Anda di halaman 1dari 7

Cerpen Kehidupan

RAKYAT SECOND CLASS DI INDONESIA

By Erizeli Bandaro

1
Satu waktu Ira mengajak saya ikut tour bersama Peneliti Pembangunan Manusia yang
berafiliasi dengan lembagan penelitian dari Luar negeri. Ira mengenakan celana denim dan
kaus lengan panjang. Tak lupa topi warna putih. Saya tidak suka acara ini. Usia saya tidak muda
lagi. Dulu ketika usia masih 40 tahun. Saya pernah ikut dalam program volanteer kemanusiaan
di China wilayah Barat. Kami tidak melakukan survey dengan tanya jawab seperti petugas
sensus. Itu pasti menyesatkan. Jadi kami tinggal bersama rakyat di desa yang serba bersahaja.
Walau hanya 10 hari kebersamaan dengan mereka. Kami punya bahan lebih cukup untuk
membuat laporan. Pasti valid.

Team ira ada 5 orang. Wanita hanya Ira seorang. “ Tujuan survey kami adalah petani sawit
program transmigrasi di Jambi” Kata Ira saat di pesawat. Ira tahu bahwa saya punya mitra
yang mengelola kebun Sawit lebih dari 10.000 hektar di Sumatera. “Kalau dihitung dengan
luasnya lahan dan besarnya sumber daya alam untuk menjadikan indonesia sebagai
pengahasil sawit nomor 1 dunia, rasanya tidak seimbang dengan rusaknya ekologis dan
hancurnya modal sosial yang ditimbulkan. Nyatanya kita tidak bisa membangun tampa
hutang. Debt trap terjadi. Tanpa hutang APBN tidak bisa ekspansi“ Kata Ira.

Saya tidak mau berdebat. Bagaimanapun ira benar tapi pemerintah juga benar. Hutang itu
soal dilema. Jepang dan Singapore berhutang karena rakyatnya kaya. Agar kelebihan
pendapatan rakyat dapat disalurkan Pemerintah lewat surat utang negara. Denngan begitu
tidak ada sumber daya uang rakyat yang nganggur. Rakyat dapat side income dari sleeping
income lewat surat utang negara. Tapi seperti Indonesia, dan negara Afrika, Amerika Latin,
lainnya, mereka berhutang kepada pasar uang. Sebagian besar rakyat tetap miskin. Surat
utang itu semakin membuat segelintir orang kaya semakin kaya dan menikmati financial
secure. Yang miskin tetap miskin. Ya faktor rasio GINI yang timpang.

Sampai di Bandara Sultan Thaha Saifuddin, Jambi tidak ada yang menyambut. Kami terus ke
Hotel. Malamnya kami diskusi di cafe. Saya lebih banyak mendengar. Mereka semua S3 dari
luar negeri. Tentu mereka lebih terpelajar dan paham. “ Besok pagi kami akan anjangsana ke
Kantor Polda Jambi dan kantor dinas pertanian Pemda untuk kulonuwon. Surat sudah kami
kirim dan izin sudah didapat sebelumnya. Katanya TNI akan siapkan petugas pengawal. “ kata
Ira. Saya mengangguk saja.

2
Tujuan lokasi survey adalah Desa yang ada di Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten
Batanghari. Desa itu memang hidup dari betani Sawit. Mereka tadinya adalah transmigran
yang didatangkan dari Jawa untuk mengurani beban jawa yang semakin padat. Mereka sudah
punya sertifikat lahan yang memang dibagikan untuk mereka bisa sejahteran di tempat yang
baru. “ Di daerah ini banyak terjadi konflik agraria. Jadi hati hati. Karena mata mata pengusaha
kebun ada dimana mana. Mereka berlaku seperti preman“ Kata petugas TNI yang
mendampingi kami.

Kendaraan berhenti di depan rumah yang berukuran tidak lebih 40 meter. Pemilknya orang
jawa. Namanya Pak Maman. Dia bagian dari rombongan transmigrasi program PIR. Tidak perlu
tanya lebih jauh. Dari keadaan rumah dengan perabotan yang cukup bernilai dan motor
hondar metik terpangkir depan rumah. Menurut saya untuk ukuran orang desa, dia termasuk
makmur.

“ Tahun lalu kebun sawit saya digusur untuk bangun parit besar. Saya protes tetapi pengawas
proyek dari perusahaan Kebun Besar Sawit mengatakan itu bukan tanah saya. Tapi milik orang
lain. Dan mereka sudah bayar. “ Kata pak maman dengan raut wajah sedih. “ Padahal tanah
itu saya terima dari pemerintah secara resmi. Itu tanah program tranmigrasi. Sertifikatnya
keluar sejak 2010” Lanjutnya. Kami semua menyimak.

“ Saya tidak berdaya. Mereka berjanji akan membayar ganti rugi. Nyatanya sampai sekarang
tidak ada ganti rugi. Sekarang saya tidak ada uang untuk biayai anak anak sekolah. Untuk
menyambung hidup, saya terpaksa kerja sebagai buruh tebas di perusahaan sawit. Sehari
kerja upahnya Rp. 100.00. Tapi, tidak setiap hari kerja. “ Kata pak maman dengan tatapan
kosong. Maman tidak sendirian. Bersamanya ada 200 KK yang total lahan mereka ada 308
hektar. Lahan usaha 108 hektar dan 200 hektar lahan milik. Sudah banyak aktifis berjuang
membela mereka tapi akhirnya kandas begitu saja.

Keadaan Pak Maman juga terjadi pada petani sawit di kecamatan lainnya. Penyerobotan tanah
kebun sawit petani terus terjadi. Tak sedikit keluarga yang jatuh bangkrut dan kehilangan
sumber pendapatan.Sebenarnya luas lahan usaha mereka tidak cukup untuk makmur apalagi
harga tandan murah. “Bila mengandalkan sawit di rumah hanya ada 335 batang, paling hanya
200 kilogram. Tidak cukup untuk kebutuhan,” kata salah satu penduduk desa. “ kami terpaksa

3
juga jadi buruh kebun sawit “ lanjutnya. Kunjungan itu tidak lama. Team ira lebih memilih
kembali ke Hotel menjelang malam hari.

Di hotel mereka sibuk diskusi tentang keadaan lapangan yang baru saja mereka tinjau. Itu
bukan hanya terjadi di Jambi, tetapi hampir diseluruh wilayah perkebunan sawit. Termasuk di
Kalimantan dan Papua. Saya menyimak saja. Mengapa ini terus terjadi? Tentu kalau ditanya
pemerintah alasannya sangat rumit. Tidak mudah diselesaikan. Tapi sebenarnya kalau hukum
tegak atau law enforcement jalan. tidak ada yang rumit. Keadaan menjadi rumit karena mental
korup dari tingkat daerah maupun pesat. Semua bermain termassk aparat hukum. Selalu yang
menang adalah Pengusaha besar.

Bagaimana bisa rakyat melakukan perlawanan? tanya Ira.

“ Rakyat tidak punya apa apa untuk melawan. Semua sumber daya dikuasai negara.
Seharusnya pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat membela mereka. Bukankah sistem
demokrasi, rakyat mengamahkan nasipnya kepada legislatif, gubernur, bupati dan presiden
yang mereka pilih langsung. Kalau amanah rakyat itu tidak dilaksanakan. Maka itu salah
mereka sendiri mengapa pilih orang brengsek. Begitu logikanya.

Sebenarnya biang persoalan adalah partai yang diharapkan ternyata gagal mencetak
pemimpin yang punya hati. Itu karena kepentingan pemodal ikut terlibat dalam setiap Pilkada,
Pilgub dan Pilpres. Faktanya dari 53 juta hektare pengusahaan lahan yang diberikan
pemerintah, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukan bagi rakyat, tapi 94,8 persen bagi
korporasi“ Kata saya.

“ Aktor politik sebenarnya adalah pengusaha. Di hadapan pengusaha, apapun bisa dibeli. Dari
aparat level terendah sampai atas, dari LSM kelas nyamuk sampai nasional. Dari tokoh kelas
capung sampai tokoh nasional. Dari pedagang sampai makerlar, menikmati uang dengan cara
mengorbankan hak rakyat. Pengusaha itu menghamba kepada cukong asing dan menindas
kepada rakyat miskin” Kata Ira. Saya mengangguk.

“ Mental pengusaha itu bukan hanya culas kepada rakyat, mereka juga culas kepada negara.
Penyeludupan CPO itu sudah berlangsung sejak 15 tahun lalu. Penyebabnya karena disparitas
harga lokal dengan harga ekspor jauh sekali. Pengusaha menghindari DMO dan bayar pajak

4
ekspor. Tidak peduli karena itu kebutuhan dalam negeri kurang untuk bahan baku minyak
goreng. Tidak peduli negara suffering karena devisa hasil ekpor parkir di luar negeri.

Belum lagi dana iuran perusahaan sawit dibawah Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit.
Dari tahun 2015 sampia 2019, terkumpul Rp 43 triliun. Dari dana terkumpul itu sebesar Rp.
38,7 triliun digunakan untuk memenuhi insentif mandatori biodiesel. Petani hanya dapat tak
lebih 2% dari dana terkumpul itu. Padahal petani juga ikut menyumbang sekitar Rp. 150/kg
buah tandan” Kata salah satu team Ira.

“ Semakin lama semakin tersibak. Bahwa kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada rakyat.
Tapi berpihak kepada korporat. Pemutihan atau pengampunan 3,3 juta hektar lahan sawit
yang berada di kawasan hutan, hanya dengan denda dan pajak mereka mendapatkan
pengampunan. Lahan sawit ilegal menjadi legal. Kalau dihitung secara ekonomi dan sosial, itu
tidak sebanding dengan kerugian yang didapat. Ya kerugian akibat praktik kejahatan tersebut
seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran, harus ditanggung oleh rakyat kecil“ Kata salah
satu team Ira.

“ Itu bisa terjadi karena melalui mekanisme Pasal 110A dan 110B Undang-undang (UU) Cipta
Kerja. Dengan beleid ini, perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah
hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan. “ Kata Ira. saya dari tadi hanya
menyimak.

Saya bisa menerima fakta itu. Karena Laporan World Resources Institute dan Global Forest
Review tahun 2002 hingga 2020 menyebutkan, Indonesia masuk ke dalam jajaran empat
negara dengan angka pembabatan hutan tropis terbesar di dunia. Indonesia menduduki
urutan kedua, setelah Brasil dengan angka pembabatan hutan tropis 9,7 juta hektar. Khusus
untuk Sawit mencapai 3,4 juta hektar. Itu sudah diakui pemerintah dengan melegalkannya.

Semoga kedepan pembangunan Indonesia lebih peduli kepada nasip bumi dan manusia.
Sudah cukup memanjakan korporat yang hanya segelintir saja namun rakus itu. Caranya ?
melindungi kepentingan rakyat petani yang selama ini berkonflik dengan korporat.
Menghentikan perizinan baru untuk perkebunan, pertambangan dan sektor pertambangan di
seluruh wilayah yurisdiksi Indonesia. Meningkatkan value chain CPO lewat sistem logistik
terpadu dengan pusat pengolahan donstream secara luas. Membangun ekosistem

5
downstream CPO yang yang bukan hanya untuk usaha besar tetapi juga bisa diakses oleh
UKM.

***

“ ALe, kita korbankan sumber daya alam yang begitu penting untuk anak cucu kita. Itu karena
kita kepepet untuk bayar utang luar negeri yang perlu devisa. Walau neraca perdagangan kita
surplus dengan ekspor SDA meningkat, namun devisa hasil ekspor lebih banyak parkir di luar
negeri. Dan negara terpasa berhutang lagi untuk bayar utang luar negeri. Kan bisa disebut
mereka itu pengkhianat. Mengapa Devisa Hasil ekspor di banyak parkir di luar negeri ? Tanya
ira saat di pesawat menuju jakarta.

" Investor lokal yang kita banggakan dan timang timang seperti bayi itu tak lebih makelar
kodok. Bukan entrepreneur yang punya visi kebangsaan. Hampir semua pengusaha yang
punya konsesi SDA itu menerapkan skema counter trade atau ijon. Mereka menarik pinjaman
luar negeri untuk eksploitasi SDA, yang pembayarannya lewat hasil produksi. Jadi wajar saja,
setiap ekspor hanya dicatat dalam pembukuan tapi tidak masuk ke dalam negeri. Itu devisa
dikuasai oleh lender.

Mereka kadang menggunakan SPC dengan menunjuk lembaga keuangan sebagai S/A ( special
assignee) di luar negeri sebagai lender dengan skema non arbitrase. Artinya jaminannya hasil
SDA itu sendiri. Jadi wajar kalau semua hasil ekspor masuk ke rekening SPC. Pengusaha hanya
catat dalam pembukuan. Bayar pajak. Sejatinya mereka tidak percaya kepada pemerintah,
terutama tidak yakin terhadap stabilitas politik. Kalau chaos terjadi, ya mereka tinggal angkat
koper terbang ke luar negeri. Di luar negeri mereka sudah sangat kaya dan menikmati hidup
dengan damai." Kata saya.

" Di China, kalau terindikasi perusahaan punya rekening di luar negeri tanpa terafiliasi dengan
dalam negeri, maka dianggap korupsi dan hukumannya MATI! Hukum kita yang begini engga
ada. Orang hanya diikat dengan semangat pancasila. Percaya sajalah. Terima sajalah. SDA
ludes, DHE milik orang asing. " Kata Ira. " Eh kalau engga salah kamu juga punya kebun sawit?
Tanya Ira.“ Kita beli saham yang dimiliki perusahaan terdaftar di Singapore. Saham lokal kami
pertahankan sebagai proxy. Namun kami sebagai offtaker dari produksi CPO untuk bisnis
supply chain ke China. Kalau indonesia membangun pusat logistik dan stockis terpadu dengan

6
kawasan industri downstream, tentu kami bisa undang mitra kami di China, Eropa untuk
relokasi pabrik mereka ke Indonesia. Kan secara bisnis lebih efisien mendekati bahan baku”
Kata saya. Ira tersenyum dan mengangguk.

“ Rakyat tidak paham bagaimana sumber daya Alam dirampas dan dikuras tanpa ada
manfaatkan besar bagi negara. Mereka hanya sibuk bicara politik polarisasi dan seperti kerbau
ditusuk hidung mereka mau saja digiring ke bilik suara. Padahal faktanya 7 presiden berkuasa,
hanya jualan citra humanis. Tetapi kekuasaannya dirantai oleh kepentingan oligarhi bisnis
kebun, tambang dan mineral. “ Kata Ira. Selang beberapa waktu, Ira terdiam dan akhirnya
tertidur. Rakyat indonesia sebagian besar memang tidur. Mereka doyan berfantasi tentang
kemakmuran atas hadirnya presiden baru, tapi mereka tidak sadar proses neokolonialisme
sedang berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai