Anda di halaman 1dari 3

Nama : Hafidz Al Haq

NIM : 20105030142
Prodi : Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
UAS Tarikh Al Qur’an C
1. Perbedaan antara proses kodifikasi pada masa ‘Utsman dan Abu Bakar, bahwa tujuan
pengkodifikasian al-Qur’an pada masa Abu Bakar radliyallâhu ‘anhu adalah menghimpun al-
Qur’an secara keseluruhan dalam satu Mushhaf sehingga tidak ada satupun yang tercecer
tanpa mendorong orang-orang agar bersatu dalam satu Mushhaf saja, dan hal ini dikarenakan
belum tampak implikasi yang signifikan dari adanya perbedaan seputar Qirâ`at sehingga
mengharuskan tindakan ke arah itu. Sementara tujuan kodifikasi pada masa ‘Utsman adalah
menghimpun al-Qur’an secara keseluruhan dalam satu Mushhaf namun mendorong orang-
orang agar bersatu dalam satu Mushhaf saja. Hal ini, karena adanya implikasi yang sangat
mengkhawatirkan dari beragam versi Qirâ`ah tersebut. Jerih payah pengkodifikasian ini
ternyata membuahkan mashlahat yang besar bagi kaum Muslimin, yaitu bersatu-padunya
umat, bersepakatnya kata serta terbitnya suasana keakraban diantara mereka. Dengan
terciptanya hal tersebut, maka kerusakan besar yang ditimbulkan oleh perpecahan umat, tidak
bersepakat dalam satu kata serta menyeruaknya kebencian dan permusuhan telah dapat
dibuang jauh-jauh. Hal seperti ini terus berlanjut hingga hari ini, kaum Muslimin bersepakat
atasnya, diriwayatkan secara mutawatir diantara mereka melalui proses tranfer dari generasi
tua kepada generasi muda dengan tanpa tersentuh oleh tangan-tangan jahat dan para
penghamba hawa nafsu.
2. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Alquran di masa khalifah Usman masih belum
atau tanpa titik dan harakat. Fakta itu menimbulkan pertanyaan, apakah para sahabat belum
mengenal titik, harakat atau tanda-tanda lain dalam penulisan kata dan kalimat?. Keraguan
itu terjawab dari beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa sahabat sudah mengenal al-
Naqth dalam penulisan. Akan tetapi tidak ada penjelasan detail mengenai hal ini. Misalnya,
diriwayatkan bahwa sahabat Ibnu Umar tidak suka penulisan “al-naqth” pada mushaf. Begitu
juga diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Jangan campurkan dalam penulisan
Alquran/mushaf dari selain Alquran”. Adapun pembagian nuqath ada dua macam titik
(Nuqath/Naqth) yaitu: Naqth al-I’rab dan Naqth al-I’jam. Yang dimaskud dengan naqth al-
I’rab adalah titik sebagai simbol harakat (kita kenal sekarang dengan fathah, kasrah,
dhammah), titik ini berfungsi untuk membedakan antar harakat akhir kata, seperti titik atas
huruf untuk menunjukkan fathah, titik di bawah huruf untuk kasrah. Sedangkan naqth al-
I’jam adalah titik untuk membedakan antar huruf yang bentuk tulisannya sama. Seperti satu
titik di bawah untuk huruf ba’, dua titik di atas untuk huruf ta’ dan seterusnya. Ziyad bin
Abih (w. 673) merupakan seorang Jenderal Besar dan administrator dari masa dinasti
Umayyah meminta dari Abu al-Aswad al-Du’ali (w. 688) untuk membuatkan atau melakukan
sesuatu dalam upaya menjaga bahasa Arab dan bacaan Alquran dari kesalahan. Amanah itu
diterima dan Abu al-Aswad mulai melakukan sebuah usaha dengan menguji 30 orang dari
kota Bashrah dan akhirnya memilih seorang dari kabilah Abd al-Qais, salah satu kabilah di
Bashrah. Ternyata penambahan naqth al-I’rab pada tulisan mushaf belum menyelesaikan masalah.
Di masa al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi (w. 714), seorang gubernur kota Irak di masa kekhalifahan
Umayyah, problem terkait bacaan Alquran semakin bertambah. Oleh karena itu, dia meminta dari
Nashr bin Ashim al-Laitsi al-Kanani (w. 89 H) untuk mencari solusi. Nashr bin Ashim menulis titik-
titik di atas semua huruf, sesuai dengan kaidah atau cara Abu al-Aswad.
Pada tahap selanjutnya, dan masih di masa al-Hajjaj bin Yusuf, tim yang terdiri dari Ashim
bin Nashr, Yahya bin Ya’mur, dan al-Hasan al-Bashri melakukan beberapa tambahan lagi,
yaitu: 1) Mereka akan menambah naqth al-I’jam. 2) Titik-titik akan ditulis dengan warna
yang berbeda, 3) Titik-titik ini tidak lebih dari 3 titik, 4) Titik ini berbentuk sama dengan titik
Abu al-Aswad. Tahap selanjutnya, kemunculan titik membuat kreasi untuk kemudahan
dalam membaca. Di beberapa daerah menggunakan warna-warni yang berbeda dalam
menulis titik, seperti Madinah, Irak, Andalusia, dan yang lain.
Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 789), pengarang kitab al-‘Ain dan guru imam Sibaweh
itu melihat bahwa mushaf yang ada di masanya sudah penuh dengan titik-titik yang
berwarna-warni. Lalu dia memutuskan untuk membedakan antar bentuk atau penulisan naqth
al-I’rab dan naqth al-I’jam. Ada 10 tanda yang ditambah oleh al-Khalil: Fathah, dhammah,
kasrah, syaddah, sukun, mad, hamzah wasahl/shilah, hamzah, raum, dan isymam
sebagaimana kita kenal sekarang. Abu al-Aswad membaca dan orang dari kabilah Abd al-
Qais menulis titik dengan warna yang berbeda dengan tulisan mushaf. Titik satu di atas untuk
fathah, titik satu di bawah untuk kasrah, titik satu di depan huruf untuk dhammah, dan dua
titik untuk ghunnah. Semua titik ini hanya di akhir tiap kata saja. Ada yang berpendapat jika
titik ini hanya di atas huruf yang musykil.
3. Al-Qur’an sudah tercetak dalam bentuk mushaf, dengan ini tentu ayat ayat al-qur’an tidak
akan hilang dari bumi Allah. Di zaman modern munculah inovasi untuk merekam bacaan
ayat-ayat al-qur’an, disebut dengan murottal. Muncul pertanyaan apakah diperlukan hal
semacam ini padahal al-qur’an sudah banyak tercetak dalam bentuk mushaf. Tentu menurut
saya sangat diperlukan, dengan tujuan, orientasi, dan motivasi yang berbeda dan jauh lebih
modern dengan mengikiti arus perkembangan zaman. Adanya teknologi yang semakin
canggih dan modern dapat memudahkan manusia dalam melakukan sesuatu. Salah satunya
memudahkan orang untuk berinteraksi dengan al-qur’an. Dengan adanya rekaman al-qur’an
dapat memudahkan orang-orang untuk mendengarkan ayat suci al-qur’an, dapat
memudahkan orang-orang untuk menghafal dan memuroja’ah hafalan al-qur’an nya, juga
dapat menjadi salah satu bentuk syiar agama islam.
4. Memang saat ini Al-Qur’an sudah tercetak dengan sempurna, bahkan banyak rekaman Al-
Qur’an yang tersimpan secara digital di berbagai media dan platform. Kemudian timbul
pertanyaan apakah masih penting kegiatan menghafal Al Qur’an itu? Tentu lebih dari penting
jika dapat di bandingkan. Dengan sudah adanya cetakan dan Al Quran itu sendiri, bukan
berarti menghafal Al Quran sudah tidak penting lagi. Memang kalau kita telaah, salah satu
orientasi dari para sahabat terdahulu menghafal Al Quran yaitu menjaga agar ayat-ayat Al
Quran tidak hilang. Pun demikian dengan tujuan dari kodifikasi Al Quran di masa Khulafaur
Rasyidin. Namun untuk konteks saat ini, hal tersebut tidak berlaku lagi. Yang mana tujuan
dari menghafal Al-Qur’an bukan lagi untuk menjaga ayat-ayat Al-Qur’an agar tidak lenyap,
namun lebih dari pada itu Allah telah memerintahkan kepada para hamba-Nya melalui
perantara Nabi Muhammad untuk lebih dekat berinteraksi dengan Al-Qur’an. Dari kita
membacanya, menghafal nya, mentadaburinya, bahkan sampai mengajarkan nya dan
mengamalkan nya, yang tentunya juga diperkuat dan diperjelas dengan firman Allah dan
hadits Nabi Muhammad SAW. Maka dari itu dengan sudah adanya cetakan dan rekaman Al-
Qur’an, tidak mengurangi penting nya dari menghafal Al-Quran.
5. Pondok Pesantren Darul Hikmah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal dalam
bidang keagamaan Islam yang ada di Desa Sembung, Purwobinangun, Pakem, Sleman,
Yogyakarta, yang bertujuan untuk memberikan pengajaran membaca dan menulis Al-Qur’an,
serta memahami dasar-dasar agama Islam pada santri srata sekolah menengah pertama dan
sekolah menegah atas. Masih banyak dari santri yang perlu diperbaiki dalam membaca Al-
Qur’an sesuai dengan kaidah ilmu tajwid. Oleh karena itu, penggunaan strategi yang tepat
dan sesuai sangatlah penting, guna meningkatkan kemampuan membaca Al-Qur’an pada
santri sejak dini. Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk mengetahui strategi peningkatan
kemampuan membaca Al-Qur’an pada santri, dan mengetahui hambatan beserta solusi yang
diterapkan lembaga Pondok Pesantren Darul Hikmah dalam meningkatkan kemampuan
membaca Al-Qur’an pada santri sesuai dengan kaidah ilmu tajwid. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa strategi yang diterapkan lembaga Pondok Pesantren Darul Hikmah
dalam peningkatan kemampuan membaca Al-Qur’an pada santri, yaitu:
1) pengajarannya menggunakan sorogan dan klasikal,
2) metode yang digunakan adalah Iqro,
3) membiasakan menghafal doa-doa harian beserta artinya dan suratan pendek,
4) membiasakan santri tadarus bersama,
5) belajar mapel tajwid,
6) mematangkan bacaan santri dalam kegiatan bengkel tajwid,
7) waktu tambahan bagi santri yang menginginkan belajar membaca Al-Qur’an lebih lama,
8) melakukan evaluasi pembelajaran bagi santri.
Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh lembaga Pondok Pesantrn Darul Hikmah dalam
meningkatkan kemampuan membaca Al-Qur’an digolongkan menjadi dua, yaitu faktor
secara internal dan faktor secara eksternal. Solusi untuk mengatasi hambatan yang dihadapi,
sesuai dengan kebijakan lembaga berdasarkan kesepakatan musyawarah yang dilakukan
pengurus lembaga dan dewan guru.

Anda mungkin juga menyukai