Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN RESMI

TEKNOLOGI CAIR-SEMIPADAT

JUDUL :
PEMBUATAN DAN EVALUASI SEDIAAN SUSPENSI

Disusun Oleh:
Tanggal Percobaan : 1 & 8 Maret 2021
Kelompok/Kelas : 2/B
Disusun Oleh :
1. Angelica Febriana NIM 22010319130052
2. Lisa Nur Afifah NIM 22010319130065
3. Hega ‘Aisyah Mahardika NIM 22010319140059
4. Sekar Arum Ayu Firsanti NIM 22010319140062
5. Rizky Tsinta Putri S. NIM 22010319140071

PROGRAM STUDI FARMASI, DEPARTEMEN KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
PERCOBAAN I
PEMBUATAN DAN EVALUASI SUSPENSI

I. TUJUAN
Mahasiswa diharapkan dapat membuat dan mengevaluasi sediaan
suspensi untuk penggunaan obat dalam sesuai formula.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Pengertian Suspensi
Suspensi adalah sediaan yang mengandung bahan obat padat
dalam bentuk halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa.
Zat yang terdispersi harus halus, tidak boleh cepat mengendap, dan bila
digojok perlahan lahan, endapan harus segera terdispersi kembali.
Dapat ditambahkan zat tambahan untuk menjamin stabilitas suspensi
tetapi kekentalan suspensi harus menjamin sediaan mudah digojok dan
dituang. Suspensi sering disebut pula mikstur gojog (mixtura
agitandae). Bila obat dalam suhu kamar tidak larut dalam pelarut yang
tersedia maka harus dibuat mikstur gojog atau disuspensi (Anief, 2006).
Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat
tidak larut yang terdispersi dalam fase cair. Suspensi dapat dibagi dalam
2 jenis, yaitu suspensi yang siap digunakan atau yang dikonsultasikan
dengan sejumlah air untuk injeksi atau pelarut lain yang sesuai sebelum
digunakan. Bentuk sediaan suspensi diformulasikan karena beberapa
zat aktif obat mempunyai kelarutan yang praktis tidak larut dalam air,
tetapi diperlukan dalam bentuk cair agar mudah diberikan kepada
pasien yang mengalami kesulitan untuk menelan, mudah diberikan pada
anak-anak, serta untuk menutupi rasa pahit atau aroma yang tidak enak
dari zat aktif obat. Alasan lain adalah karena air merupakan pelarut yang
paling aman bagi manusia. Untuk itu air digunakan sebagai medium
pembawa pada sebagian besar sediaan suspensi. Walaupun zat aktif
obat memiliki kelarutan buruk dalam air, zat aktif obat tetap dapat
dibuat ke dalam bentuk sediaan cair/liquid dengan adanya bantuan
suspending agent (Ansel,1989).
2.2. Syarat Stabilitas yang Baik
Menurut Dirjen POM (1979), terdapat beberapa syarat suspensi
yang baik yaitu :
a. Suspensi terdispersi harus halus dan tidak boleh mengendap.
b. Jika dikocok harus segera terdispersi kembali.
c. Dapat mengandung zat tambahan untuk menjamin stabilitas.
d. Kekentalan suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar mudah dikocok
dan di tuang.
Sedangkan menurut Dirjen POM (1995), beberapa syarat
suspensi yang baik yaitu :
a. Suspensi tidak boleh diinjeksikan secara intra vena dan intra rectal
b. Suspensi yang dinyatakan untuk digunakan dengan cara tertentu
harus mengandung zat anti mikroba.
c. Suspensi harus dikocok sebelum digunakan.
d. Suspensi harus disimpan dalam wadah tertutup rapat.

2.3. Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Suspensi


Salah satu masalah yang dihadapi dalam proses pembuatan
suspensi adalah cara memperlambat penimbunan partikel serta menjaga
homogenitas dari partikel tersebut. Cara tersebut merupakan salah satu
tindakan untuk menjaga stabilitas suspensi (Syamsuni, 2006).
Beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas suspensi adalah :
1) Ukuran partikel
Ukuran partikel erat hubungannya dengan luas penampang
partikel tersebut serta daya tekan keatas dari cairan suspensi itu.
Hubungan antara ukuran partikel merupakan perbandingan terbalik
dengan luas penampangnya. Sedangkan antara luas penampang
dengan daya tekan ke atas merupakan hubungan linier. Artinya
semakin besar ukuran partikel ukuran partikel semakin kecil luas
penampangnya (dalam volume yang sama). Sedangkan semakin
besar luas penampang partikel daya tekan keatas cairan akan
semakin memperlambat gerakan tersebut dapat dilakukan dengan
memperkecil ukuran partikel (Syamsuni, 2006).
2) Viskositas
Kekentalan suatu cairan mempengaruhi pula kecepatan aliran
dari cairan tersebut, makin kental susu cairan kecepatan alirannya
makin turun (kecil). Kecepatan aliran dari cairan tersebut akan
mempengaruhi pula gerakan turunnya partikel yang terdapat
didalamnya. Dengan demikian dengan menambah viskositas cairan,
gerakan turun dari partikel yang kekentalan suspensi tidak boleh
terlalu tinggi agar sediaan mudah dikocok dan dituang. Hal ini dapat
dibuktikan dengan hukum stokes (Syamsuni, 2006).

Keterangan :
V = kecepatan sedimentasi
d = diameter partikel
g = kecepatan gravitasi
ρ1= kerapatan fase dispers
ρ2 = kerapatan medium dispers
η = viskositas
3) Jumlah Partikel (Konsentrasi)
Apabila didalam suatu ruangan berisi partikel dalam jumlah
besar, maka partikel tersebut akan susah melakukan gerakkan yang
bebas karena sering terjadi benturan antara partikel tersebut.
Benturan itu akan menyebabkan terbentuknya endapan dari zat
tersebut, oleh karena itu makin besar konsentrasi partikel, semakin
besar terjadinya endapan partikel dalam waktu yang singkat
(Syamsuni, 2006).
4) Sifat atau muatan partikel
Dalam suatu suspensi kemungkinan besar terdiri dari beberapa
macam campuran bahan yang sifatnya tidak selalu sama. Dengan
demikian ada kemungkinan terjadi interaksi antar bahan tersebut
yang menghasilkan bahan yang sukar larut dalam cairan tersebut.
Karena sifat bahan tersebut sudah mempengaruhi sifat alam. Maka
kita tidak dapat mempengaruhinya (Syamsuni, 2006).

2.4. Macam Sediaan Suspensi


2.4.1. Berdasarkan sistem
Menurut Syamsuni (2006) berdasarkan sistemnya, jenis
sediaan suspensi terbagi menjadi flokulasi dan deflokulasi :
a. Sistem Deflokulasi
Partikel yang terdispersi merupakan unit tersendiri
dan apabila kecepatan sedimentasi bergantung daripada
ukuran partikel tiap unit, maka kecepatannya akan lambat.
Gaya tolak-menolak di antara 2 partikel menyebabkan
masing-masing partikel menyelip di antara sesamanya pada
waktu mengendap.Supernatan sistem deflokulasi keruh dan
setelah pengocokan kecepatan sedimentasi partikel yang
halus sangat lambat. Keunggulannya sistem deflokulasi
akan menampilkan dosis yang relatif homogen pada waktu
yang lama karena kecepatan sedimentasinya yang lambat.
Kekurangannya yaitu apabila sudah terjadi endapan sukar
sekali di redispersi karena terbentuk masa yang kompak.
Sistem deflokulasi dengan viskositas tinggi akan mencegah
sedimentasi tetapi tidak dapat dipastikan apakah sistem
akan tetap homogen pada waktu paruhnya.
b. Sistem Flokulasi
Partikel sistem flokulasi berbentuk agregat yang
dapat mempercepat terjadinya sedimentasi. Hal ini
disebabkan karena setiap unit partikel dibentuk oleh
kelompok partikel sehingga ukurang agregat relatif besar.
Cairan supernatan pada sistem deflokulasi cepat sekali
bening yang disebabkan flokul-flokul yang terbentuk cepat
sekali mengendap dengan ukuran yang bermacam-macam.
Keunggulannya yaitu sedimen pada tahap akhir
penyimpanan akan tetap besar dan mudah di redispersi.
Kekurangannya yaitu dosis tidak akurat dan produk tidak
elegan karena kecepatan sedimentasinya tinggi. Flokulasi
dapat dikendalikan dengan :
a. Kombinasi ukuran partikel
b. Penggunaan elektrolit untuk kontrol potensial zeta.
c. Penambahan polimer mempengaruhi hubungan/
struktur partikel dalam suspensi.
2.4.2 Berdasarkan rute penggunaan
Menurut Murtini (2016) berdasarkan rute pemberiannya,
macam-macam sediaan suspensi dapat dikelompokkan menjadi
sebagai berikut :
a. Suspensi Oral, adalah sediaan cair yang mengandung
partikel padat yang terdispersi dalam pembawa cair dengan
bahan pengaroma yang sesuai dan ditujukkan untuk
penggunaan oral. Beberapa suspensi-yang diberi etiket
sebagai susu atau magma termasuk dalam kategori ini.
Beberapa suspensi dapat langsung digunakan sedangkan
yang lain berupa campuran padat yang harus
dikonstitusikan terlebih dahulu dengan pembawa yang
sesuai segera sebelum digunakan.
b. Suspensi Topikal, adalah sediaan cair mengandung partikel
padat yang terdispersi dalam pembawa cair yang ditujukkan
untuk penggunaan pada kulit. Beberapa suspensi yang
diberi etiket sebagai "lotio" termasuk dalam kategori ini.
c. Suspensi Optalmik, adalah sediaan cair steril yang
mengandung partikel-partikel yang terdispersi dalam cairan
pembawa yang ditujukkan untuk penggunaan pada mata.
Obat dalam suspensi harus dalam bentuk termikronisasi
agar tidak menimbulkan iritasi atau goresan pada kornea.
Suspensi obat mata tidak boleh digunakan bila terjadi
masses yang mengeras atau penggumpalan.
d. Suspensi tetes telinga, adalah sediaan cair yang
mengandung partikel-partikel halus yang ditujukkan untuk
diteteskan pada telinga bagian luar.
e. Suspensi untuk injeksi, adalah sediaan berupa suspensi
serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikan
secara intravena atau kedalam saluran spinal.
f. Suspensi untuk injeksi terkontinyu, adalah sediaan padat
kering dengan bahan pembawa yang sesuai untuk
membentuk larutan yang memenuhi semua persyaratan
untuk suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa
yang sesuai.

2.5 Keuntungan dan Kerugian Suspensi


Menurut Elianawati (2016), sediaan suspensi memiliki beberapa
kelebihan, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Suspensi oral merupakan bentuk sediaan yang menguntungkan
untuk penggunaan pada anak-anak atau orang dewasa yang
mengalami kesulitan dalam menelan tablet atau kapsul
b. Suspensi secara kimia lebih stabil dibanding larutan.
c. Cairan yang mengandung bahan tidak larut memberikan
keuntungan baik untuk pemakaian dalam maupun untuk pemakaian
luar untuk aksi perlindungan dan juga aksi diperpanjang. Kedua
efek ini dapat dicapai secara relatif dari obat yang tidak larut.
d. Memiliki homogenitas yang tinggi.
e. Lebih mudah diabsorpsi daripada tablet atau kapsul karena luas
permukaan kontak antara zat aktif dan saluran cerna meningkat.
f. Dapat menutupi rasa tidak enak atau pahit obat.
g. Mengurangi penguraian zat aktif yang tidak stabil dalam air.
Menurut Elianawati (2016), sediaan suspensi memiliki beberapa
kekurangan diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Memiliki kestabilan yang rendah karena berpotensi terjadi
pertumbuhan kristal jika jenuh, degradasi, dan lain-lain.
b. Jika membentuk caking akan sulit terdispersi kembali sehingga
homogenitasnya turun.
c. Jika terlalu kental alirannya menyebabkan sukar dituang.
d. Ketepatan dosis lebih rendah daripada bentuk sediaan larutan.
e. Pada saat penyimpanan, kemungkinan terjadi perubahan sistem
dispersi (caking, flokulasi-deflokulasi) terutama jika terjadi
fluktuasi atau perubahan temperatur.
f. Formulasi dalam pencampuran dimana terdapat pengaruh gaya
gravitasi bumi yang menyebabkan terjadinya sedimentasi sehingga
terjadi ketidakseragaman bobot dan dosis dari obat.
g. Produknya cair dan secara relatif massanya berat.

2.6 Cara Pembuatan Suspensi


Menurut Pujiharti et al (2015), metode pembuatan suspensi ada 2
yaitu metode dispersi dan metode presipitasi. Penggunaan metode
dispersi dan metode presipitasi dapat berpengaruh pada karakteristik
fisik dan rasio kekeruhan suspensi. Metode dispersi digunakan karena
partikel pada pembuatan suspensi harus benar-benar terdispersi dalam
fase air. Serbuk yang terbagi halus didispersikan ke dalam cairan
pembawa (umumnya air). Mendispersikan serbuk yang tidak larut air
terkadang sukar karena adanya udara atau lemak yang terkontaminasi
pada permukaan serbuk. Untuk menurunkan tegangan antar muka
antara partikel padat dan cairan pembawa digunakan zat pembasah
dengan nilai HLB 7-9. Pada metode dispersi bahan langsung
didispersikan maka maka bentuk partikel masih kasar maka
mempercepat rasio kekeruhan.
Metode presipitasi menggunakan pelarut organik untuk melarutkan
partikel yang tidak larut agar dapat bercampur dengan air. Bahan obat
yang akan didispersi dilarutkan dahulu dalam pelarut organik seperti
etanol, propilen glikol, dan polietilen glikol. Setelah larut dalam pelarut
organik, kemudian diencerkan dengan larutan pensuspensi dalam air,
maka akan terbentuk endapan halus dan tersuspensi dengan bahan
pensuspensi. Pada metode presipitasi dengan adanya pembasahan
serbuk maka didapatkan inti partikel yang lebih halus sehingga dapat
memperlambat rasio kekeruhan (Pujiharti et al, 2015).

2.7 Evaluasi Sediaan Suspensi


2.7.1 Uji Organoleptis
Organoleptis digunakan untuk mengetahui hasil fisik dari
suatu suspensi yang meliputi bentuk, bau, warna dan rasa.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa kesesuaian bentuk,
bau, warna, dan rasa sediaan dengan spesifikasi yang telah
ditetapkan (Wirasti dkk., 2020).
2.7.2 Uji pH
Dilakukan pengujian pH yaitu untuk mengetahui derajat
keasaman suatu larutan. pH sediaan ditentukan dengan
menggunakan pH meter digital, diawali dengan kalibrasi alat, lalu
elektroda dari pH meter digital dicelupkan ke dalam suspensi,
biarkan selama 30 detik, catat nilai pH yang muncul pada layar
alat (Wahyuni, 2017).
2.7.3 Uji Volume Sedimentasi
Pengujian volume sedimentasi dilakukan untuk mengetahui
rasio pengendapan (F) yang terjadi selama penyimpanan waktu
tertentu. Pengujian volume sedimentasi yang mana suspensi
dengan volume sedimentasi yang baik adalah yang mempunyai
harga 1. Suspensi dimasukkan ke dalam gelas ukur 10 mL dan
disimpan pada suhu kamar serta terlindung dari cahaya secara
langsung. Volume suspensi yang diisikan merupakan volume
awal (Vo). Perubahan volume diukur dan dicatat setiap selama 30
hari atau waktu yang ditetapkan tanpa pengadukan hingga tinggi
sedimentasi konstan. Volume tersebut merupakan volume akhir
(Vu) (Shah et al, 2014). Menurut Anief (1994), parameter
pengendapan dari suatu suspensi dapat ditentukan dengan
mengukur volume sedimentasi (F) yaitu perbandingan volume
akhir endapan (Vu) dengan volume awal sebelum terjadi
pengendapan (Vo) yaitu dengan persamaan :
𝑉𝑢
F = 𝑉𝑜
Keterangan :
F : Volume sedimentasi
Vu : Volume akhir endapan (cm)
Vo : Volume awal sebelum terjadi pengendapan (cm)
2.8 Monografi Tiap Bahan
a. Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan zat aktif sebagai antibiotik yang
memiliki spektrum luas dan sesuai untuk mengobati berbagai
macam infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Kloramfenikol berwujud hablur halus berbentuk jarum atau lempeng
memanjang, memiliki warna putih hingga putih kelabu atau putih
kekuningan, larutan praktis netral terhadap lakmus P, dan stabil
dalam larutan netral atau larutan agak asam. Tidak larut dalam air;
mudah larut dalam aseton dan dalam kloroform; larut dalam etter
agak sukar larut dalam etanol sangat sukar larut dalam heksan.
Memiliki pH antara 4,5 dan 7,5. Inkompatibel dengan senyawa
aminophylline, ampicillin, asam askorbat, kalsium klorida, sodium
karbenisilin, klorpromazin HCl, garam erythromycin, gentamicin
sulfate, hydrocortisone, sodium suksinat, hydroxyzine HCl,
methicillin sodium, oxytetraphate, garam prochlorperazine.
Disimpan dalam wadah tertutup rapat serta ditempat sejuk dan
kering. (Sudjadi, 2008).
b. CMC Na
CMC-Na adalah garam natrium dari poli karboksimetil eter
selulosa, mengandung tidak kurang dari 6,5% dan tidak lebih dari
9,5% natrium (Na) dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan
(Ditjen, 1995). CMC-Na berupa serbuk atau granul berwarna putih
sampai krem. CMC-Na merupakan senyawa higroskopis, sehingga
mudah larut dan terdispersi dalam air membentuk larutan
koloidal. CMC-Na tidak larut dalam etanol, eter, maupun pelarut
organik lain. CMC-Na dalam dunia farmasi sering digunakan
sebagai bahan penyalut, agen pensuspensi, stabilisator, bahan
pengikat pada tablet, bahan penghancur pada tablet dan kapsul, serta
bahan yang mampu meningkatkan viskositas (Rowe et al., 2006).
c. Tween 80
Tween atau polysorbate merupakan polietilen glikol turunan
dari sorbitan esters. Polysorbate menghasilkan emulsi tipe M/A
dengan tekstur yang halus dan berguna untuk pembuatan krim dan
salep yang larut air dan mudah dicuci air. Polysorbate biasa
digunakan sebagai emulsifying agent dengan konsentrasi 1-15.
Polysorbate 80 berbentuk cairan berminyak berwarna kuning
dengan pH 6.0-8.0. Surfaktan ini larut dalam air dan tidak larut di
dalam minyak sayur. Nilai HLB dari polysorbate 80 adalah 15
(Rowe et al., 2009).
d. PEG 40
Polyethylene Glycol atau PEG 400 berbentuk cairan kental,
tidak berwarna atau sedikit berwarna kuning, tidak berbau, dan
memiliki rasa pahit. PEG 400 larut dalam air, aseton, alkohol,
glycerin, dan glycol. PEG 400 secara kimiawi stabil di udara dan di
dalam larutan, tidak mendukung pertumbuhan mikroba, dan tidak
menjadi tengik. PEG 400 inkompatibilitas dengan beberapa
pewarna, pengawet parabel, fenol, dan sorbitol. Aplikasinya dalam
farmasi berguna sebagai basis salep dan suppositoria, serta pelarut,
pelicin pada sediaan kapsul dan tablet. Selain itu, PEG 400 dalam
sediaan larutan dapat mengatur viskositas dan konsisten lain, dan
bila digunakan bersama pengemulsi bertindak sebagai stabilisator
emulsi (Rowe et al., 2009).
e. Syrupus simplex
Sirup simpleks merupakan pemanis yang banyak digunakan di
sediaan cair. Sirup simpleks memiliki pemerian cairan jernih, tidak
berwarna, manis, dan tidak berbau. Sirup simpleks larut dalam air,
mudah larut dalam air mendidih, dan sukar larut dalam eter. Sirup
simpleks stabil dalam tempat sejuk dan memiliki inkompatibilitas
dengan logam berat dan alumunium (Depkes RI, 1979).
f. Nipagin
Nipagin (metil paraben) merupakan pengawet yang memiliki
aktivitas anti jamur yang sering digunakan dalam berbagai sediaan
kosmetik dan makanan. Metil paraben memiliki pemerian serbuk
kristal berwarna atau kristal putih yang tidak memiliki bau dan
memiliki sedikit rasa yang membakar. Metil paraben larut dalam 2
bagian etanol, 3 bagian etanol (95%), 6 bagian etanol (50%), 10
bagian eter, 60 bagian gliserin, 2 bagian methanol, praktis tidak larut
dalam minyak mineral, larut dalam 200 bagian minyak kacang, 5
bagian propilen glikol, 400 bagian air (25˚C), 50 bagian air (50˚C)
dan 30 bagian air (80˚C). Bahan ini stabil pada larutan dengan pH 3-
6 selama 4 tahun penyimpanan pada suhu ruang. Aktivitas
antimikroba pada nipagin akan berkurang dengan adanya surfaktan
nonionik seperti polisorbat 80 karena akan terjadi miselisasi (Rowe
et al., 2009).
g. Aquadest
Pemerian dari aquadest adalah cairan jernih, tidak berwarna,
tidak berbau, tidak mempunyai rasa, dan mempunyai BM 18,02
g/cm3 . Air banyak digunakan sebagai bahan baku, bahan dan
pelarut dalam pengolahan, formulasi dan pembuatan produk
farmasi, bahan aktif farmasi (API) dan intermediet, dan reagen
analitis. Nilai spesifik dari air yang digunakan untuk aplikasi
tertentu dalam konsentrasi hingga 100% (Rowe et al., 2009).
h. Perasa Orange
Memiliki pemerian sebagai cairan kuning, orange, coklat orange
dengan bau khas dan rasa yang lembut dan beraroma. Kegunaan
untuk pengaroma, memiliki stabilitas dimana dalam pemanasan
dapat menyebabkan senyawa teroksigenasi. Metode penyimpanan
dilakukan dengan menyimpan dalam wadah tertutup rapat pada suhu
tidak lebih dari 64oC dan terhindar dari cahaya (Rowe et al., 2009)
III. METODE
3.1 Alat
a. Cawan porselen
b. Mortir dan stamper
c. Gelas ukur
d. Waterbath
e. Batang pengaduk
f. Stopwatch
g. Kertas Blok
h. pH meter
i. Tabung reaksi
3.2 Bahan
a. Kloramfenikol (mg)
b. CMC Na (mg)
c. Tween 80 (mg)
d. PEG 400 (mg)
e. Syrupus Simplex (mg)
f. Nipagin (mL)
g. Perasa (mL)
h. Aquadest (mL)
3.3 Formula
Bahan R1 R2 R3 R4 R5
Kloramfenikol
250 250 250 250 250
(mg)
CMC Na (mg) 50 25 50 50 25
Tween 80 (mg) 75 50 50 25 75
PEG 400 (mg) 1000 1000 1000 500 500
Syrupus simplex
1500 1500 1500 1500 1500
(mg)
Nipagin (mL) 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
Perasa (mL) q.s q.s q.s q.s q.s
Aquadest ad (mL) 60 60 60 60 60
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Pembuatan Emulsi

Bahan pembuat suspensi


Mortir
- Dilarutkan CMC Na dengan menggunakan air panas
hingga homogen pada mortir.
- Ditambahkan kloramfenikol.
- Diaduk hingga homogen.
- Ditambahkan Tween 80 dan PEG 400 dan diaduk
hingga homogen.
- Dilarukan nipagin dengan aquades pada cawan
porselen.
- Ditambahkan larutan nipagin pada mortir dan diaduk
menjadi satu hingga homogen.
- Ditambhakan syurupus simplex dan diaduk hingga
homogen.
- Ditambahkan kembali dengan perasa (orange).
- Diaduk hingga homogen.
- Ditambahkan aquadest hingga batas 60 mL dan diaduk
homogen.
- Dimasukkan dalam botol.
- Ditambahkan kembali aquadest hingga batas 60 mL
bila belum mencapai batas.
- Ditutup botol dengan rapat.

Hasil

3.4.2 Evaluasi Sediaan Emulsi


a. Uji Organoleptis

Sediaan Suspensi

- Diamati bentuk, bau, warna dan rasa dari sediaan


suspensi.
- Dicatat hasil pengamatan.

Hasil
b. Uji Sedimentasi

Sediaan Suspensi
Tabung reaksi

- Diletakkan kertas milimeter blok pada sisi luar


tabung reaksi
- Dilakukan pengocokan suspensi terlebih dahulu.
- Diambil 10 mL suspensi
- Dimasukkan pada tabung reaksi
- Diberikan tanda tinggi volume awal
- Diamati dan diberikan tanda setelah 15, 30, 60 dan
24 jam
- Dihitung volume sedimentasi
- Dicatat hasil

Hasil

c. Uji pH

Sediaan Suspensi
pH meter

- Ditekan tombol “ON” pada pH meter


- Dimasukkan suspensi ke dalam gelas beker
- Dibuka tutup pH meter
- Disemprotkan alat pH meter dengan alkohol
- Dilap dengan menggunakan tissue kering
- Dimasukkan pH meter kedalam sediaan suspensi
- Ditekan “read” pada monitor
- Ditunggu hingga muncul simbol akar A
- Catat pH sediaan
- Setelah selesai dibersihkan Ph meter dengan alkohol
- Dikeringkan pH meter menggunakan tissue kering
- Ditutup kembali pH meter dan dimatikan alat pH
meter.

Hasil
IV. DATA PENGAMATAN
4.1 Formula I
No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau : jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,31
3. Uji Sedimentasi Vo : 7,4 cm (larutan atas agak
jernih)
15 menit : 0.3 cm
30 menit : 0,5 cm
1 jam : 0,6 cm
24 jam : 0,7 cm

4.2 Formula II
No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau : jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,32
3. Uji Sedimentasi Vo : 8 cm (larutan atas agak keruh)
15 menit : 0.4 cm
30 menit : 0,7 cm
1 jam : 0,7 cm
24 jam : 1 cm

4.3 Formula III


No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau : sedikit berbau jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,33
3. Uji Sedimentasi Vo : 7,1 cm (larutan atas jernih)
15 menit : 0.4 cm
30 menit : 0,6 cm
1 jam : 0,7 cm
24 jam : 0,8 cm

4.4 Formula IV
No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau : sedikit berbau jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,18
3. Uji Sedimentasi Vo : 7,8 cm (larutan atas agak
jernih)
15 menit : 0.7 cm
30 menit : 0,8 cm
1 jam : 0,9 cm
24 jam : 1 cm

4.5 Formula V
No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau : sedikit berbau jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,26
3. Uji Sedimentasi Vo : 8 cm (larutan atas keruh)
15 menit : 0.3 cm
30 menit : 0,4 cm
1 jam : 0,5 cm
24 jam : 0,5 cm
V. PEMBAHASAN
Praktikum “Pembuatan dan Evaluasi Suspensi” dilaksanakan
dengan tujuan mahasiswa dapat membuat dan mengevaluasi sediaan
suspensi untuk penggunaan obat dalam sesuai dengan formula. Praktikum
ini dilaksanakan secara daring melalui platform Microsoft Teams pada hari
Senin, 1 dan 8 Maret 2021 pada pukul 13.00-15.00 WIB.
Sediaan suspensi dipilih untuk formula obat ini karena
kloramfenikol lebih stabil dalam wujud suspensi dari pada dalam bentuk
sediaan larutan. Menurut Ansel (1989), sediaan suspensi akan lebih efisien
dalam mengurangi penguraian zat aktif yang tidak stabil dalam air jika
dibandingkan dengan sediaan cair lainnya. Selain itu, bentuk sediaan
suspensi akan lebih menguntungkan bagi pasien karena sediaan ini mudah
dikonsumsi oleh anak-anak dan pasien yang kesulitan menelan obat padat.
Obat dalam sediaan suspensi juga akan lebih cepat diabsorbsi oleh tubuh
dan dapat mengurangi penguraian zat aktif yang tidak stabil dalam air.
Langkah kerja pembuatan suspensi adalah melakukan perhitungan
formula dan menimbang bahan yang akan digunakan. Selain itu, botol
plastik yang akan menjadi tempat menyimpan suspensi juga harus
dikalibrasi dan ditimbang. Caranya adalah 60 ml air dimasukkan ke dalam
botol, lalu beri tanda batas volume 60 ml air di botol plastik dengan
menempelkan label. Setelah selesai melakukan kalibrasi, air di dalam botol
dibuang lalu botol dikeringkan agar botol steril saat digunakan sebagai
wadah menyimpan sediaan obat. Metode yang digunakan dalam pembuatan
suspensi ini adalah metode dispersi cara basah. Menurut Zaman (2003),
terdapat 3 jenis cara membuat suspensi, yaitu cara dispersi basah, dispersi
kering, dan presipitasi. Dalam praktikum ini digunakan cara basah. Metode
dispersi dilakukan dengan cara menambahkan serbuk bahan obat ke dalam
musilago yang telah terbentuk. Metode dispersi cara basah merupakan
metode yang sering digunakan. Menurut literatur Zaman (2003), prinsip
metode ini adalah musilago dibuat dari suspending agent terlebih dahulu,
lalu bahan obat yang tidak larut digerus dan ditambah pelarut sampai basah,
kemudian musilago ditambahkan sedikit demi sedikit, lalu ditambahkan zat
lain. Langkah setelah selesai dilakukan penimbangan dan kalibrasi botol,
kemudian dimasukkan CMC Na dan beberapa tetes aquadest panas ke
dalam mortir, lalu diaduk sampai homogen. Menurut Rowe (2009), CMC
mudah larut dalam air panas dan air dingin. Menurut Suena (2015), CMC
Na berfungsi sebagai bahan pengental yang akan membentuk sistem dispersi
koloid dan meningkatkan viskositas suspensi. Ketika CMC Na terdispersi
dalam air, butir-butir CMC Na yang bersifat hidrofilik akan menyerap air
dan terjadi pembengkakan. Menurut Musfiroh (2013), mekanisme
pengentalan CMC Na mengikuti bentuk konformasi extended atau streched
ribbon. CMC Na akan memberikan kestabilan pada produk dengan
memerangkap air dan membentuk jembatan hidrogen dengan molekul CMC
Na yang lain sehingga proses pengendapan suspensi akan diperlambat
karena pengaruh gaya gravitasi. Langkah berikutnya ditambahkan
kloramfenikol, kemudian diaduk hingga homogen. Menurut Depkes RI
(1995), kloramfenikol merupakan zat aktif dalam sediaan suspensi ini yang
berkhasiat sebagai bakteriostatik spektrum luas dan biasanya digunakan
untuk mengobati infeksi serius yang mengancam jiwa, misalnya demam
tifoid. Selanjutnya ditambahkan tween 80 dan PEG 400 ke mortir,
kemudian diaduk hingga homogen. Menurut Depkes RI (1979), Tween 80
dalam formulasi ini berfungsi sebagai wetting agent dan surfaktan,
sedangkan PEG 400 berfungsi sebagai cosurfactan. Kedua jenis surfaktan
ini merupakan surfaktan non ionik. Menurut Riswaka (1994), tween 80 akan
mempengaruhi integritas membran sehingga potensi kloramfenikol
mencapai target aksi lebih besar dan efektivitasnya meningkat. Adanya
kombinasi Tween 80 dan PEG 400 akan meningkatkan kelarutan
kloramfenikol dalam suspensi karena menurut Depkes RI (1995), zat aktif
ini bersifat sukar larut di air. Langkah berikutnya dilarutkan Nipagin dengan
beberapa tetes aquadest dalam wadah terpisah, kemudian diaduk dengan
batang pengaduk sampai larut. Nipagin dimasukkan ke dalam campuran
suspensi di mortir, lalu diaduk sampai homogen. Menurut Depkes RI
(1979), Nipagin ditambahkan sebagai pengawet dalam sediaan suspensi.
Menurut Depkes RI (1979), Nipagin dilarutkan terlebih dahulu ke air karena
ia memiliki kelarutan yang sangat baik di dalam air. Langkah berikutnya
adalah ditambahkan syrupus simplex ke dalam mortir, kemudian diaduk
hingga homogen. Menurut Rowe (2006), syrupus simplex ditambahkan
sebagai pemanis dalam sediaan ini. Hal ini karena menurut Depkes RI
(1995), kloramfenikol memiliki rasa yang sangat pahit sehingga kurang
acceptable jika sediaan tidak diperbaiki rasanya dengan pemanis.
Selanjutnya ditambahkan beberapa tetes perasa jeruk ke dalam mortir,
kemudian diaduk hingga homogen. Menurut Sulaiman (2007), perasa jeruk
ditambahkan untuk membuat rasa suspensi lebih acceptable untuk pasien.
Selanjutnya ditambahkan aquadest sampai volume total suspensi menjadi
60 ml, kemudian diaduk hingga homogen dan tidak ada suspensi yang
menggumpal. Menurut Depkes RI (1995), aquadest dalam sediaan ini
berfungsi sebagai pelarut. Campuran suspensi dari mortir kemudian
dimasukkan ke dalam botol sediaan yang telah dikalibrasi. Mortir digojog
dengan beberapa tetes aquadest supaya tidak ada suspensi yang tersisa di
mortir. Jika volume suspensi belum mencapai batas kalibrasi, maka
ditambahkan aquadest sampai batas kalibrasi botol. Langkah terakhir
adalah botol sediaan ditutup rapat dan diberi etiket. Botol plastik digunakan
sebagai wadah suspensi karena bahan aktif obat tidak sensitif dengan sinar
matahari sehingga tidak perlu digunakan botol cokelat. Selain itu, endapan
yang terjadi pada suspensi akan lebih mudah diamati ketika botol
sediaannya berwarna terang dan cukup transparan. Sediaan obat ini akan
digunakan sebagai obat dalam sehingga etiket yang digunakan menurut
literatur Zaman (2003) berwarna putih. Dalam etiket disertakan kadar
kloramfenikol, tanggal kadaluarsa, dosis pemakaian obat, dan diberi
keterangan 'kocok dahulu'. Menurut Zaman (2003), pengocokan ini
bertujuan menjamin distribusi zat padat dalam suspensi supaya merata
sehingga dosis yang diberikan setiap kali obat digunakan akan tepat dan
seragam.
Evaluasi sediaan suspensi dilakukan untuk menjamin mutu dan
stabilitas dari suspensi. Pada praktikum ini terdapat 3 tahap uji evaluasi
yaitu uji organoleptik, uji pH, dan uji sedimentasi, dimana terdapat 5 macam
formula yang digunakan dalam evaluasi suspensi ini. Berikut ini adalah
beberapa uji yang telah dilakukan :
a. Uji Organoleptis
Uji organoleptis dilakukan dengan tujuan untuk mengamati
bau, warna, bentuk, dan rasa pada sediaan suspensi yang telah dibuat.
Langkah-langkah yang dilakukan pada uji organoleptis diantaranya
yaitu dilihat bentuk, bau, warna, dan rasa pada suspensi dengan panca
indera. Hal ini sesuai dengan literatur menurut Sana et al (2012), yang
menyatakan bahwa evaluasi organoleptis dilakukan dengan menilai
perubahan rasa, warna, bentuk, dan bau. Hasil yang didapatkan pada
formula I yaitu suspensi berbentuk cair, berwarna putih kekuningan,
dan berbau jeruk. Pada formula II didapatkan suspensi berbentuk cair,
berbau jeruk, dan berwarna putih kekuningan. Pada formula III
didapatkan suspensi yang berbentuk cair, sedikit berbau jeruk, dan
berwarna putih kekuningan. Pada formula IV didapatkan suspensi
yaitu berbentuk cair, sedikit berbau jeruk, dan berwarna putih
kekuningan. Pada formula V didapatkan suspense dengan bentuk cair,
sedikit berbau jeruk, dan berwarna putih kekuningan. Suspensi yang
berbentuk cair dari kelima formula telah sesuai dengan literatur
Joenoes (2001) yang menyatakan bahwa kekentalan suspensi tidak
boleh terlalu tinggi dan harus mudah digojog dan juga mudah dituang.
Secara organoleptis dihasilkan warna yang sama pada kelima formula
yaitu berwarna putih kekuningan, dimana hal ini dapat disebabkan
karena jenis zat aktif yang digunakan. Pada praktikum ini digunakan
zat aktif kloramfenikol yang berwarna putih kekuningan sehingga
suspensi yang dihasilkan memiliki warna yang sama yaitu putih
kekuningan. Hal tersebut sesuai dengan literatur dimana Menurut
Ditjen POM (2014), kloramfenikol berbentuk hablur halus berbentuk
jarum atau lempeng memanjang, dan berwarna putih hingga kelabu
atau putih kekuningan. Sedangkan untuk organoleptis rasa dihasilkan
suspensi yang memiliki rasa jeruk yang disebabkan oleh penambahan
syrupus simplex dan perasa jeruk pada sediaan suspensi dimana
penambahan syrupus simplex digunakan sebagai pemanis, sedangkan
perasa jeruk digunakan sebagai pemanis dan memberikan rasa jeruk
untuk memperbaiki penampilan dan rasa dari sediaan suspensi yang
dibuat. Hal ini sesuai dengan literatur yaitu menurut Ditjen POM
(1979), syrupus simplex memiliki rasa yang manis, tidak
berwarna,dan tidak berbau, sedangkan menurut Ditjen POM (1995),
perasa jeruk terbuat dari kulit jeruk yang masih segar, diproses secara
mekanik dan terkandung lebih dari 90% lemon, dan digunakan
sebagai zat perasa. Pada pengujian organoleptis dapat disimpulkan
bahwa suspensi yang dihasilkan sudah memenuhi syarat dan sesuai
dengan zat aktif dan zat tambahan yang digunakan pada sediaan
suspensi.
b. Uji pH
Uji pH merupakan pengujian pada suspensi yang dilakukan
untuk menentukan stabilitas sediaan pada pH tertentu. Menurut Ditjen
POM (1979) sediaan harus stabil dimana pH-nya harus stabil secara
kimia sediaan tidak mengalami interaksi antar komponennya yang
dapat berakibat pada degradasi dan perubahan bentuk dan warna
sediaan. Pada pengujian pH dilakukan dengan menggunakan alat pH
meter. Langkah – langkah yang dilakukan yaitu pertama, diklik
tombol on pada alat pH meter untuk menghidupkan alat, kemudian
dikocok suspensi agar partikel zat aktif dapat terdispersi secara
merata. Hal ini sesuai dengan literatur yaitu menurut Anief (1999),
Suspensi yang baik harus memiliki sifat-sifat dapat mengendap secara
lambat dan harus dapat didispersikan lagi dengan cara penggojokan
yang ringan. Sebelum digunakan pH meter disemprot dengan alkohol
untuk menghilangkan mikroba atau kontaminasi yang dapat
menganggu stabilitas sediaan suspensi. Setelah itu, dilap dengan tisu
kering untuk mengeringkan pH meter. Menurut Ditjen POM (1979),
alkohol digunakan untuk mensterilkan alat dari kontaminasi mikroba.
Kemudian dimasukkan pH meter ke dalam sediaan. Setelah itu,
ditekan read pada monitor dan ditunggu hingga muncul simbol akar
A. Apabila sudah muncul nilai pH-nya maka dicatat pH sediaan.
Setelah selesai digunakan dibersihkan alat pH meter dengan alkohol.
Lalu, dikeringkan dengan tisu dan ditutup kembali pH meter. Langkah
terakhir, dimatikan kembali alat dengan klik tombol off. Langkah –
langkah tersebut sesuai dengan literatur yaitu menurut Ditjen POM
(1979), yang menyatakan bahwa suspensi ditentukan dengan
menggunakan pH meter digital. Dikalibrasi alat, lalu elektroda pH
meter digital dicelupkan ke dalam suspensi, dan dibiarkan selama 30
detik. Lalu dicatat nilai pH yang muncul pada layar alat. Pada
praktikum ini, dilakukan pengujian pH pada 5 macam formula. Pada
formula I didapatkan hasil sebesar 7,31, formula II didapatkan nilai
pH sebesar 7,32, formula III didapatkan nilai pH sebesar 7,33, formula
IV didapatkan nilai pH sebesar 7,18, dan pada formula V didapatkan
nilai pH sebesar 7,26. Hasil yang didapatkan telah memenuhi syarat
yaitu didapatkan pH yang stabil, di mana menurut Sweetman, S
(2011), pH suspensi kloramfenikol yang stabil yaitu diantara 4,5 – 7,5.
Hal ini dapat diketahui bahwa kloramfenikol memiliki sifat stabil
secara kimia pada suasana asam dan dapat memberikan efek terapi
yang diinginkan karena dapat diabsorpsi dengan baik di lambung.
Apabila terjadi ketidaksesuaian pH hal itu diakibatkan karena tidak
adanya larutan dapar karena menurut Ansel (1989) penggunaan dapar
menstabilkan pH yang tidak stabil. Sehingga semua formula yang
telah dibuat memenuhi penerimaan pH sediaan kloramfenikol.
Formula terbaik yaitu pada formula IV dengan nilai pH 7,18 dimana
nilai tersebut paling mendekati dari syarat penerimaan pH sediaan
kloramfenikol. Dengan nilai pH tersebut sediaan kloramfenikol akan
aman apabila masuk ke dalam tubuh.
c. Uji Sedimentasi
Pengujian volume sedimentasi pada sediaan suspensi dilakukan
untuk mengamati tercapainya rasio pengendapan (F) yang terjadi
selama waktu penyimpanan tertentu. Hal ini sesuai dengan literatur
yaitu menurut Shae, et al (2014), tujuan dilakukan uji volume
sedimentasi untuk mengetahui rasio pengendapan yang terjadi selama
penyimpanan dalam waktu tertentu. Pengujian ini dilakukan pada lima
formula, masing-masing formula diukur volume sedimentasinya
setiap 15 menit, 30 menit,1 jam, dan 24 jam. Langkah – langkah
pengujian volume sedimentasi diantaranya yaitu pertama diletakkan
milimeter block di belakang tabung reaksi, kemudian dikocok sediaan
suspensi agar partikel zat aktif dapat terdispersi secara merata.
Menurut Anief (1999), Suspensi yang baik harus memiliki sifat-sifat
diantaranya: mengendap secara lambat dan harus dapat didispersikan
lagi dengan cara penggojokan yang ringan. Setelah itu, diambil 10 mL
suspensi dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian
diberikan tanda pada gelas beaker untuk menandai tinggi volume awal
suspensi. Lalu, diamati dalam rentang waktu 15 menit , 30 menit, 60
menit, dan 24 jam. Pada setiap rentang waktu tersebut diberikan tanda
pada gelas beaker untuk memberikan tanda tinggi volume suspensi.
Selang waktu tersebut digunakan untuk mengetahui seberapa besar
perubahan volume pada rentang waktu yang telah ditentukan terhadap
volume awal suspensi. Hal ini sesuai dengan literatur menurut Shah,
et al (2014), yang menyatakan bahwa suspensi dimasukkan ke dalam
gelas ukur bervolume 10 ml. Kemudian dibiarkan tersimpan tanpa
gangguan dan dicatat volume awal (Vo). Disimpan dan didiamkan
kemudian akan didapatkan volume akhir suspensi. Menurut Anief
(1994), parameter pengendapan dari suatu suspensi dapat ditentukan
dengan mengukur volume sedimentasi (F) yaitu perbandingan
volume akhir endapan (Vu) dengan Volume awal sebelum terjadi
pengendapan (Vo).
Hasil uji sedimentasi yang didapatkan pada setiap formula
berbeda, diamana pada formula I dengan waktu 15 menit didapatkan
volume sedimentasi sebesar 0,04, pada waktu 30 menit didapatkan
volume sedimentasi sebesar 0,067, pada waktu 1 jam didapatkan
volume sedimentasi sebesar 0,081 , dan pada waktu 24 jam didapatkan
volume sedimentasi sebesar 0,094. Pada formula II dengan waktu 15
menit didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,05, pada waktu 30
menit didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,087, pada waktu 1
jam didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,087 , dan pada waktu
24 jam didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,125. Pada formula
III dengan waktu 15 menit didapatkan volume sedimentasi sebesar
0,056, pada waktu 30 menit didapatkan volume sedimentasi sebesar
0,084, pada waktu 1 jam didapatkan volume sedimentasi sebesar
0,098 , dan pada waktu 24 jam didapatkan volume sedimentasi sebesar
0,0112. Pada formula IV dengan waktu 15 menit didapatkan volume
sedimentasi sebesar 0,089, pada waktu 30 menit didapatkan volume
sedimentasi sebesar 0,102, pada waktu 1 jam didapatkan volume
sedimentasi sebesar 0,115 , dan pada waktu 24 jam didapatkan volume
sedimentasi sebesar 0,128. Pada formula V dengan waktu 15 menit
didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,0375, pada waktu 30 menit
didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,05, pada waktu 1 jam
didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,0625 , dan pada waktu 24
jam didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,0625.
Pengujian volume sedimentasi dari kelima formula tersebut
selama waktu pengujian 24 jam telah memenuhi syarat karena hasil
yang didapatkan mendekati 1, dimana hasil tersebut telah sesuai
dengan literatur yaitu menurut Popa & Gicha (2011), yang
mengatakan bahwa pengujian volume sedimentasi suspensi yang baik
memiliki harga < 1 atau > 1. Namun, dari kelima formula tersebut
dapat diketahui bahwa suspensi dengan volume sedimentasi yang baik
selama waktu 24 jam yaitu pada formula IV karena didapatkan hasil
sebesar 0,128, dimana angka tersebut merupakan angka yang paling
mendekati angka 1 diantara formula yang lain.
Dari hasil diskusi saat praktikum pembuatan sediaan suspensi,
dapat diketahui bahwa jenis suspensi yang digunakan dalam
praktikum ini adalah sediaan suspensi deflokulasi. Deflokulasi adalah
keadaan dimana suatu suspensi tidak mudah mengalami pengendapan
selama penyimpanan dalam waktu tertentu. Oleh karena itu,
digunakan CMC Na yang berfungsi sebagai suspending agent yang
dapat menghambat sedimentasi dengan cara mengentalkan bahan
pembawa dan menurunkan tegangan permukaan antar partikel dengan
pembawa supaya partikel tidak cepat mengendap. Selain itu, dibahas
pula mengenai perbedaan cara kerja pada pembuatan suspensi
terflokulasi dan terdeflokulasi. Berdasar hasil pembahasan, tidak
terdapat perbedaan antara kedua jenis suspensi ini. Suatu sistem
suspensi dikatakan flokulasi atau deflokulasi itu bergantung pada jenis
partikel di dalamnya. Partikel yang sifatnya terbuka (apabila
membentuk endapan masih terdapat rongga-rongga yang
memungkinkan endapan dapat terflokulasi kembali) akan membentuk
suatu suspensi dengan sistem flokulasi. Akan tetapi, untuk partikel
dengan sifat yang tertutup (sekalinya membentuk endapan maka
ikatan antar partikelnya terikat dengan kuat dan sulit untuk
didispersikan kembali) akan membentuk suatu suspensi dengan sistem
deflokulasi. Dalam diskusi ini dibahas pula mengenai faktor yang
mempengaruhi terjadinya partikel terflokulasi. Hal ini disebabkan
oleh interaksi antar partikel dan ukuran dari partikel. Jika ukuran
partikel terlalu kecil, maka akan terbentuk ikatan antar partikel yang
erat sehingga menyebabkan koagulasi dan akan rentan terjadi caking
seperti pada sistem deflokulasi. Sedangkan pada sistem flokulasi,
terjadi penolakan antar partikel sehingga tidak mudah terjadi
koagulasi dan partikel tetap terdispersi.
Dari hasil diskusi saat praktikum evaluasi suspensi, dapat
diketahui bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan hasil pH
sediaan suspensi tidak baik. Hal tersebut adalah perbedaan sifat pH
dari zat aktif dan eksipien yang digunakan terlalu jauh; terdapat
cemaran dalam obat yang bersifat terlalu asam atau basa; adanya
mikroorganisme dalam sediaan; dan alat praktikum kurang bersih
sehingga bahan yang tersisa akan mempengaruhi pH sediaan.
Selanjutnya terdapat pula diskusi tentang alasan angka yang muncul
pada display ketika alat pH meter dinyalakan adalah 7. Hal ini
disebabkan karena pada ujung alat terdapat elektrolit yang biasanya
berupa garam KCl (terbuat dari KOH dan HCl). Ketika keduanya
direaksikan, maka akan dihasilkan garam KOH yang sifatnya netral
(pH 7). Dengan demikian, ketika alat pH meter dinyalakan, maka akan
menunjukkan angka 7. Angka 7 pada pH meter ini dikatakan sebagai
titik asimetri atau titik 0 kalibrasi pH meter. Dalam diskusi dibahas
pula mengenai jenis evaluasi suspensi lain yang tidak ada di buku PP,
yaitu :
a. Bobot jenis = dilakukan pengukuran massa jenis suspensi dengan
piknometer
b. Redispersi = Dilakukan setelah uji sedimentasi dilakukan dengan
cara membalik tabung reaksi berisi suspensi 180 derajat
c. Viskositas = dilakukan pengujian dengan alat viskometer stormer
dan dicari regresi linearnya untuk mendapatkan nilai viskositas
d. Distribusi ukuran partikel = dilakukan dengan meneteskan sedikit
suspensi di kaca objek, lalu praktikan melihat distribusi ukuran
partikel suspensi dengan mikroskop

VI. KESIMPULAN
Suspensi adalah sediaan yang mengandung bahan obat padat dalam
bentuk halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa. Suspensi
kloramfenikol dibuat dengan sistem deflokulasi. Formulasi suspensi 4
memiliki hasil akhir yang stabil dan memenuhi syarat penerimaan dalam
bentuk konsistensi, secara evaluasi uji organoleptik, sedimentasi, serta pH.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 1994. Farmasetika. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press


Anief, M. 1999. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Anief, M. 2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Press
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi V. Jakarta : Departemen Kesehatan
RI
Ditjen POM.2014. Farmakope Indonesia. Edisi VI. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI
Elianawati, Sylvia, et al. 2016. Teknik Pembuatan Sediaan Obat. Bogor : APMFI
Press
Joenoes, N.Z. 1990. Ars Prescribendi (Resep Yang Rasional). Surabaya : Airlangga
University Press
Murtini, Gloria. 2016. Farmasetika Dasar. Jakarta : Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Musfiroh, I, Hasanah, A., dan Budiman, I. 2013. The Optimization of Sodium
Carboxymethyl Cellulose (Na-CMC) Synthesized from Water Hyacinth
(Eichhornia crassipes). RJPBCS 4 (2) : 1092- 1099.
Popa, L., dan Ghica, M. 2011. Ibuprofen Pediatric Suspension Design and
Optimized by Response Surface. Journal of Physical and Colloidal
Chemistry 59 (4) : 500-506
Pujiharti, R., Metta, D., dan Nengah, D. 2015. Pengaruh Perbedaan Pembuatan
dengan Metode Dispersi dan Presipitasi pada Karakteristik Fisik dan Rasio
Kekeruhan Suspensi Kloramfenikol. Jurnal Farmasetis 4 (1) : 1-6
Riswaka, S. 1994. Analisis Peningkatan Ketersediaan Hayati Dispersi Padar
Sulfamerazin dan Sulfametoksazol dalam Campuran Polietilen Glikol (PEG)
400 – Tween 80 (1:1). Mon Mata 15 : 2-9
Rowe, Raymond C., Sheskey P. J., dan Quinn M. E. 2006. Handbook of
Pharmaceutical Excipients. London : Pharmaceutical Press.
Rowe, Raymond C., Sheskey P. J., dan Quinn M. E. 2009. Handbook of
Pharmaceutical Excipients. Ed 6. London : Pharmaceutical Press.
Sana, S., Rajani, A., Sumedha, N., dan Mahesh, B. 2012. Formulation and
evaluation of taste masked oral suspension of Dextromethorphan
hydrobromide. International Journal of Drug Development and Research 4
(2) : 159-172
Shah, K., Shrivastava S. K., dan Mishra, P. 2014. Formulation and Evaluation of
Supension: Mefenamic Acid Prodrugs. Journal of Pharmacy and Sciences 27
(4) : 917-923
Sinala, Santi. 2016. Farmasi Fisik. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia
Suena, N. 2015. Evaluasi Fisik Sediaan Suspensi dengan Kombinasi Suspending
Agent PGA (Pulvis Gummi Arabici) dan CMC-Na (Carboxymethylcellulose
Natrium). Medicamento 1(1) : 34-39
Sulaiman, T. 2007. Teknologi & Formulasi Sediaan Tablet. Yogyakarta : UGM
Press
Sudjadi, Abdul R. 2008. Analisis Kuantitatif Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Sweetman, S., et al. 2009. Martindale 36th. London : The Pharmaceutical Press
Syamsuni H.A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta : EGC
Wahyuni, Rina, Syofyan, dan Septa, Y. 2017. Formulasi Dan Evaluasi Stabilitas
Fisik Suspensi Ibuprofen Menggunakan Kombinasi Polimer Serbuk Gom
Arab Dan Natrium Karboksimetilselulosa. Jurnal Farmasi Higea 9 (1) : 56-
67
Wirasti, Farahdina, U., dan Slamet. 2020. Karakterisasi Sediaan Suspensi
Nanopartikel Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia amygdalina Del.).
Cendekia Journal of Pharmacy 4 (2) : 138-148
Zaman, Nanizar. 2003. Resep yang Rasional. Surabaya : Universitas Airlangga
Press
LAMPIRAN

Rumus Perhitungan Volume Sedimentasi :

1. Formula I
a. Volume sedimentasi menit ke-15
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.3 𝑐𝑚
=
7.4 𝑐𝑚
= 0,0405405405405405 ≈ 0,04
b. Volume sedimentasi menit ke-30
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.5 𝑐𝑚
=
7.4 𝑐𝑚
= 0,0675675675675676≈ 0,067
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.6 𝑐𝑚
=
7.4 𝑐𝑚
= 0,0810810810810811 ≈ 0,081
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.7 𝑐𝑚
=
7.4 𝑐𝑚
= 0,0945945945945946 ≈ 0,094
2. Formula II
a. Volume sedimentasi menit ke-15
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.4 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,05
b. Volume sedimentasi menit ke- 30
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.7 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,0875≈ 0,087
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.7 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,0875≈ 0,087
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
1 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,125

3. Formula III
a. Volume sedimentasi menit ke-15
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.4 𝑐𝑚
=
7.1 𝑐𝑚
= 0,0563380281690141≈ 0,056
b. Volume sedimentasi menit ke -30
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.6 𝑐𝑚
=
7.1 𝑐𝑚
= 0,0845070422535211 ≈ 0,084
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.7 𝑐𝑚
=
7.1 𝑐𝑚
= 0,0985915492957746 ≈ 0,098
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.8 𝑐𝑚
=
7.1 𝑐𝑚
= 0,1126760563380282 ≈ 0,112z

4. Formula IV
a. Volume sedimentasi menit ke-15
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.7 𝑐𝑚
=
7.8 𝑐𝑚
= 0,0897435 ≈ 0,089
b. Volume sedimentasi menit ke-30
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.8 𝑐𝑚
=
7.8 𝑐𝑚
= 0,1025641 ≈ 0,102
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.9 𝑐𝑚
=
7.8 𝑐𝑚
= 0,1153846 ≈ 0,115
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
1 𝑐𝑚
=
7.8 𝑐𝑚
= 0,128205 ≈ 0,128

5. Formula V
a. Volume sedimentasi menit ke-15
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.3 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,0375
b. Volume sedimentasi menit ke-30
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.4 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,05
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.5 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,0625
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.5 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,0625

Anda mungkin juga menyukai