik
manakala tidak ada pengawasan dan bimbingan yang terpadu. Bahkan, tidak jarang
ditemukan pondok pesantren yang tidak memisahkan tingkatan pendidikan atau usia santri.
Jadi dalam satu area pesantren terdapat santri-santri dengan gap usia dan tingkatan
pendidikan yang cukup jauh. Situasi demikian berpotensi memicu tumbuh suburnya sikap
senioritas di dalam lingkungan pesantren.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bulliying dipondok pesantren
2. Penyebab terjadinya bulliying

C. TUJUAN MASALAH
1. Menganalisa bulliying dipondok pesantren
2. Mengetahui terjadinya bulliying
3.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pondok pesantren
Pondok pesantren secara bahasa terdiri dari dua kata, “pondok” dan “pesantren”. Jika
ditelusuri, kata ini tidak seutuhnya berasal dari bahasa Indonesia. Akar kata pondok disinyalir
terambil dari bahasa Arab yaitu “funduk” yang berarti hotel atau asrama. Kata pesantren
berasal dari kata “santri” yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran -an yang berarti
menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri . Tempat para santri ini pada
akhirnya menjadi semakin membumi atau memasyarakat dan dikenal dengan sebutan pondok
pesantren. Sejarah mencatat, pondok pesantren terbukti sebagai salah satu lembaga
pendidikan yang sudah terbukti serta terpercaya mengakomodir semua kalangan, mulai dari
kalangan ke bawah, menengah, dan ke atas tanpa adanya diskriminasi perlakuan. Selain
memberlakukan sistem non-diskriminasi, pondok pesantren merupakan salah satu lembaga
pendidikan asli dan tertua di Indonesia yang konsisten tanpa kenal lelah terus mengabdikan
dirinya sebagai pusat pendidikan rakyat berbasis Qur’ani.

2. Bulliying
Bullying menjadi salah satu tantangan dalam menciptakan lingkungan pendidikan pesantren
kondusif yang bebas dari tekanan-tekanan fisik dan psikologis. Persoalan-persoalan di
lingkungan pendidikan diyakini akan dapat diselesaikan oleh mereka yang memiliki
kompetensi di bidangnya, termasuk dalam kontek penanganan bullying. Bullying adalah
sebuah situasi di mana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan baik fisik
maupun mental yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok kepada korban yang tidak
mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik dan atau mental
sehinga korban merasa tertekan dan trauma. Seseorang dianggap menjadi korban bullying
bila ia dihadapkan pada tindakan negatif seseorang atau lebih, yang dilakukan berulang-ulang
dan terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu, bullying melibatkan kekuatan dan kekuasaan
yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu
mempertahankan diri secara efektif untuk tindakan negatif yang diterimanya. Bullying
memiliki berbagai macam bentuk yang dapat dikelompokkan dalam dua kategori, bullying
fisik, bullying non-fisik(bullying mental atau psikologis). Bullying akan selalu melibatkan
ketiga unsur berikut, (1) ketidakseimbangan kekuatan; (2) niat untuk menciderai; (3)
ancaman agresi lebih lanjut, dan ketika eskalasi bullying meningkat tanpa henti, elemen
keempat muncul, yaitu terror. Bullying dipahami sebagai situasi yang tercipta ketika ada tiga
karakter berbeda bertemu, yaitu pelaku, korban, saksi. Bullying bisa terjadi dengan mengenal
tiga karakter ini. Pelaku bullying merasakan puas apabila ia “berkuasa” di kalangan teman
sebayanya, tawa teman-teman sekelompoknya saat ia mempermainkan korban memberinya
sanjungan karena ia merasa punya selera humor tinggi, keren dan populer. Ini disebabkan
karena mereka tidak dididik untuk memiliki empati terhadap orang lain, temperamental,
pelampiasan kekesalan terhadap orang lain, supaya memiliki pengikut, takut menjadi korban,
ada motif dendam atau mengulangi apa yang pernah dilihat dan dirasakan sendiri.
Para santri sendiri yang tinggal di Pondok Pesantren adalah anak-anak yang masih berusia
Tsanawiyah, dari rentang usia antara 12 tahun sampai 18 tahun. Padahal, di usia ini kondisi
psikisnya masih cukup labil, sementara mereka justru sudah hidup sendiri tanpa bimbingan
langsung orang tua, karena peran orang tua sudah digantikan para pengurus dan pengasuh
yang tentunya sangat berbeda bila diasuh langsung oleh orang tuanya sendiri. Perbedaan itu
dapat didasarkan dari jumlah anak yang dibimbing oleh pengurus dan pengasuh pesantren
yang jumlahnya mencapai puluhan, alhasil dari sisi perhatian dan bimbingan tidak bisa
memfokuskan pada hanya pada satu anak saja, seperti bila diasuh oleh orang tuanya sendiri
maka sang anak akan mendapatkan pengasuhan yang ekslusif.

3. Bulliying dipondok pesantren


hampir semuanya belum mengenal istilah bullying. Mereka tahunya adalah istilah-istilah
pengejewantahan dari bullying, seperti menganiaya, menyakiti, memukul, menendang, dan
lain sebagainya. hampir semuanya belum mengenal istilah bullying. Mereka tahunya adalah
istilah-istilah pengejewantahan dari bullying, seperti menganiaya, menyakiti, memukul,
menendang, dan lain sebagainya hampir semuanya belum mengenal istilah bullying. Mereka
tahunya adalah istilah-istilah pengejewantahan dari bullying, seperti menganiaya, menyakiti,
memukul, menendang, dan lain sebagainya Setiap hari aktivitas para santri diisi dengan
kegiatan-kegiatan yang sudah terjadwal, waktu-waktu kegiatan di Pondok Pesantren antara
lain habis shalat subuh mengaji kitab kuning sampai pukul 05.30 WIB, dilanjutkan sekolah di
madrasah dari pukul 06.45-13.00 WIB. Kegiatan pondok selanjutnya adalah ngaji diniyyah
habis shalat asar sampai pukul sekitar 16.30 WIB, dan habis shalat maghrib ngaji alqur’an
dan habis shalat isya’ mengaji kitab lagi sampai pukul 20.30 WIB. Saat waktu senggang, di
luar waktu kegiatan pondok banyak aktivitas yang dilakukan para santri, mulai dari belajar,
menghafal, bermain, jajan, mengobrol, tidur, bercanda dengan sesama santri, dan lain
sebagainya. Alhasil, dari sekian hal-hal positif yang tampak dari keseharian para santri
ternyata ditemukan juga hal-hal kurang menarik yang dilakukan para santri, salah satunya
adalah perilaku bullying. Secara spesifik, perilaku bullying berbentuk verbal yang paling
sering muncul di Pondok Pesantren adalah :

a. Umpatan: “ketek”, “asu”, “picek”, “jangkrik”, dan menyebut “kemaluan laki-laki dengan
bahasa Jawa”.
b. Meledek: “elek koyok wedos”, “munyuk”, menyebut nama orang tua untuk memanggil nama
seseorang.
c. Membentak: “wong goblok”, “tak jotosi”, “age macem-macem”.
d. Membuat label-label secara verbal: “cah gendeng”, “wong edan”, “sinting”.
e. Memarahi: Biasanya berupa ungkapan yang muncul sebagai akibat keinginannya tidak
dilakukan atau dituruti.
f. Mengancam: Rata-rata ini berupa ungkapan yang mengarah kepada perilaku yang tidak ingin
diketahui oleh pendamping, ustadz, dan pengasuh, akhirnya terjadilah pengancaman kepada
santri lain yang umumnya adalah santri yang lemah, dengan kata “awas kue”.

Keenam perilaku bullying secara verbal di atas adalah yang paling sering muncul

Secara non-verbal atau tindakan ada 9, yaitu:


a. Memukul: memukul tangan, “njorokke” mendorong sampai terpental,

b. Menendang

c. “Njengguk” (mendorong kepala dengan tangan) dan “moles” (memoles tangan di


kepala).

d. Meminjam barang temannya dengan paksaan, seperti kipas, buku, atau kitab.

e. Merusak barang temannya dengan seenaknya, seperti merusak mainan temannya,


aksesoris, peci dan lain sebagainya.

f. Memaksakan kehendak, seperti meminta jajan dengan temannya atau meminta supaya
dibayarkan saat jajan di kantin.

g. Mencubit: bisa mencubit pipi dengan keras, perut atau paha.

h. Mengisolasi sosial, seperti tidak diajak bermain dengan cara memaksa teman yang lain
tidak melibatkan santri yang sedang menjadi korban bullying.

i. Memukul dengan peci.

j. Menyiram air saat tidur.

k. Mengambil barang alat mandi saat mandi, seperti mengambil sabun, sikat atau odol.

l. Menggigit.

Dari sembilan item di atas, masing-masing terjadi di dalam areal pondok saat mereka bermain
di kamar dan di luar jam kegiatan pesantren. Tentunya hal itu menjadi tindakan yang agak
samar bila tidak dicermati dengan sangat seksama, dan pendamping selama ini belum
dipersiapkan untuk menangani permasalahan sampai sedetail itu. Akibatnya, kejadian-
kejadian banyak yang luput dari pandangan pendamping, asatidz, dan pengasuh. Kalaupun
para santri yang lain mengetahui adanya perilaku bullying selama perilakunya masih dalam
kategori wajar dalam kacamata mereka, maka hal itu akan dibiarkan saja. sudah melampaui
batas baru santri akan melaporkan kepada pengasuh, seperti saat ada pertengkaran yang
sampai sudah fisik biasanya mereka akan berlari untuk melaporkannya kepada pengasuh.
Intinya, baik perilaku bullying secara verbal maupun non-verbal yang terjadi di Pondok
Pesantren.

4. Perilaku bulliying antara senior kepada junior


Kekerasan bullying tidak hanya terjadi antar teman sebaya tetapi juga terjadi antara senior
kepada juniornya baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan asrama (tempat tinggal).
Di lingkungan asrama santri junior mendapat perilaku yang menyakitkan dari seniornya.
Perilaku bullying kerap terjadi diasrama karena pesantren merupakan lingkungan baru yang
membutuhkan waktu untuk proses transisi dari rumah. Pesantren merupakan tempat tinggal
baru mereka untuk beradaptasi dengan para santri yang datang dari berbagai daerah yang
membawa adat dan budaya masing-masing, sehingga sering terjadi kesalahpahaman. Selain
itu mereka menghabiskan waktunya sebagaian besar berada dipesantren sehingga intensitas
untuk berkomunikasi dan bertemu dengan senior lebih banyak keadaan tersebut yang memicu
terjadinya bullying. Penyebab bullying yang terjadi dipesantren karena senioritas yang tinggi.
Selain itu awal terjadinya bullying bermula antar santri seringkali mengejek satu sama lain.
Hal ini juga di jelaskan oleh pembina asrama bahwa “Kondisi setiap asrama berbeda-beda
dan santri nya pun berbeda-beda karakter ada yang di ejek oleh teman nya langsung merasa
tersinggung dan ada pula yang biasa saja”. dan bukan hanya itu bullying juga dilakukan
secara fisik umumnya terjadi pada siswa menengah. Korban diperlakukan secara tidak baik
seperti dipermalukan didepan umum, di bentak dan bahkan sampai di suruh mengerjakan
tugas senior nya. Kondisi tersebut dapat menyebabkan korban merasa takut, tidak nyaman
karena mengalami kondisi yang sangat terancam. Selain itu motivasi belajarnya juga
menurun akibat kekerasan bullying yang terjadi. Selain itu santri tersebut mengalami perilaku
bullying mental yaitu dengan sengaja pelaku melakukan tindakan untuk membuat lawan
merasa tidak percaya diri, rendah diri, perasaan takut, salah tingkah dan lemah. Tindakan
tersebut dilakukan pelaku dengan menggertak, memojokkan dan merendahkan korban.
Tindakan bullying dapat memberikan dampak negatif terhadap korban karena sering
diganggu sehingga korban merasa cemas, takut, bahkan hilang kepercayaan diri, terluka,
menderita dan tidak berani berangkat ke sekolah. Selain itu korban akan mengalami trauma
yang berkepanjangan sampai dewasa nanti. Korban bullying akan kehilangan kepercayaan
diri dan harga dirinya rendah, untuk meningkatkan harga dirinya mereka menjadikan orang
lain sebagai sasaran untuk balas dendam, mendominasi dan merasa kuat. Hal ini juga
dikaitkan dengan usia yang berada di rentang 12 -15 tahun, pada usia ini remaja secara
emosioanal lebih labil dan memiliki banyak konflik karena kecenderungan untuk
memberontak dari segala aturan. Maka dari itu faktor terbesar yang mengakibatkan adanya
kekeraan bullying adalah dengan adanya senioritas di pondok antar antri.

5. Peranan ustadz di pondok pesantren


Pesantren merupakan “Bapak” dari pendidikan islam di indonesia. Didirikan karna adanya
tuntutan atau kebutuhan zaman. Ketika berbicara masalah pesantren maka gambaran yang
diperoleh bahwa pesantren itu adalah tempat mencari dan memperdalam ilmu keislaman,
disana identik dengan kiyai, santri, kitab kuning, masjid, dan pondokan tempat santri
bermukim. Unsur-unsur budaya kekerasan dan anarkisme jauh, bahkan sama sekali tidak
terlintas di dalam pandangan dunia pesantren. Karena Kelangsungan hidup suatu pesantren
amat tergantung kepada daya tarik tokoh sentral (kiayi atau guru) yang memimpin,
meneruskan atau mewarisinya. Jika pewaris menguasi sepenuhnya, baik pengetahuan
keagamaan, wibawa, keterampilan mengajar, dan kekayaan lainnya yang diperlukan, maka
usia pesantren akan lama bertahan. Sebaliknya pesantren akan menjadi mundur dan mungkin
hilang, jika pewaris atau keturunan kiai yang mewarisinya tidak memenuhi persyaratan. Jadi
seorang figur pesantren sangat menentukan dan benar-benar diperlukan Seorang
Ustadz/ustadzah adalah sama seperti seorang guru (pendidik). Peran mereka sebagai pendidik
adalah menjadi suri tauladan yang baik bagi santrinya. Karena di dalam lembaga pesantren
ustadz dan ustdazah lah yang menjadi orang tua kedua bagi mereka setelah ibu dan ayahnya.
Peran adalah prilaku yang sesuai dengan status seseorang juga merupakan seperangkat
prilaku yang diharapkan dari seseorang yang menduduki suatu posisi atau kedudukan tertentu
dalam masyarakat. Peran guru adalah tercapainya serangkaian tingkah laku yang saling
berkaitan yang dilakukan dalam situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan
perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa menjadi ujuannya. Salah satu peran guru
adalah sebagai profesional. Jabatan guru sebagai profesional menuntut peningkatan
kecakapan dan mutu keguruan secara berkesinambungan. Guru yang berkualitas profesional
yaitu guru yang tahu secara mendalam tentang apa yang dikerjakan, cakap dalam
mengajarkannya secara efektif dan efisien dan mempunyai kepribadian yang mantap.
“Guru/ustadz dan ustadzah merupakan jabatan atau profesi yang memiliki kemampuan dan
keahlian khusus mendidik secara profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, mengasuh bagi ustadz dan ustadzah, menilai dan
mengevaluasi peserta didik” 12 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa peran
ustadz/ustadzah adalah mengayomi, mengajarkan, mendidik sekaligus membina dan
membimbing dalam menanamkan nilai-nilai akhlak. Disamping itu seorang ustadz/ustadzah
juga mempunyai tugas yang harus mereka lakukan kepada santri santrinya antara lain:

a. Membimbing santrinya dengan sabar dan ikhlas baik di lingkungan sekolah maupun
diasrama.

b. Menyampaikan ilmu (transfer of knowledge)

c. Menanamkan nilai-nilai kebaikan agar santri santri tersebut menjadi anak yang
berakhalak karimah (transfer of values)

d. Mengajar, yaitu suatu usaha mengorganisasikan lingkungan dalam hubungannya dengan


santri dan bahan pengajaran yang menimbulkan terjadinya proses belajar.

e. Membimbing dan mengarahkan anak didiknya agar dapat berpikir dan bersikap positif.

f. Membina, yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menjadikan sesuatu yang


lebih baik dari sebelumnya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh wali asrama
putra bahwa “peran ustadz dan ustadzah dipondok yaitu membimbing santrinya dengan
penuh keikhlasan dan menjadikan mereka sebagai santriyang berakhakul karimah”.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan atau bullying dipesantren dikarena
kurangnya pengawasan guru, adanya pelanggaran atas peraturan atau regulasi yang dibuat
oleh kepengurusan pondok, dan adanya senioritas antara senior versus junior dipondok.
Adapun bentuk kekerasan bullying yang terjadi dipondok pesantren yaitu penekanan senior
kepada juniornya dalam hal kedisiplinan, mengejek, memukul, bahkan sampai
mempermalukan teman didepan umum. Dampak dari kasus bullying terhadap santri yaitu,
mengalami gangguan kesehatan mental, seperti trauma, stres, rasa takut akan tinggal
dilingkungan pondok pesantren, bahkan sampai berhenti atau keluar dari pesantren,
dikarenakan karena khawatir mengalami kasus bullying kembali. Faktanya ada beberapa
santri yang keluar dari pondok pesantren akibat kasus bullying yang terjadi dipondok
pesantren.

B. Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah “analisis sosial” di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentu dapat di pertanggung jawabkan oleh penulis.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi
terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.

Anda mungkin juga menyukai