Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PRAKTIK ICG PADA ANGLO SAXON SYSTEM

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Islamic Corporate Governance

Dosen Pengampu : Alifatur Rohmah, M.M.

Disusun oleh

Denik Fitriana (63040200093)

Novita Rahmawati (63040200094)

Siti Sa’adatur Rohmah (63040200095)

Anggy Lia Milfa Sari (63040200096)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.

Puji syukur Kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat-Nya
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang berarti dan
sesuai dengan harapan.

Terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Alifatur Rohmah, M.M sebagai dosen pengampu Mata
Kuliah Islamic Corporate Governance yang telah memberikan arahan dan pemahaman dalam
penyusunan makalah ini. Makalah ini berjudul Praktik ICG Pada Anglo Saxon System.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kami. Maka dari itu Penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang Kami tulis bisa bermanfaat
bagi pihak yang membaca.

Akhir kata penyusun meminta maaf atas kesalahan serta kekhilafan dan juga banyaknya
kekurangan penulisan dalam makalah ini. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk serta
rahmat-Nya kepada Kita semua.

Jazakumullah khairan katsiran


Wassalamualaikum wr. wb.

Salatiga, 01 April 2023

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................................................ii


DAFTAR ISI...................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2
1.3. Tujuan............................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3
2.1. PengertianAnglo Saxon/One Tier Sistem ........................................................................ 3
2.2. Praktik ICG dalam Anglo Saxon Sistem .......................................................................... 5
2.3. Struktur Board Of Director pada One Tier Sistem ........................................................... 7
1. Konsep One board Tier System ....................................................................................... 8
2. Two tier board system ...................................................................................................... 8
3. Perbedaan Unitary Board System dan Two Tier Board System ...................................... 9
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 10
3.1. Kesimpulan..................................................................................................................... 10
3.2. Saran ............................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Good Corporate Governance diwajibkan pada perusahaan-perusahaan yang telah go public


dalam rangka perbaikan dan peningkatan ekonomi. Dengan penerapan Good Corporate
Governance diharapkan mampu meingkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas
perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dan tetap
memperhatikan kepentingan Stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan
nilai-nilai etika yang berlaku.1

Struktur didefinisikan sebagai satu cara bagaimana aktivitas dalam organisasi dibagi,
diorganisir, dan dikoordinasi (Stoner, Freeman dan Gilbert, 1995). Struktur Governance,
dapat diartikan sebagai suatu kerangka dalam organisasi untuk menerapkan berbagai
konsep Governance sehingga prinsip tersebut dapat dibagi , dijalankan, serta dikendalikan.
Secara spesifik, struktur Governance harus didesain untuk mendukung jalannya aktivitas
organisasi secara bertanggung jawab dan terkendali.2

Pada dasarnya struktur governance diatur oleh undang-undang sebagai dasar legalitas
berdirinya sebuah entitas. Misalnya dalam model anglo saxon, struktur governance akan
terdiri dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Board Of Directors (representasi dari
para pemegang saham/pemilik), serta Executive Manajers (manajemen yang menjalankan
aktivitas). Model anglo saxon ini juga dapat disebut dengan Single Board Sistem yaitu
struktur CG yang tidak memisahkan keanggotaan dewan komisaris dan dewan direksi.
Dalam sistem ini anggota dewan komisaris juga merangkap anggota dewan direksi dan
kedua dewan ini disebut sebagai board of directors.3

Sistem hokum anglo saxon dianut oleh negara Inggris kemudian berkembang dan
menyebar ke Amerika Serikat, Kanada, Amerika Utara dan Australia. dimana negara

1
Agus Saptono, “Board-CEO Relationships (one tier system_anglo saxon) hubungan dewan komisaris-dewan
direksi (Two tier system continental), Jurnal Magister Ekonomi FEB. Hal. 63.
2
Freeman, “Strategic Management: A Stake Holder Theory”, (Cambridge University Press: 1984)
3
Muhammad Nasrum dan Andi Tenri Uleng, “Corporate govermance”, hal 38-39.
1
tersebut mengejawantahkannya sebagai perwujudan dari persamaan hak, kewajiban, dan
derajat dalam suatu negara di hadapan hukum.

Dengan sistem hukum yang ada di dunia dikenal ada dua sistem hukum yang besar, yaitu
sistem hukum anglo saxon atau disebut dengan common law system dan Eropa Continental
atau disebut sistem hukum romawi atau civil law system. Sistem hukum anglo saxon adalah
sistem hukum dimana yang diutamakan adalah hukum tidak tertulis yang berkembang
ditengah-tengah kehidupan masyarakat dan digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang ditujukan kepadanya, sedangkan dalam sistem hukum Eropa
Continental adalah sistem hukum dimana hukum dibuat dengan bentuk tertulis dan
terkodifikasi. Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana praktik ICG pada anglo saxon
system,

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian sistem anglo saxon/one tier sistem?


2. Bagaimana praktik ICG pada anglo saxon system?
3. Bagaimana struktur Board Of Director?

1.3. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian sistem anglo saxon/one tier sistem.


2. Untuk mengetahui bagaimana praktik ICG pada anglo saxon sistem.
3. Untuk mengetahui struktur Board Of Director.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. PengertianAnglo Saxon/One Tier Sistem

Nama lain dari sistem hukum Anglo-Saxon adalah “Anglo Amerika” atau Common Law”.
Merupakan sistem hukum yang berasal dari Inggris yang kemudian menyebar ke Amerika
Serikat dan negara negara bekas jajahannya. Kata “Anglo Saxon” berasal dari nama bangsa
yaitu bangsa Angel-Sakson yang pernah menyerang sekaligus menjajah Inggris yang
kemudian ditaklukan oleh Hertog Normandia,William. William mempertahankan hukum
kebiasaan masyarakat pribumi dengan memasukkannya juga unsur-unsur hukum yang
berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental. 4

Nama Anglo-Saxon, sejak abad ke-8 lazim dipakai untuk menyebut penduduk Britania
Raya, yakni bangsa Germania yang berasal dari suku-suku Anglia, Saks, dan Yut. Konon,
pada tahun 400M mereka menyeberang dari Jerman Timur dan Skandinavia Selatan untuk
menaklukkan bangsa Kelt, lantas mendirikan 7 kerajaan kecilyang disebut Heptarchi.
Mereka dinasranikan antara 596-655 M. 5

Model tata kelola perusahaan Anglo-Saxon adalah teori paling dominan yang
diperjuangkan oleh Amerika Serikat dan Inggris. Hal ini dibuktikan dengan praktek banyak
perusahaan dinegara lain yang menganut sistem pemegang saham seperti Australia,
Selandia Baru,Kanada, Afrika Selatan dan sebagian besar negara Asia Tenggara. Model ini
dicirikan oleh hubungan lengan panjang antara perusahaan dan investor yang dikatakan
memperhatikan terutama tentang pengembalian jangka pendek (Frank dan Mayer, 2004).
Model Anglo Saxon didasarkan pada konsep perusahaan tentang hubungan fidusia antara
pemegang saham dan manajer yang dimotivasi oleh perilaku berorientasi laba. Salah satu
aspek yang paling khas dari sistem Anglo-Saxon adalah struktur kepemilikan perusahaan
di mana kepemilikan saham tersebar luas dan pengaruh pemegang saham terhadap
manajemen lemah. Rupanya, fokus utama tata kelola perusahaan dalam sistem Anglo-
Saxon adalah untuk melindungi kepentingan dan hak para pemegang saham. Namun,

4
Sunaryati Hartono, 1991, “Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional”, (Bandung: Alumni), hlm. 73
5
Handoyo, Hestu Cipto, 2009, “Hukum Tata Negara Indonesia”. (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya). Hlm. 58
3
kontrol atas perilaku manajemen dilakukan melalui bank dan bentuk utang lainnya. Insentif
pemegang utang untuk mempengaruhi perilaku perusahaan sangat bergantung pada hak-
hak mereka jika terjadi kesulitan. Dengan demikian, undang-undang kepailitan merupakan
komponen kunci dari sistemtata kelola perusahaan Anglo-Saxon.

Dalam konteks tata kelola perusahaan Islam, ada beberapa studi yang telah dilakukan
khususnya IFI untuk menghasilkan model alternatif tata kelola perusahaan. Studi
tampaknya menunjukkan bahwa perusahaan Islam dapat mengadopsi model tata kelola
perusahaan yang sama sekali berbeda atau versi modifikasi dari model Anglo-Saxon
sebagai alternatif untuk kerangka tata kelola perusahaannya. Yang pertama mengacu pada
model tata kelola perusahaan berdasarkan prinsip konsultasi di mana semua pemangku
kepentingan memiliki tujuan yang sama : Tauhid atau keesaan Allah (Choudury dan
Hoque, 2004) dan yang terakhir menyangkut penerapan sistem nilai pemangku
kepentingan dengan beberapa modifikasi (Iqbal dan Mirakhor, 2004). Meskipun tata kelola
perusahaan adalah subjek universal, tidak mudah untuk membandingkan bagaimana
tatakelola Anglo-Saxon dan tata kelola perusahaan Islam beroperasi. Secara umum, terlihat
bahwa tujuan utama korporasi termasuk korporasi Islam adalah untuk memaksimalkan
nilai kekayaan pemegang saham. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa tata kelola
perusahaan dalam islam dan barat memainkan peran yang sangat penting untuk memenuhi
tujuan dan sasaran khusus perusahaan. Meskipun demikian, konsep corporate governance
dari perspektif Islam tidak jauh berbeda dengan definisi konvensional seperti yang telah
dibahas di atas.Ini menyiratkan bahwa dalam praktik sebenarnya, banyak perusahaan islam
mengadopsi model tata kelola perusahaan Anglo-Saxon (Lim, 2007).

Dalam pandangan Islam, tata kelola perusahaan mengacu pada sistem dimana perusahaan
diarahkan dan dikendalikan dengan tujuan untuk memenuhi tujuan korporasi dengan
melindungi kepentingan dan hak semua pemangku kepentingan. Namun uniknya, ia
menghadirkan karakteristik dan fitur yang berbeda dibandingkan dengan sistem
konvensional karena mengacu pada teori pengambilan keputusan yang lebih luas yang

4
menggunakan premisepistemologi sosio-ilmiah Islam yang didasarkan pada keesaan Tuhan
(Choudury dan Hoque, 2004). ).6

2.2. Praktik ICG dalam Anglo Saxon Sistem

Common law system diterapkan dan mulai berkembang sejak abad XVI di Negara Inggris.
Model Anglo Saxon ini sering disebut dengan Singel-Board System yaitu struktur CG yang
tidak memisahkan keanggotaan dewan komisaris dan dewan direksi.7 Di dukung keadaan
geografis serta perkembangan politik dan sosial yang terus menerus, sistem hukum ini
dengan pesat berkembang hingga di luar wilayah Inggris, seperti di Kanada, Amerika, dan
negara-negara bekas koloni Inggris (negara persemakmuran/common wealth). Namun
Amerika merupakan Negara yang cepat mengalami perubahan dalam segala bidang
kehidupan, dan sumber daya manusia sehingga Amerika membangun system hukum
sendiri namun tetaptidak terlepas dari sebagian sisem hukum anglo saxon dalam melihat
kehidupan sehari-hari.

Konsep negara hukum yang dikembangkan dalam tradisi Anglo Amerika yang berasal dari
anglo saxon Inggris dipelopori A.V. Dicey disebut dengan “The Rule of Law”. Tumbuh
dan berkembangnya konsep Rule of Law pertama kali diterapkan di Negara-negara yang
menganut common law system seperti Inggris dan Amerika Serikat, dimana kedua negara
tersebut mengejawantahkannya sebagai perwujudan dari persamaan hak, kewajiban, dan
derajat dalam suatu negara di hadapan hukum. Hal tersebut berlandaskan pada nilai-nilai
hak asasi manusia, bahwasanya setiap warga negara dianggap sama di hadapan hukum dan
berhak dijamin hak asasi manusianya melalui sistem hukum dalam Negara tersebut.

Pokok ajaran dari rule of law adalah terciptanya tatanan keadilan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, dimana rakyat bisa memperoleh kepastian hukum, rasa keadilan,
rasa aman, dan dijamin hak-hak asasinya. Hal ini mengandung makna, rasa keadilan yang

6
Azmi Abd. Hamid, mohd nizal hanif, Muhammad rahimi usman dkk‘Perbandingan KarakteristikModel tata kelola
anglosaxon dan pemerintahan islam”, Lembaga Penelitian Akuntansi dan Fakultas Akuntansi Universiti Teknologi
MARA,(Malaysia, 2011), hl 6
7
Sucipto & Dhyah, “Proses Penerapan Prinsip Good Coorporate Governance Pada Perusahaan Keluarga PT X”,
AGORA, Vol. 2, NO. 1 (2014), Hal 1.
5
kembali kepada rakyat, bukan kepada kekuasaan dan para penguasa yang menciptakan
hukum.8

Sebagai sistem hukum yang lebih mengutamakan pada hukum kebiasaan dan hukum adat
masyarakat, maka dalam common law kedudukan kebiasaan dalam masyarakat lebih
berperan daripada undang-undang dan selalu menyesuaikan dengan perkembangan
masyarakat yang semakin maju. Sumber-sumber hukum dalam sistem Anglo-Saxon pun
memiliki perbedaan fundamental dengan tidak tersusun secara sistematik dalam hierarki
tertentu seperti di dalam sistem Eropa Kontinental.9

Dalam praktiknya Islamic Corporate Governance pada perbankan menurut Zulkifli Hasan
(2009) yaitu bahwa Governance syariah memiliki keunikan bila dibandingkan dengan
konvensional, yaitu “The basic elements of Islamic corporate governance with the Western
counterpart in the aspects of conceptual definition, episteme, corporate objective, nature of
management and corporate structure”. Islamic corporate governance model in Islam has its
own unique features and presents distinctive characteristics in comparison with the western
concept of the Anglo-Saxon and the European models. It combines the element of Tawhid,
Shura, Shari’ah rules and maintains the private goal without ignoring the duty of social
welfare.”

Artinya “elemen dasar tata kelola perusahaan islam dengan mitra Barat dalam aspek
definisi konseptual, episteme, tujuan perusahaan, sifat manajemen dan struktur
perusahaaan”. Model tata kelola perusahaan Islam dalam Islam memiliki fitur uniknya
sendiri dan menghadirkan karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan konsep barat
Anglo-Saxon dan model Eropa, ini menggabungkan unsur Tauhid, Syura, aturan Syariah
dan mempertahankan tujuan pribadi tanpa mengabaikan tugas kesejahteraan sosial.10 Jadi
dengan adanya pernyataan tersebut terlihat bahwa terdapat perbedaan antara Corporate
Governance dalam perspektif barat (Anglo-Saxon dan Eropa) dengan Corporate
Governance perspektif Islam

8
Sripuji Ningsih, “Konsep Hukum Indonesia di Masa Sekarang” (Pekalongan: FHU, 2012), Hal. 136.
9
Ibid
10
Hasan Turabi, “Principles Bank Indonesia, Directorate Of Islamic Banking Of Governance, Fredom, And
Responsibility in Islam”, The American Journal Of Islamic Social Sciences 1, Vol. 4, No. 1. (1987).
6
Dalam perkembangannya, Corporate Governance terus merambah pada bidang lainnya,
seperti bidang kesehata. Dalam sektor tersebut ditemukan sebuah tata kelola yang dikenal
dengan istilah clinical governance dan tata kelola rumah sakit sebagaimana yang
dipopulerkan oleh BPAC, bahkan secara langsung organisasi tersebut membuat panduan
utama dalam mengelola organisasi kesehatan.11

2.3. Struktur Board Of Director pada One Tier Sistem

Dalam perusahaan Indonesia, kita mengenal ada dua dewan yang bertanggung jawab atas
sebuah perusahaan Dewan Direksi dan Dewan Komisaris. Namun, sering pula kita
mendengar istilah “Board of Directors” yang sering muncul di perusahaan luar negeri.

Dalam sistem one tier (unitary), fungsi pengawasan (supervisory) dan fungsi manajemen
(management) digabungkan dalam satu board of directors. Jumlah anggota board of
directors dalam sistem one-tier cukup beragam, mulai dari 3 sampai 31 anggota, namun
para analis berpendapat bahwa jumlah anggota yang ideal adalah 7 orang. Sistem ini
diterapkan di negara-negara anglo-saxon seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan
Australia. Beberapa negara Asia seperti Singapura, Hong Kong, dan Malaysia juga
menerapkan sistem ini. Indonesia tidak menerapkan sistem ini.12

Struktur perusahaan yang ada di dunia dibagi dua. Yang pertama adalah struktur yang
dikenal dengan one tier board system . atau biasa dikenal juga dengan unitary system.
Dalam system ini pihak pimpinan dan juga direksi perusahaan melakukan pertemuan hanya
dalam satu dewan. Dan yang kedua dikenal dengan nama two board tier system. Dalam
system ini, yang banyak dikenal di Indonesia akan tetapi banyak yang belum menyadari
system ini terdapat dewan komisaris dan juga dewan direksi di dalam perusahaan.
Keduanya memiliki wewenang yang berbeda dalam pengelolaan perusahaan.

Konsep one board system banyak diadopsi oleh perusahaan-perusahaan yang berada di
negara-negara Anglo Saxon. Terutama perusahaan yang berada di kawasan Amerika
Serikat dan Kanada, Eropa dan juga Australia. Eropan dalam hal ini banyaknya di INggris,

11
David Kane, Clinical Governance: a guide for Pharmachy Healthy Organization, (Bpac: 2005) diakses melalui
www.bpac.org.nz.
12
Saras Sutedja, mengenal sistem one tier dan two tier dalam tata kelola perusahaan,2021.
7
Perancis, Swiss dan juga Spanyol. Sedangkan untuk negara-negara yang menganut
European continental terutama di Asia, Afrika dan juga Amerika Latin serta negara seperti
Belanda dan Jerman banyak menganut konsep two tier board system.

1. Konsep One board Tier System

Dalam konsep ini keseluruhan fungsi dari seluruh peruasahaan atau organisasi
dilakukan oleh satu dewan yang biasa dikenal dengan nama dewan direktur. Atau
board of director. Dalam system yang berlaku ini pihak board of director melakukan
kebijakan yang berfungsi sebagai eksekusi kebijakan operasional dan juga sekaligus
melakukan pengawasan atau monitoring. Dalam struktur ini terdapat direktur eksekutif
dan juga direktur non eksekutif. Dan semua dari mereka juga menjadi anggota board.
Selain itu juga di Amerika Serikat juga banyak perusahaan yang menggunakan konsep
ini dengan menggunakan pola CEO dan Chairman dari perusahaan. Dalam system one
tier board system ini yang melakukan pengambilan keputusan adalah seluruh anggota
direksi yang menjadi anggota board tersebut. Sedangkan proses monitoring dan
pengawasan dilakukan oleh anggota board yang berada pada posisi sebagai direktur
non eksekutif di perusahaan tersebut. Yang bertindak sebagai chairman atau president
dalam system ini adalah mereka yang bertindak sebagai direktur non eksekutif.
Sedangkan yang bertindak sebagai CEO adalah executive director di dalam board
tersebut. Tentunya adalah salah satu dari executive director.

2. Two tier board system

Dalam pandangan dari Bacon dan Brown ( dalam Daniri, 2014 ) terdapat 3 hal yang
menjadi karakteristik yang utama dari konsep two board system, yaitu :

Adanya pemisahan dari fungsi tugas dan wewenang dari pihak yang melakukan
pengelolaan perusahaan dengan pihak yang melakukan pengawasan perusahaan. Hal
ini berbeda dengan negara-negara yang menganut konsep single board system dimana
meskipun fungsi dari satu dewan tersebut dibagi dua, akan tetapi tetap bertugas dalam
pengelolaan dan juga pengawasan akan perusahaan yang sama.

8
Adanya pemisahan secara fisik akan tugas dan wewenang sehingga dapat dihindatri
adanya campur tangan serta tugas yang berganda. Dalam mekanisme two boards tier
system ini pihak pengawas tidak memiliki kewenanggan untuk turut campur dalam
pengelolaan kegiatan yang ada di dalam perusahaan.13

3. Perbedaan Unitary Board System dan Two Tier Board System

Pembahasan tentang perbedaan antara one tier board system dan two tier board system
dilakukan agar dapat diketahui keunggulan dan juga kelemahan yang ada dari berbagai
system tersebut. Dalam system one tier board system secara ideal diharapkan mereka
yang bertindak sebagai direktur non eksekutif lebih mendominasi susunan dewan
direksi yang ada. Hal ini dikarenakan mereka yang bertindak sebagai direktur non
eksekutif memiliki pengetahuan yang lebih banyak dan juga pengalaman yang lebih
luas. Meskipun begitu seringkali yang terjadi dalam system ini direktur eksekutif yang
ada dalam board di dalam system ini terasa lebih mendominasi sehingga dewan terasa
tidak independen. Selain itu juga dalam struktur perusahaan terutama di Amerika CEO
seringkali juga bertindak sebagai Chairman sehingga fungsi control di dalam
perusahaan tidak bisa berjalan secara efektif. Sementara seharusnya peranan CEO dan
chairman dalam perusahaan dilakukan pemisahan sehingga GCG bisa diterapkan
secara efektif.

Sementara dalam system two board tier system dewan pengawas yang tidak ikut dalam
opeerasional pengelolaan perusahaan diisi oleh [ara komisaris. Dan idealnya adalah
komisaris independen yang membuat mereka bisa menjalankan tugasnya secara lebih
efektif untuk membantu pemegang saham dilindungi kepentingannya dan juga terdapat
potensi berkurangnaya agency problem karena adanya pemisahan antara pengelolaan
perusahaan dengan pengawasan yang dilakukan oleh organ dewan komisaris14

13
https://www.kennywiston.com/mengenal-one-tier-unitary-model-of-corporate-governance/, “ Mengenal One
Tier Unitary Of Corporate Governance, Daniri, Mas Ahmad ( 2014 ), “ Lead By GCG “, Penerbit Gagas BISNIS.diakses
pada 1 april 2023. Jam 12.40 WIB.
14
ibid
9
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Sistem hukum anglo saxon adalah sistem hukum dimana yang diutamakan adalah hukum
tidak tertulis yang berkembang ditengah-tengah kehidupan masyarakat dan digunakan oleh
hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang ditujukan kepadanya.

Model Anglo Saxon ini sering disebut dengan Singel-Board System yaitu struktur CG yang
tidak memisahkan keanggotaan dewan komisaris dan dewan direksi. Pokok ajaran dari rule
of law adalah terciptanya tatanan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
dimana rakyat bisa memperoleh kepastian hukum, rasa keadilan, rasa aman, dan dijamin
hak-hak asasinya. Hal ini mengandung makna, rasa keadilan yang kembali kepada rakyat,
bukan kepada kekuasaan dan para penguasa yang menciptakan hukum.

Dalam sistemone tier (unitary), fungsi pengawasan (supervisory) dan fungsi manajemen
(management) digabungkan dalam satu board of directors. Jumlah anggotaboard of
directors dalam sistem one-tier cukup beragam, mulai dari 3 sampai 31 anggota, namun
para analis berpendapat bahwa jumlah anggota yang ideal adalah 7 orang. Dalam konsep
ini keseluruhan fungsi dari seluruh peruasahaan atau organisasi dilakukan oleh satu dewan
yang biasa dikenal dengan nama dewan direktur atau board of director. Dalam system yang
berlaku ini pihak board of director melakukan kebijakan yang berfungsi sebagai eksekusi
kebijakan operasional dan juga sekaligus melakukan pengawasan atau monitoring. Dalam
struktur ini terdapat direktur eksekutif dan juga direktur non eksekutif.

3.2. Saran

Demikian makalah ini ditulis, semoga pembaca dapat memahami materi tentang Praktik
ICG pada Anglo Saxon System dari pembahasan-pembahasan di atas. Kami sebagai
penulis, menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis
akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun mengenai makalah ini.
10
DAFTAR PUSTAKA

Agus Saptono, “Board-CEO Relationships (one tier system_anglo saxon) hubungan dewan
komisaris-dewan direksi (Two tier system continental), Jurnal Magister Ekonomi FEB.
Hal. 63.

Nasrumakal, muhammad dan Andi tenriulengakal. “corporate govermance”, (Riau, 2014).

Daniri, Mas Ahmad, “Mengenal One Tier Unitary Of Corporate Governance”


https://www.kennywiston.com/mengenal-one-tier-unitary-model-of-corporate-
governance/, (Diakses pada 1 april 2023, Pukul 12.40 WIB)

David Kane, Clinical Governance: a guide for Pharmachy Healthy Organization, (Bpac: 2005)
diakses melalui www.bpac.org.nz.

Freeman, “Strategic Management: A Stake Holder Theory”, (Cambridge University Press:


1984).

Hasan Turabi, (1987). “Principles Bank Indonesia, Directorate Of Islamic Banking Of


Governance, Fredom, And Responsibility in Islam”, The American Journal Of Islamic
Social Sciences 1, Vol. 4, No. 1.

Saras Sutedja, (2021). “mengenal sistem one tier dan two tier dalam tata kelola perusahaan”,

Sripuji Ningsih, (2012). “Konsep Hukum Indonesia di Masa Sekarang” (Pekalongan: FHU),
Hal. 136.

Sucipto & Dhyah, (2014). “Proses Penerapan Prinsip Good Coorporate Governance Pada
Perusahaan Keluarga PT X”, AGORA, Vol. 2, NO. 1.

11

Anda mungkin juga menyukai