Anda di halaman 1dari 114

MATERI 1

PUASA

Puasa menurut bahasa adalah menahan. Sedangkan menurut syari’at, puasa


adalah menahan diri dari makan, minum, hubungan suami-istri, dan semua perkara yang
mebatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat
ibadah.

Allah swt telah mewajibkan puasa kepada umat Muhammad saw sebagaimana
allah mewajibkan kepada umat-umat terdahulu sesuai dengan firman-Nya:
ۙ َ ُ َّ َ ُ َ َّ َ ُ َ ّ ُ ُ ْ َ َ َ ُ ْ ُ َ ٰ َ ْ َّ َ ُّ َ ٰٓ
‫الص َي ُام ك َما ك ِت َب َعلى ال ِذ ْي َن ِم ْن ق ْب ِلك ْم ل َعلك ْم ت َّت ُق ْو َن‬
ِ ‫يايها ال ِذين امنوا ك ِتب عليكم‬
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah 183)

Dalil dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


َ َّ ُ ُ َ ً َّ َ ُ َّ ‫َ َ َ َأ ْ َ َ َ َّ َّ ُ َ َأ‬ ْ َ ََ ُ َ ْ َ ُ
‫ َوِإ *ق * * ِام‬، ‫ول الل ِه‬ * * * ‫س ش * * *هاد ِة ن ال ِإ *ل * **ه ِإ ال الله و ن محمدا رس‬ ٍ ‫ب ِنى اِإل س * * *الم على خم‬
َ ‫ض‬
َ ‫ص ْوم َر َم‬ َ ‫ َو‬، ‫ َو ْال َح ّج‬، ‫الز َكاة‬
َّ ‫ َو َيتاء‬، ‫الص َالة‬
‫ان‬ ِ ِ ِ ِ ‫َّ ِ ِإ‬
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang
berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan
shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.”

Perintah yang mewajibkan puasa ini turun pada hari senin bulan Sya’ban tahun kedua
setelah hijrah.

Peringatan bagi Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa


Abu Umamah menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ”Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu
keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata,
”Naiklah”. Lalu kukatakan, ”Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya
berkata, ”Kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku
sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu  aku
bertanya,”Suara apa itu?” Mereka menjawab,”Itu adalah suara jeritan para penghuni
neraka.”
Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang
bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari
robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya, ”Siapakah
mereka itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
َ ‫ون َق ْب َ*ل َتح َّلة‬
‫ص ْو ِم ِه ْم‬ َ ‫َهُؤ اَل ء َّالذ‬
َ ‫ين ُي ْفط ُر‬
ِ ِ ِ ِ ِ
”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba
waktunya.”

Lihatlah siksaan bagi orang yang membatalkan puasa dengan sengaja dalam hadits ini,
maka bagaimana lagi dengan orang yang enggan berpuasa sejak awal Ramadhan dan
tidak pernah berpuasa sama sekali.
Adz Dzahabiy sampai-sampai mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa
Ramadhan, bukan karena sakit atau uzur lainnya, maka dosa yang dilakukan lebih jelek
dari dosa berzina, penarik upeti (dengan paksa), pecandu miras (minuman keras),
bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang yang
terjangkiti kemunafikan dan penyimpangan.”
MATERI 2
SYARAT DAN RUKUN PUASA

Syarat wajibnya puasa yaitu:


1. Islam, berarti puasa tidak diwajibkan pada orang kafir, artinya orang kafir tidak
dituntut di dunia untuk berpuasa. Namun di akhirat, orang kafir dihukum karena
kekafirannya.

2. Taklif (dibebani syariat), artinya muslim yang baligh dan berakal. Jika sifat taklif ini
tidak ada, maka tidak dibebani hukum syariat.
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َ َ ْ َ ْ َ َّ َ َّ ‫ َعن‬: ‫القلم َع ْن َث َال َ*ث**ة‬
‫ َو َع ِن‬، ‫ص* * ِب ِّي َح َّتى َي ْح َت ِل َم‬
َّ ‫ َو َعن ال‬، ‫ظ‬
ِ ‫ق‬ ‫ي‬ ‫ت‬* * ‫س‬ ‫ي‬ ‫ى‬‫ت‬ ‫ح‬ ‫م‬ِ ‫ِئ‬‫ا‬ ‫الن‬ ِ ٍ
ُ ‫ُرف* * َ*ع‬
َ
‫امل ْج ُن ْو ِن َح َّتى َي ْع ِق َل‬
“Pena diangkat dari tiga orang: (1) dari orang yang tidur sampai ia terbangun, (2)
dari anak kecil sampai ia ihtilam (mimpi basah), (3) dari orang gila sampai ia
sadar.”(HR. Abu Daud, no. 4403. Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini dalam
Shahih Al-Jami, no. 3513).

3. Mampu
4. Sehat
5. Mukim
Tiga hal ini yang menyebabkan wajib puasa. Berarti yang menghalangi puasa adalah
tidak mampu, sakit, atau musafir.
Detailnya, uzur tidak puasa ada dua yaitu uzur yang menghalangi puasa dan uzur yang
dibolehkan tidak puasa.
Uzur yang menghalangi puasa adalah mengalami haidh dan nifas pada sebagian siang,
juga pingsan atau tidak sadarkan diri pada keseluruhan siang (hari berpuasa).
Uzur yang membolehkan tidak puasa adalah:
a. Sakit yang mendatangkan mudarat yang sangat. Namun jika berpuasa membuat
sakit bertambah parah, atau bisa buat binasa, maka wajib tidak berpuasa.
b. Bersafar jauh, lebih dari 83 km, dengan catatan, safarnya minimalnya adalah safar
mubah. Namun jika pagi hari berpuasa, lantas siang hari bersafar, maka tidak
boleh membatalkan puasa.
Tentang uzur sakit dan safar disebutkan dalam ayat,
َ ‫َ ٌ َأ ُأ‬ َ ‫َ َ ْ َ َ َ ً َأ‬
‫يضا ْو َعلى َس َف ٍر ف ِع َّدة ِم ْن َّي ٍام خ َر‬‫ومن كان م ِر‬
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)

c. Orang yang sudah tidak punya kemampuan untuk berpuasa. Dalam ayat
disebutkan,
َ ٌ َ َ ‫َو َع َلى َّالذ‬
‫ين ُي ِط ُيقون ُه ِف ْد َية ط َع ُام ِم ْس ِك ٍين‬ ِ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-
Baqarah: 184)

Rukun Puasa
1. Niat, yaitu kemantapan hati untuk berpuasa sebagai ketaatan atas perintah Allah swt,
atau mendekatkan diri kepadaNya, berdasarkan hadits ‘Umar bin Khottob,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ّ ‫ال ب‬ ْ ‫َّ َأل‬
ِ ِ ُ ‫ِإ ن َما ا ع َم‬
‫الن َّي ِة‬
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.”

Niat puasa harus ada untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya, juga untuk
membedakan dengan puasa sunnah.
Namun letak niat adalah di hati, bukan di lisan. Imam Nawawi berkata,
‫اَل َ ُّ َّ ْ َ اَّل ّ َّ َ َ َ ُّ َ َ ْ ُ َ اَل ُ ْ َ َ ُ ُّ ْ َ اَل‬
‫النط ُق ِبال ِخ ٍف‬ ‫الني ِة ومحلها القلب و يشترط‬ ِ ‫ي ِصح الصوم ِإ ِب‬
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati,
tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara
para ulama.”(Roudhotuth Tholibin, 1: 502)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang hal niat, “Siapa saja yang
menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di
hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya,
maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian pula ketika ia ingin menunggangi
kendaraan atau melakukan aktivitas lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu
amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang
mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang
disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam
hatinya, inilah yang namanya niat”.

Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ َ َ ْ َ ّ ْ ُ َْ ْ َ
‫الص َي َام ق ْب َل ال َف ْج ِر فال ِص َي َام ل ُه‬
ِ ‫من لم يج ِم ِع‬
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”
(HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan Nasa’i no. 2333)

Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam
matahari hingga terbit fajar.

Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas
ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil
masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata,
َ ْ َ َ ُ َ ‫ات َي ْوم َف َق‬
.‫ ف ُقل َنا ال‬.» ‫ال « َه ْل ِع ْن َدك ْم ش ْى ٌء‬ َ ‫ َذ‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫النب ُّى‬ َّ ‫َد َخ َل َع َل َّى‬
ٍ ِ
َ َ َ ٌ ْ َ َ َ َ ْ ‫َ َ َ ّ ً َ ٌ ُ َّ َأ َ َ َ ْ ً َ َ َ ُ ْ َ َ َ ُ َ َّ ُأ‬
« ‫ فقال‬.‫ ثم تانا يوما آخر فقلنا يا رسول الل ِه ه ِدى لنا حيس‬.» ‫قال « فِإ ِنى ِإ ذا صاِئ م‬
َ ‫َ َأ‬ ْ ‫َأ رينيه َف َل َق ْد َأ‬
َ ‫ص َب ْح ُت‬
.‫ ف ك َل‬.» ‫صاِئ ًما‬ ِ ِ ِ
“Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya,
“Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau
berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari
yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais
(makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata,
“Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa


boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada
puasa sunnah.”

Disini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan
pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka
puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.

2. Imsak, yaitu menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa seperti
makan, minum dan berhubungan suami istri.
3. Waktu, sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahati.
َّ َ َ ّ َ ُ
 ‫الص َيام ِالى ال ْي ِ ۚل‬
ِ ‫ث َّم ا ِت ُّموا‬
“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah:187)
MATERI 3
PEMBATAL PUASA

A. Perkara –perkara yang membatalkan puasa


1. Masuknya cairan kedalam tubuh melalui hidung seperti memasukan obat lewat
hidung atau mata dan telinga, seperti meneteskan cairan /obat ke keduanya,atau
melalui duburdan kemaluan wanita,sepertisuntikan.
2. Sesuatu yang masuk kedalam tubuh karna berlebih-lebihan dalam berkumur dan
menghirup air dengan hidungketika berwudhu dan lainya.
3. Keluarnya air mani karena melihat wanita secara terus menerus selalu
memikirkanya ,mencium,atau berhubungan suami istri.
4. Muntah dengan sengaja ,sebagaimana sabda Rasululloh SAW
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ض‬ ْ ‫اس َت َق َاء َف ْل َي‬
‫ق‬ َ ‫س َع َل ْيه َق‬
ْ ‫ض ٌاء َو ن‬ َ ْ ‫صا ٌم َف َل‬
‫ي‬ َ ‫َم ْن َذ َر َع ُه َق ْى ٌء َو ُه َو‬
ِ ِ ‫ِإ‬ ِ ‫ِئ‬
“Barangsiapa yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja) sedangkan dia
dalam keadaan puasa, maka tidak ada qadha’ baginya.Namun apabila dia muntah
(dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qadha’.”(HR. Abu Daud, no.
2380; Ibnu Majah, no. 1676; Tirmidzi, no. 720.Syaikh Al-Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih).

Sedangkan orang yang muntah tanpa sengaja karna tak mampu menahannya,
misalnya, maka hal itu tidak membatalkan puasa.

5. Makan atau minum atau bersenggama dalam keadaan terpaksa untuk itu.
6. Orang yang makan dan minum karena menduga masih malam, tetapi kemudian
nyatalah baginya bahwa fajar telah terbit.
7. Orang yang makan dan minum karena menduga bahwa hari telah malam, tetapi
kemudian nyata baginya bahwa hari masih siang.
8. Orang yang makan dan minum karena lupa, tetapi kemudian ia tidak berhenti
darinya karena menduga bahwa berhenti makan dan minum tidak wajib selama ia
telah makan dan minum hingga meneruskan berbuka sampai malam.
9. Masuknya sesuatu yang bukan makanan atau minuman kedalam tubuh melaui
mulut, misalnya menelan permata atau benang, sebagaimana di riwayatkanbahwa
ibnu Abbas RA. berkata:
“Puasa itu karena sesuatu yang masuk, dan bukan karena sesuatu yang keluar”.

Yang di maksudkan oleh Ibnu Abbas adalah bahwa puasa itu batal dengan
masuknya sesuatu ke dalam tubuh dan bukan karena keluarnya sesuatu darinya,
seperti darah dan muntah.
10. Menolak berniat puasa meskipun tidak makan dan minum. Jika penolakan
tersebut ditafsirkan sebagai berbuka puasa, tetapi jika sebaliknya, maka puasa itu
tidak batal.
11. Murtad (keluar) dari islam, walaupun ia kembali masuk kedalam islam,
berdasarkan Firman Allah SAW,
َ ُ َ َ ُ َ َ َّ َ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ َۚ ْ َ ْ َ ْ َّ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ
‫*ك َول َت *ك* ْون َّن‬*‫ول * *ق د او ِحي ِالي**ك و ِالى ال ِذين ِمن قب ِ*ل* ك ل ِٕىن اش* *ركت ليحبطن عمل‬ 
ٰ ْ
‫ِم َن الخ ِس ِر ْي َن‬
Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu, “Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan
hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi. (QS. Az-Zumar
Ayat 65)

Semua yang disebutkan di atas adalah perkara-perkara yang membatalkan puasa


dan mewajibkan orang yang melakukannya untuk mengganti puasanya yang batal,
tetapi tidak ada kafarat (denda) atasnya, karena kafarat tidak diwajibkan kecuali atas
dua perkara, yaitu:
a. Hubungan suami istri dengan sengaja, tanpa terpaksa: Hal ini sesuai dengan
riwayat dari Abu Hurairoh RA,
َ ‫ال َو َما َذ‬
‫اك‬ َ ‫ال َه َل ْك ُت َف َق‬ َ ‫الل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َف َق‬
َّ َّ َ َّ
‫ول الل ِه صلى‬ ‫س‬ُ ‫ال َج َاء َر ُج ٌل َلى َر‬ َ ‫َق‬
ِ ‫ِإ‬
َ ‫ص‬
‫وم‬ ُ ‫ال َف َه ْل َت ْس َتط ُيع َأ ْن َت‬ َ َ َ َ ًََ َ ُ َ َ َ َ َ ََ
‫ق‬ ‫ال‬ ‫ال‬ ‫ق‬ ‫ة‬ ‫ب‬ ‫ق‬‫ر‬ ‫د‬ ‫ج‬ ‫ت‬ ‫ال‬ ‫ق‬ ‫ان‬ ‫ض‬ ‫م‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ه‬ ْ ‫ال َو َق ْع ُت بَأ‬
َ ‫َق‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ َ َ َ ً ْ َ ّ َ ْ ُ ْ ‫َ ْ َ ْ ُ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َأ‬
‫ال ف َج َاء‬ ‫شهري ِن متت ِابعي ِن قال ال قال فتست ِطيع ن تط ِعم ِس ِتين ِمس ِكينا قال ال ق‬
َ ‫ال ْاذ َه ْب ب َه َذا َف َت‬
‫ص َّد ْق ِب ِه‬ َ ‫صار ب َع َرق َو ْال َع َر ُق امْل ِ ْك َت ُل ِف ِيه َت ْم ٌر َف َق‬ َ ‫َر ُج ٌل م ْن اَأل ْن‬
ِ ٍ ِ ِ ِ
ْ َ ْ ‫َأ‬ َ َ َ ْ َ ّ َ ْ َ َ َ َ َّ َ َّ َّ
َ ‫ال َعلى ح َوج ِمنا يا َر ُس‬
َ َ ْ ‫َأ‬ َ َ ‫َق‬
‫ول الل ِه وال ِذي بعثك ِبالح ِق َما بين البت ْي َها ه ُل بي ٍت‬
َ‫ال ْاذ َه ْب َفَأ ْطع ْم ُه َأ ْه َلك‬ َ َ َّ ُ َ ْ ‫َأ‬
‫حوج ِمنا ق‬
ِ
"Seseorang datang kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan berkata,
“Wahai Rasulullah, celakalah saya! "Beliau bertanya, “Ada apa dengan anda?
"Dia menjawab, “Saya telah berhubungan intim dengan istri sementara saya
dalam kondisi berpuasa (Di bulan Ramadan)," Maka Rasulullah sallallahu alaihi
wa sallalm bertanya, “Apakah anda dapatkan budak (untuk dimerdekakan)? "Dia
menjawab, “Tidak. "Beliau bertanya, “Apakah anda mampu berpuasa dua bulan
berturut-turut?"Dia menjawab, “Tidak."Beliau bertanya, “Apakah anda dapatkan
makanan unttuk memberi makan kepada enampuluh orang miskin? "Dia
menjawab, “Tidak. "Kemudian ada orang Anshar datang dengan membawa
tempat besar di dalamnya ada kurmanya. Beliau bersabda, “Pergilah dan
bershadaqahlah dengannya. "Orang tadi berkata, “Apakah ada yang lebih miskin
dari diriku wahai Rasulullah? Demi Allah yang mengutus anda dengan
kebenaran, tidak ada yang lebih membutuhkan diantara dua desa dibandingkan
dengan keluargaku. "Kemudian beliau mengatakan, “Pergilah dan beri makanan
keluarga anda.” (Muttafaq ‘alaih)

b. Makan dan minum tanpa udzur (alasan) yang di perbolehkan. Pendapat ini adalah
pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik Radiallahu anhu dalil yang mereka
pergunakan adalah :
َ ‫َأ َّ َ ُ اًل َأ ْ َ َ َ َ َ َ َأ َ َ ُ َّ َأ‬
‫الن ِب ُّي ْن ُيك ِّف َر‬ ‫ ف مره‬,‫ن رج فط ِرفي رمضان‬
“Bahwa seseorang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian Nabi SAW
memerintahkan membayar kafarat (denda).” (Diriwayatkan oleh Imam Malik)
Dalil lain ialah Abu Hurairah ra. yang menyebutkan, seseorang datang kepada
Nabi SAW, kemudian ia berkata “Aku tidak berpuasa satu hari pada bulan
romadhon dengan sengaja.” Rasulullah SAW bersabda,
ْ ‫َأ َأ‬ َ ُ ْ ‫ْ ْ َ َ َ َأ‬
‫ص ْم ش ْه َر ْي ِن ُم َت َت ِاب َع ْي ِن ْو ط ِع ْم ِس ِّت ْي َن ِم ْس ِك ْي ًنا‬‫ِاع ِتق رقب ٍة و‬
“Merdekakanlah seorang budak,atau puasalah dua bulan berturut turut ,atau
berilahmakan 60 orang miskin”. (HR. Muttafaq ‘alaih)
MATERI KE 4
SUNAH-SUNAH PUASA

Perkara-perkara yang di sunahkan:


1. Menyegerakan berbuka puasa (takjil),yaitu segera berbuka puasa ketika waktu
berbuka telah tiba pada saat matahari benar benar telah terbenam, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
ْ ْ ُ َ ُ َّ ُ َ َ َ
‫اس ِبخ ْي ٍر َما َع َّجلوا ال ِفط َر‬ ‫ال يزال الن‬
“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu
berbuka.” (HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098)

Anas bin Malik Radiallahu anhu juga berkata,


“Sesungguhnya Nabi SAW tidak mengerjakan sholat Magrib sampai berbuka puasa
(terlebih dahulu walaupun hanya dengan seteguk air”. (Diriwayatkan oleh ath-
Thabrani)

2. Berbuka puasa dengan kurma matang, atau kurma kering, atau air. Yang terbaik
diantara ketiganya adalah yang pertama, yaitu kurma mateng, sedangkan yang kurang
baik adalah yang taerahir, yaitu air. Seorang muslim disunnahkan berbuka puasa
dengan sesuatu yang ganjil: tiga, lima atau tujuh, sebagaimana Anas bin malik RA
berkata,
َ َ ّ َ ُ ْ ‫ُ ْ ُ َ َ ُ َ َ َ ْ َ َأ‬ َّ ُ ُ َ َ َ
‫ص ِل َى فِإ ْن ل ْم‬‫ات قبل ن ي‬ ٍ ‫ يف ِطر على رطب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ول الل ِه‬ ‫كان رس‬
‫ات ِم ْن َم ٍاء‬ ْ ُ َ َ ْ َ ‫ات َف َع َلى َت َم َر‬
ٌ ‫َت ُك ْن ُر َط َب‬
ٍ ‫ات فِإ ن ل ْم تكن َح َسا َح َس َو‬
ٍ
"Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berbuka dengan ruthab (kurma
basah), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan tamr (korma kering), jika tidak
ada tamr maka meneguk beberapa tegukan air." (HR. Ahmad)

3. Berdoa ketika berbuka puasa, Perlu diketahui bersama bahwa ketika berbuka puasa
adalah salah satu waktu terkabulnya do’a. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ُ ْ َ ‫َ َ َ ٌ َ ُ َ ُّ َ ْ َ ُ ُ ُ َ ُ ْ َ ُ َ َّ ُ َ ُ ْ ُ َ َ ْ َ ُ مْل‬
‫وم‬
ِ ‫ثالثة ال ترد دعوتهم اِإل مام الع ِادل والصاِئ م ِحين يف ِطر ودعوة ا ظ‬
‫ل‬
“Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang
berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi.” (HR. Hasan
diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang berpuasa
telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam ketika berbuka beliau membaca do’a berikut ini,
َّ َ ‫َ ْ َ َّ ْ ُ ُ ُ َ َأل‬ ‫َ َ َ َّ َ ُأ‬
‫وق َوث َب َت ا ْج ُر ِإ ْن ش َاء الل ُه‬‫وابتل ِت العر‬ ‫ذهب الظم‬
Telah hilang dahaga dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan, insya
Allah)”
4. Makan sahur dan mengakhirkannya. Sahur adalah makan dan minum pada saat sahur
di akhir malam dengan niat puasa, sebagaimana sabda Rasulullah saw
َّ ‫ص ُل َما َب ْي َن ص َيام َنا َوص َيام َأ ْهل ْال ِك َتاب َأ ْك َل ُة‬
‫الس َح ِر‬ ْ ‫َف‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
"Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) adalah
makan sahur." (HR. Muslim )
ً َ َّ ‫َت َس َّح ُروا َف َّن فى‬
ُ ‫الس‬
‫ور َب َركة‬
ِ ‫ح‬ ِ ‫ِإ‬
"Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan." (HR. Al-
Bukhari dan Muslim)

Mengakhirkan sahur sampai bagian akhir malam hari, berdasarkan sabda Rasulullah
SAW ‫َأ‬
ُّ ‫ال ُأ َّمتى ب َخ ْير َما َع َّج ُلوا ا ْف َط َار َو َّخ ُروا‬
َ ‫الس ُح‬
» ‫ور‬ ُ ‫َا َت َز‬
‫ِإل‬ ٍ ِ ِ
“Umatku senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu
berbuka dan mengakhirkan sahur.” (HR. Ahmad)

Waktu sahur dimulai sejak pertengahan malam yang akhir dan berakhir beberapa saat-
saat sebelum fajar tiba. Ketentuan ini berdasarkan pernyataan Zaid bin tsabit RA,
“Kami melaksanakn sahur bersama Rasulullah SAW kemudian beliau berdiri untuk
shalat. “Aku bertanya, berapa jarak waktu antara adzan dengan sahur?” Rasulullah
SAW menjawab: “sekitar membaca 50 ayat”.

Catatan:
Orang yang merasa ragu-ragu mengenai terbitnya fajar, ia boleh makan dan
minum sampai ia merasa yakin bahwa fajar telah terbit, kemudian ia berhenti dari makan
dan minum, sebagaimana Firman Allah SWT menyebutkan:
Artinya: “Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar”.

Seseorang berkata kepada Ibnu Abbas RA “aku sedang sahur tetapi tiba-tiba aku
merasa ragu ragu sehingga aku berhenti sahur.” Ibnu Abbas berkata kepadanya,
“Makanlah selama kamu merasa ragu-ragu sampai kamu merasa tidak ragu ragu (yakin).
MATERI 5
HAL-HAL YANG DIHARAMKAN SAAT PUASA

Keluarnya mani dengan sengaja.


Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti
mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada
perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal
dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫َأ‬ َ َ َ َ ْ
‫َيت ُر ُك ط َع َام ُه َوش َر َاب ُه َوش ْه َوت ُه ِم ْن ْج ِلى‬
“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat
karena-Ku”. (HR. Bukhari)

Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal


puasa sebagaimana makan dan minum. (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/52)

Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar
mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani,
puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar
mani, maka puasanya batal.
Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar
mani? Jawabnya, puasanya tidak batal. Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َّ َ َ ‫َأ‬ َ َ ْ ‫َأ‬ َ ‫ُأ‬ َ َّ
‫ َما ل ْم ت ْع َم ْل ْو ت َتكل ْم‬، ‫ِإ َّن الل َه ت َج َاو َز َع ْن َّم ِتى َما َح َّدث ْت ِب ِه ن ُف َس َها‬
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka,
selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Jima’ (bersetubuh) dengan sengaja


Yang dimaksud di sini adalah memasukkan pucuk zakar atau sebagiannya secara sengaja
dengan pilihan sendiri dan dalam keadaan tahu akan haramnya. Yang termasuk pembatal
di sini bukan hanya jika dilakukan di kemaluan, termasuk pula menyetubuhi di dubur
manusia (anal sex) atau selainnya, seperti pada hewan (dikenal dengan istilah zoophilia).
Menyetubuhi di sini termasuk pembatal meskipun tidak keluar mani.

Sedangkan jika dilakukan dalam keadaan lupa dan tidak mengetahui haramnya, maka
tidak batal sebagaimana ketika membahas tentang pembatal puasa berupa makan.
Dalil yang menunjukkan bahwa bersetubuh (jima’) termasuk pembatal adalah firman
Allah Ta’ala,
‫ُ َأ‬ ْ ‫َأْل‬ َ ْ ُ ‫ط اَأْل ْب َي‬
ُ ْ َ ْ ُ ُ َ َ َّ َ َ َ َّ َ ُ َ ْ َ ُ ُ َ
‫ض ِم َن الخ ْ*ي ِ*ط ا ْس* َو ِد ِم َن ال َف ْ*ج ِر ث َّم ِت ُّموا‬ ‫وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخي‬
َ ‫مْل‬ َ ‫وه َّن َوَأ ْن ُت ْم َعاك ُف‬
‫ون ِفي ا َس ِاج ِد‬ ُ ‫الل ْيل َواَل ُت َباش ُر‬
َّ َ َ َ ّ
ِ ِ ِ ‫الصيام ِإ لى‬ِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah
kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah:
187). Tubasyiruhunna dalam ayat ini bermakna menyetubuhi.
MATERI 6
HAL - HAL YANG DI MAKRUHKAN SAAT PUASA

Bagi orang yang sedang berpuasa, makruh hukumnya melakukan perkara-perkara yang
dapat merusak puasanya, meskipun jika dilakukan secara wajar, perkara-perkara tersebut
tidak membatalkan Puasa.

Ada kaedah yang sangat membantu ketika memahami makruh sebagai berikut,
َ ‫الك َر َاه ُة َت ُز ْو ُل ب‬
َ ‫الح‬
‫اج ِة‬
َ
ِ
“Suatu yang makruh menjadi hilang karena ada hajat.”

Dalil dari kaedah tentang makruh di atas di antaranya adalah dalil berikut. Diriwayatkan
dari Abi Barzah, beliau berkata, ‫َأ‬
َ ْ َ ْ َ َّ ُ َ ْ َ َ َ َّ َ ُ َ َّ
‫الن ْو َم ق ْب َل ال ِعش ِاء َوال َح ِديث‬ ‫ول الل ِه – صلى هللا عليه وسلم – كان يكره‬ ‫ن رس‬
‫َب ْع َد َها‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan
ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari, no. 568).

Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah begadang bersama Abu Bakar
membicarakan urusan kaum muslimin. Hal ini dikatakan oleh Umar bin Al-Khattab,
sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Tirmidzi, no. 169. Ini menandakan suatu
yang makruh dibolehkan ketika ada hajat.

Perkara perkara tersebut adalah:


1. Berlebih lebihan dalam berkumur dan membersihkan hidung dengan menghirup
dan mengeluarkan air ketika berwudhu,berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
َ ‫اال ْست ْن َشاق ِااَّل َأ ْن َت ُك ْو َن‬
‫صاِئ ًما‬ ْ ََ
ِ ِ ِ ‫وب ِالغ ِفي‬
“Dan bertindaklah maksimal dalam menghirup air dengan hidung kecuali engkau
sedang berpuasa.” (Diriwayatkan oleh Ashhab as Sunan)

Rasulullah SAW tidak menyukai terlalu dalam menghirup air karna takut akan
masuknya air tersebut kedalam rongga ( hidung) nya yang akan merusak puasanya.

2. Ciuman, karena mencium kadang kadang membangkitkan syahwat yang dapat


merambat sampai merusak puasanya dengan keluarnya air madzi atau dengan
hubungan suami istri Yang harus dibayar dengan kaffarah.
3. Suami terus menerus melihat istri dengan syahwat.
4. Menghayalkan hubungan suami istri.
5. Menyentuh wanita dengan tangan atau menempel dengan tubuhnya dengan tubuh.
6. Mengunyah daun sirih karna di khawatirkan beberapa bagianya masuk masuk
kedalam tenggorokan.
7. Mencicipi makanan. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
َّ ْ ‫َ َ ْأ َ َأ ْ َ ُ ْ َ َ َّ َأ‬
َ ‫الش ْي َء َما َل ْم َي ْد ُخ ْل َح ْل َق ُه َو ُه َو‬
ٌ‫صاِئ م‬ ‫ال ب س ن يذوق الخل و‬
“Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu,
selama tidak masuk sampai ke kerongkongan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah
dalam Mushonnaf no. 9277. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ no. 937 mengatakan
bahwa hadits ini hasan).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mencicipi makanan


terlarang bagi orang yang tidak memiliki hajat, tetapi hal ini tidak membatalkan
puasanya. Adapun untuk orang yang memiliki hajat, maka hukumnya seperti
berkumur-kumur.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:266-267)

8. Berkumur kumur bukan wudhu atau keperluan yang mengharuskanya.


9. Bercelak pada permulaan siang, tetapi jika bercelak pada akhir siang,maka hal itu
diperbolehkan.
10. Berbekam atau mengeluarkan darah karena dikhawatirkan akan melemahkan tubuh
yang menyebabkan harus membatalkn puasanya,karna dalam hal demikian terdapat
perkara yang dapat membatalkan puasa.
MATERI 7
PUASA SUNNAH

Puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu
pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang
terdepan (as saabiqun al muqorrobun).
Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,
َّ ُ ‫َ َ َأ‬ ‫ُأ‬ َّ ‫ال َع ْبدى َي َت َق َّر ُب َل َّى ب‬
‫ فِإ ذا ْح َب ْب ُت ُه ك ْن ُت َس ْم َع ُه ال ِذى َي ْس َم ُع‬، ‫الن َوا ِف ِل َح َّتى ِح َّب ُه‬ ِ ‫ِإ‬ ِ ُ ‫وما يز‬
ََ ََ
َ ‫َ َ ْ َ َأ‬ َّ َ ُ ‫ َو َي َد ُه َّالتى َي ْب ُط‬، ‫ص َر ُه َّال ِذى ُي ْب ِص ُر ب ِه‬
‫ وِإ ن س ل ِنى‬، ‫ش ِب َها َو ِر ْجل ُه ال ِتى َي ْم ِشى ِبها‬ ِ ِ
َ ‫ َو َب‬، ‫به‬
ِِ
َ ‫ُأل‬ َ ْ ‫ َولِئ ن‬، ‫ُأل ْعط َي َّن ُه‬
َ
‫اس َت َعاذ ِنى ِعيذ َّن ُه‬ ِ ِ
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah
sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi
petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang
ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia
memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).

1. Puasa arofah, disunnahkan berpuasa bagi orang yang tidak sedang melaksanakan
ibadah haji, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah, sabda Rasullullah SAW:
َّ َ َّ َ ُ َ ْ َ َّ َ َ َّ َ ّ َ ُ ْ ‫َ ُ َ ْ َ َ َ َ َأ ْ َ ُ َ َ َّ َأ‬
‫الس َنة ال ِتى َب ْع َد ُه‬ ‫ِصيام يو ِم عرفة حت ِسب على الل ِه ن يك ِفر السنة ال ِتى قبله و‬
َ َ َّ َ َّ َ ّ َ ُ ْ ‫َ َ ُ َ ْ َ ُ َ َ َأ ْ َ ُ َ َ َّ َأ‬
‫الس َنة ال ِتى ق ْبل ُه‬ ‫و ِصيام يو ِم عاشوراء حت ِسب على الل ِه ن يك ِفر‬
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah?
Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan
setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa
’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang
lalu” (HR. Muslim no. 1162).

2. Puasa ‘Asyura dan puasa Tasu’a, yaitu puasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram,
sebagaimana sabda SAW Rasullullah:
ً
‫اض َية‬ َ ‫راء ُي َك َّف ُر َس َن ًة‬
‫م‬
ُ َ ُ َْ َ
َ ‫اش ْو‬ ‫وصوم ع‬
ِ
“Sedangkan puasa ‘Asyura menghapus dosa-dosa satu tahun sebelumnya”. (HR.
Muslim no.1160)
َّ ‫ص ْم َنا ْال َي ْو َم‬ َّ َ َ ْ ُ ْ ُ ‫َ َ َ ْ َ ُ مْل‬
ُ ‫الل ُه‬
‫اس َع‬
ِ ‫الت‬ ‫ِإذا كان العام ا ق ِبل ِإ ن شاء‬
“Pada tahun depan Insya Allah kita akan berpuasa pada hari Tasu’a”. (HR. Muslim
no.1134)

3. Puasa 6 hari pada bulan Syawal, berdasarkan sabda Rasullullah SAW:


‫الد ْه ِر‬ َ ‫ان ُث َّم َأ ْت َب َع ُه س ًّتا م ْن َش َّوال َك‬
َّ ‫ان َكص َيام‬ َ ‫ض‬َ ‫ص َام َر َم‬
َ ‫َم ْن‬
ِ ِ ٍ ِ ِ
“Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan melanjutkannya dengan
puasa 6 hari pada bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun penuh”. (HR.
Muslim no. 1164)

4. Puasa pertengahan pertama pada bulan Sya’ban, sesuai dengan pernyataan Aisyah RA
“Aku tidak pernah melihat Rasul berpuasa satu bulan penuh kecuali pada bulan
Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau melakukan puasa dalam satu bulan
yang lebih banyak daripada (puasa) pada bulan Sya’ban”. (HR. Muslim no. 1156)

5. Sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
ْ َ ْ َ َّ ‫َ ْ َأ‬ ‫َأل‬ َّ َ ‫َأ‬ َّ ‫َما م ْن َأ َّيام ْال َع َم ُل‬
« .‫العش ِر‬ ‫ يع ِنى يام‬.» ‫الص ِال ُح ِف َيها َح ُّب ِإ لى الل ِه ِم ْن َه ِذ ِه ا َّي ِام‬ ٍ ِ
َّ َّ ُ ْ َ َ َّ ُ ْ َ َّ َ ‫َق ُالوا َيا َر ُس‬
‫ال « َوال ال ِج َهاد ِفى َس ِب ِيل الل ِه ِإ ال‬ َ ‫ول الل ِه َوال الج َهاد فى َسبيل الل ِه ق‬
ِ ِ ِ ِ
َ َ ََ َ
‫َر ُج ٌل خ َر َج ِب َن ْف ِس ِه َو َم ِال ِه فل ْم َي ْر ِج ْع ِم ْن ذ ِل َك ِبش ْى ٍء‬
“Tidak ada hari-hari yang amal shalih didalamnya lebih disukai oleh Allah SWT
daripada hari-hari ini –yaitu 10 hari pertama pada bulan Dzulhijjah -. “Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasullullah, (apakah) tidak pula jihad dijalan Allah (lebih baik
dari itu?)” Beliau menjawab, “ Tidak pula jihad dijalan Allah, kecuali orang yang
keluar dengan jiwa dan hartanya kemudian dia tidak kembali lagi dari berjihad
dengan membawa sesuatu apapun.” (HR. Bukhari no.969)

6. Puasa pada bulan Muharram, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW ketika beliau
ditanya, Puasa apakah yang lebih utama setelah Ramadhan?” Beliau bersabda:
ُ ‫َّ َ َ َ مْل‬ َ
‫ش ْه ُر الل ِه ال ِذ ْي ت ْد ُع ْون ُه ا َح َّر ُم‬
“Bulan Allah yang kalian sebut dengan Muharram”. (HR. Muslim no.1163)

7. Hari-hari putih pada setiap bulan, yaitu: Tanggal 13, 14, dan 15, berdasarkan
pernyataan Abu Dzar RA,
‫َ َ َ َ ُ ْ اُل َّ َأ ْ َ ُ ْ َ َ َّ ْ َ َ َ َ َأ َّ ْ ْ َ َ َ َ ْ َ َأ‬
‫و ْر َب َع‬,َ ‫* ثالث َعش َرة‬:‫ض‬ ‫أمرنارسو لل ِه ن نصوم ِمن اشهه ِرثالثة ي ٍام ال ِبي‬
َّ ‫ص ْوم‬
‫الد ْه ِر‬ َ َ َ َ َ َ ََ ْ َ َ َ َ ََ ْ َ
ِ ‫ ِهي ك‬:‫وقل‬,‫وخمس عشرة‬,‫عشرة‬.
“Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk berpuasa pada hari-hari putih selama
3 hari setiap bulan: Yaitu pada tanggal 13, 14 dan 15, dan beliau menyatakan,
‘Puasa itu bagaikan puasa sepanjang tahun’. (Diriwayatkan oleh An-Nasa’i, ibnu
Hiban dan beliau menshahihkannya)

8. Puasa pada hari Senin dan Kamis, berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa
Rasullullah SAW sering melakukan puasa pada hari Senin dan Kamis, kemudian
beliau ditanya tentang hal itu, maka beliau bersabda,
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu diperlihatkan pada setiap hari Senin dan
Kamis, lalu Allah mengampuni setiap Muslim atau setiap Mukmin , kecuali dua orang
yang saling memutuskan persahabatan, Allah berfirman, ‘Akhirkanlah mereka
berdua’. (HR. Ahmad)

10. Puasa satu hari dan berbuka satu hari, sesuai dengan sabda Rasulullah,
َ َّ ْ َ َ َ ُ َ ُ َ َ َّ َ َ َّ َّ َ ‫َ ُ َ ُ َ َ َأ‬ َّ َ ّ ‫َّن َأ َح َّب‬
‫السال ُم‬ ‫الص َي ِام ِإ لى الل ِه ِصيام داود و حب الصال ِة ِإ لى الل ِه صالة داود علي ِه‬ ِ ‫ِإ‬
ً‫وم َي ْو ًما َو ُي ْف ِط ُر َي ْوما‬
ُ ‫ص‬ َ َ ُ ُ
َ ‫وم ثلث ُه َو َي َن ُام ُس ُد َس ُه َوك‬
ُ ‫ان َي‬ َّ َ
ُ ‫صف الل ْيل َو َي ُق‬ َ ‫َك‬
ْ ‫ان َي َن ُام ن‬
ِ ِ
“Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud. Ia tidur setengah malam
dan bangun sepertiga malam dan tidur seperenam malam, dan ia puasa satu hari
dan berbuka satu hari”.

11. Puasa bujang yang belum mampu menikah berdasarkan Rasulullah SAW,
“Orang yang telah mampu bersenggama (karna mampu memberikan nafkah),
hendaklah ia menikah, sesungguhnya hal itu lebih dapat menundukkan pandangan
dan lebih menjaga kehormatan. Sedangkan bagi orang yang belum mampu,
hendaklah ia berpuasa, karna sesungguhnya hal itu dapat menjadi perisai baginya”.
(HR. Bukhari no.1905)
MATERI 8
HARI-HARI YANG DIHARAMKAN BERPUASA

1. Hari Idul Fithri dan Idul Adha


Dari bekas budak Ibnu Azhar, dia mengatakan bahwa dia pernah menghadiri shalat
‘ied bersama ‘Umar bin Al Khottob –radhiyallahu ‘anhu-. ‘Umar pun mengatakan,
ُ ْ َّ ُ ُ َ َ َ َ ْ َ َ َ
‫ول الل ِه – ص**لى هللا علي**ه وس**لم – َع ْن ِص* َي ِام ِه َما َ*ي ْ*و ُم ِف *ط ِ*رك ْم‬ *‫*ه ذ ِان يو *م ِان نهى رس‬
ُ ُ َ ‫اآلخ ُر َتْأ ُك ُل‬
‫ون ِف ِيه ِم ْن ن ُس ِكك ْم‬
َ ُ َْْ َ ْ ُ َ ْ
‫ واليوم‬، ‫ِمن ِصي ِامكم‬
“Dua hari ini adalah hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang untuk
berpuasa di dalamnya yaitu Idul Fithri, hari di mana kalian berbuka dari puasa
kalian. Begitu pula beliau melarang berpuasa pada hari lainnya, yaitu Idul Adha di
mana kalian memakan hasil sesembelihan kalian.” (HR. Bukhari no. 1990 dan
Muslim no. 1137).

Dari Abu Sa’id Al Khudri –radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengatakan,


ْ َّ ْ َ َ ْ ْ َْ َْ َْ َ ْ َ ََ َّ َ ُ َ َّ ‫َأ‬
.‫ام يومي ِن يو ِم ال ِفط ِر ويو ِم النح ِر‬
ِ ‫ نهى عن ِصي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ن رسول الل ِه‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada dua hari yaitu
Idul Fithri dan Idul Adha.” (HR. Muslim no. 1138).

2. Hari-hari Tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijah)


Tidak boleh berpuasa pada hari tasyriq menurut kebanyakan pendapat ulama.
Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‫َأ َأ‬ ‫َأ‬ ُ ْ ْ َّ
‫َّي ُام التش ِر ِيق َّي ُام ك ٍل َوش ْر ٍب‬
“Hari-hari tasyriq adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim, no. 1141)

An Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim mengatakan, “Hari-


hari tasyriq adalah tiga hari setelah Idul Adha. Hari tasyriq tersebut dimasukkan dalam
hari ‘ied. Hukum yang berlaku pada hari ‘ied juga berlaku mayoritasnya pada hari
tasyriq, seperti hari tasyriq memiliki kesamaan dalam waktu pelaksanaan
penyembelihan qurban, diharamkannya puasa (sebagaimana pada hari ‘ied, pen) dan
dianjurkan untuk bertakbir ketika itu.”

3. Puasa Hari Jum’at Secara Bersendirian


Tidak boleh berpuasa pada Jum’at secara bersendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
‫وم َب ْع َد ُه‬
َ ‫ص‬ُ ‫وم َق ْب َل ُه ْو َي‬
َ ‫ص‬ُ ‫ص ْم َح ُد ُك ْم َي ْو َم ْال ُج ُم َعة َّال ْن َي‬
ُ ‫َال َي‬
ِ‫ِإ‬
“Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at  kecuali jika ia
berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

An Nawawi rahimahullah membawakan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab


“Terlarang berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian.”
Dari Juwairiyah binti Al Harits –radhiyallahu ‘anha-, ia mengatakan,
« ‫ال‬َ ‫ص *اِئ َم ٌة َف َ *ق‬ َّ ‫َأ َّن‬
َ ‫النب َّى – ص **لى هللا علي **ه وس **لم – َد َ *خ َل َع َل ْي َ *ه ا َ *ي ْ*و َم ْال ُج ُم َ *ع*ة َو ْه َى‬
ِ
َ َ َ ْ َ َ ً َ ُ َ ْ ‫َ َأ‬ ُ َ َ َ ْ َ َ ْ ‫َأ ُ ْ ِ َأ‬
« ‫ *ق * ال‬. ‫ *ق * الت ال‬. » ‫ومى *غ * دا‬ ِ * * ‫ *ق * ال « ت ِري* * ِ*دين ن تص‬. ‫ *ق * الت ال‬. » ‫س‬ ِ ‫َأص * *م ِت م‬
ْ َ
» ‫ف ف ِط ِرى‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahnya pada hari Jum’at dan ia
sedang berpuasa. Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau berpuasa kemarin?”
“Tidak”, jawab Juwairiyah. Beliau bertanya kembali, “Apakah engkau ingin
berpuasa besok?” “Tidak”, jawabnya seperti itu pula. Beliau kemudian mengatakan,
“Hendaknya engkau membatalkan puasamu.” (HR. Bukhari no. 1986 dan Muslim no.
1143)

Catatan penting: Puasa pada hari Jum’at dibolehkan jika:


Pertama: Ingin menunaikan puasa wajib, mengqodho’ puasa wajib, membayar kafaroh
(tebusan) dan sebagai ganti karena tidak mendapatkan hadyu tamattu’.
Kedua: Jika berpuasa sehari sebelum atau sesudah hari Juma’t sebagaimana
diterangkan dalam hadits di atas.
Ketiga: Jika bertepatan dengan hari puasa Daud (sehari puasa, sehari berbuka).
Keempat:  Berpuasa pada hari Jum’at bertepatan dengan puasa sunnah lainnya seperti
puasa Asyura, puasa Arofah, dan puasa Syawal.

4. Berpuasa pada Hari Syak (Yang Meragukan)


Yang dimaksud di sini adalah tidak boleh mendahulukan puasa satu atau dua hari
sebelum Ramadhan dalam rangka hati-hati mengenai masuknya bulan Ramadhan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ ‫وم ص َي ًاما َق ْب َل ُه َف ْل َي‬
ُ‫ص ْمه‬ َ ‫الش ْه َر ب َي ْوم َو َال َي ْو َم ْين َّال َأ َح ٌد َك‬
ُ ‫ان َي‬
ُ ‫ص‬ َّ ‫َال َي َت َق َّد َم َّن َأ َح ٌد‬
ِ ‫ِ ِإ‬ ٍ ِ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari
sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari
tersebut maka berpuasalah.”(HR. An Nasai no. 2173, dari Abu Hurairah. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Catatan penting: Berpuasa pada hari meragukan ini dibolehkan jika:


Pertama: Untuk mengqodho’ puasa Ramadhan.
Kedua: Bertepatan dengan kebiasaan puasanya seperti puasa Senin Kamis atau puasa
Daud.

5. Berpuasa Setiap Hari Tanpa Henti (Puasa Dahr)


Yang dimaksud puasa Dahr adalah berpuasa setiap hari selain hari yang tidak sah
puasa ketika itu (yaitu hari ‘ied dan hari tasyriq). Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫َ َ َ َ ْ َ َ َأل َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َأل َ َ َ َ َ َ ْ َ َأل‬
‫ص َام ا َب َد‬ ‫ال صام من صام ا بد ال صام من صام ا بد ال صام من‬
“Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi
yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap
hari tanpa henti.” (HR. Muslim no. 1159, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)
Hadits di atas menunjukkan terlarangnya berpuasa setiap hari tanpa henti walaupun
tidak ada kesulitan dan tidak lemas ketika melakukannya.

6. Berpuasa Wishol
Terlarang pula berpuasa wishol yaitu berpuasa berturut-turut tanpa berbuka dan tanpa
makan sahur. Dalil larangannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َ َ ُ َ ‫ َ *ق‬.‫الل ِه‬
َّ َ ُ َ َ ُ ُ َ ُ َ َ َ ْ َ ْ ُ َّ
‫ال « ِإ َّنك ْم ل ْس * ُت ْم ِفى ذ ِ *ل َك‬ ‫ *ق الوا فِإ َّن َك ت َوا ِص *ل *ي*ا رس *ول‬.» ‫ال‬ * ‫« ِإ ياكم وال ِوص‬
َ ُ ُ َ َْ َ ‫َأل‬ ُ َْ َ ْ َ َ ّ َ ُ ْ ُ ُ ‫ْ ّ َأ‬
.» ‫ِمث ِلى ِإ ِنى ِبيت يط ِعم ِنى ر ِبى ويس ِق ِينى فاكلفوا ِمن ا عم ِال ما ت ِطيقون‬
“Janganlah kalian berpuasa wishol.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu engkau
sendiri melakukan wishol, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kalian tidaklah
seperti aku dalam hal ini. Aku selalu diberi kenikmatan makan dan minum oleh
Rabbku. Lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian.” (HR. Muslim no.
1103, dari Abu Hurairah)

Namun jika tidak menyulitkan boleh melakukan wishol hingga waktu sahur saja. Hal
ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‫َأ‬ ‫َأ َأ‬
َّ ‫ َف ُّي ُك ْم َر َاد ْن ُي َواص َل َف ْل ُي َواص ْل َح َّتى‬، ‫َال ُت َواص ُلوا‬
‫الس َح ِر‬ ِ ِ ِ
“Janganlah kalian melakukan wishol. Jika kalian ingin, maka lakukanlah wishol
hinga sahur saja.” (HR. Muslim)

7. Berpuasa pada Hari Sabtu


Ada sebuah hadits yang melarang berpuasa pada hari Sabtu,
ُ َ َ ُ ْ َ َّ ُ ‫َال َت‬
‫ض َعل ْيك ْم‬ ‫الس ْب ِت ِإ ال ِفيما افت ِر‬
َّ ‫وموا َي ْو َم‬
ُ ‫ص‬
“Janganlah engkau berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi
kalian.”( HR. Abu Daud no. 2421, At Tirmidzi no. 744)

Mengenai status hadits ini masih diperselisihkan oleh para ulama tentang
keshahihannya. Perselisihan tersebut adalah:
Pertama:  Ada yang menilai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah lemah
(dho’if) sehingga hadits tersebut tidak diamalkan. Dari sini berarti boleh berpuasa
pada hari Sabtu.

Kedua: Sebagian ulama lainnya menilai bahwa hadits larangan berpuasa pada hari
Sabtu adalah jayid (boleh jadi shahih atau hasan). Namun yang mereka pahami, puasa
hari Sabtu hanya terlarang jika bersendirian. Bila diikuti dengan puasa sebelumnya
pada hari Jum’at, maka itu dibolehkan.

Rincian yang bagus untuk puasa hari Sabtu yang dibolehkan adalah sebagai berikut:
Pertama: Puasa pada hari Sabtu dihukumi wajib seperti berpuasa pada hari Sabtu di
bulan Ramadhan, mengqodho’ puasa pada hari Sabtu, membayar kafaroh (tebusan),
atau mengganti hadyu tamattu’ dan semacamnya. Puasa seperti ini tidaklah mengapa
selama tidak meyakini adanya keistimewaan berpuasa pada hari tersebut.
Kedua:  Jika berpuasa pada hari Sabtu diikuti dengan berpuasa sehari sebelum hari
Sabtu, maka ini tidaklah mengapa.

Ketiga: Berpuasa pada hari Sabtu karena hari tersebut adalah hari yang disyari’atkan
untuk berpuasa. Seperti berpuasa pada ayyamul bid (13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah),
berpuasa pada hari Arofah, berpuasa ‘Asyuro (10 Muharram), berpuasa enam hari di
bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan, dan berpuasa selama sembilan
hari di bulan Dzulhijah. Ini semua dibolehkan. Alasannya, karena puasa yang
dilakukan bukanlah diniatkan berpuasa pada hari Sabtu. Namun puasa yang dilakukan
diniatkan karena pada hari tersebut adalah hari disyari’atkan untuk berpuasa.

Keempat: Berpuasa pada hari sabtu karena berpuasa ketika itu bertepatan dengan
kebiasaan puasa yang dilakukan, semacam berpapasan dengan puasa Daud –sehari
berpuasa dan sehari tidak berpuasa-, lalu ternyata bertemu dengan hari Sabtu, maka itu
tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan
mengenai puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan dan tidak terlarang berpuasa
ketika itu jika memang bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya.

Intinya, puasa hari Sabtu yang terlarang adalah jika mengkhususkan berpuasa pada
hari Sabtu dan tidak diikuti berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.
MATERI 9
PUASA QADHA

Siapa yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena sakit atau bersafar (menjadi
musafir), maka ia wajib mengqadha’ sesuai jumlah hari yang ia tidak berpuasa.
Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫َ ٌ َأ ُأ‬ َ ‫َ َ ْ َ َ َ ً َأ‬
‫يضا ْو َعل ٰى َس َف ٍر ف ِع َّدة ِم ْن َّي ٍام خ َر‬‫ۗ ومن كان م ِر‬
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al-Baqarah: 185)

Beberapa aturan qadha’ puasa


1. Jika ada yang luput dari berpuasa selama sebulan penuh, ia harus mengqadha’
sebulan.
2. Boleh puasa pada musim panas diqadha’ pada musim dingin, atau sebaliknya.
3. Qadha’ puasa Ramadhan boleh ditunda.
4. Jumhur ulama menyatakan bahwa menunaikan qadha’ puasa ini dibatasi tidak sampai
Ramadhan berikutnya (kecuali jika ada uzur). Aisyah mencontohkan bahwa terakhir ia
mengqadha puasa adalah di bulan Syakban.
5. Apabila ada yang melakukan qadha’ Ramadhan melampaui Ramadhan berikutnya
tanpa ada uzur, ia berdosa.
Dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Aisyah radhiyallahu
‘anhamengatakan, ‫َأ َأ‬ ‫َأ‬
َ ‫ َف َما ْس َتط ُيع ْن ْقض َى َّال فى َش ْع َب‬، ‫ان‬
‫ان‬ ِ
َ ‫ض‬ َّ ‫ون َع َل َّى‬
َ ‫الص ْو ُم م ْن َر َم‬ َ ‫َك‬
ُ ‫ان َي ُك‬
ِ ‫ِ ِإ‬ ِ
“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa
tersebut kecuali pada bulan Syakban.”  (HR. Bukhari, no. 1950 dan Muslim, no.
1146).

Dalam riwayat Muslim disebutkan,


ُ ُّ َ َ ْ َ َّ ُ َ ْ ْ ‫َ َ َ ُ ُ َ َ َّ َّ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ َ َأ ْ َ ُ َأ‬
‫َأ‬
‫الشغ ُل ِم ْن‬ ‫كان يكون على الصوم ِمن رمضان فما ست ِطيع ن ق ِضيه ِإ ال ِفى شعبان‬
َّ
‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ول الل ِه‬ ‫س‬ُ ‫ َأ ْو ب َر‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫الله‬
َّ
‫ول‬ ُ َ
ِ ِ ِ ِ ‫رس‬-
“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa
tersebut kecuali pada bulan Syakban karena kesibukan dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.”

6. Yang harus dilakukan ketika menunda qadha’ Ramadhan melampaui Ramadhan


berikutnya adalah mengqadha’ dan menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang
miskin untuk setiap hari puasa).
Hal ini berdasarkan pendapat dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhum. Fidyah ini dilakukan karena sebab menunda. Adapun fidyah
untuk wanita hamil dan menyusui (di samping menunaikan qadha’) disebabkan karena
kemuliaan waktu puasa (di bulan Ramadhan). Adapun fidyah untuk yang sudah
berusia lanjut karena memang tidak bisa berpuasa lagi.
7. Yang menunda qadha’ puasa sampai melampaui Ramadhan berikut bisa membayarkan
fidyah terlebih dahulu kemudian mengqadha’ puasa.

Beberapa catatan tentang qadha puasa


1. Qadha’ Ramadhan sebaiknya dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda)
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
َ ‫ُأ َول َك ُي َسار ُع‬
َ ‫ون في ْال َخ ْي َرات َو ُه ْم َل َها َساب ُق‬
‫ون‬ ِ ِ ِ ِ ‫ِئ‬
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-
orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 61)

2. Qadha’ puasa tidak boleh dibatalkan kecuali jika ada uzur yang dibolehkan
sebagaimana halnya puasa Ramadhan.
3. Tidak wajib membayar qadha’ puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah.
Karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum,
َ ‫َ ٌ َأ ُأ‬
‫ف ِع َّدة ِم ْن َّي ٍام خ َر‬
“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan.”
(Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh
Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya, 4:241,243, dengan sanad yang sahih).

4. Qadha’ puasa tetap wajib berniat di malam hari (sebelum Shubuh) sebagaimana
kewajiban dalam puasa Ramadhan. Puasa wajib harus ada niat di malam hari sebelum
Shubuh, berbeda dengan puasa sunnah yang boleh berniat di pagi hari.
Dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
َ ‫َ اَل‬ ْ َ ِّ ْ َ ُ ْ َ ْ َ
‫الص َي َام ق ْب َل ال َف ْج ِر ف ِص َي َام ل ُه‬ ‫من لم يب ِّيت‬
“Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa
untuknya.” (HR. Abu Daud, no. 2454; Tirmidzi, no. 730; An-Nasai, no. 2333; dan
Ibnu Majah no. 1700. Para ulama berselisih apakah hadits ini marfu’—sampai pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—ataukah mauquf—hanya sampai pada sahabat–.
Yang menyatakan hadits ini marfu’ adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi,
An-Nawawi. Sedangkan yang menyatakan hadits ini mauquf adalah Al-Imam Al-
Bukhari dan itu yang lebih sahih. Lihat Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Al-Bulugh Al-
Maram, 5:18-20).

Adapun puasa sunnah (seperti puasa Syawal) boleh berniat dari pagi hari hingga
waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam
hadits berikut ini.
َ ‫ات َي ْوم َف َق‬
« ‫ال‬ َ ‫ َذ‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫النب ُّى‬ َّ ‫َع ْن َعا َش َة ُأ ِّم امْل ُْؤ من َين َق َال ْت َد َخ َل َع َل َّى‬
ٍ ِ ِِ ‫ِئ‬
ْ َ َ َ َ ‫َأ‬ ُ
َ ‫ ث َّم تانا َي ْو ًما آخ َر ف ُقل َنا َيا َر ُس‬.» ‫صاِئ ٌم‬ ً
َ ‫ال « ف نى ذا‬ َ َ َ ْ
َ ُ َ َ ُ َْ َ
‫ول‬ ‫ِإ‬ ِّ ‫ ق َ ِإ‬.‫ فقلنا ال‬.» ‫ه ْل ِعندك ْم ش ْى ٌء‬
َ ‫َ َأ‬ ْ ‫ال « َأ رينيه َف َل َق ْد َأ‬
َ ‫ص َب ْح ُت‬ َ َ ٌ ْ َ َ َ َ ْ ‫َّ ُأ‬
‫ ف ك َل‬.» ‫صاِئ ًما‬ ِ ِ ِ َ ‫ق‬ ‫ ف‬.‫الل ِه ه ِدى لنا حيس‬
Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah
kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau
pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain
beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja
dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).”
Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku
sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim, no. 1154).

Imam Nawawi membawakan judul bab untuk hadits di atas “Bolehnya berniat di siang
hari sebelum zawal untuk puasa sunnah. Boleh pula membatalkan puasa sunnah tanpa
ada uzur. Namun, yang lebih baik adalah menyempurnakannya.”

Imam Nawawi juga berkata, “Menurut jumhur (mayoritas) ulama, puasa sunnah
boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 32-
33).

5. Ketika ada yang melakukan qadha’ puasa lalu berhubungan intim di siang harinya,
maka tidak ada kewajiban kafarah, yang ada hanyalah qadha’ disertai dengan taubat.
Kafarah berat (yaitu memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu berarti berpuasa
dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu berarti memberi makan pada 60 orang
miskin) hanya berlaku untuk puasa Ramadhan saja.
Materi 10
Puasa Nazar

Puasa nazar adalah puasa yang dikerjakan untuk menenuhi janji karena hajatnya telah
terpenuhi. Puasa ini hukumnya wajib, jika dilanggar akan mendatangkan dosa besar.
Allah SWT berfirman:
َ ّٰ َ ۡ ُ ََ َ َ َۡ ۤ
ؕ ‫ار  َو َما ان َف ۡق ُت ۡم ِّم ۡن َّن َفق ٍة ا ۡو نذ ۡرت ۡم ِّم ۡن َّنذ ٍر ف ِا َّن الل َه َي ۡعل ُم ٗه‬
ٍ ‫ص‬
ٰ
َ ‫َو َما لِلظّلِ ِم ۡي َن ِم ۡن اَ ۡن‬
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya.Orang-orang yang berbuat dhalim tidak ada
seorang penolongpun baginya”.(QS. Al-Baqarah : 270)

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nazar diartikan sebagai janji (pada
diri sendiri) hendak berbuat sesuatu jika maksud tercapai. Dalam istilah syara', nazar
artinya berjanji melakukan ibadah yang aslinya tidak wajib, namun ia mewajibkan
dirinya untuk menunaikan ibadah tersebut.
Dari dua pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa nazar umumnya dalam bentuk ibadah
yang awalnya tidak wajib dikerjakan. Tidak akan sah nazar seseorang jika didasarkan
pada perkara yang hukumnya mubah, makruh, ataupun haram.

Tata Cara Puasa Nazar


Seperti disebutkan di awal, puasa nazar boleh didasarkan pada perkara yang sunah seperti
puasa ayyamul bidh, puasa daud, puasa syawal, dll. Dan tidak sah jika seorang Muslim
bernazar untuk puasa Ramadhan karena hukumnya memang sudah wajib.

Kemudian yang perlu diingat adalah puasa nazar tidak boleh didasarkan pada perkara
yang haram. Dikutip dalam Buku Pintar Puasa Wajib dan Sunnah oleh Nur Solikhin,
ketika seseorang mempunyai hajat dan ingin terwujud, ia berdoa dengan berjanji untuk
melakukan hal yang baik atau bernilai ibadah jika hajatnya terkabul.

Adapun yang dimaksud haram dalam perkara ini adalah bernazar melakukan puasa yang
dilarang Allah, seperti puasa Hari Raya Iduladha atau Hari Raya Idul fitri, yang demikian
tidak sah dan menjadikan nazarnya batal.
Bagi Muslim yang tidak sanggup membayar puasa nazarnya, maka bisa digantikan
dengan:
1. Memberi makan 10 orang miskin
2. Memerdekakan 1 orang budak
3. Memberi sebuah pakaian kepada 10 orang miskin
Jika tidak mampu melakukan salah satu perkara di atas, hendaklah seseorang itu berpuasa
selama 3 hari.

Sebagaimana firman Allah SWT ;


ْ ُ َ َ َ َ ْ ‫َ ُ َؤ ُ ُ ُ ّ ُ َّ ْ َأ ْ َ ُ ْ َ َ ُ َؤ ُ ُ َ َ َّ ُّ ُ َأل‬
‫ان فك َّف َارت ُه ِإ ط َع ُام‬ ‫ال ي ِاخذكم الله ِباللغ ِو ِفي يما ِنكم ول ِكن ي ِاخذكم ِبما عقدتم ا يم‬
َّ َ َ َ ‫َأ‬ ‫َ َ َ َ َ َ ْ َأ ْ َ َ ُ ْ ُ َ َأ ُ َأ‬
‫ون ْه ِليك ْم ْو ِك ْس َو ُت ُه ْم ْو ت ْح ِر ُير َرق َب ٍة ف َمن ل ْم‬‫عشر ِة مس ِاكين ِمن وس ِط ما تط ِعم‬
َ َ ُ َ ‫َ ْ َ َ ُ َ َ َ َأ َّ َ َ َ َّ َ ُ َأ ْ َ ُ ْ َ َ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ ْ َأ‬
‫اح َفظوا ْي َمانك ْم كذ ِل َك ُي َب ِّي ُن‬ ‫ي ِجد ف ِصيام ثالث ِة ي ٍام ذ ِلك كفارة يما ِنكم ِإ ذا حلفتم و‬
َ ‫الل ُه َل ُك ْم َآياته َل َع َّل ُك ْم َت ْش ُك ُر‬
‫ون‬
ّ
ِِ
Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama
tiga hari.yang demikian itu adalah kafarat Sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(Dan Kamu melanggar). dan, jagalah sumpahmu. demikian Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukumnya agar kamu bersyukur (kepadanya). (QS. Al-Maidah [5]:89)
MATERI 11
HIKMAH DI SYARIATKANYA PUASA

Allah Ta’ala telah menyebutkan hikmah disyariatkannya berpuasa dan mewajibkannya


kepada kita dalam firmannya:
َ ‫ين م ْن َق ْبل ُك ْم َل َع َّل ُك ْم َت َّت ُق‬
‫ون‬ َ ‫الص َي ُام َك َما ُكت َب َع َلى َّالذ‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها َّالذ‬
ّ ‫ين َآ َم ُنوا ُكت َب َع َل ْي ُك ُم‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah:
183).

Maka berpuasa adalah sarana untuk merealisasikan ketaqwaan. Taqwa adalah


menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya.
Maka puasa adalah di antara sebab yang agung yang membantu seorang hamba
menjalankan perintah-perintah agama.

Para ulama rahimahumullah telah menyebutkan hikmah disyariatkannya berpuasa.


Semuanya adalah perilaku taqwa. Akan tetapi tidak mengapa disebutkan agar orang yang
berpuasa memperhatikannya dan menjaga untuk direalisasikannya. Di antara hikmah-
hikmah berpuasa:
1. Sarana mensyukuri nikmat. Puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan
berhubungan badan. Ini adalah kenikmatan tertinggi, karena dengan menahan diri dari
menikmati nikmat tersebut pada waktu tertentu akan membuatnya mengetahui nilai
nikmat tersebut. Karena kenikmatan sesuatu yang tidak diketahui (nilainya), dan baru
diketahui kalau dia hilang . Maka hal itu akan membantunya untuk  memenuhi haknya
dengan mensyukurinya.
2. Sarana untuk meninggalkan sesuatu yang haram. Karena jika jiwa mampu diarahkan
untuk menahan dari yang halal demi mengharap ridha dan takut akan pedihnya
siksaan. Maka, dia akan lebih mampu lagi diarahkan untuk menahan dari yang haram.
Maka berpuasa adalah sebab untuk menahan diri dari sesuatu yang diharamkan Allah.
3. Mengalahkan hawa nafsu. Karena jiwa ini kalau kenyang, dia akan mengangankan
syahwat, tapi kalau lapar akan menahan apa yang diinginkan. Oleh karena itu Nabi
sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
َ ْ َ ْ ‫َ ْ َ َ َّ َ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َّ ْ َ َّ ُ َأ َ ُّ ْ َ َ َ َأ‬
‫ص ُن ِللف ْر ِج‬‫اب من استطاع الباءة فليتزو *ج فِإ نه غض ِللبص ِ*ر و ح‬ ِ ‫يا معشر الشب‬
َ َ َّ َ َ َ
‫ مسلم‬، ‫رواه البخاري‬ .. ‫الص ْو ِم فِإ َّن ُه ل ُه ِو َج ٌاء‬ ‫َو َم ْن ل ْم َي ْس َت ِط ْع ف َعل ْي ِه ِب‬
“Wahai para pemuda! Siapa yang sudah memiliki kemampuan (biologis maupun
bekal materi), maka (bersegerahlah) menikah. Karena hal itu dapat menahan
pandangan dan menjaga kemaluan. Sedangkan bagi yang belum mampu (menikah),
hendaklah dia berpuasa, karena hal itu (menjadi) benteng baginya.” [HR. Bukhari,
no. 5066, Muslim, no. 1400]

4. Menumbuhkan sifat kasih sayang terhadap orang miskin. Karena orang yang berpuasa
ketika merasakan beratnya lapar beberapa saat, dia akan teringat orang yang
merasakan kondisi seperti  ini sepanjang waktu, sehingga dia bersegera menyantuni,
menyayangi dan berbuat baik kepadanya. Sehingga puasa menjadi sebab menyayangi
orang miskin.
5. Mengalahkan setan dan melemahkannya. Maka kekuatannya membisikkan
(keburukan) kepada manusia melemah sehingga potensi kemaksiatannya berkurang.
Karena setan masuk ke tubuh Anak Adam lewat pembuluh darah, Sebagaimana di
sabdakan Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam. Maka dengan puasa, tempat masuk setan
akan menyempit dan akhirnya melemahkan dan mengurangi gerakannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa, 25/246: “Tidak
diragukan lagi bahwa darah bersumber dari makanan dan minuman. Jika seseorang
makan atau minum, maka jalan masuk bagi setan –yaitu darah– akan semakin luas,
dan kalau dia berpuasa, jalan masuk setan akan menyempit. Akibatnya jiwa akan
memiliki kekuatan melakukan kebaikan dan meninggalkan kemunkaran.”

6. Melatih diri untuk muroqabatullah (merasa di awasi oleh Allah). Sehingga dia
meninggalkan (kemaksiatan) yang diinginkan meskipun dia mampu
(melaksanakannya), karena dia menyadari bahwa Allah melihatnya.
7. Menumbuhkan sifat zuhud terhadap dunia dan syahwatnya, serta pengharapan
(dengan kebaikan yang ada) di sisi Allah Ta’ala.
8. Membiasakan seorang mukmin banyak (melakukan) ketaatan, karena orang yang
berpuasa umumnya banyak melakukan ketaatan, sehingga akhirnya menjadi terbiasa.
MATERI 12
ANJURAN MENIKAH

Seperti yang telah diketahui bahwa agama kita banyak memberikan anjuran untuk
menikah. Allah menyebutkannya dalam banyak ayat di Kitab-Nya dan menganjurkan
kepada kita untuk melaksanakannya. Di antaranya, firman Allah Ta’ala sebagai berikut:
ً ُ ً َ ْ ‫َ َ َ ْ َأ ْ َ ْ َ ُ ُ اًل ْ َ ْ َ َ َ َ ْ َ َ ُ ْ َأ‬
‫اجا َوذ ّ ِر َّية‬ ‫ولقد رسلنا رس ِمن قب ِلك وجعلنا لهم زو‬
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan…” [Ar-Ra’d/13: 38]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


َّ ْ َُ ُ ُ ُ ُ َّ ‫َوَأ ْن ِك ُحوا اَأْل َي َام ٰى م ْن ُك ْم َو‬
‫الص ِال ِح َين ِم ْن ِع َب ِادك ْم َوِإ َماِئ ك ْم ۚ ِإ ْن َيكونوا فق َر َاء ُيغ ِن ِه ُم الل ُه‬ ِ
ْ ‫م ْن َف‬
‫ض ِل ِه‬ ِ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu
dengan karunia-Nya…” [An-Nuur/24: 32].

Dan hadits-hadits mengenai hal itu sangatlah banyak. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu
anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ّ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ُ ْ َ ْ َ َّ َ َ َ
َ ‫ َف ْل َي َّتق‬،‫الد ْيـن‬
‫هللا ِف ْي َمـا َب ِق َي‬ ِ ِ ِ ‫ فق ِد اسـتكمل ِنصف‬،‫ِإ ذا تزوج العبد‬
“Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh
karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


َ َ َ ْ َ ْ َ ُ ُ َ َ ْ َ
‫ َو َمـا َب ْي َـن ِر ْجل ْي ِه‬،‫ َمـا َب ْي َن ل ْح َي ْي ِه‬:‫هللا ش َّر اث َن ْي ِن َول َج ال َج َّنة‬ ‫من وقاه‬
“Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah dari keburukan dua perkara, niscaya ia masuk
Surga: Apa yang terdapat di antara kedua tulang dagunya (mulutnya) dan apa yang
berada di antara kedua kakinya (kemaluannya).” (HR. At-Tirmidzi no. 2411)

Pernikahan adalah sarana terbesar untuk memelihara manusia agar tidak terjatuh ke
dalam perkara yang diharamkan Allah, seperti zina, liwath (homoseksual) dan selainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita -dengan sabdanya- untuk menikah
dan mencari keturunan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah
Radhiyallahu anhu:
َّ ‫ َو َال َت ُك ْو ُن ْوا َك َر ْه َبان َّية‬،‫َت َز َّو ُج ْوا َف ّني ُم َكاث ٌر ب ُك ُم ْاُأل َم َم َي ْو َم ْالق َي َـامة‬
َ ‫الن‬
*‫ص َارى‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ِإ‬
“Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian
kepada umat-umat lain pada hari Kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta
Nasrani.”(HR. Al-Baihaqi VII/78)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita dalam banyak hadits agar menikah
dan melahirkan anak. Beliau menganjurkan kita mengenai hal itu dan melarang kita
hidup membujang, karena perbuatan ini menyelisihi Sunnahnya.
1. Nikah adalah sunnah para Rasul
ُ َ ّ َ ،‫اك‬
.‫النكاح‬
ُ ‫الس َو‬ َّ ‫ َو‬،‫ َا ْل َح َي ُـاء‬:‫َأ ْر َب ٌع م ْن ُس َـنن امْل ُ ْر َسل ْي َن‬
ّ ‫ َو‬،‫الت َع ُّط ُر‬
ِ ‫و‬ ِ ِ ِ ِ
“Ada empat hal termasuk sunah para rasul; yaitu rasa malu, memakai wewangian,
bersiwak, dan menikah.” ((HR. At-Tirmidzi)

2. Siapa yang mampu diantara kalian untuk menikah, maka menikahlah. Karena menikah
dapat membantu menahan pandangan dan mengarahkan hati untuk mentaati Allah
ْ َ ْ ُ َ ْ ‫َ ْ َ َ َّ َ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َّ ْ َ َّ ُ َأ َ ُّ ْ َ َ َ َأ‬
‫اب من استطاع الباءة فليتزو *ج فِإ نه غض ِللبص ِ*ر و حصن ِللفر ِج‬ ِ ‫يا معشر الشب‬
َ َ َّ ‫َو َم ْن َل ْم َي ْس َت ِط ْع ف َعل ْي ِه ب‬
َ َ
‫ مسلم‬،‫رواه البخاري‬ .. ‫الص ْو ِم فِإ َّن ُه ل ُه ِو َج ٌاء‬ ِ
“Wahai para pemuda! Siapa yang sudah memiliki kemampuan (biologis maupun
bekal materi), maka (bersegerahlah) menikah. Karena hal itu dapat menahan
pandangan dan menjaga kemaluan. Sedangkan bagi yang belum mampu (menikah),
hendaklah dia berpuasa, karena hal itu (menjadi) benteng baginya.” [HR. Bukhari,
no. 5066, Muslim, no. 1400] ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
َ َ ‫َ ْ ْأ‬ َ َ َ ْ ُ ُ َ َ َ َ
‫ فِإ َّن َما َم َع َها َما َم َع َها‬،‫اس ِن ْام َر ٍة فل َي ِت ْهل ُه‬
ِ ‫ِإ ذا نظ َر حدكم ِإ لى مح‬
“Jika salah seorang dari kalian melihat kecantikan wanita, maka hendaklah ia
mendatangi (menggauli) isterinya. Sebab, apa yang dimilikinya sama dengan yang
dimiliki isterinya. (HR. Muslim)

3. Orang yang menikah dengan niat menjaga kesucian dirinya, maka allah pasti
menolongnya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َّ
‫الن ِاك ُح ال ِذي ُي ِر ُيد‬
َّ
َّ ‫الله َو‬ َ ُ َ ُ ‫َ اَل َ ٌ ُ ُّ َ ٌّ َ َ َّ َ َّ َ َ َ ْ ُ ُ مْل‬
ِ ‫ث ثة كل ُه ْم حق على الل ِه عز وج َّل عونه ا ج ِاهد ِفي س ِب ِيل‬
َ‫اف َوامْل ُ َك َات ُب َّال ِذي ُير ُيد اَأْل َداء‬
َ ََْ
‫العف‬
ِ
“Ada tiga orang yang akan mendapatkan pertolongan Allah: (1) orang yang berjihad
di jalan Allah, (2) orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya, (3) budak
mukatab yang ingin membebaskan dirinya.” (HR. An-Nasa’i, no. 3218; Tirmidzi, no.
1655; Ibnu Majah, no. 2518. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits
ini hasan).

4. Menikahi wanita yang berbelas kasih dan subur (banyak anak) adalah kebanggaan
bagimu pada hari kiamat.
Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ma’qil bin Yasar
Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu mengatakan: ‘Aku mendapatkan seorang wanita (dalam satu
riwayat lain (disebutkan), ‘memiliki kedudukan dan kecantikan’), tetapi ia tidak dapat
melahirkan anak (mandul); apakah aku boleh menikahinya?’ Beliau menjawab:
‘Tidak.’ Kemudian dia datang kepada beliau untuk kedua kalinya, tapi beliau
melarangnya. Kemudian dia datang kepada beliau untuk ketiga kalinya, maka beliau
bersabda: ‘Nikahilah wanita yang berbelas kasih lagi banyak anak, karena aku akan
membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat yang lain. (HR. Abu Dawud
(no. 2050) kitab an-Nikaah, dan para perawinya tsiqah (ter-percaya) kecuali
Mustaslim bin Sa’id, ia adalah shaduq, an-Nasa-i (no. 3227), kitab an-Nikaah, dan
para perawinya terpercaya selain ‘Abdurrahman bin Khalid, ia adalah shaduq)

5. Rasulullah saw menganjurkan menikah dengan gadis


‫صلى هللا عليه‬- ‫الن ِب َّى‬ َّ ‫يت‬ُ ‫ َف َلق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫الله‬ َّ ُ ‫َت َز َّو ْج ُت ْام َرَأ ًة فى َع ْهد َر‬
ِ ِ ‫ول‬ ِ ‫س‬ ِ ِ
َ ّ َ ُ ْ ُ
َ ‫ ق‬.‫ قلت ثي ٌب‬.» ‫ال « بك ٌر م ثي ٌب‬ ّ َ ْ ‫َأ‬ ْ َ ْ َ َ ُ ْ ُ َ ْ َّ
َ ‫ ق‬.‫ قلت نعم‬.» ‫ال « يا جاب ُر تزوجت‬َ َ َ َ َ ‫ َف َق‬-‫وسلم‬
« ‫ال‬ ِ ِ ِ ِ
ُ َ ‫ُ ْ ُ َ َ ُ َ َّ َّ َأ َ َ َ َ ُ َأ‬ َ ُ ْ َّ َ
*.‫يت ْن ت ْدخ َل َب ْي ِنى َو َب ْي َن ُه َّن‬ ‫ات فخ ِش‬ ٍ ‫ قلت يا رسول الل ِه ِإ ن ِلى خو‬.» ‫ف َهال ِبك ًرا تال ِع ُب َها‬
َ ّ َ َ ََ َ َ َ ُ َ ْ ُ َ ‫َ َ َ َ َ ً َّ مْل َ َأ‬
‫الد ِين ت ِر َب ْت‬ ِ ‫ات‬
َ َ َ
ِ ‫ ِإ ن ا ْر ة تنك *ح على ِد ِين َها و َم ِال َها وج َم ِال َها فعل ْيك ِبذ‬.‫ال « فذاك ِإ ذا‬ ‫ق‬
» ‫اك‬َ ‫َي َد‬
“Aku pernah menikahi seorang wanita di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lalu aku bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun
bertanya, “Wahai Jabir, apakah engkau sudah menikah?” Ia menjawab, “Iya sudah.”
“Yang kau nikahi gadis ataukah janda?”, tanya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aku pun menjawab, “Janda.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja, bukankah engkau bisa bersenang-senang
dengannya?” Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki
beberapa saudara perempuan. Aku khawatir jika menikahi perawan malah nanti ia
sibuk bermain dengan saudara-saudara perempuanku. Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Itu berarti alasanmu. Ingatlah, wanita itu dinikahi karena
seseorang memandang agama, harta, dan kecantikannya. Pilihlah yang baik
agamanya, engkau pasti menuai keberuntungan.” (HR. Muslim no. 715)

6. Anak dapat memasukan kedua orangtua ke dalam surga.


َ ‫ُؤ‬ ُ ُ َ َ َ َ َّ َ ْ ُ ُ ْ ُ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ ْ ُ َ ُ
‫ َح َّتى َي ْدخ َل َآبا نا‬،‫ َيـا َر ِ ّب‬:‫ ف َي ُق ْول ْو َن‬:‫ال‬ ‫ ق‬.‫ ادخلوا الجنة‬:‫يقـال ِلل ِولد ِان يوم ال ِقيام ِة‬
َ َّ َ ْ ُ ُ ْ ُ َ ْ ْ َ ْ ُ ْ ُ َ ‫َ ُأ َّ َ ُ َ َ َ َ َ ْأ ُ ْ َ َ َ َ َ ُ ْ ُ ُ َ َأ‬
،‫ ادخلوا الجنة‬،‫ مـا ِلي راهم محبن ِطِئ ين‬: ‫ فيقول هللا‬:‫ قال‬.‫ في تون‬:‫ قال‬،‫و مهاتنا‬
ُ ‫ُؤ‬ ْ ‫ُ ُ ْ َ َأ‬ َ َ َ َ ُ َ َّ ‫َ َ َ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َ ّ َ ُؤ َ َ ُأ‬
‫ ْادخلوا ال َج َّنة ن ُت ْم َو َآبا ك ْم‬:‫ ف َي ُق ْو ُل‬:‫ال‬ ‫ ق‬.‫ آبا نا و مهاتنـا‬،‫ يـا ر ِب‬:‫ فيقولون‬:‫قال‬
Di perintahkan kepada anak-anak di Surga: ‘Masuklah ke dalam Surga.’ Mereka
menjawab: ‘Wahai Rabb-ku, (kami tidak masuk) hingga bapak dan ibu kami masuk
(terlebih dahulu).’ Ketika mereka (bapak dan ibu) datang, maka Allah Azza wa Jalla
berfirman kepada mereka: ‘Aku tidak melihat mereka terhalang. Masuklah kalian ke
dalam Surga.’ Mereka mengatakan: ‘Wahai Rabb-ku, bapak dan ibu kami?’ Allah
berfirman: ‘Masuklah ke dalam Surga bersama orang tua kalian. (HR. Ahmad (no.
16523), dan para perawinya tsiqat kecuali Abul Mughirah, ia adalah shaduq)
MATERI 13
HUKUM PACARAN SEBELUM MENIKAH

Hukum pacaran dalam islam merupakan hal terlarang dan haram. Karena Allah telah
melarang untuk mendekati zina. Mau tidak mau, pacaran adalah pintu yang sangat dekat
dengan perzinaan. Efek dari pacaran ini pun telah banyak diketahui banyak orang,
bahkan sering ada pernikahan yang terjadi karena hamil di luar nikah. Namun sayang
seribu sayang, banyak orang tua yang membiarkan anaknya pacaran, atau bahkan ada
yang malah meganjurkan, na’udzu billah. Padahal Allah berfirman,
‫اًل‬ ً َ َ َ َ ُ َّ ٰ َ
٣٢﴿ ‫ان ف ِاحشة َو َس َاء َس ِبي‬‫الزنى ۖ ِإ نه ك‬ ‫وا‬ ُ ‫﴾ َواَل َت ْق َر‬
‫ب‬
ِّ
“dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa: 32)

Allahpun memerintahkan para laki-laki untuk menjaga pandangannya:


َ َّ َ َ ‫َٰ َأ‬ َ ‫ضوا م ْن َأ ْب‬
َ ‫صاره ْم َو َي ْح َف ُظوا ُف ُر‬ ُّ ‫ُق ْل ل ْل ُمْؤ من َين َي ُغ‬
‫وج ُه ْم ۚ ذ ِل َك ْزك ٰى ل ُه ْم ۗ ِإ َّن الل َه خ ِب ٌير‬ ِِ ِ ِِ ِ
َ‫ص َن ُعون‬
ْ ‫ب َما َي‬
ِ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-
Nur: 30)

Hal ini juga Allah perintah kepada kaum hawa:


َّ‫وج ُهن‬ َ ‫ض َن م ْن َأ ْب‬
َ ‫صاره َّن َو َي ْح َف ْظ َن ُف ُر‬ ُ ‫َو ُق ْل ل ْل ُمْؤ م َنات َي ْغ‬
ْ ‫ض‬
ِِ ِ ِ ِ ِ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya…” (QS. An-Nur: 31)

Kemudian Seorang yang berpacaran berpotensi besar untuk berdua-duaan. Bahkan itulah
yang dicari oleh mereka. Padahal berdua-duaan tanpa mahram merupakan hal yang tidak
diperbolehkan.
ُ َّ ‫َأ‬ ُْ َ
‫ال َيخل َو َّن َر ُج ٌل ِب ْام َر ٍة ِإ ال َو َم َع َها ذو َم ْح َرم‬
“Dilarang keras!laki-laki dan perempuan berduaan tanpa mahram.” (HR. Al-Bukhari
no. 5233 dan Muslim no. 1341)

Apalagi kalo sudah saling pegangan. Hal ini sangat terlarang. Nabi menyatakan, orang
yang ditusuk kepalanya dengan jarum besi lebih baik dari pada bersentuhan dengan
lawan jenis non mahram.
‫ألن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة ال تحل له‬
“Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum besi, itu lebih baik, dari pada ia menyentuh
seorang wanita yang bukan mahramnya.” (Shahih Al-Jami’ no. 5045)

Jika kita perhatikan pernyataan-pernyataan diatas, maka pacaran merupakan hal yang
terlarang, haram untuk dilakukan.
MATERI 14
TATA CARA TA’ARUF DALAM ISLAM

Ta’aruf [‫ارف‬ee‫ ]التع‬secara bahasa dari kata ta’arafa – yata’arafu [‫ارف‬ee‫ارف – يتع‬ee‫]تع‬, yang


artinya saling mengenal. Kata ini ada dalam al-Quran, tepatnya di surat al-Hujurat,
ُ َ ً ُ ُ ْ ُ َ ْ َ َ َ َ ْ ‫َ َأ ُّ َ َّ ُ َّ َ َ ْ َ ُ ْ ْ َ َ َ ُأ‬
‫وبا َوق َباِئ َل ِل َت َع َارفوا‬‫يا يها الناس ِإ نا خلقناكم ِمن ذك ٍر و نثى وجعلناكم شع‬
“Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan
seorang wanita, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian
saling mengenal (li-ta’arofu) …” (QS. al-Hujurat: 13)..

Diambil dari makna bahasa di atas, ta’aruf antara lelaki dan wanita yang hendak
menikah, berarti saling kenalan sebelum menuju jenjang pernikahan.

Sebelumnya ada 3 hal yang perlu dibedakan,


1. Ta’aruf: saling perkenalan. Dan umumnya dilakukan sebelum khitbah.
2. Nadzar: melihat calon pasangan.
Biasanya ini dilakukan ketika ta’aruf atau ketika melamar. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
َْ َ َ َ ُ ‫ْ َ َ َ َأ‬ َ َ ‫َ َ َ َأ ُ مْل َ َأ‬
‫ فل َي ْف َع ْل‬،‫اع ْن َي ْنظ َر ِم ْن َها ِإ لى َما َي ْد ُع ْو ُه ِإ لى ِنك ِاح َها‬ ‫ فِإ ِن استط‬،‫ِإ ذا خط َب َح ُدك ُم ا ْر ة‬
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika dia bisa
melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka
lakukanlah!” (HR. Ahmad 3/334, Abu Dawud  2082 dan dihasankan al-Albani).

3. Khitbah: meminang atau lamaran, menawarkan diri untuk menikah.


Khitbah, ada yang disampaikan terang-terangan dan ada yang disampaikan dalam
bentuk isyarat.
a. Khitbah secara terang-terangan, misalnya dengan menyatakan, “Jika berkenan,
saya ingin menjadikan anda sebagai pendamping saya..” atau yang bentuknya
pertanyaan, “Apakah anda bersedia untuk menjadi pendamping saya?”
b. Khitbah dalam bentuk isyarat, misalnya dengan mengatakan, “Sudah lama aku
mendambakan wanita yang memiliki banyak kelebihan seperti kamu…” atau
kalimat semisalnya, meskipun bisa jadi ada kesan menggombal…
Allah berfirman,
ُ ْ ‫َأ‬ ْ ْ ‫ْ ْ َ ّ َأ َأ‬ َ ‫َواَل ُج َن‬
ْ ‫اح َع َل ْي ُك ْم ف َيما َع َّر‬
‫الن َس ِاء ْو ك َنن ُت ْم ِفي ن ُف ِسك ْم َع ِل َم‬ ‫ة‬ ‫ب‬ ‫ط‬
ِ ِ ِ ِ ِِ‫خ‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ب‬ ْ
‫م‬ ُ‫ض‬
‫ت‬ ِ
‫َّ ُ َأ َّ ُ ْ َ َ ْ ُ ُ َ ُ َّ َ َ ْ اَل ُ َ ُ ُ َّ ًّ اَّل َأ ْ َ ُ ُ َ ْ اًل َ ْ ُ ً َ اَل‬
‫اعدوهن ِسرا ِإ ن تقولوا قو معروفا و‬ ِ ‫الله نكم ستذكرونهن ول ِكن تو‬
‫َأ‬
َ ُ َ ْ َ ُ ْ َ َّ َ َ ّ َ َ ْ ُ ُ ْ َ
‫اب َجل ُه‬ ‫النك ِاح حتى يبلغ ال ِكت‬ ِ ‫تع ِزموا عقدة‬
Tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau
kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah
kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
‘iddahnya. (QS. Al-Baqarah: 235)
Berdasarkan ayat di atas, bagi wanita yang sedang menjalani masa iddah, tidak
boleh dilamar dengan kalimat terang-terangan.

Bagaimana Cara Ta’aruf yang Benar?


Tidak ada cara khusus dalam masalah ta’aruf. Intinya bagaimana seseorang bisa
menggali data calon pasangannya, tanpa melanggar aturan syariat maupun adat
masyarakat. Hanya saja, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait ta’aruf,
1. Sebelum terjadi akad nikah, kedua calon pasangan, baik lelaki maupun wanita,
statusnya adalah orang lain. Sama sekali tidak ada hubungan kemahraman. Sehingga
berlaku aturan lelaki dan wanita yang bukan mahram. Mereka tidak diperkenankan
untuk berdua-an, saling bercengkrama, dst. Baik secara langsung atau melalui media
lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
َ َ َ ْ َّ َّ َ ‫َ َ ْ ُ َ َّ َأ َ ُ ُ ْ ْ َ َأ‬
‫ان ث ِال ُث ُه َما‬ ‫ال يخلون حدكم ِبامر ٍة فِإ ن الشيط‬
“Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan
mahramnya), karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan
Syu’aib al-Arnauth).

Setan menjadi pihak ketiga, tentu bukan karena ingin merebut calon pasangan anda.
Namun mereka hendak menjerumuskan manusia ke maksiat yang lebih parah.

2. Luruskan niat, bahwa anda ta’aruf betul-betul karena ada i’tikad baik, yaitu ingin
menikah.  Bukan karena ingin koleksi kenalan, atau cicip-cicip, dan semua gelagat
tidak serius. Membuka peluang, untuk memberi harapan palsu kepada orang lain.
Tindakan ini termasuk sikap mempermainkan orang lain, dan bisa termasuk
kedzaliman.
Sebagaimana dirinya tidak ingin disikapi seperti itu, maka jangan sikapi orang lain
seperti itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َأل‬ ُ ‫َأ‬ َ
‫ال ُيْؤ ِم ُن َح ُدك ْم َح َّتى ُي ِح َّب ِخ ْي ِه َما ُي ِح ُّب ِل َن ْف ِس ِه‬
Kalian tidak akan beriman sampai kalian menyukai sikap baik untuk saudaranya,
sebagaimana dia ingin disikapi baik yang sama. (HR. Bukhari & Muslim)

3. Menggali data pribadi, bisa melalui tukar biodata


Masing-masing bisa saling menceritakan biografinya secara tertulis. Sehingga tidak
harus melakukan pertemuan untuk saling cerita. Tulisan mewakili lisan. Meskipun
tidak semuanya harus dibuka. Ada bagian yang perlu terus terang, terutama terkait
data yang diperlukan untuk kelangsungan keluarga, dan ada yang tidak harus
diketahui orang lain.
Jika ada keterangan dan data tambahan yang dibutuhkan, sebaiknya tidak
berkomunikasi langsung, tapi bisa melalui pihak ketiga, seperti kakak lelakinya atau
orang tuanya.

4. Setelah ta’aruf diterima, bisa jadi mereka belum bertemu, karena hanya tukar biografi.
Karena itu, bisa dilanjutkan dengan nadzar.
Dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan, “Suatu ketika
aku berada di sisi Nabi shallallahu’alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seorang
lelaki. Dia ingin menikahi wanita Anshar. Lantas Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah melihatnya?” Jawabnya, 
“Belum.”
Lalu beliau memerintahkan,
ُ ‫َأ‬ ‫ْ ُ َ َ َأ‬
‫انظ ْر ِإ ل ْي َها فِإ َّن ُه ْح َرى ْن ُيْؤ َد َم َب ْي َنك َما‬
“Lihatlah wanita itu, agar cinta kalian lebih langgeng.” (HR. Turmudzi 1087, Ibnu
Majah 1865 dan dihasankan al-Albani)

Nadzar bisa dilakukan dengan cara datang ke rumah calon pengantin wanita,


sekaligus menghadap langsung orang tuanya.

5. Dibolehkan memberikan hadiah ketika proses ta’aruf


Hadiah sebelum pernikahan, hanya boleh dimiliki oleh wanita, calon istri dan bukan
keluarganya. Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫الن َكاح َف ُه َو َل َها َو َما َك‬
ْ ‫ان َب ْع َد ع‬
‫ص َم ِة‬ ْ ‫ص َداق َأ ْو ح َب ٍاء َأ ْو عدة َق ْب َل ع‬
ّ ‫ص َمة‬ َ ‫ان م ْن‬ َ ‫َما َك‬
ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ٍ ِ
َ‫الن َكاح َف ُه َو َ ْن ُأ ْع ِط َي ُه َأ ْو ُحبى‬
ّ
ِ ‫مِل‬ ِ ِ
“Semua mahar, pemberian  dan janji sebelum akad nikah itu milik penganten wanita.
Lain halnya dengan pemberian setelah akad nikah, itu semua milik orang yang
diberi” (HR. Abu Daud 2129)

Jika berlanjut menikah, maka hadiah menjadi hak pengantin wanita. Jika nikah
dibatalkan, hadiah bisa dikembalikan.
Materi 15
Syarat Sah Nikah

1. Adanya mempelai laki-laki dan Perempuan


Syaratnya adalah:
a. Islam,
b. Berakal/Mumayiz
c. Ridha terhadap pernikahan tersebut,
d. Orangnya jelas, terang bahwa ia wanita bukan khuntsa (banci),
e. Tidak ada halangan shara’, misalnya tidak sedang ihram haji atau umrah, mahram, Sang
wanita masih dalam masa iddah atau sedang terikat pernikahan dengan orang lain.

2. Adanya wali
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
‫ال نكاح* إال بولي‬
“tidak ada pernikahan kecuali dengan wali” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
dan juga hadits:
*‫* فنكاحها* باطل‬.‫* فنكاحها* باطل‬.‫أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها* فنكاحها* باطل‬
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal,
nikahnya batal, nikahnya batal” (HR. Ahmad, Abu Daud, dishahihkan oleh As
Suyuthi dan Al Albani)

Dan urutan yang paling berhak menjadi wali untuk menikahkan seorang wanita
adalah ayahnya, lalu kakeknya, lalu anaknya, lalu saudara kandung, lalu paman dari
bapak, lalu lelaki yang paling dekat jalur kekerabatannya setelah paman,
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama. Sebagian ulama ada yang lebih
mengutamakan anak lelaki yang sudah baligh dari seorang wanita, daripada ayahnya
untuk menjadi wali.

Syarat-syarat wali, perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai wanita atau
wakilnya dengan calon mempelai pria atau wakilnya, syaratnya adalah:
a. Wali hendaklah seorang laki-laki

b. Muslim,
c. Balig,
d. Berakal,
e. Adil (tidak fasik).

3. Adanya saksi. Berdasarkan hadits Imran bin Hushain secara marfu‘:


‫ال نكاح* إال بولي وشاهدي* عدل‬
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil ” (HR. Ibnu
Hibban, Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Adz Dzahabi)
Syarat-syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah:
a. Dua orang laki-laki,
b. Muslim,
c. Balig,
d. Berakal,
e. Melihat dan mendengar
f. serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah.

4. Ijab qabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul dengan lisan. Inilah yang
dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah
perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami. Ijab dilakukan
pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan kabul dilakukan mempelai
laki-laki atau wakilnya.
MATERI 16
RUKUN-RUKUN NIKAH

Untuk keabsahan nikah di butuhkan empat rukun, yaitu:


1. Wali
Yaitu bapak kandung mempelai wanita, penerima wasiat, atau kerabat terdekat dan
seterusnya sesuai dengan urutan ashabah wanita tersebut, atau orang bijak dari
keluarga wanita tersebut, atau pemimpin setempat, karena rasulullah SAW bersabda:
َّ َ َ َ
‫اح ِإ ال ِب َو ِل ّ ٍي‬ ‫ال ِنك‬
“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali.” (HR. At-Tirmidzi)

Umar bin al –akhathab RA berkata,”wanita tidak boleh di nikahi, kecuali atas izin
Walinya, atau orang bijak dari keluarganya atau seorang pemimpin”.
Adapun ketentuan bagi wali adalah sebagai berikut:
a. Orang yang layak menjadi wali, yaitu: Laki laki, baligh ,berakal ,sehat dan
merdeka, bukan budak.
b. Hendaknya si wali meminta izin dari perempuan yang ingin dia nikahkan jika
wanita itu seorang gadis dan walinya adalah bapaknya sendiri, dan meminta
pendapatnya jika wanita itu seorang janda, atau seorang gadis, tetapi walinya bukan
bapaknya sendiri, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya.Sedangkan perawan


diminta izin oleh ayahnya kepada dirinya.Dan izinnya adalah diamnya.” (HR.
Muslim no.1421)

c. Perwalian seorang kerabat di hukumi tidak sah dengan adanya wali yang lebih
dekat dengan wanita kepada wanita tersebut.Jadi tidak sah perwalian saudara
sebapak dengan adanya saudara yang sekandung,atau prwalian anak saudara
dengan adanya saudara.
d. Jika seorang wanita mengizinkan kepada dua orang kerabatnya supaya menikahkan
dirinya dan masing masing dari keduanya menikahkanya dengan orang lain ,maka
wanita itu menjadi istri dari laki laki yang lebih dahulu di nikahkan dengannya dan
jika akad di laksanakn pada waktu yang sama ,maka pernikahan wanita itu dengan
kedua laki laki tersebut di hukumi batal.

2. Dua orang saksi


Pernikahan hendaklah dihadiri dua orang saksi atau lebih dari kaum laki laki yang adil
dari kaum muslimin .Hal itu berdasarkan Firman Allah SWT,
ُ َ َ َّ
‫شه ُد ْوا ذ َو ْي َع ْد ٍل ِّم ْنك ْمش‬
ِ ‫وا‬
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian.” (Ath
Thalaq:2).

Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW,


‫ال نكاح إال بولي وشاهدي عدل‬
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi”. (Diriwayatkan oleh
Baihaqi)

Adapun ketentuan hukum bagi kedua orang saksi adalah sebagai berikut:
a. Saksi nikah terdiri dari dua orang atau lebih.
b. Kedua saksi nikah hendaklah orang yang adil,yang dibuktikan meninggalkan dosa
dosa besar dan dosa kecil.Sedang orang yang fasik adalah orang yang biasa
melakukan zina,meminum minuman keras, atau memakan harta riba, sehingga
kesaksiannya di hukumi tidak sah. Hal tersebut berdasarkan dengan firman Allah
SWT,
ُ َ ْ َ
‫واش ِه ُد ْوا ذ َو ْي َع ْد ٍل ِّم ْنك ْم‬ َّ
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian”(Ath
thalaq :2).
Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
‫ال نكاح إال بولي وشاهدي عدل‬
Tidak ada nikah ,kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”.
(Diriwayatkan oleh Baihaqi)

c. Di masa kita sekarang ini sebaiknya jumlah saksi diperbanyak, karena sedikitnya
orang yang adil.

3. Shighot akad nikah


Adapun yang maksud dengan shighat akad nikah adalah perkataan dari mempelai laki
laki atau wakilnya ketika akad nikah ketika akad nikah, misalnya mempelai laki laki
meminta kepada walinya, seraya berkata,”nikahkan aku dengan putrimu atau putri
yang di wasiatkan kepadamu yang bernama fulanah (A)”, si wali berkata “Aku
nikahkan kamu dengan putriku yang bernama fulanah(A)”, dan mempelai laki laki
menjawab “Aku trima nikahnya putrimu denganku”.
Beberapa ketentuan hukum shighat:
a. Setaranya calon suami dengan calon istri, dimana calon suaminya adalah seorang
yang merdeka ( bukan budak), berakhlaq mulia, beragama serta amanah (jujur),
berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
“Jika telah datang kepadamu seseorang (laki-laki) yang kamu ridhoi akhlak dan
agamanya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu).Jika tidak, niscaya akan
terjadi fitnah dan kerusakan yang besar dibumi”.

b. Diperbolehkannya perwakilan didalam akad nikah. Jadi calon suami


diperbolehkan mewakilkan kepada siapa saja yang dikehendakinya didalam akad
nikah.Sedangkan calon istri, maka waliny sndirilah yang boleh melangsungkan
akad nikahnya.

4. Mahar (mas kawin)


Mahar adalah sesuatu yang diberikan calon suami kepada calon istri untuk
menghalalkan menikmatinya, dan hukumnya adalah wajib, berdasarkan firman Allah
SWT,ًٔ ًٔ
ۤ ۤ ُُ َ َ َ َُ َ ًَ ٰ َ َۤ َ ّ ُٰ َ
‫ص ُدق ِت ِه َّن ِن ْحلة ۗ ف ِا ْن ِط ْب َن لك ْم َع ْن ش ْي ٍء ِّم ْن ُه ن ْف ًسا فكل ْو ُه َه ِن ْيـا َّم ِر ْيـا‬ ‫النساء‬
ِ ‫واتوا‬
“Dan berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa : 4)
Rasulullah SAW bersabda,
“Carilah mahar meskipun hanya cincin dari besi.” (Muttafaq ‘alaih)

Beberapa ketentuan tentang mahar:


a. Mahar disunnahkan mudah (ringan), berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Wanita yang paling besar berkahnya adalah wanita yang paling mudah (ringan)
maharnya.”

b. Disunnahkan menyebut mahar ketika akad.


c. Mahar diperbolehkan dengan setiap barang yang mubah (dibolehkan) yang
harganya lebih dari ¼ dinar, berdasarkan sabda rasulullah SAW,
“Carilah mahar meskipun hanya cincin dari besi.” (Muttafaq ‘alaih).

d. Mahar boleh dibayar kontan ketika akad nikah, atau ditangguhkan (hutang), atau
hanya sebagiannya saja yang ditangguhkan, berasarkan firman Allah SWT,

“Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan


mereka, padahal kalian telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua
(separuh) dari mahar yang telah kalian tentukan itu.” (Al Baqarah:237)

e. Mahar merupakan tanggungan suami ketika akad nikah dan merupakan kewajiban
ketika suami telah menggauli istrinya. Jika seorang suami menceraikan istrinya
sebelum menggaulinya, maka separuh mahar dianggap gugur darinya dan ia hanya
berkewajiban membayar separuhnya lagi.

f. Jika suami meninggal dunia, sebelum dia menggauli istrinya dan setelah akad,
maka istri berhak mewarisinya serta berhak mendapatkan mahar secara utuh,
sebagaimana hal itu telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Hal itu berlaku jika
maharnya telah ditentukan.Tetapi jika maharnya belum ditentukan, maka istri
berhak mendapatkan mahar sebesar mahar wanita yang sederajat dengannya, lalu
menjalani masa iddah setelahnya.
MATERI 17
WALI HAKIM

Keberadaan wali merupakan rukun dalam akad pernikahan. Karena itu, tidak sah
menikah tanpa wali. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan kesimpulan, ini,
diantaranya,

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
‫اَل َ َ اَّل‬
‫اح ِإ ِب َو ِل ّ ٍي‬ ‫ِنك‬
“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Abu Daud 1785, Turmudzi 1101,
dan Ibnu Majah 1870).

Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


‫اط ٌل‬ ُ ‫اح َها َباط ٌل َفن َك‬
َ ‫اح َها‬
‫ب‬ ُ ‫َأ ُّي َما ْام َرَأ ة َن َك َح ْت ب َغ ْير ْذن َول ّي َها َفن َك‬
ُ ‫اح َها َباط ٌل َفن َك‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ِ ِ ِإ‬ ٍ
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal,
nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. (HR. Ahmad 24205, Abu Daud 2083,
Turmudzi 1021, dan yang lainnya).

Dan keberadaan wali dalam akad nikah, merupakan salah satu pembeda antara nikah
yang sah dengan transaksi prostitusi. Dalam transaksi zina, seorang WTS menikahkan
dirinya sendiri tanpa wali, sementara harga bercinta dengannya menjadi mahar baginya.

Tidak semua orang menjadi wali.


Allah menghargai hubungan kekeluargaan manusia. Karena itu, kelurga lebih berhak
untuk mengatur dari pada orang lain yang bukan kerabat. Allah berfirman,
ٌ ‫الل َه ب ُك ّل َش ْي ٍء َع ِل‬
‫يم‬
َّ َّ َّ
‫ن‬ ‫ه‬‫الل‬ ‫اب‬ َ ‫ض ُه ْم َأ ْو َلى ب َب ْعض في ك‬
‫ت‬ ُ ‫َوُأ ُولو اَأْل ْر َحام َب ْع‬
ِ ِ ‫ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِإ‬ ِ
Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal: 75)

Bagian dari hak ’mengatur’ itu adalah hak perwalian. Karena itu, kerabat lebih berhak
menjadi wali dibandingkan yang bukan kerabat. Lebih dari itu, kerabat yang berhak
menjadi wali juga ada urutannya. Sehingga orang yang lebih dekat dengan wanita, dia
lebih berhak untuk menjadi wali bagi si wanita itu.

Urutan kerabat ayah yang berhak menjadi wali nikah, dijelaskan Al-Buhuti berikut,
‫ويقدم أبو املرأة الحرة في إنكاحها ألنه أكمل نظرا وأشد شفقة ثم وصيه* فيه أي في‬
‫النكاح لقيامه مقامه ثم جدها ألب وإن عال األقرب فاألقرب ألن له إيالدا وتعصيبا‬
‫فأشبه األب ثم ابنها ثم بنوه وإن نزلوا األقرب فاألقرب‬
Lebih didahulukan bapak si wanita (pengantin putri) untuk menikahkannya. Karena
bapak adalah orang yang paling paham dan paling menyayangi putrinya. Setelah itu,
penerima wasiat dari bapaknya (mewakili bapaknya), karena posisinya sebagaimana
bapaknya. Setelah itu, kakek dari bapak ke atas, dengan mendahulukan yang paling
dekat, karena wanita ini masih keturunannya, dalam posisi ini (kakek) disamakan dengan
bapaknya. Setelah kakek adalah anak si wanita (jika janda), kemudian cucunya, dan
seterusnya ke bawah, dengan mendahulukan yang paling dekat. (Ar-Raudhul Murbi’, hal.
1/100)

Dan tidak boleh kerabat yang lebih jauh menjadi wali nikah sementara masiha ada
kerabat yang lebih dekat. Karena semacam ini sama halnya dengan merampas hak
perwalian, sehingga nikahnya tidak sah.

Al-Buhuti mengatakan,
‫وإن زوج األبعد أو زوج أجنبي ولو حاكما من غير عذر لألقرب لم يصح النكاح لعدم‬
‫الوالية من العاقد عليها مع وجود مستحقها‬
Jika wali yang lebih jauh menikahkannya, atau orang lain menjadi walinya, meskipun dia
hakim (pejabat KUA), sementara tidak ada izin dari wali yang lebih dekat maka nikahnya
tidak sah, karena tidak perwalian ketika proses akad, sementara orang yang lebih berhak
(untuk jadi wali) masih ada.” (Ar-Raudhul Murbi’, 1/10)

Kapan wali hakim berperan?


Dalam hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َ ‫اَل‬ ُ ‫الس ْل َط‬
ُّ ‫اش َت َج ُروا* َف‬
ْ ْ َ
‫ان َو ِل ُّي َم ْن َو ِل َّي ل ُه‬ ‫فِإ ن‬
Jika terjadi sengketa antara mereka, maka penguasa menjadi wali untuk orang yang
tidak memiliki wali. (HR. Ahmad 24205, Abu Daud 2083, Turmudzi 1021, dan yang
lainnya).
Dr. Ahmad Rayan mengatakan,
ً ‫إن للسلطان‬
‫* ولكنه يأتي بعد الوالية الخاصة‬,‫دورا في التزويج‬
”Penguasa punya hak untuk menikahkan, namun setelah tidak adanya wali khusus
(kerabat).” (Fiqih Usroh, hlm. 115).

Berdasarkan hadis dan keterangan di atas, maka penguasa, dalam hal ini pejabat negara
yang bertugas mengurusi pernikahan, berhak menjadi wali nikah, jika wali khusus, yaitu
kerabat tidak ada yang memenuhi syarat.

Sebagai contoh, anak dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak nasab. Bapak
biologis bukanlah bapaknya. Karena itu, tidak boleh dinasabkan ke bapak biologisnya.
Dengan demikian, dia tidak memiliki keluarga dari pihak bapak. Siapakah wali
nikahnya? Jika pengantin wanita tidak memiliki anak, wali nikahnya adalah hakim.
Selanjunya, Siapa Wali Hakim?

Dalam hadis A’isyah di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut wali hakim


dengan Sulthan [arab: ُ‫]الس ُّْلطَان‬, yang artinya penguasa.

Ibnu Qudamah mengatakan,


‫السلطان في والية النكاح هو اإلمام أو الحاكم أو من فوضا إليه ذلك‬
Sulthon dalam perwalian nikah adalah pemimpin, hakim atau orang yang dipasrahi untuk
menangani masalah pernikahan. (al-Mughni, 7/17).

Di negara kita, pemerintah telah membentuk KUA sebagai petugas resmi yang
menangani masalah pernikahan. Sehingga dalam hal ini, pejabat resmi KUA merupakan
hakim yang berhak menjadi wali pernikahan, ketika wali kerabat tidak ada, atau terjadi
sengketa.

Dengan demikian, siapapun yang TIDAK berstatus sebagai pejabat resmi KUA atau yang
sepadan dengannya dalam hirarki pemerintahan, dia tidak bisa disebut sebagai wali
hakim.

Kiyai, Ustad, guru ngaji, apalagi teman, tidak bisa disebut wali hakim. Termasuk juga
pejabat KUA yang datang atas nama pribadi, bukan atas nama instansi, TIDAK bisa
disebut sebagai wali hakim. Karena yang berstatus sebagai wali hakim adalah pejabat
terkait yang datang resmi atas nama LEMBAGA dan BUKAN atas nama PRIBADI.

Jika mereka tetap nekat mengajukan diri menjadi wali, maka statusnya wali gadungan
dan tidak sah menjadi wali. Dengan demikian, pernikahan yang dilakukan adalah
pernikahan tanpa wali dan itu statusnya tidak sah.
MATERI 18
KHITBAH

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-
Qur’an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di
antaranya adalah Khitbah (Peminangan).

Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia


meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain.
Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang
dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫الر ُج ُل‬ ُ ‫هللا َع َل ْيه َو َس َّل َم َأ ْن َيب ْي َع َب ْع‬
َّ ‫ َو َال َي ْخ ُط َب‬،‫ض ُك ْم َع َلى َب ْيع َب ْعض‬ ُ ‫ص َّلى‬ َّ ‫َن َهى‬
َ ‫النب ُّي‬
ٍ ِ ِ ِ
ُ‫اطب‬ َ ْ ِ ُ َ َ َ ‫ْ َ َأ ْ َ َّ َ ْ ُ َ ْ َ ُ َ ْ َ ُ َأ ْ َ ْأ‬ ََ
ِ ‫اطب قبله و ي ذن له الخ‬ ِ ‫ حتى يترك الخ‬،‫على ِخطب ِة ِخي ِه‬
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang
ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang
telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau
mengizinkannya.”

Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang
dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
َْ َ َ َ ُ ‫ْ َ َ َ َأ‬ َ َ ‫َ َ َ َأ ُ مْل َ َأ‬
‫ فل َي ْف َع ْل‬،‫اع ْن َي ْنظ َر ِم ْن َها ِإ لى َما َي ْد ُع ْو ُه ِإ لى ِنك ِاح َها‬ ‫ فِإ ِن استط‬،‫ِإ ذا خط َب َح ُدك ُم ا ْر ة‬
Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat
apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!”

Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu pernah meminang seorang wanita, maka
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: ‫َأ‬ ‫َأ‬ َ‫ َف َّن ُه ْح َرى ْن ُيْؤ َد َم َب ْي َن ُكما‬،‫ُأ ْن ُظ ْر َل ْي َها‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih)
antara kalian berdua.” (Diriwayatkan oleh Ahmad)

Imam at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan


hadits ini bahwa menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi
tidak melihat apa yang diharamkan darinya.”

Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama,
ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada yang berpendapat
boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut, betis dan
lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang
mendorongnya untuk menikahinya.” Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah
melihat muka dan kedua tangannya.Wallaahu a’lam.

Ketika Laki-Laki Shalih Datang Untuk Meminang Apabila seorang laki-laki yang shalih
dianjurkan untuk mencari wanita muslimah ideal-sebagaimana yang telah kami sebutkan-
maka demikian pula dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari
laki-laki shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya. Dari Abu Hatim al-Muzani
radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ
‫ض َوف َس ٌاد‬ ‫ر‬ْ ‫ َّال َت ْف َع ُل ْوا َت ُك ْن ِف ْت َن ٌة في ْاَأل‬،‫ض ْو َن ِد ْي َن ُه َو ُخ ُل َق ُه َف ْان ِك ُح ْو ُه‬
َ ‫َذا َج َاء ُك ْم َم ْن َت ْر‬
ِ ِ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
ٌ‫كب ْي *ر‬.َ
ِ
“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka
nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan
kerusakan yang besar.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi)

Boleh juga seorang wali menawarkan puteri atau saudara perempuannya kepada orang-
orang yang shalih. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,

“Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama
Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Sahabat Nabi yang meninggal
di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan
untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’
Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah
memutuskan untuk tidak menikah saat ini.” Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui
Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti
‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun.

Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman. Baca Juga 
Nasihat Untuk Suami Isteri Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan
Rasulullah.Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah
kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa
pun?’‘Umar men-jawab, ‘Ya.’Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang
menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah
telah menyebut-nyebutnya (Hafshah).Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.Jika beliau meninggalkannya, niscaya aku akan menerima
tawaranmu.”

Shalat Istikharah Apabila seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang
serta wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk
menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat
istikharah dan berdo’a seusai shalat.Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq
dan kecocokan, serta memohon kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya.

Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat Istikharah untuk
memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat Al-Qur’an.” Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana
untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua raka’at,
kemudian membaca do’a:
َ ْ
‫ض ِل َك ال َع ِظ ْي ِم فِإ َّن َك‬ ْ ‫َا َّلل ُه َّم ني َأ ْس َتخ ْي ُر َك بع ْلم َك َوَأ ْس َت ْقد ُر َك ب ُق ْد َرت َك َوَأ ْسَأ ُل َك م ْن َف‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِّ ‫ِإ‬
‫َأل‬ ْ َ ‫َأ‬ َ َ ُ َّ َ ُ ْ َّ ْ ‫َأ‬ َ ‫َأ‬ َ َ َ ْ ‫َأ‬ َ َ
‫ الل ُه َّم ِإ ْن ك ْن َت ت ْعل ُم َّن َهذا ا ْم َر‬.‫ت ْق ِد ُر َوال ق ِد ُر َوت ْعل ُم َوال ْعل ُم َو ن َت َعال ُم الغ ُي ْو ِب‬
ْ َ
‫ َع ِاج ِل ِه َو ِآج ِل ِه) فاق ُد ْر ُه‬:‫ال‬ َ ‫اج َت ُه) َخ ْي ٌر ل ْي ف ْي ِد ْين ْي َو َم َع ِاش ْي َو َعا ِق َب ِة َأ ْمر ْي (َأ ْو َق‬ َ ‫َ(و ُي َس ِّمى َح‬
ِ ِ ِ ِ
َ ‫ُ َ َ َأ َ ْ َأل‬ ُ
‫ َوِإ ْن ك ْن َت ت ْعل ُم َّن َهذا ا ْم َر ش ٌّر ِل ْي ِف ْي ِد ْي ِن ْي َو َم َع ِاش ْي‬،‫ِل ْي َو َي ِّس ْر ُه ِل ْي ث َّم َب ِار ْك ِل ْي ِف ْي ِه‬
َ‫اصر ْفن ْي َع ْن ُه َو ْاق ُد ْر ل َي ْال َخ ْير‬ ْ ‫اصر ْف ُه َع ِّني َو‬ ْ ‫ ف ْي َعاجله َوآجله) َف‬:‫ال‬ َ َ ْ ‫َ َ َ َأ ْ ْ َأ‬
ِ ِ ِ ِ ِِِ ِِِ ِ ‫وعا ِقب ِة م ِري ( َأو ق‬
ُ َ َ ُ َْ
‫ان ث َّم ْر ِض ِن ْي ِب ِه‬ ‫“ حيث ك‬
Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu
dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-
Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung,
sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang
aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah,
apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya
menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya
terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di dunia atau
akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah
berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini membawa
keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku (atau
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘…di dunia atau akhirat’) maka
singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan
(tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah
keridhaan-Mu kepadaku.”

Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Tatkala masa ‘iddah Zainab binti
Jahsy sudah selesai, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid,
‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan meminangnya.’ Zaid berkata, ‘Lalu aku pergi
mendatangi Zainab lalu aku berkata, ‘Wahai Zainab, bergembiralah karena Rasulullah
mengutusku bahwa beliau akan meminangmu.’’ Zainab berkata, ‘Aku tidak akan
melakukan sesuatu hingga aku meminta pilihan yang baik kepada Allah.’Lalu Zainab
pergi ke masjidnya. Lalu turunlah ayat Al-Qur’an dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam datang dan langsung masuk menemuinya.” Imam an-Nasa’i rahimahullaah
memberikan bab terhadap hadits ini dengan judul Shalaatul Marhidza Khuthibat
wastikhaaratuha Rabbaha (Seorang Wanita Shalat Istikharah ketika Dipinang).” Fawaaid
(Faedah-Faedah) Yang Berkaitan Dengan Istikharah:
1. Shalat Istikharah hukumnya sunnah.
2. Do’a Istikharah dapat dilakukan setelah shalat Tahiyyatul Masjid, shalat sunnah
Rawatib, shalat Dhuha, atau shalat malam.
3. Shalat Istikharah dilakukan untuk meminta ditetapkannya pilihan kepada calon yang
baik, bukan untuk memutuskan jadi atau tidaknya menikah.Karena, asal dari pernikahan
adalah dianjurkan.
4. Hendaknya ikhlas dan ittiba’ dalam berdo’a Istikharah.
5. Tidak ada hadits yang shahih jika sudah shalat Istikharah akan ada mimpi, dan lainnya.
MATERI 19
MAHAR (MASKAWIN)

Mahar adalah apa yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab
pernikahan.
Berdasarkan Firman Allah SWT,
ًَ ٰ َ َۤ َ ّ ُٰ َ
‫ص ُدق ِت ِه َّن ِن ْحلة‬ ‫النساء‬
ِ ‫واتوا‬
“Dan berikanlah maskawin (mahar)kepada wanita (yang kamu nikahi)sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan”. (An NIsa :4)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


ً َ َ َ ُ ْ
‫انظ ْر َول ْو خاتما ِم ْن َح ِد ْي ٍد‬
“Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.”

Beberapa ketentuan hukum tentang mahar:


1. Mahar di sunnahkan mudah (ringan),berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
ًَ َْ ‫َ ً َأ‬ َ َّ َ َ ْ ‫َّ َأ‬
‫ـاح َب َركة ي َس ُر ُه ُمْؤ نة‬
ِ ‫ِإ ن عظم الن‬
‫ك‬
“Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.”
(HR. Ahmad) ‫َأ‬ َ َ
‫خ ْي ُرال ِّنك ِاح ْي َس ُر ُه‬
“Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.” (HR. Abu Dawud)

2. Juga karna mahar putri putri Rasulullah SAW hanya sebesar 400 dirham atau 500
dirham, dan mahar istri istri beliaupun hanya sebesar 400 atau 500 dirham.
a. Disunnahkan menyebutkan mahar ketika akad.
b. Mahar di perbolehkan dengan setiap barang yang mubah (di bolehkan)yang
harganya lebih dari ¼ (seperempat) dinar, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ً َ َ َ ُ ْ
‫انظ ْر َول ْو خاتما ِم ْن َح ِد ْي ٍد‬
“Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.”

c. Mahar boleh di bayar kontan ketika akad nikah ,atau di tangguhkan atau
hutang ,atau hanya sebagianya saja yang di tangguhkan, berdasarkan Firman Allah
SWT,
ُ ْ َ ً َ ْ َ َّ ُ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ َ َّ ُ ْ ُّ َ َ ْ َ ْ َ ْ َّ ُ ْ ُ ُ ْ َّ َ ْ َ
ْ ‫ف َما َف َر‬
 ‫ض ُت ْم‬ ‫و ِان طلقتموهن ِمن قب ِل ان تمسوهن وقد فرضتم لهن ف ِريضة ف ِنص‬
Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal
kamu sudah menentukan Maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah
kamu tentukan.”

Akan tetapi sebelum suami menggauli istrinya di sunnahkan memberikan sesuatu


kepada istrinya.
“Bahwa Nabi SAW telah memerintahkan Ali Bin Abi Tholib RA supaya
memberikan sesuatu kepada Fathimah RA sebelum berhubungan badan denganya.
Ali Bin Abi Thalib RA berkata”Aku tidak mempunyai sesuatu apapun.”
Rasulullah SAW bersabda, dimanakah baju besimu? kemudian Ali Bin Abi Thalib
r.a. pun memberikan baju besinya kepada Fathimah r.a.

d. Mahar merupakan tanggungan suami ketika akad nikah dan merupakan kewajiban
ketika suami telah menggauli istrinya.
Jika seorang suami menceraikan istrinya sebelum menggaulinya, maka separuh
mahar dianggap gugur darinya dan ia hanya berkewajiban membayar separuhnya
lagi.

e. Jika suami meninggal dunia, sebelum dia menggauli istrinya dan setelah akad,
maka istrinya berhak mewarisinya serta berhak mendapatkan mahar secara utuh,
sebagaimana hal itu telah di tetapkan oleh Rasulullah SAW. Hal itu berlaku jika
maharnya belum di tentukan ,maka istri nya berhak mendapatkan mahar sebesar
mahar wanita yang sederajat dengan nya ,lalu menjalani masa iddah setelahnya.

3. Mahar adalah hak Istri yang tidak boleh diambil, Rasulullah saw mengancam siapa
yang menyia-yiakan hak ini dengan ancaman yang sangat keras. Al-Hakim
meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Dosa paling besar di sisi Allah ialah orang yang menikahi wanita lalu ketika telah
menyelesaikan hajatnya darinya, maka dia menceraikannya dan pergi dengan
membawa maharnya, orang yang mempekerjakan seseorang lalu pergi dengan
membawa upahnya dan seorang yang membunuh binatang dengan sia-sia.”
MATERI 20
SUNNAH SETELAH AKAD

1. Khutbah nikah, dianjurkan adanya khutbatul hajah sebelum akad nikah.


Yang dimaksud khutbatul hajah adalah bacaan:
َ َ َّ ْ ‫ْ ُ ُ َأ‬ ُ َ ْ َ َ َّ ْ
‫ور ن ُف ِس َنا َم ْن َي ْه ِد الل ُه فال‬ ِ ‫ِإ َّن ال َح ْم َد ِلل ِه ن ْس َت ِع ُين ُه َون ْس َتغ ِف ُر ُه َون ُعوذ ِب ِه ِمن شر‬
ُ‫الل ُه َوَأ ْش َه ُد َأ َّن ُم َح َّم ًدا َع ْب ُده‬
َّ َّ َ َ َ ْ ‫ُ َّ َ ُ َ َ ْ ُ ْ ْ َ َ َ َ َ ُ َ َأ ْ َ ُ َأ‬
‫م ِضل له ومن يض ِلل فال ه ِادى له و شهد ن ال ِإ له ِإ ال‬
‫ان‬
َ َّ ‫َأل‬
َ ‫ون به َوا ْر َح َام َّن الل َه ك‬ َ ‫الل َه َّالذى َت َس َاء ُل‬
َّ
‫وا‬ ُ ‫ين َآم ُنوا ( َّات‬
‫ق‬ َ ‫ول ُه َيا َأ ُّي َها َّالذ‬
ُ ُ ََ
‫ورس‬
‫ِإ‬ ِِ ِ ِ
‫َأ‬
َ ‫وت َّن َّال َو ْن ُت ْم ُم ْسل ُم‬ ُ ُ َ َ َ َ ُ َّ َ َ َّ ‫َأ‬
ُ َّ ُ َ َ َّ َ ُّ َ ً َ ْ ُ ْ َ َ
)‫ون‬ ِ ‫علي َأكم ر ِقيبا)* (يا يها ال ِذين آمنوا اتقوا الله حق تقا ِت ِه وال تم َأ ِإ‬
َُ ْ َُ ُ َ ْ ُ ً َ ً ْ َ ُ ُ َ َ َّ َ ‫( َيا ُّي َها َّالذ‬
‫ص ِل ْح لك ْم ْع َمالك ْم َو َيغ ِف ْر لك ْم‬ ‫ين َآم ُنوا َّات ُقوا الله وقولوا قوال س ِديدا ي‬ ِ
َ
ً َ ًْ َ ْ َ ُ ُ ََ َ َ َ َ َّ ُ ْ َ َ ْ ُ َ ُُ
‫ذنوبكم ومن ي ِطع الله ورسوله فقد فاز فوزا ع ِظيما‬.
ِ
Dalil anjuran ini adalah hadis dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau
mengatakan, ‫َأ‬
َ َّ ْ َ ‫هللا َع َل ْيه َو َس َّل َم ُخ ْط َب َة ْال َح‬
ُ ‫ص َّلى‬ َّ ُ ُ َ َ َ َّ َ
‫اج ِة ِن ال َح ْم ُد ِلل ِه ن ْس َت ِع ُين ُ*ه‬ ِ
َ ‫الله‬
ِ ‫ول‬ ‫علمنا رس‬
‫َأ‬
ْ ُ ُ ْ ُ ََُ ُُ َْ ْ ََ
‫ور ن ُف ِس َنا‬ ِ ‫…ونستغ ِفره ونعوذ ِب ِه ِمن شر‬.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami khutbatul hajah…-sebagaimana
lafadz di atas – …(HR. Abu Daud 2118 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Syu’bah (salah satu perawi hadis) bertanya kepada gurunya Abu Ishaq, “Apakah ini
khusus untuk khutbah nikah atau boleh dibaca pada kesempatatan yang lainnya.”
“Diucapkan pada setiap acara yang penting.”  Jawab Abu Ishaq.

Sebagian orang beranggapan dianjurkannya mengucapkan khutbah ini ketika walimah,


meskipun acara walimah tersebut dilaksanakan setelah kumpul suami istri.  Namun
yang tepat –wallahu a’lam– anjuran mengucapkan khutbatul hajah sebagaimana
ditunjukkan hadis Ibn Mas’ud radhiallahu ‘anhu adalah sebelum akad nikah bukan
ketika walimah. (A’unul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 5:3 dan Tuhafatul Ahwadzi
Syarh Sunan Turmudzi, 4:201). Wallahu a’lam.

2. Walimah (jamuan), berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang ditujukan kepada


Abdurrahman bin Auf RA setelah akad nikah, ‫َأ‬ َ َ
‫ْو ِل ْم َول ْو ِبش ٍاة‬
“Adakanlah walimah meskipun hanya seekor kambing.” (HR. Bukhari, no. 2049)

Walimah adalah makanan atau jamuan dalam pernikahan, dan orang yang diundang ke
suatu walimah, ia wajib menghadirinya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
َ‫ال َذا ُد ِع َي َأ َح ُد ُك ْم َلى ْال َو ِل َيم ِة َف ْل َيْأ ِتها‬ َّ َ ُ َ َّ ‫َ ْ َ ْ َّ ْ ُ َ َ َأ‬
َ ‫الل ِه صلعم َق‬ ‫عن عب ِد الل ِه ب ِن عمر ن رسول‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
“Barang siapa yang diundang menghadiri walimah atau jamuan lainnya, maka
hendaknya ia menghadirinya”. (Muttafaq ‘alaih)
Tetapi diperbolehkan tidak menghadirinya jika di dalamnya terdapat hiburan (yang
diharamkan) atau kebatilan. Jika ia diundang oleh dua orang, maka ia harus
mengutamakan orang yang pertama kali mengundangnya.

Orang fakir harus diundang ke walimah sebagaimana halnya orang-orang kaya


diundang. Karena Rasulullah SAW bersabda,
“Sejelek-jelek makanan ialah makanan walimah, dimana orang yang datang
kepadanya (orang fakir) dicegah darinya, sedangkan orang yang tidak bersedia
datang (orang kaya), malah diundang kepadanya”.

Barang siapa yang tidak memenuhi undangan, sesungguhnya ia telah durhaka kepada
Allah dan Rasul-Nya. Jika ia sedang berpuasa, kemudian diundang menghadiri
walimah, maka ia harus memenuhinya, untuk datang dan mendoakannya, tanpa harus
makan jamuan itu.

3. Mengumumkan pernikahan dengan rebana dan nyanyian yang dibolehkan.


Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
َ ُّ ‫ص ُل َما َب ْي َن ْال َحاَل ل َو ْال َح َرام‬
َّ ‫الد ُّف َو‬
‫الص ْو ُت ِفي ال ِّنكا ِح‬ ْ ‫َف‬
ِ ِ
“Pemisah diantara yang halal dan yang haram ialah rebana serta suara (nyanyian)
dalam pernikahan”. (HR. At-Tirmidzi)

4. Mendoakan kedua mempelai, karena Abu Hurairah RA berkata, “Rasulullah SAW


apabila mengucapkan selamat dan mendoakan orang yang menikah, maka beliau
bersabda,
َ ُ َ َ َّ
‫َب َار َك الل ُه ل َك َو َب َار َك َعل ْي َك َو َج َم َع َب ْي َنك َما ِفى خ ْي ٍر‬
“Semoga Allah memberkahimu ketika bahagia dan ketika susah dan mengumpulkan
kalian berdua dalam kebaikan.” (HR. Abu Daud, no. 2130; Tirmidzi(

5. Ketika suami menemui istrinya, hendaklah ia pegang ubun-ubunnya dan berdo’a:


َ‫ َوَأ ُع ْو ُذ ب َك م ْن َشر َها َو َشر ما‬،‫َا َّلل ُه َّم ني َأ ْسَأ ُل َك م ْن َخ ْير َها َو َخ ْير َما َج َب ْل َت َها َع َل ْيه‬
ِّ ِّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِّ ‫ِإ‬
َْ َ َ َ ْ َ َ
‫جبلتها علي ِه‬
“Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku
berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.” (HR. Muslim, Abu
Daud, no. 2160; Ibnu Majah(

6. Shalat dua Raka’at


Dari Abu Waail, ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku
khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta
berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari setan, untuk membenci apa-apa
yang dihalalkan oleh Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah
untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah):
ْ ‫ َا َّلل ُه َّم‬،‫ َو ْار ُز ْق ُه ْم م ِّني‬،‫ َا َّلل ُه َّم ْار ُز ْقني م ْن ُه ْم‬،‫ َو َبار ْك َل ُه ْم ف َّي‬،‫َا َّلل ُه َّم َبار ْك لي في َأ ْهل ْي‬
‫اج َم ْع‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َْ َ َ ْ َّ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ
‫ وف ِّرق بيننا ِإ ذا فرقت ِإ لى خي ٍر‬،‫بيننا ما جمعت ِإ لى خي ٍر‬
Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka
dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan
berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami
(berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.” 
(HR. ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 6: 191, no. 10460, 10461).

7. Jika pasangan suami istri akan melakukan hubungan badan


ْ َ ‫الش ْي َط‬
*‫ان َما َر َزق َت َنا‬ َ ‫الش ْي َط‬
َّ ‫ َو َج ّنب‬، ‫ان‬ َّ
َّ ‫الل ُه َّم َج ّن ْب َنا‬
ِِ ِ
“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan
dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”. (HR.
Bukhari, no. 6388; Muslim, no. 1434).
MATERI 21
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI

Seorang suami memiliki sejumlah hak atas istrinya, sebagaimana ditegaskan didalam
Firman Allah SWT,
ۖ َ ‫مْل‬ َ َّ ْ َ
‫َول ُه َّن ِمث ُل ال ِذ ْي َعل ْي ِه َّن ِبا ْع ُر ْو ِف‬
Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang patut. (Q.S. Al-Baqarah: 228)

Yang di maksud dengan kewajiban istri pada suami pada ayat di atas adalah hak suami
atas istrinya. Juga berdasarkan sabda rasulullah SAW,
ُ َ ُ ُ َ ُ َ َ ‫َأ‬
‫ال ِإ َّن لك ْم َعلى ِن َساِئ ك ْم َح ًّقا َو ِل ِن َساِئ ك ْم َعل ْيك ْم َح َّقا‬
“Ingatlah, bahwa kalian mempunyai hak terhadap istri-istri kalian, dan istri-istri kalian
pun mempunyai hak terhadap kalian.” (HR. At-Tirmidzi)

A. Hak Suami atas Istri


1. Ditaati istrinya dalam kebaikan. Berdasarkan Firman Allah.
َ ُ َ ‫َ َ َ ُ َ اَل‬
‫ف ِا ْن اط ْع َنك ْم ف ت ْبغ ْوا َعل ْي ِه َّن َس ِب ْي ًل‬
“Kemudian jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya”. (An-Nisa’:34)

Kemudian sabda‫َأل‬Rasulullah saw,


‫َأ‬
َ ّ ُ ْ َ ‫َ ْ ُ ْ ُ ً َأ َ ً َأ ْ َ ْ ُ َ َأل َ َأل‬
‫الن َس َاء ْن َي ْس ُج ْد َن ْز َو ِاج ِه َّن مِل ا‬
ِ ‫لو كنت ِآمرا حدا ن يسجد ح ٍد مرت‬
ْ َ َ َّ
‫َج َع َل الل ُه ل ُه ْم َعل ْي ِه َّن ِم َن ال َح ِ ّق‬
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka
tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah
telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR.
Abu Daud no. 2140, Tirmidzi

2. Istri wajib menjaga harta suaminya, wajib menjaga kehormatannya dan tidak boleh
keluar dari rumahnya, kecuali atas seizin suaminya, berdasarkan Firman Allah
SWT,
ّٰ َ َ ْ ِّ ٰ
‫ٰح ِفظ ٌت للغ ْي ِب ِب َما َح ِفظ الل ُه‬
“(Wanita-wanita yang sholihah adalah) wanita-wanita yang menjaga diri ketika
suaminya tidak ada disebabkan Allah telah memelihara mereka”. (An-Nisa’: 34)

Juga sabda Rasulullah SAW,


َ َ َ َ َّ َ َ ٌ ْ َ َ ّ ُّ ‫َّ َ َّ َّ ُ َ َ ْ َ َ َّ َ َأ‬
‫ال ال ِتي ت ُس ُّر ُه ِإ ذا نظ َر‬ ‫النس ِاء خير ق‬ ِ ‫ول الل ِه صلى الله علي ِه وسلم ي‬
ُ َ َ
ِ‫ِقيل ِلرس َأ‬
ْ َ َ ُ ‫اَل‬ َ ُ َُ
‫يع ُه ِإ ذا َم َر َو تخ ِال ُف ُه ِفي ن ْف ِس َها َو َم ِال َها ِب َما َيك َر ُه‬‫وت ِط‬
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah
wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika
dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami
pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231
dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

3. Istri wajib bepergian dengan suami jika suami menghendakinya, bila seorang
wanita tidak mensyaratkan kepada suaminya bahwa ia tidak akan bepergian
dengan suaminya dalam akad (nikah), karena bepergiannya seorang istri bersama
suaminy termasuk ketaatan yang diwajibkan kepadanya.
4. Istri wajib menyerahkan dirinya kepada suaminya kapan saja suaminya ingin
menggaulinya, karena menggaulinya merupakan salah satu haknya, berdasarkan
sabda Rasulullah SAW,
ُ َ َ َ ‫مْل‬ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ ْ ‫َ َأ َ ْ َأ‬ َ َ ‫َأ‬ َّ ‫َذا َد َعا‬
‫ ل َع َن ْت َها ا الِئ كة‬,‫ان َعل ْيها‬ ‫الر ُج ُل ْام َر ت ُه ِإ لى ِف َر ِاش ِه ف بت ن ت ِجىء فبات غضب‬ ‫ِإ‬
ُ َّ
ْ ‫َحتى ت‬
‫ص ِب َح‬
“Jika seorang suami mengajak istrinya ketempat tidurnya, kemudian istrinya
menolak mendatanginya, sehingga suaminya marah kepadanya semalaman,
niscaya para malaikat melaknat istri tersebut hingga pagi hari”. (Muttafaq ‘aliah)

5. Jika seorang istri ingin berpuasa sunnah sedangkan suami berada dirumah, maka ia
wajib meminta izin kepadanya. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah
‫ َأ‬SAW,
‫َأ‬
ْ َّ َ
‫وم َو َز ْو ُج َها ش ِاه ٌد ِإ ال بِِإ ذ ِن ِه‬
َ ‫ص‬ُ ‫َال َيح ُّل ل ْل َم ْر ة ْن َت‬
ِ ِ ِ
“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa saat suaminya berada dirumah, kecuali
atas izinnya”. (Muttafaq ‘alaih)

B. Kewajiban Suami
1. Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf (baik)
Yang dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak
menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan wajah manis dan
ceria di hadapan istri. Allah Ta’ala berfirman,
‫وف‬ ُ
‫ر‬ ْ َ ‫وه َّن بامْل‬
‫ع‬ ُ ‫َو َعاش ُر‬
ِ ِ ِ
“Dan bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19)
‫َأ َ َ ُ َأل‬ ‫َ ُ َ ُ َأل‬
‫خ ْي ُرك ْم خ ْي ُرك ْم ْه ِل ِه َو نا خ ْي ُرك ْم ْه ِلى‬
“Sebaik-baik kalian adalah yan berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku
adalah orang yang  paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no.
3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

2. Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal dengan baik


Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan
anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya.
َّ ُ ّ َ ‫َآ َ َّ اَل‬ َْ ُ َ ُ ُ
‫ِل ُي ْن ِف ْق ذو َس َع ٍة ِم ْن َس َع ِت ِه َو َم ْن ق ِد َر َعل ْي ِه ِر ْزق ُه فل ُي ْن ِف ْق ِم َّما ت ُاه الل ُه ُيك ِلف الل ُه‬
َ ‫اَّل َآ‬ َ
‫ن ْف ًسا ِإ َما ت َاها‬
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
َ َ ‫الله َوا ْس* َت ْح َل ْل ُت ْ*م ُ*ف ُر‬
‫وج ُه َّن ِبك ِل َ*م ِة‬
َّ
‫ان‬ ‫م‬
*َ ‫وه َّن بَأ‬ُ ‫الن َس*اء َ*ف َّن ُك ْم َأ َ*خ ْذ ُت ُم‬
ّ َ َّ
ِ ِ ‫*ف اتقوا الله ِفى‬
ُ َّ َ
ِ ِ ِ ‫ِإ‬
َ ْ َ َ َ َْ ‫َّ َ َ ُ ْ َ َ ْ َّ َأ ْ َ ُ ْئ ُ َ ُ َأ‬
* ‫*وط َن ف ُرش* * * *ك ْم َ*ح* * * ًدا تك َر ُه‬
‫ *ف* * * ِإ ْن ف َعل َن ذ ِ*ل* * * َك‬.‫ون* * * ُ*ه‬ ِ * * *‫الل ِه ولكم علي ِهن ن ال *ي‬
ُ َ ‫مْل‬ ُ ُ َ َ
ْ ‫ض ْر ًبا َغ ْي َر ُم َب ّرح َول ُه َّن َعل ْيك ْم ر ْزق ُه َّن َوك ْس َو ُت ُه َّن با‬ َ ‫وه َّن‬ ْ ‫َف‬
ُ ‫اضر ُب‬
‫وف‬
ِ ‫ر‬ ‫ع‬ ِ ِ ِ ٍِ ِ
“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian
sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian
menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi
kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang
kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan
pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi
mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf”. (HR. Muslim no. 1218).

3. Meluangkan waktu untuk bercanda dengan istri tercinta, Inilah yang dicontohkan
oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh
istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ‫َأ‬
َ َ َ َ َ َّ ‫َّن َها َك َان ْت َم َع‬
‫ ِفى َس َف ٍر قال ْت ف َس َاب ْق ُت ُه ف َس َب ْق ُت ُه َعلى‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫الن ِب ِ ّى‬
َ َّ َ ْ َّ ُ ْ َ َ َّ َ َ َّ َ ْ
َ ‫الل ْح َم َس َاب ْق ُت ُه َف َس َب َقنى َف َق‬
.» ‫الس ْبق ِة‬ ‫ال « َه ِذ ِه ِب ِتلك‬ ِ ‫ِرجلى فلما حملت‬
Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas
berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari lagi bersama
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia kalah. Lantas
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini balasan untuk kekalahanku
dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6: 264)

4. Menyempatkan waktu untuk mendengar curhatan istri


MATERI 22
HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI

Seorang istri mempunyai sejumlah hak dan kewajiban atas suaminya, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW,
ُ َ ُ ُ َ ُ َ َ ‫َأ‬
‫ال ِإ َّن لك ْم َعلى ِن َساِئ ك ْم َح ًّقا َو ِل ِن َساِئ ك ْم َعل ْيك ْم َح َّقا‬
“Sesungguhnya kalian memiliki hak atas istri-istri kalian dan mereka juga memiliki hak
atas kalian”. (HR. At-Tirmidzi)

B. Hak-hak istri terhadap suami


1. Menafkahi istrinya, bedasarkan sabda Rasululloh SAW yang di tujukan kepada
salah seorang sahabat yang bertanya tentang hak istri atas suami:
َُ َ
،‫ َوال تق ِّب ْح‬،‫الو ْج َه‬
َ ‫ضرب‬ ْ ‫ َو َال َت‬،‫وها َذا ْاك َت َس ْي َت‬َ ‫ َو َت ْك ُس‬،‫َأ ْن ُت ْطع َم َها َذا َطع ْم َت‬
ِ ِ ‫ِإ‬ ِ ‫ِ ِإ‬
ْ َّ َ َ
‫َوال ت ْه ُج ْر ِإ ال ِفي ال َب ْي ِت‬
“Engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian
jika engkau berpakaian, janganlah memukul wajah dan janganlah menjelek-
jelekkannya serta janganlah memisahkannya kecuali tetap dalam rumah.” 

2. Memberinya kenikmatan. Jadi suami wajib menggauli istrinya meski Cuma sekali
dalam setiap empat bulan, jika tidak mampu memenuhi sesuai kebutuhannya,
berdasarkan Firman Alloh SWT,
َ ّٰ َ َۤ َ ْ َ َ ُ ُّ َ َ ْ ۤ َ ْ َ ْ ُ ‫َّ ْ َ ُ ْؤ‬
‫ص ا ْر َب َع ِة اش ُه ۚ ٍر ف ِا ْن فا ُء ْو ف ِا َّن الل َه غ ُف ْو ٌر َّر ِح ْي ٌم‬ ‫ِلل ِذين ي لون ِمن ِّنسا ِٕى ِهم ترب‬
“ Bagi orang yang meng-ila' istrinya harus menunggu empat bulan. Kemudian
jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 226)

3. Menginap di rumahnya semalam dalam setiap empat malam (bagi suami yang
berhalangan menginap setiap malam), karena itulah yang diputuskan pada zaman
pemerintahan Ummar bin Alkhathab.

4. Istri berhak mendapatkan bagian jatah yang adil dari suaminya,jika suami beristri
lebih dari satu ,berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
‫َأ‬ ْ ْ ‫َ ْ ُأل‬ ‫َأل‬ َ ‫َأ‬ َ َ َ
‫ َي ِم ْي ُل َح ِد ِه َما َعلى ا خ َرى َج َاء َي ْو َم ال ِق َي َام ِة َي ُج ُّر َح َد‬،‫َم ْن كان ْت ل ُه ْام َر ت ِان‬
ً ‫ً َأ‬
‫ِش َّق ْي ِه َسا ِقطا ْو َماِئ ال‬
“Barangsiapa yang mempunyai dua orang isteri lalu cenderung kepada salah
satu dari keduanya dibandingkan yang lainnya, maka dia datang pada hari
Kiamat dengan menarik salah satu dari kedua pundaknya dalam keadaan jatuh
atau miring.” (HR. At-Tirmidzi)

5. Suami berada di sisi istrinya selama seminggu pada hari pernikahan denganya jika
istrinya seorang gadis, dan tiga hari jika istrinya seorang janda. Hal itu
berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
َ ُ ٌ َ َّ ‫ُ َأ‬ ْ ْ
‫ث َّم َي ُع ْو ُد ِالى ِن َسا ِئ ِه‬,‫ِلل ِبك ِر َس ْب َعة ِّيا ٍم َو ِللث ِّي ِب ثالث‬
“Seorang gadis mempunyai hak tujuh hari dan seorang janda mempunyai hak 3
hari, kemudian ia (suami yang beristri lebih dari satu) kembali menemui istri-
istrinya yang lain”. (HR. Muslim)

6. Suami disunnahkan mengizinkan istrinya menjenguk salah seorang dari


mahramnya yang sedang sakit atau melihat jenazah salah seorang dari mahramnya
yang meninggal dunia atau mengunjungi sanak kerabatnya, jika kunjungannya
tidak merugikan kemashlahatan suami.
َ َ َ ْ ‫َأ‬ ‫ْ َ َ ُّ ُ َأ‬ ُ َّ
*‫ص* ْ*ر* َ*ب* َ*ع* ِ*ة* *ش* ُ*ه* ٍ*ر* ۖ* *ف* ِإ ْ*ن* *ف* ا* ُ*ء* و*ا* *ف* ِإ َّ *ن‬* *‫ِ*ل* *ل* ِ*ذ* ي* َ*ن* ُ*ي* ْؤ *ل* و* َ*ن* ِ*م* ْ*ن* ِ*ن* َ*س* ا*ِئ ِ*ه* *م* *ت* *ر* *ب‬
َ َّ
*‫ا*ل* *ل* َ*ه* *غ* ُ*ف* و* ٌ*ر* َ*ر* ِ*ح* ي* ٌ*م‬
“Kepada orang-orang yang mengila’ (yang bersumpah tidak akan menggauli)
istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya), kemudian jika mereka kembali
(kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” ( Al-Baqarah: 226 ).

7. Diharamkan menyebarkan rahasianya


Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri ra. ia
menuturkan: Rasulullah saw bersabda:
‫َأ‬ َ َّ ،‫هللا َم ْنز َل ًة َي ْو َم ْال ِق َي َام ِة‬ َّ ‫َّن م ْن َأ َش ّر‬
،‫الر ُج َل ُي ْف ِضي ِإ لى ْام َر ِت ِه‬ ِ ِ
َ ‫الناس ع ْن‬
‫د‬ ِ ِ ِ ِ ‫ِإ‬
َ‫ ُث َّم َي ْن ُش ُر س َّرها‬،‫َو ُت ْفضي َل ْيه‬
ِ ِ ‫ِ ِإ‬
‘Manusia yang paling buruk kedudukannya disisi Allah pada hari kiamat adalah
laki-laki yang mendatangi isterinya, dan wanita itu pun mendatangi suaminya
kemudian ia (laki-laki itu)menyebarkan rahasia isterinya.’ (HR. Muslim)

Imam an-Nawawi ra. berkata: “hadits ini berisi tentang pengharaman laki-laki
menyebarkan apa yang berlangsung antara dirinya dengan isterinya, misalnya
hubungan suami isteri dan menyifati hal itu secara detail serta apa yang
berlangsung pada diri wanita, baik ucapan, perbuatan maupun sejenisnya pada saat
berhubungan. Adapun sekedar menyebut hubungan badan, jika tidak ada faidah
didalamnya dan tidak dibutuhkan, maka hal itu makruh, karena bertentangan
dengan etika yang baik.
MATERI 23
ADABUL FIRASY

Ada beberapa adab yang telah diajarkan oleh Islam ketika ditempat tidur. Berikut adab-
adabnya:
1. Bersama-sama melakukan shalat sunnah sebelum berjima’
Dari Abu Waail, ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku
khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta
berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari setan, untuk membenci apa-apa
yang dihalalkan oleh Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah
untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah
‫َأ‬ (berdo’alah):
َّ َ ْ ْ َّ َ َ َ ‫ َو‬،‫َا َّلل ُه َّم َ*ب * * **ار ْك لي في ْهل ْي‬
‫ الل ُه َّم‬،‫ َو ْار ُزق ُه ْم ِم ِّني‬،‫ الل ُه َّم ْار ُزق ِني ِم ْن ُه ْم‬،‫*ار ْك ل ُه ْم ِف َّي‬
ِ * * * ‫ب‬
* ِ ِ ِ ِ
ْ‫ َو َفر ْق َب ْي َن َنا َذا َف َّر ْق َت َلى َخير‬،‫اج َم ْع َب ْي َن َنا َما َج َم ْع َت َلى َخ ْير‬ ْ
ٍ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ِّ ٍ ‫ِإ‬
Artinya: Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah
mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan
berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami
(berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.” 
(HR. ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 6: 191, no. 10460, 10461)

2. Hendaknya membaca doa sebelum berhubungan.


Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َ َ َّ َ ّ َّ َّ ْ َ َ َ ُ َ ْ ‫َ ْ َأ َّ َأ َ َ ُ ْ َ َأ َ َ َأ ْ َ ْأ َ َأ‬
، ‫ الل ُه َّم َج ِن ْبنا الش ْيطان‬، ‫اس ِم الل ِه‬ ‫ ِب‬ ‫« لو ن حدكم ِإ ذا راد ن ي ِتى هله فقال‬
ٌ ‫ض ُّر ُه َش ْي َط‬ َ َ ْ َّ
ُ ‫ َف َّن ُه ْن ُي َق َّد ْر َب ْي َن ُه َما َو َل ٌد فى َذل َك َل ْم َي‬. ‫ان َما َر َز ْق َت َنا‬ ّ
‫ان‬ ِ ِ ‫ِإ ِإ‬ ‫َو َج ِن ِب الشيط‬
ً‫َأ َبدا‬
“Jika salah seorang dari kalian (yaitu suami) ingin berhubungan intim dengan
istrinya, lalu ia membaca do’a: [Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa
jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa], “Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah
jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau
anugerahkan kepada kami”, kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari
hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut
selamanya” (HR. Bukhari no. 6388 dan Muslim no. 1434).

Doa ini disunnahkan bagi sang lelaki adapun sang wanita jika hendak membaca doa
ini maka tidak mengapa karena asal dalam hukum adalah tidak adanya pengkhususan
hukum terhadap lelaki atau wanita. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/357 no 17998)

3. Melakukan pemanasan dan cumbuan terlebih dahulu


Inilah alasan kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk
menikahi wanita perawan karena masih bisa untuk bercumbu rayu dengannya sebelum
bercinta.
Ketika Jabir radhiyallahu ‘anhu menikah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
padanya,
َ ُ ْ َ َّ َ َ َ ً ّ َ ُ ْ َّ َ َ ُ ْ ُ َ ً ّ َ ْ ‫َ ْ َ َ َّ ْ َ ْ ً َأ‬
‫ال َهال ت َز َّو ْج َت ِبك ًرا تال ِع ُب َها‬ ‫ فق‬. ‫ فقلت تزوجت ث ِيبا‬.‫« هل تزوجت ِبكرا م ث ِيبا‬
َ ُ
‫َوتال ِع ُب َك‬
“Apakah engkau menikahi gadis (perawan) atau janda?” “Aku menikahi janda”,
jawab Jabir. “Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja karena engkau bisa bercumbu
dengannya dan juga sebaliknya ia bisa bercumbu mesra denganmu?” (HR. Bukhari,
no. 2967; Muslim, no. 715).

4. Menyetubuhi istri dari arah mana pun asalkan bukan di dubur


Allah Ta’ala berfirman,
ْ‫ن َساُؤ ُك ْم َح ْر ٌث َل ُك ْم َفْأ ُتوا َح ْر َث ُك ْم َأ َّنى شْئ ُتم‬
ِ ِ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah
tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al
Baqarah: 223)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang namanya ladang (tempat bercocok


tanam) pada wanita adalah di kemaluannya yaitu tempat mani bersemai untuk
mendapatkan keturunan. Ini adalah dalil bolehnya menyetubuhi istri di kemaluannya,
terserah dari arah depan, belakang atau istri dibalikkan.” (Syarh Shahih Muslim, 10: 6)

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


‫ْ َ َأ‬ َ ُ ُ َ ُ َُْ َ َ
‫ول ِإ ذا َج َام َع َها ِم ْن َو َراِئ َها َج َاء ال َول ُد ْح َو َل‬‫كان ِت اليهود تق‬
“Dahulu orang-orang Yahudi berkata jika menyetubuhi istrinya dari arah belakang,
maka mata anak yang nantinya lahir bisa juling.” Lalu turunlah firman Allah Ta’ala,
‫ث لَ ُك ْم فَْأتُوا َحرْ ثَ ُك ْم َأنَّى ِشْئتُ ْم‬
ٌ ْ‫نِ َساُؤ ُك ْم َحر‬
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah
tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al-
Baqarah: 223) (HR. Bukhari, no. 4528; Muslim, no. 117)
Dalam riwayat lain disebutkan,
َ َ َ ًَ َُْ ًَ ُْ
َ ‫ان في‬
‫الف ْر ِج‬ ِ ‫مق ِبلة ومد ِبرة ما ك‬
“Terserah mau dari arah depan atau belakang selama di kemaluan.” (HR. Ath-
Thohawi, 3: 41 dalam Syarh Ma’an Al-Atsar dengan sanad yang shahih)

Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanggah


anggapan keliru orang Yahudi yang menyatakan terlarangnya gaya seks dari belakang
karena bisa mengakibatkan anak yang lahir nanti juling. Itu anggapan tidak benar
karena Islam menghalalkan segala variasi atau cara dalam hubungan seks selama di
kemaluan.
Tentang surat Al-Baqarah ayat 223 di atas, Ibnu Katsir menyatakan bahwa setubuhilah
istri kalian di ladangnya yaitu di tempat yang nantinya bisa menghasilkan anak. Beliau
juga berkata bahwa terserah gayanya dari depan atau pun dari belakang selama di satu
lubang, yaitu kemaluan, maka dibolehkan. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 154)

5. Jika ingin mengulangi hubungan intim, hendaklah berwudhu dahulu


Ada
‫ َأ‬hadits yang disebutkan dalam Shahih Muslim, ‫َ ْ َأ‬
َ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ ّ ْ ُ ْ َ
‫ « ِإ ذا تى‬-‫ص* **لى هللا علي* **ه وس* **لم‬- ‫يد ال *خ* د ِر ِى *ق * ال *ق * ال رس * *ول الل ِه‬ ٍ ‫عن ِبى س * * ِع‬
ْ ‫َأ‬ ‫ْأ‬
ُ ‫ َز َاد ُب**و َب *ك ر فى َحديث**ه َب ْي َن ُه َ *م ا ُو‬.» * ‫ض‬
ً *‫ض‬ ْ َ َ *‫َأ َ *ح ُد ُك ْم َأ ْه َل* ُ*ه ث َّم َر َاد ْن َي ُع‬
َّ ‫*ود فل َي َت َو‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ُ
‫وءا‬ ِ ِ ِ ِ ٍ ‫َ َ َ ُ َأ َأ‬
‫ال ث َّم َر َاد ْن ُي َع ِاو َد‬ ‫وق‬
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menyetubuhi istrinya lalu ia
ingin mengulanginya, maka hendaklah ia berwudhu.” Abu Bakr dalam haditsnya
menambahkan, “Hendaklah menambahkan wudhu di antara kedua hubungan intim
tersebut.” Lalu ditambahkan, “Jika ia ingin mengulangi hubungan intim.” (HR.
Muslim, no. 308).
Imam Malik menambahkan lafazh,
ْ ُ َ ْ ‫َ َأ‬
‫فِإ َّن ُه نشط ِلل َع ْو ِد‬
“Berwudhu itu lebih membuat semangat ketika ingin mengulangi hubungan intim.”

6. Tidak boleh menyebarkan rahasia hubungan ranjang


Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ُ ‫َأ‬ َ ْ ً َ ْ َّ َّ ‫َّن م ْن َأ َش * ّر‬
‫الر ُ *ج َل ُي ْف ِض ى ِإ لى ْام َر ِ *ت ِ*ه َوت ْف ِض ى‬ * َ ‫اس ِع ْ *ن َ*د الل ِه َمن ِز *ل*ة َ *ي ْ*و َم ال ِق َي‬
َّ ‫ام ِة‬
ِ ‫الن‬ ِ ِ ‫ِإ‬
ُ ْ ُ َ
‫ِإ ل ْي ِه ث َّم َينش ُر ِس َّر َها‬
“Sesungguhnya termasuk manusia paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari
kiamat adalah laki-laki yang menggauli istrinya kemudian dia sebarkan rahasia
ranjangnya.” (HR. Muslim no. 1437). Syaikh Abu Malik berkata, “Namun jika ada
maslahat syar’i sebagaimana yang dilakukan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menyebarkan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berinteraksi dengan istrinya, maka tidaklah masalah” (Shahih Fiqh Sunnah, 3:
189).

7. Suami diharamkan menggauli isterinya ketika sedang haid, nifas, atau sebelum
mandi dari keduanya meskipun telah bersih. Hal itu berdasarkan firman Allah swt:

 ‫َت ْق َر ُب ْو ُه َّن َح ّٰتى َي ْط ُه ْر َن‬ ‫ّ َ ۤ َ مْل َ ْ ۙ َ اَل‬


‫ضو‬ ِ ‫ي‬‫ح‬ِ ‫ا‬ ‫ى‬ ‫ف‬ِ ‫ء‬ ‫ا‬ ‫س‬‫الن‬
ِ ‫وا‬
ُ َْ َ
‫ل‬‫فاعت ِز‬
“Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid, dan
janganlah kamu mendekati mereka sebelum suci.” (Al-Baqarah: 222)
8. Jika seseorang datang dari safar, hendaklah dia mengabarkan istrinya dan
jangan datang sembunyi-sembunyi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َ ْ َ ‫َ َ َ َأ َ ُ ُ ْ َ ْ ً َ َ َ ْأ َ َّ َأ ْ َ ُ ُ ُ ْ ً َ َّ َ ْ َ َّ مْل‬
‫الش ِعثة‬ ‫ِإ ذا ق ِدم حدكم ليال فال ي ِتين هله طروقا حتى تست ِحد ا ِغيب *ة وتمت ِشط‬
“Jika salah seorang dari kalian datang pada malam hari maka janganlah ia
mendatangi istrinya. (Berilah kabar terlebih dahulu) agar wanita yang ditinggal
suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya” (HR. Bukhari
no. 5246 dan Muslim no. 715).

Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,


‫َأ‬ َ ً َ َ ‫َأ‬ َّ ‫هللا ص * **لى هللا علي * **ه وس * **لم َأ ْن َي ْط* * ُ*ر َق‬ ْ ُ ََ
‫الر ُ *ج * ُل ْه *ل * ُ*ه ل ْيال َي َت *خ * َّو ُن ُه ْم ْو‬ ِ ‫نهى َرس * *و ُل‬
َ ُ ََْ
‫س َعث َر ِات ِه ْم‬ ‫يلت ِم‬
“Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam melarang seseorang mendatangi istrinya di
malam hari untuk mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya  atau
untuk mencari-cari kesalahannya” (HR. Muslim no. 715).
MATERI 24
TALAQ ( CERAI )

Talak ialah terputusnya ikatan nikah dengan perkataan yang jelas, misalnya: Suami
berkata kepada istrinya, “Kamu aku ceraikan”, atau dengan bahasa sindiran dan
suaminya meniatinya sebagai kata perceraian, misalnya: Suami berkata kepada istrinya,
“Pergilah kamu ke keluargamu”.

Talak diperbolehkan untuk menghilangkan mudarat dari salah satu suami istri. Allah
SWT berfirman,
ۢ َ َ ٌۢ َ ْ َ ٰ َّ َ ُ ‫َ َّاَل‬
‫اك ِب َم ْع ُر ْو ٍف ا ْو ت ْس ِر ْي ٌح ِب ِا ْح َس ٍان‬ ‫الط ق مرت ِن ۖ ف ِامس‬
“Talak (yang dapatdirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. (Al-Baqarah:229)

Kemudian didalam ayat lain Allah SWT berfirman,


ّ َ َ ۤ ّ ُ ُ ْ َّ َ َ ُّ َّ َ ُّ َ ٰٓ
‫الن َسا َء فط ِل ُق ْو ُه َّن ِل ِع َّد ِت ِه َّن‬
ِ ‫يايها الن ِبي ِاذا طلقتم‬
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”. (Ath-Thalaq:
1).

Terkadang hukum talak menjadi wajib jika mudarat yang menimpa salah seorang dari
suami istri tidak dapat dihilangkan kecuali dengannya, berdasarkan sabda Rasulullah
SAW kepada orang yang mengeluh kepada beliau atas kekotoran lidah istrinya:
َّ
‫ط ِل ْق َها‬
“Ceraikanlah dia”.

Terkadang juga menjadi haram, jika menimbulkan mudarat yang lebih besar bagi salah
seorang dari suami istri, atau tidak menghasilkan manfaat yang lebih baik dari mudarat
yang ada, atau manfaatnya sama dengan mudarat yang ada, berdasarkan sabda Rasulullah
SAW:
“Istri manapun yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan,
niscaya harumnya wangi surga diharamkan baginya”. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)

Rukun-rukun Talak
1. Suami yang mukallaf (orang yang diberi beban kewajiban syariat, dengan kriteria:
Baligh, berakal, dan mampu). Jadi selain suami tidak boleh menalakberdasarkan sabda
Nabi SAW,
َّ ‫االط َال ُق َ ْن َأ َخ َذ َبا‬
‫لس ِاق‬
َّ َ َّ
‫ِانم‬
‫مِل‬
“Sesungguhnya talak itu hak suami (bukan hak majikan)”. (At-Tirmidzi dan Ad-
Daraquthin. Hadits ini memiliki cacat namun banyak diamalkan karena banyak
jalannya dan dikuatkan oleh alqu’an)

Demikian juga jika suami tidak berakal sehat, belum baligh serta dipaksa, maka talak
yang dijatuhkannya itu tidak sah, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
“Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga orang: Dari orang tidur hingga ia bangun,
dari anak kecil hingga ia baligh dan dari orang gila hingga ia sembuh (berakal
sehat)”.

2. Istri yang masih terikat dengan ikatan pernikahan yang sah dengan suami yang
menalaknya dengan bukti bahwa dia masih berada dibawah perlindungannya, maka
ikatan pernikahannya dengan suaminya itu tidak dibatalkan oleh suatu pembatalan,
atau perceraian, atau hukum seperti wanita, yang menjalani masa iddahnya dalam
talak raj’i (talak yang memungkinkan suami istri rujuk kembali) atau dalam talak
ba’in shugra. Jadi talak tidak boleh dijatuhkan terhadap wanita yang bukan istri dari
pencerai, atau wanita yang tidak lagi menjadi istrinya karena pernikahannya itu telah
dibatalkan, atau wanita yang telah diceraikannya sebelum menggaulinya, karena
talaknya tidak terjadi pada tempatnya (tidak sesuai dengan ketentuan hukum syariat),
sehingga talaknya itu tidak ada pengaruhnya sama sekali, berdasarkan sabda
Rasulullah SAW,
“Tidak ada nazar bagi seseorang pada apa yang tidak dimilikinya, tidak ada
pemerdekaan baginy pada budak yang tidak dimilikinyadan juga tidak ada talak
baginya terhadap istri yang tidak dimilikinya”. (At-Tirmidzi)

3. Perkataan yang menunjukkan talak, baik perkataan yang jelas atau sindiran. Dengan
demikian, niat talak saja tanpa disertai perkataan talak itu sendiri tidaklah cukup dan
tidak dapat menalak istri. Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku tentang apa saja yang mereka katakan
kepada dirinya, selagi mereka tidak mengucapkannya, atau selagi mereka tidak
melakukannya”. (Muttafaq ‘alaih)
MATERI 25
KHULU’

Khulu’ ialah talak dimana istri menebus dirinya dari suaminya yang tidak disenanginya
dengan memberikan sejumlah uang yang diserahkan kepada suaminya, sehingga ia
terbebas dari suaminya.

Khulu’ diperbolehkan jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Adapun dalil-
dalil tentang dibolekannya khulu’ adalah:
ْ َ َ َ ُ ‫َ ْ ْ ُ ْ َأ اَّل ُ َ ُ ُ َ َّ َ اَل‬
‫اح َعل ْي ِه َما ِف َيما اف َت َد ْت ِب ِه‬ ‫فِإ ن ِخفتم ي ِقيما حدود الل ِه ف جن‬
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya.” (QS. Al Baqarah: 229).
َّ ‫ال َج َاءت ْام َرَأ ُة َثابت ْبن َق ْيس ْبن َش َّماس َلى‬
– ‫الن ِب ِ ّى‬ َ ‫َعن ْابن َع َّباس رضى هللا عنهما َق‬
‫ٍ ِإ‬ ِ ِ ِ ِِ ِ ٍ ِ ِ
َّ ُُ َ َ َ َ َ ُ ْ ‫َ َ َ ْ َ َ ُ َ َّ َ َأ‬
‫ ِإ ال‬، ‫صلى هللا عليه وسلم – فقالت يا رسول الل ِه ما ن ِقم على ث ِاب ٍت ِفى ِد ٍين وال خل ٍق‬
َ َ َ ّ ََُ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ ُ َ ‫َأ ّ َأ‬
‫ين َعل ْي ِه َح ِديق َت ُه‬‫ول الل ِه – صلى هللا عليه وسلم – « فتر ِد‬ ‫ فقال رس‬. ‫ِنى خاف الكفر‬
َ َ ‫َأ‬ َ َ َ َ ََ
‫ َو َم َر ُه ف َف َارق َها‬، ‫ ف َر َّد ْت َعل ْي ِه‬. ‫ فقال ْت ن َع ْم‬. »
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa istri Tsabit bin Qais bin
Syammas pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata pada
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullahm aku tidaklah menjelekkan
agama dan akhlak Tsabit. Namun aku cuma khawatir jadi kufur.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu kembalikanlah kebun miliknya.” Istrinya
menjawab, “Iya kalau begitu.” Istrinya pun mengembalikan kebun tersebut pada Tsabit.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintah pada Tsabit, akhirnya mereka
berdua berpisah. (HR. Bukhari no. 5276).

Adapun syarat-syarat Khulu’ adalah sebagai berikut:


1. Ketidaksukaan harus berasal dari dari pihak istri. Jika ketidaksukaan berasal dari
suami (talak) maka suami tidak berhak mengambil tebusan.
2. Istri tidak boleh menuntut Khulu’, kecuali setelah mendapatkan mudharat dan merasa
khawatir tidak dapat menerapkan hukum-hukum Allah terhadap dirinya atau hak-hak
suaminya.
3. Suami tidak diperbolehkan dengan sengaja menganiaya istrinya supaya melakukan
khulu’ terhadapnya. Jika suami berbuat demikian, maka suami tidak berhak
mengambil sesuatu apapun dari istrinya dan dianggap telah berbuat maksiat kepada
Allah swt.

Khulu’ dianggap talk Ba’in, sehingga jika suaminya ingin kembali kepada istrinya, maka
hal itu tidak boleh baginya kecuali dengan akad nikah yang baru.

Beberapa ketentuan Hukum tentang khulu’:


1. Suami disunnahkan tidak mengambil tebusan melebihi nilai maharnya, karena Tsabit
bin qais juga menerima kebun seperti yang diberikan kepada istrinya ketika istrinya
meminta khulu’ dan hal itu atas perintah Rasulullah saw.
2. Jika khulu’ dilakukan dengan kalimat khulu’, maka wanita yang melakukannya harus
menjalani masa iddah selama sekali haid, sebagaimana hal itu diperintahkan rasulullah
saw kepada istri Tsabit.
3. Suami yang telah dikhulu’ tidak diperbolehkan rujuk dengan istrinya, karena khulu’
telah memisahkan dirinya dari istrinya.
4. Seorang bapak diperbolehkan untuk melakukan khulu’ mewakili putrinya yang masih
kecil, jika khulu’terpaksa dilakukan karena putrinya belum dewasa.
MATERI 26
FASAKH

Secara bahasa, fasakh berarti pembatalan, pemisahan, penghilangan, pemutusan, atau


penghapusan. Sedangkan secara istilah, fasakh adalah pembatalan perkawinan karena
sebab yang tidak memungkinkan perkawinan diteruskan, atau karena cacat atau penyakit
yang terjadi pasca akad dan mengakibatkan tujuan atau arti pernikahan tidak tercapai.
(Lihat Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid X, halaman 3147).

Fasakh diputuskan oleh hakim pengadilan berdasarkan pengajuan dari suami, istri,
wakilnya, atau pihak berwenang yang sudah mukallaf, balig, dan berakal sehat, dengan
catatan bila yang menjadi penyebab fasakh adalah perkara-perkara yang membutuhkan
tinjauan dan pertimbangan hakim.

Sementara penyebab fasakh akibat tidak terpenuhinya syarat pernikahan dapat


diputuskan tanpa melalui keputusan hakim. Dengan demikian, melalui meja pengadilan,
istri memiliki hak yang sama dengan suami untuk membatalkan pernikahan atas alasan
yang dibenarkan syariat.
Penetapan hak fasakh bagi suami dan istri akibat cacat atau penyakit antara lain
berdasarkan hadis riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar bin Al-Khathab. Disebutkan, pada
suatu ketika Nabi SAW menikah dengan seorang perempuan dari Bani Ghifar. Ketika
perempuan itu memasuki kamar, Rasulullah SAW melihat bagian lambungnya berwarna
putih.
َ َّ ‫َأ ْ َ َ َ َ َأِل‬ ْ ْ َ ََ
‫ َدل ْس ُت ْم َعل َّي‬:‫ال ْه ِل َها‬ ‫ َوال ِح ِقي ِب ه ِلك وق‬،‫ ِال َب ِسي ِث َي َاب َك‬:‫ال‬‫فق‬
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda kepadanya, ‘Kenakanlah pakaianmu dan kembalilah
kepada keluargamu. Kemudian beliau bersabda kepada keluarganya, ‘Kalian
sembunyikanlah kekurangannya dariku!’ (HR Al-Baihaqi dan Abu Ya‘la).

Sa‘id bin Al-Musayyib meriwayatkan:


َ َ َ َ َ ُ َ َ ‫ َأ ْو‬،‫ون‬
‫ َوِإ ْن ش َاء ْت‬.‫ فِإ ْن ش َاء ْت ق َّر ْت‬.‫ فِإ َّن َها تخ َّي ُر‬،‫ض َر ٌر‬ ٌ ‫ َوبه ُج ُن‬،‫َأ ُّي َما َر ُجل َت َز َّو َج ْام َرَأ ًة‬
ِِ ٍ
َ َ
‫ف َارق ْت‬
Artinya, “Bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, dan laki-laki itu
mengalami gangguan jiwa atau mengidap penyakit berbahaya, maka si perempuan diberi
pilihan (khiyar). Jika mau, ia boleh meneruskan perkawinan. Jika tidak, ia boleh
bercerai,” (HR Malik).

Dalam suatu riwayat, ‘Umar bin Al-Khathab pernah berkomentar tentang laki-laki yang
lemah syahwat:
ٌ َ ْ َ ‫َ مْل َ َ اًل‬ ُ ‫اَّل‬ َ َ َ ْ َ ً َ َ ُ َّ ‫َؤ‬
‫ َو ِه َي تط ِليقة َباِئ َنة‬، ‫ َوِإ ف ّ ِر َق َب ْي َن ُه َما َول َها ا ْه ُر ك ِام‬،‫ص َل ِإ ل ْي َها‬‫ فِإ ن و‬،‫ جل سنة‬ 
Artinya, “Dia harus ditangguhkan selama satu tahun. Itu pun jika dia sampai pada tempo
tersebut. Jika tidak, maka pisahkanlah di antara keduanya. Namun, si istri berhak atas
mahar dan berstatus talak bain.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan disebutkan dalam Atsar Abu Yusuf. Hanya
saja dalam riwayat Sa‘id bin Manshur ditambahkan, “Dia ditangguhkan sejak diajukan
kepada penguasa.”

Sebab-sebab yang Membolehkan Fasakh


Berdasarkan sejumlah hadits di atas, para ulama berkesimpulan bahwa pasangan yang
menderita penyakit judzam (kusta), barash (balak), junun (gangguan jiwa), atau penyakit
lain yang menular dan tergolong berbahaya, berhak mengajukan fasakh.
Begitu pula suami yang memiliki cacat jubb (terpotong kemaluan) atau ‘unnah (lemah
kemaluan); atau istri yang memiliki cacat rataq (kemaluan perempuan tertutup daging),
qaran (kemaluan perempuan tertutup tulang).

Dalam kaitan dengan ini, Syekh Mushthafa Al-Khin merinci jenis-jenis cacat atau
penyakit yang membolehkan terjadinya fasakh. Menurutnya, secara umum, jenis cacat
atau penyakit yang membolehkan fasakh ada dua:

1. Cacat atau penyakit yang menghalangi hubungan badan, seperti jubb atau ‘unnah pada
suami dan qaran atau rataq pada istri;
2. Cacat atau penyakit yang tidak menghalangi hubungan badan, namun membahayakan,
seperti judzam, barash, atau gangguan jiwa walau terkadang sembuh.

Penyakit kusta biasanya ditandai dengan memerahnya anggota tubuh lalu menghitam,
selanjutnya melepuh dan terputus. Sedangkan penyakit barash atau balak ditandai bintik
atau bercak putih yang menyerang kulit sehingga menghilangkan warna kemerahannya.

Sementara dilihat dari penderitanya, cacat atau penyakit yang membolehkan fasakh
terbagi tiga:

1. Cacat atau penyakit yang mungkin dialami suami dan istri, seperti penyakit jadzam,
barash, dan gangguan jiwa;
2. Cacat atau penyakit yang hanya dialami oleh istri, yaitu rataq dan qaran;
3. Cacat atau penyakit yang hanya dialami oleh suami, yaitu jubb dan ‘unnah. (Lihat
Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji, jilid IV, halaman 114).

Dikecualikan dari cacat atau penyakit di atas adalah penyakit ringan semacam istihadhah,
bau mulut, bau hidung, bau ketiak, penyakit bernanah, sempitnya lubang kemaluan, dan
sebagainya. Semua penyakit di atas tidak mendatangkan hak fasakh bagi suami maupun
istri. Demikian dinyatakan oleh Syekh Zainudddin Al-Malaibari dalam Fathul Mu‘in.
(Lihat Fathul Mu‘in, halaman 106).
MATERI 27
RUJU’

Dalil-dalil yang menyatakan bolehnya rujuk:


Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫َّاَل ُ َ َّ َ َ ْ َ ٌ َ ْ ُ َأ‬
‫وف ْو ت ْس ِر ٌيح بِِإ ْح َس ٍان‬
ٍ ‫الط ق مرت ِان فِإ مساك ِبمعر‬
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. Al Baqarah: 229).

Yang dimaksud “imsak dengan cara yang ma’ruf” dalam ayat tersebut adalah rujuk dan
kembali menjalin pernikahan serta mempergauli istri dengan cara yang baik.
Begitu juga dalam ayat, ‫َأ‬ ‫َأ‬
َّ ََ ْ َ
‫ح ُّل ل ُه َّن ْن َيك ُت ْم َن َ *م * ا خ *ل * َ*ق الل ُه ِفي‬
‫َّ َ اَل َ َ ُ ُ اَل‬
* * ِ ‫وء َو َي‬ ُ ْ َ ْ ‫ات َي َت َر َّب‬ ُ * ‫َوامْل ُ َط َّل َ *ق‬
ٍ ‫ص * *ن ِب نف ِس * * ِهن ث *ث **ة *ق * ر‬
‫َأ‬ َ ‫َ َأ‬ ‫َآْل‬ ْ َّ ُ ‫َأ‬
‫ْر َ *ح ِام ِه َّن ِإ ْن ك َّن ُي* ْؤ ِم َّن ِبالل ِه َوال َي* ْ*و ِم ا ِ *خ ِر َو ُب ُع**ول ُت ُه َّن َ *ح ُّق ِب* َ*ر ِ ّد ِه َّن ِفي ذ ِل* َك ِإ ْن َر ُادوا‬
‫ْ اَل‬
‫ص ًحا‬ ‫ِإ‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (masa
‘iddah). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa suami yang mentalak istrinya berhak untuk rujuk
kepada istrinya selama masa ‘iddahnya dengan syarat ia benar-benar memaksudkan
untuk rujuk dan tidak memberi dhoror (bahaya) kepada istri.
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa talak dibolehkan untuk rujuk. Sedangkan untuk
talak ketiga (talak ba-in) tidak ada rujuk sebagaimana diterangkan dalam ayat lainnya.
Allah Ta’ala berfirman,‫َأ‬ ‫َأ‬
ُ َ َ ُ ُّ َ َ ْ ْ َ ْ َّ ُ ُ ُ ْ َّ َ َّ ُ َ ‫َ ُّ َ َّ َ َآ َ ُ َ َ َ ْ ُ ُ مْل ُْؤ‬
‫وه َّن ف َ*م ا لك ْم‬ *‫*ات ثم طلقت *م وهن ِمن ق *ب ِ*ل ن تمس‬
ِ ‫*ي*ا ي *ه ا ال ِذين م *ن وا ِإ ذا نكحتم ا ِم *ن‬
َ َ
‫َعل ْي ِه َّن ِم ْن ِع َّد ٍة ت ْع َت ُّد َون َها‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-
sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”
(QS. Al Ahzab: 49).

Talak sebelum disetubuhi dianggap talak ba-in dan tidak ada masa ‘iddah bagi laki-laki
kala itu. Rujuk hanya berlaku jika masa ‘iddah itu ada.
Dalil hadits yang menunjukkan boleh adanya rujuk sebagaimana terdapat dalam hadits
Ibnu ‘Umar ketika ia mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kala itu ‘Umar
mengadukan kasus anaknya lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َْ
‫ُم ْر ُه فل ُي َر ِاج ْع َها‬
“Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali”.
Begitu pula ada ijma’ (kata sepakat) dari para ulama bahwa seorang pria merdeka ketika
ia mentalak istrinya kurang dari tiga kali talak dan seorang budak pria kurang dari dua
talak, maka mereka boleh rujuk selama masa ‘iddah.

Hikmah di Balik Disyari’atkannya Rujuk


Rujuk sangat dibutuhkan karena barangkali suami menyesal telah mentalak istrinya.
Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala, ‫َأ‬
َ ُ َّ َ َ ‫اَل‬
‫ت ْد ِري ل َع َّل الل َه ُي ْح ِدث َب ْع َد ذ ِل َك ْم ًرا‬
“Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang
baru” (QS. Ath Tholaq: 1).

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah rujuk. Sebagaimana pendapat Fathimah binti Qois,
begitu pula pendapat Asy Sya’bi, ‘Atho’, Qotadah, Adh Dhohak, Maqotil bin Hayan, dan
Ats Tsauri.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Istri yang dicerai tetap diperintahkan untuk tinggal di
rumah suami selama masa ‘iddahnya. Karena bisa jadi suami itu menyesali talak pada
istrinya. Lalu Allah membuat hatinya untuk kembali rujuk. Jadilah hal itu mudah”.

Ketika Istri Sudah Ditalak Tiga Kali


Ketika istri sudah ditalak tiga kali, maka haram bagi suaminya untuk rujuk kembali
sampai mantan istrinya menikah dengan pria lain dengan nikah yang sah.
Allah Ta’ala berfirman,
َ َ َ َ ‫َ َ َّ َ َ اَل‬
‫فِإ ْن طلق َها ف ت ِح ُّل ل ُه ِم ْن َب ْع ُد َح َّتى ت ْن ِك َح َز ْو ًجا غ ْي َر ُه‬
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu
tidak lagi halal baginya hingga dia nikah dengan suami yang lain” (QS. Al Baqarah:
230).

Pernikahan yang kedua disyaratkan agar suami kedua menyetubuhi istrinya sehingga
dikatakan sah. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah disebutkan, ‫َأ‬ ‫َأ‬
َ ََ َّ ُ ‫اع َة ْال ُ *ق َرظ ّى َ *ج َاء ْت َلى َر‬َ ‫ام َر َة ر َف‬
‫ول الل ِه – ص **لى هللا علي **ه وس **لم – ف *ق ال ْت َ *ي*ا‬ ِ * ‫س‬ ‫ِإ‬ ِ ِ * ِ * ‫ن‬
ْ َّ
‫*ير‬ *
‫ب‬ َّ ‫ َو ّنى َن َك ْح ُت َب ْع* َ*د ُه َع ْب* َ*د ال * َّ*ر ْح َمن ْب َن‬، ‫اع* َة َط َّل َقنى َف َب َّت َط َالقى‬
‫الز‬ َ ‫الله َّن ر َف‬ َّ َ ُ َ
ِ ِ ِ ِ ‫ِإ‬ ِ ِ ِ ‫رس *ول ِ ِإ‬
َّ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ ْ ُ ْ ُ ْ ُ َ َ َ َّ َ َّ َ ُ ْ
‫ول الل ِه – ص**لى هللا علي**ه وس**لم – « ل َعل ِك‬ *‫ *ق ال رس‬. ‫ وِإ ن *م ا م *ع*ه ِم *ث*ل الهد *ب ِ*ة‬، ‫ال *ق ر ِظى‬
ُ َ َ ْ َ ُ ‫وق ُع َس ْي َل َتك َو َت ُذ‬
» ‫وقى عسيلته‬
َ ‫ َح َّتى َي ُذ‬، ‫ َال‬، ‫اع َة‬ َ ‫ين َأ ْن َت ْرجعى َلى ر َف‬ َ ‫ُتريد‬
ِ ِ ِ ‫ِ ِإ‬ ِ ِ ِ
“Suatu ketika istri Rifaa’ah Al Qurozhiy menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ia berkata,  “Aku adalah istri Rifaa’ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga.
Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair Al Qurozhiy. Akan tetapi
sesuatu yang ada padanya seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain)[7]”.  Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda :
“Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa’ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan
madunya dan ia pun merasakan madumu.”

Tidak Disyaratkan Ridho Istri Ketika Suami akan Rujuk


Perlu dipahami bahwa rujuk menjadi hak suami selama masih dalam masa ‘iddah, baik
istri itu ridho maupun tidak. Karena Allah Ta’ala berfirman,
‫ك ِإ ْن َأ َرادُوا ِإصْ اَل حًا‬ ُّ ‫َوبُعُولَتُه َُّن َأ َح‬
َ ِ‫ق بِ َر ِّد ِه َّن فِي َذل‬
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228).
Dan hak rujuk pada suami ini tidak bisa ia gugurkan sendiri. Semisal suami berkata,
“Saya mentalakmu, namun saya tidak akan pernah rujuk kembali”. Atau ia berkata,
“Saya menggugurkan hakku untuk rujuk”. Seperti ini tidak teranggap karena
penggugurannya berarti telah merubah syari’at Allah. Padahal tidak boleh seorang pun
mengubah syari’at Allah. Padahal Allah Ta’ala telah menyebutkan,
ِ ‫ُوف َأوْ تَس‬
‫ْري ٌح بِِإحْ َسا ٍن‬ ُ ‫الطَّاَل‬
ٌ ‫ق َم َّرتَا ِن فَِإ ْم َسا‬
ٍ ‫ك بِ َم ْعر‬
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. Al Baqarah: 229).
Dalam rujuk tidak disyaratkan ridho istri. Karena dalam ayat lain,
Allah Ta’ala berfirman,
ٍ ‫فََأ ْم ِس ُكوه َُّن بِ َم ْعر‬
‫ُوف‬
“Maka rujukilah mereka dengan baik” (QS. Ath Tholaq: 2). Dalam ayat ini hak rujuk
dijadikan milik suami. Dan Allah menjadikan rujuk tersebut sebagai perintah untuk
suami dan tidak menjadikan pilihan bagi istri.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Wajib rujuk jika suami mentalak istrinya ketika haidh sebagaimana dijelaskan dalam
hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat dan akan dijelaskan detail pada masalah talak
bid’iy.
2. Rujuk tidak disyaratkan ada wali dan tidak disyaratkan mahar. Rujuk itu masih
menahan istri sehingga masih dalam kondisi ikatan suami-istri.
3. Menurut mayoritas ulama, memberi tahu istri bahwa suami telah kembali rujuk
hanyalah mustahab (sunnah). Seandainya tidak ada pernyataan sekali pun, rujuk
tersebut tetap sah. Namun pendapat yang hati-hati dalam hal ini adalah tetap
memberitahu istri bahwa suami akan rujuk. Karena inilah realisasi dari firman Allah, ‫َأ‬
َّ ُ ُ َ
ٍ ‫ف ْم ِسكوهن ِب َم ْع ُر‬
‫وف‬
“Maka rujukilah mereka dengan baik” (QS. Ath Tholaq: 2).
Yang dikatakan rujuk dengan cara yang ma’ruf adalah memberitahukan si istri.
Tujuan dari pemberitahuan pada istri adalah jika si istri telah lewat ‘iddah, ia bisa saja
menikah dengan pria lain karena tidak mengetahui telah dirujuk oleh suami.

4. Ketika telah ditalak roj’iy, istri tetap berdandan dan berhias diri di hadapan suami
sebagaimana kewajiban seorang istri. Karena ketika ditalak roj’iy, masih berada dalam
masa ‘iddah, istri masih tetap istri suami. Allah Ta’ala berfirman,
‫َأ‬ ‫َأ‬
‫ْ اَل‬ َ َُُ
ُ ‫ول ُت ُه َّن َح ُّق ب َر ّده َّن في َذل َك ْن َر‬
‫ص ًحا‬ ‫ِإ‬ ‫وا‬ ‫اد‬ ‫ِ ِ ِ ِ ِ ِإ‬ ‫وبع‬
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah),
jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228). Dandan dan
berhias diri seperti ini tentu akan membuat suami untuk berpikiran untuk rujuk pada
istri.

Apakah Rujuk Butuh Saksi?


Allah Ta’ala berfirman,
َ ْ ‫َأ‬ ُ ‫وه َّن ب َم ْ*ع* ُ*روف َأ ْو َ*ف* ار ُق‬
ُ ‫َ*ف* َذا َب َل ْغ َن َأ َج َل ُه َّن َفَأ ْمس* * ُك‬
‫وف َو ش* * ِه ُدوا ذ َو ْي َ*ع* ْد ٍل‬
ٍ ُ
‫*ر‬* ‫ع‬
*ْ َ
‫م‬ ‫ب‬
ِ
َّ ‫وه‬
‫ن‬ ِ ٍ ِ ِ ‫ِإ‬
ُْ ْ
‫ِمنكم‬
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik
atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil di antara kamu” (QS. Ath Tholaq: 2).

Yang rojih –pendapat terkuat- dalam hal ini adalah rujuk tetap butuh saksi bahkan
diwajibkan berdasarkan makna tekstual dari ayat. Inilah yang menjadi pendapat Imam
Syafi’i yang lama, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm dan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
MATERI 28
IDDAH

Iddah adalah hari-hari dimana wanita yang ditalak menjalani masa penantian. Selama
masa penantian tersebut, seorang istri tidak boleh menikah dan tidak boleh diminta untuk
menikah.

Iddah adalah suatu kewajiban bagi wanita yang berpisah dengan suaminya, baik karena
ditalak atau suaminya meninggal dunia, berdasarkan Firman Allah swt,
ُ َ َ ‫َ اَل‬ ْ ‫َ مْل ُ َ َّ َ ُ َ َ َ َّ ْ َأ‬
*‫ص* َ*ن* ِ*ب* *ن* ُ*ف* ِ*س* ِ*ه* َّ *ن* *ث* *ث* *ة* *ق* ُ*ر* و* ٍ*ء‬
* *‫*و* ا* * ط* *ل* *ق* ا* *ت* *ي* ت* *ر* *ب‬
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.” (QS.
Al-Baqarah: 234)

Kecuali wanita yang ditalak dan belum digauli suaminya, maka ia tidak menjalani masa
iddah dan tidak berhak mendapatkan mahar, melainkan hanya mendapatkan Mut’ah.
Berdasarkan firman Allah swt,
َُ َ َ َ َ َّ َ ُ ُ ‫مْل‬ ََ َ ٓ ٰ َّ َ ٓ
‫ٰيا ُّي َها ال ِذ ْي َن ا َم ُن ْوا ِاذا نك ْح ُت ُم ا ْؤ ِم ٰن ِت ث َّم طل ْق ُت ُم ْو ُه َّن ِم ْن ق ْب ِل ا ْن ت َم ُّس ْو ُه َّن ف َما لك ْم‬
‫َ َ ْ َّ ْ َّ َ ْ َ ُّ ْ َ َ ۚ َ َ ّ ُ ْ ُ َّ َ َ ّ ُ ْ ُ َّ َ َ ً َ ْ اًل‬
‫علي ِهن ِمن ِعد ٍة تعتدونها فم ِتعوهن وس ِرحوهن سراحا ج ِمي‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan
mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak
ada masa idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka
mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-

Hikmah iddah
Diantara hikmah disyariatkannya Iddah ialah sebagai berikut:
1. Memberi kesempatan kepada suami untuk kembali lagi kepada istrinya tanpa kesulitan
yang berarti jika talaknya talak Raj’i.
2. Untuk mengetahui kekosongan rahimdan untuk menjaga nasab dari kemungkinan
tercampur dengan nasab lainnya.
3. Supaya istri dapat membantu keluarga suaminyadan menunjukan kesetiaannya kepada
suaminya jika iddahnya itu karena suaminya meninggal dunia.

Jenis-jenis Iddah
1. Iddah wanita yang ditalak yang masih bisa mengalami haid, yaitu 3x quru’.
2. Masa iddah wanita yang ditalak dalam keadaan tidak haid, baik karena usia lanjut
ataupun karenaۤ masih kecil adalah 3 bulan, berdasarkan firman Allah swt, ۤ
ۗ ْ َ ْ َ ْ ّٰ َّ ۙ ُ ْ َ ُ َ ٰ َ َّ ُ ُ َّ َ ْ ُ ْ َ ْ
‫ض َن‬
ُ ۤ
‫ض ِم ْن ِّن َسا ِٕىك ْم ِا ِن ارتبتم ف ِعدتهن ثلثة اشه ٍر والِٔـي لم ي ِح‬ ْ ‫َو ّٰالـ ْي َي ِٕى ْس َن م َن امْل َح‬
‫ي‬
ِ ِ ِ ِٔ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi diantara perempuan-perempuan
jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah 3 bulan,
dan begitu pula perempuan-perempuan yang belum haid.” (Ath-Thalaq:4)

3. Iddah wanita hamil yang ditalak adalah hingga ia melahirkan bayinya.


ۗ َ َ ‫َو ُاواَل ُت ااْل َ ْح َمال َا َج ُل ُه َّن َا ْن َّي‬
‫ض ْع َن َح ْمل ُه َّن‬ ِ
“...Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya...” (Ath-Thalaq:4)

4. Iddah wanita yang haid, kemudian haidnya berhenti karena sebab yang dapat
diketahui ataupun karena sebab yang tidak dapat diketahui.

5. Iddah yang ditinggal wafat suaminya adalah empat bulan sepuluh hari bagi wanita
merdeka dan dua bulan lima hari bagi budak wanita, berdasarkan firman Allah swt,
ْ ْ َ َ َ ْ َ ْ َّ َ َ َّ ً َ ْ َ َ ْ ُ َ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َّ َ َ ُ َ ْ َّ َ
‫ص َن ِبان ُف ِس ِه َّن ا ْر َب َعة اش ُه ٍر َّو َعش ًرا‬‫وال ِذين يتوفون ِمنكم ويذرون ازواجا يترب‬
Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah
mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah:234)

6. Iddah wanita mustahadhah, yaitu seorang wanita yang darahnya keluar terus-menerus,
maka jika darah haidnya dapat dibedakan dengan darah istihadhahnya
MATERI 29
Zhihar
Zhihar berasal dari kata ‘punggung’. Karena asli dari bentuk zhihar yaitu memanggil istri
dengan ‘engkau bagiku seperti punggung ibuku’.
Sedangkan secara istilah yang dimaksud zhihar adalah suami menyerupakan istrinya pada
sesuatu yang haram pada salah salah satu mahramnya seperti ibunya atau saudara
perempuannya.
Panggilan zhihar seperti di atas di masa Jahiliyyah dianggap sebagai talak. Ketika Islam
datang, ucapan semacam itu tidak dianggap talak. (Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, 2: 14)
Ayat yang Membicarakan tentang Zhihar
Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫اَّل اَّل‬ ‫ُأ‬ ‫ُأ‬ ُ َ ُ َ ُ َ َّ
‫ون ِم ْنك ْم ِم ْن ِن َس *اِئ ِه ْم َ *م ا ُه َّن َّم َه* ِات ِه ْم ِإ ْن َّم َه* ُات ُه ْم ِإ ال ِئ ي َول* ْ*د َن ُه ْم َوِإ َّن ُه ْم‬ ‫*اهر‬ِ *‫ال ِذين يظ‬
‫ون ِم ْن‬ َ ‫ين ُي َظ* **اه ُر‬ َ ‫) َو َّالذ‬2( ‫ور‬ ٌ * ‫الل َه َل َع ُ* *ف * ٌّو َغ ُ* *ف‬
َّ َّ َ ً ُ َ ْ َ ْ َ ً َ ْ ُ َ ُ ُ َ َ
‫ليقول* **ون من * *ك * را ِمن ال * *ق * و ِل وزورا وِإ ن‬
ِ ِ
َّ
‫*ون ِ*ب ِ*ه َوالل ُه‬ َ ‫وع ُ*ظ‬َ ‫ون َا َق ُالوا َف َت ْحر ُ*ير َر َق َبة م ْن َق ْبل َأ ْن َي َت َما َّس*ا َذل ُك ْم ُت‬ َ ‫ود‬ ُ ‫ن َسا ه ْم ُث َّم َي ُع‬
ِ ِ ِ ٍ ِ ‫مِل‬ ِ ‫ِ ِئ‬
َ ‫َأ‬ َ َ َ َ َ َ َ ََْ َ ُ
‫) ف َم ْن ل ْم َي ِ*ج ْد ف ِص* َي ُام ش* ْه َر ْي ِن ُم َت َ*ت ِ*اب َع ْي ِن ِم ْن ق ْ*ب ِ*ل ْن َي َت َما َّس*ا ف َم ْن‬3( ‫*ون خ ِ*ب ٌ*ير‬ ‫ِب *م ا تعم *ل‬
َّ ُ ُ ُ َ ْ َ ُ َ َّ ُ ‫َ َ ْ َ ْ َ ْ َ ُ ّ َ ْ ً َ َ ُْؤ‬
‫ود الل ِه‬ ‫ول ِه و ِت *ل **ك *ح * د‬ ِ * * ‫ل ْم يس * *ت ِطع فِإ ط *ع **ام ِس * * ِتين ِمس * * ِكينا ذ ِ *ل * ك ِلت ِم *ن **وا ِبالل ِه و َرس‬
‫َ َ َ ٌ َأ‬ َْ
)4( ‫َو ِللكا ِف ِرين عذاب ِليم‬
ٌ
“Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai
ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum
kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua
bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.
Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang
miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (QS. Al
Mujaadilah: 2-4)

Memanggil Istri dengan Ummi, Dek, dan Semacam Itu


Ada pendapat dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, beliau mengatakan,
‫ كقول*ه ” ي*ا أمي ” ” ي*ا أخ*تي‬،‫أنه يك*ره للرج*ل أن ين*ادي زوجت*ه ويس*ميها باس*م محارم*ه‬
‫ ألن ذلك يشبه املحرم‬،‫” ونحوه‬
“Dimakruhkan seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan nama mahramnya
seperti ‘wahai ibuku’, ‘wahai saudaraku (mari dek)’ atau semacam itu. Karena seperti
itu berarti menyerupakan istri dengan mahramnya.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 893)
Ada keterangan lain yang menganggap memanggil dengan panggilan seperti itu tidak
termasuk zhihar yang terlarang dalam ayat. Karena zhihar itu ada dua macam:
1. Zhihar tegas seperti engkau seperti punggung ibuku.
2. Zhihar kinayah yaitu tidak tegas seperti engkau bagiku seperti ibu dan adikku. Untuk
yang terakhir mesti dilihat dari niatnya. Jika diniatkan zhihar, maka termasuk zhihar.
Namun jika maksudnya menyerupakan dengan ibu dan adik dari sisi kemuliaan, maka
tidak termasuk zhihar. Ketika tidak termasuk, maka tidak ada kewajiban atau kafarah
apa pun. (Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, 2: 15)

Beberapa ketentuan Hukum tentang Zhihar


1. Suami yang melakukan zhihar harus membayar kafarat, jika ingin kembali kepada
istrinya yang telah dizhihar, berdasarkan firman Allah:
2. Kafarat harus dibayar oleh suami sebelum menggauli istrinya yang telah
dizhiharnya.berdasarkan firman Allah swt:

3. Jika suami yang menzihar istrinya menggaulinya sebelum membayar kafarat, maka ia
dianggap telah melakukan perbuatan dosa, sehingga ia dianggap telah melakukan
perbuatan dosa, sehingga ia harus bertaubat kepada allah dengan menyesali
perbuatannya, memohon ampun kepadanyadan membayar kaffaratnya.
4.
MATERI 30
HUKUM NIKAH MUTH’AH

Nikah Mut’ah adalah sebuiah penikahan hingga waktu tertentu, baik sebentar atau lama.
Misalnya: seorang laki-lakimenikahi wanita selama waktu tertentu sebulan atau setahun,
berdasarkan hadits dari Ali ra,
َّ َ ُ ُ َ َ َّ َ
‫ول الل ِه – ص* **لى هللا‬ * *‫ – رخص رس‬: ‫ال‬ َ * ‫َو َع ْن َس* * َل َم َة ْبن اَأْل ْ*ك* َوع – رض ي هللا عن* **ه – َ*ق‬
ُ ‫َأ‬ َ َ ‫اَل‬ َ ُ ‫مْل‬ َ َ ِ ‫ِ َأ‬
َ ْ
‫ ث َّم ن َهى َع ْن َها – َر َو ُاه ُم ْس ِل ٌم‬, ‫ ث ثة َّي ٍام‬, ‫اس ِفي ا ت َع ِة‬ ْ َ َ
ٍ ‫عليه وسلم – عام وط‬
Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallampernah memberi kelonggaran untuk nikah mut’ah selama tiga hari pada
tahun Awthas (tahun penaklukan kota Makkah). Kemudian beliau melarangnya.” (HR.
Muslim) [HR. Muslim, no. 1405]
َّ َ ُ ُ َ َ َ َ ‫َو َع ْن َع َلي – رضي هللا عنه – َق‬
‫ول الل ِه – صلى هللا عليه وسلم – َع ْن‬ ‫ – نهى رس‬: ‫ال‬ ٍّ
ْ‫َامْل ُ ْت َعة َع َام َخ ْي َب َر – ُم َّت َف ٌق َع َليه‬
ِ ِ
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallammelarang nikah mut’ah pada waktu perang Khaibar.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR.
Bukhari, no. 5115, 5523 dan Muslim, no. 1407]

Faedah Hadits
1. Nikah mut’ah dihukumi haram, akadnya rusak (fasid) karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah melarangnya. Larangan yang dimutlakkan semacam ini
konsekuensinya diharamkan dan rusak.
2. Hikmah diharamkannya nikah mut’ah.
a. Di antara maksud dan tujuan nikah adalah untuk bersatu, mempersiapkan generasi
yang saleh. Sedangkan dalam nikah mut’ah tidak didapati seperti itu sama sekali.
Karena maksud dari nikah mut’ah hanya sebatas memenuhi syahwat saja.
b. Nikah mut’ah itu bermakna ijarah (kontrak atau sewa) karena akadnya
berlangsung hingga ketetapan waktu tertentu. Nikah mut’ah sama saja dengan
akad kontrak untuk hubungan intim selama jangka waktu tertentu. Kita sebagai
orang awam pun memandang kontrak semacam ini sama saja dengan pelacuran
dan jelas tidak boleh. Nikah mut’ah sejatinya adalah mengontrak kemaluan
sebagaimana barang yang disewa, dan ini bisa berpindah dari satu orang ke orang
yang lain.
c. Dalam nikah mut’ah, nasab anak bisa jadi bercampur.
d. Diharamkannya nikah mut’ah termasuk dalam bab saddudz dzarra’i, menutup
pintu agar tidak terjadi kerusakan lebih parah dan dilarangnya mut’ah untuk
mencegah perzinaan, sebagaimana hal ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim.
3. Pembolehan nikah mut’ah sudah mansukh (dihapus). Nikah mut’ah diharamkan
hingga hari kiamat.
4. Orang Rafidhah (Syiah) yang menyatakan halalnya nikah mut’ah terbantahkan dengan
hadits Ali sendiri yang mereka agungkan, dan bahkan mereka sembah
MATERI 31
Nikah Sirri

Nikah siri Menurut presepsi masyarakat dipahami dengan dua bentuk pernikahan :
1. Nikah tanpa wali yang sah dari pihak wanita.
Nikah siri dengan pemahaman yang pertama, statusnya tidak sah, sebagaimana yang
ditegaskan mayoritas ulama. Karena di antara syarat sah nikah adalah adanya wali dari
pihak wanita. Di antara dalil yang menegaskan haramnya nikah tanpa wali adalah:

Hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi


wa sallam bersabda,
‫اح ِإاَّل بِ َولِ ٍّي‬
َ ‫اَل نِ َك‬
“Tidak ada nikah (batal), kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn
Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah, thabrani, dsb.)

Hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,
‫ فَنِ َكا ُحهَا بَا ِط ٌل‬،‫ت بِ َغي ِْر ِإ ْذ ِن َم َوالِيهَا‬
ْ ‫َأيُّ َما ا ْم َرَأ ٍة نَ َك َح‬
“Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad,
Abu daud, dan baihaqi)

Dan masih banyak riwayat lainnya yang senada dengan keterangan di atas, sampai Al-
Hafidz Ibn Hajar menyebutkan sekitar 30 sahabat yang meriwayatkan hadis semacam
ini.  (At-Talkhis Al-Habir, 3:156)

Kemudian, termasuk kategori nikah tanpa wali adalah pernikahan dengan


menggunakan wali yang sejatinya tidak berhak menjadi wali. Beberapa fenomena
yang terjadi, banyak di antara wanita yang menggunakan wali kiyai gadungan atau
pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi murni atas nama pribadi. Sang Kyai
dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk menjadi wali si wanita, dan
dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak wanita masih memiliki wali yang
sebenarnya.

Jika nikah siri dipahami sebagaimana di atas, maka pernikahan ini statusnya batal dan
wajib dipisahkan. Kemudian, jika keduanya menghendaki untuk kembali berumah
tangga, maka harus melalui proses pernikahan normal, dengan memenuhi semua
syarat dan rukun yang ditetapkan syariah.

2. Nikah di bawah tangan atau dalam fiqih kontemporer lebih dikenal dengan istilah
nikah ‘urfi (zawaj ‘urfi). Nikah ‘urfi adalah suatu pernikahan yang memenuhi syarat-
syarat pernikahan tetapi tidak ada pencatatan dari lembaga resmi negara (KUA).
Dari sini, dapat kita pahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol
antara pernikahan syar’i dengan pernikahan ‘urfi (nikah sirri). Perbedaannya hanyalah
antara resmi dan tidak resmi. Karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan
syar’i disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti adanya wali dan
saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh
pegawai KUA setempat sehingga mudah untuk digugat.
pernikahan semacam ini sangat tidak dianjurkan, karena beberapa alasan:
Pertama, pemerintah telah menetapkan aturan agar semua bentuk pernikahan dicatat
oleh lembaga resmi, KUA. Sementara kita sebagai kaum muslimin, diperintahkan oleh
Allah untuk menaati pemerintah selama aturan itu tidak bertentangan dengan syariat.
Allah berfirman,
ُ ‫َّ ُ َ ُأ َأْل‬
‫ول َو ِولي ا ْم ِر ِم ْنك ْم‬ ُ ‫الل َه َوَأ ط‬
‫يعوا الرس‬
َّ ُ ‫َ َأ ُّ َ َّ َ َ ُ َأ‬
‫يا يها ال ِذين آمنوا ِطيعوا‬
ِ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan
pemimpin kalian.” (QS. An-Nisa: 59)

Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua belah pihak.
Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat (‫) ِميثَاقًا َغلِيظًا‬,
sebagaimana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21.

Ketiga, pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak wanita.
Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara pihak istri
hanya bisa melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan. Yang menjadi
masalah, terkadang beberapa suami menzhalimi istrinya berlebihan, namun di pihak
lain dia sama sekali tidak mau menceraikan istrinya. Dia hanya ingin merusak istrinya.
Sementara sang istri tidak mungkin mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama,
karena secara administrasi tidak memenuhi persyaratan.

Keempat, memudahkan pengurusan administrasi negara.


MATERI 32
Hak Asuh Anak (Hadhanah)

Hadhanah adalah melindungi serta memelihara anak yang masih kecil hingga baligh
(dewasa).
Hadhanah wajib diberikan kepada anak-anak yang masih kecil untuk memelihara
pertumbuhan fisik, akal serta agama mereka.

Atas siapakah Hadhanah diwajibkan?


Hadhanah terhadap anak-anak yang masih kecil wajib dilakukan oleh kedua orang
tuanya. Jika kedua orang tuanya telah meninggal dunia, maka hadhanah terhadap mereka
wajib dilakukan oleh kerabatnya yang paling dekat, lalu kerabat yang berikutnya dan
seterusnya.

Siapakah yang lebih utama untuk melakukan Hadhanah?


Jika terjadi perpisahan diantara suami itri karena cerai atau meninggal dunia, maka yang
paling berhak melakukan Hadhanah terhadap anak yang masih kecil adalah ibunya, jika
belum menikah lagi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw yang ditujukan kepada
seorang wanita yang mengadu kepada beliau mengenai anak yang masih kecil yang
diambil darinya:

“Kamu lebih berhak atas anakmu selama kamu belum menikah.” (Riwayat Ahmad dan
Abu Dawud)
Jika ibunya tidak ada, maka yang paling berhak mengasuhnya adalah nenek dari jalur
ibunya. Jika nenek dari jalur ibunya tidak ada, maka yang paling berhak mengasuhnya
adalah bibi dari jalur ibunya.

“Bibi (dari jalur ibu) kedudukannya seperti ibu.”


Hak Hadhanah juga gugur dari para wanita yang berhak melakukan hadhanah terhadap
anak, jika terjadi hal-hal sebagai berikut:
1. Gila atau akalnya kurang sempurna
2. Menderita penyakit menular
3. Belum baligh
4. Tidak dapat melindungi anak tersebut baik fisik, akal dan agamanya.
5. Kafir.

Masa Hadhanah
Batas waktu hadhanah adalah, anak laki-laki hingga baligh, sedang anak perempuan
hingga menikah dan telah digauli suaminya. Jika seorang istri berpisah dari suaminya,
dan ibunya yang mengasuh anaknya atau wanita lainnya, maka jangka waktu
hadhanahnya bagi pihak wanita adalah hingga usia anak yang diasuh mencapai usia tujuh
tahun, dan setelahnyitu hak hadhanahnya berpindah ke pihak laki-laki, karena pihak laki-
laki lebih utama melakukannya setelah usia anak kecil yang dihadhanahi mencapai usia
tujuh tahun dari pada pihak wanita.
MATERI 33
Menyelesaikan Pertikaian Rumah Tangga

Pertengkaran dalam rumah tangga, hampir pernah terjadi dalam semua keluarga. Tak
terkecuali keluarga yang anggotanya orang baik sekalipun. Dulu keluarga Ali bin Abi
Thalib dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma, juga pernah mengalami semacam ini.

Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah Fatimah radhiyallahu ‘anha,
dan beliau tidak melihat Ali di rumah. Spontan beliau bertanya: “Di mana anak
pamanmu?” ‘Tadi ada masalah dengan saya, terus dia marah kepadaku, lalu keluar. Siang
ini dia tidak tidur di sampingku.’

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat tentang


keberadaan Ali. ‘Ya Rasulullah, dia di masjid, sedang tidur.’ Datanglah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke masjid, dan ketika itu Ali sedang tidur,
sementara baju atasannya jatuh di sampingnya, dan dia terkena debu. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap debu itu, sambil mengatakan,
‫َأ‬ ‫َأ‬
‫اب‬ َُ َ ْ ُ َُ َ ْ ُ
ٍ ‫ قم با تر‬،‫اب‬
ٍ ‫قم با تر‬
“Bangun, wahai Abu Thurab… bangun, wahai Abu Thurab…” (HR. Bukhari 441 dan
Muslim 2409)

Tentu tidak ada apa-apanya ketika keluarga kita dibandingkan dengan keluarga Ali dan
Fatimah radhiyallahu ‘anhuma. Meskipun demikian, pertengkaranpun kadang terjadi
diantara mereka. Sebagaimana semacam ini juga terjadi di keluarga kita. Hanya saja,
pertengkaran yang terjadi di keluarga yang baik sangat berbeda dengan pertengkaran
yang terjadi di keluarga yang tidak baik.

Semua Jadi Pahala


Apapun kesedihan yang sedang kita alami, perlu kita pahami bahwa itu sejatinya bagian
dari ujian hidup. Sebagai orang beriman, jadikan itu kesempatan untuk mendulang
pahala.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda: ‫َأ‬
َ َ ً َ َ َ َ ‫صب َو َال َو‬ َ َ ْ َ ُْ ُ ُ َ
‫ َح َّتى‬،‫ َوال َه ٍّم َوال ُح ْز ٍن َوال ذى َوال غ ٍّم‬،‫ص ٍب‬ ٍ ‫ ِمن ن‬،‫ما ي ِصيب املس ِلم‬
َ َ َّ َ ‫َّ َ َ ُ اَّل‬
‫ ِإ ك َّف َر الل ُه ِب َها ِم ْن خط َاي ُاه‬،‫الش ْوك ِة ُيشاك َها‬
“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung,
sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di
badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-
dosanya.” (HR. Bukhari 5641).

Pahami bahwa bisa jadi pertengkaran ini disebabkan dosa yang pernah kita lakukan.
Kemudian Allah memberikan hukuman batin dalam bentuk masalah keluarga. Di saat itu,
hadirkan perasaan bahwa Allah akan menggugurkan dosa-dosa anda dengan kesedian
yang anda alami…lanjutkan dengan bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya.
Umar bin Abdul Aziz mengatakan,
‫اَّل‬ ‫َ اَل اَّل َ ْ اَل‬
‫َما ن َز َل َب ٌء إ ِبذن ِب َو ُر ِف َع إ ِب َت ْو َب ِة‬
“Musibah turun disebabkan dosa dan musibah diangkat dengan sebab taubat.” (Majmu’
Fatawa, 8/163)

3 Hal Yang Harus Dihindari dalam Pertengkaran Rumah Tangga


Dalam hadis dari Hakim bin Muawiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya, bahwa beliau
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kewajiban suami kepada
istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ْ َ ْ َ َ اَل‬ ْ ‫ َواَل َت‬،‫ َأ و ْاك َت َس ْب َت‬،‫ َو َت ْك ُس َو َها َذا ْاك َت َس ْي َت‬،‫َأ ْن ُت ْطع َم َها َذا َطع ْم َت‬
‫ و‬،‫ض ِر ِب الوجه‬ ِ ‫ِإ‬ ِ ‫ِ ِإ‬
ْ ‫اَّل‬ َ ‫اَل‬ َُ
‫ َو ت ْه ُج ْر ِإ ِفي ال َب ْيت‬،‫تق ِّب ْح‬
“Kamu harus memberi makan kepadanya sesuai yang kamu makan, kamu harus
memberi pakaian kepadanya sesuai kemampuanmu memberi pakaian, jangan memukul
wajah, jangan kamu menjelekannya, dan jangan kamu melakukan boikot kecuali di
rumah.” (HR. Ahmad 20011, Abu Daud 2142 dan dishahihkan Al-Albani).

Hadis ini merupakan nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para


suami. Meskipun demikian, beberapa larangan yang disebutkan dalam hadis ini juga
berlaku bagi wanita. Dari hadis mulia ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menasehatkan untuk menghindari 3 hal:

1. Hindari KDRT
Dalam Al-Quran Allah membolehkan seorang suami untuk memukul istrinya ketika
sang istri membangkang. Sebagaimana firman Allah di surat An-Nisa:
‫ضا ِج ِع َواضْ ِربُوه َُّن فَِإ ْن َأطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوا َعلَ ْي ِه َّن َسبِياًل‬
َ ‫َوالاَّل تِي تَ َخافُونَ نُ ُشو َزه َُّن فَ ِعظُوه َُّن َوا ْه ُجرُوه َُّن فِي ْال َم‬

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan tidak tunduk, nasehatilah mereka dan


pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya..(QS. An-Nisa: 34)

Namun ini izin ini tidak berlaku secara mutlak. Sehingga suami bebas melampiaskan
kemarahannya dengan menganiaya istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan batasan lain tentang izin memukul:
a. Tidak boleh di daerah kepala, sebagaimana sabda beliau, “jangan memukul wajah.”
Mencakup kata wajah adalah semua kepala. Karena kepala manusia adalah hal
yang paling penting. Ada banyak organ vital yang menjadi pusat indera manusia.
b. Tidak boleh menyakitkan
Batasan ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
khutbah beliau ketika di Arafah.
َ َ ‫وه َّن‬
‫ض ْر ًبا غ ْي َر ُم َب ِّر ٍح‬ ْ ‫ْن َف َع ْل َن َذل َك َف‬
ُ ‫اضر ُب‬
ِ ِ ‫ِإ‬
“Jika istri kalian melakukan pelanggaran itu, maka pukullah dia dengan pukulan
yang tidak menyakitkan.” (HR. Muslim 1218)
Keterangan ini juga disebutkan Al-Bukhari dalam shahihnya, ketika beliau
menjelaskan firman Allah di surat An-Nisa: 34 di atas.

Atha’ bin Abi Rabah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas,


‫ السواك وشبهه يضربها به‬: ‫ ما الضرب غير املبرح ؟ قال‬: ‫قلت البن عباس‬
Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pukulan yang tidak
menyakititkan?’ Beliau menjawab, “Pukulan dengan kayu siwak (sikat gigi) atau
semacamnya.” (HR. At-Thabari dalam tafsirnya, 8/314).

Termasuk makna pukulan yang tidak menyakitkan adalah pukulan yang tidak
meninggalkan bekas, seperti memar, atau bahkan menimbulkan luka dan
mengeluarkan darah. Karena sejatinya, pukulan itu tidak bertujuan untuk
menyakiti, tapi pukulan itu dalam rangka mendidik istri. Namun,
meskipun ada izin untuk memukul ringan, tidak memukul tentu jauh lebih baik.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


َ َ ْ ُ َ ْ َ ُ ْ َ َّ ُ َّ َ َّ َ َ ُّ َّ َ ْ َ
َ ‫الغ‬
‫ض ِب‬ ‫ ِإ نما الش ِديد ال ِذي يم ِلك نفسه ِعند‬،‫س الش ِد ُيد ِبالصرع ِة‬ ‫لي‬
“Orang yang hebat bukahlah orang yang sering menang dalam perkelahian.
Namun orang hebat adalah orang yang bisa menahan emosi ketika marah.” (HR.
Bukhari 6114 dan Muslim 2609).

2. Hindari Caci-maki
Syariat membolehkan orang yang didzalimi itu untuk membalas kedzalimannya dalam
bentuk cacian atau makian. Allah berfirman,
ُ ‫ْ َ اَّل‬ َّ ُّ ُ ‫اَل‬
ُّ ‫الل ُه ْال َج ْه َر ب‬
‫وء ِم َن الق ْو ِل ِإ َم ْن ظ ِل َم‬
ِ ‫الس‬ ِ ‫ي ِحب‬
Allah tidak menyukai Ucapan buruk (caci maki), (yang diucapkan) dengan terus
terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148)

Dalam ikatan rumah tangga, syariat memotivasi kaum muslimin untuk menciptakan
suasana harmonis. Sehingga sampaipun terjadi masalah, balasan dalam bentuk caci
maki harus dihindarkan. Karena kalimat cacian dan makian akan menancap dalam
hati, dan bisa jadi akan sangat membekas. Sehingga akan sangat sulit untuk bisa
mengobatinya. Jika semacam ini terjadi, sulit untuk membangun keluarga yang
sakinah.

Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan jangan sampai


seseorang mencaci pasangannya. Apalagi membawa-bawa nama keluarga atau orang
tua, yang umumnya bukan bagian dari masalah.

Dalam Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan,


َّ َ ‫اَل‬ ْ َ ‫اَل َ ُ ْ َ َ َ ْ اًل َ ً اَل‬
‫يحا َو تش ُت ْم َها َو ق َّب َح ِك الل ُه‬ ‫تقل لها قو ق ِب‬
“Jangan kamu ucapkan kalimat yang menjelekkan dia, jangan mencacinya, dan
jangan doakan keburukan untuknya..” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud,
6/127).
Perlu kita ingat bahwa cacian dan makian kepada pasangan yang dilontarkan tanpa
sebab, termasuk menyakiti orang mukmin atau mukminah yang dikecam dalam Al-
Qur’an. Allah berfirman,
‫ت بِ َغي ِْر َما ا ْكتَ َسبُوا فَقَ ِد احْ تَ َملُوا بُ ْهتَانًا َوِإ ْث ًما ُمبِينًا‬
ِ ‫ين َو ْال ُمْؤ ِمنَا‬
eَ ِ‫َوالَّ ِذينَ يُْؤ ُذونَ ْال ُمْؤ ِمن‬
Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58)

3. Jaga Rahasia Keluarga


Bagian ini penting untuk kita perhatikan. Jadikan masalah keluarga sebagai rahasia
berdua. Karena ketika masalah itu tidak melibatkan banyak pihak, akan lebih mudah
untuk diselesaikan. Terkait tujuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menasehatkan,
‫َواَل تَ ْهجُرْ ِإاَّل فِي ْالبَيْت‬

“jangan kamu boikot istrimu kecuali di rumah”

Ketika suami harus mengambil langkah memboikot istri karena masalah tertentu,
jangan sampai boikot ini tersebar keluar sehingga diketahui banyak orang. Sekalipun
suami istri sedang panas emosinya, namun ketika di luar, harus menampakkan seolah
tidak ada masalah. Kecuali jika anda melaporkan kepada pihak yang berwenang
(KUA, hakim, ustadz yang amanah, atau mertua), dalam rangka dilakukan perbaikan.

Hindari Pemicu Adu Domba


Bagian ini perlu kita hati-hati. Ketika seorang istri memiliki masalah dengan
suaminya, kemudian dia ceritakan kepada orang tua istri, muncullah rasa kasihan dari
orang tuanya. Namun tidak sampai di sini, orang tua istri dan suami akhirnya menjadi
bermusuhan. Orang tua istri merasa harga dirinya dilecehkan karena putrinya
didzalimi anak orang lain, sementara suami menganggap mertuanya terlalu ikut
campur urusan keluarganya. Bukannya solusi yang dia dapatkan, namun masalah baru
yang justru lebih parah dibandingkan sebelumnya.

Selanjutnya, jadilah keluarga yang bijak, yang terbuka dengan pasangannya,


karena ini akan memperkecil timbulnya dugaan buruk (suudzan) antar-sesama.
MATERI 34
Utang Suami Apakah Kewajiban Istri?

Istri, berapapun jumlah hartanya, tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah


suaminya. Karena harta istri menjadi murni milik istri.

Allah menegaskan bahwa harta istri murni menjadi miliknya, dan tidak ada seorangpun
yang boleh mengambilnya kecuali dengan kerelaan istri. Dalil kesimpulan ini adalah ayat
tentang mahar,
ُ ‫ص ُد َقاته َّن ن ْح َل ًة َف ْن ط ْب َن َل ُك ْم َع ْن َش ْيء م ْن ُه َن ْف ًسا َف ُك ُل‬
‫وه َه ِنيًئ ا َم ِريًئ ا‬
ّ
َ ‫الن َس َاء‬ ُ َ
ِ ٍ ِ ‫ِإ‬ ِ ِِ ِ ‫وآتوا‬
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 4)

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dijelaskan tafsir ayat ini,


‫واآلية الكريمة علقت جواز أخذ مال الزوجة على أن يكون بطيب النفس وهو أبلغ‬
‫ فإن املرأة قد تتلفظ بالهبة والهدية ونحو ذلك بسبب ضغط الزوج‬،‫من مجرد اإلذن‬
‫ وعلم من هذا أن املعتبر في تحليل مال الزوجة إنما‬،‫عليها مع عدم رضاها بإعطائه‬
‫هو أن يكون بطيب النفس‬
Ayat di atas menjelaskan bahwa suami boleh mengambil harta istri jika disertai kerelaan
hati. Dan kerelaan hati itu lebih dari sebatas izin. Karena terkadang ada wanita yang dia
menghibahkan atau menghadiahkan hartanya atau semacamnya, disebabkan tekanan
suami kepadanya. Sehingga diberikan tanpa kerelaan. Disimpulkan dari sini, bahwa yang
menjadi acuan tentang halalnya harta istri adalah adanya kerelaan hati. (Fatawa Syabakah
Islamiyah, no. 32280)

Jika harta mahar, yang itu asalnya dari suami diberikan kepada istrinya, tidak boleh
dinikmati suami kecuali atas kerelaan hati sang istri, maka harta lainnya yang murni
dimiliki istri, seperti penghasilan istri atau warisan milik istri dari orang tuanya, tentu
tidak boleh dinikmati oleh suaminya kecuali atas kerelaan istri juga.

Dengan demikian, istri tidak wajib menanggung utang suami. Karena istri tidak wajib
menafkahi suaminya.
MATERI 35
CARA MENDIDIK ANAK SESUAI TUNTUNAN RASUL

Keluarga adalah lingkungan pertama dan paling utama dalam pembentukan kepribadian
seorang anak. Untuk itu, dalam proses mendidik anak kedua orangtua sepatutnya
memiliki ilmu dan wawasan terkait berbagai cara terbaik dalam mendidik; terutama
metode mendidik yang merujuk pada Rasulullah saw (Prophetic Parenting), karena untuk
membentuk generasi muslim yang shalih tidak akan terlepas dari dua pondasi Islam yang
utama al-Quran dan al-Hadits.

Berikut ini beberapa cara Rasulullah dalam mendidik anak


1. Keteladanan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫َأ‬ ّ ‫ول ُد َع َلى ْالف ْط َرة َفَأ َب َو ُاه ُي َه ّو َدانه َأ ْو ُي َن‬
َ ُ َّ َُْ ْ َ
‫ص َرا ِن ِه ْو ُي َم ِ ّج َسا ِن ِه‬ِ ِِ ِ ِ ِ ‫ي‬ ‫ال‬ ‫ما ِمن مو ٍ ِإ‬
‫ود‬‫ل‬
Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua
orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. [HR. al-Bukhâri
dan Muslim]

Dari hadist tersebut dijelaskan bahwa anak seperti selembar kertas putih.
Lingkungannyalah yang kelak memberikan warna. Pada usia kanak-kanak, anak
mudah sekali menyerap apa yang terjadi disekitarnya, baik perkataan maupun
perbuatan. Informasi yang diserap tersebut, akan terus terekam hingga kelak mereka
dewasa. Jika orang tua dan lingkungan disekitarnya memberi pengaruh yang baik
kepada anak-anak, maka kelak mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang baik pula.
Orang tua dapat memberi contoh yang baik dari hal yang kecil seperti mengajak anak
sholat berjamaah, bertutur kata yang lembut, membaca doa sebelum makan, dan
berperilaku yang baik.

2. Menasehati
Diantara faktor yang paling penting dalam pembentukan karakter anak, baik itu
karakter keimanan, etika, jiwa dan kemasyarakatan adalah pendidikan dengan nasihat
yang baik, mengingat di dalam nasihat itu terdapat pengaruh yang sangat kuat dalam
memberikian pemahaman kepada anak tentang hakikat segala sesusatu. Islam
mengajarkan sebagaimana hadis Rasulullah Saw.
َ ُ َّ َ َّ َّ َّ ‫َ َ ُ َ َ َ َ ْ ُ َأ‬ َّ ‫َع ْن َأ بي ُر َق َّي َة َتم ْيم ْبن َأ ْوس‬
‫هللا َعل ْي ِه َو ِآل ِه‬ ‫صلى‬ ‫الد ِاري ر ِضي هللا تعالى عنه ن الن ِبي‬ ٍ ِ ٍ ِ
َ‫هلل َولك َتابه َول َر ُس ْوله َوَأِل َّمة املُ ْسلم ْين‬ َ َ ْ َ َ ْ ُ ُ َ ْ َّ ُ ْ َ َ ِ َ َّ َ َ
ِِ ِ ‫ِ ِ ِئ‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ مِل ن ؟ قال‬: ‫الدين الن ِصيحة قلنا‬ ِّ ‫وسلم قال‬
‫َو َع َّام ِت ِه ْم – َر َو ُاه ُم ْس ِل ٌم‬
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami
bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-
Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.”
(HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 55]
3. Berlaku Adil
Sebagai orang tua harus bersikap adil kepada semua anak karena salah satu hak anak
adalah tidak mengistimewakan salah satu diantara mereka dibandingkan saudara yang
lain. Orang tua terkadang memiliki kecenderungan atau sikap yang berbeda-beda pada
salah satu atau sebagian anak dibandingkan anak-anak lainnya, baik dalam materi atau
non materi. Padahal sikap tersebut tidak mencerminkan atau tidak meberikan contoh
yang baik pada anak sebab akan ada aspek yang merasa tidak disayangi dan
tersisihkan.
Rasulullah Saw bersabda, “Bersikap adillah diantara anak-anak kalian dalam
pemberian sebagaimana kalian suka berlaku adil diantara kalian dalam kebaikan dan
kelembutan.”(HR. Ibnu Abid Dunya)

Dari hadits tersebut disimpulkan bahwa orang tua harus berlaku adil terhadap semua
anaknya. Tanpa membedakan satu sama lain. Berlaku adil dalam hal pemberian kasih
sayang, perhatian, harta dan hukuman.
Seperti yang diriwayatkan dari Nu‟am bin Basyir, ia berkata,
“Sesungguhnya, ibuku meminta kepada ayahku sebagian pemberian harta untuk
untuk anak laki-lakinya. Namun, permintaan tersebut ditangguhkan selama satu
tahun.” Lalu ibuku, “Aku tidak rela hingga kamu minta persaksian kepada Rasulullah
Saw atas apa yang telah kamu berikan kepada anak laki-lakiku.” Lalu, ayahku
membawaku mendatangi Rasulullah Saw. Saat itu aku masih anak-anak. Ya
Rasulullah, sesungguhnya, ibunya anak ini, binti Rawahah, menginginkan agar aku
meminta anda menyaksikan pemberianku ini kepada anaknya.” Kemudian, Rasulullah
bertanya lagi “Hai Basyir, apakah kamu mempunyai anak lagi, selain anak ini?”
Ayahku menjawab, “Ya”. Kemudian Rasulullah Saw bertanya lagi “Apakah semua
anak-anakmu juga diberi sesuatu yang sama sebagaimana yang kamu berikan kepada
ank laki-lakimu ini? Ayahku menjawab, “Tidak”. Lalu Rasulullah berkata, “ Jika
begitu, janganlah kamu meminta persaksian kepadaku, karena sesungguhnya aku
tidak bersedia menjadi saksi atas ketidak adilan.” (HR. Muslim)

4. Memenuhi hak-hak anak


Dalam syariat Islam mewajibkan kedua orang tua menjaga anak serta memelihara
kehidupan, memperhatikan kesehatan dan nafkah mereka. Nabi Saw bersabda:
ُ ‫َ ُ َ َ َ ْ ُئ ٌ َ ْ َ َّ َ مْل َ ْ َأ‬ ْ ‫ُك ُّل ُك ْم َراع َو ُك ُّل ُك ْم َم ْسُئ ْو ٌل َع‬
‫اع َية‬
ِ ‫ر‬َ ‫ة‬ ‫ر‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ه‬
* ‫ت‬
ِِ ِ ‫ي‬ ‫ع‬‫ر‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫اع‬
ٍ ‫ر‬ ‫ام‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫ه‬‫ت‬
‫ِ ِ ِ ِإْل‬
َّ
‫ي‬ ‫ع‬‫ر‬ َ ‫ن‬
َّ َ ْ َ ٌ ‫ُئ‬ ْ َ َ ‫َأ‬ َ َ ُ َ ْ َ َ َّ َ ْ َ َ ‫ْ َ ْ َ ٍ ْ َ َ َ ْ ُئ‬
‫ِفي بي ِت زو ِجها ومس و لة عن ر ِعي ِتها والخ ِادم ر ٍاع ِفي م ِال ِب ِيه ومس ول عن ر ِعي ِت ِه‬
‫ول َع ْن َر ِع َّي ِت ِه‬ ٌ ‫َو ُك ُّل ُك ْم َراع َو َم ْسُئ‬
ٍ
“Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.
Seorang imam merupakan pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang
lelaki dalam keluarganya merupakan pemimpin dan bertanggung jawab atas yang
dipimpinnya. Seorang perempuan yang berada didalam rumah suaminya adalah
pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang pembantu pada
harta tuannya adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya...”
5. Mendoakan
ََ ُ ٰ َّ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ ّ َ
‫وة َو ِم ۡن ذ ّ ِر َّي ِت ۡ‌ى ۖ َر َّب َنا َوتق َّب ۡل ُد َع ِٓاء‬
ِ ‫ر ِب اجعل ِن ۡى م ِقيم الصل‬
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan
sholat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.”(QS. Ibrahim:40)

Suatu ketika Anas bersama ibunya, Ummu Anas, datang menemui Rasulullah. Ummu
Annas kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, ini Anas kecil, anak kesayanganku.
Sengaja aku datang kepadamu untuk menjadi pelayanmu maka berdoalah kepada
Allah untuknya.” Rasulullah Saw kemudian tangan beliau diatas pundak Ibnu Abbas
seraya berdoa, “Ya Allah, berikanlah kepadanya pemahaman tentang agama dan
ajarilah ia takwil (al-Qur‟an).” Doa ini diijabah Allah. Ibnu Abbas pun dikenal
sebagai ahli tafsir yang banyak diminta oleh orang mukmin.

6. Membimbing anak berbakti kepada orang tua


Begitu penting anak membahagiakan dan berbaktik kepada kedua orang tua. Dalam
Al-Qu‟ran Allah Swt mrnganjurkan untuk berbakti kepada kedua orang tua.
Sebagaimana firman-Nya:
ُ ْ َ ُ َ َّ ْ َ ٰ َ ً ْ َ ٗ ُّ ُ ُ ْ َ َ َ ۚ ْ َ َ َ َ ْ ‫َ َ َّ ْ َ اْل‬
‫صال ٗه ِف ْي َع َام ْي ِن ا ِن اشك ْر ِل ْي‬ ‫ووصينا ا ِ نسان ِبو ِالدي ِه حملته امه وهنا على وه ٍن و ِف‬
ۗ
‫و ِل َو ِال َد ْي َك‬ َ
“Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang
tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah,
dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua
orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kamu kembalimu.”(QS.Al-Luqman:14)
MATERI 36
Kesuksesan Nabi Ibrahim Mendidik Anaknya

Nabi Ibrahim dan istri adalah contoh orang tua sukses dalam mendidik anak.
Kesuksesan mendidik anak berawal dari kesuksesan Nabi Ibrahim mendidik diri dan
istrinya. Nabi Ibrahim adalah sosok pribadi yang teguh dalam menegakkan dan
memperjuangkan prinsip kebenaran dalam kehidupan. Dalam perjuangannya itu dia
banyak mendapatkan cobaan dari Allah, tapi seluruh cobaan dan ujian tersebut
dijalani oleh Nabi Ibrahim dengan ketabahan dan keikhlasan.

Nabi Ibrâhîm Alaihissallam berdoa: “Wahai Rabb-ku, karuniakanlah untukku anak yang
shalih,” maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kabar gembira kepadanya dengan
kehadiran seorang anak yang mulia lagi penyabar. Dan tatkala anak itu saat mulai
beranjak dewasa berusaha bersama-sama Ibrâhîm, Ibrâhîm berkata kepadanya: “Wahai
anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah apa pendapatmu?”

Isma’il menjawab: “Wahai Ayahandaku, lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala kepadamu; insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk
orang-orang yang sabar”.

Saat keduanya telah berserah diri dan Ibrâhîm membaringkan anaknya di atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala
memanggilnya: “Wahai Ibrahim, sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu.
Sesungguhnya, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami menebus anak itu
dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik)
di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (Yaitu) ‘Kesejahteraan yang
dilimpahkan kepada Ibrâhîm’. Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang mukminin. Lihat Qs. ash-Shâffât/37 ayat 99-111.

Di dalam tafsir Qurthubi dan Baghawi disebutkan riwayat Ibnu ‘Abbas, beliau berkata:
Ibrâhîm dan Isma’il … keduanya taat, tunduk patuh terhadap perintah Allah Subhanahu
wa Ta’ala . Ingatlah, renungkanlah kisah itu … ketika keduanya akan melaksanakan
perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala , dengan tulus dan tabah sang anak berkata:
َ ْ ‫ْ ُ ْ َ ْ َ َّ َ َأ‬ َ ‫َيا َأ‬
‫ضط ِر َب‬ ‫اطي حتى ال‬
ِ ِ‫ب‬‫ر‬ ‫د‬ ‫د‬‫اش‬ ‫ت‬
ِ ‫ب‬
Wahai Ayahku, kencangkanlah ikatanku agar aku tak lagi bergerak.
‫َ ُأ‬ ‫َ ْ ُ ْ َ ِّ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ ْ ٌ َ َ ْ ُ َ َأ‬
‫ص ْج ِر ْي َوت َر ُاه ِّم ْي‬ ‫واكفف عني ِثيابك حتى ال ينت ِضح عليها ِمن د ِّمي شيء فينق‬
َ
‫ف َت ْح َز ُن‬
Wahai Ayahku, singsingkanlah baju engkau agar darahku tidak mengotori baju engkau
maka akan berkurang pahalaku, dan (jika nanti) Bunda melihat bercak darah itu niscaya
beliau akan bersedih ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
َ ‫َ َ مْل‬ ُ ْ َ ِّ ‫اس َتح َّد َش ْف َر َت َك َو ْسر ْع َم َّر‬
‫الس ِّك ْي ِن َعلى َحل ِق ْي ِل َيك ْو َن ْه َو ُن َعل َّي فِإ َّن ا ْو َت‬ ِ ِ
ْ ‫َو َيا َب ِت‬
َ
‫ش ِد ْي ٌد‬
Dan tajamkanlah pisau Ayah serta percepatlah gerakan pisau itu di leherku agar terasa
lebih ringan bagiku karena sungguh ‫َأ‬kematian
‫ َأ‬itu amat dahsyat. ‫َأ‬
ْ َ ‫َ ُأ‬ َ َ َ َّ َ ْ َ َ ‫َ َ َ ْ َ ُأ ْ َ ْ َ ْأ‬
‫ َوِإ ْن َر ْي َت ْن ت ُر َّد ق ِم ْي ِص ْي َعلى ِّم ْي فاف َع ْل‬.…‫السال َم ِم ِّن ْي‬ ‫عليها‬ ‫وِإ ذا تيت ِّمي فاقر‬
Wahai Ayah, apabila engkau telah kembali maka sampaikan salam (kasih)ku kepada
Bunda, dan apabila bajuku ini Ayah pandang baik untuk dibawa pulang maka
lakukanlah. ‫َأ‬ ‫َأ‬
َ َ ْ ‫ ن ْع َم ْال َع ْو ُن ْن َت َيا ُب َن َّي َع َلى‬: ‫ال َل ُه ْب َراه ْي ُم‬ ََ
‫هللا ت َعالى‬
ِ ِ ‫ر‬ ‫م‬ ِ ِ ‫ِإ‬
َ ‫ق‬ ‫ف‬
(Saat itu, dengan penuh haru) Ibrahim berkata: “Wahai anakku, sungguh engkau adalah
anak yang sangat membantu dalam menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala “.

Ibnu Katsir rahimauhllah berkata:“Ini adalah ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
kekasih-Nya (yakni Ibrâhîm Alaihissallam ) untuk menyembelih putranya yang mulia
dan baru terlahir setelah beliau berumur senja. (Ujian ini terjadi) setelah Allah
memerintahkannya untuk meninggalkan Hajar saat Ismail masih menyusui di tempat
yang gersang, sunyi tanpa tumbuhan (yang dimakan buahnya), tanpa air dan tanpa
penghuni. Ia taati perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, meninggalkan isteri dan
putranya yang masih kecil dengan keyakinan yang tinggi dan tawakal kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala . Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka
kemudahan, jalan keluar, serta limpahan rizki dari arah yang tiada disangka. Setelah
semua ujian itu terlampaui, Allah menguji lagi dengan perintah-Nya untuk menyembelih
putranya sendiri, yaitu Ismail Alaihissallam . Dan tanpa ragu, Ibrâhîm menyambut
perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu dan segera mentaatinya. Beliau Alaihissallam
menyampaikan terlebih dahulu ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut kepada
putranya, agar hati Ismail menjadi lapang serta dapat menerimanya, sehingga ujian itu
tidak harus dijalankan dengan cara paksa dan menyakitkan.

Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala Untuk Membangun Ka`bah.


َّ َ ْ َ ْ ّ َ َ ‫َ ْ ًئ‬
َ‫لطا ف َين َو ْال َقا مين‬ ْ ْ ُ ‫َ ْ َ َّ ْأ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َأ ْ اَل‬
ِ ‫ِئ‬ ِ ‫وِإ ذ بو نا ِإِل بر ِاهيم مكان البي ِت ن تش ِرك بي شي ا وط ِهر بي ِتي ِل ِئ‬
َّ ّ ُ ْ َ ‫ْ َ ّ َ ْأ ُ َ ِ َ اًل َ َ َ ٰ ُ ّ َ َ ْأ‬ َّ ‫الس ُجود َوَأ ّذ ْن في‬
ُّ ‫الر َّكع‬
ُّ ‫َو‬
‫اس ِبالح ِج ي توك ِرجا وعلى ك ِل ض ِام ٍر ي ِتين ِمن ك ِل ف ٍج‬ ِ ‫الن‬ ِ ِ ِ ِ
‫يق‬ َ
ٍ ‫ع ِم‬
Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrâhîm di tempat Baitullah
(dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan
sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang
beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk
mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan
mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,”
[al-Hajj/22 : 26-27].
Dalam Shahih Bukhâri disebutkan, bahwasanya Ibrâhîm Alaihissallam berkata: “Wahai
anakku, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan aku sesuatu”.

Ismail Alaihissallam menjawab: “Lakukanlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala


kepada engkau”.
Ibrâhîm Alaihissallam bertanya: “Apakah engkau (akan) membantuku?”

Ismail Alaihissallam menjawab: “Ya, aku akan membantu engkau”.

Ibrâhîm Alaihissallam berkata lagi: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah


memerintahkan aku untuk membangun disini sebuah rumah”. (Nabi Ibrâhîm
Alaihissallam mengisyaratkan tanah yang sedikit tinggi dibandingkan dengan yang ada di
sekelilingnya). Saat itulah keduanya membangun pondasi-pondasi. Dan Ismail
Alaihissallam membawa kepada ayahnya batu-batu dan Ibrahim
Alaihissallammenyusunnya. Sehingga, ketika telah mulai tinggi, ia mengambil batu dan
diletakkan agar Ibrahim Alaihissallamdapat naik di atasnya. Demikian, dilakukan oleh
keduanya, dan mereka berkata: ‫َأ‬
ُ ‫السم ُيع ْال َع ِل‬
‫يم‬ َّ َ ْ َ َّ َّ ْ َّ َ َ َ َّ َ
ِ ‫ربنا تقبل ِمنا ۖ ِإ نك نت‬
“Ya Rabb kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [al-Baqarah/2:127]
1.
MATERI 37
Hak Anak

Anak merupakan darah daging kedua orang tuanya. Mereka mempunyai hak-hak yang
harus ditunaikan. Berikut ini secara ringkas hak anak yang harus dipenuhi:
1. Memberi Nama yang Baik
Nama dalam bahasa Arab disebut dengan isim. Makna isim bisa jadi adalah
‘alamat (tanda). Isim juga bisa bermakna as samuu (sesuatu yang tinggi).
Sehingga isim (nama) adalah tanda yang tertinggi (mencolok) pada seseorang.
Diantara urgensi pemberian nama terbaik disebabkan nama dapat membawa pengaruh
pada orang yang diberi nama. Oleh karena itu, orang Arab mengatakan,
َ ُ
‫ِلك ِ ّل ُم َس َّمى ِم ْن ِا ْس ِم ِه ن ِص ْي ٌب‬
“Setiap orang akan mendapatkan pengaruh dari nama yang diberikan padanya.”

Ini menunjukkan bahwa jika nama yang diberikan adalah nama yang terbaik, maka
atsarnya (pengaruhnya) pun baik. Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyatakan bahwa nama yang terbaik adalah ‘Abdullah karena nama tersebut
menunjukkan penghambaan murni pada Allah. Begitu pula, dalam beberapa hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberi nama dengan nama yang buruk
seperti ‘Ashiyah (wanita yang bermaksiat, dengan huruf ‘ain dan shod), Hazn (sedih)
dan Zahm (sempit).

Mengenai waktu terbaik dalam pemberian nama dapat kita lihat dalam hadits-hadits
berikut.
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‫َأ‬ ْ ‫الل ْي َل َة ُغ َال ٌم َف َس َّم ْي ُت ُه ب‬
َ ‫اسم بى ْب َراه‬
‫يم‬
َّ َ َ ُ
‫و ِلد ِلى‬
ِ ‫ِ ِ ِ ِإ‬
“Semalam telah lahir anakku dan kuberi nama seperti ayahku yaitu Ibrahim.” (HR.
Muslim no. 2315)

Dari Abu Musa, ia mengatakan,


َ َ َ َ ْ ُ َّ َ َ
‫ ف َح َّن *ك ُ*ه‬، ‫يم‬‫الن ِب َّى – ص*لى هللا علي**ه وس**لم – فس*ماه ِإ *ب*ر ِاه‬ َّ ‫ َ*ف َأ َت ْي ُت ب*ه‬، ‫ُو *ل َد لى ُغ َال ٌم‬
ِِ ِ ِ
‫َأ‬ َ ْ ‫َأ‬
َ ‫ان ك َب َر َولد بى ُم‬ َ َ َ َ ْ َ
َ ‫ َوك‬، ‫ َو َدف َع ُه ل َّى‬، ‫ َو َد َعا ل ُه بال َب َركة‬، ‫ب َت ْم َرة‬
. ‫وسى‬ ِ ِ ‫ِإ‬ ِ ِ ٍ ِ
“Anak laki-lakiku lahir, kemudian aku membawanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Beliau lalu memberinya nama Ibrahim, beliau menyuapinya dengan
kunyahan kurma dan mendoakannya dengan keberkahan, setelah itu menyerahkannya
kepadaku.” Ibrahim adalah anak tertua Abu Musa.” (HR. Bukhari no. 5467, 6198 dan
Muslim no. 2145)

Dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,


َ ُْ َ ٌ َ ُ ُ
‫ك ُّل غال ٍم َر ِه َين *ة ِب َع ِقيق ِت ِه تذ َب ُح َع ْن ُه َي ْو َم َس ِاب ِع ِه َو ُي ْحل ُق َو ُي َس َّمى‬
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari
ketujuhnya, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai
no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
2. Hak untuk hidup dan berkembang
Islam mengajarkan bahwa menjaga kelangsungan hidup dan tumbuh berkembangnya
anak itu merupakan keharusan. Sebagaimana firman allah:
ُُ َ َ ‫َ اَل َ ْ ُ ُ ْٓ َ ْ اَل َ ُ ْ ْ ْ اَل‬
‫ٍ ۗق ن ْح ُن ن ْر ُزقك ْم َو ِا َّي ُاه ْم‬ ‫و تقتلوا او دكم ِّمن ِام‬
"Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami
akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka."(QS, Al-An'am: 151)

Seorang ibu mempunyai kewajiban menyusui anaknya hingga 2 tahun lamanya.


ُ َ ‫َ ْ ٰ ٰ ُ ُ ْ ْ َ َ ْ اَل َ ُ َّ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ ُّ َّ َّ َ َ َ َ مْل‬
‫اعة ۗ َو َعلى ا ْول ْو ِد‬ ‫والو ِلدت ير ِضعن او دهن حولي ِن ك ِاملي ِن مِل ن اراد ان ي ِتم الرض‬
‫َ ٗ ْ ُ ُ َّ َ ْ َ ُ ُ َّ مْل َ ْ ُ ْ ۗ اَل ُ َ َّ ُ َ ْ ٌ اَّل‬
‫س ِا ُو ْس َع َها‬ ‫له ِرزقهن و ِكسوتهن ِبا عرو ِف تكلف نف‬
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang
ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan
pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari
kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah: 233)

3. Mendidik Anak dengan Baik


Kewajiban orang tua terhadap anak yang ketiga adalah mendidik anak-anaknya
dengan baik. Pendidikan untuk anak inilah hal yang paling penting dan paling
utama harus diberikan pada anak.
Seorang anak harus mendapatkan pendidikan yang baik dan sama dengan anak-
anak lainnya. Termasuk pendidikan mengenai agama dan akhlak-akhlak yang
baik dan benar sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari kakek Ayub Bin Musa Al Quraisy dari Nabi
shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tiada satu pemberian yang lebih utama yang diberikan ayah kepada anaknya
selain pengajaran yang baik.”

4. Mengajarkan Al-Quran
Mengajarkan anak meneladani Al-Quran adalah kewajiban orang tua. Hadits
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ali radiyallahu 'anhu, bersabda:
"Ajarkanlah tiga hal kepada anak-anak kalian, yakni mencintai nabi kalian,
mencintai keluarganya, dan membaca Al-Quran. Sebab para pengusung Al-
Quran berada di bawah naungan arsy Allah pada hari di mana tidak ada
naungan kecuali naunganNya, bersama para nabi dan orang-orang pilihanNya.
Dan, kedua orang tua yang memperhatikan pengajaran Al Qur’an kepada anak-
anak mereka, keduanya mendapatkan pahala yang besar.”

5. Bersikap Adil terhadap Anak-anaknya


Sebagai orang tua harus bersikap adil kepada semua anak karena salah satu hak anak
adalah tidak mengistimewakan salah satu diantara mereka dibandingkan saudara yang
lain. Orang tua terkadang memiliki kecenderungan atau sikap yang berbeda-beda pada
salah satu atau sebagian anak dibandingkan anak-anak lainnya, baik dalam materi atau
non materi. Padahal sikap tersebut tidak mencerminkan atau tidak meberikan contoh
yang baik pada anak sebab akan ada aspek yang merasa tidak disayangi dan
tersisihkan.
Rasulullah Saw bersabda, “Bersikap adillah diantara anak-anak kalian dalam
pemberian sebagaimana kalian suka berlaku adil diantara kalian dalam kebaikan dan
kelembutan.”(HR. Ibnu Abid Dunya)

Dari hadits tersebut disimpulkan bahwa orang tua harus berlaku adil terhadap semua
anaknya. Tanpa membedakan satu sama lain. Berlaku adil dalam hal pemberian kasih
sayang, perhatian, harta dan hukuman.
Seperti yang diriwayatkan dari Nu‟am bin Basyir, ia berkata,
“Sesungguhnya, ibuku meminta kepada ayahku sebagian pemberian harta untuk
untuk anak laki-lakinya. Namun, permintaan tersebut ditangguhkan selama satu
tahun.” Lalu ibuku, “Aku tidak rela hingga kamu minta persaksian kepada Rasulullah
Saw atas apa yang telah kamu berikan kepada anak laki-lakiku.” Lalu, ayahku
membawaku mendatangi Rasulullah Saw. Saat itu aku masih anak-anak. Ya
Rasulullah, sesungguhnya, ibunya anak ini, binti Rawahah, menginginkan agar aku
meminta anda menyaksikan pemberianku ini kepada anaknya.” Kemudian, Rasulullah
bertanya lagi “Hai Basyir, apakah kamu mempunyai anak lagi, selain anak ini?”
Ayahku menjawab, “Ya”. Kemudian Rasulullah Saw bertanya lagi “Apakah semua
anak-anakmu juga diberi sesuatu yang sama sebagaimana yang kamu berikan kepada
ank laki-lakimu ini? Ayahku menjawab, “Tidak”. Lalu Rasulullah berkata, “ Jika
begitu, janganlah kamu meminta persaksian kepadaku, karena sesungguhnya aku
tidak bersedia menjadi saksi atas ketidak adilan.” (HR. Muslim)

6. Memberi Nafkah dan Makanan yang Halal


Kewajiban ini lebih tepatnya adalah kewajiban sebagai ayah dalam keluarga.
Seperti sabda Rasulullah SAW kepada Sa'ad Bin Abi Waqhas, “Baguskanlah
makananmu, niscaya doamu akan dikabulkan.”
Berusaha memberikan nafkah dan makanan yang halal pada anak-anak penting
untuk dilakukan. Misalnya dalam memberi kasih sayang yang sama terhadap
masing-masing anak. Kasih sayang orang tua merupakan hak setiap anak dan
harus diberikan secara adil.

7. Menikahkan dengan Calon Suami/Istri yang Baik


Kewajiban orang tua terhadap anak lainnya adalah wajib untuk orang tua
menikahkah anak dengan pasangan yang bertutur sikap baik.
Sebagaimana firman-Nya, “Kawinkanlah anak-anak kamu (yang belum kawin)
dan orang-orang yang sudah waktunya kawin dari hamba-hambamu yang laki-
laki ataupun yang perempuan. Jika mereka itu orang-orang yang tidak mampu,
maka Allah akan memberikan kekayaan kepada mereka dari anugerah-Nya.”
(QS. An-Nur: 32).

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun menganjurkan memilih istri yang baik


agamanya. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َ ‫ َتر َب ْت َي‬،‫الدين‬ ْ
ّ ‫فاظ َف ْر بذات‬ َ ‫ الها ول َح َسبها‬:‫ألر َبع‬
ْ ُ ‫ُ ْ َ ُ َ ْ َأ‬
‫داك‬ ِ ِ ِ ِ ،‫ها‬ ‫ين‬ ‫د‬ ‫ول‬
ِ ِِ ِ ‫ها‬ ‫مال‬‫وج‬ ِ ِ ِ ‫ٍ مِل‬ ‫ة‬ ‫تنكح املر‬
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena
kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih
wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu
akan merugi.” (HR. Bukhari no.5090, Muslim no.1466).

Dari Abu Hatim Al Muzanni radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam juga bersabda,
‫األرض وفسا ٌد‬
ِ ‫ إاَّل تفعلوا تَكن فتنةٌ في‬، ُ‫ضونَ دينَه و ُخلقَه فأن ِكحوه‬
َ ‫إذا جا َءكم َمن تر‬
“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya,
maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka
bumi” (HR. Tirmidzi no.1085. Al Albani berkata dalam Shahih At Tirmidzi bahwa
hadits ini hasan lighairihi)
MATERI 38
Romantika Rasulullah Jilid 1

Rumah tangga yang bahagia dan harmonis merupakan idaman bagi setiap mukmin.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi teladan kepada kita,
mengenai cara membina keharmonisan rumah tangga. Sungguh pada diri
Rasulullah itu terdapat teladan yang paling baik. Dan seorang suami harus
menyadari, bahwa dalam rumahnya itu ada pahlawan di balik layar, pembawa
ketenangan dan kesejukan, yakni sang istri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
ُ ُ ‫ْ مْل َ َأ‬ َ ْ
*َّ *‫ا*ل* ُّ*د* ن* َي*ا* َ*م* َت*ا* ٌ*ع* َ*و* *خ* ْي* ُ*ر* َ*م* َت*ا* ِ*ع* ا*ل* ُّ*د* ن* َي*ا* ا* * ْ*ر* *ة* ا*ل‬
*‫ص* ا* ِ*ل* َ*ح* *ة‬
Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah
Berikut beberapa bentuk keromantisan Nabi Muhammad SAW terhadap istri-
istrinya:
1. Memberikan Panggilan Khusus
Salah satu contoh suasana harmonis dalam rumah tangga Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ialah Beliau memanggil ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha dengan
panggilan kesayangan dan mengabarkan kepadanya berita yang membuat jiwa
‘Asiyah menjadi sangat bahagia.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha bercerita sebagai berikut, pada suatu hari
Rasulullah berkata kepadanya.
َ ‫ُئ‬ َ ُ َ َ
*‫* َ*ه* *ذ*ا* ِ*ج* ْب* ِ*ر* ْي* ُ*ل* ُي* ْ*ق* ِ*ر* ِ*ك* ا*ل* َّ*س* ال* َ*م‬,*‫ش‬
* ‫ي*ا* *ع*ا*ِئ‬
Wahai ‘Aisy (panggilan kesayangan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha), Malaikat
Jibril tadi menyampaikan salam buatmu. [Muttafaqun ‘alaihi]
Aisyah Radhiallahu ‘Anha menuturkan:
َ َّ َّ َ َّ َّ ُ ُ َ ‫َ ْ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ ُ َأ ْ َ ُ َ َأ َ َ ٌ ُ َّ ُأ‬
*‫ص* *ل* ى* ا*ل*ل* ُ*ه* َ*ع*ل* ْي* ِ*ه‬
* *‫ض* ث* *م* ن*ا* ِ*و*ل* *ه* ا*ل*ن* ِ*ب* *ي‬ * ‫*ع* *ن* *ع*ا*ِئ *ش* *ة* *ق*ا*ل* *ت* *ك*ن* *ت* *ش* *ر* *ب* *و* ن*ا* *ح*ا*ِئ‬
‫َأ‬
ُ ٌ َ َ َ َ ْ َ ْ ُ َّ َ َ َ ُ َ ْ َ َ َّ ‫َأ‬ َ َ َ َ َ َ َّ َ َ
* ‫ض* ُ*ع* *ف*ا* ُ*ه* َ*ع* *ل*ى* َ*م* ْ*و* ِ*ض* ِ*ع* ِ*ف*ي* *ف*ي* *ش* *ر* *ب* *و* ت*ع* *ر* *ق* ا*ل*ع* *ر* *ق* *و* ن*ا* *ح*ا*ِئ‬
*‫ض* ث* َّ*م‬ * *‫*و* *س*ل* *م* *ف*ي‬
َّ*‫ض* ُ*ع* َ*ف*ا* ُ*ه* َ*ع* َ*ل*ى* َ*م* ْ*و* ِ*ض* *ع* *ف*ي‬ َ* *‫ُأ َن*ا* *و* ُل* ُ*ه* ا*ل* َّن* *ب* َّ*ي‬
َ* *‫ص* َّ*ل* ى* ا*ل* َّل* ُ*ه* َ*ع* َل* ْي* *ه* َ*و* َ*س* َّل* َ*م* َ*ف* َي‬
ِ ِ ِ ِ ِ
Dari Aisyah dia berkata, “Aku minum ketika aku sedang dalam keadaan haid,
kemudian aku memberikannya kepada Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, lalu
beliau meletakkan mulutnya pada tempat mulutku (ketika minum) ” [HR
Muslim]
2. Menempelkan mulut pada bekas minum dan makan
Diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha bahwa ia berkata:
َ َ ُ ً ‫َأ‬ َ َّ َ َّ َّ َ َّ َّ َّ ‫َ ْ َ َ َ َأ‬
*‫ص* *ل* ى* ا*ل*ل* ُ*ه* َ*ع*ل* ْي* ِ*ه* َ*و* َ*س*ل* َ*م* *ق* َّب* َ*ل* ا* ْ*م* َ*ر* *ة* ِ*م* ْ*ن* ِن* َ*س*ا*ِئ ِ*ه* ث* َّ*م* *خ* َ*ر* َ*ج* ِإ ل*ى‬
* *‫*ع* *ن* *ع*ا*ِئ *ش* *ة* *ن* ا*ل*ن* ِ*ب* *ي‬
‫َّ اَل َ َ ْ َ َ َ َّ ْأ‬
*‫ض‬* *‫ص* ِ*ة* *و*ل* *م* ي*ت* *و‬
* *‫ا*ل‬
Dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencium
salah seorang istri beliau, kemudian beliau keluar untuk shalat, sedangkan
beliau tidak berwudhu lagi. [HR Abu Dawud dan Tirmidzi]
3. Mandi Bersama
Aisyah Radhiallahu ‘anha bercerita:
َ َ ْ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ ُ ُ َ َ َ ‫ُ ْ ُ َأ ْ َ ُ َأ‬
*‫ص* *ل* ى* ا*ل*ل* *ه* *ع*ل*ي* ِ*ه* *و* *س*ل* *م* ِ*م* *ن* ِإ ن*ا* ٍ*ء* *و*ا* ِ*ح* ٍ*د‬
* *‫*ك*ن* *ت* *غ*ت* ِ*س* *ل* ن*ا* *و* *ر* *س*و* *ل* ا*ل*ل* ِ*ه‬
Aku dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi bersama dalam satu
bejana. [HR Bukhari].
4. Tidur dipangkuan istri
Sayyidah Aisyar RA meriwayatkan:
ٌ ‫ض ُع َرْأ َس ُه في ِح ْجري َف َي ْق َرُأ َوَأ َنا َحاِئ‬
‫ض‬ َ ‫الل ُه َع َل ْيه َو َس َّل َم َي‬
ِ
َّ َّ َ َّ ُ ُ َ َ َ
‫كان رسول الل ِه صلى‬
ِ ِ
Artinya, “Dahulu Rasulullah SAW meletakkan kepalanya di pangkuanku kemudian
membaca (Al-Qurán) sedangkan aku dalam keadaan haid.” (HR Abu Dawud [nomor
227], Bukhari [nomor 288], Muslim [nomor 454], Ahmad [nomor 24442], dan Ibnu
Majah [nomor 626]).
5. Menyisir rambut Rasulullah
Sayyidah Aisyah r.a. berkata:
ٌ ‫الل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َوَأ َنا َحاِئ‬
‫ض‬
َّ َّ َ َّ
‫ول الل ِه صلى‬ ُ َ َ ‫ُ ْ ُ ُأ َ ّ ُ َ ْأ‬
ِ ‫كنت ر ِجل ر س رس‬
Artinya, “Dahulu aku menyisir rambut Rasulullah SAW sedangkan aku dalam
keadaan haid.” (HR Bukhari [nomor 286] dan Muslim [nomor 710]).
6. Menenangkan Amarah Istri dengan Cara Unik
Ibnus Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah [nomor 454] meriyawatkan dari
Sayyidah Aisyah RA:
‫ اللهم‬: *‫ يا عويش قولي‬: ‫كان إذا غضبت عائشة عرك النبي صلى هللا عليه وسلم بأنفها وقال‬
‫ وأجرني من مضالت الفتن‬، ‫ وأذهب غيظ قلبي‬، ‫رب محمد اغفر لي ذنبي‬
Artinya, “Ketika Aisyah marah, maka Nabi SAW mencubit hidungnya dan berkata,
“Wahai ‘Uwaisy (panggilan kecil Aisyah), katakanlah, ‘Ya Allah, Tuhan Muhammad,
ampunilah dosaku, hilangkanlah kemarahan di hatiku dan selamatkanlah aku dari
fitnah yang menyesatkan.”
MATERI 39
Romantika Rasulullah Jilid 2

Berikut ini beberapa kisah yang menunjukkan tawadhu’nya Rasulullah shalallahu ‘alaihi


wa sallam di hadapan istri-istrinya:
1. Dari Anas bin Malik ia berkisah, “Suatu saat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di
tempat salah seorang istrinya maka istrinya yang lain mengirim sepiring makanan.
Maka istrinya yang sedang bersamanya ini memukul tangan pembantu sehingga
jatuhlah piring dan pecah sehingga makanan berhamburan. Lalu Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring tersebut dan mengumpulkan
makanan yang tadinya di piring, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ibu
kalian cemburu…”

Perhatikanlah, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak marah akibat


perbuatan istrinya yang menyebabkan pecahnya piring. Nabi tidak mengatakan,
“Lihatlah! makanan berhamburan!!, ayo kumpul makanan yang berhamburan ini!. ini
adalah perbuatan mubadzir!” Akan tetapi ia mendiamkan hal tersebut dan
membereskan bahkan dengan rendah hati nabi langsung mengumpulkan pecahan
piring dan mengumpulkan makanan yang berhamburan, padahal di sampingnya ada
seorang pembantu.

Tidak cukup sampai di situ saja, nabi juga memberi alasan untuk membela sikap
istrinya tersebut agar tidak dicela. Nabi mengatakan, “Ibu kalian sedang cemburu.”

Ibnu Hajar mengatakan, “Perkataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, ‘ibu kalian


cemburu’ adalah udzur dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam agar apa yang
dilakukan istrinya tersebut tidak dicela. Rasulullah memaklumi bahwa sikap tersebut
biasa terjadi di antara seorang istri dengan madunya karena cemburu. Rasa cemburu
itu memang merupakan tabiat yang terdapat dalam diri (wanita) yang tidak mungkin
untuk ditolak.”

Ibnu Hajar juga mengatakan, “Mereka (para pensyarah hadis ini) mengatakan,
bahwasanya pada hadis ini ada isyarat untuk tidak menghukum wanita yang cemburu
karena sikap kekeliruan yang timbul darinya. Karena tatkala cemburu, akalnya
tertutup akibat kemarahan yang dikobarkan oleh rasa cemburu. Abu Ya’la mencatat
sebuah hadis dengan sanad yang hasan dari Aisyah secara marfu’

“Wanita yang cemburu tidak bisa membedakan bagian bawah lembah dan bagian
atasnya.”

Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadis dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,


“Allah menetapkan rasa cemburu pada para wanita, maka barangsiapa yang sabar
terhadap mereka, maka baginya pahala orang mati syahid.” Hadis ini diriwayatkan
oleh Al-Bazar dan ia mengisyaratkan akan sahihnya hadis ini. Para perawinya tsiqoh
(terpercaya) hanya saja para ulama memperselisihkan kredibilitas seorang perawi
yang bernama Ubaid bin AS-Sobbah.

2. Dari Anas bin Malik, “Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Khaibar, tatkala


Allah mengilhamkan rasa tenang dalam jiwanya untuk menaklukkan benteng Khaibar,
sampai sebuah kabar kepada beliau tentang kecantikan Shafiah bin Huyai bin Akhthab
dan suami Shafiah pada saat itu telah tewas dengan usia pernikahan mereka yang
masih dini. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun meminangnya untuk menjadi
istrinya. Kemudian beliau mengadakan perjalanan pulang menuju Madinah.” Anas
melanjutkan, “Aku melihat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan
kelambu di atas unta untuk Shafiah lalu beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam duduk di
dekat unta lalu meletakkan lutut, lalu Shafiah menginjakkan kakinya di atas lutut
beliau untuk naik di atas unta.”
3. Aisyah mengatakan, “Orang-orang Habasyah masuk ke dalam masjid untuk bermain
(latihan berpedang), maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepadaku ‘wahai khumaira (panggilan sayang untuk Aisyah), apakah engkau ingin
meihat mereka?’, aku menjawab, ‘iya’. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu berdiri
di pintu, lalu aku mendatanginya dan aku letakkan daguku di atas pundaknya
kemudian aku sandarkan wajahku di pipinya. (setelah agak lama) Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, ‘sudah cukup (engkau melihat mereka
bermain)’, aku menjawab, ‘wahai Rasulullah, jangan terburu-buru’, lalu beliau (tetap)
berdiri untukku agar aku bisa terus melihat mereka. Kemudian ia bertanya lagi, ‘sudah
cukup’, aku pun menjawab, ‘wahai Rasulullah, jangan terburu-buru’. Aisyah berkata,
‘Sebenarnya aku tidak ingin terus melihat mereka bermain, akan tetapi aku ingin para
wanita tahu bagaimana kedudukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di sisiku
dan kedudukanku di sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam”
4. “Kami keluar bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pada saat safar beliau
(untuk melawan kaum Yahudi kabilah bani Mushthaliq), hingga tatkala kami sampai
di Al-Baidaa di Dzatulijaisy kalung milikku terputus maka Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam pun berhenti untuk mencari kalung tersebut. Orang-orang yang
bersamanya pun ikut berhenti mencari kalung tersebut, padahal mereka tatkala itu
tidak dalam keadaan bersuci. Maka orang-orang pun pada berdatangan menemui Abu
bakar Ash-Shiddiq dan berkata, ‘Tidakkah engkau lihat apa yang telah diperbuat
Aisyah? Ia menyebabkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang
berhenti padahal mereka tidak dalam keadaan suci (tidak dalam keadaan berwudhu).
Maka Abu Bakar menemuiku dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang
berbaring meletakkan kepalanya di atas pahaku dan beliau telah tertidur. Lalu ia
berkata, ‘engkau telah menyebabkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berhenti
padahal orang-orang dalam keadaan tidak bersuci dan mereka tidak memiliki air’.
Aisyah berkata, ‘Abu bakar mencelaku dan berkata dengan perkataannya lalu ia
memukul pinggangku dengan tangannya. Dan tidaklah mencegahku untuk bergerak
kecuali karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang tidur di atas
pahaku. Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bangun tatkala Shubuh dalam
keadaan tidak bersuci lalu Allah turunkan ayat tentang tayammum. Usaid bin Al-
Hudhair mengatakan, “Ini bukanlah awal barokah kalian wahai keluarga Abu bakar.”
Aisyah berkata, “Lalu kami pun bersiap melanjutkan perjalanan, ternyata kalung itu
berada di bawah unta yang aku naiki tadi.”
MATERI 40
POLIGAMI

Poligami adalah perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri. Bolehnya
melakukan poligami dalam Islam berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
ّ َ ّ ُ َ َ َ َ ْ ُ َ َ َ َ ْ ْ ُ ْ ُ َّ ‫َ ْ ْ ُ ْ َأ‬
َ ‫الن َساء َم ْث َنى َو ُث َال َث َو ُر َب‬
‫اع‬ ِ ‫انكحوا ما طاب لكم ِمن‬
ِ ‫وِإ ن ِخفتم ال تق ِسطوا ِفي اليتامى ف‬
ْ ُ ُ َ َّ َ ْ َ َ ْ ُ ُ َ ْ ْ َ َ َ َ ْ ‫َ ْ ْ ُ ْ َأ َّ َ ْ ُ ْ َ َ َ ً َأ‬
‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
‫فِإ ن ِخفتم ال تع ِدلوا فو ِاحدة و ما ملكت يمانكم ذ ِلك دنى ال تعولوا‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa: 3)

Bolehnya syariat poligami ini juga dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam dan perbuatan para sahabat sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Berikut kami sebutkan beberapa hikmah poligami sebagai berikut:
1. Poligami adalah syariat yang Allah pilihkan pada umat Islam untuk kemaslahatan
mereka. Karena jumlah kaum pria lebih sedikit dibandingkan kaum wanita.

2. Seorang wanita terkadang mengalami sakit, haid dan nifas. Sedangkan seorang lelaki
selalu siap untuk menjadi penyebab bertambahnya umat ini. Dengan adanya syariat
poligami ini, tentunya manfaat ini tidak akan hilang sia-sia. (Syaikh Muhammad Asy
Syanqithi dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami’ Ahkamin Nisaa 3/443-
3445).

3. Jumlah lelaki yang lebih sedikit dibanding wanita dan lelaki lebih banyak menghadapi
sebab kematian dalam hidupnya. Jika tidak ada syariat poligami sehingga seorang
lelaki hanya diizinkan menikahi seorang wanita maka akan banyak wanita yang tidak
mendapatkan suami sehingga dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kotor dan
berpaling dari petunjuk Al Quran dan Sunnah. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi
dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami’ Ahkamin Nisaa 3/443-3445).

4. Secara umum, seluruh wanita siap menikah sedangkan lelaki banyak yang belum siap
menikah karena kefakirannya sehingga lelaki yang siap menikah lebih sedikit
dibandingkan dengan wanita. (Sahih Fiqih Sunnah 3/217).

5. Syariat poligami dapat mengangkat derajat seorang wanita yang ditinggal atau dicerai
oleh suaminya dan ia tidak memiliki seorang pun keluarga yang dapat
menanggungnya sehingga dengan poligami, ada yang bertanggung jawab atas
kebutuhannya. Kami tambahkan, betapa banyak manfaat ini telah dirasakan bagi
pasangan yang berpoligami, Alhamdulillah.

6. Poligami merupakan cara efektif menundukkan pandangan, memelihara kehormatan


dan memperbanyak keturunan. Kami tambahkan, betapa telah terbaliknya pandangan
banyk orang sekarang ini, banyak wanita yang lebih rela suaminya berbuat zina dari
pada berpoligami, Laa haula wa laa quwwata illa billah.

7. Menjaga kaum laki-laki dan wanita dari berbagai keburukan dan penyimpangan.

8. Memperbanyak jumlah kaum muslimin sehingga memiliki sumbar daya manusia yang
cukup untuk menghadapi musuh-musuhnya dengan berjihad. Kami tambahkan, kaum
muslimin dicekoki oleh program Keluarga Berencana atau yang semisalnya agar
jumlah mereka semakin sedikit, sementara jika kita melihat banyak orang-orang kafir
yang justru memperbanyak jumlah keturunan mereka. Wallahul musta’an.

Demikian pula, poligami ini bukanlah sebuah syariat yang bisa dilakukan dengan main
pukul rata oleh semua orang. Ketika hendak berpoligami, seorang muslim hendaknya
mengintropeksi dirinya, apakah dia mampu melakukannya atau tidak? Sebagian orang
menolak syariat poligami dengan alasan beberapa kasus yang terjadi di masyarakat yang
ternyata gagal dalam berpoligami. Ini adalah sebuah alasan yang keliru untuk menolak
syariat poligami. Dampak buruk yang terjadi dalam sebuah pelaksanaan syariat karena
kesalahan individu yang menjalankan syariat tersebut tidaklah bisa menjadi alasan untuk
menolak syariat tersebut. Apakah dengan adanya kesalahan orang dalam menerapkan
syariat jihad dengan memerangi orang yang tidak seharusnya dia perangi dapat menjadi
alasan untuk menolak syariat jihad? Apakah dengan terjadinya beberapa kasus di mana
seseorang yang sudah berulang kali melaksanakan ibadah haji, namun ternyata tidak ada
perubahan dalam prilaku dan kehidupan agamanya menjadi lebih baik dapat menjadi
alasan untuk menolak syariat haji? Demikian juga dengan poligami ini. Terkadang juga
banyak di antara penolak syariat poligami yang menutup mata atau berpura-pura tidak
tahu bahwa banyak praktek poligami yang dilakukan dan berhasil. Dari mulai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, para ulama di zaman dahulu dan
sekarang, bahkan banyak kaum muslimin yang sudah menjalankannya di negara kita dan
berhasil.

Sebagaimana syariat lainnya, dalam menjalankan poligami ini, ada syarat-syarat yang
harus dimiliki oleh seseorang sebelum melangkah untuk melakukannya. Ada dua syarat
bagi seseorang untuk melakukan poligami yaitu (kami ringkas dari tulisan Ustadz Abu
Ismail Muslim Al Atsari dalam majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H):
1. Berlaku adil pada istri dalam pembagian giliran dan nafkah. Dan tidak
dipersyaratkan untuk berlaku adil dalam masalah kecintaan. Karena hal ini adalah
perkara hati yang berada di luar batas kemampuan manusia.
2. Mampu untuk melakukan poligami yaitu: pertama, mampu untuk memberikan
nafkah sesuai dengan kemampuan, misalnya jika seorang lelaki makan telur, maka ia
juga mampu memberi makan telur pada istri-istrinya. Kedua, kemampuan untuk
memberi kebutuhan biologis pada istri-istrinya.

Adapun adab dalam berpoligami bagi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut:
1. Berpoligami tidak boleh menjadikan seorang lelaki lalai dalam ketaatan pada Allah.
2. Orang yang berpoligami tidak boleh beristri lebih dari empat dalam satu waktu.
3. Jika seorang lelaki menikahi istri ke lima dan dia mengetahui bahwa hal tersebut
tidak boleh, maka dia dirajam. Sedangkan jika dia tidak mengetahui, maka dia
terkena hukum dera.
4. Tidak boleh memperistri dua orang wanita bersaudara (kakak beradik) dalam satu
waktu.
5. Tidak boleh memperistri seorang wanita dengan bibinya dalam satu waktu.
6. Walimah dan mahar boleh berbeda diantara para istri.
7. Jika seorang pria menikah dengan gadis, maka dia tinggal bersamanya selama tujuh
hari. Jika yang dinikahi janda, maka dia tinggal bersamanya selama 3 hari. Setelah
itu melakukan giliran yang sama terhadap istri lainnya.
8. Wanita yang dipinang oleh seorang pria yang beristri tidak boleh mensyaratkan lelaki
itu untuk menceraikan istri sebelumnya (madunya).
9. Suami wajib berlaku adil dalam memberi waktu giliran bagi istri-istrinya.
10. Suami tidak boleh berjima’ dengan istri yang bukan gilirannya kecuali atas seizin dan
ridha istri yang sedang mendapatkan giliran.
MATERI 41
Hukum Liwath

Kaum Luth disiksa dengan amat pedih karena tingkah laku mereka yang amat jelek yaitu
melakukan perbuatan liwath. Yang dimaksud dengan liwath di sini adalah melakukan
homoseks antar sesama lelaki dengan cara sodomi yaitu memasukkan kemaluan di dubur.
Perbuatan ini disebut liwath karena disamakan dengan perbuatan kaum Luth, berasal dari
akar kata yang sama. Jadi secara istilah yang dimaksud liwath adalah memasukkan ujung
kemaluan laki-laki ke dubur laki-laki.

Celaan Terhadap Perbuatan Kaum Luth


Dalam Al Qur’an Al Karim, Allah Ta’ala telah mencela perbuatan liwath yang dilakukan
oleh kaum Luth. Allah Ta’ala berfirman,
ُ ‫ْ مَل‬ ‫َأ‬ ُ َ َ َ ْ َ ُ ‫ُ ً ْ َ َ َ ْ َأ َ ْأ‬
‫) ِإ َّنك ْم‬80( ‫ون ال َف ِاحش *ة َ *م ا َس * َبقك ْم ِب َ *ه ا ِم ْن َ *ح ٍد ِم َن ال َ *ع*ا ِ َين‬ ‫لوط**ا ِإ ذ *ق ال ِلقو ِ *م ِه ت* ت‬
‫َأ‬
َ ‫الن َساء َب ْل ْن ُت ْم َق ْو ٌم ُم ْسر ُف‬
ّ ُ ‫ال َش ْه َو ًة م ْن‬
َ َ ‫الر‬ ّ َ ‫َل َتْأ ُت‬
)81( ‫ون‬ ِ ِ ِ ِ ‫ون‬ ‫د‬ ِ ‫ج‬ ِ ‫ون‬
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata
kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum
pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu
mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita,
malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 80-81)
ْ ‫َأ‬ ُ ‫َأ‬ ُ َُ ََ َ ‫َأ َ *ت ْأ ُت‬
َ ‫) َو َ*ت َ*ذ ُر‬165( ‫ون ال* ُّ*ذ ْك َر َان م َن ْال َ*ع*امَل َين‬
‫ون َ *م ا خ *ل َ*ق لك ْم َر ُّبك ْم ِم ْن ْز َو ِاجك ْم َ*ب ْ*ل ن ُت ْم‬ ِ ِ
)166( ‫ون‬ َ ‫َق ْو ٌم َع ُاد‬
“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-
isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang
melampaui batas”.  (QS. Asy Syu’aro: 165-166)
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ َ َ َ ْ ٌ ْ
ٍ ‫َمل ُعون َمن ع ِم َل ع َم َل ق ْو ِم ل‬
‫وط‬
“Sungguh dilaknat orang yang melakukan perbuatan (liwath) seperti yang dilakukan
kaum Luth.” (HR. Ahmad 1/309, sanad hadits ini jayyid kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Juga dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,
َ ‫اع َل َوامْل َ ْف ُع‬
‫ول ِب ِه‬ َ ْ ُُ ْ َ
ِ ‫وط فاقتلوا الف‬
ُ َ َ َ ُ ُْ َ َ ْ
ٍ ‫َمن وجدت ُموه ي ْع َم ُل ع َم َل ق ْو ِم ل‬
“Barangsiapa mendapati orang yang melakukan perbuatan seperti yang dilakukan kaum
Luth, maka bunuhlah orang yang melakukan sodomi dan disodomi.” (HR. Ibnu Majah
no. 2561, hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani)

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau menyebut
orang yang melakukan perbuatan seperti perbuatan liwath yang dilakukan oleh kaum
Luth,
ُ ‫ْار ُج ُموا اَأل ْع َلى َواَأل ْس َف َل ْار ُج ُم‬
ً ‫وه َما َجم‬
‫يعا‬ ِ
“Rajamlah (lempar dengan batu) bagi yang melakukan sodomi dan disodomi, rajamlah
keduanya.” (HR. Ibnu Majah no. 2562. Hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya
sebagaimana kata Syaikh Al Albani)

Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,
ُ ْ َ ُ َ َ َّ ‫َّ َأ ْ َ َ َ َأ َ ُ َ َ ُأ‬
‫وط‬
ٍ ‫ِإ ن خوف ما خاف على م ِتى عمل قو ِم‬
‫ل‬
“Sesungguhnya perbuatan yang paling kutakuti akan menimpa umatku adalah perbuatan
yang dilakukan oleh kaum Luth.” (HR. Ibnu Majah no. 2563. Hadits ini hasan
sebagaimana kata Syaikh Al Albani)

Hukuman bagi Pelaku Sodomi


Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukuman perbuatan liwath (sodomi) seperti halnya
hukuman zina. Yang telah beristri dihukum rajam dan pelaku selain itu mendapat
hukumann cambuk dan diasingkan.

Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, pelaku liwath terkena hukuman sebagaimana pelaku
zina. Dalam salah satu pendapat ulama Syafi’iyah, pelaku sodomi dibunuh baik ia telah
beristri ataukah belum, dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan di
atas. Ada pula pendapat ulama Syafi’iyah lainnya yang mengatakan bahwa pelakunya
wajib dita’zir (diperingatkan) seperti halnya orang yang bersetubuh dengan hewan
ternak. Inilah hukuman bagi pelaku sodomi. Sedangkan bagi yang disodomi, baik anak
kecil, orang gila, atau yang dipaksa, maka tidak ada hukuman untuk mereka. Jika yang
disodomi sudah mukallaf (sudah dibebani syari’at) baik sudah beristri atau selainnya
(baik laki-laki maupun perempuan), dan perbuatan tersebut dilakukan atas pilihan
sendiri, maka ia dihukum cambuk dan diasingkan. Ada pendapat lain yang mengatakan
bahwa wanita yang telah bersuami dihukum rajam.

Menyetubuhi di Dubur
Barangsiapa yang menyutubuhi istri atau budak perempuannya di duburnya, maka
menurut pendapat dalam madzhab Syafi’i, pelaku dita’zir (diperingatkan) jika perbuatan
tersebut dilakukan berulang kali. Jika perbuatan tersebut tidak berulang, maka tidak ada
ta’zir sebagaimana disebutkan oleh Al Baghowi dan Ar Rowayani. Namun tetap saja
perbuatan tersebut termasuk keharaman.
MATERI 42
Hukum Nikah
Nikah adalah suatu hal yang disunnahkan bagi yang membutuhkannya. Bagi orang yang
merdeka, ia bisa menikahi (mengumpulkan) empat istri. Untuk hamba sahaya, ia bisa
mengumpulkan dua. Dan tidak boleh seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya
wanita kecuali dengan dua syarat:
1. Tidak adanya mahar untuk orang yang merdeka dan
2. Untuk menjaga diri dari zina

Nikah secara bahasa berarti ‘adh dhomm’ atau ‘al jam’i = mengumpulkan. Secara istilah
syar’i, nikah adalah istilah dari akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan syarat.
Nikah sendiri jika dimutlakkan bisa bermakna akad dan bermakna menyetubuhi
(mencampuri) istri. Inilah makna secara bahasa. Al Azhari berkata bahwa asal kata nikah
dalam bahasa Arab adalah al wath’u atau menyetubuhi. Ada pula yang menyebut nikah
untuk akad pernikahan karena akad inilah yang menyebabkan halalnya persetubuhan.
(Lihat Kifayatul Akhyar, 2: 33).
Dalil disyari’atkannya nikah,
‫هللا‬ *
ُ َُ ْ ُ َ َ ْ ُ َ ْ َ
ُ ‫ون* وا ُف َ* *ق َر َآء ُي ْغنه ُم‬ ‫ك‬‫ي‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫آ‬ ‫م‬
* * ‫و‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫*اد‬*‫ب‬‫ع‬ ‫ن‬‫م‬ ‫ين‬‫ح‬‫ال‬ * *‫ص‬َّ ‫ال‬ ‫و‬
ُ
َ ‫نك ْم‬‫م‬ ‫ى‬ َ
‫*ام‬ *‫ي‬َ ‫َوَأ نك ُ* *ح وا ْاَأل‬
ِِ ‫ِإ ِئ ِإ‬ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ
ُ ‫من فضله َو‬
ٌ ‫هللا َو ِاس ٌع َع ِل‬ ْ َ
‫يم‬ ِِ ِ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-
Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur:
32).

Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin
menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan
yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya,
َ َ ْ َّ
‫الن ِاك ُح ال ِذي ُي ِر ُيد ال َعفاف‬
َّ ‫َو‬
“… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An Nasai no. 3218,
At Tirmidzi no. 1655. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin
Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan
Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”.
Rasulullah shallallahu
‫َأ‬ ‘alaihi ‫َأ‬wa sallam bersabda,
ْ َ ْ َ َ َ ْ ُّ َ ُ َّ َ ْ َّ َ َ َ ْ َ َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ َّ َ َ ْ َ َ
‫ص* ُن ِلل َ*ف ْر ِج‬‫اب م ِن استطاع ِمنكم الباءة فليتزوج فِإ نه غض ِللبص ِر و ح‬ ِ ‫يا معشر الشب‬
َ َ َّ ‫َو َم ْن َل ْم َي ْس َت ِط ْع ف َعل ْي ِه ب‬
َ َ
‫الص ْو ِم فِإ َّن ُه ل ُه ِو َج ٌاء‬ ِ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah , maka menikahlah. Karena itu
lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang
belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”
(HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400).
MATERI 43
Faedah Disyariatkan Menikah

1. Menikah akan membuat seseorang lebih merasakan ketenangan.


Coba renungkan ayat berikut,
َ ُ َ ِّ ً َ ْ ‫َ ْ َ َ َأ ْ َ َ َ َ ُ ْ َأ ُ ُ ْ َأ‬
‫اجا لت ْسك ُنوا ِإ ل ْي َها‬ ‫و ِمن ءايا ِت ِه ن خلق لكم ِّمن نف ِسكم زو‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.”
(QS. Ar-Ruum: 21).

 Istri dan anak adalah penyejuk hati. Oleh karena itu, Allah -subhanahu wa ta’ala-
menjanjikan dan mengabarkan bahwa menikah dapat membuat jiwa semakin tentram.

2. Menikah akan membuka pintu rezeki.


Allah Ta’ala berfirman,
ُ ُ
ُ ‫ون وا ُف َ*ق َر َآء ُي ْغنه ُم‬
‫هللا‬
ُ ُ َ ْ َ
* ‫*ادك ْم َوِإ َ*مآِئ ك ْم ِإ ن َيك‬ َّ ‫نك ْم َوال‬ ُ َ ‫َوَأ نك ُ*ح وا ْاَأل َي‬
ِِ ِ ‫ص* ِال ِحين ِمن ِعب‬ ‫*امى ِم‬ ِ
ُ ‫ضله َو‬
ٌ ‫هللا َو ِاس ٌع َع ِل‬
‫يم‬ ْ َ
ِ ِ ‫ِمن ف‬
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS. An-Nuur: 32).

Nikah adalah suatu ketaatan. Dan tidak mungkin Allah membiarkan hamba-Nya
sengsara ketika mereka ingin berbuat kebaikan semisal menikah.
Dari ayat di atas, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
َ ْ
‫ِال َت ِم ُسوا ال ِغ َنى ِفي ال ِّنك ِاح‬
“Carilah kaya (hidup berkecukupan) dengan menikah.”  Diriwayatkan dari Ibnu Jarir.
Imam Al-Baghawi menyatakan pula bahwa ‘Umar menyatakan seperti itu pula.
Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:533.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di
antaranya,
َ ْ َّ
‫الن ِاك ُح ال ِذي ُي ِر ُيد ال َع َفاف‬
َّ ‫َو‬
“… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasa’i, no.
3218, Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Ahmad bin Syu’aib Al-Khurasani An-Nasa’i membawakan hadits tersebut dalam Bab
“Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”.
Dalil lainnya yang menunjukkan menikah itu akan dibukakan pintu rezeki adalah
hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َّ َأ‬ ‫َّ َ َ َ َ ْ َ َ َ ُ ُ َأ‬ ُ ‫ص *ب ُ*ح ْالع َ *ب‬
‫ول َ *ح ُد ُه َما الل ُه َّم ْ *ع ِط ُم ْن ِف ً *ق ا‬ ‫*اد ِفي * ِ*ه ِإ ال مل *ك ِان ي *ن ِ*زال ِن في *ق‬ ْ ُ ْ َ ْ َ
ِ ِ ‫*م ا ِمن *ي*و ٍم ي‬
ََ ً ‫َ َ ً َ َ ُ ُ َ َّ َأ‬
‫ول اآلخ ُر الل ُه َّم ْع ِط ُم ْم ِسكا تل ًفا‬ ‫ ويق‬، ‫خلفا‬
“Ketika hamba berada di setiap pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa, “Ya
Allah berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi nafkah pada
keluarga).” Malaikat yang lain berdoa, “Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi
yang enggan bersedekah (memberi nafkah).” (HR. Bukhari, no. 1442 dan Muslim, no.
1010)

Ibnu Batthal rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah mengeluarkan


infak yang wajib seperti nafkah untuk keluarga dan nafkah untuk menjalin hubungan
kekerabatan (silaturahim).

3. Orang yang menikah berarti menjalankan sunnah para Rasul


Allah Ta’ala berfirman,
ً ُ ً َ ْ ‫َ ْ َ َ َ َ ْ َ َ ُ ْ َأ‬ ً ْ ‫َ َ َأ‬
‫اجا َوذ ِّر َّية‬ ‫َولق ْد ْر َسل َنا ُر ُسال ِمن قب ِلك وجعلنا لهم زو‬
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’du: 38).

Ini menunjukkan bahwa para rasul itu menikah dan memiliki keturunan.
Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ُ ‫اك َوالن َك‬
‫اح‬ ُ ‫الس َو‬ َّ ‫َأ ْر َب ٌع م ْن ُس َنن امْل ُ ْر َسل َين ْال َح َي ُاء َو‬
ِّ ‫الت َع ُّط ُر َو‬
ِّ ِ ِ ِ
“Empat perkara yang termasuk sunnah para rasul, yaitu sifat malu, memakai
wewangian, bersiwak, dan menikah.” (HR. Tirmidzi, no. 1080 dan Ahmad, 5:421.
Hadits ini dha’if sebagaimana kata Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.

Namun makna hadits ini sudah didukung oleh ayat Al-Qur’an yang disebutkan
sebelumnya)

4. Menikah lebih akan menjaga kemaluan dan menundukkan pandangan


Dari ‘Alqamah, ia menyatakan bahwa ia Bersama ‘Abdullah bin Mas’ud di Mina.
Ketika itu ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu menemuinya. Ia pun berdiri dan berbincang-
bincang dengannya, ‘Utsman mengatakan kepadanya, “Wahai Abu ‘Abdirrahman!
Kenapa kamu tidak menikahi gadis, supaya gadis tersebut mengingatkan padamu
tentang masa lalumu?” ‘Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Engkau berkata seperti itu
dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada kami,
َ ‫ص* *ر َوَأ ْح‬
ُ‫ص* *ن‬ َ ‫ض ل ْل َب‬
ُّ َ ‫َ َ ْ َ َ َّ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َّ ْ َ َّ ُ َأ‬
ِ ِ ‫اب م ِن اس* *تطاع ِمنكم الب**اءة فليت**زوج فِإ نه غ‬ ِ ‫ي**ا معش* *ر الش* *ب‬
َ َ َّ ‫ِل ْل َف ْرج َو َم ْن َل ْم َي ْس َت ِط ْع ف َعل ْي ِه ب‬
َ َ
‫الص ْو ِم فِإ َّن ُه ل ُه ِو َج ٌاء‬ ِ ِ
‘Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki ba’ah (kemampuan), maka
menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu
bagai obat pengekang baginya.’ (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400)
5. Menyempurnakan separuh agama
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,  ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ف‬
‫الب ِاقي‬ َ
ْ ‫هللا في الن‬
*ِ ‫ص‬ َّ َ ْ َ ْ ‫ف‬ َ ْ َ َ َّ َ ْ َ َ ُ ْ َ َ َّ َ َ َ
ِّ ِ ‫ فليت ِق‬، ‫الدي ِن‬ِّ ‫ِإ ذا تزوج العبد فقد كمل نص‬
“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya.
Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al-Baihaqi
dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-
Shahihah, no. 625)

6. Hubungan intim dengan pasangan yang sah adalah sedekah


Dalam hadits disebutkan,
ٌ َ َ ْ ُ َ ‫َ ُ ْ َأ‬
‫ص َدقة‬ ‫و ِفى بض ِع ح ِدكم‬
“Dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah.”

َ َ َ َ ْ َ ْ ُ ْ ‫َ ُ َ َ ُ َ َّ َأ َ ْأ َأ َ ُ َ َ ْ َ َ ُ َ َ ُ ُ َ ُ َ َأ ْ ٌ َ َ َأ َ َأ‬
‫قالوا يا رسول الل ِه ي ِتى حدنا شهوته وي *ك ون ل*ه ِف *يه ا *ج ر *ق ال « ر يتم ل*و وض*عها ِفى‬
‫ْ َ َ َ َ َ َأ‬ َ ‫َح َرام َأ َك‬
َ ‫ان َع َل ْيه ف َيها و ْز ٌر َف َك َذل َك َذا َو‬
‫ان ل ُه ْج ٌر‬‫ض َع َها ِفى الحال ِل ك‬ ‫ِ ِإ‬ ِ ِ ِ ٍ
“Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami
memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, ‘Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang
haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal,
ia mendapat pahala.’” (HR. Muslim, no. 2376, dari Abu Dzarr)
MATERI 44
SAKSI NIKAH

Pernikahan hendaklah dihadiri dua orang saksi atau lebih dari kaum laki-laki yang adil
dari kaum Muslimin. Hal itu berdasarkan firman Allah swt,
ُ َ ْ ‫َأ‬
‫َو ش ِه ُدوا ذ َو ْي َع ْد ٍل ِم ْنك ْم‬
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (Ath-Thalaq)

Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah menjelaskan, Syarat untuk saksi nikah:


1. Berakal
2. baligh,
3. Bisa mendengar ucapan orang yang melakukan akad
4. Memahami maksud dari ucapan akad nikah.

Karena itu, jika yang menajdi saksi nikah adalah anak kecil, orang gila, orang tuli, atau
orang mabuk, maka nikahnya tidak sah. Karena keberadaan mereka di tempat akad nikah
tidak teranggap.

Apakah disyaratkan harus Adil?


Yang dimaksud muslim yang adil adalah muslim yang menjalankan kewajiban dan tidak
melakukan dosa besar atau kebohongan.

Pertama, Hanafiyah berpendapat bahwa sifat adil untuk saksi, bukan syarat. Pernikahan
hukumnya sah, meskipun dengan saksi dua orang fasik. Setiap orang yang layak menjadi
wali nikah, maka dia layak menjadi saksi. Karena maksud utama adanya saksi adalah
pengumuman adanya pernikahan.

Kedua, Syafi’iyah dan mayoritas ulama berpendapat bahwa saksi dalam urusan manusia
harus adil. Berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ال نكاح إال بولي وشاهدي عدل‬
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali (wanita) dan dua saksi yang adil.” (HR. At-
Thabrani dalam al-Ausath, Ad-Daruquhni, dan dishahihkan al-Albani).
Selanjutnya Sayid Sabiq menyimpulkan,

Pendapat Hanafiyah lebih kuat. Karena pernikahan berlangsung di masyarakat, di desa,


kampung, sementara tidak diketahui status keadilan mereka. Tidak ada jaminan mereka
telah lepas dari dosa besar. Sehingga, mempersyaratkan saksi nikah harus orang yang
adil, akan sangat memberatkan. Karena itu, cukup dengan melihat penilaian umum pada
saksi, tanpa harus mengetahui detail apakah dia pernah melakukan dosa besar atau tidak.

Kemudian, jika ternyata setelah akad diketahui bahwa ternyata saksi adalah orang fasik,
ini tidak mempengaruhi keabsahan akad. Karena penilaian sifat adil dilihat pada
keumuman sikapnya, bahwa dirinya bukan orang fasik. Meskipun setelah itu diketahui
dia melakukan dosa besar (Fiqhus Sunnah, 2:58).
Penjelasan Syaikhul Islam
Lain dari penjelasan beliau, Syaikhul Islam menjelaskan bahwa kriteria adil dalam
masalah saksi, kembali pada standar yang ada di masyarakat. Artinya jika seseorang itu
masih dianggap sebagai orang baik-baik di mata masyarakatnya, maka dia layak untuk
menjadi saksi, kerena telah memenuhi kriteria adil di masyarakat tersebut, meskipun bisa
jadi dia pernah melakukan transaksi riba atau melakukan ghibah. Ini berdasarkan firman
Allah :
َ ‫ونا َر ُج َل ْين َف َر ُج ٌل َو ْام َرَأ َتان م َّم ْن َت ْر‬
‫ض ْو َن‬
َ َُ َْ ْ َ ْ ُ َ ْ َْ َ ُ ْ َْ َ
‫واستش ِهدوا ش ِهيدي ِن ِمن ِرج ِالكم فِإ ن لم يك‬
ِ ِ ِ
ُّ ‫م َن‬
‫الش َه َد ِاء‬ ِ
“Ambillah saksi dua orang laki-laki. Jika tidak ada dua orang laki-laki maka saksi
dengan seorang laki-laki dan dua orang wanita, yang kalian relakan (untuk menjadi
saksi).” (QS. Al-Baqarah: 282).

Setelah menyebutkan ayat ini, Syaikhul islam mengatakan:


َ َ ‫اَل‬ ً ‫وه َشه‬ َّ ‫َي ْق َتضي َأ َّن ُه ُي ْق َب ُل في‬
ُ ‫الش َه َادة َع َلى ُح ُقوق اآْل َدمي َين َم ْن َر‬
‫يدا َب ْي َن ُه ْم َو ُي ْنظ ُر إلى‬ ِ
ُ ‫ض‬
ِّ ِ ِ ِ ِ ِ
َْ َ ُ ُ َ َ ‫َ َ َ َ َ َ ُ ُ َ ْ ُ اًل َ َ ْ ْ َ ْئ‬
‫عدال ِت ِه كما يكون مقبو علي ِهم ِفيما ا تمنوه علي ِه‬
“Ayat ini menunjukkan bahwa diterima persaksian dalam masalah hak anak Adam dari
orang yang mereka ridhai untuk menjadi saksi dalam interaksi diantara mereka, dan tidak
harus melihat sifat adilnya. Mereka menerima urusan yang diamanahkan di antara sesama
mereka.”
Selanjutnya beliau memberikan alasan,
َ َ َ ْ َ ْ َ ِّ ُ ُ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ِّ ُ ُ ْ َ ْ َ
‫ان ذا‬ ‫والعدل ِفي كل زم ٍان ومك ٍان وطاِئ ف ٍة ِبحس ِبها فيكون الش ِاهد ِفي كل قو ٍم من ك‬
ُْ ُ ْ ُ ْ ُ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ُ ُ ْ َ َ َ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ
‫ و ِبهذا يم ِكن الحكم‬.‫َع ْد ٍل ِف ِيهم وِإ ن كان لو كان ِفي غي ِر ِهم لكان عدله على وج ٍه آخر‬
َ ُ ُ َ ْ َ ‫َ ْ َ َّ َ اَّل َ َ ْ ُ ْ ُ َ ُ ُ ُ ِّ َ َ َأ ْ اَل َ ْ َ َ َ َ ْ ْ اَّل‬
‫ون قاِئ ًما‬ ‫ود كل طاِئ ف ٍة ن يشهد علي ِهم إ من يك‬ ِ ‫اس وِإ فلو اعت ِب *ر ِفي شه‬ ِ ‫بيَأن الن‬
‫َأ‬
َ َ ْ ُّ ُ ُ َ َّ ْ َ َ َ َ ُ َ َ َّ َ َ َ َ ِ ‫ات َو َت ْر ِك امْل ُ َح َّر َم‬ ْ َ
‫ات كما كان الصحابة لبطلت الش َهادات كل َها و غ ِال ُبها‬ ِ ‫ ِب د ِاء ال َو ِاج َب‬.
“Kriteria adil dalam setiap waktu, tempat, dan masyarakat berbeda-beda sesuai dengan
keadaan mereka. Karena itu, saksi dalam setiap masyarakat adalah orang yang
dianggap baik di tengah mereka. Meskipun andaikan di tempat lain, kriteria adil
berbeda lagi. Dengan keterangan ini, memungkinkan untuk ditegakkan hukum di tengah
masyarakat. Karena jika yang boleh menjadi saksi dalam setiap masyarakat hanyalah
orang yang melakukan semua kewajiban syariat dan menjauhi semua yang haram,
sebagaimana yang dulu ada di zaman sahabat, tentu syariat persaksian dalam setiap
kasus tidak akan berjalan, semuanya atau umumnya.” (al-Fatawa al-Kubro, 5:574)
Materi 45
Mahrom

Mungkin di antara kita ada yang tidak mengetahui apa itu mahrom dan siapa saja yang
termasuk mahromnya. Padahal mahrom ini berkaitan dengan banyak masalah. Seperti
tidak bolehnya wanita bepergian jauh (bersafar) kecuali dengan mahromnya. Tidak boleh
seorang laki-laki dengan wanita berduaan kecuali dengan mahromnya. Wanita dan pria
tidak boleh jabat tangan kecuali itu mahromnya. Dan masih banyak masalah lainnya.

Yang dimaksud mahrom adalah wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki. Mengenai
mahrom ini telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
ً َ َ َ َ ُ َّ َ َ َ ْ َ َ ‫َ اَل َ ْ ُ َ َ َ َ َآ َ ُؤ ُ ْ َ ّ َ اَّل‬
‫ان ف ِاحش *ة َو َم ْق ً*ت*ا َو َس * َاء‬ ‫النس * ِاء *م ا *ق د س *لف نه *ك‬ ِ ‫و تن ِك *ح وا *م ا نكح *ب*ا كم ِمن‬
‫ُ ّ َ ْ َ َ ْ ُ ْ ُأ َّ َ ُ ُ ْ َ َ َ ُِإ ُ ْ َ َأ َ َ ُ ُ ْ َ ِإ َ َّ ُ ُ ْ َ َ اَل ُ ُ ْ َ َ َ ُ َأْل‬ ‫اًل‬
‫) ح ِرمت عليكم مهاتكم وبناتكم و *خ واتكم وعماتكم و *خ ا تكم وب *ن*ات ا ِخ‬22( ‫َس ِبي‬
ُ
‫ات ِن َس* *اِئ ك ْم‬ ُ *‫اعة َوُأ َّم َ*ه‬ َ َ َّ ‫ض* * ْع َن ُك ْم َوَأ َ*خ* َو ُات ُك ْم م َن‬ َ ‫*ات اُأْل ْخت َوُأ َّم َ*ه* ُات ُك ُم الاَّل تي َأ ْر‬ ُ *‫َو َب َ*ن‬
ِ * *‫الرض‬ ِ ِ ِ
َْ ُ َُ َ َ َْ ‫ُ اَّل‬ ُ ُ ُ ‫َ َ َ ُ ُ ُ اَّل‬
‫ون وا َدخل ُت ْم ِب ِه َّن‬ * ‫ورك ْم ِم ْن ِن َس*اِئ ك ُم ال ِتي َدخل ُت ْم ِب ِه َّن *ف ِإ ْن ل ْم تك‬ ِ ‫ج‬* ‫ح‬ ‫ي‬ ‫ف‬ِ ِ ‫ور *ب اِئ بكم ال‬
‫ي‬ ‫ت‬
‫اَّل‬ ْ ‫ُأْل‬ َ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ُ ‫َ اَل ُ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ اَل ُ ْ َ ُ ُ َّ َ ْ ْ اَل‬
‫ص * ِبك ْم َو ْن ت ْج َم ُع* وا َب ْي َن ا خ َت ْي ِن ِإ َ *م ا‬ ‫ف ج *ن*اح عليكم وح ِئ ل بن* اِئ كم ال ِذين ِمن‬
ُُ ‫َأ‬ ََ ‫اَّل‬ ّ َ ُ َ َ ْ ُ ‫َ مْل‬ ً ‫ان َغ ُف‬َ ‫الل َه َك‬َّ َّ َ َ َ ْ َ
‫الن َس ِاء ِإ َ*م ا َملك ْت ْي َ*م انك ْم‬ ِ ‫) وا حصنات ِمن‬23( ‫ورا َر ِح ًيما‬ ‫قد سلف ِإ ن‬
َ ُ ‫َأ‬ ُ َ ‫َأ‬ ُ َ ُ َ ‫ُأ‬ ُ َ َّ َ َ
‫*اب الل ِه َعل ْيك ْم َو ِ *ح* * َّل لك ْم َ *م * * ا َو َر َاء ذ ِلك ْم ْن ت ْب َت *غ * **وا ِب* * * ْم َو ِالك ْم ُم ْح ِص * * * ِن َ*ين غ ْي* * * َ*ر‬ * * ‫ِك *ت‬
‫ُم َسا ِف ِح َين‬
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah
dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-
ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-
saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-
Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-
isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An Nisa’: 22-24)

Mahrom di sini terbagi menjadi dua macam:


1. Mahrom muabbad, artinya tidak boleh dinikahi selamanya
Mahrom muabbad dibagi menjadi tiga yaitu karena nasab, karena ikatan perkawinan
(mushoharoh), dan karena persusuan (rodho’ah).
a. Mahrom muabbad karena nasab ada tujuh wanita:
1) Ibu (yang termasuk di sini adalah ibu kandungnya, ibu dari ayahnya, dan
neneknya (dari jalan laki-laki atau perempuan) ke atas.
2) Anak perempuan (anak perempuannya, cucu perempuannya dan terus ke
bawah.
3) Saudara perempuan.
4) Bibi dari jalur ayah (‘ammaat) yang dimaksud disini adalah saudara
perempuan dari ayahnya ke atas. Termasuk di dalamnya adalah bibi dari
ayahnya atau bibi dari ibunya.
5) Bibi dari jalur ibu (khollaat) yang dimaksud di sini adalah saudara perempuan
dari ibu ke atas. Termasuk di dalamnya adalah saudara perempuan dari ibu
ayahnya.
6) Anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan (keponakan).
Yang dimaksud di sini adalah anak perempuan dari saudara laki-laki atau
saudara perempuannya, dan ini terus ke bawah.

b. Mahrom muabbad karena ikatan perkawinan (mushoro’ah) ada empat wanita:


1) Istri dari ayah (ibu tiri).
2) Ibu dari istri (ibu mertua). Ibu mertua ini menjadi mahrom selamanya
(muabbad) dengan hanya sekedar akad nikah dengan anaknya (tanpa mesti
anaknya disetubuhi), menurut mayoritas ulama. Yang termasuk di dalamnya
adalah ibu dari ibu mertua dan ibu dari ayah mertua.
3) Anak perempuan dari istri (robibah). Ia bisa jadi mahrom dengan syarat si
laki-laki telah menyetubuhi ibunya. Jika hanya sekedar akad dengan ibunya
namun belum sempat disetubuhi, maka boleh menikahi anak perempuannya
tadi. Yang termasuk mahrom juga adalah anak perempuan dari anak
perempuan dari istri dan anak perempuan dari anak laki-laki dari istri.
4) Istri dari anak laki-laki (menantu). Yang termasuk mahrom juga adalah istri
dari anak persusuan.

c. Mahrom muabbad karena persusuan (rodho’ah):


1) Wanita yang menyusui dan ibunya.
2) Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
3) Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
4) Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak dari
saudara persusuan).
5) Ibu dari suami dari wanita yang menyusui.
6) Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
7) Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari
saudara persusuan).
8) Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
9) Istri lain dari suami dari wanita yang menyesui.
Adapun jumlah persusuan yang menyebabkan mahrom adalah lima persusuan atau lebih.
Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, Ibnu
Hazm, Atho’ dan Thowus. Pendapat ini juga adalah pendapat Aisyah, Ibnu Mas’ud dan
Ibnu Zubair.

2. Mahrom muaqqot, artinya tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan jika
kondisi ini hilang maka menjadi halal.
a. Saudara perempuan dari istri (ipar).
Tidak boleh bagi seorang pria untuk menikahi saudara perempuan dari istrinya
dalam satu waktu berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika istrinya
meninggal dunia atau ditalak oleh si suami, maka setelah itu ia boleh menikahi
saudara perempuan dari istrinya tadi.
b. Bibi (dari jalur ayah atau ibu) dari istri.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ َ َ َ َ ُ ‫َ ُ َ مْل َ َأ‬
‫ال ت ْنك ُح ا ْر ة َعلى َع َّم ِت َها َوال َعلى خال ِت َها‬
“Tidak boleh seorang wanita dimadu dengan bibi (dari ayah atau ibu) -nya.”
(HR. Muslim no. 1408)
Namun jika istri telah dicerai atau meninggal dunia, maka laki-laki tersebut boleh
menikahi bibinya.
c. Istri yang telah bersuami dan istri orang kafir jika ia masuk Islam.
Allah Ta’ala berfirman,
ُ ُ ‫َ َ َأ‬ ‫اَّل‬ ّ َ ُ َ َ ْ ُ ‫َ مْل‬
‫الن َس ِاء ِإ َما َملك ْت ْي َمانك ْم‬
ِ ‫وا حصنات ِمن‬
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-
Nya atas kamu.” (QS. An Nisa’: 24)

Jika seorang wanita masuk Islam dan suaminya masih kafir (ahli kitab atau agama
lainnya), maka keislaman wanita tersebut membuat ia langsung terpisah dengan
suaminya yang kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ُ‫الل ُه َأ ْع َلم‬
َّ َّ ُ ُ َ ْ َ َ َ ُ ُ َ ‫َ َ َ ُ ُ مْل ُْؤ‬
‫ات ف* * امت ِحنوهن‬ ُ َ
ٍ ‫ي* **ا يه* * ا ال ِذين من* * وا ِإ ذا *ج * اءكم ا ِمن* **ات مه* * ِاجر‬
‫َ َأ ُّ َ َّ َ َآ‬
‫َ َّ َ ْ َ ْ ُ ُ ُ َّ ُ ْؤ َ َ اَل َ ْ ُ ُ َّ َ ْ ُ َّ اَل ُ َّ ٌّ َ ُ ْ َ اَل‬
‫*ات ف تر ِجع*وهن ِإ لى الكف ِار هن ِ*ح ل لهم و‬ ٍ ‫بِِإ يم ِان ِهن فِإ ن ع ِلمت *م وهن م ِم *ن‬
َ ُ ُ َْ ْ ْ ُْ َ َ َُ َ ‫َأ‬ َ ‫اَل‬ ْ ‫َأ‬ ُ * * * *‫ون َل ُه َّن َوَآ ُت‬ َ ‫ُه ْم َيح ُّل‬
‫وه َّن ِإ ذا‬ * * ‫*وه ْم َ* *م * * * ا ن َف ُ* *ق * * * وا و جن* * * **اح عليكم ن تن ِك‬
***‫ح‬ ِ
ُ ‫ُأ‬
َ ‫َآ َت ْي ُت ُموه َّن ُج‬
ُ
‫وره َّن‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
d. Wanita yang telah ditalak tiga, maka ia tidak boleh dinikahi oleh suaminya yang
dulu sampai ia menjadi istri dari laki-laki lain.
Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫َف ْن َط َّل َق َها َفاَل َتح ُّل َل ُه م ْن َب ْع ُد َح َّتى َت ْنك َح َز ْو ًجا َغ ْي َر ُه َف ْن َط َّل َق َها َفاَل ُج َن‬
‫اح‬ ‫ِإ‬ ِ ِ ِ ‫ِإ‬
َّ َ ُ ُ َ ُ ْ ‫َ َ ْ َ َأ ْ َ َ َ َ َ ْ َ َّ َأ‬
‫علي ِهما ن يتراجعا ِإ ن ظنا ن ي ِقيما حدود الل ِه‬
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.” (QS. Al Baqarah:
230)

e. Wanita musyrik sampai ia masuk Islam.


Allah Ta’ala berfirman,
ْ‫ات َح َّتى ُيْؤ م َّن َوَأَل َم ٌة ُمْؤ م َن ٌة َخ ْي ٌر م ْن ُم ْشر َك ٍة َو َل ْو َأ ْع َج َب ْت ُكم‬
ِ
َ ْ ُ ‫َ اَل َ ْ ُ مْل‬
‫ك‬ ‫و تن ِكحوا ا ش ِر‬
ِ ِ ِ ِ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al Baqarah: 221)

Yang dikecualikan di sini adalah seorang laki-laki muslim menikahi wanita ahli


kitab. Ini dibolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ُ ُ َ َ َ ْ ُ َ ٌّ َ َ ْ ُ ‫ْ َ ْ َ ُأ َّ َ ُ ُ َّ ّ َ ُ َ َ َ ُ َّ َ ُأ‬
‫*امك ْم ِ *ح ٌّل‬ ‫وت*وا ال ِك *ت*اب ِ *ح ل لكم وط *ع‬ * ‫ال *ي*وم ِ *ح ل لكم الط ِي *ب*ات وط *ع*ام ال ِذين‬
ُ َ َ *‫وت * وا ْالك َ*ت‬ ‫ُأ‬
ُ َ َّ َ ُ َ َ ْ ُ ‫َ مْل‬ َ ‫َل ُه ْم َوامْل ُ ْح َ َ ُ َ مْل ُْؤ‬
‫*اب ِم ْن ق ْب ِلك ْم‬ ِ * ‫ين‬ ‫*ات وا حص* *نات ِمن ال ِذ‬ ِ *‫ص* *نات ِمن ا ِم *ن‬
ْ ‫َأ‬ ‫اَل‬ َ َ ‫وه َّن ُأ ُج‬
ُ ‫َذا َآ َت ْي ُت ُم‬
‫ور ُه َّن ُم ْح ِص ِن َين غ ْي َر ُم َسا ِف ِح َين َو ُم َّت ِخ ِذي* خ َد ٍان‬ ‫ِإ‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula)
bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (QS. Al
Maidah: 5)

Adapun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab atau
laki-laki kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
‫َ اَل‬ ‫َ ْ َ ْ ُ ُ ُ َّ ُ ْؤ َ َ اَل َ ْ ُ ُ َ ْ ُ اَل‬
‫وه َّن ِإ لى الك َّف ِار ُه َّن ِح ٌّل ل ُه ْم َو ُه ْم‬ ‫ات ف تر ِجع‬
ٍ ‫فِإ ن ع ِلمتموهن م ِمن‬
َ َ ُّ َ
‫ون ل ُه َّن‬ ‫ي ِحل‬
“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang
kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu
tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
f. Wanita pezina sampai ia bertaubat dan melakukan istibro’ (pembuktian
kosongnya rahim).
Allah Ta’ala berfirman,
ْ ‫َأ‬ ‫اَّل‬ ‫َّ اَل َ ْ ُ اَّل َ َ ً َأ ْ ُ ْ َ ً َ َّ ُ اَل‬
‫الزا ِن َي* **ة َي ْن ِك ُح َه* * ا ِإ َز ٍان ْو ُمش * * ِر ٌك‬ ‫ال * **زا ِني ين ِكح ِإ زا ِني* **ة و مش * * ِركة و‬
ُ ‫َ مْل‬ َ
‫َو ُح ّ ِر َم ذ ِل َك َعلى ا ْؤ ِم ِن َين‬
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin” (QS. An Nur: 3)

g. Wanita yang sedang ihrom sampai ia tahallul.


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ ْ َ َ َ ُ ‫مْل‬ َ
‫ال َي ْن ِك ُح ا ْح ِر ُم َوال ُي ْنك ُح َوال َيخط ُب‬
“Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikahkan,
dinikahkan dan meminang.” (HR. Muslim no. 1409, dari ‘Utsman bin ‘Affan)

h. Tidak boleh menikahi wanita kelima sedangkan masih memiliki istri yang
keempat.
Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫الن َساء َم ْث َنى َو ُثاَل َث َو ُر َب‬
ّ َ َُ َ َ َ ُ ْ َ
‫اع‬ ِ ِ ‫اب لك ْم ِمن‬ ‫فان ِكحوا ما ط‬
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”
(QS. An Nisa’: 3)

Anda mungkin juga menyukai