1
Cantori & Spigle, 1970.
negara bekas koloni Prancis, dan F besar merujuk kepada OIF)2. Kemudian, terdapat faktor
keterikatan atau komitmen terhadap kawasan, serta faktor keikutsertaan dalam organisasi
regional lain. Jadi, batasan dalam regionalisme itu dapat menjadi batasan yang fluid, atau dengan
kata lain tidak tetap.
Dalam regionalisme, dapat diklasifikasikan pula dimensi atau faktor yang berpengaruh,
antara lain terdapat; Physical Dimension, yaitu dimensi yang dapat terlihat dengan mata. Yang
terdiri dari geographical factors seperti pembagian benua, seperti benua Asia, Afrika, Eropa, dan
sebagainya. Selain itu, terdapat pula existance of regional organizations, yaitu keberadaan dari
organisasi regional di kawasan tersebut, seperti ASEAN, Uni Eropa, dan sebagainya.
Dimensi yang kedua adalah Ideational Dimension, yaitu dimensi yang hanya bisa
dibayangkan atau dirasakan oleh negara tersebut perasaan ‘belongs’ terhadap suatu kawasan atau
wilayah. Dimensi ini memasukan faktor identitas dan sosial, yaitu identitas dan aspek sosial dari
negara tersebut lebih merasa di wilayah yang manakah yang menjadi kawasannya, berdasarkan
kecocokan dari aspek sosialnya. Contohnya seperti francophonie di negara-negara Afrika seperti
yang sudah dijelaskan di atas.
Terdapat alasan mengapa negara ingin membentuk kawasan, yang pada awalnya yang
terjadi hanyalah kerjasama-kerjasama dalam hal functional, yang mana hanya satu area
kerjasama saja, dengan tingkat intensitas yang tidak terlalu tinggi dan outlook yang terbatas
untuk memperdalam kerjasama (non-integrated). Akan tetapi, kalau dengan regionalisme akan
ada banyak area kerjasama yang bisa dilakukan dan bersifat extensive serta menujukan kepada
pendalaman kerjasama.
Kemudian terdapat perbedaan antara regionalization dan regionalisme. Kalau
regionalization hanya berbentuk proses ekonomi, dan cenderung hanya berfokus kepada aspek
material, yang mana regionalisation ini merupakan bentuk awal dari regionalisme. Sedangkan
regionalisme memiliki proses yang multi-dimensi dan lebih kompleks, serta melibatkan
faktor-faktor lain, tidak hanya faktor ekonomi atau material saja.
Berikutnya terdapat faktor pembentuk atau pendorong (forces) dari regionalisme, antara
lain; Societal Factors, yaitu kelompok, atau society atau masyarakat publik dari negara tersebut
yang ingin membentuk regionalisme. Contohnya adalah Uni Eropa yang bermula dari pengusaha
baja dan batu bara. Berikutnya terdapat Domestic Institutions, yaitu pembentukkan regionalisme
2
Dr. Aminata Cécile Mbaye dalam “La F/francophonie in Africa: history and current challenges”.20.03.2021.
yang didorong oleh badan legislatif, atau pembuat keputusan, atau badan eksekutif negara saja,
dan tidak berdasarkan public interest. Ketiga, berdasarkan campuran dari Societal Factors dan
Domestic Institutions, yang berarti regionalisme diinisiasikan oleh publik dan negara juga
memiliki keinginan untuk membentuk.
Terdapat pula impact dan konsekuensi dari regionalisme, antara lain; homogenisasi
politik domestik, yang mana dalam beberapa organisasi region terdapat peraturan wajib, seperti
wajib menerapkan demokrasi, atau disebabkan oleh banyaknya intensitas interaksi, sehingga
politik domestik negara-negaranya cenderung mirip. Berikutnya, homogenisasi ekonomi
domestik, yaitu terdorongnya kebijakan ekonomi yang sama atau mirip. Contohnya wajib
menerapkan sistem ekonomi liberal. Konsekuensi yang ketiga adalah, terdapatnya persaingan
antara perjanjian regional dan multilateral, baik itu bertabrakan ataupun berkompetisi. Seperti
contohnya, ASEAN+5 bertabrakan dengan standard WTO.
Terdapat variasi dalam projek-projek regionalisme, yang terlihat dari beberapa aspek:
- Dept of Integration, yaitu tingkat kedalaman dari integrasi kawasan, yang harus terlebih
dahulu melewati tahapan-tahapan untuk dapat terintegrasi dengan sesama negara anggota.
- Institutional Design, yaitu bentuk dari organisasi regional tersebut, apakah dirancang
untuk dapat mengakomodir kerjasama yang beragam, atau terbatas pada satu aspek saja.
Seperti misalnya NAFTA yang berfokus kepada ekonomi saja, maka hanya terbatas pada
kerjasama ekonomi.
- Institutional Density, yaitu seberapa banyak kekuasaan yang diberikan kepada organisasi
regionalnya. Semakin terancang dan terintegrasi organisasinya, maka akan semakin
banyak pula kekuasaan yang diserahkan. Seperti contohnya, pada Uni Eropa yang sudah
memiliki badan eksekutif, legislatif, dan yudikatifnya sendiri, maka sudah pasti peran
negara juga semakin berkurang, dan kekuatan organisasi membesar.
3
Milner, 2003. “The New Waves of Regionalisme”
4
Bondarenko, “Beggar Thy-Neighbor Policy” https://www.britannica.com/money/topic/beggar-thy-neighbor-policy
- Karena sistem ini akhirnya berujung kepada The Great Depression sehingga
memunculkan debat ‘Apakah regionalisme justru akan menghasilkan krisis?’
3. Third Waves
- Gelombang ketiga ini terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia 2, dan selama
perang dingin yang mana terjadi banyak dekolonialisasi sehingga semakin banyak
negara yang merdeka dan memunculkan lebih banyak lingkaran-lingkaran
kawasan.
- Gelombang ketiga ini ditandai dengan terjadinya peningkatan dalam aktivitas
perdagangan yang kebanyakan terjadi di Eropa Barat, Asia Tenggara, dan
beberapa wilayah di Afrika. Blok-blok perdagangan ini dibuat berdasarkan
semangat kemerdekaan, sehingga akhirnya terjadi dua blok yang berbeda, yaitu
antara negara berkembang, dan negara maju karena negara-negara yang terkena
kolonialisasi berkumpul, dan menolak untuk bergabung dengan negara maju
karena terdapat ketimpangan.
- Dalam gelombang ketiga ini juga terdapat agenda-agenda politis dan blok-blok
perdagangan yang dibuat ditujukan untuk mengakhiri ketergantungan
negara-negara terhadap negara yang industrial.
4. Fourth Wave
- Gelombang ke-4 ini dimulai setelah perang dingin berakhir, di mana Amerika
Serikat menjadi kekuatan unipolar dan kerjasama ekonomi serta kerjasama
lainnya pun didorong, sehingga tercipta union.
- Kemudian dengan didukung oleh badan multilateral sehingga kerjasama regional
pun bertindak sebagai komplementer bagi kerjasama multilateral dengan
berorientasi kepada kolaborasi sehingga tidak ada kompetisi antar blok
perdagangan dan bertujuan untuk menarik investasi, seperti contohnya subtitusi
impor versus promosi ekspor.
- Dalam gelombang keempat ini juga sudah terdapat kombinasi antara negara
berkembang dan negara maju dalam kerjasama dan juga perjanjian-perjanjian.
Sehingga jika disimpulkan gelombang pertama itu adalah awalannya, gelombang kedua
masih didominasi oleh aktor utamanya yaitu negara-negara Eropa, lalu pada gelombang ketiga
muncul semangat untuk menjadi mandiri akan tetapi masih terdapat tembok pemisah antara
negara berkembang dan negara maju, dan pada gelombang keempat sudah mulai tidak ada
hambatan dalam regionalisme.
Berikutnya adalah perbedaan old and new regionalism5, yaitu jika dipetakan:
Integrasi antar negara dengan tingkat Integrasi antar negara dengan tingkat
pembangunan yang sama. pembangunan yang berbeda.
Menghadapi musuh bersama (common enemy) Menghadapi musuh yang tidak jelas
dan terdiri dari negara-negara dengan ideologi bentuknya, atau tidak ada musuh bersama,
yang sama dan memasukkan negara-negara yang tidak
stabil dan memiliki konflik.
Berakhir dengan bentuk aliansi atau pakta Berakhir dengan tujuan pembangunan
militer. kepercayaan diri akan keamanan,
menumbuhkan rasa aman agar kerjasama
ekonomi dan lainnya dapat berjalan lancar.
5
Fawcett, 1996. “Regionalism in World Politics: Regional Organization and International Order”
seperti social-constructivism, post-colonialism, dsb. NRA juga melihat regionalisme dari faktor
sejarah dan budaya, tidak hanya faktor internal dan eksternal saja.
1. Teori Klasik Regionalisme
Dibagi menjadi dua pendekatan utama, yaitu intergovernmental approach (antar
pemerintah) dan supranationalism approach (diatas negara atau mengecilkan fungsi
negara).
- Intergovernmental Approach, yaitu pendekatan yang berfokus kepada negara,
mempelajari negara, dan melihat negara sebagai pusatnya. Dalam pendekatan
intergovernmental terdapat empat pembagian lagi, antara lain:
● Neorealisme, Yaitu regionalisme sebagai regional self help system dan
didorong oleh kepentingan geopolitik serta berfokus kepada integrasi
keamanan dan dimensi keamanan dari regionalisme serta bertindak
sebagai upaya dari penyeimbangan kekuatan. Contohnya adalah
pembentukan dari European Community yang didasari karena persepsi
yang sama tentang ancaman seperti misalnya agar negara-negara tidak
berperang dan sumber ancaman pun hilang. Terdapat kritik bagi
pendekatan ini yaitu karena pembuatan regionalisme yang didasari dari
ancaman maka ketika ancaman tersebut hilang regionalisme pun juga ikut
hilang.
● Neoliberalisme, yaitu regionalisme sebagai hasil adanya interdependensi
antar negara. Dimana regionalisme sebagai proses institusionalisasi dari
kerjasama negara di mana negara dituntut bertindak sesuai dengan aturan
kalau tidak mau diasingkan. Regionalisme juga menjadi titik tengah
dalam menghadapi globalisasi di mana sebelum kerjasama secara global
dilakukan terlebih dahulu kerjasama melalui regionalisme. Neoliberalisme
percaya bahwa kerjasama jangka panjang itu memungkinkan karena
berdasar kepada saling ketergantungan.
● Confederalism, yaitu regionalisme adalah proyek kerjasama dari
negara-negara berdaulat yang didasarkan kepada keuntungan bersama,
dimana negara-negara memiliki kesadaran sendiri bahwa mereka memiliki
kepentingan yang sama dan memutuskan untuk bergabung. regionalisme
juga sebagai upaya negara-negara untuk mengkonsolidasikan kekuatan
mereka tanpa kehilangan kedaulatan. Konfederalisme mengasumsikan
bahwa kerjasama tidak bersifat hierarkis melainkan setara sehingga
negara-negara bisa bekerja sama tanpa mengganggu kedaulatan negara
mereka. hal ini merupakan kebalikan dari federalisme yang memiliki
negara-negara bagian mandiri akan tetapi di atasnya masih terdapat
federasi yang mengatur.
● Liberal Intergovernmental, yaitu gabungan dari teori liberal dan
intergovernmental sehingga berbasis interdependensi dan pendekatan
berbasis kedaulatan. teori Ini pertama kali dicetuskan oleh Andrew
Moravcik Yang berupaya memasukkan elemen domestik. karena
pendekatan Intergovernmental sendiri dikritik bahwa terlalu fokus kepada
negara dan cenderung mengabaikan faktor domestik sehingga preferensi
atau pilihan negara bersifat tunggal dan menegaskan proses internal yang
mendorong terbentuknya regionalisme.
Liberal Intergovernmental sendiri melihat regionalisme sebagai tiga
proses yang saling terhubung yaitu mulai dari pembentukan preferensi
negara secara sukarela, lalu negosiasi antar negara, dan yang terakhir
adalah pemilihan institusi. Sehingga dalam pemahaman ini regionalisme
adalah hasil dari proses tawar-menawar dan negosiasi di dua tingkatan (
two-level game).
- Supranational Approach, yaitu pendekatan pembentukan regionalisme yang
berada di atas negara, dengan fokus mengembangkan masyarakat dan institusi
internasional, serta mengecilkan peran negara karena berpandangan bahwa negara
adalah sumber masalah. Supranational Approach memiliki tiga pendekatan yang
termasuk ke dalamnya, antara lain:
● Federalisme, Yaitu penciptaan institusi dan konstitusi di atas negara untuk
mencegah perang sehingga negara tidak bersifat absolut. pembagian
kekuasaan di dalamnya pun dibagi secara hierarkis yaitu mulai dari
regional ke nasional kemudian turun ke subnasional akan tetapi negara
menolak pendekatan ini sehingga federalisme pun tidak berhasil karena
federalisme seperti mengambil kedaulatan negara. sisa-sisa dari
federalisme ini terlihat pada sistem yang diterapkan oleh Uni Eropa karena
Uni Eropa bersifat seragam dalam hal mengeluarkan keputusan serta
memiliki konstitusi dan bukan perjanjian-perjanjian semata.
● Fungsionalisme, yaitu pendekatan yang berfokus kepada pembentukan
institusi fungsional yang melewati batas negara sehingga terjadi realokasi
fungsi dan wewenang kepada badan yang lebih tinggi.
Institusi jenis ini membuat negara menjadi lebih bergantung kepada
institusi sehingga mendorong terbentuknya institusi-institusi lainnya
sesuai dengan fungsi-fungsi yang ada atau dalam hal ini disebut sebagai
efek spill over. Fungsionalisme memiliki dua jenis, yaitu Functional
Cooperation dan Political Cooperation.
Jadi berdasarkan pendekatan fungsionalisme ini regionalisme adalah
luapan dari hasil fungsional, akan tetapi terdapat kritik bahwa pendekatan
ini tidak realistis untuk memisahkan kerjasama antara fungsional dan juga
politik.
● Neofunctionalism, Yaitu sebagai jawaban bagi kritik kepada
fungsionalisme. sama saja dengan pendekatan fungsionalisme klasik,
hanya saja terdapat perbedaan dalam spill over, selain terdapat functional
spill over, terdapat pula; Political Spill Over, yaitu spillover dari low
politics kepada high politics, dimana institusi-institusi fungsional ekonomi
meluap kepada fungsional dalam hal politik.
Berikutnya terdapat Geographical Spill Over, yaitu dari beberapa negara
saja menjadi banyak negara yang tergabung.
Neofunctionalism menjawab kritik terhadap functionalism yang
menyatakan bahwa functionalism memisahkan antara kerjasama
fungsional dan politik, dengan bantahan bahwa semua kerjasama adalah
bagian dari politik.
Sehingga regionalisme berdasarkan neofunctionalism adalah dorongan
dari keinginan untuk memaksimalkan manfaat dengan cara mempengaruhi
proses politik dan kebijakan. Kritik terhadap pendekatan ini adalah tidak
diperhatikannya faktor eksternal, dan tidak adanya bukti luapan dari low
ke high politics.
2. New Regional Approach (NRA)
NRA ini memiliki tiga pembagian pendekatan, yang akan dipetakan masing-masing
melalui tabel di bawah ini:
1). Government Approach vs Governance Approach
Kebijakan, dan tindakan formal dalam Tindakan, dan tata cara yang lebih
negara beragam, serta terdapat interaksi antar
aktor dalam berbagai tingkatan tata kelola
yang berbeda.
Misalnya Multi-level Governance, yaitu
terdapatnya pembagian tata kelola antara
regional-nasional-sub nasional.
Jadi, berdasarkan gelombang kedua atau NRA ini, memiliki fokus Kepada proses
interaksi antar aktor negara dan non negara dan terdapat tingkatan dalam pendorongan
pembentukan regionalisme lalu terdapat faktor atau elemen yang juga membentuk
regionalisme dan terdapat proses interaksi yang lebih kompleks antar tingkatan, aktor dan
faktor yang juga mendorong terbentuknya regionalisme.
Week 6 “Dimensi Ekonomi dan Integrasi Kawasan”
Latar belakang proses integrasi kawasan ini bermula dari bentuk Autarki dan ekonomi
yang independen, dimana tidak ada koordinasi ekonomi. Lalu berlanjut kepada tahapan
perdagangan internasional dan aktivitas lainnya, dimana koordinasi dan harmonisasi berada pada
tingkatan rendah-menengah, dan terdapat pengenaan tarif, serta sekedar koordinasi kebijakan
saja. Lalu berikutnya adalah tahapan integrasi ekonomi, yaitu dimana tingkat koordinasi dan
harmoniasi tinggi, dan sudah sangat kompak dalam hal ekonomi, terlihat dari arus tenaga kerja
bebas, dan penyatuan mata uang misalnya.
Terdapat beberapa definisi dalam integrasi ekonomi, antara lain; Menurut Balaam dan
Veseth6, integrasi ekonomi adalah sebuah proses di mana sekelompok negara sepakat untuk
menghilangkan batas-batas negaranya untuk tujuan ekonomi tertentu, yakni menciptakan sistem
pasar yang lebih luas dan terkait dengan lebih erat.; Menurut UNCTAD7 integrasi ekonomi
adalah kesepakatan yang dilakukan untuk memfasilitasi perdagangan internasional dan
pergerakan faktor produksi lintas negara.; Kemudian menurut Salvatore8 integrasi ekonomi
mengacu pada penghapusan kebijakan hambatan-hambatan tarif maupun non-tarif dalam suatu
wilayah pabean tertentu.
Dalam integrasi ekonomi sendiri terdapat enam tahapan, antara lain;
1. Preferential Trading Agreements/Area (PTA)
Yaitu kesepakatan dagang untuk mengurangi tarif akan tetapi tidak menghapus seluruh
tarif atau hanya menghapus tarif untuk beberapa komoditas atau produk tertentu saja
biasanya tahapan ini adalah tahap awal sebelum masuk ke kesepakatan Free Trade Area.
2. Free Trade Area (FTA)
Yaitu kesepakatan dagang yang menghilangkan tarif antar negara anggota akan tetapi
masih mengizinkan anggotanya untuk mengenakan tarif individual yang berbeda bagi
negara Non anggota dengan kata lain Free Trade Area tidak mengatur tarif eksternal bagi
non anggota.
3. Custom Union (CU)
6
Balaam, D.N., Veseth, M. “Introduction to International Political Economy”. 2001.
7
Amir, N. Hakim, B.D. Novianti, T. “Dampak Diversifikasi Ekspor terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara
Anggota ASEAN” Vol.7. No.2. 2018. Hal. 121.
8
ibid.
atau disebut juga penyeragaman pabean pada tahap ini negara anggota telah mengenakan
tarif eksternal yang sama bagi negara Non anggota. FTA + Harmonisasi tarif eksternal.
4. Common Market (CM)
Yaitu tahapan integrasi ekonomi di mana seluruh negara anggota menghilangkan semua
hambatan dagang untuk barang, jasa, tenaga kerja dan modal sehingga foreign direct
investment lebih mudah untuk terjadi. CU + Arus lalu lintas bebas faktor produksi.
5. Economic and Monetary Union (EMU)
Pada tahap ini negara-negara anggota memakai mata uang yang sama untuk transaksi
ekonomi. dengan kata lain menyamakan kebijakan moneter dan finansial antar negara
anggota saling mempengaruhi atau seragam. biasanya ditandai dengan pembangunan satu
bank sentral untuk seluruh negara anggota. CM + Harmonisasi kebijakan moneter.
6. Complete Economic Integration
Yaitu tahapan tertinggi dari integrasi ekonomi dimana negara-negara anggota
mengharmonisasikan kebijakan moneter dan fiskal mereka. tingkatan ini belum ada yang
menggunakan karena jika sampai pada tingkatan ini maka sudah serupa dengan satu
negara. EMU + Harmonisasi kebijakan fiskal.
Integrasi ekonomi ini juga memiliki beberapa dampak, antara lain;
1. Trade Creation, Yaitu situasi di mana karena ada integrasi ekonomi barang yang mahal
dan tidak efisien tergantikan oleh barang yang murah dan efisien yang diproduksi oleh
produsen asing dari negara anggota.
2. Trade Diversion, Yaitu situasi di mana karena ada integrasi ekonomi barang yang lebih
murah dan efisien tergantikan oleh barang yang lebih mahal dan tidak efisien dari negara
anggota. jadi barang yang lebih mahal lebih laku terjual sehingga diperlukan sistem
proteksionis kepada produk-produk dalam negeri.
Dalam proses integrasi ekonomi ini juga terdapat perdebatan, yaitu antara global dan
regionalisme, yaitu dengan agenda global yang ingin melakukan liberalisasi dalam perdagangan,
akan tetapi hal ini kontradiktif dengan diadakannya regionalisme, yang mana dalam regionalisme
diperbolehkan untuk tidak menerapkan non-discriminatory principle, yaitu larangan pembedaan
perdagangan terhadap negara lain oleh WTO, dan terdapat aspek complementary or competitive
antar blok perdagangan.
Week 9 “Political Aspect of Regionalism”
Aspek politik dari regionalisme terbagi menjadi 2, yaitu bottom-up dan top-down.
Bottom-up yaitu perubahan yang berada di level nasional atau bottom, mendorong perubahan
yang di atas. Hal ini bisa dilihat dari pembentukan institusi yang didasari
kesepakatan-kesepakatan di tingkat bawah, yang konsekuensinya adalah perubahan di atas, yang
mana ditunjukkan dengan adanya pemindahan fungsi ke institusi tersebut. Dampak dari sistem
bottom up ini adalah perubahan menjadi supranational dan intergovernmental institution. Lalu
yang kedua, yaitu top-down, dimana kepentingan di tingkat atas menekan ke bawah. Keputusan
yang berasal dari tingkat regional harus diikuti atau diterapkan oleh seluruh negara anggotanya.
Jadi yang terjadi adalah regional mempengaruhi domestik, dan hal ini merupakan proses adaptasi
negara untuk mengakomodir keputusan yang dibuat di tingkat regional. Dampak dari sistem
top-down ini berfokus kepada para negara anggota.
Berikutnya adalah multi level regionalism, yaitu tingkatan dalam regionalisme dimana
perubahan politik dapat diamati atau terlihat. Terdapat tiga tingkatan, yaitu tingkat regional
dimana yang berperan adalah supranational dan intergovernmental institution, lalu yang kedua
adalah tingkat nasional dengan yang berperan adalah pemerintah pusat, dan yang ketiga adalah
tingkat sub-nasional dengan yang berperan adalah pemerintah lokal/domestik (pemerintah
daerah), agar kebijakan dapat menyebar secara merata.
Berikutnya terdapat dimensi-dimensi perubahan domestik, yaitu merujuk kepada
pertanyaan ‘dimana perubahan itu terjadi’ atau aspek politik apa saja yang terpengaruh. Terbagi
menjadi tiga tempat yang dapat dipengaruhi, antara lain:
- Policy, Atau kebijakan yaitu perubahan pada produk dari hasil proses politik yaitu
perubahan dalam kebijakan domestik yang bisa mengakomodir kebijakan yang berasal
dari regional, kemudian proses perumusan kebijakan juga memperhitungkan faktor-faktor
dari eksternal.
- Polity, Yaitu perubahan struktur politik, lingkungan politik, dan relasi sosial ketika
bergabung dengan suatu regional. Selain itu harus mengadaptasi norma politik yang ada
juga seperti contohnya negara yang pada awalnya bersistem semi otoriter harus merubah
menjadi bersistem demokrasi.
- Politics, Yaitu perubahan proses politiknya atau pengadaptasian dari proses politik
termasuk perilaku dari aktor-aktor politik baik itu mendorong aktor untuk bertindak ke
arah sebaliknya. Jadi intinya adalah ada perubahan proses yang diadaptasi oleh
aktor-aktor politik dari negara tersebut.
Kemudian terdapat mekanisme dari perubahan domestik, atau lebih tepatnya
mempertanyakan bagaimana perubahan tersebut dapat terjadi. Yang mana perubahan terjadi
karena adanya ketidaksesuaian, atau ‘misfits’. Dimana ketika negara masuk ke dalam suatu
regionalisme, maka negara tersebut akan merasakan ‘misfits’. Misfits terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Institutional Misfits, Yaitu kondisi di mana institusi-institusi yang ia miliki saat ini belum
cocok dengan apa yang diminta oleh organisasi regionalnya. Contohnya negara yang
sebelumnya tidak memiliki institusi pers setelah bergabung ke dalam suatu regionalisme
berubah menjadi memiliki institusi persnya sendiri.
2. Policy Misfits, Yaitu ketidakcocokan kebijakan yang dimiliki oleh suatu negara dengan
yang diminta oleh organisasi regionalnya. Contohnya di dalam Uni Eropa terdapat
pembatasan inflasi maka negara-negara Uni Eropa yang sebelumnya tidak memiliki
kebijakan penekanan inflasi harus membuat kebijakan penekanan inflasi.
Terdapat tiga pendekatan yang dapat menjelaskan mengapa negara berubah ketika
memasuki suatu regionalisme. Antara lain:
1. Rationalist: Resource-Dependency Approaches, yaitu pendekatan yang berbasis analisis
faktor material, dan melihat Regionalisme sebagai proses redistribusi sumber daya baik
antara negara anggota atau di dalam negara anggota itu sendiri sehingga negara memiliki
anggapan bahwa ketika memasuki kelompok regionalisme negara tersebut akan
mendapat keuntungan dan dapat merubah gaya dari negara tersebut. sederhananya dapat
diibaratkan berharap terjadinya transfer resources. Dalam hal ini negara adalah aktor
rasional yang di mana kalau ia merubah institusi dan kebijakannya sesuai dengan
ketentuan dari organisasi regional ini maka resources yang ia miliki akan lebih
terdistribusi dengan rata atau menguntungkan bagi negara tersebut .
2. Constructivist: Sociological Institutionalism, yaitu pendekatan yang berbasis analisis
faktor ideasional. Dimana regionalisme adalah proses sosialisasi, sehingga ketika aktor
merubah perilakunya, baik itu menerima norma dan nilai yang baru, aktor tersebut akan
merasa lebih diterima di lingkungan tersebut. Berdasarkan pendekatan ini, yang ingin
dicapai bukanlah keuntungan melainkan aspek penerimaan oleh lingkungan, sebagai
bagian dari sosialisasi dengan lingkungan tersebut.
3. Path-Dependent: Institutional Adaptation, yaitu proses penganalisisan perubahan
berdasarkan aspek sejarah. Jadi perubahan yang terjadi pada negara tidak terjadi secara
simultan atau langsung, melainkan bertahap dengan melihat aspek dari dirinya yang lalu.
Sehingga, jika diartikan ke dalam aspek regionalisme, maka melihat perubahan tersebut
terjadi sedikit demi sedikit melakukan penyesuaian dengan institusi yang lama dan baru,
dengan perubahan pada bagian-bagian kecil terlebih dahulu. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa, perubahan yang terjadi ketika bergabung ke dalam regionalisme adalah bagian
dari sejarah, dan transformasi secara bertahap, dan penyesuaian antara nilai yang lama
dan baru.
Kemudian berikutnya terdapat hasil dari perubahan domestik, yaitu mempertanyakan
‘apa hasil dari perubahan tersebut’ yang terdapat 5 hasil setelah bergabung ke suatu integrasi
kawasan, atau regionalisme, antara lain:
1. Inertia, atau absence of change, Yaitu di mana ketika negara memasuki suatu
regionalisme tidak terdapat perubahan kepada negara tersebut atau tidak langsung
terdapat perubahan akan tetapi bukan berarti tidak terdapat perubahan sama sekali hanya
ada beberapa aspek politik yang tetap tidak akan berubah meskipun sudah memasuki
suatu integrasi kawasan.
2. Retrenchment, atau negative change, Yaitu berarti ketika suatu negara bergabung ke
dalam organisasi regional perubahan yang terjadi tidak sesuai dengan organisasi
regionalnya dan justru menjadi ke arah negatif misalnya Indonesia bergabung ke dalam
suatu blok perdagangan dengan China akan tetapi Indonesia justru menjadi kebanjiran
produk-produk dari China sehingga harus menciptakan kebijakan proteksionis bagi
produk-produk Indonesia.
3. Absorption, atau low change or merely adaptation, Artinya yang terjadi hanyalah sekedar
adaptasi tanpa ada perubahan yang signifikan kepada negara tersebut.
4. Accommodation, atau peripheral and modest change, Yaitu tingkatan perubahan yang
lebih tinggi dari absorpsi atau tingkat perubahan secara medium. Contohnya Indonesia
diminta untuk membuat institusi yang belum pernah ada sebelumnya, seperti badan
pengawas pemilu, dimana Indonesia mengadakan Pemilu tetapi sebelumnya tidak
terdapat badan pengawasnya, sehingga badan pengawas Pemilu dibuat agar Indonesia
menjadi lebih demokratis lagi. Jadi perubahannya tidak sekedar hanya menyerap apa
yang ada di kawasan saja tetapi juga melakukan hal yang tidak pernah dilakukan
sebelumnya oleh negara tersebut akan tetapi bukanlah suatu hal yang besar atau
signifikan hanya bersifat sebagai tambahan dan mengakomodir sedikit permintaan dari
organisasi regional agar bisa masuk ke dalam organisasi regional tersebut.
5. Transformation, Yaitu perubahan dengan derajat tertinggi dan memiliki dampak yang
besar kepada seluruh rakyatnya. Contohnya perubahan mata uang di dalam Uni Eropa
yang mana ini berdampak kepada kebijakan moneter di dalam negara tersebut yang juga
harus diikuti oleh seluruh pelaku ekonomi dalam negara tersebut termasuk
masyarakatnya.
Akan tetapi perubahan-perubahan yang disebutkan diatas belum tentu terjadi semuanya
ketika negara bergabung ke dalam organisasi regional, meskipun pasti tetap terdapat perubahan,
tapi bisa jadi hanya beberapa.
Berikutnya terdapat political effects of regionalism. Efek politik ini terbagi menjadi
konvergen atau divergen, dimana efek dalam hal ini adalah efek secara makro, dan
diklasifikasikan lagi ke dalam tiga tingkatan, antara lain:
1. Convergence, Yaitu dampak di mana negara-negara menjadi menyatu atau menjadi agak
mirip karena tergabung ke dalam suatu regionalisme.
2. No Convergence, Yaitu kondisi dimana tidak terdapat pertambahan kemiripan dalam
kebijakan atau politiknya. Contoh: ASEAN.
3. Clustered Convergence, Yaitu kondisi dimana akan terdapat negara-negara anggota yang
akan menjadi semakin mirip namun di lain sisi akan terdapat juga negara-negara yang
semakin terlihat berbeda.
Namun, pengklasifikasian dampak perubahan politik ini juga merupakan hal yang masih
dianggap rancu, dikarenakan terdapat pengaruh dari pergaulan global juga, yaitu globalisasi.
Sehingga perlu diamati secara berulang untuk mengetahui apakah ini dampak dari regionalisme
atau globalisasi.
Referensi
Amir, F., Hakim, D. B., & Novianti, T. (2018). Dampak Diversifikasi Ekspor terhadap
Balaam, D. N., & Veseth, M. (2001). Introduction to International Political Economy. Prentice
Hall.
Britannica. https://www.britannica.com/money/topic/beggar-thy-neighbor-policy
Hurrell, A., & Fawcett, L. L. (Eds.). (1995). Regionalism in World Politics: Regional
Mbaye, A. C. (2021, March 20). La F/francophonie in Africa: history and current challenges.
AfricaMultiple.
https://www.africamultiple.uni-bayreuth.de/en/news/2021/2021-03-20_francophonie/inde
x.html