Anda di halaman 1dari 27

Restorasi GIC

Oleh :

Drg. I Gusti Agung Sri Pradnyani, M. Biomed

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI DAN PROFESI DOKTER GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menjaga kesehatan gigi dan mulut adalah tindakan yang harus dilakukan.

Mengingat pada hakikatnya, rongga mulut terutama gigi selalu digunakan setiap harinya

untuk mengunyah makanan sebelum ditelan, maka dari itu menjaga kesehatan gigi dan

mulut sangat diperlukan. Dewasa ini kelainan pada gigi dan rongga mulut sering kali

dialami oleh sebagian besar manusia, terutama pada usia anak-anak. Hal ini dikarenakan

pada usia anak-anak kesadaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut sangatlah

rendah, keasaman PH saliva pada anak ikut berpengaruh sehingga dapat memperburuk

kesehatan gigi dan mulut (Suwelo, 1992). Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan

perawatan terhadap gigi anak. Salah salah satunya yaitu perawatan minimal invasive pada

gigi sulung atau minimally invasive dentistry.

Minimally invasive dentistry yaitu pemeliharaan maksimal struktur gigi yang

sehat dan berfokus pada pencegahan, remineralisasi, dan intervensi minimal. Prinsip

intervensi minimal berdasarkan penilaian risiko penyakit dan diagnosis awal karies,

klasifikasi kedalaman karies dan progres menggunakan radiografi, pengurangan bakteri

kariogenik untuk mengurangi risiko demineralisasi dan kavilasi lebih lanjut, pencegahan

lesi aktif, remineralisasi dan monitoring pencegahan lesi non-kavitas, penempatan

restorasi pada gigi dengan desain kavitas minimal, perbaikan restorasi yang rusak, serta

penilaian hasil management penyakit (Gujjar and Sumar, 2013).

2
Kemajuan dalam teknik instrumentasi dan bahan telah memungkinkan transisi

dari konsep lama G.V Black "extension for prevention" menjadi "prevention of

extension" atau "minimally invasive". Tujuan dari perawatan minimal invasif adalah

pencegahan karies, pengurangan bakteri kariogenik, remineralisasi lesi awal, intervensi

bedah minimum lesi kavitas, serta perbaikan dan penggantian restorasi yang rusak

dengan menggunakan bahan adesif gigi seperti GIC (Murdoch dkk, 2003). Dalam jurnal

tersebut penulis mengangkat kasus “Perawatan Minimal Invasive Pada Gigi Sulung

untuk Pencegahan Karies dengan Bahan Adesif GIC.”

3
BAB II

Laporan Kasus

2.1 Kasus

Seorang anak laki-laki usia 5 tahun 1 bulan datang bersama orangtuanya ke

Departemen llmu Kedokteran Gigi Anak Rumah Sakit Gigi dan Mulut FKG UNPAD

dengan keluhan utama terdapat banyak gigi berlubang dan ingin ditambal. Orangtua juga

mengeluhkan gigi di bagian depan mengganggu penampilan karena berwama hitam.

Pemeriksaan intraoral didapatkan karies media pada gigi 52,57,61,62,63,64,73, 83. Karies

profunda pada gigi 74, 84. Tambalan GIC pada gigi 75 dan onlay pada gigi 85. Tidak ada

sisa akar, kelainan bentuk, dan premature loss. Kebersihan mulut sedang dan

gingiva/mukosa normal. (Gambar 1)

. Gambar l. Foto Sebelum Penambalan (Karies Kelas IV pada Permukaan Proksimal Mesial Gigi

52, Mesial-Distal Gigi 51 dan 61, Mesial Gigi 62).

2.2 Penatalaksanaan

Kunjungan pertama dilakukan praktiksis, Dental Health Education (DHE) dan

Oral Hygiene lnstruction (OHI). Satu minggu kemudian pada kunjungan kedua

4
dijelaskan kepada orangtua prosedur penambalan yang akan dilakukan dan meminta

pernyataan persetujuan bahwa kasus pasien akan dipublikasikan. Dilakukan preparasi

terhadap gigi 52, 51, 61, 62. (Gambar 2)

Gambar 2. Preparasi Minimal Lesi Karies dengan Bttr Diamond Low Speed.

Selanjutnya dilakukan penambalan menggunakan celluloid strip crowns pada gigi

51 dan 52 dengan GIC, merk GC Fuji IX, Shade Universal serta gigi 61 dan 62 dengan

kompomer, merk Twinky Star, VOCO, Shade Silver REF 1682. Perbedaan wama pada

kedua bahan terlihat setelah penambalan, tambalan kompomer lebih sewarna gigi

dibandingkan GIC, selain itu tampak permukaan yang tidak halus seperti berkerak dan

retak pada tambalan GIC gigi 51. (Gambar 3)

5
Gambar 3. Terlihat Perbedaan Wama Antara Tambalan GIC (Gigi 5l dan 52) dengan Tambalan

Kompomer (Gigi 61 dan 62).

6
BAB III

Kaitan Dengan Teori

3.1 Karies

3.1.1 Pengertian Karies

Karies gigi adalah penyakit yang berkembang melalui interaksi biologis

bertahap yang kompleks dari bakteri asidogenik, karbohidrat yang dapat

difermentasi, dan faktor inang seperti gigi dan saliva. Selama beberapa dekade,

spesies bakteri asidogenik Streptococcus mutans telah dianggap sebagai penyebab

utama karies gigi. Sebagian besar strategi diagnostik dan terapeutik telah

diarahkan terhadap mikroorganisme ini. Namun, penelitian terbaru tentang lesi

karies berbasis DNA dan RNA bakteri telah mengungkapkan ekosistem yang

bakteri ini hanya sebagian kecil dari seluruh komunitas bakteri (mikroflora).

Dengan demikian, diketahui bahwa karies gigi berasal dari aksi kolektif berbagai

flora mikro (Sicca dkk, 2016).

Karies gigi terdiri dari penyakit infeksi bakteri pasca-erupsi yang ditandai

dengan proses demineralisasi progresif yang memengaruhi jaringan gigi yang

termineralisasi. Ini dianggap sebagai penyakit mulut paling umum di seluruh

dunia dan penyebab utama kehilangan gigi di antara populasi. Karies gigi

bertanggung jawab atas tingkat morbiditas yang tinggi di antara populasi dan

dikaitkan dengan penurunan kualitas hidup. Diketahui bahwa prevalensi karies

gigi pada populasi umum telah dikaitkan dengan kondisi sosial-ekonomi dan

demografi, serta aspek perilaku. Oleh karena itu, di sebagian besar negara maju,

7
prevalensi karies gigi menunjukkan kecenderungan yang jelas untuk menurun

(Veiga dkk, 2016).

3.1.2 Etiologi Karies

Karies terjadi bukan disebabkan oleh satu faktor saja seperti penyakit

menular lainnya tetapi disebabkan oleh banyak faktor dan serangkaian proses

yang terjadi selama beberapa kurun waktu sehingga dinyatakan sebagai penyakit

multifactorial (Suryawati, 2010).

Gambar 1. Skema yang menunjukkan karies sebagai


penyakit multifaktorial (Fejerskov, 2009)

Terdapat tiga faktor utama penyebab karies, yaitu host atau gigi itu

sendiri, mikroorganisme yang ada pada plak, dan diet atau makanan yang

dikonsumsi. Faktor lainnya yang turut mendukung terjadinya karies adalah waktu

sistem imun, keadaan saliva dan kadar fluoride yang ada di rongga mulut. Ada

juga faktor sosial yang turut berperan dalam menyebabkan karies seperti tingkat

8
pengetahuan, status sosial ekonomi, pendapatan, tingkat edukasi, kebiasaan dan

attitude masyarakat (Fejerskov, 2009).

a. Faktor Host

Faktor yang berhubungan dengan host terhadap karies adalah morfologi

gigi, struktur enamel, dan faktor kimia. Sisa-sisa makanan mudah menumpuk

pada bagian pit dan fissure gigi posterior sehingga rentan terhadap karies.

Kelarutan enamel juga ditentukan oleh kepadatan kristal enamel, jika terdapat

banyak mineral maka kristal enamel akan menjadi padat dan resisten terhadap

karies gigi. Pada gigi anak-anak, karies lebih sering terjadi dibnding gigi dewasa.

Hal ini karena enamel gigi anak-anak mengandung lebih banyak bahan organik

dan air tetapi jumlah mineralnya sedikit (Suryawati, 2010). Bagian permukaan

gigi yang mudah diserang karies adalah pit dan fissure pada oklusal gigi posterior,

di bagian proksimal; di bagian servikal; permukaan akar yang terbuka; tepi

tumpatan; dan permukaan gigi yang berdekatan dengan protesa (Fejerskov, 2009).

Saliva juga merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan penting

terhadap terjadinya karies. Pasien dengan sekresi saliva yang sedikit atau tidak

sama sekali yang biasanya disebabkan oleh adanya aprialismus, terapi radiasi

kanker ganas, dan xerostomia, memiliki presentase karies gigi yang semakin

meninggi (Tarigan & Rasinta, 2014).

b. Faktor Agen atau Mikroorganisme

Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas kumpulan

mikroorganisme yang berkembang biak di atas suatu matriks yang terbentuk dan

melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan. Mikroorganisme yang

9
menyebabkan karies gigi adalah kokus gram positif seperti Streptokokus mutans,

Streptokokus sanguis, Streptokokus mitis dan Streptokokus salivarius (Fejerskov,

2009). Bakteri Streptococcus mutans dan bakteri Laktobacili merupakan dua

bakteri yang berperan penting dalam proses terjadinya karies karena dapat

dengan cepat membuat asam dari karbohidrat yang diragikan. Streptokokus

mutans memiliki peran dalam proses awal pembentukan karies, setelah itu

bakteri laktobacili meneruskan peran untuk membentuk kavitas pada enamel.

Plak gigi mengandung bakteri yang memiliki sifat asidogenik (mampu

memproduksi asam) dan asidurik (dapat bertahan pada kondisi asam). Enamel

gigi dapat mengalami disolusi asam selama proses keseimbangan kembali

dengan proses yang dikenal dengan istilah remineralisasi. Keseimbangan antara

demineralisasi dan remineralisasi dari enamel menentukan terjadinya karies gigi

(Suryawati, 2010). Penebalan plak yang semakin menumpuk dapat menghambat

fungsi saliva dalam menetralkan pH dan mendorong jumlah perlekaan bakteri

yang semakin banyak. Bakteri-bakteri ini banyak memproduksi asam hingga

terjadi penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu lama kemudian

mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi dan terjadilah proses karies gigi

(Fejerskov, 2009).

c. Faktor Substrat Atau Diet

Faktor substrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena

membantu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada

permukaan enamel. Selain itu, ia juga akan menyediakan bahan-bahan yang

diperlukan untuk memproduksi asam serta bahan lain yang aktif yang

10
menyebabkan timbulnya karies. Sintesa polisakarida ekstra sel dari sukrosa lebih

cepat dari pada glukosa, fruktosa, dan laktosa. Oleh karena itu, sukrosa

merupakan gula yang paling kariogenik (Fejerskov, 2009).

d. Faktor Waktu

Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis pada manusia yang

berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Lamanya waktu yang

dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi suatu kavitas cukup bervariasi,

diperkirakan 6-48 bulan (Herniyanti dkk, 2016).p

Patogenesis Karies Gigi Karies gigi dimulai dengan kerusakan pada email

yang dapat berlanjut ke dentin. Mekanisme terjadinya karies gigi dimulai dengan

adanya plak beserta bakteri penyusunnya. Dalam proses terjadinya kries,

mikroorganisme lactobacillus dan streptococcus mempunyai peranan yang sangan

besar. Proses karies dimulai oleh streptococcus dengan membentuk asam

sehingga menghasilkan pH yang lebih rendah. Penurunan pH tersebut mendorong

laktobacillus untuk memproduksi asam dan menyebabkan terjadinya proses karies

, Streptococcus memiliki sifat yang memiliki peran yang besar pada proses karies

gigi yaitu memfermentasi karbohidrat menjadi asam sehingga mengakibatkan pH

turun, membentuk dan menyimpan polisakarida intraseluler dari berbagai jenis

karbohidrat, simpanan ini dapat dipecahkan kembali oleh mikroorganisme

tersebut bila karbohidrat eksogen kurang sehingga dengan demikian

menghasilkan asam terus menerus (Rahayu , 2014).

Proses karies gigi merupakan perubahan dinamik antara tahap

demineralisasi dan remineralisasi. Pada tahapan demineralisasi terjadi pada

11
enamel yang ditandai dengan hilangnya sebagian atau keseluruhan dari kristal

enamel yang pada awalnya tersusun rapat satu sama lain dan dipisahkan oleh

ruang interkristalin namun saat keadaan rongga mulut asam maka mineral di

permukaan Kristal akan hilang sehingga ukuran Kristal mengecil dan ruang

interkirstalin bertambah besar, jaringan enamel lebih berporus dan timbul

whitespot lesion. Bila karies terus berlanjut, permukaan enamel akan hancur

sampai mengenai detinoenamel junction terbukanya dentin mengakibatkan

timbulnya rangsangan berupa nyeri bila karies berlanjut hingga dentin tipis diatas

pulpa, maka iritan akan mudah masuk ke ruang pulpa melalui tubulus dentin dan

terjadi vasodilatasi pembuluh darah intrapulpa. Karies akan menjalar hingga pada

jaringan pulpa serta terjadi penyebaran infeksi ke jaringan periapikal dan

menimbulkan rasa nyeri (Soeprapto, 2017)

3.2 GIC

3.2.1 Pengertian GIC

Semen ionomer kaca atau Glass Ionomer Cement (SIK atau GIC) adalah

bahan restorasi yang sampai saat ini banyak digunakan oleh dokter gigi dan terus

dikembangkan. GIC dibagi atas 2 jenis, yaitu semen ionomer kaca modifikasi

resin atau Hibrid Ionomer dan semen ionomer kaca konvensional. GIC

merupakan bahan restorasi yang sewarna dengan gigi, warna yang sama dengan

gigi ini memberikan kesan estetika pada restorasi. GIC adalah bahan restorasi

yang sering digunakan dalam dunia kedokteran gigi karena dianggap

biokompatibel (Noort, 2007). GIC dapat digunakan untuk merestorasi kavitas

dengan tekanan kunyah yang rendah, selain itu juga dapat digunakan untuk basis

12
tambalan atau liner kavitas dengan tujuan melindungi pulpa gigi terutama pada

kavitas yang dalam. (Irawan B., 2008) GIC diperkenalkan oleh Wilson dan Kent

pada tahun 1972. Beberapa alasan yang membuat GIC banyak digunakan yaitu

karena memiliki sifat fisik yang adhesif ke permukaan enamel dan dentin,

biokompatibel pada jaringan pulpa, koefisien termal ekspansi sama dengan gigi

dan melepaskan fluor ke jaringan gigi (Hewlett, 2003).

GIC terdiri dari liquid (larutan polSi asam) dan bubuk calcium/strontium

flouroaluminosillicat glass. Komponen yang terkandung pada bubuk kaca yaitu:

Al2O3 (20,1-28,6%), Na3AlF6 (4,1-9,3%), AlPo4 (3,8-12,1%), SiO2 (35,2-41,9%),

CaF2 (15,7-20,1%), dan AlF3 (1,6-8,9%). Liquid terdiri dari: air dan asam

poliakrilik 40-50% dan terkadang ditambah dengan asam fumarik dan asam

maleik. Fungsi dari komponen GIC yaitu:

1. Alumina (Al2O3) 20,1-28,6% : Meningkatkan opasitas

2. Kriolit (Na3AlF6) 4,1-9,3% : Meningkatkan translusensi

3. Silika (SiO2) 35,2-41,9% : Meningkatkan translusensi

4. Fluorida : Meningkatkan translusensi, antikariogenik,

working time dan kekuatan

5. Aluminium fosfat : Meningkatkan translusensi dan

menurunkan melting time

6. Kalsium fluorida : Meningkatkan opasitas

7. Ion Na, K, Ca, Sr

Kandungan liquid (larutan poliasam) yaitu asam polimaleat, asam

poliakrilat, kopolimer asam akrilat-asam itakonat, kopolimer asam akrilat-asam2-

13
buten dikarboksilat, kopolimer asam-asam maleat dan vinyl phosponic acid.

Larutan poli asam ini membuat GIC dapat melekat pada struktur gigi tanpa

adanya perlakuan secara khusus. (Anusavice, 2012)

3.2.2 Kelebihan GIC

Glass Ionomer Cement (GIC) merupakan suatu bahan restorasi sewarna

gigi yang masih digunakan sampai saat ini oleh banyak dokter gigi dan terus

dikembangkan. GIC memiliki beberapa kelebihan yaitu:

1. GIC bersifat adesif karena material ini mampu berikatan baik dengan struktur

gigi seperti berikatan dengan dentin dan enamel. Ikatan dengan email selalu

lebih besar daripada ikatan dengan dentin. Hal ini mungkin dikarenakan

kandungan anorganik dari email lebih banyak dan homogenitasnya lebih besar

dilihat dari sudut pandang morfologinya (Stewart M. and Michael B, 2013).

2. Dapat melepaskan fluoride yang dapat mencegah terjadinya karies sekunder.

Karena kemampuannya untuk melepaskan fluoride maka GIC diindikasikan

untuk pasien yang rentan terhadap karies. Sifat anti karies Glass Ionomer

Cement diperoleh dari ikatan antara ion fluor dalam semen dengan

hidroksiapatit pada permukaan gigi yang membentuk senyawa fluor apatit.

Terbentuknya senyawa fluorapatit meningkatkan kandungan fluor pada

permukaan gigi dan menambah ketahanan permukaan gigi terhadap asam

(Christiono, 2011).

3. Menghasilkan tingkat retensi sebesar 100% di karies kelas V tanpa retensi

mekanik atau etsa enamel. Awalnya semen ini dirancang untuk tambalan

14
estetik pada gigi anterior dan dianjurkan untuk penambalan gigi dengan

preparasi kavitas kelas III dan V (Sundari, 2016).

4. Menghasilkan ikatan adhesi yang sangat kuat dengan struktur gigi yang sangat

berguna untuk restorasi konservatif pada daerah yang tererosi (Sosrosoedirjo,

2004).

5. Bersifat biokompatibel yaitu menunjukkan efek biologis yang baik terhadap

struktur jaringan gigi dan pulpa, serta memiliki ekspansi termal yang mirip

dengan struktur gigi.

6. Mempunyai sifat anti bakteri terutama terhadap koloni streptococcus mutant

(Rahman, 2016).

7. Dari segi biaya (cost) jauh lebih murah dibandingkan jika 100% menggunakan

bahan tumpatan dari resin estetik, karena semen ionomer kaca harganya jauh

lebih murah dibanding bahan tumpatan yang lain.

3.2.3 Kekurangan GIC

Glass Ionomer Cement merupakan bahan restorasi kedokteran gigi yang

terbukti memiliki banyak kelebihan, namun hal ini tidak menutup kemungkinan

bahwa di sisi lain GIC juga memiliki beberapa kekurangan yang tentunya harus

diperhatikan oleh praktisi kesehatan gigi. Adapun kekurangan GIC adalah :

a) Hasil estetik masih kurang bagus jika dibandingan dengan komposit, pada

contoh ini hasil estetik dari GIC sudah bagus jika dibandingan dengan

amalgam sebab sudah memiliki berbagai varian warna yang menyerupai

warna gigi asli, namun jika dibandingan dengan komposit tentu masih lebih

15
bagus komposit sebab komposit memiliki tingkat translusensi paling tinggi

dari semua bahan restorasi sehingga hal ini menjadi poin pertama kekurangan

dari GIC yang memiliki tingkat translusensi yang lebih rendah dari bahan

resin komposit (Ningsih, 2014).

b) Kekuatan daya tekan yang kurang sehingga menyebabkan bahan ini rentan

terhadap abrasi dan erosi, oleh karena itu GIC tidak dianjurkan digunakan

pada kasus karies yang memiliki kavitas yang luas atau dalam dan memiliki

tekanan kunyah berat seperti contoh karies profunda pada gigi posterior

karena dikhawatirkan bahan akan mudah lepas (Khoroushi & Keshani, 2013).

c) Lebih rentan terhadap elastic deformation atau kerusakan bentuk plastic sebab

GIC memiliki daya alir atau larut yang tinggi (solubility) yang menyebabkan

pada saat diaplikasikan di dalam rongga mulut, bahan akan mudah kehilangan

material komposisinya sehingga hasil akhir restorasi menjadi tidak tahan

abrasi (Khoroushi & Keshani, 2013).

d) GIC memiliki initial setting yang lambat, dimana hal ini dapat menyebabkan

terjadinya iritasi pulpa sehingga dianjurkan untuk memberikan varnish atau

larutan yang melapisi permukaan preparasi rongga sebelum penempatan

bahan restorasi terlebih dahulu contohnya seperti fluoride varnish (Sidhu,

2015).

e) Permukaan GIC / Glass Ionomer Cement sensitif terhadap kelembaban, sebab

bahan GIC cenderung bersifat porus dan hal ini berkaitan dengan initial

setting yang lambat (Sidhu, 2015).

16
f) Selain itu, bahan GIC juga memiliki kekurangan yaitu tingkat kerapuhan yang

cukup tinggi sehingga jika diaplikasikan pada gigi desidui maka

dikhawatirkan tumpatan akan mudah terlepas sebab anak cenderung memiliki

kebiasaan mengunyah apapun yang mereka ingin kunyah tanpa memikir

kekuatan dari gigi mereka sendiri. Akan tetapi jika dokter gigi mampu

memberikan pengertian lebih akan pantangan yang harus dijauhi sang anak

maka hal ini tentu tidak akan terjadi sebab dibalik kekurangan ini GIC juga

memiliki sisi lain yang menguntungkan pada gigi desidui yaitu memiliki sifat

anti karies atau kandungan ion flour konsentrasi tinggi di dalamnya sehingga

sangat baik untuk anak anak yang rentan terkena karies (Wellbury, 2005).

3.2.4 Aplikasi GIC

3.2.4.1. Indikasi

Glass ionomer cements (GIC) dapat digunakan untuk restorasi klas V pada

orang dewasa yang mementingkan estetik. GIC dianjurkan untuk pasien yang

beresiko karies tinggi (Craig, et al., 2000). Selain itu, GIC digunakan untuk bahan

semen, base, restoratif (Powers et al, 2006). Penggunaan GIC juga sebagai bahan

fissure sealants (McCabe & Wall, 2006).

3.2.4.2. Kontraindikasi

GIC tidak di anjurkan untuk restorasi klas III dan IV karena sampai saat

ini formula GIC masih kurang kuat dan lebih gampang mengalami keausan

dibandingkan dengan resin komposit (Anusavice, 2013).

Tabel 1. Aplikasi klinis GIC


Tooth-coloured filling materials
17
• Lesi abrasi dan abrasi
• Lesi klas 3 melibatkan dentin akar yang
terbuka
3.2.4.3. Manipulasi GIC

GIC diklasifikasikan menurut formulasi kimianya dibedakan menjadi dua

kategori: konvensional (atau tradisional) dan dimodifikasi resin. GIC

konvensional mengalami reaksi kimia asam-basa secara self-setting yang dibuat

dengan mencampurkan fluoroaluminosilicate (bubuk) dengan asam poliakrilat

atau asam polikarboksilat (cairan) sedangkan resin-modified glass ionomer

(RMGI) ditingkatkan dengan penambahan monomer resin photopolymerizable

yang larut dalam air, 2-hydroxyethylmethacrylate (HEMA) ke cairan semen asam,

dan untuk cairan-bubuk RMGI beberapa produsen menggunakan formulasi resin

berbeda. Perubahan dalam formulasi RMGI memungkinkan untuk mengalami

reaksi kimia secara: self-setting dan light-cured. Dalam restorasi yang dalam,

18
intensitas cahaya terganggu sehingga polimerisasi lanjutan dari RMGI dilanjutkan

secara self-setting yang akan terjadi dari waktu ke waktu. Untuk sebagian besar

RMGI, direkomendasikan pada restorasi yang tidak lebih dari 2 mm (Strassler &

FADM, 2011).

Rasio Powder/Liquid yang direkomendasikan oleh pabrikan pada produk

GIC harus diikuti. Paper pad dan glass lab dapat digunakan untuk pencampuran

GIC. Glass lab yang dingin dan kering dapat memperlambat reaksi dan

memperpanjang waktu kerja. Glass lab dalam pencampuran GIC tidak boleh

digunakan jika suhunya di bawah titik didih. Bubuk dan cairan tidak boleh

ditempatkan pada glass lab sebelum prosedur pencampuran dimulai. Kontak yang

terlalu lama dibiarkan diudara terbuka dapat mengubah rasio asam/air dari cairan.

GIC dapat dicampurkan dengan cara manual yaitu dengan bubuk harus

dimasukkan dengan cepat ke dalam cairan menggunakan spatula yang kaku dalam

aplikasi restoratif dan spatula logam atau plastik untuk aplikasi luting. Waktu

pencampuran tidak boleh melebihi 45-60 detik, tergantung pada masing-masing

produk (Anusavice, 2003). Pada saat pencampuran GIC harus memiliki tampilan

yang mengkilap, yang menunjukkan polyacid yang tidak bereaksi. Penampilan

yang kusam menunjukkan bahwa ada asam bebas sehingga tidak memadai untuk

bonding dari GIC pada gigi (Anusavice, 2003).

19
Gambar 1. Sediaan GIC. Masing-masing kapsul mengandung bubuk dan cairan

(Anusavice, 2003).

Glass ionomer juga tersedia dalam bentuk kapsul yang mengandung

bubuk dan cairan. Pencampuran dilakukan dalam amalgamator (triturator) setelah

segel yang memisahkan bubuk dan cairan terbuka. Perlu diperhatikan bahwa

kapsul mengandung pipa semprot, sehingga campuran dapat disuntikkan atau

diaplikasikan langsung pada gigi yang disiapkan dan/atau pada fixed prosthesis

untuk bonding. Setelah menempatkan GIC dan membentuk konturnya, lindungi

permukaan GIC dari air liur dengan menggunakan pernis atau bonding agent.

Trimming dan finishing dilakukan, jika mungkin, setelah 24 jam. Keuntungan

utama sediaan kapsul adalah kenyamanan, kontrol yang konsisten dari rasio P/L,

dan eliminasi variasi yang terkait dengan pencampuran menggunakan spatula

(Anusavice, 2003 & Powers et al, 2006).

3.3. Kaitan Kasus dengan Teori

Dalam laporan kasus dijelaskan bahwa seorang anak laki-laki 5 tahun 1 bulan

didapatkan karies media pada seluruh gigi insisivus desidui maksila bagian proksimal.

Permukaan proksimal gigi anterior lebih mudah terserang karies, terutama pada gigi dengan

susunan yang rapat (Yoga, 1995). Predesposisi karies pada gigi insisivus desidui maksila

yaitu secara morfologis gigi desidui lebih kecil dibanding gigi permanen, lapisan enamel dan

20
dentin yang lebih tipis dan kurang padat dibandingkan permukaan oklusal gigi posterior

sulung. Disamping itu gigi insisivus desidui maksila erupsi paling awal sehingga paling lama

berkontak dengan materi kariogenik. Sedangkan gigi desidui maupun permanen mandibular

lebih tahan terhadap karies karena adanya muara saliva sehingga memiliki sistem self

cleansing yang lebih baik (Frencken et al, 1997).

Pada kunjungan pertama dilakukan profilaksis, Dental Health Education (DHE), dan

Oral Hygine Instruction (OHI). Profilaksis merupakan suatu ushan untuk mencegah

penyebaran penyakit pada gigi. Pembersihan karang gigi atau scaling dan topical aplikasi

fluor merupakan tindakan yang paling umum dilakukan untuk profilaksis (Yoga, 1995).

Namun pada kasus tidak dijelaskan tindakan profilaksis apa yang diberikan. Manajemen

pasien anak berbeda dengan pasien dewasa. Pemeriksaan terhadap anak hendaknya dilakukan

secara perlahan, jangan tergesa-gesa, dan lakukan pembatasan alat yang digunakan untuk

menghindari rasa takut. Dimana pada kunjungan pertama bertujuan untuk memeperkenalkan

pada anak bagaimana rasanya memeriksakan gigi dan memperlihatkan bahwa hal ini

merupakan suatu pengalaman yang menyenangkan. Selain itu tujuan dari kunjungan pertama

yaitu menciptakan komunikasi dengan anak dan orangtua, serta mendapatkan keterangan

mengenai riwayat pasien (Anwar, 2014).

Salah satu hal yang tidah bisa dilupakan sebelum melakukan tindakan medis yaitu

meminta persetuan pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang

akan dilakukan atau biasa disebut Inform Consent. Tujuan dari inform consent yaitu untu

melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan

pasien dan memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga

dan bersifat negatif yang tidak mungkin dihindarkan meskipun dokter sudah mengusahakan

21
semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti (Menkes, 1989).

Peneliti pada kasus, sudah melakukan hal tersebut serta sudah meminta pernyataan

persetujuan bahwa kasus pasien akan dipublikasikan.

Pasien anak yang terkena karies Media, mempunyai ciri adanya rongga yang semkin

besar dan dalam mencapai bagian dentin yang disertai dengan cavitas berwarna hitam, gigi

terasa nyeri apabila terkena rangsangan suhu dan makanan asam maupun manis. Dalam kasus

tidak dijelaskan bahwa anak tersebut mengeluh rasa sakit. Namun perawatan yang diperlukan

pertama-tama adalah menghilangkan rasa nyeri. Penanggulangan dapat secara lokal pada gigi

maupun secara oral. Secara lokal dapat dilakukan dengan menumpat secara lagsung dengan

obat-obatan eugenol melalui kapas dan selanjutnya dimpat sementara atau langsung dengan

zinc oxide eugenol tanpa kapas. Pemberian obat sedatidf dan analgesik dapat diberikan secara

oral terutama pada rasa nyeri yang berlanjut. Cara penanganan lain ang dapat dilakukan yaitu

dengan mengurangi aktivitas bakteri untuk menghentikan karies dan mencegah penjalaran

yang cepat kea rah pulpa dengan profilaksis oral, yaitu menyikat gigi secara benar atau

melakukan scaling. Selanjutnya dapat dilakukan penumpatan kavitas dengan tumpatan tetap

dengan tujuan agar kesehatan gigi dan mulut serta fungsi dan estetiknya dapat kembali

(Andlaw & Rock, 1992; Heriandi, 2002; Riani & Sarasati, 2005).

Sebelum dilakukan penambalan, tindakan yang dilakukan untuk mencegah

penyebarluasan karies yaitu dengan membuang jaringan karies. Pengambilan permukaan

proksimal bertujuan membebaskan kontak dan mencegah terjadinya karies sekunder.

Dianjurkan menggunakan sand paper disk karena alat ini mampu membuang jaringan karies

lebih lambat, tidak menimbulkan panas berlebih pada permukaan gigi, dan resiko trauma pada

jaringan lunak sedikit. Pengabilan jaringan gigi tidak boleh terlalu luas mengingat struktur

22
anatomi gigi desidui yang tipis pada bagian enamel dan dentin (Frigoletto, 1976). Namun

penggunaan diamond bur masih direkomendasika pada gigi desidui.

Salah satu jenis restorasi yang populer untuk gigi insisivus desidui yaitu celluloid strip

crown. Indikasi untuk celluloid strip crown yaitu aries yang luas pada gigi anterior desidui,

gigi fraktur atau cacat, gigi yang menunjukan diskolorisasi, dan gigi pasca perawatan saluran

akar. Sebaliknya celluloid strip crown dikontraindikasikan pada kasus gigi desidui yang rusak

parah sehingga tidak memiliki struktur gigi yang cukup untuk retensi dan bonding, overbites

yang dalam, dan anak dengan kelainan periodontal (Webber et al, 1979; Abu-Hussein et al,

2015). Pada kasus, penerapann metode minimally invasive dentistry menyebabkan preparasi

minimal lesi karies sehingga masih terdapat struktrur gigi untuk mendukung retensi dan

bonding celluloid strip crown. Cara mengaplikasikan celluloid crown yaitu crown diisi

dengan bahan restorasi dan diletakkan pada gigi yang telah dipreparasi dan ditekan ringan

pada bagian labial dan palatal. Tekanan ringan ini akan menyebabkan ekspansi bagian

proksimal ke dalam kontak yang sesuai dengan gigi tetangganya (Ariningrum, 2001)

Saat ini bahan restorasi yang banyak digunakan pada gigi desidui yaitu resin komposit

dan Glass Ionomer Cement (GIC). Penggunaan GIC banyak digunakan pada gigi desidui

karena aplikasinya yang mudah dan memiliki nilai estetik yang baik kerena warnanya

menyerupai warna gigi, bersifat adesif terhadap jaringan gigi, tidak mengalami shringkage,

tidak iritatif terhadap pulpa, dan mengandung flour dengan jumlah yang signifikan untuk

mencegah terjadinya karies sekunder. Akan tetapi GIC juga memiliki beberapa kekurangan

yaitu ketahannya fraktur dan aus yang lebih rendah dibandingkan bahan restorasi lainnya,

memerlukan waktu 24 jam untuk mengeras sempurna, sensitive terhadap saliva, dan memiliki

retensi yang buruk terhadap asam. GIC yang terpapar lingkungan asam dapat mengalami

23
perubahan bentuk anatomis, permukaan menjadi kasar, melunak, dan mudah pecah

(Anusavice, 2003). Menurut Vlietstra (1999), evaluasi gigi gigi desidui yang telah ditumpat

dengan GIC selama satu tahun, 75% mengalami kegagalan karena tumpatan pecah dan terjadi

karies sekunder.

Glass Ionomer Cement (GIC) memerlukan campuran liquid dan powder dalam

manipulasinya. Kandungan liquid GIC adalah larutan 47,5% polyacrilic acid atau itaconic

acid polymer dalam air. Sedangkan powder GIC berupa calcium fluoro aluminosilicate glass

yang larut dalam cairan asam. Kelarutan ini berakibat pada hilangnya bahan restorasi tersebut

ada permukaan gigi jika lingkungan rongga mulut bersifat asam (Anusavice, 2003). Hal inilah

yang terjadi pada celluloid crown pada gigi 51 dan 52 yang menggunakan bahan GIC.

Dimana tampak permukaan yang tidak halus seperti berkerak dan retak karena kemungkinan

makanan yang dimakanan oleh anak tersebut mengandung asam sehingga lapisan GIC pada

permukaan gigi terkikis dan timbul tekstur berkerak. Retakan pada cown disebabkan karena

kekuatan mekanik GIC yang lemah sehingga jika terdapat tekanan berlebih akan

menimbulkan retakan seperti pada kasus. Faktor yang menyebabkan hal tersebut antar lan

komposisi semen, teknik aplikasi yang dilakukan, dan kondisi lingkungan mulut pasien (Van

Noort, 1994).

Setelah penumpatan GIC selama satu minggu, terdapat perubahan warna pada kasus.

Porusitas mikro pada tumpatan GIC dapat mempengaruhi stabilitas warna. Adanya porusitas

mikro disebabkan karena penyerapan cairan yang berakibat pada pelunakan material dan

keluarnya komponen-komponen dari dalam material bila telah mencapai kondisi stress. Hal

ini juga berakibar ada menurunnnya kekuatan material. Bila terjadi penetrasi dan resorbsi zat

24
pewarna dari lingkungan dalam rongga mulut akan terbentuk lapisan superfisial pada tumatan

GIC. Lapisan tersebut menyebabkan perubahan warna (Anusavice, 2003).

Celluloid crown pada gigi 61 dan 62 menggunakan bahan kompomer. Polyacid-

modified resin (kompomer) merupakan gabungan sifat dari GIC dan komposit serta memiliki

kelebihan sidat dari kedua bahan tersebut yaitu melepas floride, adhesi pada struktur gigi

melalui resin adhesif, dan bersifat biokompatibel. Kompomer memiliki sifat fisik dan

mekanik yang lebih baik dari bahan GIC. Manun kemampuan untuk mengeluarkan floride

lebih rendah dari GIC (Hewlett et al, 2003). Kompomer merupakan bahan restorasi resin

komponen tunggal yang hanya dapat dipolimerisasi dengan bantuan light cured. Untuk

mendapatkan perlekatan yang baik memerlukan teknik etsa dan bonding dengan kelebihan

sedikit lebih toleran terhadap kelembaban dibanding resin komposit (Suwelo, 1995)

Karena mempunyai daya lekat yang baik dan cukup kuat, maka kompomer dapat

dipakai sebagai bahan tumpatan Klas I samapi Klas V, membentuk cor, dan mahkota tiruan

gigi sulung seperti pada kasus. Meskipin kompomer dapat diterima oleh pulpa namun untuk

karies yang dalam perlu bahan pelindung pulpa (Suwelo, 1995). Pada kasus tidak ditemukan

adanya kerusakan crown yang diisi dengan bahan kompomer karena bahan ini memang

memiliki kekuatan mekanik yang lebih baik dari GIC dan warna yang lebih stabil. Namun

dari segi aplikasi, pengaplikasian bahan GIC lebih sederhana dan lebih mudah dilakukan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Battepati, P.M., Kadkol, P.K., Reddy, K.V.K.K. and Ainapur, R., 2015. Restoration of long
standing traumatized teeth: a case report. Journal of clinical and diagnostic research: JCDR,
9(8), p.ZD07.
Bosch-Aranda, M.L., Canalda-Sahli, C., Figueiredo, R. and Gay-Escoda, C., 2012.
Complications following an accidental sodium hypochlorite extrusion: a report of two cases.
Journal of clinical and experimental dentistry, 4(3), p.e194.
Cochran, M.A., Miller, C.H. and Sheldrake, M.A., 1989. The efficacy of the rubber dam as a
barrier to the spread of microorganisms during dental treatment. The Journal of the American
Dental Association, 119(1), pp.141-144.
Heithersay, G.S., 1994. External root resorption. Annals of the Royal Australasian College of
Dental Surgeons, 12, pp.46-59.
Kaval, M.E., Güneri, P. and Çalışkan, M.K., 2018. Regenerative endodontic treatment of
perforated internal root resorption: a case report. International endodontic journal.
Kim, D. and Kim, E., 2014. Antimicrobial effect of calcium hydroxide as an intracanal
medicament in root canal treatment: a literature review-Part I. In vitro studies. Restorative
dentistry & endodontics, 39(4), pp.241-252.
Kim, D. and Kim, E., 2015. Antimicrobial effect of calcium hydroxide as an intracanal
medicament in root canal treatment: a literature review-Part II. in vivo studies. Restorative
dentistry & endodontics, 40(2), pp.97-103.
M dan Trilaksana, A.C., 2015. Penanganan Kedaruratan Endodontik Pada Pulpitis Ireversibel.
Makassar Dental Journal, 4(5), pp.172-176.
McCabe, J.F. and Walls, A.W.G. 2008. Applied Dental Materials.
Naidu, S., Loughlin, P., Coldwell, S.E., Noonan, C.J. and Milgrom, P., 2004. A randomized
controlled trial comparing mandibular local anesthesia techniques in children receiving
nitrous oxide-oxygen sedation. Anesthesia progress, 51(1), p.19.
Parirokh, M. and Abbott, P.V., 2014. Various strategies for pain-free root canal treatment.
Iranian endodontic journal, 9(1), p.1.
Parirokh, M., Yosefi, M.H., Nakhaee, N., Abbott, P.V. and Manochehrifar, H., 2015. The
success rate of bupivacaine and lidocaine as anesthetic agents in inferior alveolar nerve block

26
in teeth with irreversible pulpitis without spontaneous pain. Restorative dentistry &
endodontics, 40(2), pp.155-160.
Pratama, A.R. and Mulyawati, E., 2010. Penggunaan MTA (Mineral Trioxideaggregate) sebagai
Bahan Pengisi Saluran Akar pada Gigi Insisivus Lateral Kiri Maksila dengan Perforasi
Saluran Akar. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia, 17(1), pp.16-19.
Punta, B. and Manulang, S.D., 2013. Endodontic Treatment of Surgical Repositioned
Traumatically-Intruded Maxillary Incisors Permanent Teeth. Journal of Dentistry Indonesia,
20(2), pp.51-56.
Rahimi, S., Zand, V., Shahi, S., Shakouie, S., Reyhani, M.F., Khoshro, M.M. and Tehranchi, P.,
2008. A Comparative Scanning Electron Microscope Investigation of Cleanliness of root
canals using hand K-Flexofiles, rotary Race and K3 instruments. Iranian endodontic journal,
3(4), p.123.
Ruli, Y., dkk. 2013. Perbedaan Kebocoran Apikal. https: //journal.ugm.ac.id/jkg/article
Sabir, A., 2006. ENDODONTIC MANAGEMENT OF A MAXILLARY LEFT SECOND
PREMOLAR WITH INTERNAL ROOT RESORPTION (A CASE REPORT). Journal of
Dentistry Indonesia, 13(1), pp.69-73.
Wigati, P.R., 2016. Gambaran penggunaan bahan tumpatan di rumah sakit gigi dan mulut
PSPDG fakultas kedokteran Unsrat tahun 2015. Pharmacon, 5(2).

27

Anda mungkin juga menyukai