- Subordinasi Perempuan
Dalam hal ini perempuan-perempuan dijadikan sebagai “gender
kedua”, atau penomorduaan perempuan, yang artinya, peran, fungsi, serta
kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Dalam novel
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam subordinasi perempuan
ditunjukkan dengan dominasi kaum laki-laki dalam mengambil
keputusan. Tidak hanya itu, minimnya peran perempuan dalam berbagai
hal, opini yang tidak didengar, bahkan pengambilan keputusan terhadap
dirinya sendiri dilakukan oleh kaum laki-laki. Berikut beberapa kutipan
yang menunjukkan subordinasi perempuan dalam novel Perempuan yang
Menangis kepada Bulan Hitam.
1. Halaman 111, “Magi benar-benar gusar tetapi suaranya tidak
berarti di rumahnya sendiri. Sama seperti suara-suara perempuan di
balik rumah-rumah besar mereka. // Ina Rade, adik Ama Bobo,
mencoba menenangkan Magi dengan mengatakan akan ada masanya
di mana suara perempuan didengarkan—yaitu ketika mereka sudah
menjadi istri…”
Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa “suara” perempuan
cenderung tidak pernah didengar, dan bahkan tidak berarti di
rumahnya sendiri. Narasi Ina Rade juga membuktikan bahwa
perempuan hanya dianggap sebagai ‘gender lain’ setelah laki-laki,
yang pendapatnya hanya akan di dengar apabila ia sudah menjadi istri
dari seorang laki-laki, bukan sebagai perempuan itu sendiri.
2. Halaman 130, “Tara ada mertua yang harus disegani dan Rega
suaminya yang juga harus dia mengerti. Jadi meskipun memahami
Magi seperti apa, Tara memastikan dia mengambil jarak untuk tidak
selalu setuju dengan pendapat perempuan itu. Selain itu pendapat
menantu juga tidak selalu didengar di dalam rumah besar.”
Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa Tara, istri dari kakak laki-
laki Magi Diela sekaligus sahabatnya menempatkan dirinya setelah
mertua dan suaminya, dan juga mengaggap bahwa pendapatnya
sebagai seorang menantu tidak terlalu berpengaruh sehingga ia
memilih menjadi “netral.”
- Hegemoni Adat
Hegemoni merupakan dominasi ideologi palsu atau cara pikir terhadap
kondisi yang sebenarnya. Ideoologi tidak disebabkan oleh sistem
ekonomi saja, tetapi ditanamkan secara mendalam pada semua kegiatan
masyarakat. Ideologi yang dominan menghidupkan minat golongan
tertentu atas golongan lain (Littlejohn, 2009:433).
Dalam filsafat Marxis, hegemoni adat/budaya adalah dominasi terhadap
masyarakat ragam-budaya oleh kelas penguasa yang membentuk (atau
memanipulasi) budaya masyarakat tersebut—dari sisi keyakinan,
persepsi, nilai-nilai, maupun adat istiadat—sehingga pandangan
kelompok tertentu menjadi norma budaya umum tanpa paksaan.
Dalam hal ini, bentuk hegemoni yang terdapat dalam novel Perempuan
yang Menangis kepada Bulan Hitam ialah ketidakadilan, kekerasan,
paksaan, serta perampasan.
1. Bentuk Perampasan: Halaman 61-62, Magi yang berada di rumah Leba Ali
merasa putus asa karena menurut kepercayaan adat, seorang perempuan yang
sudah ditangkap untuk dikawinkan harus menikahi lelaki tersebut atau dia
akan menanggung malu karena dianggap sudah ternoda dan tidak aka nada
lelaki lain yang akan menikahinya. Namun Magi Diela merasa hal tersebut
merupakan perampasan kebebasan dan harga diri seorang perempuan.
Halaman 210, “Begini Nona. Dalam adat kita ini, menolak lamaran
itu sama arti membuang jodoh. Ko pung ama dan ina takut ko tidak
akan ada jodoh lai, sampai mati. Apalagi waktu itu prosesnya seperti
itu to, laki-laki su tangkap Nona dan di bawa pulang ke rumah.”
Perkataan Rato Lango kepada Magi di telepon yang berusaha
meyakinkannya tentang adat yang ada. Sehingga Magi tidak seharusnya
melanggar hal tersebut, meski menurut Magi adat itu hanya merugikan
dan merampas kebebasan dan harga dirinya.
2. Bentuk Paksaan: Halaman 102, “Kalau dong hidup dan tinggal di jawa
atau di mana, itu su terserah dong punya hidup. Tapi ini Sumba, ada nenek
moyang yang menjaga kita. Kita wajib jaga budaya. Kita su dikasih lahir,
dikasih besar, kitab alas dong dengan menikah dan meneruska keturunan.
Jangan sampai dong diam-diam ubi berisi(hamil di luar nikah),” kata Rega.
Kutipan percakapan di atas yang diucapkan oleh Rega, Kakak laki-laki
Magi menunjukkan adanya hegemoni adat yang begitu kuat yang
dianggap sakral. Masyarakat menjunjung adat melebihi apapun dan
menganggapnya selalu benar.
4. Bentuk KekerasaPerampasan:
Halaman 192, pada halaman ini dipaparkan bahwa ada desas-desus bahwa
Leba Ali melakukan kekerasan kepada mantan istrinya.
“Sebulan setelah itu, dong pung istri pergi. Ada yang bilang itu perempuan
habis memang dong punya muka. Hancur kena…” Umbu mengangkat
kepalan tangan kanannya ke atas.
Halaman 217-220, pada halaman ini saat Magi mengikuti pelatihan di
Weetabula untuk pemberdayaan petani perempuan dan kesetaraan gender. Di
pelatihan itu ibu-ibu rumah tangga yang mendapatkan kekerasan dalam rumah
tangga dari suaminya ataupun keluarganya sendiri bercerita. Ada yang
hidungnya bengkok dan tidak bisa kembali normal karena terlalu sering
dihajar oleh suaminya, ada yang dipukul dengan rotan, dan bahkan ada yang
hampir dibakar.
Halaman 290-292, pada halaman ini Magi Diela menerima kekerasan secara
fisik dan verbal dari Leba Ali, yang saat itu sudah jadi suaminya. Kekerasan
fisik yang dilakukan antara lain; Leba Ali menjambak rambut Magi,
menampar dan meninju wajahnya berulang kali, mencekik leher, dan pada
akhirnya memperkosanya lagi. Kemudian kekerasan vebal yang dilontarkan
Leba Ali kepada Magi Diela antara lain; Leba Ali mengatai Magi sebagai
“Mawina tudu loko” yang berarti perempuan pembawa sial, mengatai Magi
Diela sebagai ‘pelacur’ dan ‘perempuan iblis.’
Halaman 210, “Begini Nona. Dalam adat kita ini, menolak lamaran
itu sama arti membuang jodoh. Ko pung ama dan ina takut ko tidak
akan ada jodoh lai, sampai mati. Apalagi waktu itu prosesnya seperti
itu to, laki-laki su tangkap Nona dan di bawa pulang ke rumah.”
Perkataan Rato Lango kepada Magi di telepon yang berusaha
meyakinkannya tentang adat yang ada. Sehingga Magi tidak
seharusnya melanggar hal tersebut, meski menurut Magi adat itu
hanya merugikan dan merampas kebebasan dan harga dirinya.
- Objektifikasi Perempuan
Objektifikasi perempuan ialah penempatan tubuh perempuan secara
seksual. Yakni, perempuan diumpamakan sebagai objek atau “sesuatu”
yang dapat dengan bebas dipandang, dinilai, dan bahkan “dipakai” sesuka
hati, tanpa mengindahkan pendapat perempuan itu sendiri sebagai si
pemilik tubuh.
Dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
ditemukan beberapa perlakuan objektifikasi perempuan yang diterima
oleh Magi Diela maupun tokoh-tokoh perempuan lainnya. Berikut
kutipannya.
1. Halaman 45-46, pada halaman ini Magi Diela berhasil “ditangkap” dan
dibawa ke kampung Leba Ali. Magi yang merasa marah karena hal terssebut
terjadi tanpa persetujuannya bertambah geram pada saat sampai di Kampung
Patakaju, karena sesaat sampai di sana orang-orang kampung menyerukan
perempuan memekikkan pakalak (pekikan perempuan untuk menunjukkan
kegembiraan, biasanya berbunyi yala yala yala yalaaa…) dan para laki-laki
berteriak lantang memekikkan payawau (pekik kegembiraan laki-laki untuk
menunjukkan kemenangan atau kegembiraan saat mendapatkan sesuatu,
seperti memenangkan peperangan atau mendapatkan hewang buruan.)
Selain itu dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
terdapat bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi kepada tokoh-tokoh
perempuannya. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel
tersebut antara lain yaitu Subordinasi, Pelabelan (Stereotipe), Peminggiran
(Marginalisasi), dan Kekerasan. Hal ini menjadikan novel tersebut sarat akan
tema dan makna yang berusaha diangkat dan diberikan kepada pembaca.
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam merupakan buku yang bagus
untuk direkomendasikan sebagai bacaan. Isinya yang sarat akan tema, serta
penulisannya yang dapat dibilang tidak bertele-tele dapat menjadi bacaan yang
menyenangkan. Pembaca disajikan tradisi-tradisi dan bahasa sehari-hari Sumba
sehingga terasa begitu dekat dengan sang tokoh utama. Buku ini juga tidak hanya
menyajikan penderitaan atas korban, namun juga perjuangan dan semangat yang
berusaha disampaikan pada setiap barisnya.
5. DAFTAR PUSTAKA