Anda di halaman 1dari 142

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/368753644

Ilmu Perundang-Undangan, Pembentukan Peraturan Daerah

Book · February 2023

CITATIONS READS

0 71

2 authors, including:

Agus Mulyawan
Universitas Palangka Raya
11 PUBLICATIONS   5 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Kebijakan Tatanan Hidup Baru Di Tengah Pandemi Covid-19 Di Kota Palangka Raya Perspektif Hukum View project

All content following this page was uploaded by Agus Mulyawan on 24 February 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


LD
L
Lembaga
Literasi
Dayak

Istilah “perundang-undangan” menurut se-

Ilmu Perundang-undangan
jarahnya adalah terjemahan dari istilah Be-
landa “wetgeving” yang bermakna pembuat­
an peraturan misalnya wet yakni UU. Istilah
ini adalah paduan antara kata wet (UU) dan

Ilmu
geven (yang bearti memberi atau membuat).
Wetgever ialah pihak pembuatnya sendiri
yakni DPR dan Pemerintah yang biasa disebut
sebagai legislatif dan eksekutif. Wetgeving (law making) berarti
Perundang-

Pembentukan Peraturan Daerah


pembuatan Undang-Undang. Para ahli hukum Belanda, memba-
ca literatur hukum dengan kosakata dan diksi ala Belanda, maka
untuk pengajaran ataupun karya ilmiah peristilahan wetgeving
Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah
ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
itu diterjemahkan menjadi “peraturan perundang-undangan.
Karena disebabkan adanya kata wet. Maka terbiasalah terjemah­ Pembentukan Peraturan Daerah
an itu menjadi perundang-undangan.

Inilah pustaka yang membahas mengenai ilmu perundang-un-


dangan dalam kaitannya dengan Sistem hukum dalam makna
yang luas meliputi proses kegiatan pembuatan peraturan hukum
(melalui kerja sama antara DPR dan Pemerintah sehingga lahir
UU di Pusat dan Perda di Daerah), dan juga meliputi peraturan
hukum yang menjadi produk kegiatan ini, dan juga sarana dan
prasarana penunjangnya. Agus Mulyawan, S.H., M.H. l Dr. Achmadi, S.H., M.H.

ISBN: 978-623-7069-94-2
LD
L
Lembaga
Literasi
Dayak

Penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD)


Karawaci - Tangerang
Jl. Sutanegara No. 15 Palangka Raya, Kalteng 9 786237 06994 2
Agus Mulyawan, S.H., M.H.
Dr. Achmadi, S.H., M.H.
Agus Mulyawan, S.H., M.H.

Dr. Achmadi, S.H., M.H.


cover-oke.indd 1 30/09/2021 22:32:27
ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
Pembentukan Peraturan Daerah

000-praisi.indd 1 30/09/2021 04:30:44


UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG HAK CIPTA
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumum­kan atau memper­
banyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pi-
dana penjara pa­l­ing lama 7 (tujuh tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng­edarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana
de­ngan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
ba­nyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan seba-
gaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/
atau denda pa­ling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima mi­liar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng­edarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pi-
dana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

000-praisi.indd 2 30/09/2021 04:30:44


ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
Pembentukan Peraturan Daerah

Agus Mulyawan, S.H., M.H.


Dr. Achmadi, S.H., M.H.

LD
L
Lembaga
Literasi
Dayak

Penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD)


2021

000-praisi.indd 3 30/09/2021 04:30:44


ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
Pembentukan Peraturan Daerah

Agus Mulyawan, S.H., M.H.


Dr. Achmadi, S.H., M.H.

Cetakan  Ke-1, Tangerang, Lembaga Literasi Dayak 2021


xvi-210 hlm, ukuran 15 x 23 cm.

ISBN: 978-623-7069-94-8

LD
L
Lembaga
Literasi
Dayak

Desain cover/tata letak: Diddy S.


Penerbit Lembaga Literasi Dayak
Jl. Palem Semi 23, Karawaci, Tangerang
Jl. Sutanegara 15, Palangka Raya
email : masrisarebputra@gmail.com

Cetakan Ke-1, Oktober 2021


Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Diterbitkan oleh:
Penerbit Lembaga Literasi Dayak

000-praisi.indd 4 30/09/2021 04:30:44


Daftar Isi

BAB 1 SISTEM HUKUM, PERUNDANG-


UNDANGAN DAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN.....................
A. Sistem Hukum
B. Perundang-Undangan Dan Peraturan
Perundang-Undangan Sebagai
Aktivitas Dan Produknya......................
C. Teori Perundang-undangan dan Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan....
D. Ragam Istilah Perundang-Undangan...

BAB 2 SUBSTANSI HUKUM PEMERINTAHAN


DAERAH DI INDONESIA..........................
A. Dasar Hukum...........................................
B. Asas-Asas Penyelenggaraan
Pemerintahan...........................................
C. Pembagian Urusan Pemerintahan........
D. Peraturan Daerah Dan Peraturan
Kepala Daerah..........................................

BAB 3 RANCANGAN PERATURAN HUKUM


(Legal Drafting), PERUNDANGAN–
UNDANGAN (Legislature)..........................
A. Pengaturan Yang Terkoordinir.............
B. Fungsionalisasi Departemen.................
C. Legal Drafting..........................................

Daftar Isi v

000-praisi.indd 5 30/09/2021 04:30:44


BAB 4 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN
DAERAH..........................................................

BAB 5 PANDANGAN UMUM TENTANG


OTONOMI DAERAH DAN
PEMBENTUKAN PERATURAN
DAERAH..........................................................
l Pengertian Otonomi Daerah..................
l Teori Pembentukan Hukum..................
l Pembentukan Peraturan Daerah...........
l Keberlakuan Peraturan Perundang-
Undangan.................................................

BAB 6 PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH


YANG ASPIRATIF........................................
l Konsep Peraturan Daerah Yang
Aspiratif....................................................
l Pengertian dan Batasan Aspiratif.........
l Dalam Penyusunan Peraturan Daerah.
l Fungsi Melibatkan Masyarakat.............
l Dalam Penyusunan Peraturan Daerah.

BAB 7 FUNGSI ASAS KETERBUKAAN


DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN
DAERAH..........................................................
l Landasan dan Asas-Asas
Pembentukan Peraturan Daerah...........
l Asas Keterbukaan Sebagai Prasyarat
Adanya Peran Serta Masyarakat...........
l Asas Keterbukaan dalam
Pembentukan Peraturan Daerah yang
Aspiratif....................................................

vi Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

000-praisi.indd 6 30/09/2021 04:30:44


BAB 8 PEMBENTUKAN PERATURAN
DAERAH MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN.....................
l Pembentukan Peraturan Daerah
dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan..........
l Pembentukan Peraturan Daerah
dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.......................................................
l Pembentukan Peraturan Daerah
dalam Peraturan Presiden Nomor 87
Tahun 2014 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan............................
l Pembentukan Peraturan Daerah
dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2010 tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan
DPRD tentang Tata Tertib DPRD.........

Lampiran Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 Ten-


tang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.

DAFTAR PUSTAKA....................................................
BIOGRAFI SINGKAT.................................................

Daftar Isi vii

000-praisi.indd 7 30/09/2021 04:30:44


Kata Pengantar

Kita ketahui bersama bahwa Otonomi Daerah adalah we-


wenang Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Adapun tujuan utama otonomi daerah untuk mening­
katkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Ukuran
keberhasilan otonomi daerah adalah terwujudnya kehidup­
an yang lebih baik, lebih adil dalam memperoleh peng-
hasilan/pendapatan, terlindungnya dari segala gangguan,
dan tercipta rasa aman serta lingkungan hidup yang lebih
nyaman. Intinya bahwa Salah satu aspek penting otonomi
daerah adalah pemberdayaan masyarakat sehingga mereka
dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksana­
an, dan pengawasan serta memberikan pelayanan kepada
publik.
Otonomi daerah kerap dimaknai sebagai pintu masuk
ke arah demokratisasi di Indonesia dimana daerah otonom
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar-
kan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perun-
dang-undangan. Salah satunya adalah melalui penyusunan
Peraturan Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah, tugas pembantuan, menampung kondisi khusus di

viii Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

000-praisi.indd 8 30/09/2021 04:30:44


daerah, serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Akan tetapi, telah berkali-kali Pemerintah Pusat mem-
publikasikan adanya Perda yang dianggap tidak mampu
mewadahi kepentingan nasional, konteks sosial setempat,
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dan, kepentingan umum, serta yang
menurut banyak kalangan dinilai tidak aspiratif baik dari
dimensi publik maupun dunia usaha, sehingga direkomen-
dasikan untuk dibatalkan dan/atau direvisi. Situasi realis-
tis mengenai keberlakuan peraturan daerah yang aspiratif
perlu mendapatkan perhatian dalam kajian normatif yang
mengedepankan kenyataan dalam kehidupan masyarakat.
Terbitnya buku ini menjadi salah satu referensi yang
dapat memerkaya pemahaman mengenai Otonomi Daer-
ah, terutama dalam kaitannya dengan Peraturan Daerah
yang aspiratif. Dapat digunakan siapa saja, terutama ka-
langan akademisi dan mahasiswa yang sedang belajar ilmu
hukum dan politik pada khususnya.

Palangka Raya, Juli 2021


Penulis

Daftar Isi ix

000-praisi.indd 9 30/09/2021 04:30:44


Kata Pengantar

Literatur yang membahas secara khusus tentang wewenang


Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus urus­an
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat ber-
dasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan pe-
rundang-undangan masih cukup terbatas. Adapun tujuan
utama otonomi daerah untuk meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan otonomi daerah
diukur dari terwujudnya kehidupan yang lebih baik, lebih
adil dalam memperoleh penghasilan/pendapat­an, terlin­
dungnya dari segala gangguan dan tercipta rasa aman ser-
ta lingkungan hidup yang lebih nyaman.
Otonomi daerah dimaknai sebagai pintu masuk ke
arah demokratisasi daerah otonom untuk mengatur dan
me­ngurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
de­ngan peraturan perundang-undangan. Salah satunya
de­ngan melalui pembentukan Peraturan Daerah dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah, tugas pembantu-
an, menampung kondisi khusus di daerah, serta penjabar­
an lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaan
masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam
proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan serta
memberikan pelayanan kepada publik. Akan tetapi, telah
berkali-kali Pemerintah Pusat mempublikasikan adanya

x Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

000-praisi.indd 10 30/09/2021 04:30:44


Perda yang dianggap tidak mampu mewadahi kepenting­
an nasional, konteks sosial setempat, bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan, ke-
pentingan umum, serta yang menurut banyak kalangan
dinilai tidak aspiratif baik dari dimensi publik maupun
dunia usaha, sehingga direkomendasikan untuk dibatal-
kan dan/atau direvisi. Situasi realistis mengenai keber-
lakuan peraturan daerah yang aspiratif perlu mendapat-
kan perhatian dalam kajian normatif yang mengedepankan
kenyataan dalam kehidupan masyarakat.
Dilihat dari bahasan materi buku ini, diharapkan da-
pat memberikan wawasan umum berkaitan dengan ilmu
perundang-undangan pembentukan peraturan daerah
sebagai pelengkap dalam mata kuliah ilmu perundang-
undangan dan hukum pemerintahan daerah. Atas segala
manfaat dari terbitnya buku ini, penulis hatur rasa syukur
kepada Allah SWT.

Palangka Raya, September 2021
Penulis,

Kata Pengantar xi

000-praisi.indd 11 30/09/2021 04:30:44


000-praisi.indd 12 30/09/2021 04:30:44
BAB 1
SISTEM HUKUM, PERUNDANG-
UNDANGAN DAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

l Sistem Hukum
Sistem hukum mempunyai dua macam makna, yaitu da-
lam makna sempit di mana perangkat peraturan hukum
itu sendiri, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, baik
berasal dari pemerintah seperti UUD, UU, Perpu, Perda
dan SK, serta aturan yang hidup sebagai kebiasaan dan
adat di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan sistem hu-
kum dalam makna luas adalah selain peraturan hukum itu
sendiri juga termasuk kelembagaan hukum dan lain-lain
budaya hukum.

l Perundang-undangan dan Peraturan Perundang-un-


dangan sebagai aktivitas dan produknya
Sistem hukum dalam makna yang luas meliputi proses
kegiatan pembuatan peraturan hukum (melalui kerja sama
antara DPR dan Pemerintah sehingga lahir UU di Pusat
dan Perda di Daerah), dan juga meliputi peraturan hukum
yang menjadi produk kegiatan ini, dan juga sarana dan
prasarana penunjangnya.
Istilah “perundang-undangan” menurut sejarahnya
adalah terjemahan dari istilah Belanda “wetgeving” yang
bermakna pembuatan peraturan misalnya wet yakni UU.
Istilah ini adalah paduan antara kata wet (UU) dan geven
(yang bearti memberi atau membuat). Wetgever ialah pihak
pembuatnya sendiri yakni DPR dan Pemerintah yang biasa
disebut sebagai legislatif dan eksekutif. Wetgeving (law mak-

Bab 1 1
Sistem Hukum, Perundang-Undangan Dan Peraturan Perundang-Undangan

001-isi.indd 1 30/09/2021 04:30:14


ing) berarti pembuatan Undang-Undang. Para ahli hukum
Belanda, membaca literatur hukum dengan kosakata dan
diksi ala Belanda, maka untuk pengajaran ataupun karya
ilmiah peristilahan wetgeving itu diterjemahkan menjadi
“peraturan perundang-undangan. Karena disebabkan ada­
nya kata wet. Maka terbiasalah terjemahan itu menjadi pe-
rundang-undangan.
Dalam prakteknya, produk perundang-undangan, bu-
kan hanya berbentuk undang-undang saja, tetapi juga ada
yang berbentuk hukum (juridischvorm) yaitu Perpu, PP, Per-
aturan, Keputusan dan sebagainya. Menurut teori hukum
konstitusi atau Undang-Undang Dasar termasuk kategori
Undang-Undang dalam makna luas, sedangkan Undang-
Undang yang kita sebut dan dikenal sehari-hari adalah
Undang-Undang dalam makna yang sempit. Dengan kata
lain peraturan perundang-undangan berada di dalam dan
sekaligus merupakan bagian kegiatan perundang-undang­
an (hasil perbuatan).

l Teori Perundang-undangan dan Ilmu Pengetahuan


Perundang-undangan
Teori Ajaran (Leer) dan Ilmu Perundang-undangan menu-
rut Bruggink adalah keseluruhan pernyataan yang saling
berkaitan. Ajaran aliran mazhad leer adalah teori atau
suatu konsep yang normatif, dalam arti konsep yang diser-
tai patokan (norma, kaidah, had, dan pepacak).
Tidak semua teroi yang konsepsional dapat langsung
menanjak menjadi ilmu. Setidaknya, ada syarat-syarat
yang harus terpenuhi untuk dapat menjadi rujukan ilmu
pengetahuan, yaitu:
l Memiliki hipotesa (penetepan permasalahan) yang
akan dibahas melalui teori.

2 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 2 30/09/2021 04:30:14


l Ada metode (modus atau yang bermetodologi) seba-
gai metode analisis yang diterapkan dalam teori itu.
l Memiliki seperangkat statement (pernyataan konsep-
sional) yang konsisten dan dapat dikontrol dalam per-
wujudan teori sebagai suatu produk kegiatan ilmiah.

Dalam ranah perundang-undangan banyak teori dan


ajaran keilmuan yang dijumpai melalui literatur yang ber-
manfaat untuk kemantapan penguasaan pengetahuan dan
juga bermanfaat untuk keteraturan pelaksanaanya secara
tersistem di dalam praktek perundang-undangan, serta
mengeleminir simpang siur pendapat dan sikap dalam
kerja sama perundang-undangan dalam satu sistem pe-
merintahan.

l Ragam Istilah Perundang-Undangan


Bidang Perundang-undangan dalam makna luas yang se-
lanjutnya disebut sebagai Ilmu Pengetahuan Perundang-
undangan (IPPU), dijumpai beberapa istilah yakni:
l S.O. Van Poeljo menyebutkan sebagai wetgevingsleer
atau wetgevingskunde yang bearti ajaran atau pengeta-
huan perundang-undangan.
l B. Krems dan W. Mainhover menyebutnya Gesetzge-
bungwissenchaft.
l P. Noll menyebutnya Gesetzgebungslehre.
l J. Rodig dan Herald Kindermann menyebutnya Ge-
setzgebungtheorie.

Prof. Dr. Hamid S. Attamimi mengatakan bahwa Ge-


setzgebungwissenschaft yang ia terjemahkan menjadi ilmu
pengetahuan perundang-undangan (dalam arti luas) me­
ngandung dua cabang atau sisi, yakni:

Bab 1 3
Sistem Hukum, Perundang-Undangan Dan Peraturan Perundang-Undangan

001-isi.indd 3 30/09/2021 04:30:14


l Sisi yang bertujuan untuk menjelaskan dan menjernih­
kan pemahaman yang disebut Gesetzgebungwissen-
schaft, dan sifatnya kognitif, dan inilah yang diterje-
mahkan menjadi teori perundang-undangan.
l Sisi yang bertujuan menjelaskna perihal tindak pelak-
sanaan yang disebut Gesetzgebungwissenschaft yang si-
fatnya normative, dan inilah yang diterjemahkan men-
jadi ilmu perundang-undangan.

Teori perundang-undangan inilah sebagai cabang atau


sisi dari ilmu perudang-undangan yang bertujuan un-
tuk memberikan kejelasan dan kejernihan pemahaman,
khususnya mengenai dasar-dasar perundang-undangan.
Melalui jalan pemikiran seperti inilah menurut Attamimi
dalam pidatonya mengemukakan pokok-pokok pikiran-
nya sebagai berikut:
l Ilmu hukum dewasa ini dan pengajarannya.
l Rechtsstaat modern dan perundang-undangan (ter-
masuk Indonesia).
l Pertumbuhan IPPU di Eropa Kontinental.
l IPPU di Indonesia termasuk perlunya teori Perundang-
undangan Indonesia.

4 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 4 30/09/2021 04:30:14


BAB 2
SUBSTANSI HUKUM
PEMERINTAHAN DAERAH
DI INDONESIA

A. Dasar Hukum
John Locke menganggap bahwa negara merupakan per-
wujudan kebersamaan, namun selalu memberikan pem-
batasan terhadap kebebasan individu. Peranan negara
adalah memberikan perlindungan dan menjaga tata tertib
masyarakat. Disinilah fungsi negara mencegah tindakan
kesewenang-wenangan dari individu yang mengancam
keselamatan individu lainnya. Hal ini menyangkut tujuan
bernegara yang berkaitan dengan masalah demokrasi da-
lam bernegara.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kebebasan individu tidak
dapat sebebas mungkin, dimana individu ingin bergabung
dalam suatu masyarakat dengan individu lainnya yang te-
lah siap bersatu, saling membantu dalam masalah hidup,
kebebasan, dan hak milik.
Untuk mencegah dan menghindari terjadinya tindak
kesewenang-wenangan itu, diperlukan tiga sarana, yaitu:
l Undang-Undang yang pasti, tetap atau tidak berubah
dan disetujui oleh masyarakat umum;
l Adanya badan pengadilan yang lepsa bebas dari kuasa
negara dan diketahui masyarakat umum;
l Adanya keadilan yang terlakasan di dalam masya­
rakat.

Bab 2 5
Substansi Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

001-isi.indd 5 30/09/2021 04:30:14


Paham demokrasi dalam bernegara merupakan suatu
persetujuan Undang-undang yang harus dibuat dan di­
setujui secara bersama-sama, dengan suara bulat, jika hal
ini tidak mungkin maka Undang-Undang harus tetap
dibuat menurut ketentuan dan ketaatan pada ketentuan
mayoritas. Dalam kekuasaan absolut biasanya kebijaksana­
an negara atau sistem pemerintahan ditentukan oleh satu
atau beberapa orang saja, dan pemegang kuasa memerin-
tah secara mutlak dan tidak dibatasi oleh badan konstitu-
sional.
Konstitusi sebagai pembatas kekuasaan menimbulkan
makna bahwa sebgaian hak individu dalam masyarakat
yang hendak dicapai adalah untuk mendapatkan perlin­
dungan yang dikendaki suatu negara. Locke juga menagta-
kan, perjanjian dan kehendak rakyat tersebut tertuang da-
lam konstitusi atau perundang-undangan dasar. Konstitusi
ini berfungsi untuk melaksanakan tugas negara, serta men-
jamin dan menciptakan suasana yang aman dan sejahtera.
Aturan yang termuat didalamnya adlaah penguasa diberi
wewenang untuk mengatur negara dan berhak menentu-
kan aturan tingkah laku dan tidak membiarkan adanya
suatu pelanggaran.
Negara yang berdasarkan kontitusi harus bersan-
darkan pada kekuasaan legislatif, di samping itu juga ada
kekuasa­an eksekutif yang berfungsi melaksanakan Un-
dang-Undang. Badan legislatif dan eksekutif ini berfungsi
mengurus warga negara dan menjamin hak warganya agar
terjaminnya rasa aman. Jika untuk mengurusi hubungan
dengan luar negeri ada pada kekuasaan federatif. Kekuasa­
an legislatif ada batasnya dan didasarkan pada hukum
kodrat, yakni;
l Kekuasaan legislatif dalam menjalankan wewenang-
nya harus berdasarkan pada Undang-Undang yang

6 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 6 30/09/2021 04:30:14


pasti dan diumumkan kepada rakyat untuk dipahami
(promulgated established laws).
l Pengambilan hak milik rakyat oleh kekuasaan legis-
latif harus terjadi dengan persetujuan rakyat.
l Kekuasaan legislatif tidak boleh melemparkan tugas
atau tanggung jawabnya kepada kekuasaan lain.

Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang tertinggi


dalam pelaksanaan Undang-Undang yang berdasarkan
kuasa atau mandat dari kuasa legislatif. Meskipun kedua­
nya terpisah, namun masih mempunyai hubungan yang
erat, pemisahan ini hanya mengandung makna dalam me­
ngontrol pelaksanaan kekuasaan atau mandat dari kekuasa­
an legislatif kepada eksekutif. Adapun kekuasaan federatif
hanya mengurusi berbagai masalah yang berkaitan dengan
luar negeri. Kekuasaan ini berkuasa atas perang dan pe­
ngadilan, serta terhadap perundingan dengan orang atau
negara lain.

1. Demokrasi dan Peranan Negara


Demokrasi mempunyai arti penting dalam suatu negara un-
tuk menjamin jalannya organisasi suatu negara. Demokrasi
sebagai dasar hidup bernegara memberi perngertian bah-
wa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan
dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya
termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara karena me-
nentukan kehidupan rakyat.
Negara demokrasi merupakan negara yang diseleng-
garakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, dan
jika ditinjau dari sudut pandang organisasi berarti suatu
pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri
atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di
tangan rakyat.

Bab 2 7
Substansi Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

001-isi.indd 7 30/09/2021 04:30:14


Dalam kaitannya, dapat dikemukakan pendapat Hen-
dry B. Mayo sebagai berikut:
A democratic political system is one which public policies
are made on a majority basis, by representatives subject to
effective popular control at periodic elections which are con-
ducted on the principle of political freedom.

Demokrasi dalam negara hukum formal pada abad


ke-19 menimbulkan gagasan tentang tata cara membatasi
kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi, baik
tertulis maupun tidak. Hal ini dilatarbelakangi dengan isu
bahwa hak politik rakyat dan hak asasi manusia secara
individu merupakan dasar pemikiran politik dalam keta-
tanegaraan. Gagasan ini akhirnya dinamakan konstitusio­
nalisme dalam sistem ketatanegaraan. Adappun ciri utama
dalam negara yang menganut konstitusionalisme adalah
pemerintahan yang bersifat pasif, dimana pemerintah ha­
nya menjadi wasit atau pelaksana dari berbagai keinginan
rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat di parlemen.
Carl J. Friedrich mengemukakan konstitusionalisme
adalah gagasan dimana pemerintah merupakan suatu
kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama
rakyat, tetatpi tunduk kepada beberapa pembatasan untuk
memberikan jaminan kepada kekuasaan. Di samping itu
pula kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah tidak
disalahgunakah oleh orang-orang yang mendapat tugas
memerintah.
Perumusan yuridis tentang gagasan konstitusionalisme
dicapai pada abad ke-19 dan permulaan abad ke – 20 yang
ditandai dengan istilah rechtstaat atau rule of law atau di­
sebut juga dengan negara hukum.

8 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 8 30/09/2021 04:30:14


Friedrich Julius Sthal memberikan ciri dari rechtstaat,
yaitu:
l Hak–hak asasi manusia;
l Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menja-
min hak asasi manusia yang biasa dikenal trias poli-
tika;
l Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan;
l Peradilan administrasi dalam perselisihan.

AV Dicey dari Anglo Saxon memebrikan ciri dari rule


of law, yaitu:
l Supremasi huku, dalam arti tidak boleh ada kese-
wenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh
dihukum jika melanggar hukum;
l Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi
rakyat biasa maupun bagi pejabat;
l Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-Undang
dan keputusan pengadilan.

Konsep negara hukum material, bahwa gagasan pe-


merintah dilarang ikut campur tangan dalam urusan war-
ga negara, baik di bidang sosial maupun bidang ekonomi
bergeser kearah gagasan baru bahwa pemerintah harus
bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Pemeritnah
tidak boleh bersifat pasif atau berlaku sebagai penjaga
malam melainkanharus aktif dalam melaksanakan upaya-
upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya
dengan cara mengatur kehidupan ekonomi dan sosial.
Demokrasi dalam gagasan ini harus meluas mencakup
dimensi ekonomi dengan sistem yang dapat menguasai
kekuatan-keuatan ekonomi yang berusaha memperkecil
perbedaan sosial ekonomi terutama harus mampu me­
ngatasi ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan

Bab 2 9
Substansi Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

001-isi.indd 9 30/09/2021 04:30:14


rakyat. Gagasan ini disebut juga dnegan welfare state atau
negara hukum material.
Pemerintahan yanag demokratis di bawah rule of law,
berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh interna-
tional Comission of Jurists pada konferensinya di Bangkok
tahun1965, yakni:
l Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin
hak-hak individu, juga harus menentukan cara prose-
dural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak
yang dijamin;
l Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
l Pemilihan umum yang bebas;
l Kebebasan menyatakan pendapat;
l Kebebasan berserikat/beroganisasi dan beroposisi;
l Pendidikan dan kewarganegaraan.

Didalam welfare state ini faktor kemandirian negara leb-


ih menonjol dibanding dengan faktor kenetralan negara se-
hingga negara tidak lagi terikat pada gagasan pluralisme,
tetapi juga mendekati organisme.

2. Konstitusi dan Negara


Soemantri mengatakan bahwa tidak ada satu negara pun di
dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-
Undang Dasar. Negara dan konstitusi meruapakan dua
lembaga yang tidak dapat dipisahkan.
Dari sudut negara Hawgood mengemukakan bahwa
ada sembilan bentuk negara, namun di mana dewasa ini
kesembilan bentuk negara tersbeut sudah tidak mempu-
nyai arti lagi. Maka dari itu hanya diambil tiga bentuk neg-
ara saja, yaitu:
l Spontaneous State, di mana negara yang timbul sebagai
akibat revolusi. Dengan demikian kontitusinya bersi-
fat revolusioner.

10 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 10 30/09/2021 04:30:14


l Negotiated State, di mana negara berdasarkan pada ke-
benaran relatif seperti oosterse demokratie, yaitu Rusia.
l Derivative State, di mana negara yang konstitusinya
mengambil pengalaman dari negara-negara yang su-
dah ada, yang maksudnya adalah meniru dari negara-
negara Barat.

Lebih lanjut Attamimi berpendapat tentang Nilai pen­


ting suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar sebagai
pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang
bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan. Eksistensi
suatu negara harus memenuhi empat unsur, yakni peme­
rintah yang berdaulat, mempunyai wilayah tertentu, rakyat
hidup teratur, dan adanya pengakuan dari negara-negara
lain.
Dalam konsep negara modern terdapat beberapa ciri
khas sistem ketatanegaraan modern yang tertuang dalam
konstitusi. Menurut Sri Soemantri yang mengutip penda-
pat Steenbeck, berisi tiga materi muatan pokok dalam kon-
stitusi, yaitu:
l Jaminan hak asasi manusia.
l Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar.
l Pembagian dan pembatasan kekuasaan.

Dalam setiap negara akan ditemukan adanya supra­


struktur politik dan infrastruktur politik, yang meliputi
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun untuk
negara-negara tertentu masih ditemukannya lembaga-lem-
baga tertinggi negara (MPR), lembaga konsultatif (DPA)
dan lembaga inspektif (BPK). Dalam infrastruktur politik
suatu negara terdiri bebragai macam komponen politik,
seperti partai politik, golongan kepentingan, golongan
penekan (pressure group) dan alat komunikasi politik. Pem-

Bab 2 11
Substansi Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

001-isi.indd 11 30/09/2021 04:30:14


batasan kekuasaan suatu negara ada seperangkat aturan
main yang terwujud pada kaidah hukum dan tertuang da-
lam sebuah konstitusi yang mengandung prinsip-prinsip
negara hukum, demokrasi, pembagian kekuasaan, dan
pengakuan hak asasi manusia.
Dewasa ini konstitusi dari negara-negara modern tidak
hanya memuat aturan hukum, melainkan juga memformu-
lasikan prinsip-prinsip hukum, haluan negara, dan pato-
kan kebijakan yang semuanya mengikat penguasa dalam
suatu negara. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa
konstitusi juga digunakan sebagai alat yang berisi sistem
politik dan sistem hukum yang hendak diwujudkan. Da-
lam hal ini juga Wheare menyatakan adanya dua pendapat
yang berbeda satu sama lain, yakni pertama mengganggap
bahwa konstitusi semata-mata hanya merupakan doku-
men hukum yang berisi aturan-aturan hukum saja. Kedua,
bahwa konstitusi tidak hanya berisi kaidah-kaidah hukum
saja tetapi berisikan pernyataan tentang keyakinan, prin-
sip-prinsip, dan juga cita-cita.
Bryce dalam Sunarno (2014) memilah kontitusi menjadi
fleksibel dan rijid secara luas, yang didasarkan atas kriteria
yang berkaitan dengan cara dan prosedur perubahannya.
Jadi jika konstitusi itu mudah dalam mengubahnya maka
digolongkan pada konstitusi yang fleksibel, sebaliknya jika
sulit maka termasuk dalam konstitusi rijid. Adapun ciri-
ciri dari konstitusi fleksibel yaitu elastis, diumumkan dan
diubah dengan cara yang sama seperti Undang-Undang,
sedangkan kontitusi rijid meliputi kedudukan dan dera-
jat yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan
yang lain dan hanya dapat diubah dengan cara yang khusus
atau istimewa dengan persyaratan yang berat.
Susunan dan kedudukan alat perlengkapan negara di
Indonesia dalam melakukan analisisnya terhadap segala

12 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 12 30/09/2021 04:30:14


permasalahan tidak terlepas dari kajian dalam pendekatan
hukum ketetanegaraan dan hukum adminstrasi negara.
Administrasi negara berhubungan erat dengan kehendak
golongan atau partai-partai politik serta menentukan ten-
tang metode-metode bagaimana kebijakan negara yang
dapat diselenggarakan sebagai bagian integral dari proses
politik suatu bangsa. Maka dari itu pendekatan adminis-
trasi negara berhubungan dengan peranan dari badan-ba-
dan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam suatu peme­
rintahan (Handayaningrat,1991).
Diuraikan lebih lanjut bahwa administrasi negara ada-
lah kegiatan bagian badan eksekutif pemerintahan nasio­
nal, negara bagian, pemerintah daerah, dewan-dewan dan
panitia-panitia yang dibentuk oleh kongres, dan badan
pembuat undang-undang, perusahaan-perusahan negara,
dan badan kenegaraan lain yang mempunya ciri khusus.
Adapun badan legilatif dan yudikatif merupakan bagian
dari lingkup administrasi negara yang harus dipelajari,
yaitu tentang kegiatan, sikap, dan metode dari badan-badan
yang kekuasannya mempunyai pengaruh terhadap proses
administrasi dalam organisasi yang bersangkutan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa administrasi negara da-
lam arti yang luas sebgaai objeknya adalah negara, sedang­
kan dalam arti yang sempit yang menjadi objeknya dalah
badan eksekutif.
Wayong (1964) mengemukakan beberapa konsep dari
administrasi politk sebagai berikut:
l Tugas politik yaitu menerapkan kebijakan politik pe-
merintah, dimana pemerintah yang bertugas menetap-
kan kebijakan ini adalah pejabat negara yang duduk
di pemerintahan administrator dalam politik. Adapun
pejabat yang duduk dalam pemerintah ini adalah pre­
siden dan para menteri.

Bab 2 13
Substansi Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

001-isi.indd 13 30/09/2021 04:30:14


l Tugas administrasi yaitu merumuskan kebijakan
pelaksanaan dari kebijakan politik yang telah ditetap-
kan sebelumnya, dimana aparatur pemerintah yang
bertugas merumuskan kebijakan ini adalah pejabat pe-
merintah profesional yang disebut juga administrator
profesi.

Pada hakikatnya pertanggungjawaban persiden harus


berdasarkan konstitusi serta batasan kekuasan yang dimi-
liki oleh para penguasa, pendekatan dari hukum positif da-
pat dilihat dari ketetapan-ketetapan MPR yang menyang-
kut pengaturan pertanggungjawaban presiden.
l Ketetapan MPRS-RI No. IX/MPRS/1966 tentang
Surat Perintah/Pangti/ABRI/Pembesrev/Manda­
ta­­ris MPRS-RI tanggal 21 Juni 1966 menerima baik
dan memperkuat kebijaksanaan Presiden/Pangti
ABRI Ter­­hadap Surat Perintah 11 Maret 1966 dan
meningkatkannya menjadi ketetapan MPRS.
l Ketetapan MPRS-RI No. XXXIII/MPRS/1966 tentang
pencabutan kekuasaan negara dari Presiden Soekarno
dengan pertimbangan pertanggungjawaban presiden
tidak memuat secara jeals pertanggungan jawab ten-
tang kebijaksanaan presiden mengenai pemberontak­
an kontra revolusi G-30-S/PKI beserta epilognya, ke-
munduran ekonomi dan kemerosotan akhlak.
l Ketetapan MPR-RI No. I/MPR/1973 tentang Peraturan
Tata Tertib MPR, dalam Bab XIV Pasal 110 disebutkan
bahwa pelaksanaan GBHN dipertanggungjawabkan
oelh Presiden/mandataris kepada Majelis pada akhir
masa jabatannya, kecuali apabila DPR meminta per-
sidangan istimewa.
l Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/1973 tentang per-
tanggungjawaban Presiden RI selaku mandataris MPR

14 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 14 30/09/2021 04:30:14


di mana menerima baik pertanggungan jawab Presi-
den RI dalam sidang umum MPR bulan Maret 1973.
l Ketetapan MPR-RI No. V/MPR/1978 tentnag pertang-
gungjawaban Presiden RI Soeharto menerima baik
pertanggunganjawaban Presiden RI.
l Ketetapan MPR RI No. V/MPR/1983 tentang pertang-
gungjawaban Presiden RI Soeharto selaku mandataris
MPR, menerima baik pertanggungjawaban Presiden
RI tersebut.
l Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/1988 tentang per-
tanggungjawaban Presiden Soeharto selaku mandata­
ris MPR, menerima baik pertanggungjawaban Presi-
den RI tersebut.
l Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/1993 tentang per-
tanggungjawaban Presiden Soeharto selaku mandata­
ris MPR, menerima sepenuhnya dengan baik pertang-
gungjawaban Presiden RI tersebut.
l Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/1998 tentang per-
tanggungjawaban Presiden Soeharto dan menerima
sepenuhnya dengan baik pertanggungjawaban Presi-
den RI tersebut.
l Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/1999 tentang pertang-
gungjawaban Presiden RI Bacharuddin Jusuf Habibie,
jawaban presiden atas pemandangan umum fraksi-
fraksi dinyatakan ditolak.

Dari perjalanan sejarah pertanggungjawaban seorang


presiden dilaksanakan dalam masa akhir jabatannya. Per-
soalan yang diterima atau ditolak sepenuhnya tidak di-
dasarkan pada parameter penilaian yang jelas, standar to-
lak ukur penilaian didasarkan atas pemandangan umum
fraksi-fraksi. Penilaian oleh para fraksi dilembaga MPR
jelas lebih banyak muatan politisnya dibanding dengan

Bab 2 15
Substansi Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

001-isi.indd 15 30/09/2021 04:30:14


penilaian secara substansial dari pertanggungjawaban se-
orang mandataris MPR.

B. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan


Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyeleng-
garaan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme, telah menetapkan beberapa asas penye-
lenggaraan negara yang bersih tersebut, yaitu meliputi :
l Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hu-
kum yang berlandaskan peraturan perundang-undang­
an, kepatutan, dan keadialan dakam setiap kebijakan
penyelenggaraan negara;
l Asas tertib penyelanggaraan negara adalah asas yang
menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseim-
bangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara;
l Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri ter-
hadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi
yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang pe-
nyelenggaraan negara dengan tetap memerhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan ra-
hasia negara;
l Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutama-
kan keseimbangan antara hak dan kewajiban penye-
lenggara negara;
l Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan
keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
l Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bah-
wa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan pe-
nyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawab-
kan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;

16 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 16 30/09/2021 04:30:14


Selanjutnya asas penyelenggara pemerintahan menu-
rut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menambahkan
tiga asas, yaitu asas kepentingan umum, asas efektif, adan
asas efisien. Demikian juga menggunakan asas desentrali­
sasi, asas pembantuan, dan asas dekonsentrasi.

C. P embagian Urusan Pemerintahan


Pada hakikatnya pembagian urusan pemerintahan di In-
donesia terbagi dalam tiga kategori, yakni urusan peme­
rintahan yang dikelola oleh pemerintah pusat, urusan pe-
merintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah
provinsi; dan urusan pemerintahan yang dilaksanakan
oleh pemerintah kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan yang dikelola oleh pemerintah
pusat, meliputi:
l Politik luar negeri
l Pertahanan
l Keamanan
l Yustisi
l Moneter dan fiskal nasional
l Agama

Penyelenggaraan pemerintahan tersebut dapat di­


seleng­garakan sendiri atau dapat dilimpahkan kepada pe-
merintah atau wakil pemerintah daerah dan atau pemer-
intah desa dengan memperhartikan keserasian hubungan
antar susunan pemerintahan, sebagai suatu sistem antara
hubungan kewenangan pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota, dan bisa juga antar pemerin-
tahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis.
Selanjutnya yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah, terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan

Bab 2 17
Substansi Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

001-isi.indd 17 30/09/2021 04:30:14


wajib, di mana penyelenggaraan pemerintahan yang ber-
pedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan
secara bertahap dan ditetapkan oelh pemerintah. Adapun
untuk urusan pilihan, di mana baik itu pemerintahan dae-
arah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota,
meliputi urusan pemeritnahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi
dan dalam skala kabupaten/kota, meliputi;
• Perencanaan dan pengendalian pembangunan.
• Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawas tata ruang.
• Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat.
• Penyediaan sarana dan prasarana umum.
• Penanganan bidang kesehatan.
• Penyelenggaraan pendidikan.
• Penanggulangan masalah sosial.
• Pelayanan bidang ketenagakerjaan.
• Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan me-
nengah.
• Pengendalian lingkungan hidup.
• Pelayanan pertanahan.
• Pelayanan kependudukan dan catatan sipil.
• Pelayanan administrasi umum pemerintahan.
• Pelayanan administrasi penanaman modal.
• Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya.
• Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundangan-undangan.

Adapun urusan dalam bidang keuangan meliputi pe-


meberian sumber-sumber keuangan, pengalokasian dana

18 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 18 30/09/2021 04:30:14


perimbangan, dan pemberian pinjaman dana/hibah. Hu­
bungan antar pemerintahan daerah meliputi bagi hasil
pajak dan nonpajak antara provinsi dan kabupaten/kota.
Selanjutnya hubungan dalam bidang pelayanan umum,
meliputi kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pe-
meliharaan, pengendalian dampak, budi daya, pelestarian,
bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
yang lainnya, serta penyerasian lingkungan, tata ruang dan
rehabilitasi lahan. Untuk hubungan dalam bidang sumber
daya alam dan sumber lainnya menjadi kewenangan daer-
ah, kerja sama dan bagi hasil, serta pengelolaan perizinan
bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sum-
ber daya lainnya.
Daerah yang memiliki laut diberikan kewenangan
untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, meliputi
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan keka-
yaan laut. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut paling jauh adalah 12 mil, diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas atau ke arah perairan kepolisian
untuk provinsi, dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi
untuk kabupaten/kota. Jika wilayah antara provinsi kurang
dari 24 mil, maka kewenangan mengelola laut dibagi sama
jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah
antar dua provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota
memperoleh 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi yang
dimaksud.

D. Peraturan Daerah Dan Peraturan Kepala Daerah


Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota ber-
wenang untuk membuat peraturan daerah dan peraturan
kepala daerah, guna menyelenggarakan urusan otonomi
daerah dan tugas pembantuan. Peraturan daerah (Perda)

Bab 2 19
Substansi Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

001-isi.indd 19 30/09/2021 04:30:14


ditetapkan oleh kepala daerah, setelah mendapat persetu-
juan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Substansi
atau muatan materi Perda adalah penjabaran dari per­
aturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih ting-
gi, dengan memerhatikan ciri khas masing-masing daerah,
dan substansi materi tidak boleh bertentangan dengan ke-
pentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih
tinggi.
Peraturan daerah memiliki hak yurisdiksi setelah diun-
dangkan dalam lembaran daerah, dan pembentuan pera-
turan daerah berdasarakan asas pembentukan peraturan
perundangan mengatur:
• Kejelasan tujuan
• Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
• Kesesuaian antara jenis dan materi muatan
• Dapat dilaksanakan
• Kedayagunaan dan kehasilgunaan
• Kejelasan rumusan
• Keterbukaan

Adapun materi peraturan daerah mengandung asas:


• Pengayoman
• Kemanusiaan
• Kebangsaan
• Kekeluargaan
• Kenusantaraan
• Bhineka tunggal ika
• Keadilan
• Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah-
an
• Ketertiban dan kepastian hukum
• Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
• Asas-asas lain sesuai substansi perda yang bersangkut­
an

20 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 20 30/09/2021 04:30:14


Dalam proses pembuatan Perda, masyarakat berhak
memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam
rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan
daerah. Rancangan peraturan daerah disetujui bersama
oleh DPRD dan gubernur, atau bupati/walikota disampai-
kan oleh pimpinan DPRD. Penyampaian tersebut dilaku-
kan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama. untuk penetapan oleh
gubernur, bupati/walikota paling lama 30 hari sejak ran-
cangan disetujui bersama. Apabila rancangan Perda yang
tidak ditetapkan dalam kurun waktu tersebut, maka ran-
cangan tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundang-
kan de­ngan memuatnya dalam lembaran daerah. Kemudi-
an Perda tersebut harus disampaikan kepada pemerintah
pusat, jika ada Perda yang bertentangan dengan kepen­
tingan umum atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi maka dapat dibatalkan, keputusan pembatalan
tersebut ditetapkan dengan peraturan presiden paling lama
60 hari dan kepala daerah harus memberhentikan pelaksa-
naan Perda dan mencabut Perda tersebut.

1. Penegakan Peraturan Daerah


Untuk menegakkan peraturan daerah, dibentuk satuan
polisi pamong praja yang bertugas membantu kepala daer-
ah untuk menegakkan Perda dan penyelenggaraan keter­
tiban umum dan ketentaraman masyarakat. Anggota Satu­
an Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidik
pegawai negeri sipil dan penyidikan, serta penuntutan ter-
hadap pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-
undangan. Untuk menegakkan Perda maka dapat ditunjuk
penjabat lain yang diberi tugas untuk melakukan penyidik­
an terhadap pelanggaran Perda.
Lebih lanjut Attamimi (1992) menjelaskan peraturan
yang berada dalam lingkup penyelenggaraan kewenangan

Bab 2 21
Substansi Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

001-isi.indd 21 30/09/2021 04:30:14


pemerintahan dalam arti sempit (ketataprajaan) bukan ke-
wenangan perundang-undangan. Peraturan tersebut tidak
dapat bergerak jauh sehingga mengurangi hak asasi warga
negara dan penduduk, juga tidak dapat mencantumkan
sanksi pidana atau sanksi pemaksa bagi pelanggaran ke-
tentuan Perda. Peraturan kebijakan hanya mengandung
sanksi administrasi bagi pelanggar.

2. Penyusunan Rancangan Undang-Undang


Melalui Keputusan Presiden RI Nomor 188 Tahun 1998
telah disusun produk hukum tentang Tata Cara Memper-
siapkan Rancangan Undang-Undang (RUU), sebagai pe-
nyempurnaan tentang cara mempersiapkan RUU dan RPP
berdasarkan Inpres Nomor 15 Tahun 1970.
Dalam ketentuan Keppres Nomor 188 Tahun 1998, se-
cara garis besar diatur sebagai berikut:
• Pemrakarsa Berasal dari Pimpinan Lembaga Pemerin-
tah
• Pemrakarsa penyusunan RUU berada pada pihak
Pimpinan Lembaga, untuk mengatur masalah yang me-
nyangkut tugasnya, dan wajib dimintakan persetujuan
terlebih dahulu kepada presiden yang disertai dengan
penjelasan yang lengkap.
• Dalam rangka pengharmonisan, pembulatan, dan pe-
mantapan konsepsi yang akan dituangkan dalam RUU,
Pimpinan Lembaga Pemrakarsa wajib mengonsultasi-
kan dahulu dengan Menteri Kehakiman dan Pimpinan
Lembaga terkait.
• Upaya pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan
konsepso RUU, diarahkam pada perwujudan keselaras-
an konsepsi tersebut dengan ideologi negara, tujuan na-
sional, serta aspirasi yang melingkupinya.
• Setelah diperoleh keharmonisan, kebulatan, dan ke-
mantapan konsepsi, Pimpinan Lembaga Pemrakarsa

22 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 22 30/09/2021 04:30:14


secara resmi mengajukan permintaan persetujuan pe-
nyususan RUU kepada presiden dan diberitahukan se-
cara tertulis oleh Mensesneg dengan tembusan Menteri
Kehakiman.
• Berdasarkan persetujuan prakarsa tersebut, Pimpinan
Lembaga Pemrakarsa membentuk Panitia Antardepar-
temen dan Lembaga yang diketuai oleh pejabaat yang
sudah ditunjuk.
• Panitia antardepartemen menitikberatkan pembahasan
pada permasalahan yang bersifat prinsip, seperti ke-
lengkapan objek yang akan diatur, jangkauan dan arah
pengaturan.
• Pimpinan lembaga Pemrakarsa menyampaikan RUU
yang dihasilkan Panitia kepada Menteri Kehakiman un-
tuk memperoleh pendapat dan pertimbangan.
• Pimpinan lembaga terkait menyampaikan pendapat dan
pertimbangan RUU kepada Pimpinan Lembaga dengan
tembusan kepada Menteri Kehakiman dan Mensesneg.
• Menteri Kehakiman membantu mengolah seluruh pen­
dapat dan pertimbangan secara bersama secara terkon-
solidasi kepada Pimpinan Lembaga dengan tembusan
Menteri Sekretaris Negara.
• Apabila RUU telah memperoleh kesepakatan, Pimpinan
Lembaga mengajukan RUU tersebut kepada presiden.
• Menteri Sekretaris Negara melaporkan RUU kepada
presiden sekaligus mempersipakan amanat presi-
den bagi penyampaian kepada pimpinan DPR, dalam
amanat tersebut ditegaskan hal-hal yang dianggap per-
lu.
• Pemrakarsa Rancangan Undang-Undang dari DPR
• RUU yang disusun DPR dan disampaikan kepada pre­
siden, dilaporkan oleh Mensesneg, disertai saran me­
ngenai menteri yang akan ditugasi untuk mengkoor-

Bab 2 23
Substansi Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

001-isi.indd 23 30/09/2021 04:30:14


dinasi pembahasannya dengan peimpinan lembaga
terkait.
• Mensesneg menyampaikan RUU kepada Menteri yang
ditugasi presiden untuk mengoordinasi pembahasan-
nya berikut petunjuk Presiden mengenai RUU yang
bersangkutan dengan mengikutsertakan Menteri Keha-
kiman.
• Menteri yang ditugasi mengoordinasi pembahasan
RUU secepatnya membentuk Panitia antardepartemen
untuk membahas dan menyiapkan pendapat, pertim-
bangan, serta penyempurnaan yang diperlukan.
• Menteri yang ditugasi untuk mengoordinasi pem-
bahasan RUU berkewajiban mengonsultasikan RUU
dengan disertai pendapat, pertimbangan serta saran
penyempurnaan yang diajukan Panitia antardeparte-
men kepada Menteri dan Pimpinan Lembaga lain yang
terkait.
• Presiden menyampaikan kembali RUU kepada DPR
dengan amanat presiden yang berisikan penerimaan
untuk membahas lebih lanjut RUU atau tidak meneri-
manya.
• Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Un-
dang-Undang
• Mensesneg menyiapkan naskah RUU yang telah disetu-
jui DPR dan selanjutnya mengajukan kepada presiden
guna memperoleh pengesahan.
• Mensesneg mengundangkan undang-undang tersebut
dengan menempatkannya dalam Lembran Negara.
• Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemrakarsa berke-
wajiban secepatnya menyebarluaskan jiwa, semangat,
dan substansi undang-undang tersebut kepada ma­
syarakat.
• Persetujuan prakarsa penyusunan RUU juga merupa­
kan persetujuan bagi penyusunan Rancangan Per­aturan

24 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 24 30/09/2021 04:30:14


Pemerintah, Rancangan Keputusan Presiden dan per­
aturan yang diperlukan sebagai peraturan pelaksana­
anya sebagai satu kesatuan kegiatan.

Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun


1999 diatur Teknik penyusunan peraturan perundang-un-
dangan dan bentuk rancangan undang-undang, rancangan
peraturan pemerintah, dan rancangan keputusan presiden.
Bentuk rancangan undang-undang meliputi rancangan
undang-undang, rancangan undang-undang penetapan,
rancangan undang-undang pengesahan, rancangan un-
dang-undang perubahan, dan rancangan undang-undang
pencabutan. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan,
yaitu:
• Jika suatu undang-undang mendelegasikan pengaturan
ancaman pidana kepada pengaturan yang lebih rendah,
sedangkan pendelegasian tersebut hanya dapat diberi-
kan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang
yang mendelegasikan pengaturan tersebut maka harus
menetapkan jenis serta maksimum ancaman pidana
yang dapat dijatuhkan.
• Jika peraturan pemerintah mengatur perbuatan yang
jenis dan normanya tidak diatur dalam undang-undang
dan undang-undang menyerahkan kepada per­aturan
pemerintah yang bersangkutan, untuk mengatur sendi-
ri jenis ancaman pidana dan norma perbuatan yang da-
pat diancam dengan pidana, undang-undang yang ber-
sangkutan harus memuat secara tegas pendelegasian
mengenai batas maksimum ancaman pidana yang di-
jatuhkan.
• Ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas nor-
ma larangan atau perintah yang dilanggar dan menye-
but pasal-pasal yang memuat norma tersebut.

Bab 2 25
Substansi Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

001-isi.indd 25 30/09/2021 04:30:14


• Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subjek ter-
tentu, subjek dirumuskan secara tegas. Misalnya subjek
terhadap orang asing, pegawai negeri, dan sanksi.
• Ketentuan pidana hendaknya menyebutkan dengan
tegas kualifikasi jenis perbuatan yang diancam dengan
pidana pelanggaran atau kejahatan.
• Ketentuan pidana harus memperlihatkan apakah pi-
dana yang dijatuhkan bersifat kumulatif atau alternatif.
Hindari penyebutan atau pengacuan dalam ketentuan
pidana yang dapat membingungkan pemakai karena
menggunakan pengertian yang tidak jelas, apakah ku-
mulatif atau alternatif.

Jika suatu peraturan dinyatakan berlaku surut, maka:


• Peraturan tersebut hendaknya memuat ketentuan me­
ngenai status hukum dari tindakan hukum, hubung­
an hukum, dan akibat hukum dalam tenggang waktu
antara tanggal pengundangan dan tanggal mulai ber-
laku surut;
• Mengingat berlakunya asas-asas umum hukum pidana,
penentuan daya laku surut hendaknya tidak diberlaku
surutkan bagi ketentuan yang menyangkut pidana atau
pemidanaan;
• Penentuan daya laku surut sebaiknya tidak diada-
kan bagi peraturan perundang-undangan yang me-
muat ketentuan yang memberi beban konkret kepada
masyarakat;

Pada dasarnya saat mulai berlakunya peraturan pe-


rundang-undangan tidak dapat ditentukan lebih awal saat
pengundangannya. Jika ada alasan yang kuat untuk mem-
berlakukan peraturan perundang-undangan lebih awal
dari saat pengundangannya (berlaku surut), maka perlu
diperhatikan hal-hal lain sebagai berikut:

26 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 26 30/09/2021 04:30:14


• ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana,
baik jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut
diberlaku surutkan;
• rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut
itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan
akibat hukum tertentu yang sudah ada, perlu dimuat
dalam ketentuan peralihan;
• awal dari saat mulai berlaku peraturan perundang-un-
dangan sebaiknya tidak ditetapkan terlebih dahulu dari
saat rancangan peraturan perundang-undangan terse-
but mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya ketika
rancangan undang-undang itu disampaikan ke Dewan
Perwakilan Rakyat.
• Penundaan sementara memuat secara tegas dan rinci
tindakan hukum, hubungan hukum, atau akibat hukum
yang dimaksud, serta jangka waktu atau syarat-syarat
bagi berakhirnya penundaan sementara itu.
• Hindari rumusan dalam ketentuan peralihan yang
isinya memuat perubahan diam-diam atau ketentuan
perundang-undangan lain. Perubahan ketentuan per­
aturan perundang-undangan hendaknya dimuat da-
lam pengertian pada ketentuan umum atau dilakukan
dengan membentuk peraturan perundang-undangan
perubahan.
• Peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut
dengan peraturan perundang-undangan yang tingkat­
annya sama atau lebih tinggi. Pencabutan peraturan
perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi
dilakukan, jika peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kem-
bali seluruh atau sebagian materi peraturan perundang-
undangan lebih rendah yang dicabut itu.
• Pendelegasian kewenangan bahwa peraturan perun-
dang-undangan dapat mendelegasikan kewenangan

Bab 2 27
Substansi Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

001-isi.indd 27 30/09/2021 04:30:14


mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-un-
dangan yang lebih rendah. Pendelegasian kewenang­an
mengatur, harus menyebut dengan tegas jenis pera-
turan perundang-undangan dan ruang lingkup materi
yang diatur.
• Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat pe-
nyelenggara negara, tidak dapat didelegasikan lebih
lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali
jika oleh undang-undang yang mendelegasikan terse-
but dibuka kemungkinan untuk itu.

Suatu peraturan pemerintah baru dapat dibentuk apa-


bila sudah ada undang-undangnya, namun suatu peraturan
pemerintah dapat dibentuk meskipun dalam undang-un-
dangnya tidak ditentukan secara tegas supaya diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah.
Attamimmi (1992) mengemukakan beberapa karakter-
istik dari peraturan pemerintah, yaitu:
• Peraturan pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa ter-
lebih dahulu ada undang-undang yang menjadi in-
duknya
• Peraturan pemerintah tidak dapat mencantuman sank-
si pidana apabila undang-undang yang bersangkutan
tidak mencantumkan sanksi pidana
• Ketentuan peraturan pemerintah tidak dapat menam-
bah atau mengurangi ketentuan undang-undang yang
bersangkutan
• Untuk menjalankan, menjabarkan atau merinci ke-
tentuan undang-undang peraturan pemerintah dapat
dibentuk meski ketentuan undang-undang tersebut
tidak memintanya secara tegas
• Ketentuan peraturan pemerintah berisi peraturan atau
gabungan peraturan dan penetapan tetapi peraturan
pemerintah tidak berisi penetapan semata-mata.

28 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 28 30/09/2021 04:30:14


Berdasarkan uraian diatas, desentralisasi mengandung
dua pengertian. Pertama, desentralisasi merupakan pem-
bentukan daerah otonom dan penyerahan wewenang ter-
tentu kepada daerah oleh pemerintah pusat. Kedua, desen-
tralisasi dapat pula berarti penyerahan wewenang tertentu
kepada daerah otonom yang telah terbentuk sebelumnya
oleh pemerintah pusat. Secara prosesual desentralisasi be-
rawal dari pembentukan daerah otonom, yakni kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas wailayah ter-
tentu yang berwenang menetapkan dan melaksanakan
kebijakan bagi kepentingan sendiri. Pembentukan daerah
otonom dengan undang-undang dalam arti formal. Un-
dang-undang yang membentuk daerah otonom lazim di­
sebut undang-undang pembentukan, pembentukan daerah
otonom secara satu demi satu diserahkan wewenang untuk
menetapkan kebijakan maupun wewenang untuk melak-
snakan kebijkan, dan dalam pelimpahan wewenang terse-
but hanya terbatas untuk melaksanakan kebijakan.

Bab 2 29
Substansi Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia

001-isi.indd 29 30/09/2021 04:30:14


BAB 3
RANCANGAN PERATURAN
HUKUM (LEGAL DRAFTING) DAN
PERUNDANGAN – UNDANGAN
(LEGISLATURE)

Pengaturan yang Terkoordinir


Kemampuan dan koordinasi dalam legal drafting khusus-
nya dalam mempersiapkan RUU, perlu mendapat perha-
tian, karena faktor ini adalah menyangkut salah satu fungsi
utama aparatur negara khususnya aparatur pemerintahan.
Hal ini sangat penting bahwa kebijaksanaan regulasi dan
birokratisasi demikian relevan dan dominan, terlebih da-
lam memasuki era reformasi pemerintahan dan pemba­
ngunan. Membicarakan legal drafting sebenaranya secara
langsung atau tidak juga membicarakan public policy ka­
rena pada umumnya dirumuskan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan.
Prinsip–prinsip yang dianut dalam sistem administra-
si pemerintahan RI antara lain adalah prinsip pembagian
habis tugas-tugas pemerintahan dalam Departemen dan
lembaga pemerintah non-departemen. Yang penting ada-
lah prinsip fungsional dalam sistem administrasi peme­
rintahan RI, di mana masing-masing departemen secara
fungsional bertugas dan bertanggung jawab atas sebagian
tugas pokok pemerintahan. Misalnya departemen kesehat­
an bertugas dan bertanggung jawab secara fungsional di
bidang kesehatan, terlepas dari siapa yang melakukan ke­
giatan di bidang tersebut. Demikian juga halnya depar-

30 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 30 30/09/2021 04:30:14


temen Pendidikan dan Kebudayaan bertanggung jawab
di bidang pendidikan, walaupun lembaga-lembaga pen-
didikan dapat dimiliki oleh Departemen lain bahkan oleh
masyarakat (swasta) atau pemerintah daerah.

Fungsionalisasi Departemen-departemen
Pada umumnya fungsi utama departemen yaitu:
1. Fungsi pengaturan, merupakan fungsi utama semua
depatemen dan termasuk fungsi yang paling sukar
tapi sangat penting;
2. Fungsi perizinan, tujuannya adalah menjamin keadil­
an, pemerataan dan pengamanan. Setiap perizinan
harus jelas mekanisme dan prosedurnya serta pejabat
atau unit organisasi mana yang diberi wewenang un-
tuk mengeluarkan izin tersebut.
3. Fungsi pelaksanaan sendiri tugas pokok, karena sifat-
nya maka pejabat-pejabat instantsi tertentu diberi tu-
gas dan tanggung jawab untuk melaksanakan sendiri
tugas pokoknya seperti pemungutan pajak, bea cukai,
imigrasi, dan pemasyarakatan.
4. Fungsi pengelolaan pemilikan negara yang dipercaya-
kan kepada Departemen yang bersangkutan, dimana
milik negara yang ditulis dalam beberapa dokumen dan
disebut di media massa adalah yang berbentuk BUMN.
Jumlah yang besar adalah sarana fisik pendidik­an dan
rumah sakit milik negara yang dikelola berdasarakan
ICW (Undang-Undang Pembendaharaan Negara) dan
semua karyawannya berstatus pegawai negeri sipil.
5. Fungsi pengawasan pelaksanaan tugas pokok, di mana
pengawasan fungsional melekat, akan tetapi fungsi
utama departemen adalah untuk mengawasi dan
meng­evaluasi apakah pelaksanaan tugas pokoknya
berjalan seperti yang direncanakan.

Bab 3 31
Rancangan Peraturan Hukum (Legal Drafting) dan Perundangan –
Undangan (Legislature)

001-isi.indd 31 30/09/2021 04:30:14


Istilah departemen mengandung arti bahwa pelaksa-
naan tugas pemerintahan tidak merupakan pengkotakan,
tapi tiap departemen merupakan bahagian atau subsistem
dari keseluruhan sistem pemerintahan negara, karenanya
tidak dapat berjalan sendiri tanpa koordinasi. Kelanjutan
dari prinsip fungsionalisasi, maka perlu adanya koordinasi
vertikal, koordinasi diagonal, dan koordinasi horizontal.
KIS yaitu Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi adalah
singaktan utntuk mengingatkan para pejabat akan pen­
tingnya koordinasi fungsional tersebut.

Legal Drafting
Ialah pembuatan konsep setiap dokumen yang mempu-
nyai akibat (legal effect), baik di bidang hukum publik mau-
pun hukum privat. Adapun legislative drafting termasuk
sebagai salah satu bagian dalam kelompok legal drafting
yang khusus untuk kegiatan perundang-undangan. Sesuai
dengan prinsip fungsionalisasi, maka prakarsa perumusan
suatu peraturan perundang-undangan harus diambil oleh
departemen yang secara fungsional bertugas di bidang itu,
seperti Departemen P&K di bidang pendidikan dan lain-
nya. Departemen yang bersangkutanlah yang mengetahui
tingkat hierarki peraturan perundang-undangan mana
yang diperlukan, apakah itu Peraturan Dirjen, Peraturan
Menteri, Keppres, Peraturan Pemerintah atau Rancangan
Undang-Undang.
Pada pokoknya prakarsa dan perumusan suatu ren-
cana peraturan perundang-undangan adalah tugas Menteri
yang fungsional membidangi substansi rencana peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Yang dapat
mengeluarkan Peraturan Menteri sesuai dengan UUD 1945
adalah Menteri yang dipimpin oleh Departemen, karena

32 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 32 30/09/2021 04:30:15


menteri yang memimpin departemen adalah perangkat
organisasinya juga bertanggung jawab atas keberhasilan
pelaksnaa peraturan Menteri itu.
Penentuan suatu peraturan perundang-undangan
berbentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kep-
pres atau peraturan Menteri tergantung dari ruang ling-
kup substansi peraturan perundang-undangan dan ting-
kat hierarkinya. Persoalan lain dalam legal drafting adalah
susunan dan sistematika rumusan rencana peraturan pe-
rundang-undangan, khususnya yang menyangkut kon-
siderasn dan diktum. Secara fungsional, Departemen yang
menyiapkan Pedoman atau petunjuk mengenai susunan
dna sistematika rencana peraturan perundang-undangan
adalah Departemen Kehakiman, yaitu Direktorat Jenderal
Hukum dan Perundang-undangan. Dalam hal ini depar-
temen kehakiman secara diagonal mengkoordinir semua
biro atau bagian hukum yang terdapat disemua departe-
men dan lembaga pemerintahan non-Departemen.
Para praktisi hukum sering dihadapkan pada situasi
harus menyusun perancangan hukum untuk kepentingan
hukum dirinya, kliennya, atau lembaganya. Begitu juga
kepada kalangan instansi pemerintah, lembaga negara,
dan lembaga, badan, serta komisi selain lembaga negara
yang berkepentingan menyusun legal drafting. Penyusun­
an legal drafting ini harus memperhatikan teori, asas, dan
kaidah yang diatur oleh peraturan perundang-undangan
serta norma, standar, dan praktik hukum secara universal.
Dengan demikian, keabsahan produk legal drafting yang
telah disepakati dan kepentingan hukum para pihak yang
menyusun legal drafting dapat terlindungi secara hukum.
Namun faktanya masih banyak yang belum memahami ba-
gaimana menyusun legal drafting secara benar dan sah.
Secara umum, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Bab 3 33
Rancangan Peraturan Hukum (Legal Drafting) dan Perundangan –
Undangan (Legislature)

001-isi.indd 33 30/09/2021 04:30:15


Undangan terdapat urutan peraturan perundang-undang­
an yang diuraikan di Pasal 7 terdiri dari UUD 1945, TAP
MPR, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda Prov, Perda Kab/Kota
dan Peraturan lainnya. Pentingnya urutan tersebut dipa-
hami, agar peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mangikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.
Lebih lanjut bahwa teknik penyusunan diperlukan un-
tuk keseragaman dalam hal bentuk atau format per­aturan
perundangan-undangan baik peraturan perundang-un­
dang­­an tingkat pusat maupun daerah. Selain itu juga se-
bagai pedoman untuk menyusun Rancangan Undang-Un-
dang. Adapun peraturan yang dibentuk harus tegas dan
lugas (tidak menimbulkan multiinterprestasi), konsisten
(istilah/perumusan/pengaturan), sistematis, prediktif (da-
pat dilaksanakan), dan mudah dimengerti (dipahami).
Dalam kaitannya penyusunan materi muatan harus
jelas mengikuti penyusunan peraturan undang-undang
yang berlaku. Misalnya pada penyusunan undang-un-
dang maka materi muatannya pada pengaturan lebih lan-
jut mengenai ketentuan UUD NRI Tahun 1945, Perintah
UU, Pengesahan perjanjian, internasional, tindak lanjut
putus­an MK dan pemenuhan kebutuhan hukum. Pada pe­
nyusunan PERPU, materi muatannya sama dengan materi
muatan undang-undang. Penyusunan Peraturan Pemerin-
tah materi muatannya menjalankan undang-undang seba-
gaimana mestinya. Penyusunan Peraturan Presiden materi
muatannya materi yang diperintahkan oleh undang-un-
dang, melaksanakan PP, melaksanakan pemyelenggaraan
kekuasaan pemerintah. Penyusunan Peraturan Daerah ma-

34 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 34 30/09/2021 04:30:15


teri muatannya yaitu penyelenggaraan otonomi daerah,
tugas pembantuan, menampung kondisi khusus daerah,
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.

Bab 3 35
Rancangan Peraturan Hukum (Legal Drafting) dan Perundangan –
Undangan (Legislature)

001-isi.indd 35 30/09/2021 04:30:15


BAB 4
PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH

Pembahasan tentang peran serta masyarakat ini disajikan


karena pada saat ini, masyarakat berpendapat bahwa pem-
bentukan peraturan perundang-undangan yang baik ada-
lah yang dilakukan dengan mengetengahkan peran serta
masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan
peraturan daerah selain dilakukan untuk memenuhi ke-
tentuan Pasal 96 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 ten-
tang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta
beberapa peraturan lain yang berkaitan, sebenarnya juga
untuk memenuhi asas-asas pembentukan peraturan pe-
rundang-undangan yang baik, terutama asas dapat dilak-
sanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan,serta asas
keterbukaan.
Sesuai dengan maksud Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Republik Indonesia, yang dimaksud dengan
Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah, baik
di tingkat Provinsi oleh Gubernur maupun Kabupaten/
Kota oleh Bupati/Walikota. Dalam Ketentuan Undang-Un-
dang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelengga-
raan otonomi daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan tugas
pembantuan serta dapat memuat materi muatan lokal se­
suai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

36 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 36 30/09/2021 04:30:15


Pembentukan Peraturan Daerah yang baik harus mem-
perhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik, yang salah satunya adalah“asas
keterbukaan”.Asas keterbukaan dimaksud dalam hal ini
bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
dari tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesah­an atau penetapan sampai pengundangan bersi-
fat transparan dan terbuka, sebagaimana telah ditentukan
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah bahwa seluruh lapisan masyarakat
mempunyai hak dan kesempatan yang seluas-luasnya un-
tuk memberikan masukan,baik secara lisan dan/atau tertu-
lis dalam Pembentukan Peraturan Daerah.
Asas keterbukaan merupakan prasyarat untuk dilaku-
kannya demokratisasi dalam perencanaan dan pembentuk­
an peraturan daerah dimana perwujudanasas keterbukaan
dalam perencanaan dan pembentukan peraturan daerah
dapat berupa memberikan peluang kepada masyarakat
untuk turut serta memberikan masukan.Setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena benar-benar dibu-
tuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan ber-
masyarakat, berbangsa, dan bernegara.Konsep aspiratif
dalam pembentukan Peraturan Daerah sesungguhnya te-
lah tergambar dalam konsep partisipasi masyarakat (public
participation). Selayaknya masyarakat harus diberi peluang
besar untuk terlibat dalam pembentukan Peraturan Daerah
karena hukum dibuat untuk masyarakat dan mengatur ke-
hidupan bermasyarakat.
Situasi realistis mengenai keberlakuan peraturan daerah
yang aspiratif perlu mendapatkan perhatian dalam kajian
normatif dan sosiologis yang mengedepankan kenyataan
dalam kehidupan masyarakat. Hukum yang dalam hal
ini adalah peraturan daerah, harus bersentuhan pada as-

Bab 4 37
Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 37 30/09/2021 04:30:15


pek masyarakat. Pemerintah Daerah pada dasarnya secara
konseptual harus memberikan jalan bagi masyarakat un-
tuk berperan secara maksimal dalam rangka perumusan
peraturan daerah dan pelaksanaannya untuk kepentingan
masyarakat yang baik, yang secara konseptual masuk da-
lam bingkai “good legislation for financial management” Pe-
merintahan Daerah.
Setiap norma hukum yang dituangkan dalam per­
aturan perundang-undangan haruslah mencerminkan
tuntutan kebutuhan masyarakat akan norma hukum yang
se­suai de­ngan kenyataan kesadaran hukum masyarakat.
Oleh ka­rena itu, dalam konsideran, harus dirumuskan
dengan baik pertimbangan-pertimbangan yang bersifat
empiris sehingga ide/gagasan normatif yang dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan benar-benar di-
dasarkan atas kenyataan yang hidup dalam kesadaran hu-
kum masyarakatdi tiap-tiap daerahsehingga norma hukum
yang tertuang dalam Peraturan Daerah itu nantinya dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di tengah-tengah
masyarakat yang diaturnya.
Masukan dari setiap komponen masyarakat sangat
diperlukan dalam pembentukan dan penyusunan suatu
produk hukum di daerah agar menjadi Perda yang aspiratif
dan tidak diskriminatif terhadap satu kelompok.Berdasar-
kan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011bahwamateri muatan Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tu-
gas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah
dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.

38 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 38 30/09/2021 04:30:15


BAB 5
PANDANGAN UMUM TENTANG
OTONOMI DAERAH
DAN PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH

Pengertian Otonomi Daerah


“Otonomi” berasal dari bahasa Yunani autonomos (autono-
mia), yang artinya “keputusan sendiri” (self-rul-ring). Ada
banyak pengertian tentang otonomi yang berhubungan
dengan makna subjektivitas dari sebuah kedaulatan dalam
wujud negara selaku individu.
Jika merujuk pada pengertian otonomi maka ciri pen­
ting dari bentuk otonomi adalah “tidak dikontrol” oleh
pihak lain ataupun kekuatan luar. Dengan demikian, oto-
nomi dapat mengandung pengertian berikut.
l Bentuk “pemerintahan sendiri” (self-government), yaitu
hak untuk memerintah dan menentukan nasib sendiri
(self-determination).
l Pemerintahan sendiri yang dihormati, diakui, dan di-
jamin tidak adanya kontrol oleh pihak lain terhadap
fungsi daerah.
l Memiliki pendapatan yang cukup untuk menentu-
kan nasib sendiri dan memenuhi kesejahteraan hidup
masyarakatnya.
l Memiliki supremasi kekuasaan (supremacy of authority)
dan aturan hukum (rule) yang dilaksanakan sepenuh-
nya oleh pemegang kekuasaan di daerahnya.

Bab 5 39
Pandangan Umum tentang Otonomi Daerah dan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 39 30/09/2021 04:30:15


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dimak-
sud dengan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indone-
sia.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pem-
berdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat. Pemberian otonomi yang seluas-lu-
asnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat ter-
wujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di
samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strat-
egis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan
daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pe-
merataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan, serta
potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada
Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatu-
an. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada
pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan
tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas
apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung
jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan
tetap ada di tangan Pemerintah Pusat. Untuk itu, Peme­
rintahan Daerah pada Negara Kesatuan merupakan satu
kesatuan dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan dengan
itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah
merupakan bagian integral dari kebijakan nasional.

40 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 40 30/09/2021 04:30:15


Pembedanya adalah terletak pada bagaimana meman-
faatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativi-
tas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di
tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pen-
capaian tujuan nasional secara keseluruhan. Daerah seba-
gai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya
sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang
tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan
kepentingan umum.
Dengan demikian, isi dan jenis otonomi bagi setiap
daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya walaupun
telah diberikan otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur urusan
pemerintahannya sendiri.
Pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai un-
sur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenan-
gan daerah otonom.
Gubernur sebagai Kepala Daerah berfungsi sebagai
wakil pemerintah pusat di daerah dalam pengertian un-
tuk menjembatani pelaksanaan tugas dan fungsi Presiden
termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap pe-
nyelenggaraan urusan pemerintahan pada daerah Kabu-
paten dan Kota.
Hubungan antara Pemerintah Daerah dan Dewan Per-
wakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan hubungan
kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan.
Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lem-
baga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang
sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini
tecermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Per­
aturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa
antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama

Bab 5 41
Pandangan Umum tentang Otonomi Daerah dan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 41 30/09/2021 04:30:15


mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk
melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi mas-
ing-masing sehingga antara kedua lembaga itu memban-
gun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung
bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain
dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Oleh karena
itu, DPRD sebagai lembaga perwakilan pun berkedudukan
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Teori Pembentukan Hukum


Imperatif etis yang terkandung dalam eksistensi manu-
sia bertujuan untuk mengembangkan hidupnya. Dengan
demikian, imperatif etis ini menjadi landasan kehidupan
moral. Didorong oleh hati nuraninya, manusia mencipta-
kan sejumlah prinsip moral.
Kehidupan manusia terdiri dari macam-macam bidang,
antara lain bidang kehidupan bersama dalam masyarakat.
Kehidupan ini diatur oleh hukum. Oleh karena itu, imper-
atif etis menghasilkan juga sejumlah prinsip untuk bidang
hukum. Prinsip-prinsip yang dihasilkan bagi kehidupan
bersama menurut hukum disebut hukum alam. Hukum
alam berfungsi sebagai norma bagi pengaturan hidup ber-
sama manusia.
Tentu saja, hukum yang mengatur masyarakat tidak
mengalir secara langsung dari hukum dasar normatif. Prin-
sip-prinsip abstrak itu harus dikonkretkan dalam suatu
tata hukum tertentu supaya berlaku. Orang-orang kom-
peten yang mau membentuk peraturan-peraturan hukum
tidak menyimpulkannya begitu saja dari norma-norma
dasar. Mana peraturan yang harus dibentuk baru menjadi
tampak dalam konfrontasi norma-norma umum dengan
situasi konkret suatu masyarakat tertentu.

42 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 42 30/09/2021 04:30:15


Situasi konkret suatu masyarakat terjalin erat dengan
sejarah dan jiwa bangsa tertentu. Dalam perkembangan ke-
hidupan suatu bangsa, dengan sendirinya timbullah suatu
rasa hukum tertentu. Itu berarti bahwa dalam kehidupan
bersama, beberapa prinsip akan diberikan tekanan, sedang­
kan prinsip-prinsip lain kurang ditonjolkan.
Dapat disimpulkan bahwa hukum yang dibentuk da-
lam suatu masyarakat tertentu akan memperlihatkan ciri-
ciri khas, sesuai dengan situasi masyarakatnya. Oleh karena
itu, hukum suatu masyarakat tertentu sepantasnya disebut
hukum nasional. Hukum nasional harus dibentuk juga se­
suai dengan prinsip-prinsip dasar hukum. Namun, peng-
gunaan prinsip-prinsip ini tergantung dari rasa hukum
jiwa bangsa dan kebutuhan konkret masyarakat. Situasi
sosial ditekankan oleh banyak pemikir modern tentang hu-
kum. Von Savigny menitikberatkan pengaruh jiwa bangsa
dalam pembentukan hukum.
Pada zaman sekarang, keyakinan bertambah bahwa
salah satu syarat supaya suatu perundang-undangan men-
jadi sah adalah persetujuan warga negara.
Kalau persetujuan ini tidak ada, pembentukan hukum
tidak berlainan dari tindakan kekuasaan. Dua pertimbang­
an mendukung pandangan ini, yaitu sebagai berikut.
l Semua manusia memiliki akal budi untuk memikirkan
manakah hukum yang tepat bagi hidup bersama me­
reka.
l Dengan dimilikinya akal budi itu, dibukalah kemung-
kinan untuk berunding bersama tentang peraturan
yang tepat bagi hidup bersama itu.

Persetujuan yang dimaksud di sini menyangkut dua


hal. Pertama-tama, harus ada persetujuan tentang pemben-
tukan negara, dengan mengaku suatu pemerintah. Tanpa

Bab 5 43
Pandangan Umum tentang Otonomi Daerah dan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 43 30/09/2021 04:30:15


persetujuan ini, pemerintah tidak sah. Seperti telah dika-
takan oleh filsuf-filsuf abad XVIII bahwa persetujuan ini
sering kali diandai-andaikan saja, disetujui secara diam-
diam berhubung sudah nyata dalam praktik orang sebagai
warga negara.
Persetujuan yang kedua berhubungan dengan pem-
bentukan undang-undang. Melalui konsensus, anggota
masyarakat mengambil bagian dalam pembentukan hu-
kum tersebut. Partisipasi orang-orang dalam pemben-
tukan hukum berdasar pada rasa keadilan yang dimiliki
tiap-tiap orang. Tetapi apa yang dirasa sebagai adil, belum
tentu dirasa begitu juga oleh orang lain. Oleh karena itu,
diperlukan perundingan bersama untuk menentukan apa
yang akan berlaku sebagai kewajiban. Melalui konsensus,
tuntutan etis menjadi tampak dalam bidang kehidupan
pada umumnya dan bidang kenegaraan dan hukum pada
khususnya. Inilah maksud yang sebenarnya dari teori kon-
sensus abad XVIII.
Konsensus merupakan pengantara antara imperatif
etis dalam arti manusia dan isi konkret suatu perundang-
undangan. Melalui konsensus, anggota masyarakat sam-
pai pada keyakinan bahwa undang-undang tertentu co-
cok dengan apa yang dipandang sebagai adil. Tentu saja,
konsensus itu bukanlah pencipta hukum, melainkan jalan
menuju suatu hukum yang adil dan tepat dibuka melalui
konsensus itu.
Konsensus adalah persetujuan antara anggota suatu
masyarakat tertentu tentang pembentukan undang-un-
dang yang adil dan tepat. Tetapi, adanya persetujuan itu
tidak menjamin dibentuknya undang-undang adil dan te-
pat sebagaimana disetujui. Dengan kata lain, rasa hukum
itu bukan suatu instansi yang kebal sehingga tidak dapat
tersesat. Walaupun semua orang mempunyai suatu pan-

44 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 44 30/09/2021 04:30:15


dangan tertentu, belum terbukti bahwa pandangan mereka
tetap. Inilah konsekuensi dari keyakinan bahwa prinsip-
prinsip keadilan dan kebenaran ini tidak tergantung dari
persetujuan manusia.

Pembentukan Peraturan Daerah


Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda dibentuk
dalam rangka untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah
dan Tugas Pembantuan. Terdapat dua materi muatan da-
lam Perda, yaitu penyelenggaraan Otonomi Daerah dan
Tugas Pembantuan; dan penjabaran lebih lanjut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain
materi muatan tersebut, Perda dapat memuat materi mua-
tan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Jadi, Peraturan Daerah merupakan produk hukum
yang dibuat oleh Pemerintah Daerah bersama-sama de­
ngan lembaga legislatif di daerah guna mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan di daer-
ah, di mana Peraturan Daerah bisa berbentuk Peraturan
Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten atau Per­
aturan Daerah Kota.
Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perun-
dang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakil­
an Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama
Gubernur. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh De-
wan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan
persetujuan bersama Bupati/Walikota.
Irawan Soejito menjelaskan bahwa untuk membuat
suatu peraturan perundang-undangan yang baik diperlu-
kan persiapan, pengetahuan yang mendalam dari materi

Bab 5 45
Pandangan Umum tentang Otonomi Daerah dan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 45 30/09/2021 04:30:15


yang akan diatur, dan pengetahuan akan daya upaya yang
tepat untuk mencegah penghindaran diri dari ketentuan-
ketentuan peraturan itu, kecakapan untuk mencari dan
menemukan sarinya dari kumpulan fakta yang sudah
tumbuh sejak lama dan untuk menuangkannya di dalam
bentuk peraturan yang singkat tetapi jelas, agar maksud
itu, yang harus selalu diperhatikan, dapat dicapai dengan
sebaik-baiknya.
Untuk itu, penyusunan Peraturan Daerah hendaknya
memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
l Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
Peraturan Daerah lain, dan peraturan perundang-un-
dangan yang lebih tinggi. Yang dimaksud Peraturan
Daerah lain adalah Peraturan yang sejenis dan sama,
kecuali untuk perubahan.
l Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan tentang
pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan
Perda, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar.
Paksaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah un-
tuk menegakkan hukum melalui UU No. 23 Tahun
2014 disebut “paksaan penegakan hukum” atau “pak-
saan pemeliharaan hukum”.

Paksaan itu harus didahului oleh suatu perintah tertu-


lis oleh penguasa eksekutif kepada pelanggar. Apabila
pelanggar tidak mengindahkannya, diambil suatu tindak­
an paksaan. Pejabat yang menjalankan tindakan paksaan
penegakan hukum terhadap pelanggar harus dengan te-
gas diserahi tugas tersebut. Paksaan penegakan hukum itu
hendaknya hanya dilakukan dalam hal yang sangat perlu
saja dan dengan cara seimbang sesuai dengan berat pe-
langgaran karena paksaan tersebut pada umumnya dapat
menimbulkan kerugian atau penderitaan.

46 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 46 30/09/2021 04:30:15


Peraturan Daerah merupakan salah satu bentuk per­
aturan pelaksana undang-undang. Pada pokoknya, ke-
wenangannya mengatur bersumber dari kewenangan yang
ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Akan tetapi,
dalam hal-hal tertentu, peraturan daerah juga dapat me­
ngatur sendiri hal-hal yang meskipun tidak didelegasikan
secara eksplisit kewenangannya oleh undang-undang, di-
anggap perlu diatur oleh daerah untuk melaksanakan oto-
nomi daerah yang seluas-luasnya sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 18 ayat (3) dan (4) UUD 1945. Bahkan dalam
peraturan daerah juga dapat dimuat mengenai ketentuan
pidana seperti halnya dalam undang-undang. Dalam Pasal
15 UU No. 12 Tahun 2011 ditentukan, ”Materi muatan
mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam
Undang-Undang dan Peraturan Daerah”.
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Pera-
turan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pem-
bantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/
atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undang­
an yang lebih tinggi.
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah
• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ta-
hun 1945;
• Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
• Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Un-
dang-Undang;
• Peraturan Pemerintah;
• Peraturan Presiden;
• Peraturan Daerah Provinsi;
• Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Bab 5 47
Pandangan Umum tentang Otonomi Daerah dan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 47 30/09/2021 04:30:15


Dengan perkataan lain, di samping untuk melaksana-
kan ketentuan undang-undang, peraturan daerah juga
dapat dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Undang-
Undang Dasar secara langsung, ataupun untuk menjabar-
kan lebih lanjut materi ketentuan peraturan perundang-
undang­an lain yang lebih tinggi, yaitu Peraturan Presiden
dan Per­aturan Pemerintah. Seperti sudah ditentukan da-
lam Pasal 14 yang dikutipkan di atas, materi muatan pera-
turan daerah itu adalah seluruh materi yang dibutuhkan
dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah dan
tugas pembantuan, menampung kondisi yang bersifat
khusus di daerah, dan menjabarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan
Presiden, Peraturan Pemerintah, dan Undang-Undang atau
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Karena
kewenang­an untuk mengatur penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan itu juga ditentukan sendiri
oleh Pasal 18 ayat (3) dan (4) UUD 1945 maka peraturan
daerah yang memuat materi yang diperlukan untuk me-
nyelenggarakan otonomi dan tugas pembantuan itu juga
dapat dianggap secara langsung melaksanakan ketentuan
Undang-Undang Dasar.
Peraturan daerah mempunyai berbagai fungsi, yaitu
(1) sebagai penampung kekhususan dan keragaman daer-
ah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun
dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatu­
an Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; (2) sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan
otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana dia-
manatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pe-
merintahan Daerah; (3) merupakan peraturan pelaksanaan

48 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 48 30/09/2021 04:30:15


dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; (4)
dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan
hierarki Peraturan Perundang-undangan; (5) sebagai alat
pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah.
Proses pembentukan peraturan daerah itu, terutama
berkenaan dengan Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan
Daerah Kabupaten, dan Peraturan Daerah Kota agak mirip
dengan pembentukan Undang-Undang di tingkat pusat. Di
dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menentukan bahwa rancangan pera-
turan daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat
daerah atau Gubernur, atau Bupati/Walikota, masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabu-
paten, atau kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang berasal
dari gubernur atau bupati/walikota diatur dengan Per­
aturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Dalam hal Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, Perenca-
naan Rancangan Peraturan Daerah tersebut meliputi ke­
giatan a. penyusunan Prolegda; b. perencanaan pe­nyusunan
Rancangan Peraturan Daerah kumulatif terbuka; c. peren-
canaan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah di luar
Prolegda.
Tata Cara Penyusunan Prolegda di Lingkungan Peme­
rintah Daerah Provinsi dalam Pasal 34 Perpres Nomor 87
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Un-
dang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Gubernur menugaskan pimpinan
Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam penyusunan Pro-

Bab 5 49
Pandangan Umum tentang Otonomi Daerah dan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 49 30/09/2021 04:30:15


legda di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi. Dalam
Pasal 35 ditentukan bahwa Penyusunan Prolegda di ling-
kungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh
biro hukum. Penyusunan Prolegda sebagaimana dimaksud
di atas dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait. In-
stansi vertikal terkait sebagaimana dimaksud terdiri atas
instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum; dan/atau instansi
vertikal terkait sesuai dengan kewenangan; materi muatan;
atau kebutuhan. Hasil penyusunan Prolegda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh biro hukum ke-
pada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Provinsi. Hasil
penyusunan Prolegda di lingkungan Pemerintah Daerah
Provinsi disampaikan Gubernur kepada Balegda melalui
Pimpinan DPRD Provinsi.
Tata Cara Penyusunan Prolegda di Lingkungan DPRD
Provinsi Pasal 37 Ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 87 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No-
mor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perun-
dang-undangan bahwa Penyusunan Prolegda Provinsi di
lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh Balegda.
Selanjutnya, ketentuan mengenai penyusunan Prolegda di
lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud di atas
diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi.
Tata Cara Penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana
diatur dalam Pasal 38 Ayat (1 s.d. 4) bahwa Penyusunan
Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pe-
merintah Daerah Provinsi. Penyusunan Prolegda Provinsi
sebagaimana dimaksud memuat daftar Rancangan Per­
aturan Daerah Provinsi yang didasarkan atas: a. perintah
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi; b. ren-
cana pembangunan daerah; c. penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan; d. aspirasi masyarakat daer-

50 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 50 30/09/2021 04:30:15


ah. Penyusunan Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka
waktu satu tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi. Penyusunan dan
penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebe-
lum penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Ang-
garan Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. Penetapan
skala prioritas pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Balegda
dan biro hukum berdasarkan kriteria: a. perintah Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi; b. rencana pem-
bangunan daerah; c. penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan; d. aspirasi masyarakat daerah.
Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD
Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi disepakati
menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat
Paripurna DPRD Provinsi. Prolegda Provinsi ditetapkan
dengan Keputusan DPRD Provinsi.
Tata Cara Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi yang dimuat dalam Kumulatif Terbuka diatur da-
lam Pasal 40 Ayat (1) dan (2) bahwa dalam Prolegda di ling-
kungan Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi
dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas
akibat putusan Mahkamah Agung dan Anggaran Penda-
patan dan Belanja Daerah Provinsi. Selanjutnya, daftar ku-
mulatif terbuka dapat memuat Peraturan Daerah Provinsi
yang dibatalkan, diklarifikasi, atau atas perintah Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Tata Cara Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi di luar Prolegda Provinsi diatur dalam Pasal 41
Perpres Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksa-
naan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pem-
bentukan Peraturan Perundang-undangan di mana dalam
keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat mengajukan Rancang­

Bab 5 51
Pandangan Umum tentang Otonomi Daerah dan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 51 30/09/2021 04:30:15


an Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi
berdasarkan izin prakarsa dari Gubernur. Keadaan tertentu
tersebut meliputi hal untuk mengatasi keadaan luar biasa,
keadaan konflik, atau bencana alam; akibat kerja sama de­
ngan pihak lain; keadaan tertentu lainnya yang memasti-
kan adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan Daer-
ah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh Balegda dan
biro hukum.
Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Prolegda
Provinsi berlaku secara mutatis mutandis terhadap pe­
nyusunan Prolegda Kabupaten/Kota. Selain ketentuan se-
bagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Perpres Nomor 87 Ta-
hun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan bahwa Prolegda Kabupaten/Kota
dapat juga memuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri
atas a. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan ke-
camatan atau nama lainnya; dan/atau b. pembentukan, pe-
mekaran, dan penggabungan desa atau nama lainnya.
Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan
Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah
dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan dalam
Berita Daerah. Untuk itu, kepala pemerintah daerah, yaitu
Gubernur, Bupati, dan Walikota harus melaksanakan ke-
wajibannya itu dengan sungguh-sungguh dengan menye-
lenggarakan berbagai program penyebarluasan informasi
dan pengetahuan hukum dalam lingkup wilayah tanggung
jawabnya masing-masing. Bahkan, penyebarluasan infor-
masi dan pengetahuan hukum itu harus pula dimaknai
sebagai tanggung jawab yang menyangkut tuntutan ke-
butuhan akan pendidikan, pemasyarakatan, dan pembu-
dayaan hukum dalam arti yang lebih luas dan menyeluruh
di setiap daerah sehingga upaya mewujudkan cita negara

52 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 52 30/09/2021 04:30:15


hukum, di mana sistem hukum dan konstitusi yang men-
jadi landasan bekerjanya sistem bernegara dapat berjalan
dengan sebaik-baiknya. Hukum dan keadilan benar-benar
terwujud sebagaimana mestinya.

Keberlakuan Peraturan Perundang-undangan


Suatu norma dianggap sah sebagai norma hukum (legal
norm) yang mengikat untuk umum apabila norma hukum
itu berlaku karena diberlakukan atau karena dianggap
berlaku oleh para subjek hukum yang diikatnya. Keber-
lakuan ini dalam bahasa Inggris disebut “validity”, dalam
bahasa Jerman “geltung” atau dalam bahasa Belanda di­
sebut “gelding”. Keabsahan berlakunya atau keberlakuan
suatu undang-undang atau peraturan perundang-undang­
an itu pada pokoknya ditentukan oleh banyak faktor dan
beraneka cara pandang. Secara umum, dapat dikemuka-
kan adanya empat kemungkinan faktor yang menyebab-
kan norma hukum dalam undang-undang atau peraturan
perundang-undangan dikatakan berlaku. Norma-norma
hukum dimaksud dapat dianggap berlaku karena pertim-
bangan yang bersifat filosofis karena pertimbangan yuri­dis,
pertimbangan sosiologis, pertimbangan politis, ataupun
dianggap berlaku karena pertimbangan yang semata-mata
bersifat administratif.
Untuk undang-undang yang dikatakan baik, sudah se-
harusnya kelima syarat tersebut dipenuhi sekaligus, yaitu
berlaku, baik secara filosofis, politis, yuridis, sosiologis,
maupun secara administratif.
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis
apabila norma hukum itu bersesuaian dengan nilai-nilai
filosofis yang dianut oleh suatu negara. Seperti dalam pan-
dangan Hans Kelsen mengenai “gerund-norm” atau dalam

Bab 5 53
Pandangan Umum tentang Otonomi Daerah dan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 53 30/09/2021 04:30:15


pandangan Hans Nawiasky tentang “staatsfundamental-
norm”, pada setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-
nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini
sebagai sumber dari segala sumber nilai luhur dalam ke-
hidupan kenegaraan yang bersangkutan. Untuk hal ini,
nilai-nilai filosofis negara Republik Indonesia terkandung
dalam Pancasila sebagai “staatsfundamentalnorm”. Di da-
lam rumusan kelima sila Pancasila terkandung nilai-nilai
religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa, humanitas kema-
nusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas kebangsaan
dalam ikatan kebinekatunggalikaan, soverenitas kerakyat­
an, dan sosialitas keadilan bagi segenap rakyat Indonesia.
Tidak satu pun dari kelima nilai-nilai filosofis tersebut yang
boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma hukum
yang terdapat dalam berbagai kemungkinan bentuk pera-
turan perundang-undangan dalam wadah Negara Kesatu-
an Republik Indonesia.
Keberlakuan yuridis adalah keberlakuan suatu norma
hukum dengan daya ikatnya untuk umum sebagai suatu
dogma yang dilihat dari pertimbangan yang bersifat teknis
yuridis. Secara yuridis, suatu norma hukum dikatakan
berlaku apabila norma hukum itu (i) ditetapkan sebagai
norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih su-
perior atau yang lebih tinggi seperti dalam pandangan
Hans Kelsen dengan teorinya “Stuffenbau Theorie des Re-
cht”, (ii) ditetapkan mengikat atau berlaku karena menun-
jukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan
akibatnya seperti dalam pandangan J.H.A. Logemann, (iii)
ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pem-
bentukan hukum yang berlaku seperti dalam pandangan
W. Zevenbergen, dan (iv) ditetapkan sebagai norma hu-
kum oleh lembaga yang memang berwewenang untuk itu.
Jika ketiga kriteria tersebut telah terpenuhi sebagaimana

54 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 54 30/09/2021 04:30:15


mestinya maka norma hukum yang bersangkutan dapat
dikatakan berlaku secara yuridis.
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis
apabila pemberlakuannya didukung oleh faktor-faktor
kekuatan politik yang nyata (riele machtsfactoren). Meski­
pun norma yang bersangkutan didukung oleh masyarakat
lapisan akar rumput, sejalan pula dengan cita-cita filosofis
negara, dan memiliki landasan yuridis yang sangat kuat.
Tanpa dukungan kekuatan politik yang mencukupi di par-
lemen, norma hukum yang bersangkutan tidak mungkin
mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan seba-
gai hukum. Dengan perkataan lain, keberlakuan politik ini
berkaitan dengan teori kekuasaan (power theory) yang pada
gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu
norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasa­
an. Apabila suatu norma hukum telah mendapatkan du-
kungan kekuasaan, apa pun wujudnya dan bagaimanapun
proses pengambilan keputusan politik tersebut dicapainya
sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keber-
lakuan norma hukum yang bersangkutan dari segi politik.
Pandangan sosiologis mengenai keberlakuan ini cen­
derung lebih mengutamakan pendekatan yang empiris
dengan mengutamakan beberapa pilihan kriteria, yaitu (i)
kriteria pengakuan (recognition theory), (ii) kriteria peneri-
maan (reception theory), atau (iii) kriteria faktisitas hukum.
Kriteria pertama (principle of recognition) menyangkut sejauh
mana subjek hukum yang diatur mengakui keberadaan
dan daya ikat serta kewajibannya untuk menundukkan
diri terhadap norma hukum yang bersangkutan. Jika sub-
jek hukum yang bersangkutan tidak merasa terikat maka
secara sosiologis norma hukum yang bersangkutan tidak
dapat dikatakan berlaku baginya. Kriteria penerimaan se-
bagai kriteria kedua (principle of reception) pada pokoknya

Bab 5 55
Pandangan Umum tentang Otonomi Daerah dan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 55 30/09/2021 04:30:15


berkenaan dengan kesadaran masyarakat yang bersangku-
tan untuk menerima daya-atur, daya-ikat, dan daya-pak-
sa norma hukum tersebut baginya. Inilah yang dijadikan
dasar Christian Snouck Hurgronje menyatakan bahwa di
Hindia Belanda dahulu yang berlaku adalah hukum adat,
bukan hukum Islam. Menurutnya, kalaupun hukum Islam
itu secara sosiologis dapat dikatakan berlaku, hal itu sema-
ta-mata disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat hu-
kum adat sudah meresepsikannya ke dalam tradisi hukum
adat masyarakat setempat. Sementara kriteria ketiga me-
nekankan pada kenyataan faktual (faktisitas hukum), yaitu
sejauh mana norma hukum itu sungguh-sungguh berlaku
efektif dalam kehidupan nyata masyarakat.
Meskipun suatu norma hukum secara yuridis formal
berlaku, diakui (recognized), dan diterima (received) oleh
masyarakat sebagai sesuatu yang memang ada (exist) dan
berlaku (valid), dalam praktiknya sama sekali tidak efek-
tif, berarti dalam faktanya norma hukum itu tidak berlaku.
Oleh karena itu, suatu norma hukum baru dapat dikatakan
berlaku secara sosiologis apabila norma hukum dimaksud
berlaku menurut salah satu kriteria tersebut.

56 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 56 30/09/2021 04:30:15


BAB 6
PEMBENTUKAN PERATURAN
DAERAH YANG ASPIRATIF

Konsep Peraturan Daerah yang Aspiratif


Karakter produk hukum yang dalam studi ini disamakan
dengan sifat atau watak produk hukum, sebenarnya dapat
dilihat dari berbagai sudut teoretis. Dalam studi tentang
hukum banyak diidentifikasi yang dapat diberikan sebagai
sifat atau karakter hukum, seperti memaksa, tidak berlaku
surut, dan umum.
Dalam berbagai studi tentang ilmu hukum dikemuka-
kan misalnya, hukum mempunyai sifat umum sehingga
peraturan hukum tidak ditujukan kepada seseorang dan
tidak akan kehilangan kekuasaannya jika telah berlaku
terhadap suatu peristiwa konkret. Peraturan hukum juga
mempunyai sifat abstrak, yakni mengatur hal-hal yang
belum terkait dengan kasus-kasus konkret. Selain itu, ada
yang mengidentifikasi sifat hukum ke dalam sifat imper-
atif dan fakultatif. Dengan sifat imperatif, peraturan hu-
kum bersifat apriori harus ditaati, mengikat, dan memaksa.
Sementara sifat fakultatif, peraturan hukum tidak secara
apriori mengikat, tetapi sekadar melengkapi, subsider, dan
dispositif.
Sifat atau karakter produk hukum secara dikotomis
dibedakan atas hukum otonom dan hukum menindas seperti
yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick, serta hukum
responsif dan hukum ortodoks. Berdasarkan pilihan tersebut

Bab 6 57
Pembentukan Peraturan Daerah Yang Aspiratif

001-isi.indd 57 30/09/2021 04:30:15


maka kerangka teoretis tentang karakter produk hukum
berikut ini dikhususkan pada dikotomi antara hukum oto-
nom dan hukum menindas, serta hukum responsif dan hu-
kum ortodoks.
Kemudian, kedua dikotomi tersebut dikelompokkan
menjadi satu dikotomi, yaitu hukum responsif/populistik dan
hukum ortodoks/konservatif/elitis.

Hukum Otonom dan Hukum Menindas


Dalam buku yang berjudul Law and Society in Transition:
Toward Responsive Law, Nonet dan Selznick menjelaskan
hubungan antara hukum dan penindasan. Dikatakannya,
masuknya pemerintah ke dalam pola kekuasaan yang ber-
sifat menindas, melalui hukum, berhubungan erat dengan
masalah kemiskinan sumber daya pada elite pemerintah.
Penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas, terdapat
pada masyarakat yang masih berada pada tahap pemben-
tukan tatanan politik tertentu. Hukum berkaitan erat de­
ngan kekuasaan karena tata hukum senantiasa terikat pada
status quo. Tata hukum tidak mungkin ada jika tidak ter-
ikat pada suatu tata tertentu yang menyebabkan hukum
mengefektifkan kekuasaan. Jika demikian maka pihak yang
berkuasa, dengan baju otoritas, mempunyai kewenangan
yang sah menuntut warga negara agar mematuhi kekuasa­
an yang bertakhta. Penggunaan kekuasaan itu bisa mela-
hirkan karakter hukum yang menindas maupun karakter
hukum otonom, tergantung pada tahap pembentukan tata
politik masyarakat yang bersangkutan.
Masyarakat yang baru dilahirkan harus menunjukkan
dan membuktikan bahwa ia bisa menguasai keadaan, me­
nguasai anggota-anggotanya atau menciptakan ketertiban.
Tujuan utama yang harus dicapai oleh suatu masyarakat

58 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 58 30/09/2021 04:30:15


sebagai komitmen politik adalah ketertiban. Negara baru
yang lebih mengutamakan tujuan tentu lebih mengutama-
kan isi dan substansi di atas prosedur atau cara-cara un-
tuk mencapai substansi tersebut. Artinya, jika perlu prose-
dur atau cara-cara (hukum) bisa didorong ke belakang
asalkan substansi (tujuan) bisa dicapai. Keadaan tersebut
akan berubah jika tujuan-tujuan fundamental sedikit demi
sedikit telah tercapai, yang pada akhirnya hukum akan ter-
pisah dari politik menjadi subsistem yang lebih otonom.
Ciri menonjol hukum otonom adalah terikatnya ma­
syarakat secara kuat pada prosedur. Elite penguasa tidak
lagi leluasa menggunakan kekuasaan karena ada komit-
men masyarakat untuk menjalankan kekuasaan sesuai
dengan tata cara yang diatur.

Hukum Ortodoks dan Hukum Responsif


Terdapat dua macam strategi pembangunan hukum yang
akhirnya sekaligus berimplikasi pada karakter produk hu-
kum, yaitu pembangunan hukum “ortodoks’ dan pemba­
ngunan hukum “responsif”. Pada strategi pembangunan
hukum ortodoks, peranan lembaga-lembaga negara (pe-
merintah dan parlemen) sangat dominan dalam menentu-
kan arah perkembangan hukum. Sebaliknya pada strategi
pembangunan hukum responsif, peranan besar terletak
pada lembaga peradilan yang disertai partisipasi luas ke­
lompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat.
Kedua strategi tersebut memberi implikasi berbeda pada
produk hukum. Strategi pembangunan hukum yang or­
todoks bersifat positivis-instrumentalis, yaitu menjadi alas
yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program nega-
ra. Hukum merupakan perwujudan nyata visi sosial peme-
gang kekuasaan negara, sedangkan strategi pembangunan

Bab 6 59
Pembentukan Peraturan Daerah Yang Aspiratif

001-isi.indd 59 30/09/2021 04:30:15


hukum responsif, akan menghasilkan hukum yang bersifat
responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok
sosial dan individu dalam masyarakat.
Paralel dengan konfigurasi politik yang memilih dua
ujung yang dikotomis, yakni demokrasi dan otoriter maka
terdapat dua konsep karakter produk hukum yang juga
dikotomis, yaitu responsif/populistik dan ortodoks/ konservatif/
elitis. Kedua konsep dikotomis ini diambil secara sama dari
elemen-elemen substansial tentang hukum menindas dan
hukum otonom seperti dikemukakan Nonet dan Selznick
serta hukum yang responsif dan ortodoks.
Untuk menghindari kerancuan dalam memahami
hubungan antara dua variabel ini maka suatu uraian sing-
kat tentang pengertian konsep-konsep perlu disajikan lebih
spesifik. Penyajian pengertian ini penting karena tidak ja-
rang, terutama dalam ilmu-ilmu sosial, suatu istilah dapat
dipahami secara tidak sama dan dipandang dari aspek yang
berbeda. Perbedaan pemakaian konsep dalam memandang
sesuatu tentu akan menghasilkan kesimpulan yang berbe-
da pula. Oleh sebab itu, kebenaran ilmiah hasil studi harus
dipahami dari konsep yang dipergunakan.
Setiap “konsep” diberi nama sebutan yang dinamakan
“istilah” atau “term”. Term ini diikat pada suatu definisi
atau teori tertentu dalam setiap cabang atau disiplin ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, setiap disiplin ilmu mem-
punyai “terminologi” atau “bahasa baku” sendiri-sendiri
yang terkadang sangat berbeda “isi” satu sama lain walau-
pun istilah atau term-nya sama.
Produk hukum responsif/populistik adalah produk hu-
kum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi
harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya mem-
berikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-ke­
lompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya

60 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 60 30/09/2021 04:30:15


bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok
sosial atau individu dalam masyarakat.
Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk
hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite
politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersi-
fat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan
ideologi dan program negara. Berlawanan dengan hukum
responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntu-
tan-tuntutan kelompok maupun individu-individu di da-
lam masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan parti-
sipasi mayarakat relatif kecil.
Untuk mengualifikasi apakah suatu produk hukum
responsif atau konservatif, indikator yang dipakai adalah
proses pembuatan hukum, sifat fungsi hukum, dan ke-
mungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum.
Produk hukum yang berkarakter responsif, proses
pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang se-
banyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelom-
pok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat.
Sementara proses pembuatan hukum yang berkarakter or-
todoks bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh
lembaga negara, terutama pemegang kekuasaan eksekutif.
Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter
responsif bersifat aspiratif. Artinya, memuat materi-materi
yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak
masyarakat yang dilayaninya sehingga produk hukum
ini dapat dipandang sebagai kristalisasi dan kehendak
masyarakat. Sementara hukum yang berkarakter ortodoks
bersifat positivis-instrumentalis. Artinya, memuat materi
yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang
kekuasaan atau memuat materi yang lebih merupakan alat
untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program
pemerintah.

Bab 6 61
Pembentukan Peraturan Daerah Yang Aspiratif

001-isi.indd 61 30/09/2021 04:30:15


Jika dilihat dari segi penafsiran maka produk hukum
yang berkarakter responsif/populistik biasanya memberi
sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penaf-
siran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan
peluang yang sempit. Itu pun hanya berlaku untuk hal-hal
yang betul-betul bersifat teknis. Sementara produk hukum
yang berkarakter ortodoks/konservatif/elitis memberi
peluang luas kepada pemerintah untuk membuat berba-
gai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang
berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak seka-
dar masalah teknis. Oleh sebab itu, produk hukum yang
berkarakter responsif biasanya memuat hal-hal penting
secara cukup rinci sehingga sulit bagi pemerintah untuk
membuat penafsiran sendiri, sedangkan produk hukum
yang berkarakter ortodoks biasanya cenderung memuat
materi singkat dan pokok-pokoknya saja untuk kemudian
memberi peluang yang luas bagi pemerintah untuk meng-
atur berdasarkan visi dan kekuatan politiknya.
Setiap “konsep” diberi nama sebutan yang dinamakan
“istilah” atau “term”. Term ini diikat pada suatu definisi
atau teori tertentu dalam setiap cabang atau disiplin ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, setiap disiplin ilmu mem-
punyai “terminologi” atau “bahasa baku” sendiri-sendiri
yang terkadang sangat berbeda “isi” satu sama lain walau-
pun istilah atau term-nya sama.
Prinsip demokrasi menekankan terdapatnya keterli-
batan publik dalam proses pembentukan peraturan pe-
rundang-undangan (rechtsvorming). Dengan demokrasi
dalam artian pada mekanisme pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menunjukkan adanya peran serta
masyarakat (public participation). Hal ini berarti rakyat
dilibatkan secara langsung untuk memberikan saran dan
pendapatnya dalam rangka pembentukan Peraturan Pe-

62 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 62 30/09/2021 04:30:15


rundang-undangan, termasuk Peraturan Daerah tentang
APBD.
Sebagaimana diketahui bahwa proses pengambilan
keputusan (decision-making-process) yang mencerminkan
“good governance” harus dilakukan secara aspiratif. Langkah
ini sejalan dengan prinsip keterbukaan dalam pemerintah-
an (openbaarheid van bestuur) yang demokratis atau trans-
paransi yang memberi kesempatan kepada masyarakat un-
tuk berperan serta (public participation).
Secara konstitusional dinyatakan dalam Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah negara hu-
kum”. Hal ini menandakan bahwa setiap aktivitas peme­
rintahan termasuk di bidang penyusunan Peraturan Daerah
harus memiliki dasar-dasar pengaturan hukum. Pemben-
tukan Perda yang aspiratif jelas membutuhkan pengaturan
hukum yang dituangkan dalam perangkat peraturan pe-
rundang-undangan (legal aspect) agar memiliki landasan
filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Dalam teori pembentukan peraturan perundang-
undangan diketahui bahwa dimensi pengaturan hukum
mengenai peraturan daerah merupakan komponen hu-
kum publik. Oleh karena itu, dalam kepustakaan hukum
peme­rintahan maupun hukum ketatanegaraan, masalah
per­aturan perundang-undangan lazimnya masuk dalam
bidang “hukum publik”. Apa yang dimaksud dengan hu-
kum publik telah banyak diberikan pandangan yang berti-
tik tolak pada pendapat yang menyatakan “het publiekrecht
regel de betrekkingen tussen overheid en burger” (bahwa hu-
kum publik mengatur hubungan antara penguasa dan
masyarakat).
Dengan demikian, pengaturan hukum dalam pemba-
hasan ini jelas harus memadukan antara keputusan peme­
rintah (negara) dan kepentingan masyarakat (warga nega-

Bab 6 63
Pembentukan Peraturan Daerah Yang Aspiratif

001-isi.indd 63 30/09/2021 04:30:15


ra). Dengan materi seperti ini maka pembentukan hukum
berupa Peraturan Daerah memiliki landasan hukum dan
menjamin terciptanya ketertiban dalam masyarakat.
Konsep aspiratif dalam pembentukan Peraturan Daer-
ah sesungguhnya telah tergambar dalam konsep partisi-
pasi masyarakat (public participation). Masyarakat harus
diberi peluang besar untuk terlibat dalam pembentukan
Peraturan Daerah karena hukum dibuat untuk masyarakat
dan mengatur kehidupan bermasyarakat. Situasi realistis
mengenai keberlakuan peraturan daerah yang aspiratif
perlu mendapatkan perhatian dalam kajian normatif dan
sosiologis. Hukum yang dalam hal ini adalah peraturan
daerah harus bersentuhan pada aspek masyarakat.
Di satu pihak terdapat, misalnya pemikiran bahwa hu-
kum itu seolah-olah membentuk kerangka masyarakat dan
ketertiban sosial, tergantung dari pemeliharaan aturan hu-
kum. Keyakinan ini, antara lain tampak dalam seruan yang
terkenal untuk “law and order”. Schuyt sebagaimana dikutip
oleh Prasetijo Rijadi menyatakan bahwa dalam bentuknya
yang paling sederhana, seruan “law and order” berdasar-
kan pada suatu keyakinan atas kekuasaan hukum. Orde
(ketertiban) ditempatkan sebagai perpanjangan dari hu-
kum dan dianggap bahwa hubungan antarmanusia dipe­
ngaruhi secara langsung dan hampir secara otomatis oleh
aturan hukum. Oleh karena itu, mempertahankan hukum
berarti mempertahankan ketertiban. Sebagai sasaran akhir
yang memang selalu hendak diwujudkan dengan perang-
kat hukum sebagai instrumennya. Hukum dengan norma
yang diaturnya akan memberikan panduan hidup dalam
menjaga ketertiban publik.
Hukum telah mengemban berbagai fungsi yang pen­
ting. Fungsi yang pertama dari aturan hukum ialah bahwa
ia merupakan suatu alat untuk membagikan hak dan ke-

64 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 64 30/09/2021 04:30:15


wajiban di antara para anggota suatu masyarakat. Aturan
hukum itu memberikan suatu petunjuk arah pada tuntutan
yang dapat dilaksanakan oleh berbagai peserta dalam lalu
lintas sosial satu sama lain. Hukum meletakkan kewajiban,
menimbulkan harapan baru dalam penghidupan, dan
memberikan sanksi pada harapan yang telah ada dan juga
karena hukum, seseorang mengetahui apa yang dapat di-
harapkan pada suatu keadaan sosial tertentu atau apa yang
dapat dituntut orang lain darinya. Hak dan kewajiban apa
yang dimiliki oleh seorang anggota masyarakat untuk se-
bagian ditentukan oleh keanggotaannya dari masyarakat.
Dalam konsep ini, tampaklah bahwa hukum benar-be-
nar merumuskan otoritas untuk saling memberikan dalam
suatu hubungan sosial kemasyarakatan dalam kerangka
norma-norma. Norma-norma hukum merupakan pijakan
untuk menata dan mengatur perilaku masyarakat mau-
pun institusi pemerintahan dalam menjamin kelangsung­
an fungsinya. Hukum menjadi pedoman perilaku yang
memiliki kekuatan normatif yang seharusnya diimplemen-
tasikan secara empiris.
Dilihat dari sudut fungsinya bahwa hukum mengatur
hubungan sosial maka aturan hukum itu dapat dibagi de­
ngan berbagai cara. Aturan hukum tidaklah merupakan
satu-satunya aturan dan bahkan acapkali bukan merupa-
kan aturan terpenting yang menentukan hubungan antar-
manusia dan kelompok. Berarti selain aturan hukum, ter-
dapat juga skala norma lain yang berhubungan dengan
tingkah laku antarmanusia. Dengan demikian, bagi situasi
tertentu diberlakukan norma dari aturan lain meskipun
peraturan daerah sebagai hukum harus memperhatikan
kondisi masyarakatnya.
Fungsi kedua dari aturan hukum adalah mendistribusi
wewenang untuk mengambil keputusan mengenai soal

Bab 6 65
Pembentukan Peraturan Daerah Yang Aspiratif

001-isi.indd 65 30/09/2021 04:30:15


publik yang disebut “secondary rules” dari HLA Hart. Dalam
tiap-tiap masyarakat harus diambil keputusan mengenai
semua anggota dari masyarakat itu. Salah satu fungsi hu-
kum, bahwa hukum itu memberikan kepada pribadi atau
lembaga tertentu untuk mengambil keputusan semacam
itu. Hukum termasuk dalam hal ini peraturan daerah men-
jadi penting artinya bagi masyarakat dan begitu pula seba-
liknya.
Fungsi ketiga dari aturan hukum adalah aturan itu
menunjukkan suatu jalan bagi penyelesaian pertentangan.
Karena hukum menunjukkan lembaga yang dapat mem-
berikan keputusan yang dapat dipaksakan dalam penyele-
saian pertentangan antara para anggota suatu masyarakat,
dan memberikan peraturan mengenai cara bagaimana
lembaga tersebut bekerja dalam menangani hal itu, serta
memberikan aturan yang harus dilaksanakan pada pe-
nyelesaian pertentangan tersebut maka hukum itu bekerja
sebagai suatu mekanisme bagi penyelesaian perselisihan.
Ini merupakan fungsi yang paling menonjol dari hukum.
Di sini yang terutama timbul ialah persoalan yang dalam
ilmu pengetahuan hukum terkenal sebagai persoalan pe­
nemuan hukum, yakni bagaimanakah hakim itu, dengan
mengingat adanya sejumlah peraturan yang abstrak, me-
nemukan suatu penyelesaian atas suatu perselisihan yang
konkret, bagaimanakah perannya dalam hal menemukan
atau membuat hukum?. Termasuk juga dalam pembentuk­
an Peraturan Daerah.
Dari fungsi dan posisi hukum tersebut, sesungguhnya
masyarakat dapat memainkan perannya dalam mendesain
Peraturan Daerah. Pemerintah Daerah pada dasarnya se-
cara konseptual harus memberikan jalan bagi masyarakat
untuk berperan secara maksimal dalam rangka perumusan
Peraturan Daerah dan pelaksanaannya untuk kepentingan

66 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 66 30/09/2021 04:30:16


masyarakat yang baik, yang secara konseptual masuk da-
lam bingkai “good legislation for financial management” Pe-
merintahan Daerah.

Pengertian dan Batasan Aspiratif Dalam Penyusunan


Peraturan Daerah
l Pengertian
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, aspirasi diartikan se-
bagai suatu keinginan dan harapan yang keras. Aspiratif
dapat diartikan sebagai pengakomodasian keinginan dan
harapan tersebut.
Pengertian Peraturan Daerah yang aspiratif secara har-
fiah dalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat
suatu pengertian atau istilah atau definisinya. Namun se-
cara eksplisit, sebenarnya pemahaman tentang Peraturan
Daerah yang aspiratif tersebut dapat dipahami dalam kon-
teks pembentukannya.
Dalam Pasal 1 Angka 7 dan 8 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan disebutkan bahwa Peraturan Daerah Provinsi,
Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
baik Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota dengan
persetujuan bersama Kepala Daerah Provinsi maupun Ka-
bupaten/Kota. Pasal 14 menyebutkan bahwa Materi Mua-
tan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pem-
bantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi. Pasal 96 menyatakan bahwa masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertu-
lis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dari ketentuan pasal tersebut, sebenarnya telah terbentuk

Bab 6 67
Pembentukan Peraturan Daerah Yang Aspiratif

001-isi.indd 67 30/09/2021 04:30:16


suatu gagasan konsep peraturan daerah yang aspiratif.
Masukan secara lisan dan/atau tertulis dilakukan melalui
rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; sosialisasi;
dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
Masyarakat adalah orang perseorangan atau kelompok
orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Ran-
cangan Peraturan Perundang-undangan. Untuk memu-
dahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara
lisan dan/atau tertulis, setiap Rancangan Peraturan Perun-
dang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat.
Perda yang aspiratif dapat diartikan sebagai suatu
pembentukan produk hukum di daerah yang telah men-
gakomodasi tuntutan, kebutuhan, dan keinginan rakyat.
Artinya, Perda mencerminkan apa yang paling diinginkan
masyarakat daerah. Hal itu tidak mungkin terwujud apa-
bila mekanisme penyusunan Peraturan Daerah bersifat
eksklusif dan tertutup. Untuk itu, mekanisme penyusunan
Perda yang dituangkan dalam Peraturan Tata Tertib DPRD
harus dibuat sedemikian rupa agar mampu menampung
aspirasi rakyat secara proporsional. Semua pemerintah di
mana pun dan kapan pun di sepanjang perjalanan sejarah
dunia setidaknya memiliki sebagian kecenderungan untuk
memberlakukan kerahasiaan-kerahasiaan tertentu dalam
menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu, dalam
nilai keterbukaan aturan yang berlaku adalah pemerintah
tidak melangsungkan urusannya secara tertutup. Secara
rutin, proses-proses legislatif, administratif, dan hukum
haruslah terbuka bagi masyarakat.

l Batasan Aspiratif dalam Penyusunan Peraturan Daerah



Sebagaimana telah diuraikan pada konsep Perda yang
aspiratif di atas, bahwa konsep aspiratif dalam pemben-

68 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 68 30/09/2021 04:30:16


tukan Peraturan Daerah sesungguhnya telah tergambar
dalam konsep partisipasi masyarakat (public participation).
Dalam penjelasan ketentuan Bab XI mengenai Partisipasi
Masyarakat Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undan-
gan, hak masyarakat dalam ketentuan ini sinergis dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pe-
doman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib
DPRD Bab XV Penerimaan Pengaduan dan Penyaluran
Aspirasi Masyarakat, Pasal 116 Ayat (5) di mana baik pe­
ngaduan dan/atau aspirasi masyarakat dapat ditindak­
lanjuti dengan rapat dengar pendapat umum, rapat dengar
pendapat, kunjungan kerja, atau rapat kerja alat kelengkap­
an DPRD dengan mitra kerjanya.
Tentang batasan aspiratif dalam pembentukan pera-
turan daerah, haruslah dibutuhkan kebijakan baru yang
secara tegas mengatur bagaimana partisipasi masyarakat
terakomodir dalam segala tahapan, dari proses perencana­
an hingga pelaksanaan kebijakan sebagai jaminan hukum
bagi berbagai pihak untuk sebanyak mungkin memberi-
kan masukan tentang berbagai isu dan memberikan tang-
gung jawab pada pemerintah daerah untuk pelaksanaan-
nya. Batasan aspiratif dalam pembentukan Perda memuat
aturan-aturan pokok seperti berikut ini.

l Ketentuan Umum
Ketentuan umum berisi definisi yang dipakai dalam kebi-
jakan daerah. Definisi yang dipakai harus lebih khusus un-
tuk memperjelas suatu pengertian dan tidak menimbulkan
pengertian ganda. Hal-hal yang perlu didefinisikan ada-
lah partisipasi masyarakat, warga/masyarakat, kebijakan
daerah dan kebijakan publik.

Bab 6 69
Pembentukan Peraturan Daerah Yang Aspiratif

001-isi.indd 69 30/09/2021 04:30:16


l Hak dan Kewajiban
Hak masyarakat perlu diakui secara tegas/eksplisit sebagai
hak yang melekat pada masing-masing individu, baik seba-
gai stakeholder atau shareholder. Hak masyarakat dalam pem-
buatan kebijakan adalah hak diinformasikan, hak memberi
masukan, hak komplain, dan hak mengawasi pelaksanaan.
Konsekuensi pengakuan hak tersebut, penyelenggara pe-
merintahan berkewajiban mendengar, memperhatikan,
dan menjawab pendapat masyarakat, serta menjamin ter-
laksananya hak-hak masyarakat dalam proses pembuatan
kebijakan.

l Asas dan Tujuan Partisipasi


Asasnya adalah keterbukaan dan kebebasan berpendapat
mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan secara ra-
sional, efisien, tepat guna dan tepat sasaran. Sementara tu-
juannya, yaitu meningkatkan kualitas dan keefektifan kebi-
jakan yang dirumuskan dan ditetapkan dalam membangun
pemerintahan yang demokratis dan partisipatif. Tujuan
lainnya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat akan
makna penting peran dan tanggung jawab bersama guna
ikut menentukan arah masa depan kehidupannya sesuai
dengan nilai-nilai budaya lokal maupun kebijakan nasio­
nal.

l Pelaksanaan Partisipasi Masyarakat


l Bidang-bidang pelibatan masyarakat
Perumusan visi, misi, dan rencana strategis; pe-
nyusunan program pembangunan daerah; pe-
nyusunan APBD; penyusunan/revisi tata ruang;
penyusunan peraturan daerah; pengawasan dan
evaluasi pelaksanaan kebijakan atau program; dan
lain-lain perumusan kebijakan daerah berkaitan
dengan kepentingan rakyat banyak.

70 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 70 30/09/2021 04:30:16


l Substansi pelibatan masyarakat
Pelibatan masyarakat minimal harus menjamin
terlaksananya hak masyarakat sehingga mekan-
isme partisipasi ini setidaknya mengatur hal-hal
sebagai berikut:
l penyampaian informasi tentang kebijakan
yang akan diambil termasuk jadwal dan prose-
dur pelibatan masyarakat;
l tanggapan terhadap aspirasi masyarakat;
l hasil akomodasi aspirasi masyarakat dan ke-
beratan.
l Jadwal penyampaian dan tanggapan pelibatan
masyarakat Tenggang waktu informasi dan jadwal
pelibatan masyarakat diatur sedemikian rupa seh-
ingga cukup waktu bagi masyarakat untuk mem-
persiapkan secara baik pikiran dan pendapatnya
sebelum proses penetapan kebijakan.
l Dokumentasi proses partisipasi
Semua dokumen terkait proses partisipasi, seperti
konsep, rancangan, hasil akhir kebijakan, publika-
si, tanggapan, keberatan masyarakat, dan notu-
lensi pembuatan kebijakan harus didokumentasi-
kan dan menjadi dokumen terbuka untuk umum.
l Pengaduan
Jika prosedur pelibatan masyarakat tidak dilaksan-
akan, penting penyiapan pengaturan pengaduan
sebagai upaya untuk menjamin diperhatikannya
prosedur pelibatan masyarakat oleh penyeleng-
gara pemerintahan karena masyarakat akan da-
pat menggugat kebijakan yang dihasilkan tanpa
prosedur pelibatan masyarakat.
l Sanksi
Dalam memberikan kekuatan aturan maka perlu
dicantumkan sanksi. Tidak dilaksanakannya ke-

Bab 6 71
Pembentukan Peraturan Daerah Yang Aspiratif

001-isi.indd 71 30/09/2021 04:30:16


tentuan yang diatur dalam kebijakan lebih meru-
pakan pelanggaran bukan kejahatan. Sanksi harus
diatur sedemikian rupa agar dapat dicapai efek
jera, tetapi juga harus dipertimbangkan sanksi
yang mungkin diterapkan.

l Fungsi Melibatkan Masyarakat Dalam Penyusunan


Peraturan Daerah
Dalam Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang­
an, dinyatakan bahwa salah satu asas Pembentukan Per­
aturan Daerah yang baik adalah “asas keterbukaan” yang
selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa: “Da-
lam proses pembentukan peraturan perundang-undangan
mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pem-
bahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demiki-
an, seluruh komponen masyarakat mempunyai kesempat­
an yang luas untuk memberikan masukan dalam proses
pembuatan peraturan perundang-undangan (Perda)”.
Implementasi dari asas keterbukaan adalah dalam
bentuk peran serta masyarakat sebagaimana diatur dalam
Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang ber-
bunyi: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Pe-
rundang-undangan”.
Dalam proses penyusunan rancangan Peraturan Daer-
ah, baik di lingkungan Pemerintah Daerah maupun DPRD,
masyarakat tetap dapat berperan serta secara aktif untuk
memberikan masukan dalam penyempurnaan rancangan
Peraturan Daerah, demikian juga pada saat dilakukan
pembahasan bersama antara Anggota DPRD dan Peme­
rintah Daerah, di mana DPRD dapat menyelenggarakan
Rapat Dengar Pendapat Umum untuk mendapatkan lagi
masukan dari masyarakat.

72 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 72 30/09/2021 04:30:16


Peran serta masyarakat dalam proses penyusunan Per-
aturan Daerah dilaksanakan dalam bentuk penyebarluasan
informasi.
Penyebarluasan informasi berarti, Pemerintah Daerah
wajib menyebarluaskan rancangan atau peraturan perun-
dang-undangan di daerah. Penyebarluasan bagi Peraturan
Daerah dan peraturan perundang-undangan di bawahnya
dilakukan sesuai dengan perintah Pasal 92 dan 93 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Per-
aturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa:
Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pe-
merintah Daerah sejak penyusunan Prolegda, penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daer-
ah. Penyebarluasan sebagaimana dimaksud dilakukan un-
tuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh
masuk­an masyarakat dan para pemangku kepentingan.
Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh
DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/
Kota yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD
yang khusus menangani bidang legislasi. Penyebarluasan
Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD di-
laksanakan oleh alat kelengkapan DPRD. Penyebarluasan
Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur
atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
Penyebarluasan dapat dilakukan melalui media elektronik,
atau media cetak yang terbit di daerah yang bersangkutan,
serta media komunikasi langsung.
Penyebarluasan informasi dapat memungkinkan ma­
syarakat menyampaikan aspirasi atau menyumbangkan
pemikirannya terhadap suatu kebijakan yang akan diambil
oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal masukan disampai-
kan secara lisan, yang bersangkutan dapat menyampaikan

Bab 6 73
Pembentukan Peraturan Daerah Yang Aspiratif

001-isi.indd 73 30/09/2021 04:30:16


sendiri, kecuali dalam hal masukan secara lisan disampai-
kan oleh kelompok masyarakat maka harus diwakilkan
pada pimpinan kelompok tersebut.
Secara prosedur formal, seluruh proses penyusunan
produk hukum daerah adalah kesempatan bagi masyarakat
yang ingin mengusulkan atau berpartisipasi dalam pe­
nyusunan peraturan di daerah. Masyarakat dapat mem-
berikan usulan untuk penyusunan peraturan di daerah se-
cara formal dengan mengusulkannya melalui DPRD. Dari
pengalaman yang ada, mengusulkan penyusunan produk
hukum daerah melalui DPRD merupakan jalan yang pa­
ling pendek dan tidak rumit. Yang diperlukan adalah ke-
mampuan untuk meyakinkan anggota DPRD agar dapat
mengakomodasi mereka.
Bila ada kesempatan bagi masyarakat untuk mengiku-
ti proses pembahasan dalam proses penyusunan produk
hukum daerah, sudah selayaknya kesempatan tersebut
dimanfaatkan sebaik-baiknya. Hal ini karena stakeholder
lain yang kontra, yang mempunyai konflik kepentingan
dengan kepentingan masyarakat umum, yang ingin me-
manfaatkannya hanya untuk kepentingan kelompok atau
pribadinya, mereka pun akan terus berjuang untuk me-
masukkan agenda atau kepentingan mereka dalam produk
hukum yang sedang disusun. Bahkan perjuangan mereka
tidak akan berhenti sampai akhir pembahasan saja. Kalau
memungkinkan, mereka akan berusaha untuk mempengar-
uhi anggota DPRD mengakomodasi kepentingan mereka.
Untuk itu, perjuangan masyarakat dalam proses pe-
nyusunan produk hukum daerah tidak boleh berhenti
begitu saja setelah diusulkan atau selesai dibahas di Pani-
tia Musyawarah DPRD. Sudah seharusnya mereka pun
mencoba untuk menitipkan agenda mereka pada anggota
DPRD, bekerja sama dengan mereka, dan memberikan
pengertian.

74 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 74 30/09/2021 04:30:16


Oleh sebab itu, pentingnya melibatkan masyarakat da-
lam proses penyusunan peraturan daerah harus mempu-
nyai kapasitas pengetahuan yang cukup untuk menyusun,
membahas, memperbaiki, dan mempertahankan substansi
yang ingin diatur. Untuk itu, bagi mereka yang terlibat
dalam penyusunan produk hukum, baik pemerintah, ang-
gota DPRD maupun masyarakat harus memiliki kapasi-
tas membangun (capacity building) yang memadai tentang
peraturan perundang-undangan. Hal lain yang perlu men-
jadi perhatian pemerintah adalah menyediakan ruang bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan per­
aturan di daerah. Mekanisme melibatkan masyarakat akan
lebih sangat penting apabila mekanisme tersebut diatur
dalam suatu peraturan daerah sehingga adanya jaminan
dari pemerintah dan lebih sistematis mengatur mekanisme
aspirasi yang mereka bangun.
Partisipasi juga dapat dilaksanakan melalui hal-hal
berikut.
l Rekomendasi-rekomendasi penelitian kebijakan dan
naskah akademik
Mekanisme ini berbentuk kerja sama dengan pemang-
ku kepentingan dari perguruan tinggi atau pihak lain.
Instansi pemrakarsa kebijakan melampirkan rekomen-
dasi dan draft naskah akademik sebagai keharusan
bersama rancangan peraturan. Konsekuensi dari ran-
cangan yang diajukan tanpa rekomendasi dan draft
naskah akademik maka DPRD tidak berkewajiban
membahas rancangan tersebut.
l Diskusi terbuka, seperti seminar, lokakarya dan, FGD
(diskusi kelompok terfokus)
Mekanisme diterapkan sebelum rancangan disahkan
DPRD. Kewajibannya di pihak pemrakarsa melalui in-
formasi dan undangan kepada pemangku kepenting­
an.

Bab 6 75
Pembentukan Peraturan Daerah Yang Aspiratif

001-isi.indd 75 30/09/2021 04:30:16


l Memo kebijakan atau ringkasan kebijakan, dikem-
bangkan dengan para pemangku kepentingan lokal
dan disebarkan secara luas
Dihasilkan dari para ahli ataupun pemangku kepent-
ingan berupa hasil analisis atau kajian kebijakan ter-
hadap rancangan peraturan-peraturan yang disebar-
luaskan pemrakarsa kebijakan. Penyampaian aspirasi
dilakukan sebelum kebijakan disahkan dewan.
l Penerbitan kebijakan daerah dalam media cetak dan
elektronika
Mekanisme ini dilaksanakan pada tahap perancangan
maupun setelah suatu kebijakan itu ditetapkan sebagai
bagian tugas instansi pemrakarsa.
l Dengar pendapat (public hearing) di DPRD
Dewan mengundang pemangku kepentingan memba-
has rancangan kebijakan secara bersama pada tahap
rapat-rapat pembahasan sebelum kebijakan disahkan.
Agenda pembahasan rancangan harus terjadwal oleh
Panitia Musyawarah DPRD.
l Menyebarkan rancangan peraturan kepada berbagai
pemangku kepentingan, untuk meminta masukan se-
bagai bahan perumusan kebijakan akhir
Tanggung jawab pihak perancang meminta kembali
masukan masyarakat setelah rancangan tersebut su-
dah melalui proses perbaikan atau revisi.

Selain itu, juga bentuk prosedur pelibatan masyarakat


dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
l pengumuman kebijakan daerah yang akan diambil
dan penyampaian konsep kepada masyarakat luas se-
cara efisien dan efektif;
l penyampaian jadwal dan agenda perumusan kebi-
jakan daerah yang akan diambil, serta prosedur dan
media penyampaian aspirasi;

76 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 76 30/09/2021 04:30:16


l periode dan mekanisme tanggapan masyarakat;
l periode penyampaian aspirasi masyarakat;
l periode perumusan tanggapan masyarakat;
l penyampaian tanggapan kepada masyarakat yang
memberikan pendapat atau aspirasi;
l periode kesempatan pengajuan keberatan masyarakat
terhadap tanggapan yang diberikan;
l periode kesempatan masyarakat untuk menyampai-
kan pengaduan karena tidak dilakukannya pelibatan
masyarakat;
l periode perumusan kebijakan final dan hasilnya;
l periode pembahasan kebijakan daerah di DPRD de­
ngan melampirkan semua dokumen, termasuk as-
pirasi masyarakat dan tanggapan terhadap aspirasi
masyarakat;
l kesempatan akhir masyarakat untuk menyampaikan
aspirasinya dalam pembahasan di DPRD;
l penetapan kebijakan daerah;
l pengumuman kebijakan daerah;
l sosialisasi kebijakan daerah.

Agar pastisipasi masyarakat dapat berjalan efektif, Pe-


merintah Daerah dan DPRD wajib mengumumkan secara
luas dan terbuka prosedur pelibatan masyarakat secara
menyeluruh. Tenggang waktu pengumuman dan jadwal
masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya diatur sede-
mikian rupa sehingga cukup waktu bagi masyarakat untuk
mempersiapkan, baik pikiran maupun pendapatnya sebe-
lum proses perumusan.

Bab 6 77
Pembentukan Peraturan Daerah Yang Aspiratif

001-isi.indd 77 30/09/2021 04:30:16


BAB 7
FUNGSI ASAS KETERBUKAAN
DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH

Landasan dan Asas-Asas Pembentukan Peraturan


Daerah
Bagi setiap norma hukum yang baik selalu dipersyarat-
kan adanya lima landasan keberlakuan. Kelima landasan
dimaksud adalah landasan yang bersifat filosofis, sosiolo-
gis, politis, landasan yuridis, serta landasan yang bersifat
administratif. Empat landasan pertama, yaitu landasan
filosofis, sosiologis, politis, dan yuridis bersifat mutlak, se-
dangkan satu landasan terakhir, yaitu landasan adminis-
tratif dapat bersifat fakultatif. Mutlak, artinya, harus selalu
ada dalam setiap undang-undang. Sementara landasan
administratif tidak mutlak harus selalu ada. Dicantumkan
tidaknya landasan administratif itu tergantung pada ke-
butuhan. Bahkan kadang-kadang, landasan filosofis juga
tidak dibutuhkan secara mutlak. Misalnya, UU tentang
Pembentukan Pengadilan Tinggi dapat juga dibentuk tan-
pa landasan yang bersifat filosofis. Untuk undang-undang
seperti ini, dianggap cukup diperlukan landasan yuridis
dan sosiologis saja karena pembentukan Pengadilan Tinggi
hanya bersifat administratif.
Landasan Filosofis. Undang-undang selalu mengandung
norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh
suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan
bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Karena

78 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 78 30/09/2021 04:30:16


itu, undang-undang dapat digambarkan sebagai cermin dari
cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur
dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang yang ber-
sangkutan dalam kenyataan. Karena itu, cita-cita filosofis
yang terkandung dalam undang-undang itu hendaklah
mencerminkan cita-cita filosofis yang dianut masyarakat
bangsa yang bersangkutan. Artinya, jangan sampai cita-
cita filosofis yang terkandung di dalam undang-undang
tersebut justru mencerminkan falsafah kehidupan bang-
sa lain yang tidak cocok dengan cita-cita filosofis bangsa
sendiri. Karena itu, dalam konteks kehidupan bernegara,
Pancasila sebagai falsafah haruslah tecermin dalam pertim-
bangan-pertimbangan filosofis yang terkandung di dalam
setiap undang-undang. Undang-undang Republik Indone-
sia tidak boleh melandasi diri berdasarkan falsafah hidup
bangsa dan negara lain. Artinya, Pancasila itulah yang
menjadi landasan filosofis semua produk undang-undang
Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Landasan Sosiologis. Landasan kedua adalah landasan
sosiologis, yaitu bahwa setiap norma hukum yang dituang-
kan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntu-
tan kebutuhan masyarakat akan norma hukum yang sesuai
dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Karena itu,
dalam konsideran, harus dirumuskan dengan baik pertim-
bangan-pertimbangan yang bersifat empiris sehingga suatu
gagasan normatif yang dituangkan dalam undang-undang
benar-benar didasarkan atas kenyataan yang hidup dalam
kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian, norma
hukum yang tertuang dalam undang-undang itu kelak da-
pat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di tengah-tengah
masyarakat hukum yang diaturnya.
Landasan Politis.Landasan politis yang dimaksud ialah
bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya

Bab 7 79
Fungsi Asas Keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 79 30/09/2021 04:30:16


sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma
dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber
kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melan-
dasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan.
Undang-undang adalah media untuk menuangkan kebi-
jakan operasional, tetapi kebijakan itu harus bersumber dari
ide-ide, cita-cita, dan kebijakan-kebijakan politik yang ter-
kandung dalam konstitusi, baik yang tertulis dalam UUD
1945 maupun yang hidup dalam konvensi ketatanegaraan
dan kenyataan hidup bernegara dari waktu ke waktu.
Landasan Yuridis. Landasan yuridis dalam perumusan
setiap undang-undang haruslah ditempatkan pada bagian
Konsideran “Mengingat”. Dalam konsideran mengingat ini
harus disusun secara rinci dan tepat (i) ketentuan UUD 1945
yang dijadikan rujukan, termasuk penyebutan pasal dan
ayat atau bagian tertentu dari UUD 1945 harus ditentukan
secara tepat; (ii) undang-undang lain yang dijadikan rujuk­
an dalam membentuk undang-undang yang bersangkutan,
yang harus jelas disebutkan nomornya, judulnya, dan de-
mikian pula dengan nomor dan tahun Lembaran Negara
dan Tambahan Lembaran Negara. Biasanya, penyebutan
undang-undang dalam rangka Konsideran “Mengingat”
ini tidak disertai dengan penyebutan nomor pasal ataupun
ayat. Penyebutan pasal dan ayat hanya berlaku untuk pe-
nyebutan undang-undang dasar.
Landasan Administratif. Kelima macam landasan terse-
but secara berurutan harus dicantumkan pada bagian pe­
ngantar undang-undang. Perumusannya dapat dibagi ke
dalam tiga kelompok atau subbagian, yaitu (a) subbagian
pertimbangan atau “Konsideran Menimbang”, (b) subbagian
pengingatan atau “Konsideran Mengingat”, dan kadang-ka-
dang ditambah pula dengan (c) subbagian perhatian atau
“Konsideran Memperhatikan”. Dalam kelaziman praktik pem-

80 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 80 30/09/2021 04:30:16


bentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia,
kedua subbagian pertama, yaitu subbagian pertimbangan
dan subbagian peringatan dianggap sebagai sesuatu yang
mutlak dalam format peraturan perundang-undangan Re-
publik Indonesia sejak dulu. Sementara subbagian ketiga,
yaitu “konsideran memperhatikan” bersifat fakultatif se­
suai kebutuhan. Dalam Konsideran Menimbang, yang per-
lu dimuat adalah (i) landasan filosofis, (ii) landasan sosiolo-
gis, dan (iii) landasan politis. Konsideran Mengingat berisi
landasan yuridis-normatif, sedangkan Konsideran Mem-
perhatikan memuat landasan yang bersifat administratif.
Kadang-kadang, ada juga undang-undang yang tidak men-
cantumkan Konsideran Memperhatikan ini sama sekali.
Dalam hal demikian, berarti pembentuk undang-undang
tidak menganggap perlu mencantumkan landasan yang
bersifat administratif tersebut dalam konsideran secara for-
mal karena dianggap sudah dengan sendirinya mendapat
perhatian sebagaimana mestinya. Di beberapa negara lain,
terutama yang menganut tradisi “common law”, kebiasaan
untuk mencantumkan berbagai landasan seperti tersebut di
atas tidak dikenal. Format peraturan perundang-undang­an
di negara-negara, seperti Amerika Serikat, India, dan Ing-
gris, hanya dimulai dengan judul dan preambule. Setelah
itu, materi peraturan perundang-undangan langsung me-
muat klausula-klausula yang menjadi isi peraturan perun-
dang-undangan yang bersangkutan.
Dalam pembentukan peraturan daerah, paling sedikit
harus memuat tiga landasan, yaitu sebagai berikut.
l Landasan filosofis, adalah landasan yang berkaitan
dengan dasar atau ideologi negara.
l Landasan sosiologis, adalah landasan yang berkaitan
dengan kondisi atau kenyataan empiris yang hidup
dalam masyarakat, dapat berupa kebutuhan atau tun-

Bab 7 81
Fungsi Asas Keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 81 30/09/2021 04:30:16


tutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan
dan harapan masyarakat.
l Landasan yuridis, adalah landasan yang berkaitan
dengan kewenangan untuk membentuk, kesesuaian
antara jenis dan materi muatan, tata cara atau prose-
dur tertentu, dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.

Mengingat Peraturan Daerah merupakan produk poli-


tis maka kebijakan daerah yang bersifat politis dapat ber-
pengaruh terhadap substansi peraturan daerah. Oleh ka­
rena itu, perlu dipertimbangkan kebijakan politis tersebut
tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat.
Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpu­
an berpikir, berpendapat, dan bertindak. Asas-asas pem-
bentuk peraturan perundang-undangan berarti dasar atau
sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun per­
aturan perundang-undangan. Padanan kata asas adalah
prinsip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar
dalam berpikir, berpendapat, dan bertindak.
Menurut ketentuan Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011,
materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang
berisi:
l pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
l perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan
Undang-Undang;
l pengesahan perjanjian internasional tertentu;
l tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/
atau
l pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

82 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 82 30/09/2021 04:30:16


Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Per­
aturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan da-
lam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan, serta menampung kondisi khusus daerah
dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undang­an yang lebih tinggi. Materi muatan Peraturan
Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka
penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat, serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya da-
pat dimuat dalam Undang-Undang; Peraturan Daerah
Provinsi; atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Semen-
tara Ketentuan Pidana sebagaimana dimaksud berupa
ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau
pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah). Selain itu, Peraturan Daerah Provinsi dan Per-
aturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman
pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam
Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Selanjutnya, dalam Bab II tentang Asas Peraturan Pe-
rundang-undangan berisi Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011,
ditentukan pula bahwa dalam membentuk Peraturan Pe-
rundang-undangan harus berdasarkan pada asas pemben-
tukan peraturan perundang-undangan yang baik. Asas-
asas yang dimaksud meliputi:
l kejelasan tujuan;
l kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
l kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
l dapat dilaksanakan;
l kedayagunaan dan kehasilgunaan;
l kejelasan rumusan;
l keterbukaan.

Bab 7 83
Fungsi Asas Keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 83 30/09/2021 04:30:16


Yang dimaksud dengan “kejelasan tujuan” adalah bah-
wa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus mempunyai tujuan jelas yang hendak dicapai. Yang
dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk
yang tepat” adalah bahwa setiap jenis peraturan perun-
dang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pem-
bentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.
Per­aturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan
atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga/pe-
jabat yang tidak berwenang. Sementara asas “kesesuaian
antara jenis dan materi muatan” adalah bahwa dalam pem-
bentukan peraturan perundang-undangan harus benar-
benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan
jenis peraturan perundang-undangannya. Asas “dapat di-
laksanakan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhitungkan efektivi-
tas peraturan perundang-undangan di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Sementara
yang dimaksud dengan asas “kedayagunaan dan kehasilgu-
naan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undang­
an dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Asas lain yang juga disebut di atas adalah asas “kejela-
san rumusan”, yaitu bahwa setiap Peraturan Perundang-un-
dangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan
kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Sementara itu, yang dimaksud sebagai asas “keterbu-
kaan” adalah bahwa dalam proses pembentukan per­aturan
perundang-undangan, dari perencanaan, persiapan, pe-

84 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 84 30/09/2021 04:30:16


nyusunan sampai pembahasan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang sama untuk seluas-luasnya
memberikan masukan dalam proses pembuatan atau pem-
bentukan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya,
Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 juga menentukan
adanya asas-asas yang harus terkandung dalam materi
muatan setiap peraturan perundang-undangan. Asas-asas
yang dimaksud adalah asas
l pengayoman;
l kemanusiaan;
l kebangsaan;
l kekeluargaan;
l kenusantaraan;
l bhinneka tunggal ika;
l keadilan;
l kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah-
an;
l ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
l keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bah-


wa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketenteraman masyarakat. Selain itu, dianut
pula adanya “asas kemanusiaan”, yaitu bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencer-
minkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi
manusia, serta harkat dan martabat setiap warga negara
dan penduduk Indonesia secara proporsional. Sementara
“asas kebangsaan” adalah bahwa setiap materi muatan per­
aturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat
dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinne-

Bab 7 85
Fungsi Asas Keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 85 30/09/2021 04:30:16


kaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Re-
publik Indonesia.
Sementara itu, yang dimaksud dengan “asas kekeluar-
gaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perun-
dang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Asas yang lain adalah “asas kenusantaraan”, yaitu bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-un-
dangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. “Asas
bhinneka tunggal ika” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Demikian pula dengan “asas
keadilan” dapat dipahami dengan pengertian bahwa se­
tiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara tanpa kecuali. “Asas kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muat­
an Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-
hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status
sosial. “Asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan adanya kepastian hukum. Sementara yang
dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan ke-
selarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,

86 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 86 30/09/2021 04:30:16


keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu
dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Selain asas-asas tersebut, peraturan perundang-undangan
tertentu dapat pula berisi asas-asas lain sesuai de­ngan
bidang hukum yang diatur oleh peraturan perundang-
undang­an yang bersangkutan. Misalnya, dalam bidang
hukum pidana dikenal luas, antara lain adanya asas-asas,
seperti asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan
(geen straf zonder schuld), asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Se-
mua asas ini berlaku dalam bidang hukum pidana yang
dapat ditambahkan dalam rangka asas-asas seperti yang
dimaksud di atas. Sementara itu, dalam bidang hukum
perdata, dapat dikemukakan pula contoh, seperti adanya
asas-asas yang bersifat universal, seperti asas ikatan ke­
sepakatan (sanctity of contract), asas kebebasan berkontrak
(freedom of contract), dan asas itikad baik (te goede trouw).
Selain asas-asas material tersebut, peraturan perun-
dang-undangan tertentu dapat pula berisi asas-asas terten-
tu lainnya sebagai tambahan sesuai dengan bidang hukum
yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Misalnya, dalam bidang hukum perdata,
berlaku asas materi muatan hukum perdata; demikian pula
dalam bidang hukum pidana, tentu dapat ditambahkan
pula adanya asas-asas lain yang berlaku khusus di bidang
hukum pidana. Apabila diperhatikan, sebenarnya, kedela-
pan asas material undang-undang dan peraturan perun-
dang-undangan tersebut masih terdapat kekurangan. Salah
satu prinsip yang paling pokok yang seharusnya menjadi
paradigma pokok setiap peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia adalah dasar negara Pancasila. Sudah
seharusnya, kelima sila Pancasila itu tecermin dalam setiap
materi peraturan perundang-undangan. Dengan demikian,

Bab 7 87
Fungsi Asas Keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 87 30/09/2021 04:30:16


hukum Indonesia benar-benar akan mencerminkan nilai-
nilai sila dasar Pancasila sesuai dengan Pasal 2 UU No. 12
Tahun 2011 yang menyatakan, “Pancasila merupakan sumber
segala sumber hukum negara”.
Dengan demikian, setiap peraturan perundang-un­
dang­an negara Republik Indonesia yang berdasarkan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, harus:
l mencerminkan religiusitas kebertuhanan segenap war-
ga negara melalui keyakinan segenap warga terhadap
Tuhan Yang Maha Esa;
l berprinsip keadilan dan berkeadaban;
l menjamin nilai-nilai kesatuan dan memperkuat prin-
sip nasionalitas kebangsaan Indonesia melalui sila per-
satuan Indonesia;
l memperkuat nilai-nilai kerakyatan melalui sila ke­
rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan;
l melembagakan upaya untuk membangun sosialitas
yang berkeadilan atau perwujudan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.

Asas Keterbukaan Sebagai Prasyarat Adanya Peran


Serta Masyarakat
Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undang­
an, dari perencanaan, persiapan, penyusunan sampai pem-
bahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian,
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tidak kita temukan rumusan yang eksplisit tentang asas
dan prinsip keterbukaan. Pada dasarnya, peran serta

88 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 88 30/09/2021 04:30:16


berkaitan dengan asas keterbukaan. Tanpa keterbukaan,
tidak mungkin ada peran serta masyarakat. Meskipun
segi-segi keterbukaan telah mulai mendapat perhatian, be-
lum tampak suatu pengaturan dasar tentang makna dan
prosedur keterbukaan dalam pelaksanaan pembentukan
peraturan perundang-undangan. Demikian juga halnya
peran serta. Tidak heran kalau ada sementara kalangan
lebih mengartikan peran serta sebagai bentuk partisipasi
dalam arti gotong royong/peran serta secara fisik. Karena
melalui studi perbandingan dengan hukum tata negara
dan hukum administrasi Belanda ditelaah konsep keter-
bukaan. Studi perbandingan tidaklah dimaksudkan untuk
mengalihkan hukum Belanda ke Indonesia, tetapi lebih un-
tuk memahami konsep itu dan dapat mempertajam kon-
sep kita sendiri. Dengan demikian, keterbukaan dipandang
sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan
wewenang secara layak (staatsrehteltjk beginsel van behoorh/
ke bevoegdheidsuiroefening). Begitu pentingnya arti keterbu-
kaan sehingga seorang sarjana Belanda Thoerbecke menga-
takan “Openbaarheid is licht, geheimbouding is duisternis”. Da-
lam praktik pemerintahan di Belanda, sebagai pelaksanaan
asas ketebukaan mula-mula melalui asas “fair play” sebagai
salah satu dan apa yang disebut “algemene beginselen van
behoorlijk bestuur” yang dalam praktik Peradilan Tata Usa-
ha Negara di Indonesia dewasa ini dikenal dengan nama
“Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik” (AAUPB).
Keterbukaan dalam sidang-sidang lembaga perwakilan
rakyat berkaitan dengan fungsi pengawasan yang dimiliki
lembaga perwakilan rakyat. Keterbukaan dalam pengam-
bilan keputusan-keputusan politik memungkinkan pe­
ngawasan dan bagi pembuat keputusan akan mendorong
sikap berhati-hati dalam pengambilan keputusan.

Bab 7 89
Fungsi Asas Keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 89 30/09/2021 04:30:16


Dalam Pasal 68 dikatakan bahwa semua rapat di DPRD
pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang
dinyatakan tertutup.
Dalam ketentuan Pasal 65 Ayat (16), yakni rapat de­
ngar pendapat umum merupakan rapat antara DPRD dan
masyarakat, baik lembaga/organisasi kemasyarakatan
maupun perseorangan atau antara komisi, gabungan komi-
si, atau panitia khusus dan masyarakat, baik lembaga/or-
ganisasi kemasyarakatan maupun perseorangan.
Ketentuan tentang Penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah sebagaimana diatur dalam TATIB DPRD terse-
but merupakan sarana yang perlu dioptimalkan sehingga
pembentukan Peraturan Daerah dan perumusan kebijakan
lainnya betul-betul mengikutsertakan masyarakat. Keter-
bukaan dalam prosedur memungkinkan masyarakat untuk
mengikuti setiap tahapan proses pembentukannya.
Dalam rangka pembentukan peraturan perundan-
gan-undangan yang demokratis, asas keterbukaan perlu
mendapat perhatian karena demokrasi melalui lembaga
perwakilan akan menjadi sangat baik apabila dalam segala
prosesnya melibatkan masyarakat yang lebih mengetahui
kondisi daerahnya. Keterbukaan dalam hubungan antara
pemerintah dan rakyat kiranya merupakan prioritas pe-
mikiran untuk mendapat perhatian khusus agar dapat
segera diwujudkan dalam proses hubungan antara pemer-
intah dan rakyat.
Perlunya pengaturan tertentu dalam peraturan hu-
kum daerah di mana perlu didasarkan pada dua pertim-
bangan pokok, yaitu pertama, untuk melaksanakan per-
intah Undang-undang. Kedua, karena kebutuhan daerah.
Pembentukan peraturan hukum daerah yang didasarkan
pada pertimbangan pertama karena Undang-undang me-
merintahkan secara tegas untuk mengatur hal tertentu da-

90 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 90 30/09/2021 04:30:16


lam peraturan hukum daerah. Sementara yang didasarkan
pada pertimbangan kedua karena belum tentu seluruh as-
pek penyelenggaraan pcmerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan diatur secara lengkap (limitatif) dalam
Undang-undang. Dalam penyusunan rancangan peraturan
hukum daerah eksekutif tidak pernah memberikan ruang
bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi. Seluruh aspi-
rasi disalurkan melalui DPRD karena rakyat telah memiliki
wakil-wakilnya di DPRD, yaitu Anggota DPRD. Berdasar-
kan aspirasi rakyat tersebut, DPRD dapat menyampaikan
kepada eksekutif dalam rapat-rapat pimpinan, dengan
pendapat dan rapat koordinasi. Apabila anggota mera-
sa perlu adanya suatu peraturan hukum daerah dapat
mempersiapkan Rancangan (Perda) dengan pokok-pokok
pikiran, serta penjelasannya untuk disampaikan dalam
sidang paripurna.
Penetapan seluruh peraturan hukum daerah dilaku-
kan oleh Kepala Daerah. Khusus untuk Peraturan Daerah
ditetapkan setelah mendapat persetujuan DPRD dalam
sidang paripurna. Persetujuan DPRD ditetapkan dengan
Surat Keputusan DPRD. Peraturan Daerah dan Keputu-
san Kepala Daerah yang sifatnya ‘pengaturan’ (regelling)
diundangkan dalam Lembaran Daerah. Pengundangan di-
lakukan oleh Sekretaris Daerah. Pelaksanaan asas keterbu-
kaan sebagai prasyarat adanya peran serta masyarakat da-
lam pembentukan peraturan hukum daerah masih sangat
kurang. Pelaksanaan asas keterbukaan dalam pembentuk­
an peraturan hukum daerah sifatnya tidak aktif. Asas ke­
terbukaan hanya dilaksanakan pada tahapan Pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah.
Pembentukan Perda yang berdasarkan “kepentingan
dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat” sejalan de­
ngan pendapat Eugen Ehrlich, sebagai salah satu pemikir

Bab 7 91
Fungsi Asas Keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 91 30/09/2021 04:30:16


hukum dalam perspektif sosiologis, yang menyatakan
bahwa hukum yang baik haruslah sesuai dengan hukum
yang hidup di masyarakat. Lebih lanjut Ehrlich menya-
takan bahwa hukum positif baru akan memiliki daya ber-
laku yang efektif jika berisikan atau selaras dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat (the living law). Menurut pe-
mikiran Ehrlich, mereka yang berperan sebagai pihak yang
mengembangkan hukum harus mempunyai hubungan
yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat
bersangkutan.
Berdasarkan pemahaman itu maka pembentukan Per-
da yang ideal haruslah selalu berorientasi pada nilai, ke-
pentingan, kebutuhan, preferensi, dan aspirasi yang tum-
buh dalam masyarakat. Idealitas orientasi ini hanya dapat
diwujudkan manakala masyarakat luas dilibatkan secara
substantif dalam pembentukan hukum (Perda).
Ini berarti, sistem politik demokratis merupakan pra-
syarat yang niscaya (conditio sine qua non) dalam mewu-
judkan legislasi Perda yang ideal tersebut. Jika ditelaah,
rumusan pasal terkait keterlibatan/partisipasi masyarakat
dalam penyampaian aspirasi dan kepentingan dalam pem-
bentukan Perda sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Un-
dang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan maupun Pasal 354 UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bukan
merupakan ketentuan yang imperatif. Partisipasi menurut
kedua UU tersebut merupakan “hak” masyarakat. Bagi
Saldi Isra, ketentuan tersebut bersifat relatif sebab masih
bergantung pada aturan yang dibuat oleh negara dalam
kerangka menjamin pelaksanaan hak masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembentukan Perda.
Tidak hanya berdasarkan hal-hal tersebut, UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

92 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 92 30/09/2021 04:30:16


Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Per­
aturan Perundang-undangan telah menentukan bahwa
agar dari suatu proses pembentukan hukum dapat dila-
hirkan Perda yang ideal maka pembentukan Perda harus
berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perun-
dang-undang yang baik. Salah satunya adalah asas “ke­
terbukaan” yang merupakan salah satu sendi dasar dari
sistem politik demokratis yang menurut penjelasan Pasal
5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan
dalam penjelasannya di mana asas “keterbukaan” adalah
proses pembentukan peraturan perundang-undangan,
dari perencanaan, persiapan, penyusunan sampai pemba-
hasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian,
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses
pembuatan peraturan perundang-undangan”.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa pembentuk­
an Perda itu sebenarnya bukan perkara mudah. Pembentuk­
an Perda sangat kompleks mengingat di dalamnya orang
harus bisa menangkap nilai yang hidup dalam masyarakat,
berdasar pada kepentingan dan kebutuhan serta aspirasi
masyarakat, didasarkan pada asas-asas pembentukan Per-
da yang baik, dan penjabaran lebih lanjut asas-asas hukum
dalam materi muatan Perda. Proses pembentukan Perda
menjadi semakin kompleks manakala harus mempertim-
bangkan kepentingan politik dari para aktor yang berke-
wenangan.
Sejak otonomi daerah yang luas diimplementasikan,
eksistensi Perda sebagai salah satu sarana legal atas kebi-
jakan daerah merupakan salah satu isu sentral dan menjadi
kontroversi yang hingga kini belum berakhir.

Bab 7 93
Fungsi Asas Keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 93 30/09/2021 04:30:16


Telah berkali-kali Pemerintah Pusat mempublikasikan
adanya Perda yang dianggap tidak mampu mewadahi ke-
pentingan nasional, konteks sosial setempat, bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan, kepentingan umum, serta yang menurut banyak ka-
langan dinilai tidak aspiratif, baik dari dimensi publik
maupun dunia usaha sehingga direkomendasikan untuk
dibatalkan dan/atau direvisi. Perda ini kemudian populer
dengan sebutan “Perda bermasalah” atau “Perda tidak as-
piratif”.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa:
asas “keterbukaan” merupakan prasyarat untuk di-
lakukannya demokratisasi dalam perencanaan dan pem-
bentukan peraturan hukum daerah yang baik;
l asas “keterbukaan” belum sepenuhnya diimplementa-
sikan dalam pembentukan peraturan hukum daerah;
l realisasi asas “keterbukaan” dalam perencanaan dan
pembentukan peraturan hukum daerah dapat berupa
memberikan peluang kepada rakyat untuk turut serta
dalam menyampaikan aspirasinya terkait kondisi di
daerahnya.

Asas Keterbukaan Dalam Pembentukan Peraturan


Daerah yang Aspiratif
Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa konsep as-
piratif dalam pembentukan Peraturan Daerah sesungguh-
nya telah tergambar dalam konsep partisipasi masyarakat
(public participation).
Tinjauan terhadap peraturan hukum daerah yang as-
piratif dilihat dari pelaksanaan asas “keterbukaan” dalam
pembentukan peraturan hukum daerah. Prosedur dan me-
kanisme pembentukan peraturan hukum daerah berdasar-

94 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 94 30/09/2021 04:30:16


kan jenis peraturan hukum daerah terdapat perbedaan.
Prosedur dan mekanisme pembentukan Peraturan Daerah
berbeda dengan prosedur dan mekanisme pembentukan
Keputusan Kepala Daerah.
Prosedur pembentukan Peraturan Daerah dilalui de­
ngan beberapa tahapan, yaitu tahapan penyusunan ran­
cang­an, tahapan pembahasan, dan tahapan akhir penetap­
an rancangan peraturan daerah menjadi peraturan daerah.
Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari Gubernur
untuk Daerah Provinsi dan Bupati/Walikota untuk daerah
Kabupaten/Kota dan dapat berasal dari prakarsa DPRD.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, secara normatif
asas “keterbukaan” diatur dalam Peraturan Tata Tertib
DPRD yang menyatakan bahwa setiap rapat persidangan
bersifat terbuka untuk umum. Akan tetapi, secara empiris
pelaksanaan asas keterbukaan masih sangat terbatas seh-
ingga eksistensi peraturan hukum daerah yang aspiratif
sangat sulit untuk diwujudkan. Hal ini terbukti dari prose-
dur pembentukan peraturan hukum daerah, baik dalam
prosedur maupun registrasi. Dalam prosedur pemben-
tukan peraturan hukum daerah, partisipasi masyarakat
sangat kecil karena tidak pernah diberitahukan tentang
pembentukan suatu peraturan hukum daerah. Kemudian,
ruang untuk melibatkan masyarakat juga tidak luas dalam
hal untuk turut berpikir tentang materi-materi yang akan
diatur. Keterbukaan prosedur dalam musyawarah tampak
ada upaya melibatkan masyarakat dalam prapembahasan
dan pembahasan. Kalaupun ada, sangat terbatas karena
hanya perwakilan yang belum tentu representasi dari selu-
ruh rakyat dan golongan. Keterlibatan perwakilan rakyat
juga tidak aktif dalam sidang pembahasan karena terlalu
protokoler. Hal yang sangat sulit diwujudkan adalah ikut
memutuskan dalam pelaksanaan. Karena, wewenang un-

Bab 7 95
Fungsi Asas Keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 95 30/09/2021 04:30:16


tuk memutus dan menetapkan ada pada eksekutif dan
legislatif. Keterbukaan dalam registrasi dilakukan de­
ngan menempatkan Peraturan Daerah dalam Lembaran
Daerah. Wewenang pengundangan ada pada Sekretaris
Daerah. Padahal idealnya, keterbukaan dalam prosedur
pembentuk­an peraturan hukum daerah memungkinkan
masyarakat mengetahui prosedur pembentukannya dan
mengetahui materi-materi yang diatur serta mengetahui
adanya per­aturan hukum daerah mengenai hal tertentu.
Keterbukaan dalam prosedur pembentukan peraturan
hukum daerah memungkinkan masyarakat ikut memikir-
kan materi-materi muatan yang harus diatur dalam suatu
peraturan hukum dengan menyampaikan aspirasinya se-
cara langsung. Ke­terbukaan dalam prosedur pembentukan
peraturan hukum daerah memungkinkan masyarakat ikut
bermusyawarah pada setiap tahapan Persidangan Rapat
Pembahasan atas suatu Rancangan Peraturan Daerah, baik
pada tingkat Pra-pembahasan (eksekutif) maupun pem-
bahasan di lembaga le­gislatif (DPRD). Keterbukaan da-
lam prosedur pembentuk­an peraturan hukum daerah me-
mungkinkan masyarakat ikut memutuskan dalam rangka
pelaksanaan. Dengan adanya ruang untuk ikut memutus-
kan, masyarakat akan merasa terikat, baik secara moral
maupun secara hukum ada keharusan atau kewajiban un-
tuk ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan suatu per-
aturan hukum daerah.
Partisipasi masyarakat dalam Undang-Undang Nomor
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan diatur pada Bab XI Pasal 96 yang menyatakan
bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam pembentukan peraturan perun-
dang-undangan. Penjelasan Pasal 96 ini menjelaskan bahwa
hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai

96 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 96 30/09/2021 04:30:16


dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Senada de­ngan hal
tersebut, dalam Pasal 354 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah juga terdapat ketentuan
bahwa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pe-
merintah Daerah mendorong partisipasi masyarakat yang
salah satunya adalah dalam bentuk partisipasi masyarakat
terhadap penyusunan Perda dan Kebijakan Daerah yang
mengatur dan membebani masyarakat.
Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam pe-
nyusunan Peraturan Daerah merupakan hak masyarakat,
yang dapat dilakukan baik dalam tahap penyiapan mau-
pun tahap pembahasan. Dalam konteks hak asasi manusia,
setiap hak pada masyarakat menimbulkan kewajiban pada
pemerintah sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai
kewajiban Pemerintahan Daerah untuk memenuhi aspirasi
masyarakat dalam penyusunan Peraturan Daerah terse-
but.
Partisipasi masyarakat dalam penyusunan Peraturan
Daerah hanya pada tahap penyiapan dan pembahasan ran-
cangan Peraturan Daerah di DPRD. Sementara dapat dike-
tahui bahwa tahap penyiapan rancangan Peraturan Daerah
tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan sesuai dengan Per­
aturan Tata Tertib DPRD. Oleh karena itu, penyiapan ran-
cangan Peraturan Daerah dapat juga dilakukan oleh Kepala
Daerah, lebih-lebih rancangan Peraturan Daerah tentang
APBD dan rancangan Perda mengenai perubahan APBD
hanya berasal dari Kepala Daerah sehingga masih memer-
lukan kejelasan mengenai kewajiban untuk memenuhi hak
masyarakat berpartisipasi dalam pembentukan Peraturan
Daerah, baik pada tahap penyiapan maupun pembahasan.
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa konsep
partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep asas “ke­

Bab 7 97
Fungsi Asas Keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 97 30/09/2021 04:30:16


terbukaan”. Artinya, tanpa asas keterbukaan pemerin-
tahan, tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peran
serta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan.
Menurut Philipus M. Hadjon, keterbukaan, baik “open-
heid” maupun “openbaar-heid” sangat penting artinya bagi
pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis.
Dengan demikian, asas keterbukaan dipandang se-
bagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan
wewenang secara layak. Konsep partisipasi terkait de­
ngan konsep demokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh
Philipus M. Hadjon bahwa sekitar tahun 1960-an muncul
suatu konsep demokrasi yang disebut demokrasi partisi-
pasi. Dalam konsep ini, rakyat mempunyai hak untuk ikut
memutuskan dalam proses pengambilan keputusan pe-
merintahan. Dalam konsep demokrasi, asas “keterbukaan”
atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum, se-
bagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam buku yang
berjudul Beginselen van de democratische rechsstaat bahwa:
l pada dasarnya, setiap orang mempunyai hak yang
sama dalam pemilihan yang bebas dan rahasia;
l pada dasarnya, setiap orang mempunyai hak untuk
dipilih;
l setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak
atas kebebasan berpendapat dan berkumpul;
l badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan
keputusan melalui sarana “(mede) beslissing-recht”
(hak untuk ikut memutuskan dan atau melalui we-
wenang pengawas);
l asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan
sifat keputusan yang terbuka;
l dihormatinya hak-hak kaum minoritas.

Asas “keterbukaan” sebagai salah satu syarat mini-


mum dari demokrasi terungkap pula dalam pendapat

98 Ilmu Perundang-Undangan
Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 98 30/09/2021 04:30:16


Couwenberg dan Sri Soemantri Mertosoewignjo. Menurut
S.W. Couwenberg, lima asas demokratis yang melandasi
rechtsstaat, dua di antaranya adalah asas pertanggung-
jawaban dan asas publik (openbaarheidsbeginsel), yang lain-
nya adalah asas hak-hak politik, asas mayoritas, dan asas
perwakilan.
Senada dengan itu, Sri Soemantri M. mengemukakan
bahwa ide demokrasi menjelmakan dirinya dalam lima
hal, dua di antaranya adalah pemerintah harus bersikap
terbuka (openbaarheid van bestuur) dan dimungkinkannya
rakyat yang berkepentingan menyampaikan keluhannya
mengenai tindakan-tindakan penjabat yang dianggap me­
rugikan.
Tampak jelas bahwa dalam paham demokrasi terdapat
asas keterbukaan, yang berkaitan dengan asas partisipasi
masyarakat, sebagaimana pula dikemukakan oleh Franz
Magnis-Suseno, bahwa paham demokrasi atau kedaulatan
rakyat mengandung makna, pemerintahan negara tetap di
bawah kontrol masyarakat.
Karena pemerintah bertindak demi dan atas nama
seluruh masyarakat, seluruh masyarakat berhak untuk
mengetahui apa yang dilakukannya. Bukan saja berhak
mengetahui, melainkan juga berhak berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat itu
semakin penting urgensinya dalam proses pengambilan
keputusan setelah dikampanyekannya good governance oleh
Bank Dunia. Salah satu karakteristik dari good governance
atau tata kelola pemerintahan yang baik atau kepemerin-
tahan yang baik adalah partisipasi. Selanjutnya, mengarti-
kan partisipasi sebagai karakteristik pelaksanaan good gov-
ernance adalah keterlibatan masyarakat dalam pembuatan
keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan as-

Bab 7 99
Fungsi Asas Keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 99 30/09/2021 04:30:17


pirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebe-
basan bersosialisasi dan berbicara, serta berpartisipasi se-
cara konstruktif.
Selaras dengan pengertian tersebut, Ann Seidman, Rob-
ert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere memaknai partisi-
pasi sebagai berikut: bahwa pihak-pihak yang dipengar-
uhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan the stakeholders
(pihak yang mempunyai kepentingan) memiliki kesempa-
tan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kri-
tik, dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan-
keputusan pemerintahan.
Penjelasan tersebut jelas menunjukkan bahwa dalam
proses pengambilan keputusan, termasuk pengambilan
keputusan dalam bentuk Peraturan Daerah, terdapat hak
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyusu-
nan Peraturan Daerah, yakni memberi masukan secara
lisan atau tertulis dalam persiapan maupun pembahasan
rancangan Peraturan Daerah.
Menurut Sad Dian Utomo, manfaat partisipasi ma­
syarakat dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk da-
lam pembuatan Peraturan Daerah adalah
l memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuat­
an kebijakan publik;
l memastikan adanya implementasi yang lebih efektif
karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuat­
an kebijakan publik;
l meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif
dan legislatif;
l efisiensi sumber daya sebab dengan keterlibatan
masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan
mengetahui kebijakan publik, sumber daya yang digu-
nakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihe-
mat.

100 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 100 30/09/2021 04:30:17


Sesuai dengan ide negara hukum, asas keterbukaan
dalam Pembentukan Peraturan Daerah mesti diatur se-
cara jelas dalam suatu aturan hukum tertentu. Sendi utama
negara hukum, yaitu hukum merupakan sumber tertinggi
(supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan me-
kanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat
atau antar-anggota masyarakat satu dengan yang lainnya.
Hukum mempunyai dua pengertian, yakni hukum
tertulis dan hukum tidak tertulis. Dari pendapat-pendapat
tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap tindakan penye-
lenggara negara maupun warga negara harus berdasarkan
aturan hukum, baik aturan hukum tertulis maupun aturan
hukum tidak tertulis. Yang dimaksud aturan hukum tertu-
lis di sini adalah peraturan perundang-undangan, sedang-
kan yang dimaksud dengan aturan hukum tidak tertulis di
sini adalah dalam bidang pembentukan peraturan perun-
dang-undangan, yakni asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, yang kemudian dituang-
kan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Dengan demikian,
partisipasi masyarakat dalam penyusunan Peraturan Daer-
ah tidak saja cukup diatur dalam peraturan perundang-
undangan, tetapi pengaturan tersebut haruslah dilakukan
secara jelas.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam kaitannya
dengan pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pem-
bentukan Peraturan Daerah, antara lain dilakukannya Ra-
pat Dengar Pendapat Umum atau rapat-rapat lainnya yang
bertujuan menyerap aspirasi masyarakat, dilakukannya
kunjungan oleh anggota DPRD untuk mendapat masukan
dari masyarakat, ataupun diadakannya seminar-seminar
atau kegiatan sejenis dalam rangka melakukan pengkajian
atau menindaklanjuti berbagai penelitian untuk menyiap-
kan suatu Rancangan Peraturan Daerah.

Bab 7 101
Fungsi Asas Keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 101 30/09/2021 04:30:17


Oleh karena itu, dalam setiap pembentukan Peraturan
Daerah diperlukan adanya keterbukaan, yaitu pemberian
kesempatan kepada masyarakat, baik dari unsur akademi-
si, praktisi maupun unsur masyarakat terkait lainnya untuk
berpartisipasi, baik dalam proses perencanaan, persiap­
an, penyusunan dan/atau dalam pembahasan Raperda
dengan cara memberikan kesempatan untuk memberikan
masukan atau saran pertimbangan secara lisan atau tertulis
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

102 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 102 30/09/2021 04:30:17


BAB 8
PEMBENTUKAN PERATURAN
DAERAH MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

Pembentukan Peraturan Daerah dalam Undang-Un-


dang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
Proses atau tata cara pembentukan peraturan daerah me­
rupakan suatu tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara
berkesinambungan untuk membentuk Perda. Proses ini di-
awali dari terbentuknya ide atau gagasan tentang perlunya
pengaturan terhadap suatu permasalahan yang kemudian
dilanjutkan dengan kegiatan mempersiapkan rancangan
Peraturan Daerah, baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah maupun oleh Pemerintahan Daerah. Selanjutnya,
pembahasan rancangan Perda di DPRD mendapat persetu-
juan bersama dilanjutkan dengan pengesahan dan diakhiri
dengan pengundangan.
Dalam Pasal 1 angka 7 dan 8 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan ditetapkan bahwa Peraturan Daerah Provinsi
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan
persetujuan bersama Gubernur. Peraturan Daerah Kabu-
paten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupa­
ten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

Bab 8 103
Pembentukan Peraturan Daerah Menurut Peraturan Perundang-Undangan

001-isi.indd 103 30/09/2021 04:30:17


Tahap-Tahap Pembahasan, Penetapan, dan Pengun-
dangan dilakukan sebagai berikut.
l Tahap Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, Kabupaten/Kota (Pasal 75, 76, dan 77)
Dalam tahap ini, Pembahasan Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi ber-
sama Gubernur. Pembahasan bersama sebagaimana
dimaksud dilakukan melalui tingkat-tingkat pembi-
caraan. Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam
rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD
Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan
rapat paripurna. Untuk selanjutnya, ketentuan menge-
nai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daer-
ah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik
kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi
dan Gubernur. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali
berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi
dan Gubernur. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Per­
aturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud di atas
berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

l Tahap Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Pro­


vinsi, Kabupaten/Kota (Pasal 78 s.d. 80)
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah di­
setujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur
disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada
Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah

104 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 104 30/09/2021 04:30:17


Provinsi. Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi dilakukan dalam jangka waktu paling lama
tujuh hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersa-
ma. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi ditetapkan
oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan
dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetu-
jui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tidak
ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling
lama tiga puluh hari sejak Rancangan Peraturan Daer-
ah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Pera-
turan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan. Dalam
hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, ka-
limat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini
dinyatakan sah. Kalimat pengesahan yang berbunyi
harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan
Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Pera-
turan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah. Ke-
tentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi berlaku secara mutatis mutandis terh-
adap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

l Tahap Pengundangan (Pasal 86 dan 87)


Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 81 agar setiap
orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undang­
an harus diundangkan dengan menempatkannya da-
lam:
a. Lembaran Negara Republik Indonesia;
b. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;
c. Berita Negara Republik Indonesia;
d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;

Bab 8 105
Pembentukan Peraturan Daerah Menurut Peraturan Perundang-Undangan

001-isi.indd 105 30/09/2021 04:30:17


e. Lembaran Daerah;
f. Tambahan Lembaran Daerah; atau
g. Berita Daerah.

Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan


dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Guber-
nur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam
Berita Daerah. Pengundangan Peraturan Perundang-un-
dangan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah dilak-
sanakan oleh Sekretaris Daerah.
Mengenai penyebarluasan Prolegda sebagaimana dia-
tur dalam Pasal 92 s.d. 95, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Per-
aturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota menentukan bahwa Penyebarluasan Prolegda dilaku-
kan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak pe­nyusunan
Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pem-
bahasan Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengun-
dangan Peraturan Daerah. Penyebarluasan dilakukan un-
tuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh
masuk­an masyarakat dan para pemangku kepentingan.
Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh
DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/
Kota yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD
yang khusus menangani bidang legislasi. Penyebarluasan
Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD di-
laksanakan oleh alat kelengkapan DPRD. Penyebarluasan
Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur
atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam
Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pe-
merintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.

106 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 106 30/09/2021 04:30:17


Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebar-
luaskan harus merupakan salinan naskah yang telah di-
undangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Re-
publik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran
Daerah, dan Berita Daerah.

Pembentukan Peraturan Daerah dalam Undang-Un-


dang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 23 Ta-
hun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 25 di-
jelaskan bahwa Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut
Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda
Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Perihal pembentu-
kan Perda dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah diatur pada Bab IX bagian
kesatu tentang Perda Pasal 236 s.d. Pasal 245.
Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan, Daerah membentuk Perda. Perda dibentuk
oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
Perda memuat materi:
l penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pem-
bantuan;
l penjabaran lebih lanjut mengenai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.

Selain materi muatan tersebut, Perda dapat memuat


materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpe-
doman pada ketentuan peraturan perundang-undangan

Bab 8 107
Pembentukan Peraturan Daerah Menurut Peraturan Perundang-Undangan

001-isi.indd 107 30/09/2021 04:30:17


dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prin-
sip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembentukan
Perda mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, penetapan, dan pengundangan yang berpe-
doman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda. Pembentuk­
an Perda dilakukan secara efektif dan efisien.
Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan
biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya
atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Perda dapat memuat
ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau
pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah). Perda juga dapat memuat ancaman pidana
kurungan atau pidana denda lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selain sanksi sebagaima-
na dimaksud di atas, Perda dapat memuat ancaman sanksi
yang bersifat mengembalikan pada keadaan semula dan
sanksi administratif.
Sanksi administratif tersebut ditentukan dalam Pasal
238 ayat (5) berupa:
l teguran lisan;
l teguran tertulis;
l penghentian sementara kegiatan;
l penghentian tetap kegiatan;
l pencabutan sementara izin;
l pencabutan tetap izin;
l denda administratif; dan/atau
l sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan per-
aturan perundang-undangan.

108 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 108 30/09/2021 04:30:17


Dalam tahapan perencanaan, perencanaan penyusunan
Perda dilakukan dalam program pembentukan Perda. Pro-
gram pembentukan Perda disusun oleh DPRD dan kepala
daerah untuk jangka waktu satu tahun berdasarkan skala
prioritas pembentukan rancangan Perda. Program pem-
bentukan Perda ditetapkan dengan keputusan DPRD. Pe-
nyusunan dan penetapan program pembentukan Perda di-
lakukan setiap tahun sebelum penetapan rancangan Perda
tentang APBD.
Dalam program pembentukan Perda dalam Pasal 239
ayat (5) dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri
atas:
1. akibat putusan Mahkamah Agung;
2. APBD.

Selain daftar kumulatif terbuka, dalam program pem-


bentukan Perda Kabupaten/Kota dalam Pasal 239 Ayat (6)
dapat memuat daftar kumulatif terbuka mengenai:
l penataan Kecamatan;
l penataan Desa.
l Dalam keadaan tertentu Pasal 239 Ayat (7), DPRD atau
kepala daerah dapat mengajukan rancangan Perda di
luar program pembentukan Perda karena alasan:
l mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau
bencana alam;
l menindaklanjuti kerja sama dengan pihak lain;
l mengatasi keadaan tertentu lainnya yang memasti-
kan adanya urgensi atas suatu rancangan Perda yang
dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD
yang khusus menangani bidang pembentukan Perda
dan unit yang menangani bidang hukum pada Peme­
rintah Daerah;

Bab 8 109
Pembentukan Peraturan Daerah Menurut Peraturan Perundang-Undangan

001-isi.indd 109 30/09/2021 04:30:17


l akibat pembatalan oleh Menteri untuk Perda Provinsi
dan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat un-
tuk Perda Kabupaten/Kota;
l perintah dari ketentuan peraturan perundang-undan-
gan yang lebih tinggi setelah program pembentukan
Perda ditetapkan.

Penyusunan rancangan Perda dilakukan berdasarkan


program pembentukan Perda. Penyusunan rancangan Per-
da dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah. Penyusun­
an rancangan Perda berpedoman pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Mengenai Pembahasan rancangan Perda, pembahasan
dilakukan oleh DPRD bersama Kepala Daerah untuk
mendapat persetujuan bersama. Pembahasan bersama di-
lakukan melalui tingkat pembicaraan. Pembahasan berpe-
doman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD
dan Kepala Daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD ke-
pada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Perda. Pe-
nyampaian rancangan Perda dilakukan dalam jangka wak-
tu paling lama tiga hari terhitung sejak tanggal persetujuan
bersama. Dalam hal ini, Gubernur wajib menyampaikan
rancangan Perda Provinsi sebagaimana dimaksud kepada
Menteri paling lama tiga hari terhitung sejak menerima
rancangan Perda Provinsi dari pimpinan DPRD provinsi
untuk mendapatkan nomor register Perda.
Bupati/Walikota wajib menyampaikan rancangan
Perda Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat pa­
ling lama tiga hari terhitung sejak menerima rancangan
Perda Kabupaten/Kota dari pimpinan DPRD Kabupaten/
Kota untuk mendapatkan nomor register Perda. Menteri

110 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 110 30/09/2021 04:30:17


memberikan nomor register rancangan Perda Provinsi dan
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat memberikan
nomor register rancangan Perda Kabupaten/Kota paling
lama tujuh hari sejak rancangan Perda diterima. Rancang­
an Perda yang telah mendapat nomor register ditetapkan
oleh Kepala Daerah dengan membubuhkan tanda tangan
paling lama tiga puluh hari sejak rancangan Perda disetujui
bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Dalam hal Kepala
Daerah tidak menandatangani rancangan Perda yang telah
mendapat nomor register, rancangan Perda tersebut sah
menjadi Perda dan wajib diundangkan dalam Lembaran
Daerah. Rancangan Perda sebagaimana dimaksud dinya-
takan sah dengan kalimat pengesahannya berbunyi, “Pera-
turan Daerah ini dinyatakan sah”. Bunyi/kalimat penge-
sahan harus dibubuhkan pada halaman terakhir Perda
sebelum pengundangan naskah Perda ke dalam Lembaran
Daerah.
Rancangan Perda yang belum mendapatkan nomor
register belum dapat ditetapkan Kepala Daerah dan belum
dapat diundangkan dalam Lembaran Daerah. Gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat secara berkala menyam-
paikan laporan Perda Kabupaten/Kota yang telah menda-
patkan nomor register kepada Menteri. Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pemberian nomor register Perda
diatur dengan Peraturan Menteri.
Perda diundangkan dalam Lembaran Daerah. Pengun-
dangan Perda dalam Lembaran Daerah dilakukan oleh
Sekretaris Daerah. Perda mulai berlaku dan mempunyai
kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali di-
tentukan lain di dalam Perda yang bersangkutan.
Rancangan Perda Provinsi yang mengatur tentang
RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggung-
jawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daer-
ah dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi Men-

Bab 8 111
Pembentukan Peraturan Daerah Menurut Peraturan Perundang-Undangan

001-isi.indd 111 30/09/2021 04:30:17


teri sebelum ditetapkan oleh Gubernur. Menteri dalam
melakukan evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang pa-
jak daerah dan retribusi daerah berkoordinasi dengan men-
teri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang
keuangan dan untuk evaluasi Rancangan Perda Provinsi
tentang tata ruang daerah berkoordinasi dengan menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang tata
ruang. Rancangan Perda Kabupaten/Kota yang mengatur
tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertang-
gungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi
daerah, dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebelum ditetap-
kan oleh Bupati/Walikota. Gubernur sebagai wakil Peme­
rintah Pusat dalam melakukan evaluasi rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi daer-
ah berkonsultasi dengan Menteri dan selanjutnya Menteri
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan bidang keuangan, dan untuk evalu-
asi rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang tata ruang
daerah berkonsultasi dengan Menteri dan selanjutnya Men-
teri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan bidang tata ruang. Selanjutnya, hasil
evaluasi rancangan Perda Provinsi dan rancangan Perda
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud jika disetujui di­
ikuti dengan pemberian nomor register.

Pembentukan Peraturan Daerah dalam Peraturan Pre­


siden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelak-
sanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ten-
tang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

112 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 112 30/09/2021 04:30:17


2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang­
an, Pasal 1 angka 6 dan 7 disebutkan bahwa yang dimak-
sud dengan Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwak-
ilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama
Gubernur. Selanjutnya, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Sementara
Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Proleg-
da adalah instrumen perencanaan program pembentukan
Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabu-
paten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan
sistematis.
Penyusunan Peraturan Daerah dalam Peraturan Presi-
den Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentu-
kan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Per­aturan
Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota secara jelas diatur dalam
Bab II tentang Perencanaan Pembentukan Peraturan Pe-
rundang-undangan; Bab III tentang Tata Cara Pe­nyusunan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabu-
paten/Kota; Bab IV tentang Pembahasan Rancangan Un-
dang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah; Bab V
tentang Tata Cara Pengesahan atau Penetapan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan; Bab VI tentang Pengun-
dangan Peraturan Perundang-undangan; Bab VIII tentang
Penyebarluasan, di antaranya adalah sebagai berikut:
l Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 33)
yang memuat beberapa aturan tentang Tata Cara Pe-
nyusunan Prolegda di Lingkungan Pemerintah Daerah
Provinsi (Pasal 34, 35, 36); Tata Cara Penyusunan Pro-

Bab 8 113
Pembentukan Peraturan Daerah Menurut Peraturan Perundang-Undangan

001-isi.indd 113 30/09/2021 04:30:17


legda di Lingkungan DPRD Provinsi (Pasal 37); Tata
Cara Penyusunan Prolegda Provinsi (Pasal 38 dan 39);
Tata Cara Penyusunan Rancang­an Peraturan Daerah
Provinsi yang dimuat dalam Kumulatif Terbuka (Pasal
40); Tata Cara Penyusunan Rancangan Peraturan Daer-
ah Provinsi di luar Prolegda Provinsi (Pasal 41); Tata
Cara Penyusunan Prolegda Kabupaten/Kota (Pasal 42
dan 43).
l Tata Cara Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang memuat
bebera­pa aturan tentang Penyusunan Penjelasan atau
Keterang­an dan/atau Naskah Akademik (Pasal 67,
68, dan 69); Penyusun­an Peraturan Daerah di Ling-
kungan Pemerintah Daerah Provinsi (Pasal 70 s.d. 76);
Pe­nyusunan Peraturan Daerah di Lingkungan Peme­
rintah Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 77); Penyusun­
an Peraturan Daerah di Lingkungan DPRD Provinsi
(Pasal 78 s.d. 85); Penyusunan Peraturan Daerah di
Lingkungan DPRD Kabupaten/Kota (Pasal 86).
l Pembahasan Rancangan Undang-Undang dan Ran­
cang­an Peraturan Daerah, yang memuat beberapa
aturan tentang Persiapan Pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur, DPRD
Provinsi, Bupati/Walikota, dan DPRD Kabupaten/
Kota. Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari
Gubernur (Pasal 94 s.d. 97); Rancangan Peraturan
Daerah yang berasal dari DPRD Provinsi (Pasal 98 s.d.
100); Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari
Bupati/Walikota (Pasal 101); Rancangan Peraturan
Daerah yang berasal dari DPRD Kabupaten/Kota
Pasal (102); Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi (Pasal 103 s.d. 108); Pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 109).

114 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 114 30/09/2021 04:30:17


l Tata Cara Pengesahan atau Penetapan Rancangan Per-
aturan Perundang-undangan, yang memuat beberapa
aturan tentang Penetapan Rancangan Peraturan Daer-
ah Provinsi (Pasal 115 s.d. 119); Penetapan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 120); Evalu-
asi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Kabupaten/
Kota (Pasal 121 s.d. 130); Klarifikasi Peraturan Daerah
Provinsi, Kabupaten/Kota (Pasal 131 s.d. 146).
l Pengundangan Peraturan Perundang-undangan, yang
memuat beberapa aturan tentang Pengundangan da-
lam Lembaran Daerah dan Tambahan Lembaran Daer-
ah untuk Peraturan Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota
(Pasal 156 s.d. 158).
l Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan, yang
memuat beberapa aturan tentang Penyebarluas­an Pro-
legda Provinsi atau Prolegda Kabupaten/Kota, Ran-
cangan Per­aturan Daerah Provinsi atau Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan
Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota (Pasal 181 s.d. 187).

Pembentukan Peraturan Daerah dalam Peraturan


Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman
Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib
DPRD
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 ten-
tang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata
Tertib DPRD, tidak disebutkan dalam bab ketentuan umum
tentang pengertian Peraturan Daerah. Namun, dalam Bab
IX Pasal 81 s.d. Pasal 88 dijelaskan secara rinci tentang Tata
Cara Pembentukan Peraturan Daerah.

Bab 8 115
Pembentukan Peraturan Daerah Menurut Peraturan Perundang-Undangan

001-isi.indd 115 30/09/2021 04:30:17


Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD
atau Kepala Daerah. Rancangan Peraturan Daerah yang
berasal dari DPRD atau Kepala Daerah disertai penjelasan
atau keterangan dan/atau naskah akademik. Rancangan
Peraturan Daerah diajukan berdasarkan program legislasi
daerah. Dalam keadaan tertentu, DPRD atau Kepala Daer-
ah dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah di luar
program legislasi daerah.
Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD
dapat diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan
komisi, atau Badan Legislasi Daerah. Rancangan Per­aturan
Daerah yang diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabun-
gan komisi, atau Badan Legislasi Daerah disampaikan
secara tertulis kepada pimpinan DPRD disertai dengan
penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik,
daftar nama dan tanda tangan pengusul, dan diberikan no-
mor pokok oleh sekretariat DPRD. Rancangan Peraturan
Daerah dimaksud oleh pimpinan DPRD disampaikan ke-
pada Badan Legislasi Daerah untuk dilakukan pengkajian.
Pimpinan DPRD menyampaikan hasil pengkajian Badan
Legislasi Daerah kepada rapat paripurna DPRD. Rancang­
an Peraturan Daerah yang telah dikaji oleh Badan Legislasi
Daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada semua
anggota DPRD selambat-lambatnya tujuh hari sebelum
rapat paripurna DPRD. Dalam rapat paripurna DPRD,
pengusul Rancangan Peraturan Daerah memberikan pen-
jelasan; fraksi dan anggota DPRD lainnya memberikan pan-
dangan; pengusul memberikan jawaban atas pandangan
fraksi dan anggota DPRD lainnya. Rapat paripurna DPRD
memutuskan usul rancangan peraturan daerah, berupa
persetujuan; persetujuan dengan pengubahan; atau penolakan.
Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPRD menu-
gasi komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi Daerah,

116 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 116 30/09/2021 04:30:17


atau panitia khusus untuk menyempurnakan Rancangan
Peraturan Daerah tersebut. Rancangan Peraturan Daerah
yang telah disiapkan oleh DPRD disampaikan dengan su-
rat pimpinan DPRD kepada kepala daerah.
Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Kepala
Daerah diajukan dengan surat Kepala Daerah kepada
pimpinan DPRD. Rancangan Peraturan Daerah yang be-
rasal dari Kepala Daerah disiapkan dan diajukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apa-
bila dalam satu masa sidang Kepala Daerah dan DPRD
menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah mengenai
materi yang sama maka yang dibahas adalah Rancangan
Peraturan Daerah yang disampaikan oleh DPRD, sedang-
kan Rancangan Peraturan Daerah yang disampaikan oleh
Kepala Daerah digunakan sebagai bahan untuk dipersand-
ingkan.
Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD
atau Kepala Daerah dibahas oleh DPRD dan Kepala Daer-
ah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah dilakukan melalui dua ting-
kat pembicaraan, yaitu sebagai berikut.
1. Pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II.
Pembicaraan tingkat I meliputi:
l Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah berasal
dari Kepala Daerah dilakukan dengan kegiatan
berikut:
l penjelasan Kepala Daerah dalam rapat paripur-
na mengenai Rancangan Peraturan Daerah;
l pemandangan umum fraksi terhadap Rancang­
an Peraturan Daerah;
l tanggapan dan/atau jawaban Kepala Daerah
terhadap pemandangan umum fraksi.

Bab 8 117
Pembentukan Peraturan Daerah Menurut Peraturan Perundang-Undangan

001-isi.indd 117 30/09/2021 04:30:17


l Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah berasal
dari DPRD dilakukan dengan kegiatan berikut:
l penjelasan pimpinan komisi, pimpinan ga­
bung­an komisi, pimpinan Badan Legislasi
Daerah, atau pimpinan panitia khusus dalam
rapat paripurna mengenai Rancangan Pera-
turan Daerah;
l pendapat Kepala Daerah terhadap Rancangan
Peraturan Daerah;
l tanggapan dan/atau jawaban fraksi terhadap
pendapat Kepala Daerah.
l Pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komi-
si, atau panitia khusus yang dilakukan bersama
dengan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk
untuk mewakilinya.
2. Pembicaraan tingkat II meliputi:
a. Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna
yang didahului dengan:
l penyampaian laporan pimpinan komisi/
pimpinan gabungan komisi/pimpinan panitia
khusus yang berisi proses pembahasan, penda-
pat fraksi dan hasil pembicaraan;
l permintaan persetujuan dari anggota secara
lisan oleh pimpinan rapat paripurna.
l Pendapat akhir Kepala Daerah.

Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat


(4) huruf a angka 2 tidak dapat dicapai secara musyawarah
untuk mufakat, keputusan diambil berdasarkan suara ter-
banyak. Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah tidak
mendapat persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala
Daerah, Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan DPRD masa itu.

118 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 118 30/09/2021 04:30:17


Rancangan Peraturan Daerah dapat ditarik kembali
sebelum dibahas bersama oleh DPRD dan Kepala Daer-
ah. Penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah oleh
DPRD, dilakukan dengan keputusan pimpinan DPRD
deng­an disertai alasan penarikan. Penarikan kembali Ran-
cangan Peraturan Daerah oleh Kepala Daerah, disampai-
kan dengan surat Kepala Daerah disertai alasan penarikan.
Rancangan Peraturan Daerah yang sedang dibahas hanya
dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama
DPRD dan Kepala Daerah. Penarikan kembali Rancan-
gan Peraturan Daerah hanya dapat dilakukan dalam rapat
paripurna DPRD yang dihadiri oleh Kepala Daerah. Ran-
cangan Peraturan Daerah yang ditarik kembali tidak da-
pat diajukan lagi pada masa sidang yang sama. Rancangan
Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD
dan Kepala Daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD ke-
pada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan
Daerah. Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah seba-
gaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat tujuh hari terhitung sejak tanggal
persetujuan bersama.
Rancangan Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala
Daerah dengan membubuhkan tanda tangan paling lambat
tiga puluh hari sejak Rancangan Peraturan Daerah tersebut
disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Dalam
hal Rancangan Peraturan tidak ditandatangani oleh Kepala
Daerah paling lambat tiga puluh hari sejak Rancangan
Peraturan Daerah tersebut disetujui bersama, Rancangan
Peraturan Daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah
dan wajib diundangkan dalam Lembaran Daerah. Dalam
hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah maka kalimat
pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyata-
kan sah. Kalimat pengesahan harus dibubuhkan pada hal-

Bab 8 119
Pembentukan Peraturan Daerah Menurut Peraturan Perundang-Undangan

001-isi.indd 119 30/09/2021 04:30:17


aman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan
naskah Peraturan Daerah ke dalam Lembaran Daerah. Per-
aturan Daerah berlaku setelah diundangkan dalam Lem-
baran Daerah. Untuk Rancangan Peraturan Daerah yang
berkaitan dengan APBD, pajak daerah, retribusi daerah,
dan tata ruang daerah sebelum ditetapkan harus dievaluasi
oleh Pemerintah dan/atau Gubernur sesuai dengan keten-
tuan peraturan perundang-undangan. Peraturan Daerah
setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah harus di­
sampaikan kepada Pemerintah dan/atau Gubernur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

120 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 120 30/09/2021 04:30:17


DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2009. Perihal Undang-Undang. Jakarta:


Konpress.
Asshiddiqie, Jimly, Safa’at Ali. 2006. Teori Hans Kelsen Ten-
tang Hukum. Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahka-
mah Konstitusi.
Ateng, Safrudin. 1985. Pasang Surut Otonomi Daerah. Ban­
dung: Bina Cipta.
Attamimi, Hamid S. “Teori Perundang-undangan Indone-
sia, Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undang­
an Indonesia Yang Menjelaskan dan Menjernihkan
Pemahaman”. Pidato Pengukuhan Guru Besar Univer-
sitas Indonesia, Jakarta.
_______, 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi
UI-Jakarta.
Boedianto, Akmal. 2010. Hukum Pemerintahan Daerah Pem-
bentukan Perda APBD Partisipatif. Yogyakarta: Laks-
Bang PRESEindo.
Bruggink, J.J.H. 1996. “Refleksi Tentang Hukum” alih ba-
hasa oleh Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Ban­
dung.
Budiardjo, M. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia,
Jakarta, 1982.
Busroh, Abu Daud, 1990. Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakar-
ta, 1990.

Daftar Pustaka 121

001-isi.indd 121 30/09/2021 04:30:17


Dep. Hukum dan HAM RI DIRJEN Peraturan Perundang-
undangan bekerja sama dengan United Nation Devel-
opment Programme. 2008. Panduan Praktis Memahami
Perancangan Peraturan Daerah. Jakarta: CAPPLER Proj-
ect.
Djamin, Awaloedin. 1991, Legal Drafting dan Public Policy,
Mantan Ketua Tim Pembantu Presiden RI dan Mantan
Ketua Lembaga Administrasi Negara.
H., Manan Bagir. 2003. Teori dan Politik Konstitusi. Yogya-
karta: FH UII Press.
Hadjon, Philipus M. dan Djatmiati Sri Titiek. 2008. Argu-
mentasi Hukum. Yogyakarta: Gajahmada University
Press.
_______. 2005. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yog­
yakarta: Gadjah Mada Universty Press.
_______. 1997. “Keterbukaan Pemerintahan Dalam Mewu-
judkan Pemerintahan yang Demokratis”, Pidato, di­
ucapkan dalam Lustrum III Ubhara Surya.
_______. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia.
Surabaya: PT Bina Ilmu.
Hart, H.L.A. 1961. The Concept of Law. Oxford: Oxford Uni-
versity Press.
Huijbers, Theo. 1982. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Ismael, Basuki. 1993. Paham Negara: Telaah Filosofis atas John
Locke, Intermedia, Jakarta.
Isra, Saldi. 2004. “Agenda Pembaruan Hukum: Catatan
Fungsi Legislasi DPR”. Jentera Jurnal Hukum. Edisi
3-Tahun II, November 2004.
Kansil, C.S.T. Hukum Antar Tata Pemerintahan, Airlangga,
Jakarta.
Kelsen, Hans. 1961. General Theory of Law And State. Trans-
lated by Anders Wedberg. New York: Russel & Rus-
sel.

122 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 122 30/09/2021 04:30:17


Mayo, Hendry B. 1960. An Introduction to Democratic The-
ory, Oxford University Press. New York.
M., Soemantri Sri. 1992. Bunga Rampai Hukum Tata Negara
Indonesia. Bandung: Alumni.
Magnis-Suseno, Fanz. 1987. Etika Politik Prinsip-Prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia.
Marzuki, Mahmud Peter. 2005. Penelitian Hukum. Surabaya:
Kencana Prenada Media Group.
M.D., Mahfud. 2009. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Muhjad, Hadin M.. 2008. Dasar-Dasar Penelitian Hukum.Ba-
han Kuliah Metode Penelitian Hukum Program Mag-
ister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat.
Narang, Teras Agustin. 2003. Reformasi Hukum. Jakarta:
Penerbit Pustaka Sinar Harapan.
Noer, Delian. 1983. Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta,
Rajawali.
Poerwadarminta, WJS. 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: PN Balai Pustaka.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. 1982. Perihal
Kaedah Hukum. Bandung: Alumni.
Rahardjo, Satjipto. 1984. Hukum dan Masyarakat. Bandung:
Angkasa.
_______. 2002. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan
Pilihan Masalah. Surakarta: Universitas Muhammadi-
yah.
Ryaas Rasyid, Muhammad. 1998. Kajian Awal Birokrasi Pe-
merintah dan Orde Baru. Jakarta: Yarsip Watampone.
S., Indrati Farida Maria. 2006. Ilmu Perundang-undangan
(Proses dan Teknik Pembentukannya). Yogyakarta: Pener-
bit Kanisius.
Seidman, Ann, Seidman B. Robert, dan Abeyserkere Na-
lin. 2001. Penyusunan Rancangan Undang-undang Dalam

Daftar Pustaka 123

001-isi.indd 123 30/09/2021 04:30:17


Perubahan Masyarakat yang Demokratis. Jakarta: Proyek
ELIPS Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manu-
sia Republik Indonesia.
Setiyono, Budi Agus. 2008. “Pembentukan Peraturan Hu-
kum Daerah yang Demokratis Oleh Pemerintah Daer-
ah”. Penelitian Tesis PMIH UNDIP Semarang.
Setyadi, Bambang S. 2007. “Pembentukan Peraturan Daer-
ah”. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.
5 Nomor 2 Agustus 2007.
Sidharta, B., Arief. 1996. “Refleksi Tentang Fondasi dan Si-
fat Keilmuan Hukum sebagai Landasan Pembangunan
Hukum Nasional Indonesia”, Disertasi. Bandung: Uni-
versitas Padjadjaran.
Simon, Herbert A. 1960. Public Administration, Alfred A.
Knop, New York.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji Sri 2003. Penelitian Hukum
Normatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sri, Soemantri. 1992 Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indo-
nesia. Bandung: Alumni.
_______, 1979, Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Band-
ung.
_______, 1979, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
Alumni, Bandung, 1979, Hlm. 136.
Sudikno, Mertokusumo. 1986. Mengenal Ilmu Hukum. Cet. I.
Yogyakarta: Liberty.
Sumarto, Hetifah Sj. 2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Gov-
ernance. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Thaib, Dahlan. 1993. Implementasi Sistem Ketatanegaraan
Menurut UUD 1945, Liberty, Yogyakarta.
Utomo, Dian Sad. 2003. “Partisipasi Masyarakat dalam
Pembuatan Kebijakan”, dalam Indra J. Piliang, Den-
di Ramdani, dan Agung Pribadi, Otonomi Daerah:

124 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 124 30/09/2021 04:30:17


Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta: Penerbit Divisi Kajian
Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa.
Wijoyo, Suparto. 2005. Lika-Liku Ilmu hukum. Surabaya: Air-
langga University Press.
Wheare, K.C. 1975. Modern Constitutions, London Oxford
University Press.

Lain-Lain
Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1999 diatur
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan
dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan
Presiden.
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Pera-
turan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-un-
dangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedo-
man Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib
DPRD.
Sambutan Menteri Hukum dan HAM RI, Seminar Pelatihan
Perancangan Peraturan Daerah. 30 April 2008. Jakarta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pemben-
tukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerin-
tah Daerah.

Daftar Pustaka 125

001-isi.indd 125 30/09/2021 04:30:17


BIOGRAFI SINGKAT

Agus Mulyawan, SH., M.H. diahir-


kan di Kota Palangka Raya tanggal
28 Oktober 1983. Pendidikan Seko-
lah Dasar di tempuh di SD Langkai
18 Palangka Raya Lulus tahun 1995,
pendidikan menengah diselesaikan
di Palangka Raya yaitu SLTP Negeri
1 Palangka Raya lulus tahun 1998 dan
SMU Negeri 3 Palangka Raya lulus
tahun 2001.
Selepas SMA, penulis menempuh Pendidikan S-1 pada
Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya lulus pada ta-
hun 2005. Ketika menjadi mahasiswa S1 Penulis aktif di or-
ganisasi mahasiswa hingga menjabat sebagai Ketua Umum
Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Palangka
Raya (2002-2003). Putra ke- 4 dari Pensiunan Pegawai Per-
pustakaan dan Arsip Daerah Kalimantan Tengah ini ke-
mudian melanjutkan Pendidikan S-2 Ilmu Hukum pada
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin, lulus tahun 2010.
Penulis memulai karier sebagai PNS pada Fakultas Hu-
kum Universitas Palangka Raya pada tahun 2006. Pada ta-
hun 2006 penulis diberikan kepercayaan sebagai Sekretaris
Penyunting Jurnal Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Palangka Raya. Pada Tahun 2009-2012 Penu-

126 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 126 30/09/2021 04:30:17


lis diangkat sebagai Sekretaris Laboratorium Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya.
Pada tahun 2012, ia diangkat sebagai Ketua Bagian Hu-
kum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Pa-
langka Raya periode Tahun 2012-2016. Bentuk Penghaar-
gaan yg pernah penulis raih adalah menjadi Dosen Terbaik
III di Tingkat Universitas Palangka Raya pada tanggal 17
Agustus 2012. Tahun 2017 diberikan kepercayaan menja-
bat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Hukum pada Fakultas Hu-
kum Universitas Palangka Raya. Saat ini penulis diberikan
kepercayaan menjadi Wakil Dekan Bidang Umum dan
Keuangan. Hingga saat ini penulis aktif mengikuti bebera-
pa kegiatan ilmiah baik di tingkat daerah dan nasional.
Kontak penulis melalui: agusmulya52@gmail.com

Dr. Achmadi, S.H. M.H. lahir di ping-


giran sungai Kahayan kota Palangka
Raya pada tanggal 10 Januari 1989.
Menyelesaikan pendidikan sekolah
dasar SDN 1 Pahandut, Madrasah
Tsanawiyah Negeri 1 Model (SLTP)
hingga tingkat Madrasah Aliyah Ne­
geri 1 model (SLTA) di Palangka Raya.
Melanjutkan pendidikan tinggi S1 Pro-
gram Studi Ilmu Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Palangka Raya, melanjutkan pendidi-
kan tinggi S2 di Program Magister Ilmu Hukum Univer-
sitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Melanjutkan Pen-
didikan tinggi S3 melalui penerima Beasiswa Unggulan
Dosen Indonesia - Dalam Negeri (BUDI-DN) dari Lembaga
Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuan-
gan Republik Indonesia pada Program Doktor Ilmu Hu-

Biografi Singkat 127

001-isi.indd 127 30/09/2021 04:30:17


kum Universitas Muhammadiyah Surakarta dan berhasil
lulus dengan predikat cumlaude. Penulis juga telah ban-
yak mempublikasi artikel ilmiah di jurnal internasional be-
reputasi (terindeks scopus) dan aktif menjadi reviewer di
jurnal-jurnal terindeks scopus.
Kontak email: dr.achmadi89@gmail.com

128 Ilmu Perundang-Undangan


Pembentukan Peraturan Daerah

001-isi.indd 128 stats


View publication 30/09/2021 04:30:17

Anda mungkin juga menyukai