Anda di halaman 1dari 31

BAHAN PERKERASAN JALAN

2023
PERTEMUAN 1 PENDAHULUAN
1.1 Engineering
1.2 Ekonomi
1.3 Lingkungan

PERTEMUAN 2 PERKERASAN
2.1 Perkerasan Lentur
2.2 Perkerasan Kaku

PERTEMUAN 3 BAHAN JALAN


3.1 Klasifikasi Tanah
3.2 Agregat
3.3 Bitumen
3.4 Bahan Pengisi (Filler)
3.5 Bahan Tambah (Additive)

PERTEMUAN 4 SIFAT-SIFAT BAHAN


4.1 Spesifikasi
4.2 Rujukan Lain Yang Disebutkan Dalam Spesifikasi
4.3 Rujukan Tambahan
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 ENGINEERING

Engineering atau disebut Rekayasa adalah ilmu aplikasi yang membahas bagaimana
memanfaatkan sumber daya alam yang ada menjadi suatu produk yang bermanfaat
untuk orang banyak. Ilmu aplikasi sangat berbeda dengan ilmu-ilmu murni seperti fisika,
kimia dan matematika. Karena engineering adalah ilmu aplikasi maka bidang yang
termasuk engineering sangat luas, tidak terbatas pada Civil Engineering saja. Civil
Engineering masih terbagi lagi dalam berbagai bidang seperti Soil Engineering,
Hidrological Engineering, Structure Engineering, Highway Engineering, Traffic Engi-
neering, dan sebagainya. Bahkan sudah lama berkembang Chemical Engineering, tetapi
bukan ilmu kimia murni sebagaimana yang disebutkan diatas. Demikian pula dengan
pesatnya perkembangan Physically Engineering yang produknya nampak dalam
kehidupan sehari-hari seperti produk-produk wireless (tanpa kabel) dan sebagainya.

1.2 EKONOMI

Harga bahan konstruksi selalu mengikuti hukum ekonomi yaitu permintaan dan
penawaran. Jika permintaan tinggi dan penawaran rendah (bahan tidak tersedia cukup di
pasar bebas) maka harga bahan konstruksi semakin tinggi dan sebaliknya. Agar
diperoleh bahan konstruksi yang murah maka sumber alam suatu daerah harus disurvey
depositnya. Jika depositnya sangat banyak maka bahan konstruksi tersebut merupakan
salah satu pilihan utama.
Karena bahan konstruksi yang dipergunakan di dalam Pekerjaan secara teknis harus:
Memenuhi spesifikasi dan standar yang berlaku.
Memenuhi ukuran, pembuatan, jenis dan mutu yang disyaratkan dalam Gambar dan
Spesifikasi ini, atau sebagaimana secara khusus disetujui tertulis oleh Engineer.
Semua produk harus baru.
dan secara ekonomis harus :
Murah
Jumlah banyak
Mudah diperoleh
serta tidak menimbulkan dampak lingkungan dalam eksploitasinya, maka pemilihan bahan
konstruksi selalu dihubungkan dengan sumber alam yang tersedia dan lingkungan
sekitarnya.
Desainer selalu harus memilih bahan konstruksi yang paling ekonomis. Jika tidak sangat
terpaksa misalnya alasan teknis maka disarankan untuk tidak menggunakan bahan
konstruksi yang berasal luar daerah tersebut.
Kontraktor harus menentukan sendiri jumlah serta jenis peralatan dan pekerja yang
dibutuhkan untuk menghasilkan bahan yang memenuhi Spesifikasi. Dengan demikian,
kontraktor harus menggunakan metode eksploitasi yang paling ekonomis.
Kontraktor harus menyadari bahwa contoh-contoh bahan tersebut tidak mungkin dapat
menentukan batas-batas mutu bahan dengan tepat pada seluruh deposit, dan variasi mutu
bahan harus dipandang sebagai hal yang biasa dan sudah diperkirakan. Dengan demikian,
harga bahan konstruksi akan menjadi lebih mahal jika banyak lokasi deposit yang tidak
memenuhi batas-batas mutu bahan konstruksi.

1.3 LINGKUNGAN HIDUP

Kontraktor harus memahami dampak lingkungan yang mungkin terjadi akibat pelak-
sanaan kegiatan konstruksi, serta cara penanganannya sesuai dengan petunjuk
Engineer. Sebelum melaksanakan kegiatan fisik di lapangan, Kontraktor harus menyusun
program pelaksanaan manajemen lingkungan yang harus mendapat persetujuan dari
Engineer.
Upaya Pengelolaaan Lingkungan berkaitan dengan eksploitasi sumber bahan jalan dan
jembatan :
1. Dalam pemilihan lokasi sumber bahan (quarry), beberapa arahan di bawah ini harus
diperhatikan :
a. Prioritas harus diberikan pada lokasi sumber bahan yang sudah dibuka, bilamana
jumlah dan mutunya memenuhi.
b. Lokasi sumber bahan harus dipilih harus memberikan rasio tertinggi antara
kapasitas bahan yang digali (baik kuantitas maupun kualitas) dan kehilangan
sumber daya negara.
c. Lokasi sumber bahan yang berdekatan dengan alinyemen jalan, yang sangat
mudah diambil dan mempunyai tebing yang tidak curam lebih disarankan.
d. Eksploitasi sumber bahan di daerah sumber daya alam yang vital harus dihindari,
seperti hutan tanaman berkayu dan hutan lebat lainnya maupun daerah-daerah
penghasil bahan makanan dan hutan lindung untuk burung dan hewan lainnya.
e. Disarankan untuk menghindari atau setidaknya mengurangi pemilihan lokasi
sumber bahan di dasar sungai. Meskipun pemilihan lokasi sumber bahan di luar
dasar sungai tidak memungkinkan, sumber bahan yang terletak di sungai atau
saluran kecil tetap tidak boleh diambil. Disarankan untuk memilih lokasi sumber
bahan di petak-petak atau endapan alluvial yang terletak di dasar sungai tetapi
tidak dialiri air pada kondisi air normal.
2. Bilamana sumber bahan terletak di daerah bergunung atau berbukit, atau bilamana
kondisi talud sangatlah mempengaruhi stabilitas lereng, maka penggalian bertangga
harus dilaksanakan. Lereng setiap sumber bahan yang telah dibentuk kembali harus
mempunyai kelandaian yang tidak kurang dari nilai rata-rata 1,3. Setelah
pelaksanaan lereng bertangga dan pembaharuan sistem drainase harus dilakukan
dalam suatu kondisi yang rata dan rapi dengan tepi dan lereng yang stabil dan saluran
drainase yang memadai.
BAB II
PERKERASAN

2.1 PERKERASAN LENTUR

Terdapat 6 tujuan dasar dari aplikasi perkerasan lentur :


1. Mendukung beban lalu lintas
Secara umum, suatu jalan harus mampu mendukung beban lalu lintas tanpa adanya
perubahan bentuk pada permukaan, lapis pondasi atas dan bawah. Hal ini sering disebut
sebagai stabilitas, kadang-kadang disebut kekuatan mekanik. Stabilitas ini tidak hanya
mencakup ketahanan langsung terhadap beban roda seberapa kg/cm2 tekanan roda,
tetapi juga ketahanan terhadap kerusakan internal dan pergerakan butiran oleh aksi
peremasan oleh lalu lintas.
Selama musim kemarau, jalan tanah mempunyai stabilitas yang baik untuk lalu lintas
ringan. Akan tetapi, peremasan oleh lalu lintas yang agak tinggi menyebabkan
kerusakan internal terhadap butiran tanah sampai kubangan debu yang cukup dalam
terbentuk dalam waktu singkat.
Suatu lapisan berbutir akan meningkatkan stablilitas jalan dan akan dapat mendukung
lalu lintas yang lebih berat. Hal ini dapat digambarkan bahwa penyebaran beban lalu
lintas melalui suatu lapisan berbutir akan memberikan distribusi pembebanan yang
melebar sehingga lapisan tanah dasar dapat memberikan daya dukung yang lebih besar.
Akan tetapi, peremasan oleh lalu lintas akan menghasilkan penggesekan antar butiran
dalam lapisan berbutir. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan internal butiran dan
perubahan bentuk yang cepat atau timbulnya alur (rutting). Tebal lapisan berbutir, bentuk
dan gradasi butiran adalah faktor penting dalam menentukan tingkat kestabilan. Dalam
pembahasan ini, diasumsikan bahwa kekuatan mekanik yang cukup akan mampu
mendukung beban lalu lintas.

2. Melindungi tanah dasar dari air


Kelebihan air dalam material konstruksi jalan akan menyebabkan pelumasan butiran
sehingga menghilangkan stabilitas alami. Pengendalian air permukaan dan air bawah
permukaan harus diperhatikan dalam perencanaan suatu jalan. Hujan dan rembesan
bawah permukaan pada jalan tanah akan mengakibat-kan tanah menjadi lumpur dengan
cepat.
Lapisan berbutir akan menyediakan semacam perlindungan terhadap aliran permukaan.
Kelebihan air tidak akan menurunkan kekuatan mekanik lapisan berbutir tersebut, tetapi
akan sangat mempengaruhi daya dukung tanah, sehingga jika kondisi dalam basah
lapisan berbutir yang lebih tebal harus disediakan untuk memperkecil beban pada tanah
dasar.

3. Memperkecil kemungkinan pelepasan butir pada permukaan


Lintasan kendaraan akan menyebabkan keausan yang bervariasi pada permukaan jalan.
Keausan ini bervariasi mulai dari abrasi langsung pada permukaan yang keras, sampai
pada pelepasan butiran debu, and pelepasan butiran yang lebih besar.
Jalan tanah dalam kondisi kering dapat mendukung beban lalu lintas, tetapi kondisi ini
meniadakan daya ikat antar butiran dan lalu lintas akan membawa butiran debu ini.
Pelepasan butir pada jalan dengan material berbutir oleh lalu lintas menjadi masalah
serius. Material berbutir mudah terangkat oleh roda dan terbuang ke luar jalan. Dengan
demikian, kehilangan biaya yang besar akan terjadi, juga munculnya bahaya dan
gangguan pada pengemudi.
Bitumen yang cukup pada lapis permukaan dapat mengikat butiran sede-mikian hingga
lapis permukaan dapat tahan terhadap aksi pelepasan butir oleh lalu lintas, juga tahan
terhadap aksi pengausan.
4. Memberikan texture permukaan yang memadai
Texture permukaan harus aman untuk kendaraan pada umumnya dan harus cukup
mulus untuk kenyamanan maupun umur roda. Jalan tanah tidak pernah memberikan
texture permukaan yang memadai pada setiap saat. Permukaan jalan menjadi licin jika
basah dan kelebihan air akan segera membentuk alur dan lubang yang membahayakan
dan merusak kendaraan. Permukaan jalan dengan material berbutir umumnya belum
dapat memberikan texture yang baik. Pelepasan material dapat menyebabkan tergelincir
pada kecepatan tinggi. Permukaan yang mulus sulit untuk dipertahankan, dan lubang,
alur dan ketidakrataan berkembang selama periode waktu tertentu.
5. Lentur terhadap lapis tanah dasar
Jalan tanah umumnya menyesuaikan kelenturan terhadap lendutan tanah dasar karena
semua material jalan adalah sejenis. Adlaha hal yang mudah untuk mempertahankan
kemulusan permukaan dengan pisau grader pada cuaca yang cocok.
Permukaan berbutir dapat menyesuaikan kelenturan terhadap lendutan tanah dasar.
Permukaan agaknya dapat dibentuk kembali ke bentuk semula.
Permukaan beraspal adalah relatif lentur dan akan menyesuaikan kelenturan terhadap
berbagai pondasi. Permukaannya tidak mudah dibentuk kembali seperti halnya jalan
tanah atau jalan dengan material berbutir tetapi jalan beraspal dapat ditambal atau
dilapis ulang agar kembali ke bentuk semula.
6. Tahan terhadap cuaca
Matahari, hujan, angin, panas, dan dingin adalah faktor yang berpengaruh terus menerus
pada permukaan. Beberapa material atau kombinasinya akan tahan terhadap daya
rusaknya dibandingkan dengan material lainnya dan tentu akan memperpanjang umur
permukaan.
Air dan angin pada jalan tanah adalah perusak terbesar dibandingkan pengaruh cuaca
lainnya.
Pengaruh cuaca pada jalan dengan material berbutir sangat kecil. Pengaruh lalu lintaslah
yang terbesar sehingga pemeliharaan dengan frekwensi tinggi dan penambahan material
baru diperlukan.
Matahari, angin dan variasi temperatur akan berpengaruh pada material ber-aspal dan
pengaruh ini harus dipertimbangkan. Material beraspal dapat mempertahankan daktilitas
dan ikatan antar material sehingga dapat memberikan umur yang permukaan yang lebih
panjang.

Secara umum, komponen perkerasan lentur adalah berikut ini :


LAPIS PERMUKAAN terdiri dari lapisan beraspal
(Surface Course)

LAPIS PONDASI ATAS dapat terbuat dari lapisan beraspal, bahan berbu-
(Base Course) tir, bahan yang distabilisasi dengan semi/kapur.

LAPIS PONDASI BAWAH dapat terbuat dari lapisan beraspal, bahan berbu-
(Subbase Course) tir, bahan yang distabilisasi dengan semen/kapur

LAPIS TANAH DASAR tebal tak terhingga


(Subgrade)

Berbagai jenis Lapis Aus adalah sebagai berikut :


1. Lapis Aus (Wearing Course) :
SMA; BMA; HSMA-W C; AC-WC konventional; AC-WC Superpave; AC-WC Modofied;
HRS-WC; DGEM; Microasbuton A, Lasbutag, Penetrasi Macadam, Burtu, Burda; dsb.
2. Lapis Pengikat (Binder Course)
HSMA-BC; AC-BC konvensional; AC-BC Superpave; AC-BC Modified; HRS-Base;
OGEM; Microasbuton B; dsb.
Berbagai jenis Lapis Pondasi Atas adalah sebagai berikut :
1. Tanpa Pengikat :
Lapis Pondasi Agregat Kelas A; Dry Bound Macadam
2. Dengan Pengikat :
a. Pengikat Air :
Water Bound Macadam
b. Pengikat Semen :
PCC (Portland Cement Concrete); CTB; Soil Cement Base
c. Pengikat Aspal :
ATB Konvensional; AC-Base: dsb
Berbagai jenis Lapis Pondasi Bawah adalah sebagai berikut :
1. Tanpa Pengikat :
Lapis Pondasi Agregat Kelas B
2. Dengan Pengikat :
a. Pengikat Aspal :
ATSB Konvensional; CTSB: dsb

Parameter yang paling sering digunakan untuk perkerasan lentur adalah California Bearing
Ratio disingkat CBR karena metode CBR merupakan cara perhitungan perkerasan yang
paling awal digunakan.
CBR adalah perbandingan beban untuk penetrasi piston seluas 3 inch persegi sedalam 0,1
inch terhadap beban 3000 lbs, atau 0,2 inch terhadap beban 4500 lbs.
Biasanya diambil yang penetrasi 0,1 inch. Jika yang 0,2 inch memberikan CBR yang lebih
besar dari yang 0,1 inch maka pengujian harus diulang. Jika pengujian ulang memberikan
hasil yang masih tetap sama, maka diambil CBR dengan penetrasi 0,2 inch.

Beban

Piston Penekan

Penetrasi
Luas Alas 3 inch2

Secara umum, CBR yang ekonomis untuk tanah dasar adalah sama dengan atau diatas 6.
Bilamana CBR tanah dasar agak kecil maka tanah dasar tersebut harus ditingkatkan dengan
cara yang ekonomis yaitu pemasangan capping layer yang terdiri dari “Timbunan Pilihan“
(CBR > 10) :
1. Jika CBR antara 3 sampai 5 maka digunakan capping layer sekitar 20 cm
2. Jika CBR dibawah 3 maka digunakan capping layer sekitar 35 cm
Pemasangan capping layer ini dimaksudkan untuk memperoleh CBR gabungan antar
capping layer dengan CBR tanah di bawahnya yang mendekati 6.

Capping Layer
CBR gabungan 6 100 cm

Tanah Asli

Perlu digarisbawahi bahwa :


Tebal komponen perkerasan boleh disubstitusi hanya dengan material yang lebih tinggi
mutunya bukan sebaliknya. Jika dieqivalentkan dengan bahan yang lebih rendah maka akan
terjadi Fatique Cracking terlebih dahulu sebelum terjadinya rutting. Hal ini sering dilakukan di
proyek tanpa disadari. Bandingkan dengan Under Reinforced pada Beton Bertulang.

Jika mutu material tidak memenuhi syarat maka :


1. Campuran Aspal :
a. Stabilitas rendah, maka corrugation (keriting) atau shoving (sungkur) akan terjadi.
b. Marshall Quotient tinggi, campuran mudah retak karena agak kaku.
c. Rongga udara tinggi, mudah teroksidasi sehingga mudah getas.
d. Rongga udara kecil, bleeding (kegemukan).
e. Kelekatan batuan terhadap aspal kurang, kekuatan rendah.
2. Lapis Pondasi Agregat :
a. CBR rendah, lapisan beraspal diatasnya cepat retak maka umur berkurang
b. Abrasi agregat tinggi atau pipih, agregat mudah pecah maka interlocking hilang
sehingga kekuatan menurun.
Jika mutu pelaksanaan tidak memenuhi syarat maka :
1. Campuran Aspal :
a. Suhu campuran > 165°C , terjadi perubahan sifat-sifat kimia aspal sehingga cepat
getas.
b. Pemadatan kurang, kepadatan yang diperoleh kurang maka stabilitas kurang dan
rongga udara besar sehingga kekuatan menurun dan cepat getas.
2. Lapis Pondasi Agregat :
a. Pemadatan kurang, kepadatan yang diperoleh kurang maka CBR akan turun drastis
(tidak linear) sehingga daya dukung menurun drastis yang mengakibatkan lapisan
berasapal diatasnya mudah retak.

2.2 PERKERASAN KAKU


Perbedaan prinsip antara perkerasan lentur dan kaku adalah Modulusnya (E) :
1. Modulus perkerasan kaku tinggi, deformasi yang terjadi kecil maka distribusi beban
melebar sehingga tebal yang diperlukan tidak terlalu tebal.
2. Modulus perkerasan lentur rendah, deformasi yang terjadi besar maka distri-busi beban
mengkerucut kecil sehingga tebal yang diperlukan besar. Lagipula, modulus perkerasan
lentur sangat sensitif terhadap perubahan temperatur dan waktu pembebanan.

Beban Beban

PERKERASAN KAKU

PERKERASAN LENTUR

L L

Secara umum, komponen perkerasan kaku adalah berikut ini :


> K400 (yang dibutuhkan sebenarnya Flexural Strength,
BETON SEMEN > 45 kg/cm2), tebal beton semen sangat bergantung pada
flexural strength
SUBBASE tidak harus ada, biasanya digunakan Cement Treated
Sub-base (CTSB) atau Lean Concrete
SUBGRADE CBR tidak terlalu berpengaruh terhadap tebal beton
semen
Jika mutu material tidak memenuhi syarat maka :
1. Perkerasan Beton :
a. Kekuatan lentur (flexural strength) rendah, maka regangan tarik yang terjadi besar
sehingga umur berkurang.
b. Agregat agak lunak atau kotor, permukaan akan lepas-lepas sehingga umur menjadi
berkurang.

Jika mutu pelaksanaan tidak memenuhi syarat maka :


1. Perkerasan Beton :
a. Kerataan tidak memenuhi toleransi, kenyamanan pengendara ber-kurang dan umur
akan menurun.
b. Pemadatan yang kurang sempurna akan menimbulkan keropos dalam beton
sehingga mudah retak dan umur akan berkurang.
c. Air yang digunakan terlalu banyak, mutu beton menurun sehingga umur akan
berkurang.
2. Cement Treated Sub-Base (CTSB) :
a. Permukaan kasar dan tidak rata, bidang antara CTSB dan perkerasan beton tidak
diberi plastik atau membran, maka perkerasan beton akan retak di sembarang
tempat bukan di daerah dowel.
BAB III
BAHAN JALAN

3.1 KLASIFIKASI TANAH

Dalam mekanika tanah, istilah tanah menacakup semua bahan konstruksi yang berasal dari
quarry atau pits seperti : lempung; lanau; pasir; kerikil; kerakal; berangkal;
dsb. Cara menggolongkan jenis tanah atau disebut klasifikasi tanah adalah :
1. Primer :
ASTM Committee on Soils for Engineering Purpose mendefinisikan pasir sebagai butiran
antara 0,05 mm (No.270) sampai 2,0 mm (No.10). Sebaliknya berbagai sumber
mendefinisikan pasir sebagai butiran yang lolos No.4 atau ¼”. Banyak Kontraktor,
Engineer dan Desainer berpikir serupa. Beberapa rujukan memberikan batasan berikut di
bawah ini :
Berdasarkan ukuran butirannya
Jenis Rentang Ukuran Butir
Berangkal (Boulder) > 8 inch atau > 20 cm
Kerakal (Cobble) 3 – 8 inch (7,5 – 20 cm)
Kerikil (Gravel) No.8 – 3 inch (2,36 mm – 7,5 cm)
Pasir (Sand) No.200 – No.8 (0,075 mm – 2,36 mm)
Lanau (Silt) 0,005 – 0,075 mm
Lempung (Clay) < 0,005 mm

2. Sekunder :

Butiran > Pasir Pemeriksaan Gradasi


Butiran < Pasir Pemeriksaan Sifat-sifat (Properties)

Standar rujukan yang digunakan dalam Klasifikasi Tanah :


1. USCS (Unified Soil Classification System) :
a. Butiran > Pasir :
Memakai simbol menurut Ukuran Butir dan Gradasinya.
Contoh : GW (Gravel – well graded); SP (Sand – poor graded)
b. Butiran < Pasir :
Memakai simbol menurut Ukuran Butir dan Tingi Rendahnya Batas Cair (Liquid
Limit, disingkat “LL”). Untuk LL > 50 disebut “high” dan LL < 50 disebut “low”.
Contoh : ML (Silt – low liquid limit); OL (Organic – low liquid limit); CH (Clay – high
liquid limit)
2. AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials) :
a. Kelompok menurut Ukuran Butir :
i. Material Berbutir (Granular Material) :
A1, A2 dan A3 : butiran lolos No.40 (600 µm) < 35%
ii. Material Lempung-Lanau (Silt-Clay Material) :
A4, A5, A6 dan A7 : butiran lolos No.40 (600 µm) > 35%
b. Kelompok menurut ATTERBERG dari material :
Plastisitas Index = Liquid Limit – Plastic Limit
CONTOH : A1 (fraksi batu : kerikil & pasir) : A1-a & A1-b
A3 (pasir halus)
A2 (kerikil-pasir kelanauan/kelempungan) : A2-4, A2-5, A2-6 dan A2-7
A4 dan A5 (tanah-tanah lanau)
A6 (tanah lempung)
A7 (tanah lempung) : A7-5 dan A7-6
A7-5 jika PI < (LL - 30) & A7-6 jika PI > (LL - 30)
3. Klasifikasi sistem lainnya, kecuali SNI (Standard Nasional Indonesia).

Cara membedakan jenis tanah dengan cepat :


1. Berangkal, kerakal, kerikil dan pasir mudah dibedakan
Menurut ukuran butir dengan visual.
2. Pasir halus dan lanau sulit dibedakan dengan visual
Lama pengendapan dalam gelas yang diberi air yang sudah dikocok, pasir akan
mengendap dalam waktu < 1,5 menit dan lanau akan membutuhkan waktu sekitar 10
menit (sampai air jernih).
3. Lanau dan lempung dapat dibedakan dengan :
a. Indera peraba, diremas dengan ibu jari dan telunjuk.
b. Lama pengendapan, lanau > 10 menit dan < 1 jam.
c. Menggerakkan bola tanah di telapak tangan, lanau akan mengkilap permukaannya
dan lempung tidak.
d. Memecah gumpalan lempung kering sulit, sedangkan lanau lebih mudah.
e. Lempung mudah dilinting (dipilin) sedangkan lanau sulit.

Cara singkat memperkirakan CBR tanah :


1. Cara visual atau pengalaman
Cara visual sangat membantu proses pengawasan, untuk memastikan mutu material
diperlukan cara laboratorium sebagaimana disyaratkan dalam Spesifikasi.
2. Klasifikasi Tanah
AASHTO CBR (%) Casagrande atau USCS CBR (%)
A1 > 20 GW > 50
A2 >8 GC > 40
A3 > 10 GP 25 – 60
A4 3 – 25 GF 20
A5 <7 SW & SC 20 – 60
A6 & A7 < 15 SP 10 – 30
SF 8 – 30
ML 6 – 25
CL 4 – 15
OL 3–8
MH <7
CH <6
OH <4
Catatan :
GC dan SC : gradasi menerus dengan sedikit lempung
GF dan SF : gradasi jelek dengan kadar lanau/lempung tinggi

3.2 AGREGAT

Secara umum jenis agregat digolongkan sebagai berikut :


1. Pasir
Pasir adalah material berbutir yang dihasilkan oleh pelapukan alami batuan atau
pemecahan batuan pasir-batu. Terdapat beberapa jenis pasir dengan masing-masing
gradasi tertentu.
a. Pasir Angin
Pasir yang dibawa angin dan mengumpul di suatu tempat. Umumnya berbutir halus
dengan ukuran antara No.40 sampai No.100.
b. Pasir Danau atau Pantai
Pasir berbutir halus dan bulat umumnya dicampur dengan pasir kasar. Umunya
berukuran antara No.40 sampai No.200
c. Pasir Sungai
Pasir yang dibawa oleh air dan menggelinding antar butiran sehingga tidak bersudut
tajam. Umumnya bebas dari lumpur dan berbutir halus dengan ukuran butiran antara
No.4 sampai No.100.
d. Pasir dari Pasir-Batu (Sirtu)
Pasir yang diperoleh dari pengayakan pasir-batu lolos No.4. Kadang-kadang
mengandung tanah dan berukuran antara No.4 sampai No.200
e. Pasir Gunung
Pasir yang berasal dari deposit alami dengan sedikit atau tanpa kerikil. Umumnya
berukuran antara ⅜“ sampai No.200
f. Pasir Buatan
Pasir yang diperoleh dari pengayakan batu pecah mesin lolos No.4
2. Kerikil
Kerikil diperoleh dari pelapukan alami batuan, berukuran lebih besar dari pasir yang
dianggap tertahan No.4 atau ¼“.
a. Kerikil Kacang Polong (Pea Gravel)
Kerikil yang bersih, berasal dari kerikil sungai dengan ukuran antara ¼“ sampai ½“
b. Kerikil Sungai
Kerikil yang dapat dijumpai pada hulu maupun hilir, terdiri dari butiran bulat berukuran
diatas ¼“ dengan permukaan yang halus bercampur dengan pasir sungai, umumnya
bebas dari tanah dan lanau. Material yang lolos ¼“ ini termasuk paisr sungai.
c. Kerikil Gunung
Kerikil yang berasal dari deposit alami, umumnya berbutir, terkadang bercampur
dengan pasir halus dan tanah. Tergantung bercampur dengan material apa, maka
disebut Tanah Berkerikil, Pasir Berkerikil, Kerikil berlempung, Kerikil berpasir.
3. Batu Pecah
Batu pecah dihasilkan dari pemecahan mekanik dari berbagai jenis batuan atau
berangkal. Contoh : batu kapur, granite, batuan singkapan, quartzite, dsb
a. Batu Pecah Bergradasi
Batu pecah yang diproduksi pada gradasi yang diinginkan dengan pengayakan. Batu
pecah yang lebih disukai adalah berbentuk cubical (persegi), akan tetapi beberapa jenis
batuan berlapis mungkin akan memberikan bentuk yang agak pipih.
b. Batu Pecah Campuran
Batu pecah tanpa pengayakan, umumnya hanya digunakan ayakan 2” sebagai scalping
screen (diayak sebelum masuk secondary crusher)
c. Crusher Screenings
Crusher screening adalah bagian dari batu pecah yang lolos ¼” atau No.4. Umumnya
berukuran dari ¼” ke bawah termasuk 0 sampai 6% lolos No.200. Umunya bergradasi
baik meskipun terdapat kekurangan pada No.40 sampai No.100.
d. Terak (Slag)
Terak adalah bahan bukan logam yang diperoleh dari tungku pemanasan logam,
mengandung silikat dan alumino silikat serta bahan dasar lainnya. Terak dengan mutu
yang baik akan memberikan perkerasan yang baik meskipun seringkali terdapat terak
yang porous dan menyerap banyak aspal.
Gradasi agregat yang digunakan dalam campuran aspal :
Butiran agregat dalam berbagai ukuran dinyatakan sebagai gradasi agregat. Grafik gradasi
dengan absis (sumbu x) untuk ukuran butiran yang berskala logaritma dan ordinat (sumbu
y) untuk persen lolos terhadap berat yang berskala biasa, agar ukuran butir agregat mudah
dibaca.
Amplop gradasi adalah batas-batas gradasi yang boleh diambil dalam menentukan suatu
rancangan campuran (mix design). Sedangkan toleransi gradasi adalah batas-batas fluktuasi
yang diijinkan terhadap suatu mix design yang disetujui, koridor toleransi ini akan
membentuk semacam amplop kecil yang disebut job grading.
1. Gradasi Menerus (Continous Graded)
Gradasi menerus adalah ukuran butir agregat dimana rongga antar butiran besar diisi
oleh butiran yang lebih kecil dan rongga antar butiran yang lebih kecil ini diisi oleh butiran
yang lebih kecil lagi demikian seterusnya. Disebut juga gradasi padat (dense graded)
karena memadat akibat saling mengisi dan saling mengunci (interlocking).
Rentang toleransi gradasi menerus harus sempit sehingga interlockingnya dapat
dipertahankan. Pengendalian toleransi dapat dilakukan dengan :
a. Sumber dari masing-masing agregat dipilih dengan cermat.
b. Proses masing-masing agregat pada sumbernya diatur cermat.
c. Pencampuran berbagai agregat yang berbeda dilakukan di tempat pencampuran
denagn cara mekanik.
d. Agregat yang sudah dicampur diayak ulang dan diatur kembali pro-porsinya setelah
dikeringkan dan sebelum dicampur dengan aspal.
AMP modern telah dilengkapi perlengkapan untuk memenuhi kebutuhan pengendalian di
atas. Ukuran agregat pada campuran akhir umumnya berada dalam toleransi dengan
perbedaan ± 5% untuk agregat kasar dan rentang toleransi yang lebih rapat untuk
agregat halus.
Seringkali 3 atau 4 jenis agregat yang terpisah dicampur bersama untuk mencapai
gradasi akhir yang mendekati gradasi yang diinginkan. Umumnya, agregat pecah mesin
diayak dalam 3 atau 4 ukuran agar segregasi selama transportasi dan penanganan dapat
dihindari, kemudian 3 atau 4 ukuran agregat tersebut dicampur kembali di tempat
pencampuran.
2. Gradasi Senjang (Gap Graded)
Gradasi senjang adalah ukuran butir agregat yang sedemikian hingga tidak ada atau
hampir tidak ada suatu rentang ukuran “menengah”. Perbedaan material lolos untuk
ukuran butir menengah yang berurutan, jika diatas 10% disebut gradasi menerus, jika
dibawah 10% baru disebut gradasi senjang.
Terdapat Spesifikasi yang menyebutkan bahwa persen lolos terhadap berat untuk No.30
minimum harus 80% dari No.8. Dari No.8 sampai No.30 terdapat No.16 di antaranya,
sehingga aplikasi dari ketentuan yang disebutkan diatas masih relevan karena dari No.8
sampai No.16 sebesar 10% dan dari No.16 sampai No.30 sebesar 10%, jika dijumlah
maka sebesar 20%.
3. Gradasi Tunggal (Single Graded)
Gradasi tunggal adalah butiran agregat yang mayoritas satu ukuran, biasanya masih
terdapat sedikit butiran halus yang ikut terbawa. Gradasi ini tidak rawan terhadap
segregasi dan umumnya merupakan produk crusher yang dapat dengan mudah diatur
proporsinya untuk mencapai gradasi yang diinginkan. Gradasi ini sering disebut gradasi
terbuka (open graded), digunakan untuk Burtu (SST) atau Burda (DBST) dalam rangka
memberikan texture baru pada permukaan aspal.

3.3 BITUMEN

Bitumen sering diartikan sebagai aspal, sebenarnya tidak demikian karena Tar juga
mengandung bitumen. Selanjutnya hanya dibahas Aspal sebagai bahan bitumen. Semua
aspal diperoleh dari destilasi minyak mentah bumi (crude oil) baik secara mekanik mapun
secara alami.

Berdasarkan sumbernya, terdapat :


1. Aspal Alam
Aspal alam terbentuk bilamana minyak mentah bumi naik ke permukaan bumi melalui
celah-celah kulit bumi. Akibat sinar matahari dan angin maka minyak ringan dan gas
menguap dan meningglkan residu yang plastis dan hitam disebut aspal. Kebanyakan
aspal alam bercampur-baur dengan mineral seperti lempung tanah, pasir sampai kerikil
yang terbawa saat minyak bumi mengalir ke cekungan permukaan bumi. Aspal alam
terdapat di Trinidad, Venezuela dan pulau Buton.
2. Aspal Minyak (Petroleum Asphalt)
Dari hasil destilasi minyak mentah bumi akan diperoleh berbagai jenis minyak seperti :
bensin, solar, minyak tanah, dsb. Residu dari hasil destilasi ini adalah aspal, namun
aspal ini masih lunak yaitu mempunyai Penetrasi sekitar 300. Setelah melalui proses
semi blown baru diperoleh aspal Penetrasi 60/70 dan aspal keras (asphalt cement) jenis
lainnya.

Berdasarkan jenisnya, terdapat :


1. Aspal Keras
Aspal keras adalah aspal yang dalam temperatur kamar berbentuk padat dan keras.
Aspal jenis ini dirancang dengan memilih penetrasi, kekerasan yang sesuai untuk
pelaksanaan, iklim dan jenis lalu lintas, dari suatu perkerasan. Penetrasi adalah
masuknya jarum standar dengan beban 100 gram (termasuk berat jarum), dalam
temperatur 25 °C selama 5 detik. Contoh : Pen.40/50; Pen.60/70. Semakin rendah nilai
penetrasinya semakin keras aspalnya.
Aspal minyak diperoleh dari penyulingan minyak mentah bumi dengan peng-uapan dan
destilasi dalam berbagai tahap kondensasi. Aspal keras berbeda dengan aspal cair
dimana aspal keras harus dipanaskan untuk mencapai kondisi mencair sedangkan aspal
cair sudah dalam kondisi cair pada temperatur kamar sehingga diperlukan bahan pelarut
untuk aspal cair.
2. Aspal Cair
Terdapat 3 jenis aspal cair yaitu :
a. Aspal Cair Penguapan Lambat (Slow Curing Liquid Asphalt)
Aspal cair jenis ini dapat berupa residu yang mengandung sedikit minyak berat atau
campuran antara aspal keras dengan minyak residu. Untuk mencapai kelecakan
(workability) yang lebih baik maka aspal jenis ini harus dipanaskan dan umumnya
digunakan untuk campuran dingin. Contoh : SC-800.
b. Aspal Cair Penguapan Sedang (Medium Curing Liquid Asphalt)
Aspal cair jenis ini diperoleh dengan mencairkan aspal keras dengan minyak tanah.
Aspal jenis ini sudah berbentuk cair dalam temperatur kamar dan umumnya digunakan
untuk prime coat. Contoh : MC-250
c. Aspal Cair Penguapan Cepat (Rapid Curing Liquid Asphalt)
Aspal cair jenis ini diperoleh dengan mencairkan aspal keras dengan bensin. Karena
penguapan bensin jauh lebih cepat dari minyak tanah maka aspal cair ini dikenal dengan
nama aspal cair penguapan cepat. Umumnya digunakan untuk tack coat. Contoh : RC-
70.
Angka yang lebih tinggi menunjukkan aspal cair yang lebih kental, misalnya RC-250 lebih
kental dari RC-70, angka ini menunjukkan syarat viskositas kenematik minimum dari
aspal cair tersebut.
3. Aspal Emulsi
Jika air dicampur dengan minyak maka keduanya akan memisah. Agar ter- campur
dalam suspensi maka diperlukan bahan ketiga seperti sabun yang ditambahakan untuk
memperlambat pemisahan. Dalam hal yang sama, aspal keras dan air dicampur dengan
menggunakan bahan pengemulsi untuk memperlambat pemisahan. Terdapat banyak
bahan pengemulsi baik organik maupun inorganik seperti lempung koloidal, silika yang
dapat maupun yang tidak dapat dilarutkan, sabun, minyak sayur sulfonat.
Jika aspal emulsi breaks up atau sets up, maka air mengalir atau menguap
meninggalkan aspal. Penanganan aspal emulsi harus diperhatikan khusus agar reaksi
dini akibat tekanan, panas atau dingin yang berlebihan, tidak terjadi. Kecepatan reaksi
sangat ditentukan oleh jumlah dan jenis bahan pengemulsi yang digunakan. Jika aspal
emulsi breaks up maka warna aspal yang semula coklat berubah menjadi hitam.

Aspal emulsi menurut muatan listrik bahan pengemulsinya terdiri dari :


a. Aspal Emulsi Kationik
Aspal emulsi jenis kationik (ion positif) cocok untuk jenis batuan yang mengandung ion
negatif. Meskipun demikian, aspal kationaik dapat digunakan untuk semua jenis batu.
b. Aspal Emulsi Anionik
Aspal emulsi jenis anionik (ion negatif) cocok untuk jenis batu yang mengandung ion
positif.

Aspal emulsi menurut kecepatan reaksinya terdiri dari :


a. Reaksi Cepat (Rapid Setting)
Memerlukan beberapa menit untuk breaks up. Contoh : RS
b. Reaksi Sedang (Medium Setting)
Memerlukan puluhan menit untuk breaks up. Contoh : MS
c. Reaksi Lambat (Slow Setting)
Memerlukan waktu berjam-jam untuk breaks up. Contoh : SS

Secara umum aspal emulsi lebih menguntungkan dari aspal cair karena :
a. Dapat beradaptasi untuk agregat basah
b. Mengurangi bahaya kebakaran dan bahaya keracunan.

3.4 BAHAN PENGISI (FILLER)


1. Loess
Loess adalah deposit material halus dan porous akibat angin. Butirannya lebih kecil dari
pasir tetapi lebih besar dari tanah. Karena butirannya bersudut dan dapat dipadatkan
maka loess mempunyai karakteristik tersendiri dimana loess dapat digali vertikal.
2. Debu Berbutir
Debu berbutir adalah debu dari batuan (misalnya dari batu marmer), Portland cement,
atau debu buatan atau alami lainnya. Umumnya 80 sampai 100% lolos No.200. Debu
berbutir ditambahkan ke dalam campuran aspal untuk mengisi rongga dalam campuran
dan meningkatkan stabilitas campuran. Kapur tohor termasuk jenis debu berbutir, namun
pemakaian filler jenis ini harus dibatasi malsimum 1% karena efek ekspansifnya.
Pemakaian debu marmer lebih aman karen atidak ekspansif.
3. Abu Terbang (Flyash)
Filler buatan yang diperoleh dari pembakaran batu bara. Umumnya 80% lolos No.200.
Semula material dianggap limbah yang sangat mengganggu industri pembangkit tenaga
listrik dan jumlahnya memakan tempat yang cukup besar. Belakangan material ini dapat
digunakan sebagai filler added untuk campuran aspal.

3.4 BAHAN TAMBAH (ADDITIVE)


Bahan tambah (additive) digunakan untuk meningkatkan :
1. Daya Lekat
Umumnya disebut stripping agent, digunakan untuk meningkatkan daya lekat batuan
jenis silikat dimana kelekatan agregat terhadap aspal tidak memenuhi syarat (< 95%).
2. Titik Lembek
Banyak jenis additive yang dapat menaikkan titik lembek. Seringkali disebut modifier,
karena mengubah sifat-sifat (properties) aspal ke tingkat yang lebih baik.
3. Modulus
Dewasa ini banyak jenis modifier yang dipasarkan untuk meningkatkan sifat-sifat
campuran aspal sehingga dapat lebih tahan terhadap beban berat dan lebih awet karena
umurnya lebih panjang.
BAB IV
SIFAT-SIFAT BAHAN

4.1 SPESIFIKASI

Spesifikasi merupakan salah satu bagian penting dari Dokumen Lelang/ Kontrak atau bestek
yang memuat segala peraturan dan ketentuan tentang bagaimana pekerjaan harus
dikerjakan dan berhasil “akhir”, dikenal juga dengan nama Spesifikasi Umum. Untuk jenis
pekerjaan yang bersifat khusus maka seringkali Spesifikasi Umum masih dilengkapi dengan
Spesifikasi Khusus atau Addendum.
Terdapat 2 jenis Spesifikasi yaitu Spesifikasi Hasil Akhir (End Result Specifi-cations) dan
Spesifikasi Berjenjang atau Bertahap (Multi Steps Specifications). Spesifikasi Hasil Akhir
secara umum hanya mengatur hasil akhir yang harus dicapai dari suatu pekerjaaan,
misalnya CBR minimum harus > 90%. Sedang-kan Spesifikasi Berjenjang atau Bertahap
mengatur semua hal dan tahap (dari awal sampai akhir). Spesifikasi yang digunakan di
Indonesia, khususnya untuk bidang jalan dan jembatan adalah Spesifikasi Berjenjang atau
Bertahap.
Spesifikasi Berjenjang atau Bertahap yang baik harus mempunyai pola 3 – 2 – 5 yaitu
bertahap 3, berlingkup 2 dan berstruktur 5. 3 tahap pengujian yaitu bahan baku, bahan
olahan dan bahan jadi. 2 lingkup yaitu pengendalian dimensi dan pengendalian mutu. 5
struktur yaitu jenis pengujian, metoda pengujian, frekwensi pengujian, persyaratan
(minimum dan/atau maksimum) dan toleransi yang diijinkan.
Pengaturan lingkup dalam Spesifikasi Berjenjang atau Bertahap adalah :
Lingkup Pekerjaan
Cuaca yang diijinkan untuk bekerja
Bahan
Pelaksanaan
Peralatan
Pengendalian Mutu
Cara Pengukuran Hasil Kerja
Pembayaran
Persyaratan Bahan ditentukan dalam Spesifikasi dalam Seksi “Bahan” dan Seksi
“Pengendalian Mutu”.
Persyaratan Bahan yang dibahas berikut ini adalah Bahan Baku dan Olahan.
1. Timbunan
a. Timbunan Biasa
s/d 30 cm > 30 cm
Sifat-sifat dibawah dibawah
subgrad subgrad
e e
Klasifikasi Tanah Bukan A-7-6 -
atau CH
CBR (SNI 03-1744-1989) pada kepadatan ringan > 6% -
100% (SNI 03-1742-1989)
Nilai Keaktifan = < 1,25 < 1,25
Indeks Plastisitas / % lolos No.200
Kepadatan (SNI 03-2828-1992) > 100% > 95%

b. Timbunan Pilihan
Sifat-sifat bukan rawa daerah rawa
CBR (SNI 03-1744-1989) pada kepadatan ringan > 10% -
100% (SNI 03-1742-1989)
Indeks Plastisitas = Batas Cair – Batas Plastis - < 6%
(SNI 03-1966-1990 & SNI 03-1967-1990)

Koreksi kepadatan (SNI 03-1976-1990) dilakukan jika material tertahan ayakan ¾” >
10%. Sampai dengan 15 cm di bawah Subgrade, material bekas galian batu tidak
boleh digunakan dan ukuran butir maksimum untuk 15 cm di bawah subgrade adalah
< 10 cm.
2. Lapis Pondasi Agregat
a. Agregat Kasar
Sifat-sifat Kelas A Kelas B Kelas C
Abrasi dengan mesin Los Angeles < 40% < 40% < 50%
(SNI 03-2417-1991)
Bagian yang lunak (SNI 03-4141-1996) < 5% < 5% -
Tertahan ayakan No.4 (4,75 mm) min. 1 - -
bida
ng
pec
ah

b. Agregat Halus
Harus mempunyai sifat-sifat berikut ini :
Sifat-sifat Kelas A Kelas B Kelas C
Indeks Plastisitas = Bats Cair – Batas Plastis < 6% < 10% 6–20%
(SNI 03-1966-1990 untuk Batas Plastis)
Batas Cair (SNI 03-1967-1990) < 25% < 35% < 40%
Indeks Plastisitas x % lolos No.200 < 25 - -

% lolos No.200 (0,075 mm) < 2/3 lolos No.40 -


c. Lapis Pondasi Agregat
Harus mempunyai sifat-sifat berikut ini :
Sifat-sifat Kelas A Kelas B Kelas C
CBR (SNI 03-1744-1989) pada kepadatan berat > 90% > 35% -
100% (SNI 03-1743-1989)
Kepadatan (SNI 03-2828-1992) > 100% > 100% -

Harus mempunyai gradasi berikut ini :


Ukuran Ayakan Persen Berat Yang Lolos
ASTM (mm) Kelas A Kelas B Kelas C
2” 50,0 100
1½” 37,5 100 88 – 95
1” 25,0 79 – 85 70 – 85
¾” 19,0 - - 100
3/8” 9,5 44 – 58 30 – 65
No.4 4,75 29 – 44 25 – 55 51 – 74
No.10 2,0 17 – 30 15 – 40
No.40 0,425 7 – 17 8 – 20 18 – 36
No.200 0,075 2–8 2–8 10 – 22

3. Lapis Pondasi Tanah Semen


a. Tanah
Ukuran butir maksimim < 75 mm dan material lolos No.200 (SNI 03-4142-1996) <
50%.
b. Semen
Portland Cement Type I sesuai SNI 15-2049-1994
c. Air
pH yang diuji dengan elektrometer (SNI 06-1140-1989) atau metode lainnya 4,5 ~ 8,5
Jika mengandung benda padat dan inorganik maka kuat tekan kubus mortar (SK SNI
M-111-1990-03) dengan air tersebut > 90% kuat tekan kubus mortar dengan air
suling.
d. Lapis Pondasi Tanah Semen
Harus mempunyai sifat-sifat berikut ini :
Setelah Perawatan 7 hari
Sifat-sifat
Min. Target Maks.
Unconfined Compressive Strength (UCS) 20 24 35
2
kg/cm
CBR (SNI 03-1744-1989) pada kepadatan 100* 120* 200*
ringan 100% (SNI 03-1742-1989)
Rata-rata Scala Penetration Resistance 1,0* 1,3* 2,5*
(SPR) lebih dari 2/3 tebal (pukulan/cm)
Setelah Perawatan 7 hari
Sifat-sifat
Min. Target Maks.

Scala Penetration Resistance (SPR) yang 0,8* - -


menentukan batas minimum tebal
efektif (pukulan/cm)
Pengujian Wetting & Drying (AASHTO
T135) :
% kehilangan berat - - 7
% perubahan volume - - 2
Catatan :
* : harus dikalibrasi terhadap UCS
“Target” digunakan untuk Mix Design dan “Minimum” untuk pengujian lapangan.

4. Campuran Aspal
a. Aspal Keras
Harus mempunyai ketentuan berikut :
Pengujian Standar Nilai
Penetrasi, 25°C, 100 gr, 5 detik, 0,1 mm SNI 06-2456-1991 60-70
Titik Lembek, °C SNI 06-2434-1991 48-58
Titik Nyala, °C SNI 06-2433-1991 > 200
Daktilitas, 25°C, cm SNI 06-2432-1991 > 100
Kelarutan dalam Trichlor Ethylen, % berat AASHTO T44 > 99
Penurunan Berat (dengan TFOT), % berat SNI 06-2440-1991 < 0,8
Penetrasi setelah penurunan berat, % asli SNI 06-2456-1991 > 54
Daktilitas setelah penurunan berat, 5 asli SNI 06-2432-1991 > 50
Uji bintik (spot test) AASHTO T102
- Standar Naptha Neg.
- Naptha Xylene Neg.
- Hephtane Xelene Neg,

b. Agregat Kasar
Pengujian Standar Nilai
Abrasi dng mesin Los Angeles SNI 03-4217-1991 < 40%
Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan SNI 03-3407-1994 < 12%
natrium dan magnesium sulfat
Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991 > 95%
Angularitas untuk kedalaman
DoT’s Pensylvania
< 10 cm dari permukaan Test Method, 95/90
> 10 cm dari permukaan PTM No.621 80/75
Indeks Kepipihan BS 812 < 25%
Partikel Lonjong ASTM D-4721 < 10%
Material lolos ayakan No.200 SNI-03-4142-1996 < 1%
Catatan :
80/75 menunjukkan bahwa 80% mempunyai muka bidang pecah satu atau lebih dan
75% mempunyai muka bidang pecah dua atau lebih.
c. Agregat Halus
Jika digunakan pasir alam maka
Pengujian Standar Nilai
Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 < 40%
Material lolos ayakan No.200 SNI 03-4142-1996 < 8%

d. Filler
Material lolos ayakan No.200 (SNI 03-4142-1996) minimum 75%.

e. Campuran Aspal
Mempunyai gradasi berikut :

Ukuran % Berat Yang Lolos


ayakan Lataston (HRS) LASTON (AC)
ASTM (mm) WC Base WC BC Base
1½” 37,5 100
1” 25 100 90 - 100
¾” 19 100 100 100 90 - 100 Maks.90
½” 12,5 90 - 100 90 - 100 90 - 100 Maks.90
3/8” 9,5 75 - 85 65 - 100 Maks.90
1 1
No.8 2,36 50 - 72 35 - 55 28 - 58 23 - 39 19 - 45
No.16 1,18
No.30 0,600 35 - 60 15 - 35
No.200 0,075 6 - 12 2-9 4 - 10 4-8 3-7
DAERAH LARANGAN
No.4 4,75 - - 39,5
No.8 2,36 39,1 34,6 26,8 - 30,8
No.16 1,18 25,6 - 31,6 22,3 - 28,3 18,1 - 24,1
No.30 0,600 19,1 - 23,1 16,7 - 20,7 13,6 - 17,6
No.50 0,300 15,5 13,7 11,4
Catatan :
1. Untuk HRS-WC dan HRS-Base, paling sedikit 80 % agregat lolos ayakan No.8
(2,36 mm) harus juga loloas ayakan No.30 (0,600 mm). Lihat contoh batas-batas
“bahan bergradasi senjang” yang lolos ayakan No.8 (2,36 mm) dan tertahan
ayakan No.30 (0,600 mm) dalam Tabel di bawah ini.

% lolos No.8 50 60 70
% lolos No.30 Paling sedikit 40 Paling sedikit 48 Paling sedikit 56
% kesenjangan 10 atau kurang 12 atau kurang 14 atau kurang

2. Untuk AC, digunakan titik kontrol gradasi agregat, berfungsi sebagai batas-batas
rentang utama yang harus ditempati oleh gradasi-gradasi tersebut. Batas-batas
gradasi ditentukan pada ayakan ukuran nominal maksimum, ayakan menengah
(2,36 mm) dan ayakan terkecil (0,075 mm).
Mempunyai sifat-sifat campuran aspal berikut :
Lataston Laston
Sifat-sifat Campuran
WC Base WC BC Base
Penyerapan kadar aspal Maks. 1,7 1,2
(1)
Jumlah tumbukan per bidang 75 112
(3)
Rongga dalam campuran (%) Min. 3,0 3,5
Maks. 6,0 5,5
Rongga dalam Agregat (VMA) Min. 18 17 15 14 13
(%)
Rongga terisi aspal (%) Min. 68 65 63 60
(1)
Stabilitas Marshall (kg) Min. 800 1500
(1)
Kelelehan (mm) Min. 3 4,5
Marshall Quotient (kg/mm) Min. 250 300
Stabilitas Marshall Sisa (%)
setelah perendaman selama Min. 75
(4)
24 jam, 60 ºC
Rongga dlm campuran (%) pada Min. 2 2,5
kepadatan membal (refusal)
(2)

Kepadatan Lapangan / Kepa- Min. 98 97


datan Standar Kerja (%)
Catatan :
1). Lihat prosedur pengujian Modifikasi Marshall Untuk Agregat Besar (> 1” & < 2”)
2). Untuk menentukan kepadatan membal (refusal), penumbuk bergetar (vibratory
hammer) disaran-kan digunakan untuk menghindari pecahnya butiran agregat
dalam campuran. Jika digunakan penumbukan manual jumlah tumbukan per
bidang harus 600 untuk cetakan berdiamater 6 in dan 400 untuk cetakan
berdiamater 4 in
3) Berat jenis efektif agregat akan dihitung berdasarkan pengujian Berat Jenis
Maksimum Agregat (Gmm test, AASHTO T-209).
4) Direksi Pekerjaan dapat menyetujui prosedur pengujian AASHTO T283 sebagai
alternatif pengu-jian kepekaan kadar air. Pengondisian beku cair (freeze thaw
conditioning) tidak diperlukan. Standar minimum untuk diterimannya prosedur T283
harus 75% Kuat Tarik Sisa.

Bilamana rasio kepadatan maksimum dan minimum yang ditentukan dalam serangkaian
benda uji inti pertama yang mewakili setiap lokasi yang diukur, lebih besar dari 1,08 : 1
maka benda uji inti tersebut harus dibuang dan serangkaian benda uji inti baru harus
diambil dengan ketentuan berikut ini.
Syarat Kepa- Jumlah benda Kepadatan Min. Nilai min. setiap peng-
datan (% uji / Rata-rata (% ujian tunggal (%
JSD) pengujian JSD) JSD)

98 3-4 98,1 95
5 98,3 94,9
6 98,5 94,8
97 3-4 97,1 94
5 97,3 93,9
6 97,5 93,8
4.2 RUJUKAN LAIN YANG DISEBUTKAN DALAM SPESIFIKASI

Standar-standar yang seringkali dicantumkan dalam Spesifikasi Jalan dan Jembatan adalah
AASHTO dan SNI (Standar Nasional Inonesia), disamping itu masih terdapat standar-
standar lain seperti ASTM, BS, dsb. Persamaan AASHTO dan SNI untuk Bahan Jalan dan
Jembatan terdapat dalam tabel berikut
AASHTO M6-87 SK SNI S-02-1994- Spesifikasi Agregat Halus Untuk Pekerjaan Adukan Dan
03 Plesteran Dengan Bahan Dasar Semen.
AASHTO M29-90 SK SNI S-02-1993- Spesifikasi Agregat Halus Untuk Campuran Perkerasan
03 Aspal.
AASHTO M81-90 SNI 03-4800-1998 Spesifikasi Aspal Cair Penguapan Cepat.
AASHTO M82-75 SNI 03-4799-1998 Spesifikasi Aspal Cair Penguapan Sedang.
AASHTO M85-89 SNI 15-2049-1994 Semen Portland
AASHTO M208-87 SNI 03-4798-1998 Spesifikasi Aspal Emulsi Kationik.

4.3 RUJUKAN TAMBAHAN


Penggunaan rujukan (standar) yang tercantum dalam Spesifikasi mencakup, tetapi tidak
terbatas, standar yang dirumuskan oleh badan-badan dan organisasi-organisasi berikut :
SII = Standar Industri Indonesia
SNI = Standar Nasional Indonesia
AASHTO = American Association of State Highway and Transportation Officials
ACI = American Concrete Institute
AISC = American Institute of Steel Construction.
ANSI = American National Standard Institute
ASTM = American Society for Testing and Materials
AWS = American Welding Society Inc.
CRSI = Concrete Reinforcing Steel Institute
NEC = National Electrical Code
BS = British Standards
RANGKUMAN

Bahan konstruksi yang dipergunakan di dalam pekerjaan jalan secara teknis harus:

Memenuhi spesifikasi dan standar yang berlaku.


Memenuhi ukuran, pembuatan, jenis dan mutu yang disyaratkan dalam Gambar dan
Spesifikasi ini, atau sebagaimana secara khusus disetujui tertulis oleh Engineer.
Semua produk harus baru.
dan secara ekonomis harus :
Murah
Jumlah banyak
Mudah diperoleh
Upaya pengelolaaan lingkungan berkaitan dengan eksploitasi sumber bahan jalan dan
jembatan :
1. Dalam pemilihan lokasi sumber bahan (quarry), beberapa arahan di bawah ini harus
diperhatikan :
a. Prioritas harus diberikan pada lokasi sumber bahan yang sudah dibuka, bilamana
jumlah dan mutunya memenuhi.
b. Lokasi sumber bahan harus dipilih harus memberikan rasio tertinggi antara kapasitas
bahan yang digali (baik kuantitas maupun kualitas) dan kehilangan sumber daya
negara.
c. Lokasi sumber bahan yang berdekatan dengan alinyemen jalan, yang sangat mudah
diambil dan mempunyai tebing yang tidak curam lebih disarankan.
d. Eksploitasi sumber bahan di daerah sumber daya alam yang vital harus dihindari,
seperti hutan tanaman berkayu dan hutan lebat lainnya maupun daerah-daerah
penghasil bahan makanan dan hutan lindung untuk burung dan hewan lainnya.
e. Disarankan untuk menghindari atau setidaknya mengurangi pemilihan lokasi sumber
bahan di dasar sungai. Meskipun pemilihan lokasi sumber bahan di luar dasar sungai
tidak memungkinkan, sumber bahan yang terletak di sungai atau saluran kecil tetap
tidak boleh diambil. Disarankan untuk memilih lokasi sumber bahan di petak-petak
atau endapan alluvial yang terletak di dasar sungai tetapi tidak dialiri air pada kondisi
air normal.
2. Bilamana sumber bahan terletak di daerah bergunung atau berbukit, atau bilamana
kondisi talud sangatlah mempengaruhi stabilitas lereng, maka penggalian bertangga
harus dilaksanakan. Lereng setiap sumber bahan yang telah dibentuk kembali harus
mempunyai kelandaian yang tidak kurang dari nilai rata-rata 1,3. Setelah pelaksanaan
lereng bertangga dan pembaharuan sistem drainase harus dilakukan dalam suatu kondisi
yang rata dan rapi dengan tepi dan lereng yang stabil dan saluran drainase yang memadai.
Terdapat 6 tujuan dasar dari aplikasi perkerasan lentur :
1. Mendukung beban lalu lintas
2. Melindungi tanah dasar dari air
3. Memperkecil kemungkinan pelepasan butir pada permukaan
4. Memberikan texture permukaan yang memadai
5. Lentur terhadap lapis tanah dasar
6. Tahan terhadap cuaca
Standar rujukan yang digunakan dalam Klasifikasi Tanah :
1. USCS (Unified Soil Classification System) :
2. AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials) :
3. Klasifikasi sistem lainnya, kecuali SNI (Standard Nasional Indonesia).
Secara umum jenis agregat digolongkan sebagai berikut :
1. Pasir
2. Kerikil
3. Batu Pecah
Gradasi agregat yang digunakan dalam campuran aspal :
1. Gradasi Menerus (Continous Graded)
2. Gradasi Senjang (Gap Graded)
3. Gradasi Tunggal (Single Graded)
Berdasarkan sumbernya, bitumen dibedakan atas:
1. Aspal Alam
Aspal alam terbentuk bilamana minyak mentah bumi naik ke permukaan bumi melalui
celah-celah kulit bumi. Akibat sinar matahari dan angin maka minyak ringan dan gas
menguap dan meningglkan residu yang plastis dan hitam disebut aspal. Kebanyakan
aspal alam bercampur-baur dengan mineral seperti lempung tanah, pasir sampai kerikil
yang terbawa saat minyak bumi mengalir ke cekungan permukaan bumi. Aspal alam
terdapat di Trinidad, Venezuela dan pulau Buton.
2. Aspal Minyak (Petroleum Asphalt)
Dari hasil destilasi minyak mentah bumi akan diperoleh berbagai jenis minyak seperti :
bensin, solar, minyak tanah, dsb. Residu dari hasil destilasi ini adalah aspal, namun aspal
ini masih lunak yaitu mempunyai Penetrasi sekitar 300. Setelah melalui proses semi
blown baru diperoleh aspal Penetrasi 60/70 dan aspal keras (asphalt cement) jenis
lainnya.
Berdasarkan jenisnya, jenis bitumen dibedakan atas :
1. Aspal Keras
2. Aspal Cair

3. Aspal Emulsi
Bahan pengisi (filler) terdiri atas:
1. Loess
2. Debu Berbutir
3. Abu Terbang (Flyash)
Bahan tambah (additive) digunakan untuk meningkatkan :
1. Daya Lekat
Umumnya disebut stripping agent, digunakan untuk meningkatkan daya lekat batuan jenis
silikat dimana kelekatan agregat terhadap aspal tidak memenuhi syarat (< 95%).
2. Titik Lembek
Banyak jenis additive yang dapat menaikkan titik lembek. Seringkali disebut modifier,
karena mengubah sifat-sifat (properties) aspal ke tingkat yang lebih baik.
3. Modulus
Dewasa ini banyak jenis modifier yang dipasarkan untuk meningkatkan sifat-sifat
campuran aspal sehingga dapat lebih tahan terhadap beban berat dan lebih awet karena
umurnya lebih panjang.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Association of State Highway and Transportation Officials,


Standard Specifications for Transportation Materials and Methods of
Sampling and Testing, Washington DC, 1994

2. Asphalt Institute, The Asphalt Handbook, Manual Series No. 4, Maryland,


1989

3. Direktorat Jenderal Bina Marga, Spesifikasi Umum Jalan, Jakarta, 2005.

4. Krebs, Robert D., Walker Richard D, Highway Materials, MC Graw-Hill,


1971

5. Oglesby, Clarkson H, Highway Engineering, John Wiley and Sons, New


York, 1982.

6. Road Research Laboratory, Bituminious Materials in Road


Construction, London, 1962
7. MODUL RDE - 12: Bahan Perkerasan Jalan, DPU PUSBIN-KPK, 2005

Anda mungkin juga menyukai