MAKALAH
DASAR MEKANIKA TANAH
Untuk Memenuhi Tugas 1 Dari Dosen Pengampu Mata Kuliah Dasar Mekanika Tanah
Oleh Kelompok 1:
Zul Kifly (142220121004)
Lintang Abdi Pramodya (142220121001)
Rahayu Erwi Yani Putri (142220121101)
SEMESTER 3
TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH (UNIMUDA) SORONG
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt Tuhan semesta alam, atas segala nikmat dan
karunia-Nya lah, Makalah ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Tak lupa pula, shalawat
serta salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW, yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang islamiyah seperti saat ini.
Makalah ini membahas tentang berbagai informasi mengenai Sondir dan Hand
Boring, berdasarkan referensi yang penulis cari. Dan penulis berharap dengan adanya
Makalah yang telah penulis sajikan ini, dapat membantu dalam proses pembelajaran dan
dapat menambah pengetahuan bagi pembaca serta dapat mengetahui pentingnya Sondir dan
Hand Boring dan penerapannya dalam dunia pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari.
Penulis telah menyelesaikan makalah ini, namun penulis menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca untuk perbaikan pada makalah-makalah yang berikutnya.
Akhiru kalam, Wabillahi taufiq wal hidayah, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
dan selamat membaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................................2
ii
Q. Penurunan Rumus Titik-Titik Detail Tachymetri..............................................................17
3.1 KESIMPULAN..........................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................21
iii
BAB I PENDAHULUAN
“Metode Stadia” yang disebut “Tachymetri” di Eropa, adalah cara yang cepat dan efisien
dalam mengukur jarak yang cukup teliti untuk sipat datar trigonometri, beberapa poligon dan
penentuan lokasi detail-detail fotografi. Lebih lanjut, di dalam metode ini cukup dibentuk
regu 2 atau 3 orang, sedangkan pada pengukuran dengan transit dan pita biasanya diperlukan
3 atau 4 orang.
Stadia berasal dari kata Yunani untuk satuan panjang yang asal-mulanya diterapkan
dalam pengukuran jarak-jarak untuk pertandingan atletik – dari sinilah muncul kata
“stadium” (“stadion”) dalam pengertian modern. Kata ini menyatakan 600 satuan Yunani
(sama dengan “feet”), atau 606 ft 9 in dalam ketentuan Amerika sekarang.
Istilah stadia sekarang dipakai untuk benang silang dan rambu yang dipakai dalam
pengukuran, maupun metodenya sendiri. Pembacaan optis (stadia) dapat dilakukan dengan
transit, theodolit, alidade dan alat sipat datar.
Peralatan stasiun kota yang baru, menggabungkan theodolit, EDMI, dan kemampuan
mencatat-menghitung hingga reduksi jarak lereng secara otomatis dan sudut vertikal. Yang
dihasilkan adalah pembacaan jarak horizontal dan selisih elevasi, bahkan koordinat. Jadi
peralatan baru tadi dapat memperkecil regu lapangan dan mengambil alih banyak proyek
tachymetri. Namun demikian, prinsip pengukuran tachymetri dan metodenya memberikan
konsepsi-konsepsi dasar dan sangat mungkin dipakai terus menerus.
1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 ILMU GEODESI
Menurut kedua definisi diatas, secara harfiah, menurut Helmert, Geodesi diartikan
sebagai pengetahuan tentang pengukuran dan penjelasan serta penggambaran tentang
permukaan bumi. Sedangkan menurut Komisi Asossiasi Geodesi dan Geofisik adalah disiplin
ilmu yang membahas tentang pengukuran dan reprentasi dari bumi, mencakup medan
gravitasinya dalam tiga dimensi beserta variasi waktu.
Geodesi sendiri adalah kajian serta pengukuran yang lebih luas lagi. Ilmu tersebut tidak
hanya memetakan serta menentukan posisi daratan tapi juga laut dan udara. Ilmu tersebut
sangat berguna untuk berbagai keperluan karena mencakup analisis serta pengambilan
keputusan dan perhitungan yang statistik untuk mengukur serta memetakan tanah.
Pekerjaan memetakan tanah dilakukan pada era Mesir kuno yaitu kurang lebih tahun
140 Sebelum Masehi. Pekerjaan tersebut dilakukan untuk kepentingan perpajakan atau
pemetaan kadaster. Setelah PD I dan PD II, ilmu pengukuran ini berkembang jauh karena
dipengaruhi oleh perkembangan informasi dan teknologi yang ada.
Berbagai peralatan konvensional tidak lagi digunakan dan diganti dengan peralatan
elektronik serta berbagai sistem otomatis. Pengolahan data pun menggunakan metode
komputerisasi. Di era Yunani kuno, tahun 220 SM, seseorang bernama Eratosthenes mencoba
melakukan perhitungan pada dimensi bumi dan mendapatkan hasil berupa keliling bumi
2
mencapai 25.000 mil. Di antara abad ke 18 sampai ke 19, seni pengukuran yang mulai
berkembang pesat memungkinkan pembuatan peta yang lebih maju terutama di Perancis dan
Inggris.
Ilmu ukur tanah didefinisikan ilmu yang mengajarkan tentang teknik-teknik / cara-
cara pengukuran dipermukaan bumi dan bawah tanah dalam areal yang terbatas (±20’-20’
atau 37 km x 37 km) untuk keperluaan pemetaan dll.
3
4) Peta irigasi: memuat informasi tentang jaringan irigasi pada suatu wilayah.
5) Peta jalan: memuat informasi tentang jejaring jalan pada suatu wilayah
6) Peta Kota: memuat informasi tentang jejaring transportasi, drainase, sarana kota dll-
nya.
7) Peta Relief: memuat informasi tentang bentuk permukaan tanah dan kondisinya.
8) Peta Teknis: memuat informasi umum tentang tentang keadaan permukaan bumi
yang mencakup kawasan tidak luas. Peta ini dibuat untuk pekerjaan perencanaan
teknis skala 1 : 10 000 atau lebih besar.
9) Peta Topografi: memuat informasi umum tentang keadaan permukaan bumi beserta
informasi ketinggiannya menggunkan garis kontur. Peta topografi juga disebut
sebagai peta dasar.
10) Peta Geografi: memuat informasi tentang ikhtisar peta, dibuat berwarna dengan skala
lebih kecil dari 1 : 100 000.
Peta tanpa skala kurang atau bahkan tidak berguna. Skala peta menunjukkan ketelitian dan
kelengkapan informasi yang tersaji dalam peta.
1. angka perbandingan
misal 1: 1.000.000 menyatakan 1 cm atau 1 inch di peta sama dengan 1.000.000 cm/
inch dipermukaan bumi
2. Perbandingan nilai
misal 1 cm untuk 10 km
3. Skala bar atau skala garis
4
Garis ini ditetapkan atau digambarkan dalam peta dan dibagi-bagi dalam interval yang sama,
setiap interval menyatakan besaran panjang yang tertentu. Pada ujung lain, biasanya satu
interval dibagi-bagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil dengan tujuan agar pembaca peta
dapat mengukur panjang dalam peta secara lebih teliti.
Peta tematik: dibuat atau diturunkan berdasarkan peta dasar dan memuat tema-tema tertentu.
Berdasarkan alam:
5
a) Pengukuran triangulasi,
b) Pengukuran trilaterasi,
c) Pengukuran polygon,
d) Pengukuran offset,
e) Pengukuran tachymetri,
f) Pengukuran meja lapangan,
g) Aerial survey,
h) Remote Sensing, dan
i) GPS.
a, b, c dan i untuk pengukuran kerangka dasar, d, e, f, g dan h untuk pengukuran detil.
Pengukuran tanah (plane surveying) atau ilmu ukur tanah dengan cakupan pengukuran
37 km x 37 km. Rupa muka bumi bisa dianggap sebagai bidang datar.
Pengukuran geodesi (geodetic surveying) dengan cakupan yang luas. Rupa muka bumi
merupakan permukaan lengkung.
6
antara benang-benang stadia. Simbol-simbol baku yang dipakai dalam pengukuran tachymetri
:
f = jarak pumpun lensa (sebuah tatapan untuk gabungan lensa objektif
tertentu). Dapat ditentukan dengan pumpunan pada objek yang jauh dan
mengukur jarak antara pusat lensa objektif sebenarnya adalah titik simpul
dengan diafragma), (jarak pumpun = focal length).
f1 = jarak bayangan atau jarak dari pusat (titik simpul) lensa obyektif ke
bidang benang silang sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik tertentu.
F2 = jarak obyek atau jarak dari pusat (titik simpul) dengan titik tertentu
sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik itu. Bila f2 tak terhingga atau
amat besar, maka f1 = f.
i. = selang antara benang – benang Stadia.
f/i . = faktor penggali, biasanya 100 (stadia interval factor).
c = jarak dari pusat instrumen (sumbu I) ke pusat lensa obyektif.
Harga c sedikit beragam sewaktu lensa obyektif bergerak masuk atau keluar
untuk pembidikan berbeda, tetapi biasa dianggap tetapan.
C = c + f. C disebut tetapan stadia, walaupun sedikit berubah karena c
d. = jarak dari titik pumpun di depan teropong ke rambu.
D = C + d = jarak dari pusat instrumen ke permukaan rambu.
didapat :
d R f
= atau d=R
f i. i
f
dan D=R +C
i
Benang-benang silang jarak optis tetap pada transit, theodolite, alat sipat datar dan
dengan cermat diatur letaknya oleh pabrik instrumennya agar faktor pengali f/i. Sama dengan
100. Tetapan stadia C berkisar dari kira-kira 0,75 sampai 1,25 ft untuk teropongteropong
pumpunan luar yang berbeda, tetapi biasanya dianggap sama dengan 1 ft. Satu-satunya
variabel di ruas kanan persamaan adalah R yaitu perpotongan R adalah 4,27 ft, jarak dari
instrumen ke rambu adalah 427 + 1 = 428 ft. Yang telah dijelaskan adalah teropong
pumpunan luar jenis lama, karena dengan gambar sederhana dapat ditunjukkan hubungan-
7
hubungan yang benar. Lensa obyektif teropong pumpunan dalam (jenis yang dipakai
sekarang pada instrumen ukur tanah) mempunyai kedudukan terpasang tetap sedangkan lensa
pumpunan negative dapat digerakkan antara lensa obyektif dan bidang benang silang untuk
mengubah arah berkas sinar. Hasilnya, tetapan stadiamenjadi demikian kecil sehingga dapat
dianggap nol.
Benang stadia yang menghilang dulu dipakai pada beberapa instrumen lama untuk
menghindari kekacauan dengan benang tengah horizontal. Diafragma dari kaca yang modern
dibuat dengan garisgaris stadia pendek dan benang tenaga yang penuh (gambar 2)
memberikan hasil yang sama secara lebih berhasil guna.
Faktor pengali harus ditentukan pada pertama kali instrumen yang dipakai, walaupun
harga tepatnya dari pabrik yang ditempel di sebelah dalam kotak pembawa tak akan berubah
kecuali benang silang, diafragma, atau lensa-lensa diganti atau diatur pada model-model
lama.
Untuk menentukan faktor pengali, perpotongan rambu R dibaca untuk bidikan
horizontal berjarak diketahui sebesar D.Kemudian, pada bentuk lain persamaan faktor pengali
adalah f/i.= (D-C)/R.Sebagai contoh : Pada jarak 300,0 ft interval rambu terbaca 3,01. Harga-
harga untuk f dan c terukur sebesar 0,65 dan 0,45 ft berturut-turut; karenanya, C =1,1 ft.
Kemudian f/i. = (300,0 –1,1)/3,01 = 99,3. Ketelitian dalam menentukan f/i. Meningkat
dengan mengambil harga pukul rata dari beberapa garis yang jarak terukurnya berkisar dari ±
100–500 ft dengan kenaikan tiap kali 100 ft.
Kebanyakan pengukuran tachimetri adalah dengan garis bidik miring karena adanya
keragaman topografi tetapi perpotongan stadia di baca pada rambu tegak lurus dan jarak
miring “ direduksi “ menjadi jarak horizontal dan jarak vertikal.
Pada gambar, sebuah transit dipasang pada suatu titik dan rambu dipegang pada titik
tertentu. Dengan benang silang tengah dibidikkan pada rambu ukur sehingga tinggi t sama
dengan tinggi theodolite ke tanah. sudut vertikalnya (sudut kemiringan) terbaca sebesar .
Perhatikan bahwa dalam pekerjaan tachymetri tinggi instrumen adalah tinggi garis bidik
diukur dari titik yang diduduki (bukan TI, tinggi di atas datum seperti dalam sipat datar).
8
Gambar 1 : Pengukuran Jarak dan Beda Tinggi Cara Tachymetri
Tabel-tabel, diagram, mistar hitung khusus, dan kalkulator elektronik telah dipakai
oleh para juru ukur untuk memperoleh penyelesaiannya. Dalam Apendiks E memuat jarak-
jarak horizontal dan vertikal untuk perpotongan rambu 1 ft dan sudut-sudut vertikal dari 0
sampai 16o, 74o sampai 90o, dan 90o sampai 106o untuk pembacaan-pembacaan dari zenit).
C. Rambu Tachymetri
Berbagai jenis tanda dipakai pada rambu tachymetri tetapi semua mempunyai bentuk-
bentuk geometrik yang menyolok dirancang agar jelas pada jarak jauh. Kebanyakan rambu
tachymetri telah dibagi menjadi feet dan persepuluhan (perseratusan diperoleh dengan
interpolasi), tetapi pembagian skala sistem metrik sedang menjadi makin umum. Warna-
warna berbeda membantu membedakan angka-angka dan pembagian skala.
9
pendek, mungkin sampai 200 ft, rambu sipat datar biasa seperti jenis Philadelphia sudah
cukup memuaskan.
D. Busur Beaman
Busur beaman adalah sebuah alat yang ditempatkan pada beberapa transit dan alidade
untuk memudahkan hitungan-hitungan tachymetri. Alat ini dapat merupakan bagian dari
lingkaran vertikal atau sebuah piringan tersendiri. Skala-skala H dan V busur itu dibagi dalam
persen. Skala V menunjukkan selisih elevasi tiap 100 f jarak lereng, sedangakn skala H
memberikan koreksi tiap 100 ft untuk dikurangkan dari jarak tachymetri. Karena V
berbanding lurus dengan ½ sin 2 dan koreksi untuk H tergantung pada sin2 , selang-selang
pembagian skala makin rapat bila sudut vertikal meningkat. Oleh karena itu nonius tidak
dapat dipakai disini, dan pembacaan tepat hanya dapat dilakukan dengan memasang busur
pada pembacaan angka bulat.
Penunjuk skala V (indeks) terpasang agar terbaca 50 (mungkin 30 atau 100 pada
beberapa instrumen) bila teropong horizontal untuk menghindari harga-harga minus.
Pembacaan lebih besar dari pada 50 diperoleh untuk bidikan-bidikan di atas horizon, lebih
kecil dari 50 di bawahnya. Ilmu hitung yang diperlukan dalam pemakaian busur beaman
disederhanakan dengan memasang skala V pada sebuah angka bulat dan membiarkan benang
silang tengah terletak di tempat dekat t.i. Skala H Kemudian umumnya tak akan terbaca pada
angka bulat dan harga-harganya harus diinterpolasi. Ini penting karena hitungannya tetap
sederhana.
Elevasi sebuah titik B yang dibidik dengan transit terpasang di titik A didapat dengan rumus :
Instrumen-instrumen lain mempunyai busur serupa disebut lingkaran stadia dengan skala V
yang sama, tetapi skala H tidak memberikan koreksi presentase melainkan sebuah pengali
(multiplier)
E. Tachymetri Swa-Reduksi
10
mengelilingi sebuah rambu (terletak di luar teropong) sewaktu teropong dibidikkan ke
sasaran.
Pada gambar dibawah garis-garis atas dan bawah (dua garis luar) melengkung untuk
menyesuaikan dengan keragaman dalam fungsi trigonometri cos2 dan dipakai untuk
pengukuran jarak. Dua garis dalam menentukan selisih elevasi dan melengkung untuk
menggambarkan fungsi sin cos . Sebuah garis vertikal, tanda silang tengah, dan garis-
garis stadia pendek merupakan tanda pada piringan gelas kedua yang terpasang tetap,
terumpun serentak dengan garis-garis lengkung.
Sebuah tetapan faktor pengali 100 dipakai untuk jarak horizontal. Faktor 20, 50, atau
100 diterapkan pada pengukuran beda tinggi. Harganya tergantung pada sudut lereng dan
ditunjukkan oleh garis-garis pendek ditempatkan antara kurva-kurva elevasi.
Tachymetri diagram lainnya pada dasarnya bekerja atas bekerja atas prinsip yang
sama: Sudut vertikal secara otomatis dipampas oleh pisahan garis stadia yang beragam.
Sebuah tachymetri swa-reduksi memakai sebuah garis horizontal tetap pada sebuah
diafragma dan garis horizontal lainnya pada diafragma kedua yang dapat bergerak, yang
bekerja atas dasar perubahan sudut vertikal. Kebanyakan alidade planset memakai suatu jenis
prosedur reduksi tachymetri.
Sebuah rambu topo khusus yang berkaki dapat dipanjangkan dengan angka nol
terpasang pada t.i. biasanya dianjurkan untuk dipakai agar instrumen tachymetri sepenuhnya
swa-baca.
11
e. Kencangkan kunci gerakan tegak teropong, kemudian baca bacaan benang tengah, atas
dan bawah serta catat dalam buku ukur. Bila memungkinkan, atur bacaan benang tengah
pada rambu di titik bidik setinggi alat, sehingga beda tinggi yang diperoleh sudah
merupakan beda tinggi antara titik kerangka tempat berdiri alat dan titik detil yang dibidik
f. Titik detil yang harus diukur meliputi semua titik alam maupun buatan manusia yang
mempengaruhi bentuk topografi peta daerah pengukuran.
Posisi horizontal dan vertikal titik detail diperoleh dari pengukuran cara polar
langsung diikatkan ke titik kerangka dasar pemetaan atau titik (kerangka) penolong yang juga
diikatkan langsung dengan cara polar ke titik kerangka dasar pemetaan. Unsur yang diukur:
12
Gambar 2 : Pengukuran Topografi Cara Tachymetri-Polar
Keterangan:
o A dan B adalah titik kerangka dasar pemetaan,
o H adalah titik penolong,
o 1, 2 ... adalah titik detil,
o Um adalah arah utara magnet di tempat pengukuran.
Berdasarkan skema pada gambar, maka:
a. Titik 1 dan 2 diukur dan diikatkan langsung dari titik kerangka dasar A,
b. Titik H, diukur dan diikatkan langsung dari titik kerangka dasar B,
c. Titik 3 dan 4 diukur dan diikatkan langsung dari titik penolong H.
I. Pengukuran Tachymetri untuk Pembuatan Peta Topografi cara Poligon Kompas.
Letak titik kerangka dasar pemetaan berjauhan, sehingga diperlukan titik penolong
yang banyak. Titik-titik penolong ini diukur dengan cara poligon kompas yang titik awal dan
titik akhirnya adalah titik kerangka dasar pemetaan. Unsur jarak dan beda tinggi titik-titik
penolong ini diukur dengan menggunakan cara tachymetri. Posisi horizontal dan vertikal titik
detil diukur dengan cara polar dari titik-titik penolong.
13
Berdasarkan skema pada gambar, maka:
a. Titik K1, K3, K5, K2, K4 dan K6 adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan,
b. Titik H1, H2, H3, H4 dan H5 adalah titik-titik penolong
c. Titik a, b, c, ... adalah titik detil.
Pengukuran poligon kompas K3, H1, H2, H3, H4 , H5, K4 dilakukan untuk
memperoleh posisi horizontal dan vertikal titik-titik penolong, sehingga ada dua hitungan:
14
1. Mampu mendirikan alat theodolit di atas titik ikat dan mengetengahkan gelembung nivo
alat theodolit dengan prinsip pergerakan dua sekrup kaki kiap ke arah dalam atau ke arah
luar saja dan pergerakan satu sekrup kaki kiap ke kiri atau ke kanan saja.
2. Mampu membidikkan teropong kearah satu titik detail dan membaca benang atas, benang
tengah, dan benang bawah dari rambu pada titik detail.
3. Mampu meletakkan pembacaan sudut horizontal titik detail yang merupakan arah azimuth
magnetis dalam bentuk bacaan derajat, menit, dan detik (00000’’00’) dan mampu pula
melakukan pembacaan sudut vertical titik detail berupa sudut zenith atau sudut miring,
dimana sudut zenith = 900 dikurangi sudut miring (sudut miring adalah bacaan sudut
vertikal garis bidik theodolit terhadap arah bidang nivo di bidang horizontal sedangkan
sudut zenith adalah sudut yang dibentuk dari arah sumbu I yang tegak lurus alat terhadap
bidang nivo terhadap garis bidik target titik detail.
4. Mampu membidik titik-titik yang dianggap titik-titik detail pada arah horizontal dan
vertikal. Informasi pada arah horizontal dan vertikal ini dijadikan data untuk pembuatan
garis kontur.
5. Mampu melakukan pengolahan data dari hasil pengukuran tachymetri di lapangan dan
diperoleh koordinat planimetris X, Y, dan ketinggian Z titik-titik detail yang diukur.
M. Prosedur Persiapan Peralatan
15
N. Prosedur Pengukuran
2. Arahkan teropong pada arah utara, lalu putarlah lingkaran yang berada di antara
kunci bagian atas dan bawah, sampai bacaan horizontal bernilai 00. Ketengahkan
gelembung nivo dengan prinsip pergerakan 2 sekrup kaki kiap ke dalam atau ke
luar saja dan 1 sekrup kaki kiap ke kanan atau ke kiri saja.
3. Pada posisi teropong biasa arahkan teropong titik detail yang telah didirikan
rambu ukur di atas target tersebut, kemudian baca benang atas, benang tengah dan
benang bawah dari rambu pada titik detail 1 dengan bantuan sekrup kasar dan
halus pergerakan vertikal.
4. Bacalah sudut horizontal yang menunjukkan azimuth magnetis dari titik detail 1
dan baca pula sudut vertikal berupa sudut miring atau sudut zenith pada titik detail
tersebut. Jika sudut vertikal yang dibaca relatif kecil antara 00 – 50, maka dapat
dipastikan sudut tersebut adalah sudut inklinasi (miring) dan jika berada disekitar
sudut 900, maka dapat dipastikan sudut tersebut adalah sudut zenith. Setelah
terbaca semua data tersebut, kemudian kita pindahkan rambu ukur ke titik detail
berikutnya dan lakukan hal yang sama seperti di atas. Dalam membuat titik detail
buatlah sebanyak-banyaknya sedemikian rupa sehingga informasi dari lapangan
baik planimetris maupun ketinggian dapat disajikan secara lengkap di atas peta.
5. Pindahkan alat theodoilit ke titik ikat berikutnya, selanjutnya lakukan pengukuran
tachymetri ke titik-titik detail lainnya.
6. Selanjutnya pengolahan data tachymetri dipadukan dengan pengolahan data
pengukuran sipat datar dan pengukuran polygon sedemikian rupa sehingga
diperoleh koordinat dan tinggi titik-titik detail.
7. Pencatatan data formulir ukuran yang menggunakan pensil dan penghapus, atau
tipe – x. jika salah angka dicoret nilai yang benar ditulis diatas atau sebelahnya.
O. Prosedur Pengolahan Data
( BA +BB
2 )−BT ≤0,001
16
2. Hitung sudut inklinasinya.
3. Hitung jarak miringnya
4. Hitung jarak datar (d)
5. Hitung beda tinggi (h)
6. Hitung koordinat X, dan Y serta tinggi Z, dimana data awal didapat dari
pengolahan kerangka dasar vertikal dan horizontal.
P. Prosedur Penggambaran Peta Kontur
1. Data pengolahan telah dihitung secara tepat dan benar.
2. Masukan data pada program surfer pada worksheet, lalu save
3. Masuk ke plot document lalu plilh grid data masukkan data worksheet untuk di
grid.
4. Pilih map untuk membuat kontur dua dimensi pilih contour map dan tiga dimensi
pilih wireframe, untuk vektor kontur pilih vector map. Lalu save
5. Untuk memindahkan gambar kontur ke autocad harus di export dalam autocad
dxf. Lalu save.
6. Buka data yang telah di export. Kemudian buat kop da beri keterangan atau
legenda.
Q. Penurunan Rumus Titik-Titik Detail Tachymetri
Secara umum rumus yang digunakan dalam tachymetri adalah sebagai berikut:
17
Gambar 5 : Potongan Tachymetri
BA '−BT
BA '−BT ⇒COSi=
o BA−BT
18
Catatan :
XA dan YA = Hasil pengolahan data polygon.
dABx = Hasil pengolahan data tachymetry.
AB = Hasil pembacaan sudut horizontal (azimuth) theodolite.
Gambar 6 : Segitiga O BT O’
O' BT
Sini= =O ' BT =d AB∗Sini
o
d AB
19
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Data yang diperoleh di tempat alat berdiri meliputi azimuth magnetis, sudut vertikal
inklinasi (sudut miring) atau zenith dan tinggi alat. Pada alat theodolite dengan fasilitas total
station koordinat dan ketinggian tinggi titik-titik detail dapat langsung diperoleh dan direkam
kedalam memori penyimpanan.
Pengukuran titik-titik detail dengan metode tachymetri ini adalah cara yang paling
banyak digunakan dalam praktek, terutama untuk pemetaan daerah yang luas dan untuk
detail-detail yang bentuknya tidak beraturan. Untuk dapat memetakan dengan cara ini
diperlukan alat yang dapat mengukur arah dan sekaligus mengukur jarak, yaitu Theodolite
Kompas atau BTM (Boussole Tranche Montage). Pada alat-alat tersebut arah-arah garis di
lapangan diukur dengan jarum kompas sedangkan untuk jarak digunakan benang silang
diafragma pengukur jarak yang terdapat pada teropong. Salah satu theodolite kompas yang
banyak digunakan misalnya theodolite WILD TO. Tegantung dengan jaraknya, dengan cara
ini titik detail dapat diukur dari titik kerangka dasar atau dari titik-titik penolong yang
diikatkan pada titik kerangka dasar.
20
DAFTAR PUSTAKA
Purwaamijaya, I.M.2007. Petunjuk Praktikum Ilmu Ukur Tanah. Jurusan Pendidikan Teknik
Sipil, FPTK, UPI. Bandung.
Cavill, JAL, 1995, Survey Engineering, A Guide to First Principle, Fineline Print, Australia.
Hoar J. Gregory, tanpa tahun, Satellite Surveying, Theory, Geodesy, Map Projections,
Magnavox.
21