TEKNOLOGI CAIR-SEMIPADAT
JUDUL :
PEMBUATAN DAN EVALUASI SEDIAAN SUSPENSI
Disusun Oleh:
Tanggal Percobaan : 1 & 8 Maret 2021
Kelompok/Kelas : 2/B
Disusun Oleh :
1. Angelica Febriana NIM 22010319130052
2. Lisa Nur Afifah NIM 22010319130065
3. Hega ‘Aisyah Mahardika NIM 22010319140059
4. Sekar Arum Ayu Firsanti NIM 22010319140062
5. Rizky Tsinta Putri S. NIM 22010319140071
I. TUJUAN
Mahasiswa diharapkan dapat membuat dan mengevaluasi sediaan
suspensi untuk penggunaan obat dalam sesuai formula.
Keterangan :
V = kecepatan sedimentasi
d = diameter partikel
g = kecepatan gravitasi
ρ1= kerapatan fase dispers
ρ2 = kerapatan medium dispers
η = viskositas
3) Jumlah Partikel (Konsentrasi)
Apabila didalam suatu ruangan berisi partikel dalam jumlah
besar, maka partikel tersebut akan susah melakukan gerakkan yang
bebas karena sering terjadi benturan antara partikel tersebut.
Benturan itu akan menyebabkan terbentuknya endapan dari zat
tersebut, oleh karena itu makin besar konsentrasi partikel, semakin
besar terjadinya endapan partikel dalam waktu yang singkat
(Syamsuni, 2006).
4) Sifat atau muatan partikel
Dalam suatu suspensi kemungkinan besar terdiri dari beberapa
macam campuran bahan yang sifatnya tidak selalu sama. Dengan
demikian ada kemungkinan terjadi interaksi antar bahan tersebut
yang menghasilkan bahan yang sukar larut dalam cairan tersebut.
Karena sifat bahan tersebut sudah mempengaruhi sifat alam. Maka
kita tidak dapat mempengaruhinya (Syamsuni, 2006).
Hasil
Sediaan Suspensi
Hasil
b. Uji Sedimentasi
Sediaan Suspensi
Tabung reaksi
Hasil
c. Uji pH
Sediaan Suspensi
pH meter
Hasil
IV. DATA PENGAMATAN
4.1 Formula I
No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau : jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,31
3. Uji Sedimentasi Vo : 7,4 cm (larutan atas agak
jernih)
15 menit : 0.3 cm
30 menit : 0,5 cm
1 jam : 0,6 cm
24 jam : 0,7 cm
4.2 Formula II
No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau : jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,32
3. Uji Sedimentasi Vo : 8 cm (larutan atas agak keruh)
15 menit : 0.4 cm
30 menit : 0,7 cm
1 jam : 0,7 cm
24 jam : 1 cm
4.4 Formula IV
No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau : sedikit berbau jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,18
3. Uji Sedimentasi Vo : 7,8 cm (larutan atas agak
jernih)
15 menit : 0.7 cm
30 menit : 0,8 cm
1 jam : 0,9 cm
24 jam : 1 cm
4.5 Formula V
No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau : sedikit berbau jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,26
3. Uji Sedimentasi Vo : 8 cm (larutan atas keruh)
15 menit : 0.3 cm
30 menit : 0,4 cm
1 jam : 0,5 cm
24 jam : 0,5 cm
V. PEMBAHASAN
Praktikum “Pembuatan dan Evaluasi Suspensi” dilaksanakan
dengan tujuan mahasiswa dapat membuat dan mengevaluasi sediaan
suspensi untuk penggunaan obat dalam sesuai dengan formula. Praktikum
ini dilaksanakan secara daring melalui platform Microsoft Teams pada hari
Senin, 1 dan 8 Maret 2021 pada pukul 13.00-15.00 WIB.
Sediaan suspensi dipilih untuk formula obat ini karena
kloramfenikol lebih stabil dalam wujud suspensi dari pada dalam bentuk
sediaan larutan. Menurut Ansel (1989), sediaan suspensi akan lebih efisien
dalam mengurangi penguraian zat aktif yang tidak stabil dalam air jika
dibandingkan dengan sediaan cair lainnya. Selain itu, bentuk sediaan
suspensi akan lebih menguntungkan bagi pasien karena sediaan ini mudah
dikonsumsi oleh anak-anak dan pasien yang kesulitan menelan obat padat.
Obat dalam sediaan suspensi juga akan lebih cepat diabsorbsi oleh tubuh
dan dapat mengurangi penguraian zat aktif yang tidak stabil dalam air.
Langkah kerja pembuatan suspensi adalah melakukan perhitungan
formula dan menimbang bahan yang akan digunakan. Selain itu, botol
plastik yang akan menjadi tempat menyimpan suspensi juga harus
dikalibrasi dan ditimbang. Caranya adalah 60 ml air dimasukkan ke dalam
botol, lalu beri tanda batas volume 60 ml air di botol plastik dengan
menempelkan label. Setelah selesai melakukan kalibrasi, air di dalam botol
dibuang lalu botol dikeringkan agar botol steril saat digunakan sebagai
wadah menyimpan sediaan obat. Metode yang digunakan dalam pembuatan
suspensi ini adalah metode dispersi cara basah. Menurut Zaman (2003),
terdapat 3 jenis cara membuat suspensi, yaitu cara dispersi basah, dispersi
kering, dan presipitasi. Dalam praktikum ini digunakan cara basah. Metode
dispersi dilakukan dengan cara menambahkan serbuk bahan obat ke dalam
musilago yang telah terbentuk. Metode dispersi cara basah merupakan
metode yang sering digunakan. Menurut literatur Zaman (2003), prinsip
metode ini adalah musilago dibuat dari suspending agent terlebih dahulu,
lalu bahan obat yang tidak larut digerus dan ditambah pelarut sampai basah,
kemudian musilago ditambahkan sedikit demi sedikit, lalu ditambahkan zat
lain. Langkah setelah selesai dilakukan penimbangan dan kalibrasi botol,
kemudian dimasukkan CMC Na dan beberapa tetes aquadest panas ke
dalam mortir, lalu diaduk sampai homogen. Menurut Rowe (2009), CMC
mudah larut dalam air panas dan air dingin. Menurut Suena (2015), CMC
Na berfungsi sebagai bahan pengental yang akan membentuk sistem dispersi
koloid dan meningkatkan viskositas suspensi. Ketika CMC Na terdispersi
dalam air, butir-butir CMC Na yang bersifat hidrofilik akan menyerap air
dan terjadi pembengkakan. Menurut Musfiroh (2013), mekanisme
pengentalan CMC Na mengikuti bentuk konformasi extended atau streched
ribbon. CMC Na akan memberikan kestabilan pada produk dengan
memerangkap air dan membentuk jembatan hidrogen dengan molekul CMC
Na yang lain sehingga proses pengendapan suspensi akan diperlambat
karena pengaruh gaya gravitasi. Langkah berikutnya ditambahkan
kloramfenikol, kemudian diaduk hingga homogen. Menurut Depkes RI
(1995), kloramfenikol merupakan zat aktif dalam sediaan suspensi ini yang
berkhasiat sebagai bakteriostatik spektrum luas dan biasanya digunakan
untuk mengobati infeksi serius yang mengancam jiwa, misalnya demam
tifoid. Selanjutnya ditambahkan tween 80 dan PEG 400 ke mortir,
kemudian diaduk hingga homogen. Menurut Depkes RI (1979), Tween 80
dalam formulasi ini berfungsi sebagai wetting agent dan surfaktan,
sedangkan PEG 400 berfungsi sebagai cosurfactan. Kedua jenis surfaktan
ini merupakan surfaktan non ionik. Menurut Riswaka (1994), tween 80 akan
mempengaruhi integritas membran sehingga potensi kloramfenikol
mencapai target aksi lebih besar dan efektivitasnya meningkat. Adanya
kombinasi Tween 80 dan PEG 400 akan meningkatkan kelarutan
kloramfenikol dalam suspensi karena menurut Depkes RI (1995), zat aktif
ini bersifat sukar larut di air. Langkah berikutnya dilarutkan Nipagin dengan
beberapa tetes aquadest dalam wadah terpisah, kemudian diaduk dengan
batang pengaduk sampai larut. Nipagin dimasukkan ke dalam campuran
suspensi di mortir, lalu diaduk sampai homogen. Menurut Depkes RI
(1979), Nipagin ditambahkan sebagai pengawet dalam sediaan suspensi.
Menurut Depkes RI (1979), Nipagin dilarutkan terlebih dahulu ke air karena
ia memiliki kelarutan yang sangat baik di dalam air. Langkah berikutnya
adalah ditambahkan syrupus simplex ke dalam mortir, kemudian diaduk
hingga homogen. Menurut Rowe (2006), syrupus simplex ditambahkan
sebagai pemanis dalam sediaan ini. Hal ini karena menurut Depkes RI
(1995), kloramfenikol memiliki rasa yang sangat pahit sehingga kurang
acceptable jika sediaan tidak diperbaiki rasanya dengan pemanis.
Selanjutnya ditambahkan beberapa tetes perasa jeruk ke dalam mortir,
kemudian diaduk hingga homogen. Menurut Sulaiman (2007), perasa jeruk
ditambahkan untuk membuat rasa suspensi lebih acceptable untuk pasien.
Selanjutnya ditambahkan aquadest sampai volume total suspensi menjadi
60 ml, kemudian diaduk hingga homogen dan tidak ada suspensi yang
menggumpal. Menurut Depkes RI (1995), aquadest dalam sediaan ini
berfungsi sebagai pelarut. Campuran suspensi dari mortir kemudian
dimasukkan ke dalam botol sediaan yang telah dikalibrasi. Mortir digojog
dengan beberapa tetes aquadest supaya tidak ada suspensi yang tersisa di
mortir. Jika volume suspensi belum mencapai batas kalibrasi, maka
ditambahkan aquadest sampai batas kalibrasi botol. Langkah terakhir
adalah botol sediaan ditutup rapat dan diberi etiket. Botol plastik digunakan
sebagai wadah suspensi karena bahan aktif obat tidak sensitif dengan sinar
matahari sehingga tidak perlu digunakan botol cokelat. Selain itu, endapan
yang terjadi pada suspensi akan lebih mudah diamati ketika botol
sediaannya berwarna terang dan cukup transparan. Sediaan obat ini akan
digunakan sebagai obat dalam sehingga etiket yang digunakan menurut
literatur Zaman (2003) berwarna putih. Dalam etiket disertakan kadar
kloramfenikol, tanggal kadaluarsa, dosis pemakaian obat, dan diberi
keterangan 'kocok dahulu'. Menurut Zaman (2003), pengocokan ini
bertujuan menjamin distribusi zat padat dalam suspensi supaya merata
sehingga dosis yang diberikan setiap kali obat digunakan akan tepat dan
seragam.
Evaluasi sediaan suspensi dilakukan untuk menjamin mutu dan
stabilitas dari suspensi. Pada praktikum ini terdapat 3 tahap uji evaluasi
yaitu uji organoleptik, uji pH, dan uji sedimentasi, dimana terdapat 5 macam
formula yang digunakan dalam evaluasi suspensi ini. Berikut ini adalah
beberapa uji yang telah dilakukan :
a. Uji Organoleptis
Uji organoleptis dilakukan dengan tujuan untuk mengamati
bau, warna, bentuk, dan rasa pada sediaan suspensi yang telah dibuat.
Langkah-langkah yang dilakukan pada uji organoleptis diantaranya
yaitu dilihat bentuk, bau, warna, dan rasa pada suspensi dengan panca
indera. Hal ini sesuai dengan literatur menurut Sana et al (2012), yang
menyatakan bahwa evaluasi organoleptis dilakukan dengan menilai
perubahan rasa, warna, bentuk, dan bau. Hasil yang didapatkan pada
formula I yaitu suspensi berbentuk cair, berwarna putih kekuningan,
dan berbau jeruk. Pada formula II didapatkan suspensi berbentuk cair,
berbau jeruk, dan berwarna putih kekuningan. Pada formula III
didapatkan suspensi yang berbentuk cair, sedikit berbau jeruk, dan
berwarna putih kekuningan. Pada formula IV didapatkan suspensi
yaitu berbentuk cair, sedikit berbau jeruk, dan berwarna putih
kekuningan. Pada formula V didapatkan suspense dengan bentuk cair,
sedikit berbau jeruk, dan berwarna putih kekuningan. Suspensi yang
berbentuk cair dari kelima formula telah sesuai dengan literatur
Joenoes (2001) yang menyatakan bahwa kekentalan suspensi tidak
boleh terlalu tinggi dan harus mudah digojog dan juga mudah dituang.
Secara organoleptis dihasilkan warna yang sama pada kelima formula
yaitu berwarna putih kekuningan, dimana hal ini dapat disebabkan
karena jenis zat aktif yang digunakan. Pada praktikum ini digunakan
zat aktif kloramfenikol yang berwarna putih kekuningan sehingga
suspensi yang dihasilkan memiliki warna yang sama yaitu putih
kekuningan. Hal tersebut sesuai dengan literatur dimana Menurut
Ditjen POM (2014), kloramfenikol berbentuk hablur halus berbentuk
jarum atau lempeng memanjang, dan berwarna putih hingga kelabu
atau putih kekuningan. Sedangkan untuk organoleptis rasa dihasilkan
suspensi yang memiliki rasa jeruk yang disebabkan oleh penambahan
syrupus simplex dan perasa jeruk pada sediaan suspensi dimana
penambahan syrupus simplex digunakan sebagai pemanis, sedangkan
perasa jeruk digunakan sebagai pemanis dan memberikan rasa jeruk
untuk memperbaiki penampilan dan rasa dari sediaan suspensi yang
dibuat. Hal ini sesuai dengan literatur yaitu menurut Ditjen POM
(1979), syrupus simplex memiliki rasa yang manis, tidak
berwarna,dan tidak berbau, sedangkan menurut Ditjen POM (1995),
perasa jeruk terbuat dari kulit jeruk yang masih segar, diproses secara
mekanik dan terkandung lebih dari 90% lemon, dan digunakan
sebagai zat perasa. Pada pengujian organoleptis dapat disimpulkan
bahwa suspensi yang dihasilkan sudah memenuhi syarat dan sesuai
dengan zat aktif dan zat tambahan yang digunakan pada sediaan
suspensi.
b. Uji pH
Uji pH merupakan pengujian pada suspensi yang dilakukan
untuk menentukan stabilitas sediaan pada pH tertentu. Menurut Ditjen
POM (1979) sediaan harus stabil dimana pH-nya harus stabil secara
kimia sediaan tidak mengalami interaksi antar komponennya yang
dapat berakibat pada degradasi dan perubahan bentuk dan warna
sediaan. Pada pengujian pH dilakukan dengan menggunakan alat pH
meter. Langkah – langkah yang dilakukan yaitu pertama, diklik
tombol on pada alat pH meter untuk menghidupkan alat, kemudian
dikocok suspensi agar partikel zat aktif dapat terdispersi secara
merata. Hal ini sesuai dengan literatur yaitu menurut Anief (1999),
Suspensi yang baik harus memiliki sifat-sifat dapat mengendap secara
lambat dan harus dapat didispersikan lagi dengan cara penggojokan
yang ringan. Sebelum digunakan pH meter disemprot dengan alkohol
untuk menghilangkan mikroba atau kontaminasi yang dapat
menganggu stabilitas sediaan suspensi. Setelah itu, dilap dengan tisu
kering untuk mengeringkan pH meter. Menurut Ditjen POM (1979),
alkohol digunakan untuk mensterilkan alat dari kontaminasi mikroba.
Kemudian dimasukkan pH meter ke dalam sediaan. Setelah itu,
ditekan read pada monitor dan ditunggu hingga muncul simbol akar
A. Apabila sudah muncul nilai pH-nya maka dicatat pH sediaan.
Setelah selesai digunakan dibersihkan alat pH meter dengan alkohol.
Lalu, dikeringkan dengan tisu dan ditutup kembali pH meter. Langkah
terakhir, dimatikan kembali alat dengan klik tombol off. Langkah –
langkah tersebut sesuai dengan literatur yaitu menurut Ditjen POM
(1979), yang menyatakan bahwa suspensi ditentukan dengan
menggunakan pH meter digital. Dikalibrasi alat, lalu elektroda pH
meter digital dicelupkan ke dalam suspensi, dan dibiarkan selama 30
detik. Lalu dicatat nilai pH yang muncul pada layar alat. Pada
praktikum ini, dilakukan pengujian pH pada 5 macam formula. Pada
formula I didapatkan hasil sebesar 7,31, formula II didapatkan nilai
pH sebesar 7,32, formula III didapatkan nilai pH sebesar 7,33, formula
IV didapatkan nilai pH sebesar 7,18, dan pada formula V didapatkan
nilai pH sebesar 7,26. Hasil yang didapatkan telah memenuhi syarat
yaitu didapatkan pH yang stabil, di mana menurut Sweetman, S
(2011), pH suspensi kloramfenikol yang stabil yaitu diantara 4,5 – 7,5.
Hal ini dapat diketahui bahwa kloramfenikol memiliki sifat stabil
secara kimia pada suasana asam dan dapat memberikan efek terapi
yang diinginkan karena dapat diabsorpsi dengan baik di lambung.
Apabila terjadi ketidaksesuaian pH hal itu diakibatkan karena tidak
adanya larutan dapar karena menurut Ansel (1989) penggunaan dapar
menstabilkan pH yang tidak stabil. Sehingga semua formula yang
telah dibuat memenuhi penerimaan pH sediaan kloramfenikol.
Formula terbaik yaitu pada formula IV dengan nilai pH 7,18 dimana
nilai tersebut paling mendekati dari syarat penerimaan pH sediaan
kloramfenikol. Dengan nilai pH tersebut sediaan kloramfenikol akan
aman apabila masuk ke dalam tubuh.
c. Uji Sedimentasi
Pengujian volume sedimentasi pada sediaan suspensi dilakukan
untuk mengamati tercapainya rasio pengendapan (F) yang terjadi
selama waktu penyimpanan tertentu. Hal ini sesuai dengan literatur
yaitu menurut Shae, et al (2014), tujuan dilakukan uji volume
sedimentasi untuk mengetahui rasio pengendapan yang terjadi selama
penyimpanan dalam waktu tertentu. Pengujian ini dilakukan pada lima
formula, masing-masing formula diukur volume sedimentasinya
setiap 15 menit, 30 menit,1 jam, dan 24 jam. Langkah – langkah
pengujian volume sedimentasi diantaranya yaitu pertama diletakkan
milimeter block di belakang tabung reaksi, kemudian dikocok sediaan
suspensi agar partikel zat aktif dapat terdispersi secara merata.
Menurut Anief (1999), Suspensi yang baik harus memiliki sifat-sifat
diantaranya: mengendap secara lambat dan harus dapat didispersikan
lagi dengan cara penggojokan yang ringan. Setelah itu, diambil 10 mL
suspensi dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian
diberikan tanda pada gelas beaker untuk menandai tinggi volume awal
suspensi. Lalu, diamati dalam rentang waktu 15 menit , 30 menit, 60
menit, dan 24 jam. Pada setiap rentang waktu tersebut diberikan tanda
pada gelas beaker untuk memberikan tanda tinggi volume suspensi.
Selang waktu tersebut digunakan untuk mengetahui seberapa besar
perubahan volume pada rentang waktu yang telah ditentukan terhadap
volume awal suspensi. Hal ini sesuai dengan literatur menurut Shah,
et al (2014), yang menyatakan bahwa suspensi dimasukkan ke dalam
gelas ukur bervolume 10 ml. Kemudian dibiarkan tersimpan tanpa
gangguan dan dicatat volume awal (Vo). Disimpan dan didiamkan
kemudian akan didapatkan volume akhir suspensi. Menurut Anief
(1994), parameter pengendapan dari suatu suspensi dapat ditentukan
dengan mengukur volume sedimentasi (F) yaitu perbandingan
volume akhir endapan (Vu) dengan Volume awal sebelum terjadi
pengendapan (Vo).
Hasil uji sedimentasi yang didapatkan pada setiap formula
berbeda, diamana pada formula I dengan waktu 15 menit didapatkan
volume sedimentasi sebesar 0,04, pada waktu 30 menit didapatkan
volume sedimentasi sebesar 0,067, pada waktu 1 jam didapatkan
volume sedimentasi sebesar 0,081 , dan pada waktu 24 jam didapatkan
volume sedimentasi sebesar 0,094. Pada formula II dengan waktu 15
menit didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,05, pada waktu 30
menit didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,087, pada waktu 1
jam didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,087 , dan pada waktu
24 jam didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,125. Pada formula
III dengan waktu 15 menit didapatkan volume sedimentasi sebesar
0,056, pada waktu 30 menit didapatkan volume sedimentasi sebesar
0,084, pada waktu 1 jam didapatkan volume sedimentasi sebesar
0,098 , dan pada waktu 24 jam didapatkan volume sedimentasi sebesar
0,0112. Pada formula IV dengan waktu 15 menit didapatkan volume
sedimentasi sebesar 0,089, pada waktu 30 menit didapatkan volume
sedimentasi sebesar 0,102, pada waktu 1 jam didapatkan volume
sedimentasi sebesar 0,115 , dan pada waktu 24 jam didapatkan volume
sedimentasi sebesar 0,128. Pada formula V dengan waktu 15 menit
didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,0375, pada waktu 30 menit
didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,05, pada waktu 1 jam
didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,0625 , dan pada waktu 24
jam didapatkan volume sedimentasi sebesar 0,0625.
Pengujian volume sedimentasi dari kelima formula tersebut
selama waktu pengujian 24 jam telah memenuhi syarat karena hasil
yang didapatkan mendekati 1, dimana hasil tersebut telah sesuai
dengan literatur yaitu menurut Popa & Gicha (2011), yang
mengatakan bahwa pengujian volume sedimentasi suspensi yang baik
memiliki harga < 1 atau > 1. Namun, dari kelima formula tersebut
dapat diketahui bahwa suspensi dengan volume sedimentasi yang baik
selama waktu 24 jam yaitu pada formula IV karena didapatkan hasil
sebesar 0,128, dimana angka tersebut merupakan angka yang paling
mendekati angka 1 diantara formula yang lain.
Dari hasil diskusi saat praktikum pembuatan sediaan suspensi,
dapat diketahui bahwa jenis suspensi yang digunakan dalam
praktikum ini adalah sediaan suspensi deflokulasi. Deflokulasi adalah
keadaan dimana suatu suspensi tidak mudah mengalami pengendapan
selama penyimpanan dalam waktu tertentu. Oleh karena itu,
digunakan CMC Na yang berfungsi sebagai suspending agent yang
dapat menghambat sedimentasi dengan cara mengentalkan bahan
pembawa dan menurunkan tegangan permukaan antar partikel dengan
pembawa supaya partikel tidak cepat mengendap. Selain itu, dibahas
pula mengenai perbedaan cara kerja pada pembuatan suspensi
terflokulasi dan terdeflokulasi. Berdasar hasil pembahasan, tidak
terdapat perbedaan antara kedua jenis suspensi ini. Suatu sistem
suspensi dikatakan flokulasi atau deflokulasi itu bergantung pada jenis
partikel di dalamnya. Partikel yang sifatnya terbuka (apabila
membentuk endapan masih terdapat rongga-rongga yang
memungkinkan endapan dapat terflokulasi kembali) akan membentuk
suatu suspensi dengan sistem flokulasi. Akan tetapi, untuk partikel
dengan sifat yang tertutup (sekalinya membentuk endapan maka
ikatan antar partikelnya terikat dengan kuat dan sulit untuk
didispersikan kembali) akan membentuk suatu suspensi dengan sistem
deflokulasi. Dalam diskusi ini dibahas pula mengenai faktor yang
mempengaruhi terjadinya partikel terflokulasi. Hal ini disebabkan
oleh interaksi antar partikel dan ukuran dari partikel. Jika ukuran
partikel terlalu kecil, maka akan terbentuk ikatan antar partikel yang
erat sehingga menyebabkan koagulasi dan akan rentan terjadi caking
seperti pada sistem deflokulasi. Sedangkan pada sistem flokulasi,
terjadi penolakan antar partikel sehingga tidak mudah terjadi
koagulasi dan partikel tetap terdispersi.
Dari hasil diskusi saat praktikum evaluasi suspensi, dapat
diketahui bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan hasil pH
sediaan suspensi tidak baik. Hal tersebut adalah perbedaan sifat pH
dari zat aktif dan eksipien yang digunakan terlalu jauh; terdapat
cemaran dalam obat yang bersifat terlalu asam atau basa; adanya
mikroorganisme dalam sediaan; dan alat praktikum kurang bersih
sehingga bahan yang tersisa akan mempengaruhi pH sediaan.
Selanjutnya terdapat pula diskusi tentang alasan angka yang muncul
pada display ketika alat pH meter dinyalakan adalah 7. Hal ini
disebabkan karena pada ujung alat terdapat elektrolit yang biasanya
berupa garam KCl (terbuat dari KOH dan HCl). Ketika keduanya
direaksikan, maka akan dihasilkan garam KOH yang sifatnya netral
(pH 7). Dengan demikian, ketika alat pH meter dinyalakan, maka akan
menunjukkan angka 7. Angka 7 pada pH meter ini dikatakan sebagai
titik asimetri atau titik 0 kalibrasi pH meter. Dalam diskusi dibahas
pula mengenai jenis evaluasi suspensi lain yang tidak ada di buku PP,
yaitu :
a. Bobot jenis = dilakukan pengukuran massa jenis suspensi dengan
piknometer
b. Redispersi = Dilakukan setelah uji sedimentasi dilakukan dengan
cara membalik tabung reaksi berisi suspensi 180 derajat
c. Viskositas = dilakukan pengujian dengan alat viskometer stormer
dan dicari regresi linearnya untuk mendapatkan nilai viskositas
d. Distribusi ukuran partikel = dilakukan dengan meneteskan sedikit
suspensi di kaca objek, lalu praktikan melihat distribusi ukuran
partikel suspensi dengan mikroskop
VI. KESIMPULAN
Suspensi adalah sediaan yang mengandung bahan obat padat dalam
bentuk halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa. Suspensi
kloramfenikol dibuat dengan sistem deflokulasi. Formulasi suspensi 4
memiliki hasil akhir yang stabil dan memenuhi syarat penerimaan dalam
bentuk konsistensi, secara evaluasi uji organoleptik, sedimentasi, serta pH.
DAFTAR PUSTAKA
1. Formula I
a. Volume sedimentasi menit ke-15
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.3 𝑐𝑚
=
7.4 𝑐𝑚
= 0,0405405405405405 ≈ 0,04
b. Volume sedimentasi menit ke-30
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.5 𝑐𝑚
=
7.4 𝑐𝑚
= 0,0675675675675676≈ 0,067
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.6 𝑐𝑚
=
7.4 𝑐𝑚
= 0,0810810810810811 ≈ 0,081
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.7 𝑐𝑚
=
7.4 𝑐𝑚
= 0,0945945945945946 ≈ 0,094
2. Formula II
a. Volume sedimentasi menit ke-15
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.4 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,05
b. Volume sedimentasi menit ke- 30
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.7 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,0875≈ 0,087
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.7 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,0875≈ 0,087
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
1 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,125
3. Formula III
a. Volume sedimentasi menit ke-15
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.4 𝑐𝑚
=
7.1 𝑐𝑚
= 0,0563380281690141≈ 0,056
b. Volume sedimentasi menit ke -30
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.6 𝑐𝑚
=
7.1 𝑐𝑚
= 0,0845070422535211 ≈ 0,084
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.7 𝑐𝑚
=
7.1 𝑐𝑚
= 0,0985915492957746 ≈ 0,098
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.8 𝑐𝑚
=
7.1 𝑐𝑚
= 0,1126760563380282 ≈ 0,112z
4. Formula IV
a. Volume sedimentasi menit ke-15
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.7 𝑐𝑚
=
7.8 𝑐𝑚
= 0,0897435 ≈ 0,089
b. Volume sedimentasi menit ke-30
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.8 𝑐𝑚
=
7.8 𝑐𝑚
= 0,1025641 ≈ 0,102
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.9 𝑐𝑚
=
7.8 𝑐𝑚
= 0,1153846 ≈ 0,115
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
1 𝑐𝑚
=
7.8 𝑐𝑚
= 0,128205 ≈ 0,128
5. Formula V
a. Volume sedimentasi menit ke-15
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.3 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,0375
b. Volume sedimentasi menit ke-30
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.4 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,05
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.5 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,0625
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0.5 𝑐𝑚
=
8 𝑐𝑚
= 0,0625