Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PELATIHAN PERAWAT ASISTEN ANESTHESI

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA


MOLA HIDATIDOSA
DENGAN SPINAL ANASTESI BLOK
DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG

DisusunOleh:
Novi Kartika Dewi, S.Kep, Ns.
RSI AISYIYAH MALANG

INSTALASI ANESTHESIOLOGI & RAWAT INTENSIF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr SAIFUL ANWAR
JL. JAKSA AGUNG SUPRAPTO NO.2
MALANG
2019
LAPORAN PELATIHAN PERAWAT ASISTEN ANESTHESI
ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA
MOLA HIDATIDOSA
DENGAN SPINAL ANASTESI BLOK
DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG

“ Merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program pelatihan perawat


asisten anesthesi “

DisusunOleh:
Novi Kartika Dewi, S.Kep, Ns.
RSI AISYIYAH MALANG

INSTALASI ANESTHESIOLOGI & RAWAT INTENSIF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr SAIFUL ANWAR
JL. JAKSA AGUNG SUPRAPTO NO.2
MALANG
2019
dr. Tendi Novara, M.Si.Med, Sp.An
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mola adalah suatu kelainan di dalam kehamilan dimana jaringan

plasenta berkembang dan membelah terus menerus dalam jumlah yang

berlebihan dengan atau tanpa janin. Ada dua macam bentuk mola yaitu

mola parsial dan komplit. Mola parsial jarang menyebabkan keganasan

sedangkan mola komplit sering mengakibatkan keganasan yaitu

koriokarsinoma atau bahkan bisa pula bermetastasis hingga ke organ

lain (Biyani, et al., 2013)

Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, Amerika

latin dibandingkan dengan negara – negara barat. Menurut Drake

(2006), insiden terjadi kehamilan mola yaitu 1-2 kehamilan per 1000

kelahiran di Amerika Serikat dan Eropa. Di Asia insidensi mola 15 kali

lebih tinggi daripada di Amerika Serikat. Di negara-negara Timur Jauh

beberapa sumber memperkirakan insidensi mola lebih tinggi lagi yakni

1:120 kehamilan. Meskipun angka kejadian mola hidatidosa tidak

terlalu tinggi, tapi dilihat dari dampak perdarahan, infeksi serta

keganasan yang di timbulkan maka dapat mengakibatkan angka

morbiditas dan mortalitas (Wisler, 2004; Biyani, et al., 2013).


Mola hidatidosa dapat menyebabkan beberapa masalah terkait

dengan anestesi, di antaranya distres akut pada jantung dan paru,

hipertiroid yang dapat pula mengakibatkan krisis tiroid, anemia,

emboli trofoblastik, hipertensi yang dicetuskan oleh kehamilan,

neoplasma ganas, hiperemesis gravidarum, dan DIC (Disseminated

Intravascular Coagulation). Inti dari permasalahan – permasalahan

tersebut adalah karena pengaruh trofoblas dan hormon hCG.

Permasalahan ini harus dimanajemen dengan baik untuk optimalisasi

keadaan saat dan setelah pembiusan terjadi agar tidak terjadi

komplikasi pasca pemberian anestesi. Oleh karena itu pengkajian lebih

dalam mengenai manajemen anestesi pada mola hidatidosa sangat

penting untuk dikaji (Biyani, et al., 2013; Malyer et al., 2004).

B. Tujuan

Menambah pengetahuan di bidang anestesi khususnya pada pasien

mola hidatidosa terkait dengan permasalahan dan pengelolaan pre,

durante, dan pasca anestesi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Mola

1. Definisi

Mola adalah suatu tumor jinak di mana setelah fertilisasi hasil konsepsi

tidak berkembang menjadi embrio tetapi proliferasi dari vili koriales disertai

dengan degenerasi hidropik berupa gelembung yang menyerupai anggur.

(Biyani, et al., 2013; Llewellyn, 2002).

2. Epidemiologi

Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, Amerika latin

dibandingkan dengan negara – negara barat. Menurut Drake (2006), insiden

terjadi kehamilan mola yaitu 1-2 kehamilan per 1000 kelahiran di Amerika

Serikat dan Eropa. Di Asia insidensi mola 15 kali lebih tinggi daripada di

Amerika Serikat, dengan Jepang yang melaporkan bahwa terjadi 2 kejadian

kehamilan mola dari 1000 kehamilan. Sedangkan di Korea Selatan insiden

kehamilan mola yaitu 40 kehamilan per 1000 kelahiran (Kim, 2004). Secara

etnis wanita Filipina, Asia Tenggara dan Meksiko, lebih sering menderita

mola daripada wanita kulit putih Amerika. Di negara-negara Timur Jauh

beberapa sumber memperkirakan insidensi mola lebih tinggi lagi yakni

1:120 kehamilan (Wisler, 2004; Biyani, et al., 2013).


3. Klasifikasi(Llewellyn, 2002).

(a)Mola Hidatidosa Komplet / Total

Sekitar 90% dari mola hidatidiform adalah jenis komplit.

1) Degenerasi hidrofik

2) Pembentukan vesikel dan proliferasi trofoblas

3) Pembuluh darah janin dalam vilus (-)

4) Perubahan hidatidiform total tanpa adanya sirkulasi janin

5) Proliferasi sel trofoblas jelas terlihat

6) Fertilisasi oleh sperma Haploid 23 xx yang mengalami duplikasi

tanpa pembelahan sel.

7) Sering mengalami perubahan keganasan

(b)Mola Hidatidosa Partialis

1) Terdapat janin

2) Sebagian plasenta menunjukkan perubahan seperti yang ditemukan

pada bentuk yang sempurna

3) Jarang mengalami keganasan ( 0.05% )

4) Proliferasi trofoblas derajat sedang

5) Kariotipe abnormal : 69 XXX atau XXY

6) Jarang berubah menjadi ganas

4. Etiologi

Penyakit trofoblastik gestasional disebabkan oleh gangguan genetik yaitu

spermatozoon memasuki ovum yang kehilangan nukleusnya atau dua

sperma memasuki ovum tersebut. Pada lebih dari 90% mola komplit hanya

bersifat heterozigot. Sebaliknya mola parsial biasanya terdiri dari


kromosom triploid yang memberi kesan gangguan sperma sebagai

penyebab (Llewellyn, 2002).

Perkembangan tumor trofoblastik gestasional diperkirakan disebabkan

oleh kesalahan respon imun ibu terhadap invasi oleh trofoblas. Akibatnya

vili mengalami distensi kaya nutrien. Pembuluh darah primitif di dalam

vilus tidak terbentuk dengan baik sehingga embrio ‘kelaparan’, mati, dan

diabsorbsi, sedangkan trofoblas terus tumbuh dan pada keadaan tertentu

mengadakan invasi ke jaringan ibu (Llewellyn, 2002).

Peningkatan aktivitas sinsitiotrofoblas menyebabkan peningkatan produksi

hCG, tirotrofin korionik dan progesteron. Sekresi estradiol menurun,

karena sintesis hormon ini memerlukan enzim dari janin, yang tidak ada.

Peningkatan kadar hCG dapat menginduksi perkembangan kista teka-

lutein di dalam ovarium (Llewellyn, 2002).

Mola hidatidosa komplit terjadi karena kelainan kromosom pada orang

tua. Sebuah ovum yang kekurangan atau memiliki ketidaksempurnaan

pada komplemen krosomomnya dan ovum tersebut dibuahi oleh satu

sperma (46, XX androgenik) dengan reduplikasi atau dengan dua sperma

(dispermia, 46 XX atau 46 XY androgenik) di mana pembuahan tersebut

tidak akan menghasilkan perkembangan fetus (Llewellyn, 2002).

Mola hidatidosa parsial biasanya memiliki trisomi komplit dengan 69

XXX atau 69 XXY. Satu pasang dari kromosom haploid bersifat maternal

dan sisanya merupakan reduplikasi dari paternal setelah fertilisasi sperma

tunggal atau dispermia. Mola hidatidosa parsial seringnya fokal dan

berhubungan dengan keberadaan jaringan fetus (Llewellyn, 2002).


5. Faktor risiko

a. Wanita dengan usia dibawah 20 tahun atau diatas 40 tahun

b. Mengkonsumsi makanan rendah protein, asam folat, dan karoten

c. Keturunan

d. Malnutrisi

e. Paritas tinggi

f. Riwayat mola

g. Menstruasi tidak teratur (Erol, et al., 2004; Llewellyn, 2002).

6. Patogenesis

Llewellyn (2002) mengungkapkan beberapa teori tentang patogenesis dari

molahidatidosa, yaitu :

(a) Teori Hertig (teori missed abortion), menganggap bahwa pada mola

hidatidosa terjadi insufisiensi peredaran darah akibat matinya embrio

pada minggu ke 3-5 (missed abortion), sehingga terjadi penimbunan

cairan dalam jaringan mesenhin vili dan terbentuklah kista-kista kecil

yang makin lama makin besar, sampai akhirnya terbentuklah gelembung

mola. Sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili

yang oedemateus tadi.

(b) Teori Park (teori neoplasia sel trofoblas), mengatakan bahwa yang

primer adalah jaringan trofoblas yang abnormal, baik berupa hyperplasia,

displasia, maupun neoplasia. Bentuk abnormal ini disertai pula dengan

fungsi yang abnormal, di mana terjadi absorbsi cairan yang berlebihan ke

dalam vili. Keadaan ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya

menyebabkan kematian embrio.


(c)Teori Sitogenetik (Teori diploid androgenetik),

menerangkan                      bahwa kehamilan mola hidatidosa terjadi

karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak

berfungsi, hal ini bisa terjadi karena gangguan pada proses miosis.

Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu

yang akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang

diperlukan untuk membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air

ketuban, dll), secara seimbang. Karena tidak ada unsur ibu, pada mola

hidatidosa tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada hanya bagian

ekstraembrional yang patologis berupa vili korialis yang mengalami

degenerasi hidropik seperti anggur.

7. Tanda dan gejala

Kecurigaaan biasanya terjadi pada minggu ke 14-16 dengan :

a. ukuran rahim (TFU) lebih besar dari kehamilan biasa

b. Pembesaran rahim yangterkadang diikuti perdarahan

c. Bercak berwarna merah darah beserta keluarnya materi sepertianggur

d. Perdarahan pervaginam biasanya terjadi antara bulan pertama sampai ke

tujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Perdarahan hampir bersifat

universal, dan dapat bervariasi dari bercak sampai perdarahan berat.

e. Hiperemesis

f. Kadar hCG tinggi

g. Tanda gejala hipertiroid karena hCG menyerupai efek TSH yang

menyebabkan stimulasi kelenjar thyroid

h. Tidak terdengar Detik Jantung Janin


i. Tidak teraba bagian janin

j. Tanda Pre eklampsia (+)

k. Anemia

l. Kontraksi uterus disertai pengeluaran gelembung mola (Llewellyn,

2002).

8. Pemeriksaan Penunjang(Llewellyn, 2002).

(a)Gambaran mikroskopik

Tumor trofoblastik jinak yang menunjukkan adanya vili dan proliferasi

ireguler dari sel trofoblas

Gambar 2.1. Gambaran Mikroskopik Mola Hidatidosa.

(b)Ultra sonografi

Perangkat utama untuk menegakkan diagnosa Mola Hidatidosa. Echo

dibuat oleh masa gelembung mola yang memberi gambaran: “snow

storm”. Menyerupai gambaran “septic abortion” atau mioma uteri


Gambar 2.2. Hasil USG pada Mola Hidatidosa

(c)Pemeriksaan kadar hCG pada Mola Hidatidosa :

Sel trofoblas memproduksi hCG dengan kadar sangat tinggi. Mencapai

puncak pada kehamilan 13 minggu dan setelah itu menurun.

9. Terapi(Llewellyn, 2002).

a. Bila datang dengan “mola abortion “ lakukan evakuasi/kuretase untuk

menghentikan perdarahan

b.Bila diagnosa MH ditegakkan, lanjutkan dengan evakuasi uterus dengan

“suction curettage”, namun hati-hati jika terjadi perforasi uterus

c. Pada usia 40 tahun dan atau bila sudah tidak menghendaki anak, bisa

dilakukan histerektomi.

10. Komplikasi(Llewellyn, 2002).

Mola hidatidosa dapat menyebabkan anemia, syok, infeksi, perforasi uterus,

keganasan trofoblas, bahkan bermetastase hingga ke paru. Oleh karena itu

perlu dilakukan pemeriksaan rontgen thorak pada pasien mola


Gambar 2.3. Rontgen menunjukkan adanya cannon ball di paru kanan

Gambar 2.4. Histologis metastase pada paru

B. Permasalahan Anestesi pada Mola dan Penanganan

1. Distres Akut pada Jantung Paru

27% kasus mola dengan distres kardio-pulmonal dikarenakan oleh

pembesaran uterus di mana tinggi fundus uteri menunjukkan kehamilan

yang lebih dari 16 minggu akan menyebabkan distres pada sistem kardio-

pulmonal. 50% lainnya disebabkan karena terjadinya emboli karena sel

trophoblas. Gejala distres mulai nampak setelah 4 hingga 12 jam paska

evakuasi uterus. Untuk mengatasi hal ini, anestesi harus memesan ICU

beserta ventilator (Celeski et al., 2001; Biyani, et al., 2013)

2. Hipertiroid yang dapat pula mengakibatkan krisis tiroid

Hipertiroid dapat terjadi pada 5-10% kasus kehamilan mola. Manifestasi

klinis hipertiroid dapat muncul karena adanya hormon Human Chorionic

Gonadotropin yang secara fungsi dan struktur mirip dengan subunit α pada
hormon TSH. Selain itu, trofoblas juga mengeluarkan thyrotropin yang juga

menstimulasi tiroid untuk terus berproduksi. TSH memiliki ukuran molekul

yang besar dan memiliki durasi kerja yang lebih panjang dibandingkan

HCG. Oleh karena itu, tindakan pre operatif yang dapat diberikan adalah

memberikan obat anti hipertiroid (Propylthiouracil 50-100 mg QID) dan β

blocker (propanolol 20 mg TID). Jika tidak sempat diberikan pre medikasi,

maka iodine dan β blocker secara intra vena. β blocker dipilih karena selain

menghambat kerja simpatis dan menurunankan komplikasi kardio vaskular,

β blocker juga dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 sehingga

hipertiroid bisa dihambat pula. Penggunaan Metoprolol dan Esmolol selama

pre operasi dan pre medikasi juga dapat digunakan. Krisis tiroid adalah

suatu kasus gawat emergensi yang bisa terjadi pada 2-4% pasien ketika

operasi mola dan setelah operasi mola. Pasien dengan krisis tiroid dapat

diberi kombinasi propylthiouracil, iodide, dan dexamethason. Diharapkan

dapat menurunkan konsentrasi serum T3 menjadi normal dalam jangka

waktu 24 sampai 48 jam. Pada kasus emergensi yang belum sempat

mempersiapkan hormon tiroid turun, pemberian iodine dan βbloker sebagai

manajemen anestesi untuk hipertiroid sangat disarankan. Jika krisis tiroid

terjadi, ruang ICU harus disiapkan (Biyani, et al., 2013)

3. Anemia

Anemia pada kasus mola dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu selama

terjadi perdarahan pervaginam yang kronik atau melalui kehilangan darah

yang masif ketika pembedahan berlangsung. Mola hidatidosa komplit

menyebabkan perdarahan yang lebih masif dibandingkan dengan mola


hidatidosa parsial. Infus oksitosin dapat menurunkan risiko perdarahan

namun pada saat yang bersamaan juga dapat menyebabkan embolisasi

trofoblas dengan cara mengkontraksikan uterus terus menerus. Untuk

menghindari hal ini, anestesi harus menyediakan darah.Obat – obatan

anestesi inhalasi seperti halotan, enfluran, isofluran harus diturunkan

konsentrasinya karena bersifat tokolitik. Oksitosin dapat diberikan karena

oksitosin dapat mengurangi perdarahan namun di sisi lain, oksitosin juga

dapat menyebabkan emboli trofoblastik karena kontraksi uterus yang

berlebih (Nandini et al., 2009; Biyani et al.,2013).

4. Hipertensi yang dicetuskan oleh kehamilan

Hormon hCG memiliki efek vasoaktif sehingga dapat memperkecil diameter

pembuluh darah dan menyebabkan resistensi perifer meningkat sehingga

cardiac output juga meningkat (Nandini et al., 2009; Biyani et al.,2013).

5. Emboli trofoblastik

Emboli dapat terjadi karena sel trofoblas yang tidak berhenti berproliferasi.

Emboli ini dapat menyebabkan metastase hingga ke paru dan menyebabkan

adanya gambaran cannon ball pada foto thorak pasien (Nandini et al., 2009;

Biyani et al.,2013; Khanna et al., 2013).

6. Neoplasma ganas

Mola hidatidosa tipe komplit memiliki persentase sebesar 5% untuk terjadi

keganasan pada sel trofoblas maupun vili corialis. Sedangkan pada mola

hidatidosa tipe parsial jarang sekali ditemukan keganasan (Nandini et al.,

2009; Biyani et al.,2013).

7. Hiperemesis Gravidarum
Peningkatan hCG yang berlebihan pada mola hidatosa menyebabkan pasien

sering mual dan muntah. Hal ini harus diwaspadai karena dapat

menyebabkan dehidrasi. Oleh karena itu, cairan infus harus disiapkan.

Ringer Laktat dapat menjadi pilihan sebagai cairan rehidrasi. Pemberian

cairan harus dimanajemen dengan baik agar tidak terjadi edema paru

(Nandini et al., 2009; Biyani et al.,2013; Khanna et al., 2013).

8. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)

Jaringan trofoblas menstimulasi faktor kaskade koagulasi dan mempercepat

lama waktu pembekuan darah dalam tubuh di mana hal tersebut dapat

menyebabkan DIC dan kegagalan multi organ (Nandini et al., 2009).

C. Manajemen Anestesi pada Mola

1. Pre Operasi

a. Anamnesis (Khanna et al., 2013)

Menanyakan tanda dan gejala yang berhubungan dengan keperluan

pembiusan dengan lebih detail seperti :

(a) Co existance disease : riwayat asma, alergi, diabetes melitus,

hipertensi, dan operasi sebelumnya

(b) Perdarahan : berapa banyak perdarahan, apakah sempat diberi

transfusi, berapa banyak transfusi yang didapatkan

(c) Gejala hipertiroid menurut indeks wayne

Gejala Skor

YA

Sesak saat bekerja +1

Berdebar +2
Kelelahan +2

Suka udara panas -5

Suka udara dingin +5

Keringat berlebihan +3

Gugup +2

Nafsu makan naik +3

Nafsu makan turun -3

Berat badan naik -3

Berat badam turun +3

Tabel 2.1.Gejala Hipertiroid

(d) Gejala krisis tiroid (tabel 2.3)

b. Pemeriksaan Fisik (Khanna et al., 2013)

(a) Pengukuran kesadaran baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

(b) Tanda Vital (Tekanan Darah, Nadi / Heart Rate, RR, suhu)

(c) Pemeriksaan tanda anemia : konjungtiva anemis, CR > 2 detik

(d) Pemeriksaan tanda hipertiroid menurut indeks weyne

Tanda Skor Skor

YA TIDAK

Tiroid teraba +3 -3

Bising tiroid +2 -2

Eksoftalmus -2

Van Graef +1

Hiper kinetik +4 -2
Tremor jari +1

Tangan panas +2 -2

Tangan basah +1 -1

Atrial Fibrilasi +4

Nadi teratur

< 80x/m -3

>90x/m +3

80-90x/m

Tabel 2.2. Tanda Hipertiroid

(e) Pemeriksaan tanda krisis tiroid

Tabel 3.3. Krisis Tiroid

c. Pemeriksaan Penunjang(Llewellyn, 2002).

(a) Laboratorium : darah lengkap, PT, APTT, ureum, kreatinin, elektrolit


(b) Pemeriksaan hormon tiroid T3 dan T4

(c) Pemeriksaan TSH

(d) Pemeriksaan EKG

(e) Pemeriksaan rontgen

d. Penentuan status ASA

e. Informed Consent

f. Berpuasa 8 jam sebelun operasi

g. Terapi cairan sesuai bertat badan dan lama puasa

h. Obat-obatan Pre medikasi(Khanna et al., 2013; Biyani et al., 2013)

Pemberian obat – obatan seperti esmolol, fentanyl, xylocaine, dan MgSO4

biasa dipilih untuk premedikasi dengan tujuan menekan stress saat

dilakukan intubasi dan berhubungan pula dengan takikardia. Jika hormon

tiroid meningkat, dapat diberikan kombinasi PTU, dexamethason, dan β-

blocker.

1. Operasi (Khanna et al., 2013; Biyani et al., 2013)

a. Anestesi Spinal

Teknik anestesi ini lebih disukai karena tidak memiliki efek

tokolitik yang dapat memperburuk perdarahan dan lebih aman pula

untuk pasien mola dengan hipertiroid. Anestesi spinal tidak

disarankan untuk pasien mola dengan gangguan hemodinamik dan

gangguan pembekuan darah.

b. General anesthesia menunjukkan stabilitas hemodinamik yang

baik. Jenis anestesi ini dianjurkan untuk pasien dengan gangguan

hemodinamik, gangguan pembekuan darah di mana hal ini


dikontraindikasikan pada spinal anestesi.Drug of Choice yang

digunakan untuk menginduksi pasien ketika operasi berlangsung

adalah thiopentone karena thiopentone memiliki efek anti thyroid

sehingga dapat menstabilkan keadaan hemodinamiknya. Muscle

relaxan yang digunakan adalah obat dengan mekanisme kerja

sedikit meriliskan histamin seperti Recuronium dan Vecuroniu

sehingga aman untuk digunakan. Konsentrasi obat – obatan

anestesi inhalasi yang digunakan sebagai maintanance seperti

halothan, enfluran, dan dan isofluran harus dikurangj karena

memiliki efek tokolitik yang dapat semakin memperparah

perdarahan.

c. Monitoring

2. Pasca operasi

a. Anestesi Umum

(1) Tidak ada mual muntah, boleh makan

(2) Nyeri diberi ketorolac

(3) Mual muntah diberi ondansentron

(4) Bed rest 24 jam

b. Spinal Anestesi

(1) Bed rest 24 jam, kepala ditinggikan 30o

(2) Tidak boleh berdiri dan duduk selama 24 jam

(3) Jika tidak ada mual muntah boleh makan

(4) Nyeri diberi ketorolac

(5) Mual muntah diberi ondansentron


BAB III

KESIMPULAN

1. Mola adalah suatu tumor jinak di mana setelah fertilisasi hasil

konsepsi tidak berkembang menjadi embrio tetapi proliferasi dari

vili koriales disertai dengan degenerasi hidropik berupa gelembung

yang menyerupai anggur.

2. Mola hidatidosa dapat menyebabkan beberapa masalah terkait

dengan anestesi, di antaranya distres akut pada jantung dan paru,

hipertiroid yang dapat pula mengakibatkan krisis tiroid, anemia,

emboli trofoblastik, hipertensi yang dicetuskan oleh kehamilan,

neoplasma ganas, hiperemesis gravidarum, dan DIC (Disseminated

Intravascular Coagulation)

3. Manajemen anestesi yang dapat dilakukan pada pasien mola secara

garis besar terbagi menjadi manajemen pre, pra, dan pasca operasi.

Manajemen ini bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi

ketika dan setelah pembiusan dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA

Biyani, Ghansham; Shaddiq Mohammed; Pradeep Bathia. 2013.

Anesthetic Challenges in Molar Pregnancy. New Delhi: Department of

Anesthesiology SN Medical College.

Celeski, Daniel; Jerry Mico, Linda Walters. 2001. Anesthetic Implication

of Molar Pregnancy. AANA Journal : Okinawa. Diakses pada 20 Oktober 2013.

Erol DD., Chevryoglu AS., Uslan I. 2004. Preoperative preparation and

general anesthesia administration with Sevoflurane in patient who develops

thyrotoxicosis and cardiogenic dysfunction due to hydatiform mole.. Internet J

Anesthesiol. diakses pada 20 Oktober 2013.

Khanna, Punnet; Anil Kumar; Maya Dehran. 2012. Gestational

trophoblastic disease with hyperthyroidism : Anesthetic Management. Journal of

Obstetric Anesthesia and Clinical Care.Department of Anesthesia andIntensive

Care, All India Institute of Medical Sciences : New Delhi.

Llewellyn-Jones, Derek. 2002. Dasar-Dasar Obstetri & Ginekologi. Edisi

6. Penyakit Plasenta dan Membran. Jakarta : Hipokrates. 134-5

Nandini, Dave; Fernandes Sarita; Ambi Uday; Iyer Hemalata. 2009.

Hydatidiform Mole With Hyperthyroid. J Obstetry Gynecology vol 59 : India.

Anda mungkin juga menyukai