Anda di halaman 1dari 27

BENTUK KETIDAKADILAN GENDER DAN HEGEMONI ADAT TERHADAP

PEREMPUAN DALAM NOVEL PEREMPUAN YANG MENANGIS KEPADA BULAN


HITAM KARYA DIAN PURNOMO: PENDEKATAN FEMINISME

Disusun oleh: Rizka Nirmala – 042120019

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS PAKUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH


Sastra merupakan lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium
(Damono, 1979:1). Sastra berperan sebagai sarana yang membutuhkan bahasa sebagai
media. Karya sastra terbentuk oleh unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik yang
mendasarinya. Unsur intrinsik karya sastra merupakan unsur yang membangun
sebuah karya sastra dari dalam. Sedangkan unsur ekstrinsik karya sastra membangun
karya sastra dari dari luar. Unsur intrinsik karya sastra terdiri dari tema, alur (plot),
amanat, tokoh dan penokohan, latar (setting), dan pusat penceritaan (point of view).
Sedangkan unsur-unsur yang membangun dan memengaruhi sebuah karya sastra dari
luar dapat berupa psikologi, sosiologi, sejarah, filsafat, ideologi, politik, dan lain-lain.
Karya sastra diciptakan sebagai gambaran dunia riil yang dibumbui oleh
imajinasi pengarang. Hal tersebut yang menyebabkan karya sastra tidak dapat lepas
dari nilai-nilai yang terikat pada masyarakat, norma sosial, adat istiadat, agama, dan
sebagainya. Sebab karya sastra hadir dari bagaimana cara pengarang melihat dunia di
sekitarnya dengan sedikit bumbu imajinatif. Karya sastra yang baik diharapkan dapat
membangun serta menunjukkan kekalutan, emosi, konflik, serta berbagai fenomena
yang terdapat dalam dunia nyata, menyampaikannya melalui tulisan sehingga dapat
menggapai para penikmatnya.
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang cukup banyak dikenal di
kalangan masyarakat. Struktur intrinsik dan ekstrinsik merupakan struktur yang
membangun sebuah novel dari luar dan dalam. Membentuk sebuah cerita menjadi satu
kesatuan yang berkesinambungan dan menyusun sebuah novel menjadi sebuah karya
sastra yang utuh.
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam merupakan novel karya Dian
Purnomo yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2020. Novel ini menceritakan
Magi Diela, seorang perempuan asal Sumba, yang menjadi korban dari tradisi adat
kawin tangkap. Magi Diela diculik dan dijinakkan seperti binatang. Adat yang
katanya turun temurun dari nenek moyangnya yang suci itu malah membuatnya
terpenjara. Ia harus melawan orangtua, seisi kampung, dan adat yang dianggapnya
merenggut kemerdekaannya sebagai perempuan. Novel Perempuan yang Menangis
kepada Bulan Hitam ditulis berdasarkan pengalaman banyak perempuan korban
kawin tangkap di Sumba. Tradisi kawin tangkap menggedor hati Dian Purnomo
sebagai penulis untuk menyuarakan jerit perempuan yang seolah tak terdengarn
bahkan oleh Tuhan sekalipun.
Hal tersebut yang mendorong peneliti untuk mengkaji novel Perempuan yang
Menangis kepada Bulan Hitam menggunakan teori strukturalisme dan pendekatan
feminisme. Teori strukturalisme digunakan untuk memaparkan unsur intrinsik dari
novel tersebut yang membentuk karya sastra menjadi satu kesatuan yang utuh.
Sementara itu, pendekatan feminisme digunakan untuk mengkaji bentuk-bentuk
ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh perempuan dalam novel Perempuan
yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo.
Abrams (1979: 3-29; 1981: 36-37) memaparkan tentang empat pendekatan
yang dapat dipakai terhadap karya sastra, yaitu pendekatan mimetik, pendekatan
pragmatik, pendekatan ekspresif, dan pendekatan objektif. Teori strukturalisme
sendiri merupakan pendekatan objektif, yaitu pendekatan yang memandang karya
sastra sebagai sesuatu yang otonom dan berdiri sendiri. Karya sastra merupakan satu
kesatuan yang utuh, dipisahkan dari latar belakang, pembaca, dan bahkan
pengarangnya sendiri. Oleh karena itu, untuk dapat memahami sebuah karya sastra
(novel), harus dianalisis struktur intrinsiknya terlebih dahulu (Pradopo, 1995:141).
Moeliono, dkk, (1993:241) menyatakan bahwa feminisme adalah gerakan
kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan
dan laki-laki. Persamaan hak tersebut meliputi semua aspek kehidupan dalam bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pendekatan feminisme sendiri merupakan
pendekatan yang berfokus pada citra dan strereotipe perempuan dalam karya sastra.
Kajian feminisme memaparkan tentang gender perempuan yang menjalankan peran
dan kedudukan perempuan, ketidakadilan gender, serta subordinasi terhadap
perempuan.
2. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan pada analisis cerita pendek Perempuan yang
Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo ialah metode deskriptif. Pada
metode ini terdapat tiga tahapan yaitu, pengumpulan data, analisis data, dan
pemaparan hasil data.
A. TAHAP PENGUMPULAN DATA
Digunakan metode pustaka untuk pengumpulan data, data yang
diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang relevan dengan analisis novel
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo.
Teknik yang digunakan ialah teknik baca catat, yang terdiri dari;
a. membaca berulang-ulang novel Perempuan yang Menangis kepada
Bulan Hitam karya Dian Purnomo;
b. menandai yang berkaitan dengan struktur intrinsik,
c. mencatat bagian-bagian yang relevan dalam objek penelitian.
B. TAHAP ANALISIS DATA
Pada tahap ini digunakan analisis aspek-aspek struktural serta
menggunakan pendekatan feminisme pada novel Perempuan yang
Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo. Pertama, membaca
novel tersebut dan mengelompokkan aspek-aspek yang relevan pada unsur
intrinsik, kedua; menganalisis novel tersebut menggunakan pendekatan
feminisme.
C. TAHAP PEMAPARAN HASIL DATA
Pada tahapan ini dipaparkan data hasil analisis dengan menggunakan
metode deskriptif yaitu dengan mendeskripsikan hasil analisis
menggunakan bahasa yang baik dan benar.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. ANALISIS STRUKTUR INTRINSIK


Analisis strukturalisme dilakukan untuk menggali kebulatan makna
intrinsik suatu karya sastra. Teeuw (1983:61) menyatakan bahwa makna
unsur-unsur karya sastra dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya, dan
dinilai atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu di dalam
keseluruhan karya sastra.
1.1. TEMA
Menurut Stanton (1965:21), tema merupakan sebuah makna
dari cerita yang secara khusus menerangkan sSebagian besar
unsurnya dengan cara yang sederhana.
Tema merupakan gagasan sentral atau dasar dari sebuah cerita.
Kedudukan tema sangat penting sebab dapat mencerminkan makna
keseluruhan sebuah karya serta menjadi roh/jiwa pada karya
tersebut.
Dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
ditampilkan permasalahan yang cukup kompleks sehingga
menjadikan novel tersebut sarat dengan tema. Tema-tema yang
diangkat terbagi dalam beberapa fokus masalah. Antara lain
sebagai berikut:
- Pelecehan, Kekerasan, dan pemerkosaan:
1. Halaman 41, pelecehan secara verbal dilakukan oleh orang-orang
suruhan Leba Ali saat menculik Magi Diela. Magi Diela yang
bahkan masih melawan saat sudah dinaikkan ke mobil oleh
beberapa orang suruhan Leba Ali itu menerima pelecehan secara
verbal dan fisik. Berikut kutipannya.
“Nona ini tidak mau diam e!” kata salah seorang penculiknya,
bukan kepada Magi.
“Biar su, setelah kena nanti, dong ju akan diam. Malh minta lagi.”
Lalu tawa mereka pecah.
Kutipan di atas menunjukkan pelecehan verbal yang diterima oleh
Magi Diela.
Magi menendang ke arah orang itu dengan keras dan yang dia
dapatkan sebagai balasan adalah sebuah remasan di dadanya
yang dilakukan oleh lelaki yang lain, bukan orang yang
ditendangnya. Magi tersentak, marah, menggelepar. Air matanya
merebak sejadi-jadinya, tapi tak ada yang peduli. Amarah
menerpa dirinya sampai-sampai dia merasa akan mati saat itu
juga.
Setelah remasan di dada, laki-laki lain memegang pahanya
dengan cara yang menjijikan. Magi menendang, tetapi tangan
orang itu justru naik ke pangkal paha Magi.
“Diam atau sa lanjutkan sa punya tangan?” lelaki itu membentak.
Kutipan di atas menunjukkan pelecehan secara fisik yang diterima
oleh Magi Diela.
2. Bab 9; Ditaklukan (halaman 49-56), pada Bab ini Leba Ali
melakukan pemerkosaan kepada Magi Diela yang tidak sadarkan
diri, dan percobaan pemerkosaan lagi saat Magi Diela berusaha
melawannya.
3. Halaman 139, pada halaman ini dijelaskan bahwa Leba Ali pernah
melakukan pelecehan seksual kepada salah seorang pekerja hotel di
Waikabubak. Berikut kutipannya.
Satu fakta tambahan yang mereka dapatkan keesokan harinya
adalah bahwa selain mata keranjang, Leba Ali pernah melakukan
pelecehan seksual kepada seorang pekerja hotel di Waikabubak.
Hal ini pernah dilaporkan tetapi tidak berujung ke pengadilan.
Leba Ali berhasil menghentikan proses tersebut dengan uang
sepuluh juta rupiah. Korban itu pindah ke kota lain sekarang.
4. Halaman 145, pada halaman ini setelah usaha Magi untuk
melarikann diri dan menerima pertolongan dari organisasi Gema
Perempuan yang kemudian menempatkannya di “rumah aman”, ia
bertemu dengan Anjelin yang merupakan korban pemerkosaan.
Berikut kutipannya.
“Dia korban pemerkosaan yang dilakukan seorang gurunya dan
sekarang dalam keadaan hamil tetapi justru diusir oleh
keluarganya…”
“Namanya Anjelin, kelas 10 SMA. Magi segera terbayang Manu.
Mungkin usia Anjelin dan Manu hanya terpaut beberapa bulan
saja, tapi garis hidup membuat Anjelin harus berada di rumah
aman ini, jauh dari keluarga dan terpaksa berhenti sekolah. Dia
bukan hanya dibujuk rayu oleh gurunya hingga mengalami
perkosaan berulang, Anjelin juga diusir oleh orangtua dan
keluarganya sendiri karena dianggap perempuan penggoda.”
5. Halaman 192, pada halaman ini dipaparkan bahwa ada desas-desus
bahwa Leba Ali melakukan kekerasan kepada mantan istrinya.
“Sebulan setelah itu, dong pung istri pergi. Ada yang bilang itu
perempuan habis memang dong punya muka. Hancur kena…”
Umbu mengangkat kepalan tangan kanannya ke atas.
6. Halaman 217-220, pada halaman ini saat Magi mengikuti pelatihan
di Weetabula untuk pemberdayaan petani perempuan dan
kesetaraan gender. Di pelatihan itu ibu-ibu rumah tangga yang
mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga dari suaminya
ataupun keluarganya sendiri bercerita. Ada yang hidungnya
bengkok dan tidak bisa kembali normal karena terlalu sering dihajar
oleh suaminya, ada yang dipukul dengan rotan, dan bahkan ada
yang hampir dibakar.
7. Halaman 290-292, pada halaman ini Magi Diela menerima
kekerasan secara fisik dan verbal dari Leba Ali, yang saat itu sudah
jadi suaminya. Kekerasan fisik yang dilakukan antara lain; Leba Ali
menjambak rambut Magi, menampar dan meninju wajahnya
berulang kali, mencekik leher, dan pada akhirnya memperkosanya
lagi. Kemudian kekerasan vebal yang dilontarkan Leba Ali kepada
Magi Diela antara lain; Leba Ali mengatai Magi sebagai “Mawina
tudu loko” yang berarti perempuan pembawa sial, mengatai Magi
Diela sebagai ‘pelacur’ dan ‘perempuan iblis.’

- Subordinasi Perempuan
Dalam hal ini perempuan-perempuan dijadikan sebagai “gender
kedua”, atau penomorduaan perempuan, yang artinya, peran, fungsi, serta
kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Dalam novel
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam subordinasi perempuan
ditunjukkan dengan dominasi kaum laki-laki dalam mengambil
keputusan. Tidak hanya itu, minimnya peran perempuan dalam berbagai
hal, opini yang tidak didengar, bahkan pengambilan keputusan terhadap
dirinya sendiri dilakukan oleh kaum laki-laki. Berikut beberapa kutipan
yang menunjukkan subordinasi perempuan dalam novel Perempuan yang
Menangis kepada Bulan Hitam.
1. Halaman 111, “Magi benar-benar gusar tetapi suaranya tidak
berarti di rumahnya sendiri. Sama seperti suara-suara perempuan di
balik rumah-rumah besar mereka. // Ina Rade, adik Ama Bobo,
mencoba menenangkan Magi dengan mengatakan akan ada masanya
di mana suara perempuan didengarkan—yaitu ketika mereka sudah
menjadi istri…”
Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa “suara” perempuan
cenderung tidak pernah didengar, dan bahkan tidak berarti di
rumahnya sendiri. Narasi Ina Rade juga membuktikan bahwa
perempuan hanya dianggap sebagai ‘gender lain’ setelah laki-laki,
yang pendapatnya hanya akan di dengar apabila ia sudah menjadi istri
dari seorang laki-laki, bukan sebagai perempuan itu sendiri.
2. Halaman 130, “Tara ada mertua yang harus disegani dan Rega
suaminya yang juga harus dia mengerti. Jadi meskipun memahami
Magi seperti apa, Tara memastikan dia mengambil jarak untuk tidak
selalu setuju dengan pendapat perempuan itu. Selain itu pendapat
menantu juga tidak selalu didengar di dalam rumah besar.”

Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa Tara, istri dari kakak laki-
laki Magi Diela sekaligus sahabatnya menempatkan dirinya setelah
mertua dan suaminya, dan juga mengaggap bahwa pendapatnya
sebagai seorang menantu tidak terlalu berpengaruh sehingga ia
memilih menjadi “netral.”

- Hegemoni Adat
Hegemoni merupakan dominasi ideologi palsu atau cara pikir terhadap
kondisi yang sebenarnya. Ideoologi tidak disebabkan oleh sistem
ekonomi saja, tetapi ditanamkan secara mendalam pada semua kegiatan
masyarakat. Ideologi yang dominan menghidupkan minat golongan
tertentu atas golongan lain (Littlejohn, 2009:433).
Dalam filsafat Marxis, hegemoni adat/budaya adalah dominasi terhadap
masyarakat ragam-budaya oleh kelas penguasa yang membentuk (atau
memanipulasi) budaya masyarakat tersebut—dari sisi keyakinan,
persepsi, nilai-nilai, maupun adat istiadat—sehingga pandangan
kelompok tertentu menjadi norma budaya umum tanpa paksaan.
Dalam hal ini, bentuk hegemoni yang terdapat dalam novel Perempuan
yang Menangis kepada Bulan Hitam ialah ketidakadilan, kekerasan,
paksaan, serta perampasan.

1. Bentuk Perampasan: Halaman 61-62, Magi yang berada di rumah Leba Ali
merasa putus asa karena menurut kepercayaan adat, seorang perempuan yang
sudah ditangkap untuk dikawinkan harus menikahi lelaki tersebut atau dia
akan menanggung malu karena dianggap sudah ternoda dan tidak aka nada
lelaki lain yang akan menikahinya. Namun Magi Diela merasa hal tersebut
merupakan perampasan kebebasan dan harga diri seorang perempuan.
Halaman 210, “Begini Nona. Dalam adat kita ini, menolak lamaran
itu sama arti membuang jodoh. Ko pung ama dan ina takut ko tidak
akan ada jodoh lai, sampai mati. Apalagi waktu itu prosesnya seperti
itu to, laki-laki su tangkap Nona dan di bawa pulang ke rumah.”
Perkataan Rato Lango kepada Magi di telepon yang berusaha
meyakinkannya tentang adat yang ada. Sehingga Magi tidak seharusnya
melanggar hal tersebut, meski menurut Magi adat itu hanya merugikan
dan merampas kebebasan dan harga dirinya.

2. Bentuk Paksaan: Halaman 102, “Kalau dong hidup dan tinggal di jawa
atau di mana, itu su terserah dong punya hidup. Tapi ini Sumba, ada nenek
moyang yang menjaga kita. Kita wajib jaga budaya. Kita su dikasih lahir,
dikasih besar, kitab alas dong dengan menikah dan meneruska keturunan.
Jangan sampai dong diam-diam ubi berisi(hamil di luar nikah),” kata Rega.
Kutipan percakapan di atas yang diucapkan oleh Rega, Kakak laki-laki
Magi menunjukkan adanya hegemoni adat yang begitu kuat yang
dianggap sakral. Masyarakat menjunjung adat melebihi apapun dan
menganggapnya selalu benar.

3. Bentuk Ketidakadilan: Halaman 108, pada halaman ini ditunjukkan Leba


Ali yang terbebas dari tuduhan penculikan dan pemerkosaan yang dilaporkan
kepadanya ke kantor polisi dengan alasan bahwa apa yang dilakukannya
merupakan tindakan untuk melestarikan adat. Meski hal tersebut juga dibantu
dengan relasi kuasa yang dimiliki oleh Leba Ali.

4. Bentuk KekerasaPerampasan:

Halaman 192, pada halaman ini dipaparkan bahwa ada desas-desus bahwa
Leba Ali melakukan kekerasan kepada mantan istrinya.
“Sebulan setelah itu, dong pung istri pergi. Ada yang bilang itu perempuan
habis memang dong punya muka. Hancur kena…” Umbu mengangkat
kepalan tangan kanannya ke atas.
Halaman 217-220, pada halaman ini saat Magi mengikuti pelatihan di
Weetabula untuk pemberdayaan petani perempuan dan kesetaraan gender. Di
pelatihan itu ibu-ibu rumah tangga yang mendapatkan kekerasan dalam rumah
tangga dari suaminya ataupun keluarganya sendiri bercerita. Ada yang
hidungnya bengkok dan tidak bisa kembali normal karena terlalu sering
dihajar oleh suaminya, ada yang dipukul dengan rotan, dan bahkan ada yang
hampir dibakar.
Halaman 290-292, pada halaman ini Magi Diela menerima kekerasan secara
fisik dan verbal dari Leba Ali, yang saat itu sudah jadi suaminya. Kekerasan
fisik yang dilakukan antara lain; Leba Ali menjambak rambut Magi,
menampar dan meninju wajahnya berulang kali, mencekik leher, dan pada
akhirnya memperkosanya lagi. Kemudian kekerasan vebal yang dilontarkan
Leba Ali kepada Magi Diela antara lain; Leba Ali mengatai Magi sebagai
“Mawina tudu loko” yang berarti perempuan pembawa sial, mengatai Magi
Diela sebagai ‘pelacur’ dan ‘perempuan iblis.’
Halaman 210, “Begini Nona. Dalam adat kita ini, menolak lamaran
itu sama arti membuang jodoh. Ko pung ama dan ina takut ko tidak
akan ada jodoh lai, sampai mati. Apalagi waktu itu prosesnya seperti
itu to, laki-laki su tangkap Nona dan di bawa pulang ke rumah.”
Perkataan Rato Lango kepada Magi di telepon yang berusaha
meyakinkannya tentang adat yang ada. Sehingga Magi tidak
seharusnya melanggar hal tersebut, meski menurut Magi adat itu
hanya merugikan dan merampas kebebasan dan harga dirinya.

- Objektifikasi Perempuan
Objektifikasi perempuan ialah penempatan tubuh perempuan secara
seksual. Yakni, perempuan diumpamakan sebagai objek atau “sesuatu”
yang dapat dengan bebas dipandang, dinilai, dan bahkan “dipakai” sesuka
hati, tanpa mengindahkan pendapat perempuan itu sendiri sebagai si
pemilik tubuh.
Dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
ditemukan beberapa perlakuan objektifikasi perempuan yang diterima
oleh Magi Diela maupun tokoh-tokoh perempuan lainnya. Berikut
kutipannya.
1. Halaman 45-46, pada halaman ini Magi Diela berhasil “ditangkap” dan
dibawa ke kampung Leba Ali. Magi yang merasa marah karena hal terssebut
terjadi tanpa persetujuannya bertambah geram pada saat sampai di Kampung
Patakaju, karena sesaat sampai di sana orang-orang kampung menyerukan
perempuan memekikkan pakalak (pekikan perempuan untuk menunjukkan
kegembiraan, biasanya berbunyi yala yala yala yalaaa…) dan para laki-laki
berteriak lantang memekikkan payawau (pekik kegembiraan laki-laki untuk
menunjukkan kemenangan atau kegembiraan saat mendapatkan sesuatu,
seperti memenangkan peperangan atau mendapatkan hewang buruan.)

Awalnya Magi masih berpikir bahwa ini adalah pekik kegembiraan


karena ada kelompok berburu yang mendapatkan babi hutan. Namun,
ketika didengarnya baik-baik sayir-syair adat yang masuk ke telinganya,
Magi menjadi marah sekali. Teriakan itu adalah sambutan kemenangan
bagi seseorang di kampung ini yang telah berhasil mendapatkan
perempuan untuk dikawininya. Belum pernah Magi merasa semarah dan
serendah ini. Orang-orang tengah bergembira atas penderutaannya.

Pada kutipan di atas secara jelas dipaparkan terjadinya objektifikasi yang


dilakukan kepada Magi Diela. Pekikan payawau yang pada mulanya
dipakai saat memenangkan peperangan atau mendapatkan hewan buruan
digunakan untuk menyambut Magi Diela saat memasuki kampung itu
setelah berhasil diculik untuk dikawinkan. Hal ini menunjukkan bahwa,
laki-laki (pada adat Sumba) menyamakan perempuan sebagai “sesuatu”
barang atau trofi yang berhasil didapatkan. Tanpa memedulikan bahwa
hal tersebut menyinggung harga diri perempuan tersebut.
2. Halaman 186
“Sa merasa dia hanya mau bikin sa seperti piala. Sa tahu dia punya istri
sebelumnya juga msih muda, lulus sarjana, anak orang terpandang di
Sumba Timur atau Sumba Tengah sa kurang tahu pasti. Dia su bosan
deng itu perempuan, dia mau ambil sa untuk jadi dia punya mainan
berikutnya. Dia su incar sa sejak masih SD, Ma Ros. Dia selalu pegang
sa punya badan kalau sedang ada acara di rumah. Dia bahkan su lebih
tua dari s apunya bapa kecil.”

Kutipan percakapan Magi Diela di atas menunjukkan adanya


objektifikasi yang dilakukan Leba Ali terhadap dirinya dan juga istrinya
yang terdahulu. Magi Diela merasa bahwa Leba Ali hanya menjadikan
dirinya sebagai piala dan bahkan sudah mengobjektifikasinya sejak kecil.
3. Halaman 308, pada halaman ini saat Magi Diela berhasil membalaskan
dendamnya kepada Leba Ali dan memasukkannya ke dalam penjara atas
tuduhan, penganiayaan, pemerkosaan, dan perbuatan-perbuatannya yang lain,
Magi akhirnya bisa pulang ke kampungnya sendiri, Kampung Karang.
Namun, ia masih harus berhadapan dengan reaksi orang-orang sekitarnya
yang tidak semuanya mendukung.
“Mana bisa suami memerkosa istri? Dong sudah dibelis lunas. Su jadi
milik suami, terserah dong mau bikin apa deng itu perempuan,” kata
beberapa lelaki.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pandangan laki-laki di kampung
tersebut terhadap perempuan hanya sebatas “barang” yang ketika sudah
dibelis lunas berarti sudah bukan milik dirinya sendiri, melainkan milik
suami. Kepemilikan dan hak perempuan atas tubuh dan pikirannya hilang
saat ia sudah menjadi seorang istri yang belisnya sudah dibayar lunas.

Berdasarkan pemaparan tema-tema minor di atas, dapat dilihat bahwa novel


Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam merupakan novel yang dijiwai semangat
pembaharuan, yaitu semangat mengubah adat lama yang dianggap kolot dan merenggut
kebebasan dan hak, khususnya pada para perempuan untuk menjadi cara hidup yang lebih
baik. Kemudian dapat disimpulkan bahwa masalah utama atau tema utama dalam novel ini
ialah penentangan hegemoni adat lama yang dianggap kolot dan ditunggangi oleh kejahatan
manusia dan penyelewengan adat.

1.2. ALUR (PLOT)


Alur merupakan urutan kejadian yang saling terhubung satu
sama lain karena adanya hubungan sebab-akibat. Alur cerita harus
selalu padu dan saling memiliki keterkaitan yang membentuk
sebuah cerita menjadi utuh.
Boulton (1984:75) mengibaratkan alur sebagai rangka dalam
tubuh manusia. Tanpa rangka, tubuh tidak akan dapat berdiri.
Alur dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan
Hitam ialah alur campuran atau gabungan. Dapat dilihat dari urutan
peristiwa yang disampaikan yang terkadang maju (progresif)
namun adapula kilas balik atau sorot balik (regresif).

Struktur alur sebuah prosa dibagi menjadi lima bagian menurut


Tasrif (dalam Nurgiyantoro, 2007), yaknihal itu sebagai berikut.
1) Tahapan penyituasian (situation)
Tahap penyituasian ialah tahap awal perkenalan cerita kepada para
pembaca. Dalam novel ini tahap penyituasian dimulai dengan Bab
1; Perlawanan, yaitu sebagai berikut.
Kematian adalah kepastian, ada yang membiarkaan
kedatangannya menjadi misteri, ada yang menjemputnya dengan
paksa. Magi Diela mencoba menjemput kematian dengan mengigit
pergelangan tangannya sendiri sampai robek, berharap nadinya
terkoyak dan darah menetes habis segera.

2) Tahap pemunculan konflik (generation circumstances)


Pada tahap ini merupakan pengenalan konflik pertama kali
dalam cerita. Dalam novel ini tahap pemunculan konflik
sebenarnya sudah terjadi pada bab awal cerita, yaitu Bab 1;
Perlawanan. Dimana pembaca disuguhkan Magi Diela yang
berusaha mengakhiri hidupnya. Namun, untuk lebih jelasnya
konflik yang muncul pertama kali dijelaskan pada Bab 2; Tangkap,
yaitu halaman 12-21.
Pada Bab 2 dijelaskan konflik pertama kali muncul saat Magi
Diela yang tidak dapat dihubungi usai pulang bekerja, yang
ternyata ia sudah ditangkap oleh Leba Ali. Yaitu Yappa Mawine
(Secara harfiah berarti culik perempuan. Orang juga biasa
menyebut piti tambang atau kawin tangkap).

3) Tahap peningkatan konflik (rising action)


Pada tahapan ini masalah mulai memuncak sehingga terjadi
ketegangan. Dalam novel ini tahap peningkatan konflik terjadi
pada Bab 22; Menghilang, halaman 117-121.
Pada Bab 22 ini ketegangan mulai memuncak karena seisi
kampung dan keluarga Magi Diela mengetahui bahwa Magi
menghilang lagi. Padahal pada hari itu keluarga Leba Ali akan
datang untuk melamarnya lagi. Namu, karena rencana kaburnya
Magi hal itu menjadi berantakan dan menyebabkan keluarganya
dan Leba Ali kelimpungan mencarinya.

4) Tahap klimaks (climax)


Tahap klimaks terjadi apabila rumitan mencapai puncak
kehebatannya. Dari titik tertinggi penyelesaian masalah yang
dihadapi tokoh cerita biasanya sudah dapat dibayangkan (Panuti-
Sudjiman, 1991:35).
Dalam novel ini tahapan klimaks atau puncak masalah terjadi
pada Bab 55; Umpan. Dalam hal ini Magi Diela berencana
menjebak Leba Ali dan mendapatkan bukti agar ia bisa melaporkan
Leba Ali ke kantor polisi.

5) Tahap penyelesaian (denouement)


Setelah tahapan klimaks yang memuncak dari konflik,
dihadirkan penyelesaian atau resolusi. Penyelesaian merupakan
bagian akhir atau penutup cerita.
Dalam hal ini tahapan penyelesaian ada pada Bab 56;
Pembalasan, Bab 57; Impas, serta pada Epilog, dari halaman 295-
312. Konflik ditutup dengan Magi Diela yang berhasil melaporkan
dan akhirnya memenjarakan Leba Ali dengan tuduhan kekerasan
serta pemerkosaan. Di lain itu, penutup cerita diakhiri dengan Magi
yang kembali ke kampungnya dan akhirnya membuat ayahnya
sadar atas perbuatannya.

1.3. TOKOH DAN PENOKOHAN


Pada novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
ditemukan banyak tokoh pendukung. Namun, dalam hal ini,
peneliti penyimpulkan ada 9 tokoh yang krusial dan berperan
penting dalam novel tersebut. tokoh-tokoh itu antara lain sebagai
berikut.
1. Magi Diela
Magi Diela atau yang biasa dipanggil Magi ini
merupakan pemeran utama dalam cerita. Ia memiliki sifat
yang ambisius, dibuktikan dengan pengakuannya sendiri
pada halaman 204, “Manu berbeda dengannya yang
memiliki ambisi besar dan sering kali frustasi jika ada
impiannya yang tidak tercapai.” Ia juga orang yang
bersikeras dan teguh, bahkan sedikit nekat. Hal ini
ditunjukkan dari sikapnya yang teguh menolak keras adat
yang dirasa merendahkan dan merugikan perempuan,
kenekatannya dibuktikan dengan percobaannya untuk
bunuh diri dengan cara menggigit tangannya sendiri dan
ambisinya untuk membalaskan dendamnya kepada Leba
Ali.
2. Ama Bobo
Ama Bobo, ayah Magi, merupakan orang yang keras
dan memiliki pendirian yang teguh. Hal ini yag
menyebabkan ia dan Magi sering bersitegang karena
keduanya sama-sama berpendirian teguh dan mempunyai
pandangan yang berbeda tentang adat. Ama Bobo termasuk
orangtua yang memegang teguh adat dan menganggap
bahwa adatnya lah yang paling benar, hal ini
menyebabkannya memaksa Magi untuk menerima lamaran
dari Leba Ali meskipun Magi sudah menolak.
3. Ina Bobo
Ina Bobo digambarkan seperti kebanyakan perempuan
yang tumbuh di tengah adat yang kolot, ia penurut dan
banyak diam karena peran dalam keluarga (kecuali
pekerjaan dapur), khususnya pengambilan keputusan
didominasi oleh Ama Bobo. Namun, ada saat-saat Ina Bobo
terlihat lebih berpihak kepada Magi (halaman 79), meski
kebanyakan ia hanya berusaha bersikap netral karena ia
berperan sebagai istri.
4. Dangu Toda
Dangu Toda digambarkan sebagai sahabat laki-laki
Magi sejak kecil. Mereka memiliki hubungan yang sangat
akrab seperti kakak-beradik karena sudah dekat sejak kecil
dan merupakan satu suku. Dangu selalu berperan menjadi
orang yang berusaha membantu Magi, meskipun
permintaan Magi merupakan hal yang sulit. Ia juga salah
satu orang yang membantu pelarian Magi bahkan setelah
Magi menerima lamaran Leba Ali ia tetap bersiaga untuk
menolongnya setiap saat (halaman 310-311).
5. Tara Wamena
Seperti Dangu, Tara merupakan sahabat yang sangat
dekat dengan Magi sejak kecil, bahkan sampai menjadi
saudara (ia menikah dengan Rega, kakak laki-laki Magi).
Namun, posisinya sebagai menantu dan istri terkadang
menghambatnya untuk membantu Magi. Karena ia harus
berperan sebagai menantu yang menghormati mertua dan
sebagai istri yang menghormati suami. Meski begitu, ia
tetap berusaha membantu Magi, ia bahkan ikut
merencanakan pelarian Magi dan menjadi penghubung
antara Magi dengan Ina dan Ama-nya.
6. Rato Lango
Rato Lango merupakan orang yang dituakan di
kampung karang. Ia sering dimintai nasihat atau bahkan
sebagai perwakilan kampung. Rato Lango merupakan orang
yang bijaksana dan lembut, dan sebagai orang yang
dituakan Rato Lango tentu memegang teguh adat nenek
moyangnya. Ia beberapa kali berusaha meyakinkan Magi
agar tetap mengikuti adat dan jangan melanggarnya karena
takut akan mendapatkan sesuatu yang buruk.
7. Leba Ali
Leba Ali digambarkan sebagai laki-laki mata keranjang
(hal ini dijelaskan berkali-kali di dalam buku, hampir setiap
pada kemunculan Leba Ali), dia juga diisukan melakukan
kekerasan kepada istrinya yang terdahulu sehingga istrinya
memilih untuk meninggalkannya. Leba Ali juga memiliki
koneksi dan banyak desas-desus bahwa dia bersekongkol
untuk korupsi, hal ini juga yang memudahkannya lepas dari
proses hukum saat pertama kali dilaporkan oleh Magi atas
tindakan penculikan dan pemerkosaan. Ia juga merupakan
orang yang kasar dan tidak suka dibantah. Hal ini
ditunjukkan dengan perilakunya terhadap Magi hingga ia
menganiaya Magi.
8. Mama Mina
Mama Mina merupakan salah satu anggota dari Gema
Perempuan. Ia yang menawarkan rumahnya saat Magi
berencana untuk kabur. Ia juga membantu Magi saat
memutuskan untuk kabur ke Kupang.
9. Bu Agustin/ Mama Agustin
Bu Agustin, Ketua Gema Perempuan, merupakan orang
yang menghubungi Magi saat dia menceritakan tentang
ceritanya di media sosial. Dia juga yang membantu
merencanakan kepergian Magi hingga membiarkannya
tinggal di rumah aman milik Gema Perempuan. Selain itu,
Bu Agustin juga menggunakan koneksinya untuk mencari
tahu tentang Leba Ali dan mengadakan penyuluhan serta
pelatihan kepada polisi-polisi di Sumba. Dapat dibilang, ia
dan Gema Perempuan lah yang berperang besar dalam
rencana-rencana Magi untuk kabur maupnun balas dendam.
1.4. LATAR (SETTING)
Latar merupakan tempat terjadinya suatu peristiwa, dan yang
saling menghubungkan potongan-potongan cerita menjadi padu.
Latar juga dapat berupa tempat ataupun waktu pada peristiwa
tersebut.
Menurut Panuti-Sudjiman (1991:44), latar adalah segala
keterangan, petunjuk, atau pengacuan yang berkaitan dengan
waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya
sastra.
Latar pada novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan
Hitam meliputi latar tempat dan waktu. Yakni sebagai berikut.
a. Latar Tempat
Ditemukan beberapa latar tempat dalam novel
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam, yaitu
sebagai berikut.
 Kampung Karang
 Kampung Patakaju
 Kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, NTT
 Kota Weetebulla, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT
 Mata Air Matayangu, Kabupaten Sumba Tengah
 Kupang, NTT
 Soe, NTT
b. Latar Waktu
Dalam novel ini tidak dijelaskan waktu secara spesifik,
tapi melihat tragediy terjadinya penculikan Magi yang
dilakukan pada penghujung perayaang Wulla Poddu (Ritual
di adat Marappu dimana selama sebulan penuh orang harus
prihatin, tidak boleh mengadakan pesta perkawinan, kubur
batu, membangun rumah, atau menanam di kebun. Wulla
Poddu sering kali diterjemahkan bebas sebagai bulan hitam,
meskipun makna yang sebenarnya ialah bulan yang suci)
dan sehari menjelang Kalangngo (Ritual puncak Wulla
Poddu), yakni berarti sekitar bulan Oktober-November.
(halaman 38-39).

1.5. SUDUT PANDANG (POINT OF VIEW)


Sudut pandang (point of view) merupakan metode penggambaran
narasi, bagaimana pengarang menempatkan dirinya untuk bercerita dan
cara memandang para tokoh menggunakan kacamata tokoh cerita.
Pembagian sudut pandang dapat dibedakan menjadi empat bagian
(Nurgiyantoro, 2007), yaitu:
- Sudut Pandang Orang Pertama
Pada sudut pandang orang pertama cerita akan disampaikan oleh
tokoh utama pada cerita terebut, sedangkan pengarang hanya
berperan sebagai penghubung cerita dengan pembaca.
- Sudut Pandang Orang Ketiga
Pada sudut pandang orang ketiga cerita disampaikan atau
dikisahkan oleh pengarang menggunakan kata ganti orang ketiga.
Umumnya pengarang menggunakan kata dia untuk kata ganti
orang ketiga.
- Sudut Pandang Orang Ketiga Terbatas
Pada sudut pandang ini pengarang bercerita dengan menggunakan
orang ketiga tetapi diceritakan menggunakan pandangan salah satu
tokoh dalam cerita tersebut. Pengarang dekat sekali dengan tokoh
dan melihat peristiwa dalam cerita melalui mata dan pikirannya.
- Sudut Pandang Objektif
Pada sudut pandang objektif ini pengarang menempatkan dirinya di
luar cerita, dan hanya melaporkan apa-apa yang dilakukan,
dibicarakan, dan dipikirkan tokohnya. Dalam hal ini pembaca
diberikan kebebasan dalam menafsirkan tokohnya.

Dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam


menggunakan sudut pandang orang ketiga terbatas. Hal ini
diketahui karena pengarang bercerita dengan menggunakan sudut
pandang orang ketiga tetapi diceritakan menggunakan pandangan
salah satu tokoh dalam cerita tersebut, yaitu tokoh Aku (hal ini
diungkapkan pada Bab 37; Aku, halaman 193-195 dan pada Epilog
halaman 308-312). Pengarang seperti dekat sekali dengan tokoh
dan melihat peristiwa dalam cerita melalu mata dan pikirannya.
B. BENTUK KETIDAKADILAN GENDER
Menurut Yayasan Kesehatan Perempuan, ketidakadilan gender
merupakan bentuk pembedaan perlakuan berdasarkan alasan gender.
Ketidakadilan gender dapat terjadi terhadap perempuan maupun laki-laki,
namun dalam hal ini ditemukan lebih banyak perempuan sebagai korban
dari ketidakadilan gender, meski tidak menutup kemungkinan laki-laki pun
mengalami hal yang serupa.
Bentuk ketidakadilan gender dapat dibagi menjadi lima, yaitu
Subordinasi, Pelabelan (Stereotipe), Peminggiran (Marginalisasi), Beban
Ganda, dan Kekerasan.
Empat dari lima bentuk ketidakadilan gender tersebut ditemukan dan
dialami oleh tokoh-tokoh perempuan dalam novel Perempuan yang
Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo. Yakni sebagai
berikut.
1. Subordinasi
Subordinasi gender ialah menganggap satu jenis kelamin
memiliki kedudukan yang lebih tinggi di antara jenis kelamin yang
lainnya. Subordinasi biasanya lebih sering dialami oleh perempuan,
contohnya: perempuan tidak perlu melanjutkan sekolah tinggi-
tinggi karena pada akhirnya akan menjadi seorang istri yang akan
mengurus suami dan anak, atau anggapan bahwa laki-laki dapat
memutuskan jalan hidupnya sendiri sedangkan perempuan tidak.
Dalam novel ini terjadi bentuk subordinasi kepada tokoh-tokoh
perempuan, terutama Magi Diela. Ama Bobo yang ternyata ikut
merencanakan kawin tangkap bersama Leba Ali padahal ia sama
sekali tidak memberitahu ataupun menanyakan pendapat Magi
terlebih dahulu. Bahkan setelah peristiwa percobaan bunuh diri dan
pelarian Magi Ama Bobo masih merasa keputusannya merupakan
hal yang benar dan tidak bisa diganggu gugat.
Hal tersebut merupakan subordinasi yang dilakukan Ama Bobo
dan Leba Ali kepada Magi. Mereka berusaha mengontrol dan
memaksa Magi untuk menerima lamaran Leba Ali dengan alasan
menjalankan adat, tanpa mendengarkan pendapat Magi sedikitpun
sebagai orang yang akan dinikahkan. Hal itu semata-mata karena
Ama Bobo dan Leba Ali memegang kcontrol utama sebagai laki-
laki. Ama Bobo dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga dan
salah satu orang terpandang di kampung, sedangkan Leba Ali
sebagai laki-laki yang dianggap sudah mengambil “kesucian” Magi
Diela. Keduanya menggunakan tameng adat untuk melancarkan
rencananya dan memojokkan Magi Diela dengan menggunakan
alasan menjalankan adat nenek moyangnya, yang apabila dilanggar
akan membawa sial.
2. Pelabelan (Stereotipe)
Menurut KBBI, pelabelan atau stereotipe konsepsi mengenai
sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan
tidak tepat. Stereotipe ini sering menimbulkan kerugian serta
ketidakadilan, khususnya bagi perempuan.
Pelabelan gender ini terjadi kepada Magi Diela. Perempuan
(dalam hal ini yang berada pada adat Sumba) yang biasanya
digambarkan sebagai perempuan penurut, pasrah, dan tidak banyak
bertanya hal-hal yang dianggap bukan ranahnya.
Hal ini ditunjukkan dari seringnya dialog antara Magi dan
tokoh-tokoh perempuan lain yang menganggap bahwa untuk
menjadi diam dan penurut adalah sebuah keharusan. Banyak
perempuan-perempuan yang pada awalnya tidak setuju dengan
kawin tangkap tetapi karena hal tersebut sudah terjadi mereka
memilih untuk tidak melawan dan menerimanya karena
menganggap hal tersebut merupakan hal yang seharusnya
dilakukan.
Maka dari itu, saat Magi berusaha melawan dan berani untuk
tidak setuju dengan hukum adat dan perlakuan yang dinilai
merampas kebebasan dan hak terhadap dirinya sendiri ia malah
dilabeli sebagai “Perempuan pembawa sial” karena dianggap
melanggar adat nenek moyang yang suci.
3. Peminggiran (Marginalisasi)
Marginalisasi merupakan bentuk pembatasan terhadap akses
dan sumber daya yang mengakibatkan orang yang dimarginalisasi
tidak mempunyai kontrol. Dalam hal ini, contoh marginalisasi
terhadap perempuan dapat berupa bentuk diskriminasi dalam
lingkungan keluarga atau kerja.
Marginalisasi yang diterima oleh Magi Diela dan tokoh-tokoh
perempuan dalam cerita diperkuat oleh adanya adat istiadat.
Bentuk-bentuk marginalisasi terhadap tokoh-tokoh perempuan
dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
antara lain ialah adat kawin tangkap. Hal ini dianggap
memarginalisasi perempuan karena kontrol dan hak perempuan
atas tubuh dan hidupnya direnggut dan diambil. Magi Diela sendiri
berpendapat bahwa kawin tangkap merenggeut kebebasan dan
kemerdekaannya sebagai perempuan.
Namun, hal tersebut masih dianggap wajar oleh gologan yang
masih memegang adat kuno karena berasumsi untuk melestarikan
adat yang sudah turunn temurun dan menjaga budaya.
Bentuk marginalisasi tokoh perempuan dalam novel ini juga
terlihat dari bagaimana para tokoh perempuan, terutama yang
sudah menjadi istri, tidak dapat bebas. Bebas dalam artian, saat
perempuan belum menjadi istri ia harus menuruti ayahnya yang
dianggap sebagai kepala keluarga, dan apabila sudah menjadi istri
dan sudah dibayar belisnya, tubuh dan pikirannya sudah tidak
menjadi miliknya sendiri melainkan milik suaminya. Karena hak
atas kepemilikan tubuh dan pikirannya telah dirampas.
4. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan merupakan perbuatan seseorang atau
keompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain
atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
Dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
kekerasan dilakukan oleh Leba Ali kepada Magi Diela dan istrinya
yang terdahulu. Tidak hanya itu, Leba Ali juga melakukan
pemerkosaan terhadap Magi Diela.
Selain itu pada halaman 217-220 juga diceritakan tentang para
ibu rumah tangga yang mendapatkan kekerasan dari suaminya
bahkan keluarganya. Namun, mereka pada awalnya menganggap
hal tersebut merupakan hal yang biasa dan takut melaporkannya
karena akan menjadi aib.
4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur intrinsik


novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam terdiri dari (1) Tema
dalam novel tersebut ialah penentangan hegemoni adat lama yang dianggap kolot
dan ditunggangi oleh kejahatan manusia dan penyelewengan adat. (2) Alur (Plot)
pada cerita pendek ini dibagi menjadi 5 (lima) yaitu, tahap penyituasian, tahap
pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, tahap klimaks, serta tahap
penyelesaian. (3) Ada 9 tokoh yang krusial dan berperan penting dalam novel
tersebut. Yakni Magi Diela, Ama Bobo, Ina Bobo, Dangu Toda, Tara Wamena,
Rato Lango, Leba Ali, Mama Mina, dan Bu Agustin. (4) Novel Perempuan yang
Menangis kepada Bulan Hitam terdiri dari latar (setting) tempat yaitu Kampung
Karang, Kampung Patakaju, Kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, NTT,
Kota Weetebulla, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Mata Air Matayangu,
Kabupaten Sumba Tengah, Kupang, NTT, dan Soe, NTT. Dan latar waktu pada
sekitar bulan Oktober-November (tidak disebutkan tahunnya) bertepatan dengan
puncak Wulla Poddu. (5) Sudut pandang (Point of View) yang dipakai dalam
novel ini ialah sudut pandang orang ketiga terbatas.

Selain itu dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
terdapat bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi kepada tokoh-tokoh
perempuannya. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel
tersebut antara lain yaitu Subordinasi, Pelabelan (Stereotipe), Peminggiran
(Marginalisasi), dan Kekerasan. Hal ini menjadikan novel tersebut sarat akan
tema dan makna yang berusaha diangkat dan diberikan kepada pembaca.

Bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam novel tersebut didukung oleh adat


lama yang kolot dan pada akhirnya menimbulkan pertentangan. Dalam hal ini,
Magi, sebagai salah seorang yang menentang adat tersebut berusaha melepaskan
dirinya sendiri dari adat lama yang kolot yang dianggap merampas kebebasan dan
kemerdekaannya sebagai perempuan. Harga kebebasan yang harus dibayarnya
begitu mahal dan sulit. Meski pada akhirnya ia berhasil mendobrak dan menolak
adat tersebut, belum banyak yang berubah. Banyak yang mencacinya secara
terang-terangan karena melanggar adat yang dianggap suci, namun banyak juga
yang memberikan apresiasi karena ia berhasil keluar dari adat yang kolot.
Melestarikan adat dan kebudayaan merupakan hal yang baik, apalagi
Indonesia merupakan negara yang begitu kaya akan adat dan budayanya. Namun,
tidak bisa dipungkiri bahwa selalu ada adat yang memang harus ditinggalkan,
bukan karena terlalu kuno, tetapi karena apabila adat tersebut terus dijalankan
malah akan merugikan kelompok tertentu. Perkembangan zaman mendorong
manusia berpikir maju dan mempelajari banyak hal. Meninggalkan adat yang
dianggap merugikan bukan semata-mata karena tidak menghargai nenek moyang,
tetapi ada nilai-nilai humanis yang harus dijunjung lebih dari adat manapun.

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam merupakan buku yang bagus
untuk direkomendasikan sebagai bacaan. Isinya yang sarat akan tema, serta
penulisannya yang dapat dibilang tidak bertele-tele dapat menjadi bacaan yang
menyenangkan. Pembaca disajikan tradisi-tradisi dan bahasa sehari-hari Sumba
sehingga terasa begitu dekat dengan sang tokoh utama. Buku ini juga tidak hanya
menyajikan penderitaan atas korban, namun juga perjuangan dan semangat yang
berusaha disampaikan pada setiap barisnya.
5. DAFTAR PUSTAKA

Boulton, Marjorie. 1984. The Anatomy of the Novel. Cetakan IV (Cetakan I


1975). London: Roudledge & Kegan Paul.
Purnomo, Dian. 2020. Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Panuti-Sudiman dan Dendi Sugono(ed.). 1989. Petunjuk Penulisan Karya
Ilmiah. Jakarta: Kelompok 24 Pengajar Bahasa Indonesia.
Suharto, Sugihastuti. 2002. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suarta, I Made., Dwipayana, I Kadek Adhi. 2014. Teori Sastra. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Teew, A. 1980. Sastra Baru Indonesia I. Ende: Nusa Indah.
Wahyuni, Budi. 1997. Terpuruk Ketimpangan Gender. Yogyakarta: Lapera
Pustaka Umum.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (diterjemahkan
oleh Mellany Budianta). Jakarta: Gramedia.
Ykp.or.id. (08 Juni 2020). Ketidakadilan Gender. Diakses pada 30 Desember
2022, dari https://ykp.or.id/datainfo/materi/57.

Anda mungkin juga menyukai