Disusun oleh :
Akmalludin Ramdani 1193040007
Dhika Nur Fitriana 1193040017
Farhan Ibadurrahman 1183040025
Husni Sirojul Milah 1193040028
Mochamad Taufik Ilyas 1193040043
Penyusun
lOMoARcPSD|17748584
DAFTAR ISI
BAB I.................................................................................................................................................
PENDAHULUAN............................................................................................................................
A. Latar Belakang......................................................................................................................
B. Rumusan Masalah................................................................................................................
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................................
BAB II...............................................................................................................................................
PEMBAHASAN...............................................................................................................................
A. Sistem Hukum Eropa Kontinental......................................................................................
1. Pengertian Sistem Hukum Anglo Saxon (Common Law)..................................................
2. Karakteristik hukum Anglo Saxon (Common Law)...........................................................
3. Sumber hukum sistem hukum Anglo Saxon (Common Law) :..........................................
4. Negara-negara Penganut Sistem Hukum Anglo Saxon (Common Law)............................
5. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Hukum Anglo Saxon (Common Law).......................
BAB III.............................................................................................................................................
KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................................................
A. Kesimpulan............................................................................................................................
lOMoARcPSD|17748584
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
BAB III
PEMBAHASAN
Doktrin tersebut, secara substansial mengandung makna bahwa hakim terikat untuk
mengikuti dan atau menerapkan putusan pengadilan terdahulu baik yang ia buat sendiri
atau oleh pendahulunya untuk kasus serupa.
Hakim Pengadilan lnggeris, dengan menerapkan doktrin ini otoritas Pengadilan
bersifat hirarki, yaitu pengadilan yang lebih rendah harus mengikuti putusan pengadilan
yang lebih tinggi untuk kasus yang serupa.
Meskipun dalam Common Law System, dikatakan berlaku doktrin Stare Decisis,
akan tetapi bukan berarti tidak dimungkinkan adanya penyimpangan oleh pengadilan,
dengan melakukan distinguishing, asalkan saja pengadilan dapat membuktikan bahwa
fakta yang dihadapi berlainan dengan fakta yang telah diputus oleh pengadilan terdahulu.
Artinya fakta yang baru itu dinyatakan tidak serupa dengan fakta yang telah mempunyai
precedent.
3. Adversary System dalam Proses Peradilan
Karakteristik yang ketiga pada Common Law, adalah adanya adversary system.
Dalam sistem ini kedua belah pihak yang bersengketa masing-masing menggunakan
lawyernya berhadapan di depan hakim. Para pihak masing-masing menyusun strategi
sedemikian rupa dan mengemukakan dalildalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di
Pengadilan. Jadi yang berperkara merupakan lawan antar satu dengan yang lainnya yang
dipanglimai oleh lawyersnya masing-masing.
Asas keterikatan hakim pada precedent disebut stare decisis et quieta non movere
(pengadilan yang tingkatannya lebih rendah harus mengikuti keputusan yang lebih
tinggi), yang lazimnya disingkat stare decisis atau disebut juga the binding force of
precedent (perkara yang sama harus diproses dengan cara yang mirip atau sama).
Hakim hanya terikat pada isi putusan pengadilan yang esensial atau
disebut ratio decidendi, yakni berhubungan langsung dengan pokok
perkara. Sedangkan dalam hal yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
pokok perkara, yakni sebatas merupakan tambahan dan ilustrasi atau disebut obiter
dicto, maka hakim dapat menilai sebagai suasana yang meliputi pokok perkara
menurut pandangan hakim itu sendiri. Putusan yang bersifat “binding precedent”
berarti putusan tersebut memiliki kekuatan yang meyakinkan.
2. Statute Law, yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya
undang-undang dalam sistem kontinental. Statute Law merupakan sumber hukum
kedua setelah yurisprudensi. Untuk melaksanakan Statute Law dibuat perangkat
peraturan pelaksanaan oleh instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan.
Fungsi Statute Law sebatas pelengkap common law yang terkadang memiliki
celah-celah, dan tidak ditujukan untuk mengatur suatu permasalahan secara
menyeluruh.
Pembentukan hukum melalui statuta law menjadi penting setelah Perang Dunia
II akibat desakan perubahan peraturan-peraturan secara cepat, dibandingkan dengan
yurisprudensi yang dirasakan lamban. Pembentukan statute law oleh Parlemen
sebenarnya merupakan bentuk penyimpangan sistem common law, yakni bentuknya
yang berupa undang-undang (written law),dan dapat merubah putusan pengadilan
(yurisprudensi) dengan suatu undang-undang baru. Namun tindakan parlemen untuk
mengubah yurisprudensi ini dibatasi oleh pendapat umum serta pendapat para sarjana
hukum. Sehingga meski memiliki hukum tertulis, masih dibatasi pendapat-pendapat
umum maupun para sarjana hukum secara obyektif yang didasarkan pada
pengetahuan atas kebiasaan atau common law yang telah ada
3. Custom, yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris
sehingga menjadi sumber nilai-nilai. Dari nilai-nilai ini hakim menggali serta
membentuk norma-norma hukum. Custom ini kemudian dituangkan dalam putusan
lOMoARcPSD|17748584
pengadilan. Di Inggris dikenal dua macam custom, yaitu local custom (kebiasaan
setempat) dan commercial custom (kebiasaan yang menyangkut perdagangan).
4. Reason (akal sehat). Reason atau common senses berfungsi sebagai sumber hukum
jika sumber hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap perkara yang
sedang ditangani oleh hakim, artinya tidak didapatkan norma hukum yang mampu
memberikan penyelesaian mengenai perkara yang sedang diperiksa. Reason
merupakan cara penemuan hukum dalam sistem common law ketika menghadapi
masalah-masalah hukum yang tidak ditemukan norma-norma hukumnya dari sumber-
sumber hukum yang lain. Dengan reason, para hakim dibantu untuk menemukan
norma-norma hukum untuk memberikan keputusan.
berasal dari putusan-putusan dalam pengadilan. Sehingga, sumber hukum yang ada
telah teruji dalam menyelesaikan suatu perkara sebelumnya.
3. Kepastian hukum lebih dihargai lagi bila dilihat dari sistem pelaksanaan peradilan di
negara-negara Anglo Saxon yaitu sistem Juri. Menurut sistem ini dalam suatu
persidangan perkara pidana para Juri-lah yang menentukan apakah terdakwa atau
tertuduh itu bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty) setelah pemeriksaan
selesai. Jika Juri menentukan bersalah barulah Hakim (biasanya tunggal) berperan
menentukan berat ringannya pidana atau jenis pidananya. Bila Juri menentukan tidak
bersalah maka Hakim membebaskan terdakwa (tertuduh).
4. Juri yang digunakan dalam sistem hukum ini adalah orang-orang sipil yang
mendapatkan tugas dari Negara untuk berperan sebagai juri dalam sidang perkara. Juri
ditunjuk oleh Negara secara acak dan seharusnya adalah orang-orang yang
kedudukannya sangat netral dengan asumsi juri adalah orang awam yang tidak
mengetahui sama sekali latar belakang perkara yang disidangkan. Kedua pihak dalam
perkara kemudian diberi kesempatan untuk mewawancara dan menentukan juri
pilihannya. Sehingga kenetralan dan keadilan dapat lebih terlihat nyata.
5. Hakim memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk seluruh tata kehidupan
masyarakat. Karena hekim memiliki wewnang yang sangat luas untuk menafsirkan
peraturan hukum yang berlaku. Selain itu, menciptakan prinsip-prinsip hukum baru
yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang
sejenis.
6. Jika ada suatu putusan yang sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, hakim dapat menetapkan putusan baru berdasarkan nilai-nilai keadilan,
kebenaran, dan akal sehat (common sense). Sehingga putusan-putusan yang ada benar-
benar sesuai kenyataan dan menyesuaikan perkembangan masyarakat.
Kelemahan:
1. Tidak ada jaminan kepastian hukumnya. Jika hakim diberi kebebasan untuk melakukan
penciptaan hukum dikhawatirkan ada unsur subjektifnya. Kecuali hakim tersebut sudah
dibekali dengan integritas dan rasa keadilan yang tinggi. Untuk negara-negara
berkembang yang tingkat korupsinya tinggi tentunya sistem hukum anglo saxon
kurang tepat dianut.
lOMoARcPSD|17748584
2. Hakim terlalu diberi kekuasaan yang amat besar dalam menentukan hukuman.
Sehingga terkadang faktor subyek dapat terjadi. Karena hakim juga manusia yang
terkadang ada rasa sungkan dan juga ada gejolak untuk melakukan tindakan-tindakan
curang. Suatu contoh, akhir-akhir ini ada berita yang mencuat mengenai hakim yang
salah membei putusan hukum mati pada terdakwa pada tahun 1991. Setelah diselidiki
lebih lanjut, kini terbukti terdakwa yang dihukum mati tersebut tidak bersalah sama
sekali.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Bertolak belakang dengan sistem civil law yang diajarkan melalui universitas-
universitas, sistem common law hidup dan berkembang secara turun temurun dalam
kebiasaan-kebiasaan di masyarakat. Sumber hukum tertinggi hanyalah kebiasaan
masyarakat yang dikembangkan di pengadilan dan telah menjadi keputusan pengadilan.
Hakekat common law sebagaimana dipraktekkan negara Inggris ketika itu adalah sebuah
judge made law, yaitu hukum yang dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan
dipertahankan oleh kekuasaan yang diberikan kepada preseden-preseden (putusan
terdahulu) para hakim.
lOMoARcPSD|17748584