Anda di halaman 1dari 24

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 IDENTITAS PASIEN

 Nama : Ny. S
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Usia : tahun
 Agama : Islam
 Alamat : Krejengan
 Suku bangsa : Madura
 Pekerjaan : Ibu rumah tangga
 Status Menikah : Kawin
 No. RM : 338261
 Ruangan : Poli Saraf

1.2 ANAMNESIS

Pasien datang ke poli saraf pada tanggal 03 Januari 2019.

a. Keluhan Utama
Kejang sejak +/- 1 bulan yang lalu
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien kontrol poli saraf dengan riwayat MRS kejang 1 minggu yang lalu.
Pada awalnya, pasien mengeluh kejang 1x 1 bulan SMRS dengan kondisi tidak
sadar selama kejang sehingga pasien tidak ingat posisi dan gerakan kejang.
Menurut keluarga pasien, pasien kelojotan dengan posisi mata melihat keatas,
lidah tergigit, tanpa disertai keluarnya busa saat kejang. Pada saat itu pasien
tidak dibawa ke dokter karena sudah tidak kambuh. Kemudian 2 hari SMRS,
pasien mengeluh kejang kembali dengan tipe kejang yang sama dan langsung
dibawa ke puskesmas dan dirawat jalan dengan terapi obat. Pasien tidak ingat
obat yang diberikan puskesmas.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal adanya riwayat Kejang demam pada masa anak – anak
ataupun adanya riwayat trauma sebelumnya
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat epilepsi, hipertensi, kencing manis, penyakit jantung, stroke, dan
alergi pada keluarga disangkal.
e. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien sering banyak pikiran dan mengaku kurang tidur setiap harinya.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik di poli saraf 03 Januari 2018


A. Keadaan Umum
 Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4M6V5 = 15
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit, regular, kuat, isi cukup, ekual
Pernapasan : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36,50C

B. Keadaan Lokal
 Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi
merata
 Mata : Konjungtiva anemis -/-,sklera ikterik -/-,
pupil bulat isokor ɸ 3mm/3mm, refleks cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak
langsung +/+
 Sinus : Hematom (-), nyeri tekan (-)
 Telinga : Normotia +/+, serumen -/-, membran
timpani intak
 Hidung : Deviasi septum (-), sekret -/-
 Mulut : Sianosis (-)
 Lidah : Kotor (-)
 Tenggorok : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang

2
 Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah,
tidak teraba KGB dan kelenjar tiroid.
 Pemeriksaan jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V2 linea midclavikula
sinistra
Perkusi : Batas kanan kanan ICS IV linea sternalis dextra,
batas kiri ICS V 2 jari lateral linea midklavikula
sinistra
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Pemeriksaan Paru
Inspeksi : Pergerakan naik-turun dada simetris kanan kiri
Palpasi : Vocal fremitus kanan=kiri, tidak ada benjolan
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-
 Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut tidak buncit
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Pemeriksaan Ekstremitas
Proksimal : akral hangat +/+, edema -/-
Distal : akral hangat +/+, edema -/-

C.Status Neurologis

1) GCS
E4V5M6 : 15, compos mentis
2) Rangsang Selaput Otak Kanan Kiri
Kaku Kuduk : (-)
Laseque : > 70° > 70°
Kernig : > 135° > 135°
Brudzinski I : (-) (-)
Brudzinski II : (-) (-)
3) Peningkatan Tekanan Intrakranial (-)
4) Saraf-saraf Kranialis

3
N. I : tidak dilakukan

N.II Kanan Kiri


Acies Visus : Baik Baik
Visus Campus : Baik Baik
Melihat Warna : tidak dilakukan tidak dilakukan
Funduskopi : tidak dilakukan tidak dilakukan

N. III, IV, VI Kanan Kiri


Kedudukan Bola Mata : Ortoposisi Ortoposisi
Pergerakan Bola Mata
Ke Nasal : Baik Baik
Ke Temporal : Baik Baik
Ke Nasal Atas : Baik Baik
Ke Nasal Bawah : Baik Baik
Ke Temporal Atas : Baik Baik
Ke Temporal Bawah : Baik Baik
Eksopthalmus : (-) (-)
Nistagmus : (-) (-)
Pupil : Isokor Isokor
Bentuk : Bulat, Ø 3mm Bulat, Ø
3mm
Refleks Cahaya Langsung : (+) (+)
Refleks Cahaya Konsensual: (+) (+)
Akomodasi : Baik Baik
Konvergensi : ` Baik Baik

N. V Kanan Kiri
Cabang Motorik : Baik Baik
Cabang Sensorik
Optahalmik : Baik Baik
Maxilla : Baik Baik
Mandibularis : Baik Baik

N. VII Kanan Kiri


Motorik Orbitofrontal : Baik Baik
Motorik Orbicularis : Baik Baik
Pengecap Lidah : tidak dilakukan

N. VIII Kanan Kiri


Vestibular
Vertigo : tidak dilakukan tidak dilakukan

4
Nistagmus (-) (-)
Cochlear
Tinnitus : (-) (-)
Rinner : tidak dilakukan
Weber : tidak dilakukan
Schwabach : tidak dilakukan

N. IX, X
Bagian Motorik
Suara biasa/parau/tak bersuara : biasa
Menelan : normal
Kedudukan Arcus Pharynx : simetris, kuat angkat
Kedudukan Uvula : di tengah
Bagian Sensorik
Reflek Muntah (pharynx) : tidak dilakukan

N. XI Kanan Kiri
Mengangkat bahu : Baik Baik
Menoleh : Baik Baik

N. XII Kanan Kiri


Kedudukan Lidah
Waktu istirahat simetris tengah simetris tengah
Waktu gerak simetris tengah simetris tengah
Atrofi (-) (-)
Fasikulasi/tremor (-) (-)

5) Sistem Motorik
Ekstremitas Atas Proksimal Distal : 5555 5555
Ekstremitas Bawah Proksimal Distal : 5555 5555
6) Gerakan Involunter
Tremor : (-)
Chorea : (-)
Atetose : (-)
Mioklonik : (-)
7) Trofik : eutrofi pada ke empat ekstremitas
8) Tonus : normotonus pada ke empat ekstremitas

5
9) Sistem Sensorik Kanan Kiri
Proprioseptif : (+) (+)
Eksteroseptif : (+) (+)
10) Fungsi Cerebellar dan Koordinasi
Tandem Gait : Baik
Romberg : Baik
Jari-Jari : Baik
Jari-Hidung : Baik
11) Fungsi Luhur
Astereognosia : (-)
Apraksia : (-)
Afasia : (-)
12) Fungsi Otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Sekresi Keringat : Baik
13) Refleks-refleks Fisiologis Kanan Kiri
Kornea : (+) (+)
Bisep : (+2) (+2)
Trisep : (+2) (+2)
Patella : (+2) (+2)
Achilles : (+2) (+2)
14) Refleks-refleks Patologis Kanan Kiri
Hoffman Tromner : (-) (-)
Babinsky : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Gonda : (-) (-)
Schaeffer : (-) (-)
Klonus Lutut : (-) (-)
Klonus Tumit : (-) (-)
15) Keadaan Psikis
Intelegensia : Baik
Tanda regresi : (-)
Demensi : (-)

1.5 DIAGNOSIS
 Diagnosis klinis :
o Kejang tonik-klonik
 Diagnosis etiologis : idiopatik
 Diagnosis kerja : Epilepsi

6
1.7 TATALAKSANA
 Na Phenitoin 1 x 1 kapsul
 Mecobalamin 1 x 1 tablet

7
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem piramidal merupakan jalur desending yang terdiri dari serabut yang
berasal dari korteks motorik pada otak yang kemudian disalurkan ke batang otak
dan turun ke spinal cord.
Mekanisme kerja sistem piramidal diawali pada korteks motorik, impuls
gerakan yang diinginkan di teruskan menuju bagian posterior kapsula interna,
kapsula interna meneruskan impuls kepada medula oblongata, setelah mencapai
medulla oblongata impuls diteruskan menuju medula spinalis substansi kelabu,
yaitu bagian integral dari neuron motorik, respon kembali diteruskan menuju
ujung-ujung akson yaitu efektor hingga akhirnya menjadi suatu gerakan yang
sadar. Traktus piramidal dibagi menjadi dua yaitu traktus pyramidal
(kortikospinal) lateral dan traktus pyramidal (kortikospinal) ventral/anterior.
Fungsi sistem piramidal adalah memulai timbulnya suatu gerakan volunteer atau
suatu gerak sadar yang bersifat halus dan juga berfungsi untuk kontraksi otot
distal, khususnya pada tangan dan jari.

Sedangkan sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang


terdapat pada otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari
gerakan. Sistem ekstrapiramidal meupakan jalur antara corteks serebal, basal
ganglia, batang otak, spinal cord yang keluar dari traktus piramidal. Letak dari
ekstrapimidal adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan
di target saraf di medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang
kompleks, dan kontrol postur tubuh. Traktus ekstrapirimidal dibagi menjadi
traktus retikulospinal, traktus vestibulospinal lateral, traktus vestibulospinal
medial, traktus rubrospinal. Fungsi sistem ekstrapiramidal antara lain adalah
mempertahankan tonus otot, gerakan kasar dan perencanaan suatu gerakan.
Sistem piramidal berperan dalam gerakan volunter, yaitu gerakan sadar yang
harus dilakukan, sedangkan sistem ekstrapiramidal menentukan landasan untuk
dapat terlaksananya suatu gerakan volunter yang terampil dan mahir. Kerjasama
yang terpadu antara sistem piramidal dan sistem ekstrapiramidal diperlukan dalam
fungsi motorik yang sempurna pada otot rangka, keduanya mempunyai andil besar

8
dalam gerakan yang terjadi pada tubuh, meskipun demikian keduanya memiliki
fungsi yang berbeda dalam menghasilkan gerakan.
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi
antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering
memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol,
Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh
Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme
atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal
(piramidal).
Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping pengobatan, utamanya
penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Antipsikotik golongan tipikal
yang memiliki potensial tinggi dan pemberian dalam dosis tinggi paling sering
memberikan efek samping yang biasa disebut dengan sindrom ekstrapiramidal
pada pasien karena memiliki afinitas yang kuat pada reseptor muskarinik.
Pendekatan farmakologi pada manifestasi psikosis ini terpusat pada
neurotransmitter yang mengontrol respon neuron-neuron terhadap rangsangan.

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti program studi
kepaniteraan kedokteran jiwa di Rumah Sakit Umum Daerah Subang.
1.2.2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai gangguan
sindrom ekstrapiramidal.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan
oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik
golongan tipikal karena terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia
basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak
reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga
bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Gejala bermanifestasikan sebagai
gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu diluar kendali
traktus kortikospinal (piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi
distonia, tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada
beberapa sumber menyebutkan bahwa Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk
ke dalam gangguan ekstrapiramidal.

2.2. EPIDEMIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia,
dan sindrom parkinson umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat
antipsikotik. Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang
mempunyai potensi tinggi. Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien,
biasanya pada pria muda, terutama yang mendapat pengobatan dengan neuroleptik
haloperidol dan flufenarizin. Tardive dyskinesia terjadi pada sekitar 20-30%
pasien yang telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6 bulan
atau lebih. Tetapi sebagian besar kasus sangat ringan. Hanya 5% pasien yang
memperlihatkan gejala nyata. Akatisia merupakan gejala EPS yang paling sring
terjadi. Kemungkinan besar terjadi pada pasien dengan medikasi neuroleptik.
Umumnya pada pasien muda. Sindrom parkinson lebih sering pada dewasa muda,
dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1. Sindrom Neuroleptic Maligna
sangat jarang dijumpai.

10
2.3. ETIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik baik
dalam jangka waktu singkat atau lama yang menyebabkan adanya gangguan
keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik
dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut :

Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gejala Ekstrapiramidal

Chlorpromazine 150-1600 ++

Thioridazine 100-900 +

Perphenazine 8-48 +++

Trifluoperazine +++

Fluphenazine 5-60 +++

Haloperidol 2-100 ++++

Pimozide 2-6 ++

Clozapine 25-100 -

Zotepine 75-100 +

Sulpride 200-1600 +

Risperidon 2-9 +

Quetapine 50-400 +

Olanzapine 10-20 +

Aripiprazole 10-20 +

Beberapa hal lain yang mempengaruhi kerja ekstrapiramidal:


a. Ketidakseimbangan degeneratif
b. Ketidakseimbangan metabolik

11
c. Ketidakseimbangan sistem endokrin dan eksokrin
d. Inflamasi
e. Racun
f. Tumor atau SOL
g. Anoxia

2.4. PATOFISIOLOGI
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-
inti talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang
otak, serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan
area 8. Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh
akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang
melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan
penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit
tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama
(principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).

Gambar 1. Jaras Aferen dan Eferen

Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan
segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan
korpus striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus
dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah
diserahkan kepada korpus striatum / globus plaidus / thalamus untuk diproses dan

12
hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks
motorik tambahan.
Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya
menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka
sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal asesorik. Sirkuit striatal asesorik ke-1
merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-globus palidus-talamus-striatum.
Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang melingkari globus palidus-
korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang
dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-striatum.
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi
ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik menginhibisi transmisi dopaminergik di
ganglia basalis. Penggunaan beberapa neuroleptik tersebut menyebabkan
gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan
D2 dopamin sehingga menyebabkan depresi fungsi motorik yang bermanifestasi
sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti
haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang
lebih poten, dan sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala
ekstrapiramidal yang lebih menonjol.

2.5. MANIFESTASI KLINIS

Akibat gangguan sistem ekstrapiramidal pada pergerakan dapat dianggap


terdiri dari defisit fungsional primer (gejala negatif) yang ditimbulkan oleh tidak
berfungsinya sistem dan efek sekunder (gejala positif) yang timbul akibat
hilangnya pengaruh sistem itu terhadap bagian lain. Pada gangguan dalam fungsi
traktus ekstrapiramidal gejala positif dan negatif itu menimbulkan dua jenis
sindrom, yaitu

- Sindrom hiperkinetik – hipotonik : asetilkolin ↓ , dopamin ↑

 Tonus otot menurun


 Gerak involunter / ireguler
Pada : chorea, atetosis, distonia, ballismus

-  Sindrom hipokinetik – hipertonik : asetilkolin ↑ , dopamin ↓


13
 Tonus otot meningkat
 Gerak spontan / asosiatif ↓
 Gerak involunter spontan
          Pada : Parkinson

2.5.1. Gejala negatif


Gejala negatif terjadi akibat kekurangn jumlah dopamin karena
produksinya yang berkurang. Gejala negatif, terdiri dari :

2.5.1.1. Bradikinesia

Gerakan volunter yang bertambah lambat atau menghilang sama


sekali. Gejala ini merupakan gejala utama yang didapatkan pada penyakit
parkinson sehingga menimbulkan berkurangnya ekspresi wajah,
berkurangnya kedipan mata dan mengurangi perubahan postur pada saat
duduk.

2.5.1.2. Gangguan postural


Merupakan hilangnya refleks postural normal. Paling sering
ditemukan pada penyakit parkinson. Terjadi fleksi pada tungkai dan badan
karena penderita tidak dapat mempertahankan keseimbangan secara cepat.
Penderita akan terjatuh bila berputar dan didorong.

2.5.2. Gejala Positif


Gejala positif timbul oleh karena terjadi perubahan pelepasan ataupun
disinhibisi dari dopamin, tetapi tidak ditemukan kerusakan struktur, yang terdiri
dari:

- Gerakan involunter
 Tremor
 Athetosis
 Chorea
 Distonia
 Hemiballismus

14
- Rigiditas
Kekakuan yang dirasakan oleh pemeriksa ketika menggerakkan
ekstremitas secara pasif. Tahanan ini timbul di sepanjang gerakan pasif
tersebut, dan mengenai gerakan fleksi maupun ekstensi sering disebut
sebagai plastic atau lead pipe rigidity. Bila disertai dengan tremor maka
disebut dengan tanda Cogwheel.
Pada penyakit  parkinson  terdapat  gejala  positif dan gejala
negatif seperti tremor dan bradikinesia. Sedangkan pada Chorea
huntington lebih didominasi oleh gejala positif, yaitu : Chorea.

2.5.3. Gejala ekstrapiramidal


Gejala ekstrapiramidal sering di bagi ke dalam beberapa kategori yaitu :

2.5.3.1. Reaksi Distonia Akut


Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot
skelet yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama,
biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok
otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang (trismus,
gaping, grimacing), leher (torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion,
memuntir), seluruh otot tubuh (opistotonus) atau otot ekstraokuler (krisis
okulogirik).
Distonia juga dapat terjadi pada glosofaringeal yang menyebabkan
disartria, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian.
Distonia juga dapat ter jadi pada otot diafragmatik yang membantu
pernapasan sehingga sulit bernafas hingga sianosis bahkan
kematian..Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari
setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja.
Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari
setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini
terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih
sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi lebih tinggi, seperti
haloperidol dan flufenazine. Reaksi distonia akut dapat merupakan
penyebab utama dari ketidakpatuhan dengan neuroleptik karena

15
pandangan pasien mengenai medikasi secara permanent dapat memudar
oleh suatu reaksi distonik yang menyusahkan.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik
menurut DSM-IV adalah sebagai berikut:
Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau
batang tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau
menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi
yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).

2.5.3.2. Tardive Dyskinesia (kronik)


Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif
reseptor dopamin di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot
abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya
berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Gejala
hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya
memburuk dengan penarikan neuroleptik.
Prevalensi bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40%
pasien yang berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar
5% pasien memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat
melemahkan sekali, yaitu mempengaruhi berjalan, berbicara, bernapas, dan
makan.
Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan
pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif
atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami diskinesia tardive.
Diagnosis banding jika dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit
Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang
ditimbulkan obat seperti Levodova, stimulant, dan lain-lain.

2.5.3.3. Akatisia
Manifestasi berupa keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang
panjang,, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang
tidak bisa tenang, atau rasa gatal pada otot. Penderita dengan akatisia berat tidak
mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel, agitasi, dan

16
pemacuan yang nyata. Akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik
yang memburuk akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.

Sejauh ini, akatisia merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan


terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik,
terutama pada populasi pasien lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang
gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak. Juga telah dilaporkan
sebagai rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau
kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang
memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik
akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.
Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari akatisisa
hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. Juga, akinesis yang ditemukan
pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi setiap gejala
objektif akatisia. Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi
neuroleptikdan pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan tidak nyaman.
Yang dirasakan ini dengan medikasi sehingga menimbulkan masalah
ketidakpatuhan pasien.

2.5.3.4. Sindrom Parkinson


Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinson adalah peningkatan usia,
dosis obat, riwayat parkinson sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis. Terdiri
dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan
dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan,
dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur.
Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu
status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran
untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala
skizofrenia negatif. Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula
mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki
diakibatkan karena kekakuan otot.

2.5.3.5. Lain-lain

17
Berikut merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam
setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah
pengobatan bertahun-tahun. Manifestasinya meliputi berikut :

2.5.3.5.1. Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan


spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan
kedipan, dan penurunan mengunyahyang dapat menimbulkan
pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia
hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara,
penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas
normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala negative
skizofrenia.
2.5.3.5.2. Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung
pil. Tremor dapat mengenai rahang yang kadang-kadang disebut
sebagai “sindrom kelinci”. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan
diskenisia tardiv, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih ritmik,
kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responya
terhadap medikasi antikolinergik.

2.5.3.5.3. Gaya berjalan membungkuk : menyeret kaki dengan putaran huruf


en cetak dan hilangnya ayunan lengan.

2.5.3.5.4. Kekuan otot : terutama dari tipe cogwheeling. Gangguan gerakan


yang kronis progresif yang ditandai oleh adanya tremor, bradikinesia,
rigiditas, dan ketidakstabilan postural.

2.5.3.5.5. Chorea Huntington = Chorea Mayor


Merupakan gangguan herediter yang bersifat autosomal
dominan, onset pada usia pertengahan dan berjalan progresif hingga
menyebabkan kematian dalam waktu 10 – 12 tahun. Dapat terjadi pada
usia muda (tipe juvenile) dimana gejalanya kurang tampak dan
didominasi oleh gejala negatif (rigiditas, demensia, perubahan
kepribadian, gangguan afektif, psikosis, hipotonus, reflex primitif)

18
2.6. DIAGNOSIS

Diagnosa awal dilakukan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang


dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu
tanda–tanda vital dan kondisi fisik seluruhnya. Dapat ditambah pemeriksaan
neurologis.
Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pasien dengan
distonia simplek tidak membutuhkan tes. Pemeriksaan kualitatif untuk mendeteksi
adanya antipsikotik tidak tersedia secara luas. Selain itu, kandungan obat dalam
serum untuk tranquilizer mayor tidak berkorelasi dengan baik dengan keparahan
klinis dari overdosis dan tidak bermanfaat pada pengobatan akut.
Pemeriksaan rutin elektrolit, pemeriksaan potassium, asam urat, keratin
kinase-MM , nitrogen dan urea darah, kreatinin darah, glukosa darah, mioglobin
dan bikarbonat bermanfaat dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam
basa, kerusakan otot dan hipoglikemi sebagai penyebab kelainan sensorium.
Kontraksi otot yang terus menerus sering menyebabkan perusakan otot
yang terlihat dari peningkatan potassium, asam urat, dan keratin kinase-MM.
Perusakan otot juga menghasilkan myoglobin yang diserap oleh ginjal, sehingga
menyebabkan disfungsi tubulus ginjal. Dehidrasi memperburuk penyerapan ini.
Pada myoglobinuria, urin menjadi berwarna cokelat gelap.

2.7. DIAGNOSIS BANDING


2.7.1 Sindroma putus obat
2.7.2 Parkinson Disease
2.7.3 Distonia primer
2.7.4 Tetanus
2.7.5 Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
2.7.6 Penyakit Huntington,
2.7.7 Chorea Syndenham
2.7.8 Anxietas
2.7.9 Gejala psikotik yang memburuk

Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding dengan
penyakit Hutington dan Khorea Sindenham.

19
2.8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni :
2.8.1 Non-farmakologis :
Menurunkan dosis antipsikotik hingga mencapai dosis minimal yang
efektif

2.8.2 Farmakologis
2.8.2.1 Pada pasien > 60 tahun diberikan L-dopa .Pemberian L-dopa 3-4x 1 hari
dengan total dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 30 menit sebelum
makan, contoh madopar, sinemet.
2.8.2.2 Pada pasien muda diberikan DA (dopamine antagonist)
2.8.2.2.1. Pemberian dopamine agonist :
Contoh ergot da:
2.8.2.2.1.1. Bromocriptin dimulai dengan dosis 1,25 mg
ditingkatkan sampai total maksimal 40mg/ hari terbagi
dalam 3-5 dosis.
2.8.2.2.1.2. Pergolide mesylate dimulai dari 0,05 mg 0,05 mg
tiap 4-7 hari sampai 2-4 mg / hari untuk 3x beri
2.8.2.2.1.3. Piribedil 50 mg terbagi 5x/ hari
2.8.2.2.1.4. Cabergoline , dostinex 0,5 mg setiap 2 hari

2.8.2.2.2. Contoh Non-ergot da


2.8.2.2.2.1. Pramipexole, sifrol 1 mg dimulai dari 0,125 mg.
Dosis umumnya 3-4,5 mg / hari
2.8.2.2.2.2. Ropinirole, requip 2 mg, dimulai dari 0,25 mg.
Dosis umumnya 3-9 mg/ hari
2.8.2.3 Pemberian antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine
2.8.2.4 Pemberian antikolinergik seperti :
2.8.2.4.1 trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu.
Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg
setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah
mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping sindrom
ekstrapiramidal ini.

20
2.8.2.5 n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor: amantadine dimulai dari 100
mg. Dosis umumnya 300-400 mg/ hari terbagi dalam 3-4 dosis
2.8.2.6 Enzyme inhibitor: Monoamine Oxidase Type B inhibitor MAO –B contoh
selegiline, selegos 5 mg, rasagiline sebagai neuroprotektor.
2.8.2.7 COMT –I (Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors) :
2.8.2.7.1 entacapone, comtan 200mg dosis maksimal 1600 mg, tolcapone
untuk menurunkan degradasi dopamine otak dan meningkatkan
efek L-dopa.

2.8.3 Pedoman umum :

2.8.3.1 Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak


ahli menganjurkan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama
pada pasien dengan riwayat EPS atau para pasien yang mendapat
neuroleptik poten dosis tinggi.

2.8.3.2 Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang


dapat menyebabkan komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya
menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan,
konstipasi dan retensi urine. Amantadin dapat mengeksaserbasi
gejala psikotik.

2.8.3.3 Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam


bulan untuk menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan
seksama terhadap kembalinya gejala.

2.8.3.4 Reaksi Distonia Akut (ADR)

Medikasi antikolinergik merupakan terapi ADR bentuk primer


dan praterapi dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah
terjadinya penyakit. Paduan obat yang umum meliputi benztropin
(Congentin) 0,5-2 mg dua kali sehari (BID) sampai tiga kali sehari
(TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Benztropin
mungkin lebih efektif daripada triheksiphenidil pada pengobatan

21
ADR dan pada beberapa penyalah guna obat triheksiphenidil karena
“rasa melayang” yang mereka dapat daripadanya.

Seorang pasien yang ditemukan dengan ADR berat, akut harus


diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila dilakukan jalur
intravena (IV) dapat diberikan benztropin 1 mg dengan dorongan IV.
Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin (Benadryl)
50 mg intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia gunakan
benztropin 2 mg IM. Remisi ADR dramatis terjadi dalam waktu 5
menit.

2.8.3.5 Akatisia

Pengobatan akatisia mungkin sangat sulit dan sering kali


memerlukan banyak eksperimen. Agen yang paling umum dipakai
adalah antikolinergik dan amantadin (Symmetrel); obat ini dapat juga
dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa propanolol (Inderal)
sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya klonazepam
(klonopin) dan lorazepam (Ativan) mungkin sangat membantu.

2.8.3.6 Sindrom Parkinson

Aliran utama pengobatan sindrom Parkinson terinduksi


neuroleptik terdiri atas agen antikolinergik. Amantadin juga sering
digunakan . Levodopa yang dipakai pada pengobatan penyakit
Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek sampingnya
yang berat.

2.8.3.7 Tardive Diskinesia

Pencegahan melalui pemakaian medikasi neuroleptik yang


bijaksana merupakan pengobatan sindrom ini yang lebih disukai.
Ketika ditemukan pergerakan involunter dapat berkurang dengan
peningkatan dosis medikasi antipsikotik tetapi ini hanya
mengeksaserbasi masalah yang mendasarinya. Setelah permulaan
memburuk, pergerakan paling involunter akan menghilang atau

22
sangat berkurang, tetapi keadaan ini memerlukan waktu sampai dua
tahun.

Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan involunter pada


banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam gamma-
aminobutirat-ergik. Baclofen (lioresal) dan propanolol dapat juga
membantu pada beberapa kasus. Reserpin (serpasil) dapat juga
digambarkan sebagai efektif tetapi depresi dan hipotensi merupakan
efek samping yang umum. Lesitin lemak kaya kolin sangat
bermanfaat menurut beberapa peneliti, tetapi kegunaannya masih
diperdebatkan.

Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja


terbaik bagi pasien yang tampaknya mengalami diskinesia tardive
tetapi masih memerlukan pengobatan. Penghentian pengobatan dapat
memacu timbulnya dekompensasi yang berat, sementara pengobatan
pada dosis efektif terendah dapat mempertahankan pasien sementara
meminimumkan risiko, tetapi kita harus pasti terhadap dokumen
yang diperlukan untuk penghentian pengobatan.

2.9. KOMPLIKASI
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu
sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gangguan gerak
saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada
distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat
menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan
mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine.
Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.

2.10. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih
baik bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada
pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, Pasien dengan
tardive distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak
23
diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien
yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Kaplan H.I.MD, Saddock B.M.JD, Grebb J.A.MD. Synopsis Psikiatri Jilid 1.


Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. 1997

Kaplan H.I.MD, Saddock B.M.JD, Grebb J.A.MD. Sinopsis Psikiatri Jilid 2.


Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. 1997

Maslim. R, SpKJ. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikiatri edisi Ketiga.
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2007

24

Anda mungkin juga menyukai