Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

KAPITA SELEKTA KIMIA KLINIK

ANEMIA MAKROSITIK

(SINDROM MIELODISPLASTIK, LEUKEMIA AKUT)

KELOMPOK 8

SAIFUL PO714204222027

SITI RAMADHAN DAI PO714204222030

SRI ANJELI LIMBONG PO714204222031

SRI INDAH AYU LESTARI PO714204222032

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah dengan judul “Anemia Makrositik (Sindrom Mielodisplastik, Leukemia
Akut) dapat selesai tepat waktu. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Kapita Selekta Hematologi. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah
wawasan tentang Anemia Makrositik (Sindrom Mielodisplastik, Leukemia Akut) bagi para
pembaca dan juga bagi penyusun. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada ibu
Yaumil Fachni Tanjungbulu, S.ST,M.Kes. selaku dosen mata kuliah Kapita Selekta
Hematologi, Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini. Karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman maka kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempuraan makalah ini.
Makassar 1 September 2022

Peyusun

i
DAFTAR ISI

SAMPUL

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….…..i

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang……………………………………………………………………….....1

B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………...2
C. Tujuan………………………………………………………………………………….2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian sel darah merah (Eritrosit)…………………………………………….…3-4


B. Pengertian anemia dan klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi…….…5
C. Anemia Makrositik………………………………………………………………..…6-9
D. Sindrom Mielodisplasia atau myelodysplastic syndrome (MDS)………………....9-21
E. Leukemia Akut……………………………………………………………………..22-3

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………………………………..33
B. Saran………………………………………………………………………………….33

DAFTAR PUSTAKA

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Anemia adalah salah satu kondisi yang paling sering didiagnosis oleh dokter
perawatan primer. Pada tahun 2010, prevalensi anemia global adalah 32,9%, yaitu,
lebih dari 2,2 miliar orang terkena dampaknya. 1 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
mendefinisikan anemia sebagai jumlah hemoglobin (Hb) kurang dari 13 g/L pada
pria, kurang dari 12 g/L pada wanita nonpregnan, dan kurang dari 11 g/L pada wanita
hamil dan orang tua. Penyebab anemia bervariasi menurut usia, jenis kelamin, dan
geografi, dan anemia defisiensi besi adalah etiologi yang paling umum. (Kassebaum
NJ, 2000)

Penyebab anemia makrositik diklasifikasikan ke dalam salah satu kategori


berikut, megaloblastik atau nonmegaloblastik. Anemia megaloblastik disebabkan oleh
kekurangan atau gangguan pemanfaatan vitamin B12 atau folat. Anemia
nonmegaloblastik mungkin merupakan hasil dari disfungsi hati, alkoholisme,
sindrom myelodysplastic (MDS), atau hipotiroidisme. Penyebab umum makrositosis
berbeda berdasarkan wilayah dan pengaturan. Misalnya, di New York, 37% kasus
yang didiagnosis pada pasien yang dirawat di rumah sakit terkait dengan pengobatan.
(Savage DG, 2000)

Sindrom mielodispasia (MDS) adalah neoplasma grup mieloid yang ditandai


oleh sitopenia karena hematopoiesis yang tidak efektif, morfologi darah sumsum
tulang yang abnormal dan berisiko untuk berkembang menjadi leukemia mieloblastik
aku. Manifestasi klinis MDS sangat bervariasi tergantung pada lini seluler yang
terlibat. Meskipun proses klonal pada MDS memberikan gambaran hiperseluler pada
sumsum tulang, namun biasanya pasien mengalami sitopenia perifer karena apoptosis
intramedular terhadap sel klonal umum pada MDS, sedangkan temuan yang tidak
biasa adalah hepatomegali, splenomegali dan limfadenopati. Patofisiologi
splenomegali pada MDS belum dapat dijelaskan. (Nalluru SS, 2019)

Leukemia akut adalah gangguan klonal ganas pada organ pembentuk darah
yang melibatkan satu atau lebih garis sel dalam sistem hematopoietik. Gangguan ini
ditandai dengan penggantian sumsum tulang yang difus dengan sel hematopoietik

1
2

abnormal yang belum matang dan tidak terdiferensiasi, yang mengakibatkan


berkurangnya jumlah eritrosit dan trombosit dalam darah perifer. Berdasarkan asal
usul sel hematopoietik abnormal yang terlibat, seperti limfoid, myeloid, campuran
atau tidak berdiferensiasi, gangguan ini diklasifikasikan sesuai. Sebaliknya,
leukemia kronis mencakup spektrum penyakit yang luas yang ditandai dengan
proliferasi yang tidak terkontrol dan perluasan sel-sel dewasa yang terdiferensiasi
dari sistem hematopoietik. Dengan demikian, leukemia kronis diklasifikasikan
tergantung pada jenis sel hemopoietic yang terlibat. (Nalluru SS, 2019)

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Anemia, Anemia Makrositik, syndrom myelodisplastik, Anemia
Akut?
2. Bagaimana gambaran , Anemia Makrositik, syndrom myelodisplastik, Anemia
Akut?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui pengertian, penyebab, dan pemeriksaan laboratorium anemia
makrositik
2. Untuk Mengetahui perbedaan jenis anemia makrositik berdasarkan penyebab
terjadinya
3. Untuk Mengetahui pengertian, patogenesis, manifestasi klinis dan pemeriksaan
laboratorium syndrom myelodisplastik
4. Untuk Mengetahui pengertian, patogenesis, manifestasi klinis dan pemeriksaan
laboratorium leukemia akut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sel Darah Merah (Eritrosit)
Pada tubuh manusia sehat atau orang dewasa volume darah mencapai 7% dari
berat badan. Terdapat 3 jenis sel darah, yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah
putih (leukosit) dan keping darah (trombosit/platelet). Warnah darah dipengaruhi oleh
kadar oksigen (O2) dan Carbondioksida (CO2) di dalamnya. Darah arteri berwarna
merah muda karena banyak O2 yang berikatan dengan hemoglobin. Sedangkan darah
vena berwarna merah tua atau gelap karena kekurangan O2. Eritrosit berfungsi dalam
mengantarkan oksigen dan zat makanan yang diperlukan tubuh serta menyingkirkan
CO2 beserta hasil buangan lainnya. Leukosit berperan untuk melindungi tubuh
terhadap benda asing. Trombosit berperan dalam pembekuan darah. Proses
pembentukan sel darah meliputi pembentukan darah secara umum (hematopoiesis),
stadium awal pembentukan eritrosit (eritropoesis), pembentukan leukosit
(leukopoesis) dan trombosit (trombopoesis) (Alivameita dan Puspitasari, 2019).

Gambar .1.
1. Kelainan morfologi eritrosit
Eritrosit normal berbentuk cakram dikonkaf dan tidak memiliki inti sel. Bentuk
bikonkaf mempunyai area permukaan yang luas sehingga jumlah oksigen yang terikat
hemoglobin lebih banyak selain itu morfologi eritrosit mampu berubah bentuk agar
mudah melewati kapiler yang kecil. Fariasi dalam ukuran, bentuk, dan warna eritrosit
dapat dilihat pada apusan darah tepi dengan pemeriksaan secara mikroskopis
menggunakan pewarnaan Wright atau Romanowsky. Adanya variasi morfologi
eritrosit ini diakibatkan oleh kondisi patologis, Variasi morfologi eritrosit dapat dibagi
menjadi variasi dalam ukuran, bentuk, warna, inklusi eritrosit dan perubahan dalam
distribusi eritrosit. (Aliviameita dan Puspitasari, 2019).

3
4

Variasi Ukuran Eritrosit


a. Normositik
Merupakan ukuran eritrosit normal, kira-kira 6,8 – 7,5 µm dan Mean Corpuscular
Volume (MCV) 80-100 fL. Eritrosit normal berukuran hampir sama dengan inti
limfosit eritrosit. (Aliviameita dan Puspitasari, 2019).
b. Makrositosis
Merupakan keadaan diameter rata-rata eritrosit lebih dari 8,2 µm, Mean
Corpsucular Volume (MCV) lebih dari 100 fL. Adanya makrositosis berhubungan
dengan penyakit liver, defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, neonates, dan
retikulositosis. Sering dijumpai pada anemia megaloblastic, anemia pada
kehamilan, anemia makrositik (anemia pernisiosa, anemia defisiensi asam folat).
Makrositosis disebabkan oleh cacat maturase inti sel pada ertiropoiesus, adanya
defisiensi vitamin B12 atau folat yang menyebabkan gangguan pembelahan mitosis
di sumsum tulang. Selain itu, adanya peningkatan stimulasi eritropoetin
menyebabkan sistesis hemoglobin meningkat dalam perkembangan sel, sehingga
eritrosit berukuran lebih besar dari ukuran normal. (Aliviameita dan Puspitasari,
2019).
c. Mikrositosis
Merupakan keadaan diameter rata-rata eritrosit kurang dari 6,2 µm, dengan
Mean Corpuscular Volume (MCV) kurang dari 80 fL. Ditemukan pada kasus
anemia defisiensi besi, thalassemia minor, inflamasi kronis, keracunan timbal,
hemoglobinopati yang disebabkan oleh defisiensi besi, gangguan sistesis globulinm
atau kelainan mitokondria yang mempengaruhi sintesis heme pada molekul
hemoglobin. (Aliviameita dan Puspitasari, 2019).
d. Anisositosis
Merupakan adanya fariasi ukuran eritrosit atau volume eritrosit pada Hapusan
Darah Tepi (HDT) umumnya dijumpai pada kasus anemia kronik yang berat.
Variasi ini berhubungan dengan lebar distribusi sel darah merah (Red Blood Cell
Distribution/RDW) yang ditentukan secara elektronik. RDW yang lebih besar dari
14,5% menunjukkan populasi eritrosit yang heterogen dan akan terlihat berbagai
ukuran eritrosit (Aliviameita dan Puspitasari, 2019).
5

B. Pengertian Anemia dan klasifikasi anemia berdasarkan morfologo dan etiologi


Anemia adalah kedaan dimana dimana jumlah sel darah merah atau jumlah
hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada dibawah
normal. Sel darah merah mengandung hemoglobin, yang memungkinkan mereka
mengangkut oksigen dari paru-paru dan mengantarkannya keseluruh bagian tubuh.
anemia menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin
dalam sel darah merah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen dalam
jumlah sesuai yang diperlukan tubuh. Anemia adalah gejala dari kondisi yang
mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya
nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah, yang mengakibatkan
penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah (Doengoes 1999 : dalam Desmawati
2013).
Anemia dapat berasal dari pendarahan, peningkatan penghancuran sel darah
merah atau penurunan produksi sel darah merah. Mekanisme-mekanisme ini menjadi
dasar dari pembagian klasifikasi anemia. (Buku_Ajar_Patologi_Robbins)
a. Klasifikasi Anemia
1. Anemia hipokromik mikrositer
a) Anemia defisiensi besi
b) Thalassemia major
c) Anemia akibat penyakit kronik
d) Anemia sideroblastik
2. Anemia normokromik normositer
a) Anemia pasca pendarahan akut
b) Anemia aplastik
c) Anemia hemolitik didapat
d) Anemia akibat penyakit kronik
e) Anemia pada gagal ginjal kronik
f) Anemia pada sindrom mielodisplastik
g) Anemia pada keganasan hematologik
3. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
- Anemia defisiensi asam folat
6

- Anemia difisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa


b) Bentuk non-megaloblastik
- Anemia pada penyakit hati kronik
- Anemia pada hipotiroidisme
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
(Setiati S, 2014)

C. Anemia makrositik
Anemia makrositik merupakan klasifikasi morfologis anemia yang memiliki MCV
lebih dari 100 fL, MCH meningkat, namun MCHC berada dalam range normal.
Anemia ini disebut makrositik/ normokromik. Anemia makrositik dibagi menjadi dua
kategori, yaitu proses megaloblastik dan nonmegaloblastik. Jika penyebab anemia
karena defisiensi vitamin B atau asam folat maka disebut anemia megaloblastik.
Tetapi Jika sumber anemia tidak berhubungan dengan kekurangan gizi maka disebut
anemia makrositik tetapi tidak megaloblastik. Kekurangan vitamin B12 atau asam
folat menyebabkan gangguan sintesis DNA, suatu kondisi serius, dan akan
memengaruhi semua sel yang siap membelah diri, sel kulit, sel hematopoietik, dan sel
epitel, serta menimbulkan efek pada sumsum tulang, hapusan darah tepi, dan
menyebabkan kualitas hidup pasien sangat dramatis dan substantif. (Aliviameita dan
Puspitasari, 2019).
1. Anemia Megaloblastik
Proses megaloblastik dapat merusak sintesis DNA, sehingga akan berpengaruh
terhadap sel berinti. Terjadi beberapa perubahan struktur eritrosit dan leukosit
dalam sumsum tulang yang harus diketahui. Prekursor sel darah merah
megaloblastik lebih besar, struktur nuklear kurang terkondensasi, dan sitoplasma
sangat basofilik atau berwarna jauh lebih biru. Ada ketidaksesuaian antara usia
material inti sel dan usia sitoplasma. Ketika tahapan sel tidak sesuai, maka harus
diperhatikan bahwa seri eritrosit normal diprogram untuk dua fungsi spesifik, yaitu
sintesis hemoglobin dan pengeluaran inti sel. Agar inti sel dikeluarkan maka harus
terjadi perubahan dalam ukuran inti dan konsistensi struktur inti. Oleh karena itu,
kromatin diawali dengan baik, retikuler, dan halus harus memiliki tekstur dan
konformasi yang berbeda sebelum dikeluarkan dari normoblas ortokromik. Dalam
eritropoiesis megaloblastik, tekstur dan kondensasi material inti terganggu.
7

Material inti (atau kromatin) rapuh dan tidak memiliki komposisi dan kondensasi
dari inti yang siap dikirim dari sel. Demikian juga, material sitoplasma dalam
prekursor megaloblastik awal sangat basofilik, jauh lebih biru dari prekursor
normal. (Aliviameita dan Puspitasari, 2019).

Gambar. 2. Prekursor megaloblastik menunjukkan nukleus dan kromatin


asinkron (dikutip dari Ciesla, 2007 dalam Aliviameita dan
Puspitasari, 2019)

Anemia megaloblastik biasanya merupakan penyakit usia menengah ke atas


dengan predileksi tinggi pada wanita. Anemia berat, di mana hemoglobin turun
menjadi 7-8 g/dL, disertai dengan gejala anemia, seperti sesak napas, pusing,
kelemahan ekstrem, dan pucat. Pasien dapat mengalami glositis (peradangan pada
lidah) atau lidah membesar, pencernaan yang terganggu, atau diare. Selain itu juga
dapat menyerang sistem neurologis, yaitu pasien mengalami mati rasa, parestesia
atau kesemutan, kesulitan dalam keseimbangan dan berjalan, dan perubahan
kepribadian menyebabkan demielinasi saraf perifer, tulang belakang, dan otak,
yang dapat menyebabkan banyak gejala neurologis yang lebih parah, seperti
spasticity atau paranoia. Pasien juga mengalami ikterus, karena rentang hidup
eritrosit rata-rata pada anemia megaloblastik adalah 75 hari, padahal keadaan
normal rata-rata rentang eritrosit 120 hari.Tingkat bilirubin meningkat, dan tingkat
laktat dehidrogenase (LDH) tinggi, yang menandakan adanya hemolisis.
(Aliviameita dan Puspitasari, 2019)
Pada pemeriksaan darah lengkap (DL) menunjukkan pansitopenia (jumlah
eritrosit, leukosit, dan trombosit rendah). Pansitopenia pada pemeriksaan DL
disertai keadaan makrositosis dapat meningkatkan kecurigaan terjadinya proses
megaloblastik karena kondisi lainnya, seperti anemia aplastik dan hipersplenisme.
8

Badan inklusi eritrosit seperti basofilik stippling dan Howell-Jolly bodies dapat
diamati. Howell-Jolly bodies yang terbentuk dari eritropoiesis megaloblastik lebih
besar dan lebih terfragmentasi dalam penampilan daripada Howell-Jolly bodies
yang normal. Jumlah retikulosit rendah (kurang dari 1%) dan RDW meningkat
karena adanya schistocytes, sel-sel target, dan tear drop cells. Hapusan darah pada
anemia megaloblastik sangat relevan dalam diagnosis dan menunjukkan makrosit,
makro-ovalosit, neutrofil multilobus hipersegmentasi (Gambar 3.5), dan
polikromasia kecil terkait dengan anemia. Adanya neutrofil hipersegmented
(jumlah lobus lebih dari lima lobus) dalam kombinasi dengan anemia makrositik
adalah penanda morfologis untuk anemia megaloblastik. MCV awalnya sangat
tinggi dan mungkin berada di kisaran 100 hingga 140 fL. Pemeriksaan sumsum
tulang tidak diperlukan untuk diagnosis anemia megaloblastik, karena diagnosis
gangguan ini dapat dilakukan secara adekuat tanpa prosedur yang memakan waktu,
mahal, dan invasif. .( Aliviameita dan Puspitasari, 2019)

Gambar. 3. Sel hypersegmented neutrofil dan makro-ovalosit pada hapusan


darah pasien anemia megaloblastic (dikutip dari Ciesla, 2007
dalam Aliviameita dan Puspitasari, 2019)

2. Anemia Nonmegaloblastik
Ketika makrosit tampak pada hapusan darah tepi maka penting untuk
mengamati bentuk, warna, atau hipokromia, karena petunjuk morfologis ini dapat
membantu menentukan apakah makrositosis adalah megaloblastik atau
nonmegaloblastik. Makrosit megaloblastik berukuran besar dan oval, dengan
membran luar lebih tebal dan kurang hipokromia. Makrosit pada hapusan darah
tepi yang tidak memiliki karakteristik ini umumnya bukan berasal dari
megaloblastik. Beberapa keadaan dapat mempengaruhi gambaran darah makrositik
tanpa defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Keadaan yang paling sering terlihat
adalah respon sumsum tulang terhadap anemia hemolitik, yaitu akan tampak
9

adanya retikulositosis. Hal ini karena retikulosit merupakan makrosit


polikromatofilik dan karena retikulosit akan dikirim prematurely dari sumsum
tulang sebagai respons terhadap hemolisis. Pada kasus ini, MCV hanya sedikit
lebih tinggi, sampai dengan 105 fL. ( Aliviameita dan Puspitasari, 2019)
Makrositosis juga dapat dilihat pada keadaan hipotiroidisme, penyakit hati
kronis, alkoholisme, terapi kemoterapi, atau myelodysplastic disorder. Terkadang
pada pasien penyakit hati kronis dan alkoholisme juga ditemukan makrosit
hipokromik bulat. Selain itu, makrositik juga terdapat pada bayi baru lahir karena
sumsum tulang mereka immatur dan mengirimkan secara cepat sel berinti dan
retikulosit. .( Aliviameita dan Puspitasari, 2019)

Gambar. 4. Jenis morfologi makrosit dipengaruhi oleh berbagai kondisi klinis: (a)
oval makrosit, (b) makrosit hipokromik bulat, (c) makrosit berwarna
kebiruan (dikutip dari Ciesla, 2007 dalam Aliviameita dan Puspitasari, 2019)

D. Sindrom Mielodiplasia atau myelodysplastic syndrome (MDS)


Sindrom mielodisplastik menggambarkan sekelompok kelainan sel punca yang
ditandai oleh gangguan maturasi yang berhubungan dengan hematopoiesis yang tidak
efektif dan beresiko tinggi untuk mengalami transformasi menjadi AML. Pada MDS,
sumsum tulang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh progenitor klonal dari sel
punca multipoten yang mengalami transformasi kemampuan untuk berdiferensiasi
menjadi sel darah merah, granulosit, trombosit, namun melalui cara yang tidak efektif
dan tidak normal. Akibatnya, susmsum tulang biasanya hiperseluler atau
normoseluler, tetapi darah tepi menunjukkan gambaran sitopenia. Klona sel punca
abnormal dalam sumsum tulang tidak stabil secara genetik, dan rentan terhadap
mutasi tambahan dan transformasi menjadi AML. (Kumar, V et.al : 2019)
Sindrom myelodysplastic ("myelo" berarti sumsum) dan “displastik” berarti bentuk
dan penampilan abnormal) terjadi ketika sel induk darah menjadi abnormal karena
perubahan genetik (mutasi). Sel induk darah dan sumsum tulang yang rusak tidak
berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika sumsum tulang tidak berfungsi dengan baik,
10

ia tidak dapat membuat cukup sel darah sehat. Sel-sel sumsum tulang yang paling
imatur (sel blast) tidak dapat melakukan fungsi spesifik dari sel-sel dewasa dan
mereka menumpuk di sumsum dan darah.

Gambar. 5. Pengertian Sindrom


Mielodisplasia atau myelodysplastic syndrome (MDS)
a. Patogenitas Sindrom myelodyplastic
Sindrom mielodisplasia atau myelodyplastic syndrome (MDS) adalah kanker
darah yang terjadi di sumsum tulang. Dalam kondisi ini, sumsum tulang memproduksi
sel darah yang belum matang (immature) yang disebut dengan blast. Sel muda
tersebut bertambah banyak sehingga menekan produksi sel yang matang dan sehat.
MDS terbagi menjadi primer dan sekunder, dimana sindrom mielodisplastik
primer ditandai dengan displasi dari system hematopoietic (dysmyelopoesis,
dyserthoropoesis, dan dysthrombopoesis), baik tunggal maupun campuran, disertai
dengan gangguan maturase dan diferansiasi yang penyebab sebelumnya belum
diketahui. Sedangkan mielodisplastik sekunder adalah sindrom yang diketahui
penyebabnya, misal defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat, pengobatan
sitostatik, dan sebagainya.
Sindrom myelodysplastic ("myelo" berarti sumsum) dan “displastik” berarti
bentuk dan penampilan abnormal) terjadi ketika sel induk darah menjadi abnormal
karena perubahan genetik (mutasi). Sel induk darah dan sumsum tulang yang rusak
tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika sumsum tulang tidak berfungsi dengan
baik, ia tidak dapat membuat cukup sel darah sehat. Sel-sel sumsum tulang yang
paling imatur (sel blast) tidak dapat melakukan fungsi spesifik dari sel-sel dewasa dan
mereka menumpuk di sumsum dan darah. (Elizabeth Amy DeZern, 2019)
Pada orang sehat, sel blast membentuk kurang dari 5 persen dari semua sel
sumsum tulang. Pada pasien MDS, sel-sel blast dapat membentuk antara 5 dan 19
persen dari sel-sel di sumsum tulang. Jumlah sel blast yang tinggi di sumsum tulang
11

merupakan penentu keparahan MDS. Menurut definisi, 20 persen atau lebih sel blast
di sumsum tulang menunjukkan penyakit telah berkembang menjadi myeloid akut
leukimia (LMA). (Elizabeth Amy DeZern, 2019)
MDS (Mielodiplastik Sindrom) didefinisikan sebagai kelainan sel induk
hematopoietik klonal yang ditandai dengan sitopenia, miyelodysplasia, hematopoeisis
yang tidak efektif, dan peningkatan resiko perkembangan menjadi leukemia myeloid
akut ( AML). Pasien dengan MDS dapat mengalami anemia, perdarahan karena
perdarahan trombositopenia dan infeksi atau demam karena neutropenia. Pemeriksaan
darah tepi menunjukkan sitopenia akibat hematopoesis yang tidak efektif. MDS
diklasifikasikan menurut system klasifikasi WHO berdasarkan kombinasi morfologi,
imunofenotipe, genetika dan fitur klinis (Nagao & Hirokawa, 2016)

Gambar. 6. Patogenitas Sindrom Mielodisplasia atau myelodysplastic syndrome


(MDS)
b. Pemeriksaan laboratorium untuk diangnosis Mielodisplasia atau myelodysplastic
syndrome (MDS)
12

1 Anemia/perdarahan/febris yang tidak jelas sebabnya dan refrakter terhadap


pengobatan
2 Pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya sitopeni dari satu atau lebih system
darah.
3 Adanya sel-sel muda/blas dalam jumlah sedikit (<30%) dengan atau tanpa
monositosis darah tepi.
4 Sumsum tulang dapat hipo, normo, atau hiperselular dengan disertai displasi system
hematopoiesis (anomaly Pelger-Huet, perubahan megaloblastic, peningkatan ringan
sel-sel blas dan sebagainya.
5 Perlu dilakukan pemeriksaan pembiakan sel-sel sumsum tulang dan pemeriksaan
sitogenik. Sitogenik sumsum tulang dapat memberikan informasi prognosis dan
adanya abnormalitas kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan SDM
primer dan sekunder.
c. Pemeriksaan laboratorium untuk Diagnosis mielodisplasia atau myelodyplastic syndrome
(MDS), antara lain:
1 Hitung Darah Lengkap (CBC) dan Differensial Count Leukosit
Seorang dokter akan memesan CBC dengan diferensial untuk mengukur jumlah sel
darah merah, sel darah putih dan trombosit dalam darah. Tes diferensial mengukur
berbagai jenis sel darah putih dalam sampel. Pasien dengan sindrom myelodysplastic
sering memiliki jumlah rendah dari satu atau lebih jenis sel darah. Jika anemia
terdeteksi, warna merah sel darah diperiksa lebih lanjut untuk : Kekurangan zat besi,
folat atau vitamin B12, Tanda-tanda kanker jenis lain atau masalah sumsum tulang atau
Penyebab lain anemia, seperti gagal ginjal.
2 Hitung Retikulosit.
Retikulosit adalah sel prekursor (belum matang) yang berkembang menjadi sel darah
merah matang. Hitung retikulosit mengukur jumlah retikulosit dalam darah yang
bersirkulasi. Ini menunjukkan seberapa cepat sel-sel ini dibuat dan dilepaskan oleh
sumsum tulang dan apakah sumsum tulang berfungsi dengan baik. Respon tubuh
terhadap anemia adalah sumsum tulang membuat lebih banyak retikulosit. Jumlah
retikulosit yang rendah menunjukkan bahwa tulangsumsum tidak bekerja dengan baik.

3 Sediaan Darah Tepi.


Apusan darah tepi adalah tes di mana ahli hematopatologi memeriksa setetes darah di
bawah mikroskop untuk mengidentifikasi perubahan yang tidak biasa dalam jumlah,
13

ukuran, bentuk, penampilan dan kematangan berbagai sel darah. Pada sindrom
myelodysplastic, sel darah memiliki bentuk atau ukuran yang tidak normal (displasia).
Ahli hematopatologi juga akan memeriksa apusan darah tepi untuk mengetahui adanya
sel blast. Sel blast biasanya ditemukan di sumsum tulang, tetapi biasanya tidak
ditemukan dalam darah orang sehat. Dalam beberapa kasus MDS, sejumlah kecil sel
blast dapat ditemukan dalam darah.
4 Serum Eritropoietin (EPO).
Erythropoietin adalah zat yang dibuat di ginjal. Ini merangsang sumsum tulang untuk
memproduksi lebih banyak sel darah merah. Mengukur jumlah EPO dalam darah dapat
membantu menentukan apakah EPO rendah. Tingkat EPO yang rendah dapat
menyebabkan anemia dan mungkin merupakan tanda masalah kesehatan seperti MDS.
Tingkat EPO yang rendah juga dapat memperburuk anemia pada orang yang memiliki
MDS. Sebagian besar pasien dengan anemia terkait MDS memiliki kadar EPO serum
yang relatif rendah.
5 Tes Sumsum Tulang: Aspirasi dan Biopsi
Untuk memastikan diagnosis MDS, sampel sumsum tulang pasien harus diambil untuk
pengujian. Aspirasi sumsum tulang dan biopsi adalah dua prosedur yang dilakukan
untuk mendapatkan sampel sumsum tulang yang diperiksa untuk kelainan. Kedua
prosedur ini umumnya dilakukan pada waktu yang bersamaan. Sampel biasanya
diambil dari tulang pinggul pasien (anestesi lokal digunakan untuk mematikan rasa di
tempat penyisipan). Sumsum tulang memiliki bagian cair dan padat. Untuk aspirasi
sumsum tulang, jarum biopsi berongga khusus dimasukkan melalui tulang pinggul dan
ke dalam sumsum untuk mengeluarkan (menyedot) sampel cairan sel. Dalam biopsi
sumsum tulang, jarum khusus yang lebih lebar digunakan untuk mengambil sampel inti
tulang padat yang mengandung sumsum.
Setelah sampel diambil, ahli hematopatologi meninjau sampel di bawah mikroskop
untuk menilai jenis, ukuran, penampilan, dan kematangan sel. Sebagai bagian dari
penilaian ini, spesialis akan mencatat tanda-tanda myelodysplastic sindrom, seperti
- Sel dengan ukuran atau bentuk abnormal (displasia)
- Jumlah abnormal (terlalu banyak atau terlalu sedikit) dari semua jenis sel darah
- Peningkatan jumlah sel blast
- Jumlah sel yang rendah atau tinggi secara abnormal di sumsum tulang
- Sel darah merah yang memiliki terlalu banyak atau terlalu sedikit zat besi
14

6 Pengujian Sitogenetik (Karyotyping)


Dalam tes ini, ahli hematopatologi menggunakan sampel darah atau sumsum tulang
pasien untuk memeriksa kromosom di dalam sel. Adalah umum bagi sel kanker untuk
memiliki kromosom abnormal.
Sel manusia normal mengandung 23 pasang kromosom, dengan total 46 kromosom.
Setiap pasangan kromosom memiliki ukuran, bentuk dan struktur tertentu. Sekitar 50
persen pasien MDS memiliki satu atau lebih cacat kromosom yang dapat dilihat pada
sampel darah yang dilihat di bawah mikroskop.
Ada berbagai jenis cacat kromosom. Misalnya, salah satu bagian dari kromosom atau
seluruh kromosom mungkin hilang, atau mungkin ada salinan tambahan dari
kromosom.
7 Fluoresensi In Situ Hibridisasi (FISH)
Tes ini menggunakan pewarna khusus yang memungkinkan ahli hematopatologi
mendeteksi perubahan gen dan kromosom sel.
Tes ini mengidentifikasi perubahan gen atau kromosom tertentu yang umum terjadi
pada pasien MDS.
8 Pengujian Molekul
Tes ini dapat dilakukan pada sampel darah atau sumsum tulang untuk mencari mutasi
pada gen yang terkait dengan sindrom myelodysplastic. Terkadang, hasil pengujian
molekuler mempengaruhi pengobatan atau hasilnya. Mutasi tertentu dikaitkan dengan
hasil yang lebih baik atau lebih buruk. Dokter menggunakan hasil pengujian molekuler
untuk membantu merencanakan pengobatan.
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian telah mengidentifikasi beberapa mutasi gen
di antara MDS pasien. Ini penting karena
- Ada lebih dari 40 gen yang dapat bermutasi di MDS.
- Banyak pasien (lebih dari 80 persen) cenderung memiliki setidaknya satu mutasi.
- Berdasarkan fungsi gen yang bermutasi ini, para peneliti telah mempelajari tentang
mekanisme molekuler yang bertanggung jawab untuk pengembangansindrom
mielodisplastik.
- Pola spesifik mutasi yang terlihat pada pasien MDS mungkin sebagian
menjelaskan variabilitas penyakit, dan pola spesifik ini kemungkinan akan
mengarah pada sistem klasifikasi yang lebih baru berdasarkan kelainan genetik.
15

- Sebuah subset dari mutasi mungkin memiliki nilai prognostik. Mutasi pada gen
tertentu telah dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik dan lebih buruk daripada
yang diprediksi oleh Sistem Skor Prognostik Internasional (IPSS) (lihat Sistem
Skor Prognostik Internasional di halaman 10).
- Gen yang paling sering bermutasi pada pasien MDS adalah TET2, SF3B1,ASXL1,
DNMT3A, SRSF2, RUNX1, TP53, U2AF1, EZH2, ZRSR2, STAG2, GBL,
NRAS, JAK2, SETBP1, IDH1, IDH2dan ETV6.
Pengujian mutasi genetik pada sindrom myelodysplastic telah berkembang
dalam beberapa tahun terakhir dan menjadi lebih banyak tersedia. Kemajuan dalam
pemahaman fitur genetik sindrom myelodysplastic akan membantu dokter
memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kondisi penyakit pasien untuk
mengembangkan pengobatan yang ditargetkan. (Elizabeth Amy DeZern, 2019)
d. Etiologi, manifestasi klinik, dan pengobatan sindrom myelodysplastic
Patofisiologi dan etiologi Tahap awal MDS, kematian sel terprogram yang
berlebihan (apoptosis) adalah peristiwa yang dominan disusul oleh sitopenia dengan
derajat yang bervariasi. Selanjutnya, dengan perkembangan penyakit, mutasi gen, dan
transformasi leukemia, menyebabkan penghancuran Bone Marrow oleh sel-sel
leukemia. Mutasi klon adalah pemicu perkembangan MDS yang mengarah ke
penekanan sel induk normal. Mutasi ini mungkin hasil dari kerentanan genetik atau
kerusakan sel induk hematopoietik. (
Kebanyakan pasien dengan MDS tidak memiliki penyebab yang jelas (sekitar
80%) dan disebut sebagai idiopatik atau primer. MDS sekunder menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) berkembang bertahun-tahun setelah terpapar agen yang
diketahui menyebabkan kerusakan kromosom seperti kemoterapi (agen alkilasi,
inhibitor topoisomerase II), radioterapi, logam berat (merkuri, timbal), infeksi virus,
bahan kimia beracun (benzena, fungisida), dan beberapa kondisi autoimun
Ada banyak jenis sindrom myelodysplastic. Sindrom myelodysplastic pertama
dapat bermanifestasi sebagai anemia (penurunan jumlah sel darah merah yang sehat
dalam darah). Sindrom myelodysplastic bisa berkembang sangat lambat, atau bisa
menjadi penyakit yang tumbuh cepat. Kasus MDS yang parah membawa risiko tinggi
berkembang menjadi AML. (Elizabeth Amy DeZern, 2019)
Gambaran apusan darah tepi yang bisa ditemukan pada pasien MDS di antaranya:
1. Seri eritrosit:
16

a) anisositosis
b) poikilositosis

c) basophilic stippling
2. Seri leukosit
a) pseudo Pelger-Huet
b) hipogranulasi netrofil
c) hipersegmentasi netrofil
d) sel blast
3. Seri trombosit
a) Anisositosis
b) giant platelet

Eritrosit anisopoikilositosis

Gambar. 7. Giant platellet


17

Gambar. 8. Hipersegmentasi neutrofil

Gambar. 9. Hipogranulasi neutrofil

Gambar. 10. Mieloblas

Gambar. 11. Pseudo pelger-huet


18

Gambar. 12. basophilic stippling


(Malcovati L, Lindberg EH, BowenD. 2013)
Gambaran sumsum tulang yang bisa ditemukan pada pasien MDS di antaranya:
1. Seri eritrosit:
a) binukleus
b) internuclear bridging
c) sisi inti iregular
d) perubahan megaloblastoid
e) ring sideroblast
f) cytoplasmic inclusion
g) cytoplasmic bridging
h) incomplete hemoglobinization
i) fringed cytoplasm
j) vakuolisasi
 
2. Seri leukosit
a) pseudo Pelger-Huet
b) hipogranulasi netrofil
c) hipersegmentasi netrofil
d) bizzare nuclear shape
e) granula pseudo Chediak-Higashi
3.  Seri trombosit
a) bentuk monolobus berukuran besar
b) small binucleated elements
c) dispersed nuclei
d) micromegakaryocytes
e) degranulasi
19

Gambar. 13. Internuclear bridging

Gambar. 14. Binucleated normoblas

Gambar. 15. hipolobulasi dan mikromegakariosit


20

Gambar. 16. bizzare nuclei

Gambar. 17. hiperlobulasi megakariosit

Gambar. 18. pseudo Pelger-Huet anomaly


21

Gambar. 19. cytoplasmic bridging

Gambar. 20. inti ireguler

Gambar. 21. multinucleated normoblast


22

Gambar. 22. giant thrombocyte

Gambar. 23. makroovalosit, eliptosit

Gambar. 24. Donut cell

E. Leukemia Akut
Leukemia adalah suatu tipe dari kanker yang berasal dari kata Yunani
leukos putih, haima- darah. Leukemia adalah kanker yang mulai dari sel-sel
darah. Penyakit ini terjadi ketika sel darah memiliki sifat kanker yaitu membelah
tidak terkontrol dan menggangu pembelahan sel darah normal. Leukemia (kanker
darah) adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel darah putih yang
diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow) (Padila, 2013). Leukemia adalah
poliferasi sel lekosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit yang
23

lain dari pada normal, jumlahnya berlebihan dan dapat menyebabkan anemia,
trombisitopeni dan diakhiri dengan kematian (Nurarif & Kusuma, 2015)
Leukemia adalah keganasan hematologi akibat proses neoplastic yang
disertai gangguan diferensiasi (maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel
induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansi progesif dari kelompok (clone) sel
ganas tersebut dalam sumsum tulang kemudian leukemia beredar secara sistemik
(Bakta, 2006 : dalam Desmawati 2013).
Leukemia disebabkan oleh mutasi sumsum tulang pluripoten atau most
primitive stem cells.Neoplastik ini merupakan hasil perkembangan abnormal, sel
leukemia dan gangguan produksi eritrosit, neutrofil, dan trombosit. Sebagai hasil
mutasi sel, dan gangguan hematopoiesis, sel leukemia masuk ke darah perifer dan
menyerang jaringan retikuloendotelial, khususnya limpa, hati, kelenjar getah bening,
dan terkadang sistem saraf pusat. Stem cells leukemia memiliki kemampuan
perkembangan dan maturasi abnormal. Klon mutan dapat menunjukkan fitur
morfologis, sitogenetik, dan imunofenotipik yang unik sehingga dapat digunakan
dalam mengklasifikasikan jenis-jenis leukemia. Banyak leukemia memiliki
gambaran klinis yang serupa, tetapi terlepas dari subtipe, penyakit ini akan berakibat
fatal jika tidak segera diobati.
Untuk menentukan seseorang menderita leukemia, dapat dilakukan dengan
cara evaluasi awal leukemia dengan cara yaitu: memperhatikan gejala yang
timbul, menganalisis hasil pemeriksaan darah lengkap (DL), mengamati jenis sel
yang banyak ditemukan, dan menilai maturasi sel yang banyak ditemukan
(mendominasi). Leukemia merupakan penyakit sumsum tulang yang
menyebabkan produksi sel sumsum tulang normal menjadi terdesak ketika sel-sel
neoplastik abnormal mengambil alih, hasil darah lengkap (DL) umumnya akan
menunjukkan anemia dan trombositopenia. Tingkat anemia dan trombositopenia
cenderung lebih parah pada leukemia akut. Sedangkan ciri khas leukemia kronis
ialah terjadi leukositosis serta hepatosplenomegali.
Jenis sel yang mendominasi dalam darah perifer dan sumsum tulang
didefinisikan menurut garis keturunan sel (cell lineage) sebagai myeloid atau
limfoid. Stem cell myeloid menghasilkan granulosit, monosit, megakariosit, dan
eritrosit. Oleh karena itu, leukemia myeloid dapat melibatkan proliferasi tahap
apa pun dari keempat garis sel ini. Sebaliknya, stem cell limfoid hanya
menimbulkan sel-sel cell lineage limfositik.
24

Maturasi sel dapat digunakan untuk membedakan diagnosis awal antara


leukemia akut dan kronis. Ketika sel blast atau sel imatur yang mendominasi
maka diklasifikasikan sebagai leukemia akut. Sedangkan apabila banyak
didominasi oleh tipe sel yang lebih matur maka termasuk leukemia kronis. Onset
leukemia akut dan kronis jelas berbeda. Leukemia akut memiliki onset cepat,
sedangkan leukemia kronis memiliki perjalanan yang lambat, berbahaya dan
bahkan dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik rutin. Usia adalah faktor lain
yang sering konsisten terjadi pada jenis leukemia tertentu. Meskipun leukemia
akut dapat terjadi pada usia berapa pun, leukemia kronis biasanya merupakan
penyakit yang terlihat pada orang dewasa.
Secara spesifik untuk dua bentuk akut utama penyakit, yaitu :
1. Leukemia Mieloblastik Akut (AML)
Leukemia Myeloid Akut merupakan leukemia yang mengenai sel stem
hematopoetik yang akan berdiferensiasi ke semua sel myeloid. Leukemia
Myeloid Akut merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi
(Nurarif & Kusuma, 2015). Leukemia myeloid akut (LMA) adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan
diferensiasi sel-sel progenitor dari seri myeloid. Bila tidak diatasi, penyakit
ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam kurun waktu beberapa
minggu sampai bulan sesudah diagnosis (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, K, &
Setiati, 2010).

a b
Gambar. 25. Perbedaan gambaran darah normal dan AML:
(a) Menunjukkan sel pada sumsum normal, bentuk lebih gelap adalah
inti sel. Beberapa nukleus berbentuk lingkaran dan beberapa
berbentuk tapal kuda yang mencerminkan berbagai tahap
perkembangan dan berbagai jenis sel;
(b) Menunjukkan sel-sel blast AML. Sel-sel ini "ditangkap" pada tahap
awal perkembangan. Sel-sel AML pada Gambar b semuanya
25

memiliki penampilan yang serupa, berbeda dengan penampilan


bervariasi dari sel-sel normal pada Gambar a (Karp, 2011 dalam )
AML merupakan hasil dari perubahan yang diperoleh dalam DNA
(materi genetik) dari sel sumsum yang sedang berkembang. Setelah sel
sumsum menjadi sel leukemia, dia bermultiplikasi menjadi 11 miliar sel atau
lebih. Sel-sel ini disebut leukemic blast, dan tidak berfungsi secara normal.
Namun, mereka berkembang dan bertahan lebih baik dari sel-sel normal.
Kehadiran leukemic blast menghambat produksi sel normal. Akibatnya,
ketika AML didiagnosis, jumlah sel darah sehat (eritrosit, leukosit, dan
trombosit) biasanya lebih rendah dari normal (Gambar 5.2). AML adalah
penyakit klonal ganas yang melibatkan proliferasi blast di sumsum tulang,
darah, atau jaringan lainnya. Sel blast yang paling sering menunjukkan
diferensiasi yaitu mieloid atau monosit. Hampir 80% pasien dengan AML
akan menunjukkan kelainan kromosom, biasanya terjadi mutasi akibat
translokasi kromosom (perpindahan satu bagian kromosom ke yang lain).
Translokasi ini menyebabkan onkogen abnormal atau ekspresi gen penekan
tumor, dan menghasilkan proliferasi sel yang tidak teratur. Sindrom genetik
dan paparan toksik berkontribusi terhadap patogenesis pada beberapa pasien.
Leukemia mieloid akut (AML) adalah sekelompok keganasan
hematologi yang ditandai dengan heterogenitas metabolik. Meskipun tingkat
remisi lengkap yang tinggi pada pasien AML, kelangsungan hidup 5 tahun
secara keseluruhan masih buruk, terutama pada pasien di atas usia 60 tahun
(Liu dkk, 2022).
Leukemia Mieloblastik Akut memiliki dua puncak kejadian, selama
kanak-kanak dan kemudian pada orang dewasa. Meskipun penyakit ini dapat
terjadi pada semua usia, diagnosanya relative jarang terjadi sebelum usia 40
tahun.
2. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
Leukemia Limfoblastik Akut adalah kanker yang sering terjadi
didiagnosis pada kelompok usia anak, berjumlah sekitar 25-30% dari semua
gangguan keganasan pada masa anak-anak (Tebbi, 2021).
Leukemia limfoblastik akut (ALL) merupakan transformasi keganasan
dan proliferasi sel-sel progenitor limfoid di sumsum tulang, darah, dan
26

ekstramedulla. Sebanyak 80% ALL terjadi pada anak-anak, dan merupakan


penyakit yang berbahaya ketika terjadi pada orang dewasa.

Gambar. 26. Perbedaan gambaran darah normal dan LLA:


(a) Menunjukkan sel yang berkembang di sumsum sehat. Variasi dalam
penampilan sel adalah karakteristik dari sumsum normal;
(b) Menunjukkan sel sumsum dari pasien dengan leukemia limfoblastik
akut. Penampilan yang tidak bervariasi menandakan sel-sel blast
leukemia (Raetz, 2014 dalam )
ALL didapat dari diturunkan (acquired) atau karena cedera genetik
pada DNA sel tunggal di sumsum. ALL mengakibatkan perkembangan yang
tidak terkendali dan berlebihan serta terjadinya akumulasi sel yang disebut
"limfoblas" atau "leukemic blast," yang gagal berfungsi sebagai sel darah
normal. Kehadiran leukemic blast akan menghambat produksi sel normal.
Sehingga ketika didiagnosis ALL maka jumlah sel darah sehat (eritrosit,
leukosit, dan trombosit) biasanya lebih rendah dari normal.
1. Penyebab, patogenesis dan Gejala Leukemia Akut
AML (Leukemia mieloid akut)
Penyebab dari penyakit leukemia tidak diketahui secara pasti. Faktor yang
diduga mempengaruhi frekuensi terjadinya leukemia yaitu:
a. Radiasi
Berdasarkan laporan riset menunjukkan bahwa :
1) Para pegawai radiologi berisiko untuk terkena leukemia.
2) Pasien yang menerima radioterapi berisiko terkena leukemia.
3) Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima
dan Nagasaki di Jepang.
b. Faktor Leukemogenik
27

Terdapat beberapa zat kimia yang dapat mempengaruhi frekuensi


leukemia :
1) Racun lingkungan seperti benzena : paparan pada tingkat yang tinggi
dari benzene pada tempat kerja dapat menyebabkan leukemia.
2) Bahan kimia industri seperti insektisida dan Formaldehyde.
3) Obat untuk kemoterapi : pasien-pasien kanker yang dirawat dengan
obat-obat melawan kanker tertentu adakalanya dikemudian hari
mengembangkan leukemia. Contohnya, obat-obat yang dikenal sebagai
agen alkylating dihubungkan dengan pengembangan leukemia
bertahun-tahun kemudian.

c. Herediter
Penderita sindrom down, suatu penyakit yang disebabkan oleh kromosom
abnormal mungkin meningkatkan risiko leukemia, yang memiliki
insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang normal.
d. Virus
Virus dapat menyebabkan leukemia menjadi retrovirus, virus leukemia
feline, HTLV-1 pada dewasa.
(Padila, 2013)
Patogenesis LMA
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel
muda (blas) dengan akibat terjadi akumulasi sel blas di sumsum tulang.
Akumulasi sel blas didalam sumsum tulang menyebabkan gangguan
hematopoesis normal dan pada gilirannya mengakibatkan sindrom kegagalan
sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya
sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia).
Gejala Klinis LMA
Semua tanda dan gejala yang muncul secara tiba-tiba pada pasien dengan
AML disebabkan oleh infiltrasi sumsum tulang dengan sel-sel leukemia dan
kegagalan hematopoiesis normal. Sel-sel leukemia yang menyerang sumsum
28

tulang ini disfungsional, dan tanpa elemen hematopoietik yang normal


sehingga menyebabkan pasien berisiko mengalami komplikasi anemia yang
mengancam jiwa, infeksi akibat neutropenia fungsional, dan perdarahan akibat
trombositopenia. Kelelahan dan kelemahan adalah keluhan paling umum yang
mencerminkan keparahan anemia. Pucat, dispnea saat aktivitas, jantung
berdebar, dan menurunnya kesehatan secara umum telah dijelaskan. Demam
terjadi sekitar 15- 20% dari pasien dan mungkin diakibatkan infeksi bakteri,
jamur, dan infeksi virus (lebih jarang), atau dari beban leukemia sel pada
jaringan dan organ.
Adanya sitopenia akibat infiltrasi sel leukemia akan menyebabkan
kelelahan, pucat, sesak karena anemia, perdarahan karena trombositopenia,
infeksi atau panas karena neutropenia. Menginfiltrasi organ, sehingga
menyebabkan hepatomegali, splenomegali, limfadenopati dan beberapa kasus
menyerang kulit menjadi leukemia kulit.
Mudah memar, petekie, dan perdarahan pada mukosa dapat ditemukan
karena trombositopenia. Gejala lain yang lebih parah terkait dengan
penurunan jumlah trombosit yang lebih jarang terjadi ialah gastrointestinal
atau saluran genitourinari dan perdarahan sistem saraf pusat (SSP). Infiltrasi
SSP dengan jumlah sel leukemia yang tinggi telah dilaporkan pada 5- 20%
anak-anak dan sekitar 15% orang dewasa dengan AML. Sakit kepala,
kebutaan, dan komplikasi neurologis lainnya adalah indikasi keterlibatan
meningeal. Sel-sel blast leukemia beredar melalui darah perifer dan dapat
menyerang jaringan apa pun. Hematopoiesis ekstrameduler sering terjadi pada
leukemia monositik atau mielomonositik. Organ-organ yang aktif dalam
hematopoiesis janin dapat diaktifkan kembali untuk menghasilkan sel lagi
ketika ditekan oleh kinerja buruk dari sumsum tulang yang terbebani
leukemia. Hepatosplenomegali atau limfadenopati dapat terjadi namun tidak
sekuat pada leukemia kronik. Infiltrasi kulit sangat khas pada leukemia
monositik, khususnya infiltrasi gusi, yang disebut gingival hyperplasia. Ketika
sel-sel leukemia memadati sumsum tulang pada tulang panjang, dapat
menyebabkan terjadinya nyeri sendi.(
- Penyebab, patogenesis dan Gejala Klinis ALL (Leukemia limfoblastik akut)
29

Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak diketahui.


Faktor keturunan dan sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan
LLA yang terjadi pada anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi
klinis yang berhubungan dengan LLA adalah :
1. Radiasi ionik
2. Paparan dengan benzena kadar tinggi
3. Merokok sedikit meningkatkan risiko LLA pada usia diatas 60 tahun
4. Obat kemoterapi
5. Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3
6. Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai risiko
yang meningkat untuk menjadi LLA.
Bagi seseorang dengan ALL umumnya akan merasa kehilangan
semangat karena kurangnya produksi sel-sel normal dalam sumsum tulang.
Orang tersebut mungkin lebih mudah lelah dan sesak napas selama aktivitas
fisik normal. Untuk mulai menentukan alasan gejala dan tanda ini maka
diperlukan pemeriksaan Darah Lengkap. Jumlah eritrosit, leukosit, dan
trombosit yang rendah umum pada pasien yang baru didiagnosis ALL. Tanda
dan gejala lain yang mungkin dimiliki oleh seseorang dengan ALL, antara
lain:
1. Pewarna kulit pucat karena anemia
2. Tanda-tanda perdarahan yang disebabkan oleh jumlah trombosit yang
sangat rendah, misalnya: memar (hitam dan biru) atau terjadi tanpa alasan
atau karena cedera ringan; munculnya bintik-bintik merah di kulit
(petechiae); pendarahan berkepanjangan dari luka ringan
3. Demam ringan
4. Sering infeksi kecil
5. Discomfort pada tulang atau sendi
6. Limpa, hati atau kelenjar getah bening membesar.
7. Perdarahan. Jumlah trombosit yang rendah dapat menyebabkan pasien
mengalami perdarahan. Pendarahan di otak atau paru-paru serius dan bisa
berakibat fatal. Namun, pendarahan seperti itu biasanya terjadi setelah
pendarahan kecil, seperti mimisan, darah dalam urin atau memar. 8.
Infeksi. Infeksi yang parah biasanya tidak terjadi pada saat diagnosis. Jika
jumlah neutrofil menjadi atau tetap rendah karena ALL atau perawatannya
30

maka dapat terjadi infeksi serius dan mengancam jiwa. Namun, jika
tindakan pencegahan yang tepat diambil selama terapi, sebagian besar
pasien tidak mengalami infeksi yang mengancam jiwa.
Sebagian besar manifestasi klinis ALL mencerminkan akumulasi ganas,
sel limfoid berdiferensiasi buruk di dalam sumsum tulang, darah tepi, dan,
bagian ekstramedullary. Presentasi dapat menjadi tidak spesifik, dengan
kombinasi gejala konstitusional dan tanda-tanda kegagalan sumsum tulang
(anemia, trombositopenia, leukopenia). Gejala umum termasuk 'gejala B'
(demam, penurunan berat badan, keringat malam), pendarahan atau mudah
memar, kelelahan, dispnea dan infeksi.
2. Pemeriksaan laboratorium Leukemia Akut
- Pemeriksaan laboratorium AML (Leukemia mieloid akut)
Pemeriksaan Darah Lengkap dan hapusan darah tepi merupakan langkah
awal dalam diagnosis laboratorium leukemia. Jumlah sel darah bervariasi pada
pasien dengan AML. Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, ataupun
menurun. Jumlah leukosit ditemukan meningkat lebih dari 100 x 10 9/L sel
kurang dari 20% kasus. Sebaliknya, leukosit kurang dari 5 x 10 9/L dengan
jumlah neutrofil absolut kurang dari 1 x 10 9/L pada sekitar setengah pasien
pada saat diagnosis. Sel blast biasanya terlihat pada pemeriksaan hapusan
darah tepi, namun jumlahnya sedikit pada pasien leukopenia. Inklusi
sitoplasma yang dikenal sebagai Auer rods sering ditemukan dalam persentase
kecil myeloblas, monoblas, atau promyelosit yang terdapat dalam berbagai
subtipe AML. Batang Auer berbentuk bulat panjang, seperti kumparan dan
inklusi terdiri dari granula azurophilic. Eritrosit berinti mungkin ada, serta
myelodysplastic, termasuk pseudo-hiposegmentasi (pseudo Pelger-Huët sel)
atau hipersegmentasi neutrofil, dan hipogranulasi. Selain itu ditemukan
gambaran anemia karena produksi eritrosit yang tidak adekuat. Jumlah
retikulosit biasanya normal atau menurun. Anisopoikilositosis sedikit
abnormal, dengan sedikit poikilosit. Trombositopenia yang parah hampir
selalu ditemukan pada saat diagnosis. Giant trombosit dan trombosit agranular
dapat terlihat. Disseminated intravascular coagulation (DIC) paling sering
dihubungkan dengan salah satu jenis AML, yaitu leukemia promyelocytic
akut. DIC disebabkan oleh pelepasan faktor jaringan seperti prokoagulan dari
31

granula azurofilik dari neoplastic promyelocytes, yang pada gilirannya


mengaktifkan koagulasi dan selanjutnya mengkonsumsi platelet, yang
mengarah pada bleeding diathesis yang berbahaya.
- Pemeriksaan laboratorium AML (Leukemia mieloid akut)
Diagnosis jenis leukemia yang akurat sangat penting untuk membantu
dalam memperkirakan bagaimana penyakit akan berkembang, serta
menentukan perawatan yang tepat bagi penderitanya. Salah satu pemeriksaan
yang diperlukan untuk diagnosis ALL adalah tes darah dan sumsum tulang.
Sampel untuk pemeriksaan darah dapat berasal dari pembuluh darah vena,
sedangkan sampel sel sumsum diperoleh melalui aspirasi sumsum tulang dan
biopsi sumsum tulang. Sel darah dan sumsum tulang diperiksa untuk
mendiagnosis ALL dan mengidentifikasi subtipe ALL. Sampel darah yang
diperoleh dilakukan pemeriksaan hapusan darah dengan mikroskop cahaya,
dan menunjukkan adanya sel-sel blast leukemia (sel imatur yang tidak
berfungsi seperti leukosit matur normal). Pemeriksaan sumsum tulang lebih
sering dilakukan untuk mendiagnosis ALL karena sebagian pasien tidak
memiliki blast leukemia yang beredar dalam darah pada saat diagnosis.
ALL memiliki banyak subtipe dan dapat diklasifikasikan dengan tes
imunologis, sitogenetik, dan genetik molekuler. Beberapa tes ini dapat
diulangi selama dan setelah terapi untuk mengukur efek dari pengobatan.
Untuk menentukan obat atau kombinasi obat, dosis obat, dan durasi
pengobatan mana yang paling sesuai untuk pasien tergantung pada
subtypenya, serta mungkin perlu dilakukan perawatan lain, seperti
transplantasi stem cell untuk mencapai hasil terbaik. Immunophenotyping
merupakan digunakan untuk mengidentifikasi sel-sel berdasarkan jenis protein
(antigen) pada permukaan sel, diperlukan untuk menegakkan diagnosis sel B
ALL, sel T ALL atau leukemia myeloid akut (AML). Flow cytometry adalah
nama dari satu tes yang dapat digunakan untuk melakukan
immunophenotyping. ALL dibagi menjadi dua subtipe utama berdasarkan
karakteristik fisik dan tingkat perkembangan sel-sel leukemia. Klasifikasi
dasar ini membantu tim perawatan untuk mulai merencanakan perawatan
terbaik bagi pasien. Subtipe ALL utama, yaitu: leukemia limfoblastik B dan
leukemia limfoblastik T.
32

3. Gambaran Hasil Pemeriksaan Laboratorium pada Leukemia Akut


Pemeriksaan gambaran darah tepi (GDT) pada LMA dapat ditemukan mieloblas
yang mengandung batang Auer dan penurunan jumlah granulosit absolut. Pada
LLA, GDT yang ditemukan adalah peningkatan leukosit, limfositosis, dan
penurunan pada jumlah trombosit, neutrofil dan eritrosit.(Price S A dan Wilson L
M: 2005 )

Gambar. 27. Hasil


pemeriksaan laboratorium pada leukemia akut
33
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyebab anemia makrositik diklasifikasikan ke dalam salah satu
kategori berikut, megaloblastik atau nonmegaloblastik. Anemia megaloblastik
disebabkan oleh kekurangan atau gangguan pemanfaatan vitamin B12 atau
folat.
Sindrom mielodispasia (MDS) adalah neoplasma grup mieloid yang
ditandai oleh sitopenia karena hematopoiesis yang tidak efektif, morfologi
darah sumsum tulang yang abnormal dan berisiko untuk berkembang menjadi
leukemia mieloblastik aku.
Leukemia akut adalah gangguan klonal ganas pada organ pembentuk
darah yang melibatkan satu atau lebih garis sel dalam sistem hematopoietik.
Gangguan ini ditandai dengan penggantian sumsum tulang yang difus dengan
sel hematopoietik abnormal yang belum matang dan tidak terdiferensiasi, yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah eritrosit dan trombosit dalam darah
perifer.
B. Saran
a. Bagi Penyusun
Dapat menambah pengetahuan tentang Anemia Makrositik (Sindrom
Mielodisplastik, Leukemia Akut)
b. Bagi Pembaca
Dapat menamba wawasan tentang materi Anemia Makrositik (Sindrom
Mielodisplastik, Leukemia Akut)
c. Bagi Akademik
Makalah ini dapat menambah materi tentang Anemia Makrositik
(Sindrom Mielodisplastik, Leukemia Akut)

34
DAFTAR PUSTAKA

Aliviameita dan Puspitasari. Buku ajar Hematologi Jawa timur : Umsida press;2019
Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Dalam: Setiati
S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, dkk., ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. edisi ke-6, Jakarta: Interna; 2014. hlm. 2589–2599
Bakta IM. Klinik Hematologi Ringkas. edisi pertama Khastrifah, Purba DL,
red., Jakarta: EGC; 2012
Kassebaum NJ, Jasrasaria R, Naghavi M, dkk. Analisis sistematis beban anemia global dari
tahun 1990 hingga 2000. Darah 2014;123:615–24.
Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell R. Buku Ajar Patologi Dasar Robbins Edisi ke-10.
Singapure : Elsevier; 2019:578-82.
Malcovati L, Lindberg EH, BowenD. 2013. Diagnosis and treatment of primary
myelodysplastic syndromes in adults: recommendations from the European
LeukemiaNet. Blood 122(17); 2943-2963
Nalluru SS., Jindal V, Piranavan P. et al. Infark limpa sekunder untuk sindrom
myelodysplastic: mengungkap lebih banyak etiologi. Perwakilan Kasus AME.
2019;3:31.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
dan Nanda NIC NOC Jilid 1. Jogjakarta: Mediaction.
Padila. 2013. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika
Price S A dan Wilson L M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol.1, Edisi
6. Terjemahan Pendit, B, U dkk. Jakarta. EGC. 2005: 271-281.
Savage DG, Ogundipe A, Allen RH, Stabler SP, Lindenbaum J. Etiologi dan evaluasi
diagnostik makrositosis. Am J Med Sci 2000;319:343–52

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53.

35

Anda mungkin juga menyukai