Anda di halaman 1dari 6

“PENGORBANAN YESUS YANG MENYELAMATKAN”

Kotbah: Matius 27:45-56 Bacaan: Ibrani 10:19-29


Bpak/ibu/saudara/i...
Hari ini kita merayakan hari besar umat Kristiani yang mengagungkan yakni Peringatan Hari
Kematian Yesus, Jumat Agung. Disebut Jumat Agung karena pada hari inilah Yesus mati disalibkan di
Golgota demi menanggung dosa manusia dan dunia ini.
Pada Ibadah Jumat Agung ini kita akan membahas tema “Pengorbanan Yesus yang
Menyelamatkan”. Perayaan Jumat Agung 2022 ini istimewa karena kita merayakannya di rumah kita
masing-masing, baik dengan ibadah virtual (Langsung – Online/Live Streaming dan Siaran Tunda –
Ofline) yang diikuti melalui tv, laptop, dan HP, maupun Ibadah Konvensional dengan Tata Ibadah yang
dipimpin oleh keluarga masing-masing. Ibadah ini dilakukan dalam rangka memutus penyebaran Virus
Corona 19 yang masih mewabah di negara kita dan bahkan di dunia ini.
Peristiwa Jumat Agung tentu akan membawa kita kepada pengenangan peristiwa pengorbanan Tuhan
Yesus di kayu salib sebagai tanda kasih dan pengampunan dari Allah bagi kita umat manusia. Peristiwa
pengorbanan Yesus ini haruslah kita peringati dengan sungguh-sungguh agar kita tidak terjebak pada
peringatan yang rutinitas sehingga tidak berdampak dalam kehidupan kita. Jika Jumat Agung diperingati
hanya sekedar peringatan akan sejarah yang berlalu tanpa mengambil hikmat dibalik kisah tersebut, maka
peristiwa Jumat Agung itu tidak akan membawa perubahan hidup dan tanpa membawa makna bagi kita.
Yesus hanya diperingati dalam konteks sejarah masa lalu yang menjadikan Salib Kristus hanya sebuah
aksesoris dan sebuah kisah yang sadis, sehingga kita hanya menempatkan diri sebagai penonton padahal
Tuhan melakukannya agar manusia dapat melihat bagaimana penderitaan yang dirasakan manusia akibat
dari dosa. Tidak heran jika hingga saat ini salah satu kenyataan kuasa dosa yang menguasai manusia
adalah kesenangannya melihat penderitaan yang dibencinya. Sehingga tidak heran juga jika akhirnya
banyak orang Kristen yang terbuai dalam suatu cerita atau film ketika musuh akhirnya dikalahkan oleh
bintang film dengan pembalasan dendam.
Bapak/ibu/saudara/i...
Kematian adalah hal biasa atau lumrah bagi semua manusia, terjadi pada kanak-kanak, remaja,
pemuda atau orang tua, tidak mengenal usia, siapa pun akan menghadapinya. Apalagi kematian yang ada
di depan mata kita sekarang ini sungguh mengerikan. Kematian karena Covid 19 tidak bisa dilihat dan
dilayat oleh kaum kerabat karena takut terkena virus Corona. Anjuran pemerintah juga membuat keluarga
dan sahabat tidak bisa memberikan penghormatan terakhir bagi mereka yang meninggal karena Covid 19.
Keluarga sangat bersedih karena yang dikasihi keluarga tidak bisa disemayamkan di rumah mereka
karena masyarakat menolaknya. Keluarga tidak bisa membuat acara sebagaimana biasanya karena
ketakutan penyebaran virus yang massif. Bahkan terkadang ada juga Gereja yang “terpaksa” melakukan
ibadah penguburan secara “online” demi menjaga penularan virus ini. Pastilah semua bersedih. Keluarga
bersedih karena tidak bisa dilayat orang lain, tidak bisa dilayani Gereja dengan baik. Pihak Gereja juga
bersedih tidak bisa melakukan tugasnya seperti sediakala bagi jemaatnya yang berduka. Inilah kesedihan
yang diakibatkan Covid 19.
Dibandingkan dengan kematian Yesus, maka kematian karena Covid 19 pun tidak setara dengan
kematian-Nya. Kematian Yesus adalah luar biasa karena kematian Yesus Kristus digantung di atas kayu
salib dengan cara hina.  Kematian-Nya disetarakan dengan kematian penjahat kelas kakap di dunia ini.
Karena sangkin ngerinya kematian Yesus itu, maka kegelapan pekat mencekam menyelimuti bumi tiga
jam mulai pukul 12.00 hingga 15.00 mewarnai peristiwa kematian Kristus ini. Tidak hanya itu, “tabir Bait
Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah,
dan kuburan-kuburan terbuka...” (Mat. 27:51-52).
Kisah ini sangat menggemparkan di langit mau pun di bumi, sebab karya terbesar telah digenapi Kristus
pada hari itu. Jadi, Yesus mati di kayu salib 2020 tahun lalu adalah peristiwa sejarah yang sungguh-
sungguh terjadi, bukan rekayasa atau dongeng pengantar tidur. Bahkan kehidupan Kristus, khususnya
tentang penyaliban-Nya, juga sudah dinubuatkan Yesaya, “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang
penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup
mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan” (Yes. 53:3).
Peristiwa Golgota ini adalah peristiwa sejarah yang mengubah kehidupan manusia, sebab kematian Yesus
adalah kematian yang menyelamatkan, menyembuhkan, memulihkan, memberkati dan memberikan
pengharapan baru. Di atas Kalvari Yesus telah membayar harga bagi dosa-dosa kita. Ia yang benar,
sempurna dan tanpa dosa rela dikutuk, dituduh, difitnah, menderita dan mencurahkan darah-Nya seperti
domba sembelihan, supaya kita dapat dibebaskan dan diselamatkan. Yesus hidup bukan untuk diriNya
sendiri tetapi untuk menjadi pengganti bagi kita. Kristus telah mengambi alih semua yang harus kita
tanggung karena dosa-dosa kita. “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena
kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor.5:21). 
Bpak/ibu/saudar/i....
Mengapa kematian Yesus disebut kematian yang menyelamatkan? Ada beberapa alasan yang bisa
kita pelajari dari perikop ini, yakni:
Pertama, kematian Yesus menciptakan perdamaian (ay. 45-50). Dalam keadaan terpisah dari Allah,
Allah sendiri menunjukkan kasih-Nya kepada manusia dengan cara “Dia yang tidak mengenal dosa telah
dijadikan dosa ganti kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan Allah” (2 Kor. 5:21). 
Kedua, kematian Yesus menciptakan persekutuan (ay. 51). Keberadaan tabir dalam Bait Allah
menggambarkan ketidaklayakan manusia menghampiri Allah. Allah yang Maha Suci tidak mungkin
bersekutu dengan manusia yang berdosa. Matius menulis: “Dan lihatlah, tabir Bait Suci terbelah dari atas
sampai ke bawah” (ay. 51). Kematian Yesus telah merobek tirai pemisah antara Allah dengan manusia.
Kematian Yesus memungkinkan manusia bersekutu kembali dengan Allah (Ibr. 10:19-20).  
Ketiga, kematian Yesus menciptakan kehidupan (ay. 52-53). Makna peristiwa yang diungkapkan
dalam ayat 52 dan 53 adalah bahwa dengan kejadian ini Allah menyatakan bahwa kematian Yesus
sebagai Anak Domba Paskah akan menjadi jaminan bagi kebangkitan orang yang percaya kepada-Nya
(orang-orang kudus). Melalui peristiwa Jumat Agung ini Allah mendemonstrasikan kasih-Nya dengan
cara menyalibkan Kristus sampai mati sebagai ganti kita, sehingga kita memeroleh kehidupan yang
kekal. Keempat, Paskah menciptakan keyakinan (ay. 54). Jauh sebelumnya Yesus sendiri telah berkata:
“Apabila Aku dinaikkan dari atas bumi, Aku akan menarik orang datang kepada-Ku” (bdg. Yoh. 3:14-
15).
Selamat merayakan Hari Kematian Yesus Kristus
KHOTBAH JUMAT AGUNG

(Matius 27:40); (Lukas 23:34)

“Selamatkanlah diri-Mu, jikalau Engkau Anak Allah”...”Ya Bapa, ampunilah mereka,


sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”

Bapa/mama jemaat Tuhan yang terkasih...


Kematian Tuhan Yesus Kristus di kayu salib, yang kemudian kita kenal dengan peristiwa Jumat
Agung dengan berbagai kegiatan ibadah. Menarik untuk kita refleksikan baik peristiwa-peristiwa
yang menyertai maupun peristiwa-peristiwa yang sebelumnya terjadi pada peristiwa Jumat
Agung. Mengapa menarik untuk kita refleksikan? Karena melalui peristiwa-peristiwa itu kadang
tanpa kita sadari maupun kita sadari menjadi peristiwa yang realita kita lakukan. 

Bapa/mama jemaat Tuhan yang terkasih...


Ketika menelisik peristiwa kematian Tuhan Yesus di kayu salib, tertulis bahwa peristiwa
menyakitkan datang menerpa diri Yesus. Murid-murid meninggalkanNya, siksaan demi siksaan,
olokan pedih, bahkan direndahkan. Via dolorosa, jalan penderitaan saat memikul salib menjadi
jalan tetesan darah yang tertumpah dari tubuh Yesus, menjadi bukti begitu menyakitkan bagi
tubuh Yesus. Mereka yang dahulu mengelu-elukan Dia pada saat Yesus masuk ke Yerusalem
(dikenal dengan minggu palmarum), kini berbalik mengolok-olok, menghujat bahkan berteriak
“Salibkan Dia.” Namun semua dipikul Yesus dengan tanpa rasa dendam bahkan tak ada kata
kebencian yang keluar dari mulut Yesus. Mampu melewati kesesakan, kepedihan, siksa dan sakit
yang mendera dalam tubuh, menjadi suatu ajaran Yesus menuju kepada kepastian ‘hidup yang
kekal’ yang tidak dapat dipahami manusia.

Kepedihan yang dirasakan Yesus bukan saja menerpa tubuh jasmani-Nya, tetapi perasaan hati
Yesus pun harus menderita. Olok-olokan sepanjang jalan saat Dia memikul salib-Nya sampai
kepada tertancapnya paku di kayu salib. “Selamatkanlah diri-Mu, jikalau Engkau Anak Allah”
(Matius 27:40) suatu olokan yang didasari dari perkataan Yesus pada saat Dia menyucikan Bait
Allah dan mengusir pedagang-pedagang dari Bait Allah (Yohanes 2:19). Menarik untuk
diperhatikan bahwa nampaknya mereka itu adalah para pendengar yang menyimpan perkataan
Yesus dalam hidupnya. Hanya saja, ketika mereka mendengar, mereka menyimpan perkataan
Yesus itu dalam makna yang berbeda. Perkataan Yesus itu digunakan mereka untuk mengolok-
olok Yesus. Lalu apa yang dilakukan Yesus kepada mereka? Apa balasan Yesus kepada mereka
semua yang mengolok-olok Dia? Sakit dibalas dengan kesakitan juga? Dia tidak membalasnya
dengan kesakitan tapi dengan pengampunan, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak
tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34). Sikap keteladanan, mengampuni, memaafkan
bahkan memberikan harapan kehidupan dengan mendoakan agar mereka yang membenci,
mencela bahkan menyiksaNya memperoleh keselamatan menjadi teladan Yesus Kristus bagi
kita.  

Bapa/mama jemaat Tuhan yang terkasih...


Peristiwa Jumat Agung adalah peristiwa penyelamatan Allah, melalui “via dolorosa” menjadi
bukti pengorbanan Anak Domba Allah untuk menyelamatkan umat manusia. Kendali dan
kehendak Allah seringkali tidak sama dengan kehendak manusia. Berulang kali saudara dan saya
merayakan Jumat Agung, Minggu Paskah, rutin dan terbiasa untuk datang ke gereja dengan
ibadah bersama. Namun tahun ini kita menjalani Jumat Agung yang berbeda, tidak seperti
rutinitas dan kebiasaan tahun-tahun sebelumnya. Mewabahnya covid-19 membuat rutinitas dan
kebiasaan ibadah kita berubah. Mengikuti ketentuan dan peraturan pemerintah, kita harus
melaksanakan ibadah di rumah dengan hanya berkumpul satu keluarga. Ada gereja yang mampu
melakukan ibadahnya melalui fasiltas media, bagi yang lain mungkin hanya menggunakan
lembaran tata ibadah yang dibagikan oleh gereja. Peribadatan yang berbeda ini tentunya tidak
akan membawa kita kepada kepedihan yang sama dirasakan oleh Yesus di kayu salib. Tidak,
tidak bisa disamakan. Perbedaan tata laksana ibadah itu disikapi untuk membawa kita kepada
perubahan, dari hanya sekedar rutinitas dan kebiasaan kepada pelaksanaan yang terimani dalam
ungkapan syukur. Kita seringkali hanya menjalankan diri secara rutinitas mendengarkan “Firman
Tuhan” tapi tidak menjalankannya sesuai dengan kehendak Yesus. Kita biasa-biasa saja
beribadah bukan menjadi yang luar biasa. Kita gampang untuk ‘berubah’ sikap karena
tergantung situasi dan kondisi. Sama seperti orang-orang yang tadinya mengeluk-elukan Yesus
tapi berubah menjadi mengolok-olokan Yesus. Implementasi kehidupan Yesus pada peristiwa
Kematian-Nya di Kayu Salib atau Jumat Agung membawa kita kepada keyakinan:
1.  Kesusahan hari ini tidak dapat menggoyahkan keyakinan iman, tapi dengan kesusahan
ini semakin mengetahui ada rencana Tuhan yang tidak dapat dipahami secara lahiriah,
hanya dengan iman kita dapat memahaminya;
2.  Umat Kristen mengubah kehidupannya dari kebiasaan dan rutinitas menjadi sesuatu
yang berbeda yang luar biasa dihadapan Tuhan;
3.  Nilai spritualitas seseorang bukan dinilai dari pendengaran saja tapi dari perilaku
sebagai pelaku Firman;
4.   Pengampunan telah berlaku bagi kita dari Yesus Kristus Tuhan kita
Akhirnya saudara-saudara umat Tuhan, peristiwa kematian Yesus Kristus di kayu salib menjadi
lambang titik awal kehidupan baru yang akan bangkit dari diri kita masing-masing, Amin. 
Merayakan Kebangkitan Kristus Dalam Kesadaran Iman

Yohanes 20:1-8; Kisah Para Rasul 10:34-43

Selamat Paskah!

Renungan ini akan dimulai dengan mengajak bapa/mama jemaat Tuhan untuk menjawab secara
jujur tiga pertanyaan berikut ini, yakni: Pertama, sudah berapa kali anda merayakannya di
sepanjang kehidupan menjadi pengikut Kristus?; Kedua, apakah terjadi transformasi yang berarti
dalam setiap momen perayaan yang anda lakukan?; Terakhir, mengapa anda merayakan Paskah?
Ketiga pertanyaan tersebut hendaknya menjadi pancingan bagi setiap pembaca untuk
menggumuli tentang nilai kesadaran iman dalam merayakan Paskah, kebangkitan Sang
Juruselamat.

Bapa/mama jemaat Tuhan, Kebangkitan Yesus semestinya menjadi sebuah kabar yang
menggembirakan bagi para murid-Nya. Namun, kondisi yang muncul pada Yohanes 20:1-8 
justru menampilkan respons yang berbeda pada diri para murid. Alih-alih mengalami sukacita
yang besar, mereka justru dipenuhi dengan kebingungan atas ketiadaan jenazah sang Guru. Kata
‘percaya’ yang dialami oleh salah seorang murid pada ayat 8 pun tidak ditujukan pada
kebangkitan Yesus, melainkan berita atas ketiadaan jenazah Yesus seperti yang diberitakan oleh
Maria Magdalena. Penyebab kebingungan pada diri para murid Yesus sebenarnya dijelaskan
secara eksplisit oleh narator injil Yohanes, yaitu karena ketidakmampuan mereka dalam
memahami berita kebangkitan Yesus Kristus seperti yang tertera pada Kitab Suci.

Bapa/mama jemaat Tuhan, Pada hari ini kita merayakan sebuah momen penuh harap, yakni
kebangkitan Yesus Kristus dari kematian. Bagi setiap orang yang sudah menjadi seorang
pengikut Kristus sejak masa kanak-kanak, tentu sudah tidak asing dengan beragam bentuk ritus
dan perayaan atas kebangkitan Yesus Kristus. Namun, sebagai seorang beriman kita juga perlu
memahami bahwa kualitas iman tidak akan terbentuk secara otomatis beriringan dengan
banyaknya angka melakukan ritus maupun perayaan tersebut. Diperlukan upaya yang penuh
makna dan penyadaran atas pemahaman terhadap peristiwa kebangkitan Yesus Kristus, jika
seorang percaya ingin benar-benar merespons kebangkitan-Nya secara tepat, bertanggung jawab
dan penuh dampak.

Tanpa pemahaman yang begitu personal dan pengenalan yang utuh atas peristiwa kebangkitan
Yesus, perayaan kebangkitan-Nya hanyalah menjadi sebuah acara kosong bagi iman seorang
umat TUHAN. Status yang kita miliki sebagai seorang pengikut Kristus juga tidak secara
otomatis menghadirkan kepekaan iman dan kesadaran pemahaman atas nilai kebangkitan
Kristus. Hal ini sudah terbukti melalui perikop Yohanes 20:1-8 yang memperlihatkan
kebingungan para murid Yesus terhadap kebangkitan sang Guru. Hal ini semestinya cukup
menjadi bukti bahwa status sebagai ‘murid Yesus’ ternyata tidak serta-merta menghasilkan
kepekaan iman dan kesadaran pemahaman terhadap peristiwa tersebut.

Bapa/mama jemaat Tuhan, Meski demikian, transformasi dan perkembangan iman dapat terus
terjadi bagi setiap orang yang ingin berproses di dalam kebangkitan sang Kristus. Misalnya saja,
Petrus dalam Yohanes 20:1-8 sudah mengalami perkembangan iman seperti yang muncul dalam
Kisah Para Rasul 10. Iman Petrus yang bertransformasi ini tidak hanya membawa perubahan
signifikan bagi dirinya secara personal, melainkan juga memberikan dampak yang begitu masif
pada setiap anggota jemaat yang ia layani. Bahkan, Petrus dapat memberikan pengajaran
pemahaman beriman yang jauh lebih luas dan menyeluruh mengenai nilai keselamatan yang
begitu universal berlaku, bukan hanya untuk segelintir identitas, melainkan bagi seluruh dunia.
Petrus yang tadinya kebingungan atas ketiadaan sang Guru di dalam kubur, kini menjadi seorang
percaya yang mampu berkata, “Yesus itu telah dibangkitkan Allah pada hari yang ketiga…dan Ia
telah menugaskan kami memberitakan kepada seluruh bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah yang
ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati.” Oleh sebab itu,
marilah kita rayakan kebangkitan Yesus Kristus sebagai sebuah momen untuk transformasi iman
seiring dengan hidupnya Sang Juruselamat.

Pertanyaan Refleksi

Bagaimana sikap hidup yang mampu Bapa/mama jemaat Tuhan lakukan dan kamu anggap perlu
diwujudkan sebagai bentuk penghayatan penuh hormat serta kasih terhadap kematian Yesus
Kristus?

Anda mungkin juga menyukai